9866-Article Text-34207-2-10-20220411

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 5

Jurnal Niara Vol. 11, No. 1 Juni 2018, Hal.

1-5

KEBIJAKAN HUKUM BERDASARKAN UU NO. 18 TAHUN 2014


TENTANG KESEHATAN JIWA DAN KUHP
Eric Wilber
Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Lancang Kuning
e-mail : [email protected]

Abstract
The research objective is to analyze legal policies for perpetrators who commit acts of violence / bullying /
oppression / torture of people with mental disorders based on Law no. 18 of 2014 concerning Mental Health and
the Criminal Code, and the legal consequences of legal policies for perpetrators who commit acts of violence /
bullying / oppression / torture of people with mental disorders based on Law no. 18 of 2014 concerning Mental
Health and the Criminal Code. The method used is normative legal research. Sources of data consist of primary
legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. In this study, the data were analyzed
qualitatively and in drawing conclusions, the authors applied the deductive thinking method, namely a statement or
proposition that was general in nature into a specific statement. Based on the research results, it is known that the
legal policy for perpetrators who commit acts of violence / bullying / oppression / torture of people with mental
disorders is based on Law no. 18 of 2014 concerning Mental Health and the Criminal Code there are still no strict
sanctions regulating this matter, however, in the implementation of law enforcement it still refers to the criminal
code book.

Keywords: Law Enforcement, Perpetrators, People With Mental Disorders, Policies, Bullying

Abstrak
Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis kebijakan hukum bagi pelaku yang melakukan tindak
kekerasan/bullying/penindasan/penyiksaan terhadap orang dengan gangguan jiwa berdasarkan UU No. 18
Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa Dan KUHP, dan akibat hukum kebijakan hukum bagi pelaku yang
melakukan tindak kekerasan/bullying/penindasan/penyiksaan terhadap orang dengan gangguan jiwa
berdasarkan UU No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa Dan KUHP. Metode yang dipergunakan adalah
penelitian hukum normatif. Sumber data terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tertier. Dalam penelitian ini data dianalisis secara kualitatif dan dalam menarik kesimpulannya penulis
menerapkan metode berpikir deduktif yaitu suatu pernyataan atau dalil yang bersifat umum menjadi suatu
pernyataan yang bersifat khusus. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kebijakan hukum bagi pelaku
yang melakukan tindak kekerasan/bullying/penindasan/penyiksaan terhadap orang dengan gangguan jiwa
berdasarkan UU No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa Dan KUHP ini masih belum ada sanksi yang
tegas mengatur hal tersebut, akan tetapi, dalam pelaksanaan penegak hukum masih merujuk pada kitab undang-
undang hukum pidana.
.
Kata Kunci: Pacu Jalur, Pemberdayaan, Generasi Milenial, Media Sosial.

1. PENDAHULUAN

Mengingat perundungan (bullying) merupakan suatu perbuatan yang dilakukan seseorang


terhadap orang lain dengan adanya niat kesengajaan yang dapat menyebabkan adanya penderitaan (fisik
ataupun mental), rasa sakit, maupun timbulnya luka, sehingga dalam penerapan hukumnya dapat
dikenakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perundungan (bullying), seperti Pasal

P-ISSN 1693-3516 | E-ISSN 2528-7575 1


2012
Jurnal Niara Vol. 11, No. 1 Juni 2018, Hal. 1-5

170 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 351 sampai 355 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
Berdasarkan Pasal 80 UU No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa mengatakan bahwa
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melakukan perratalaksanaan terhadap ODGJ yang
terlantar, menggelandang, rnengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu
ketertiban dan/ atau keamanan umum. Pasal 81 ayat (1) juga menjelaskan bahwa Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib melakukan upaya rehabilitasi terhadap ODGJ terlantar, menggelandang,
mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan latau mengganggu ketertiban dan/ atau
keamanan umum. Ayat (2) ODGJ terlantar, menggelandang, mengancarn keselamatan dirinya dan/atau
orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi ODGJ: tidak mampu; tidak mempunyai keluarga, wali atau pengampu; dan/atau tidak
diketahui keluarganya.
Pasal 82 UU No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa mengatakan bahwa Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib melakukan penampungan di fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan bagi
ODGJ yang telah sembuh atau terkendali gejalanya yang tidak memiliki keluarga dan/atau terlantar.
Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa diatas, terlihat sangat jelas bahwa adanya
tanggungjawab pemerintah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi orang
dengan gangguan jiwa, yang mana pemerintah seharusnya menjalankan amanat undang-undang tersebut.
Akan tetapi, apa yang dialami orang dengan gangguan jiwa ini yang mengalami tindak kekerasan /
bullying / penindasan / penyiksaan yang dilakukan oleh orang lain belum adanya sanksi yang tegas, sebab
belum adanya Undang-undang yang mengatur tentang sanksi hukum bagi pelaku tindak kriminal terhadap
Orang dengan Gangguan jiwa, baik secara jiwa maupun fisik, termasuk pembiaran terlantarnya orang
dengan gangguan jiwa oleh pihak keluarga maupun pemerintah.
Dari apa yang diuraikan diatas tentunya menjadi latar belakang bagi penulis untuk membahas
lebih lanjut dalam suatu penelitian dengan memilih Kebijakan Hukum Bagi Pelaku Yang Melakukan
Tindak Kekerasan/Bullying/Penindasan/Penyiksaan Terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa
Berdasarkan Uu No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa Dan KUHP.

2. METODE

Dilihat dari jenisnya maka penelitian ini dapat digolongkan kepada penelitian hukum normatif atau
metode penelitian kepustakaan yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara mengkaji dan
meneliti bahan-bahan pustaka berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.1 Pemilihan
metode ini, sebagaimana yang dijelaskan oleh Peter Mahmud Marzuki, karena penelitian hukum adalah
suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip hukum, dan doktrin hukum untuk menjawab isu
hukum yang dihadapi.
Dalam penelitian hukum normatif sumber data berasal dari data sekunder. Data sekunder dalam
jenis penelitian ini terbagi menjadi tiga jenis data, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
bahan hukum tertier. Teknik Pengumpulan data dalam penelitianhukum normatif hanya digunakan teknik
studi dokumenter/studi kepustakaan. Dalam keadaan tertentu dapat digunakan teknik wawancara
nonstruktur yang berfungsi sebagai penunjang saja bukan sebagai alat untuk mendapatkan data primer.
Setelah melalui proses pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian data dianalisis secara
deskriftif kualitatif, teknik analisis ini tidak menggunakan angka-angka statistik, namun lebih kepada
penjelasan dalam bentuk kalimat yang dipaparkan secara lugas. Data yang telah dianalisis dan
1
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tindakan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo,
2007), hlm. 13-14

P-ISSN 1693-3516 | E-ISSN 2528-7575 2


Jurnal Niara Vol. 11, No. 1 Juni 2018, Hal. 1-5

dideskripsikan selanjutnya disimpulkan dengan metode deduktif yakni menyimpulkan dari pernyataan
yang bersifat umum kedalam pernyataan yang bersifat khusus.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penindasan atau bullying sendiri belum diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan khusus yang
mengaturnya, namun akan mengambil masalah dari pokok perkaranya. Karena penindasan atau bullying
sendiri bersifat luas, maka penulis dapat memasukkan penganiayan, pemerasan, penghinaan dan
sebagainya kedalam kasus penindasan yang dimana, kasus tersebut sudah diatur didalam KUHP.
Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan
kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat tengganggu kesehatan
jiwa. Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab menciptakan kondisi kesehatan
jiwa yang setinggi-tingginya dan menjamin ketersediaan, aksesibilitas, mutu dan pemerataan upaya
kesehatan jiwa.
Banyak peraturan perundangan di bidang kesehatan yang telah disusun oleh pemerintah mulai dari
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009, hingga peraturan dan keputusan menteri dengan tujuan untuk mengatur upaya-upaya kesehatan
jiwa. Namun dalam pelaksanaannya, sistem perundang-undangan yang berlaku hingga saat ini belum
cukup banyak membantu dalam hal peningkatan upaya layanan kesehatan jiwa dan dirasakan kurang
dapat melindungi penderita gangguan jiwa. Oleh karenanya perbaikan aspek legal diharapkan akan
membawa perbaikan pada masalah klinis dan persepsi tentang kesehatan jiwa dalam komunitas. Penderita
gangguan jiwa di Indonesia seringkali menjadi korban ketidakadilan dan perlakuan yang semena-mena
oleh masyarakat.
Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa
pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Upaya
kesehatan jiwa dilaksanakan berasaskan keadilan, perikemanusiaan, manfaat, transparansi, akuntabilitas,
komprehensif, perlindungan, dan nondiskriminasi. Asas perikemanusiaan dalam hal ini, bahwa
penyelenggara upaya kesehatan jiwa kepada ODGJ dilaksanakan secara manusiawi dan lain sebagainya. 2
Penderita gangguan jiwa tidak semata hanya mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa yang
memadai tetapi juga harus mendapatkan perlindungan hukum yang berhubungan dengan penderita
gangguan jiwa. Kasus di atas telah membuktikan bahwa orang dengan gangguan jiwa belum sepenuhnya
mendapatkan upaya kesehatan jiwa yang sudah semestinya mereka dapatkan guna untuk mewujudkan
derajat kesehatan jiwa yang optimal. Menurut ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014
tentang Kesehatan Jiwa menyatakan bahwa upaya kesehatan jiwa bertujuan untuk menjamin setiap orang
dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang
dapat mengganggu kesehatan jiwa serta memberikan perlindungan dan pelayanan kesehatan jiwa bagi
orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) berdasarkan hak
asasi manusia
Didalam upaya melindungi segenap bangsa Indonesia seperti yang tertuang dalam cita-cita Negara
republik Indonesia, sudah seharusnya pemerintah menetapkan undangundang terkait kesehatan jiwa. Pada
tahun 1966 Indonesia memiliki Undang-undang tentang Kesehatan Jiwa, namun pada tahun 1992
Undang- Undang tersebut dicabut dan dileburkan dalam Undang-Undang Kesehatan. Setelah dilebur
dalam Undang-undang Kesehatan, pasal-pasal yang mengatur kesehatan jiwa sangat sedikit. Padahal,
2
Yusuf dkk, Kesehatan Jiwa Pendekatan Holistik dalam Asuhan Keperawatan, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2019), hlm 7

P-ISSN 1693-3516 | E-ISSN 2528-7575 3


Jurnal Niara Vol. 11, No. 1 Juni 2018, Hal. 1-5

tahun 1966 Indonesia adalah satu dari sedikit negara yang mempunyai Undang undang Kesehatan Jiwa,
barulah pada tahun 2014 Undang-Undang kesehatan jiwa kembali di tetapkan melalui Undang-undang
Nomor 14 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa.
Berdasarkan Pasal 80 UU No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa mengatakan bahwa
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melakukan perratalaksanaan terhadap ODGJ yang
terlantar, menggelandang, rnengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu
ketertiban dan/ atau keamanan umum. Pasal 81 ayat (1) juga menjelaskan bahwa Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib melakukan upaya rehabilitasi terhadap ODGJ terlantar, menggelandang,
mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan latau mengganggu ketertiban dan/ atau
keamanan umum. Ayat (2) ODGJ terlantar, menggelandang, mengancarn keselamatan dirinya dan/atau
orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi ODGJ: tidak mampu; tidak mempunyai keluarga, wali atau pengampu; dan/atau tidak
diketahui keluarganya.
Pasal 82 UU No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa mengatakan bahwa Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib melakukan penampungan di fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan bagi
ODGJ yang telah sembuh atau terkendali gejalanya yang tidak memiliki keluarga dan/atau terlantar.
Fakta menunjukkan bahwa perlakuan salah, khususnya tindak kekerasan dan penelantaran,
terhadap penderita gangguan jiwa masih sering ditemukan di masyarakat. Selain itu, penganiayaan
terhadap penderita gangguan jiwa (yang tersering pada penderita psikosis) dengan dalih upaya
mengamankan atau merupakan bagian dari ritual penyembuhan gangguan jiwa (pemasungan, rendam
dalam air, dan lain-lain) masih banyak terjadi. Stigma dan diskriminasi terhadap penderita gangguan jiwa
juga terjadi secara luas di masyarakat umum, yang mengakibatkan penderita gangguan jiwa kehilangan
kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan, pendidikan, maupun peran sosial yang layak di masyarakat.
Berbagai kebijakan publik juga terlihat masih memberi perlakuan diskriminatif dan tidak adil
terhadap penderita gangguan jiwa, antara lain perusahaan asuransi yang tidak menanggung penderita
gangguan jiwa. Terdapat juga keterbatasan akses terhadap fasilitas publik serta rumah sakit umum
seringkali menolak merawat penderita gangguan jiwa. Pemberitaan/pemaparan oleh media massa tentang
penderita gangguan jiwa lebih banyak bersifat eksploitatif tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya
terhadap pembentukan opini publik yang salah tentang penderita gangguan jiwa.
Kedudukan dalam hukum yang lemah dan penyalahgunaan peraturan perundangan yang
diberlakukan terhadap penderita gangguan jiwa menyebabkan mereka sangat rentan kehilangan hak
hukum, misalnya: pengampuan, hak pengasuhan anak, hak waris, dan sebagainya. Juga pengabaian
masalah kejiwaan pada berbagai kasus korban kekerasan (perkosaan, penganiayaan, dan sebagainya).
Oleh karena itu sangat dibutuhkan upaya upaya penyempurnaan dari produk produk legislasi yang sudah
ada agar apa yang menjadi hak hak kesehatan bagi orang dengan gangguann jiwa dapat dipenuhi dan
mereka terhindar dari perlakukan masyarakat yang bertentangan dengan dengan harkat dan martabatnya
sebagai manusia sebagaimana diamanatkan konstitusi negara.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah, wajib untuk menjalankan amanat yang terkandung
dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2014. Seperti misalnya: menyediakan sarana dan prasana dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan jiwa; melakukan rehabilitasi terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa
(ODGJ); dan mempidana orang yang dengan sengaja atau menyuruh orang lain untuk mamasung,
menelantarkan dan melakukan kekerasan terhadap Orang Dengan Masalah Kejiwaan (OMDK) dan Orang
Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Penanganan pasca program rehabilitasi juga menjadi salah satu kunci utama kesuksesan Indonesia
Bebas Pasung. Orang yang dipasung, layaknya korban kekerasannya lainnya sangat rentan dengan trauma
yang acapkali akan selalu menghantui mereka. Oleh karena itu, sangat diperlukan pendampingan baik
oleh tenaga medis dan juga keluarga korban untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan perlakuan

P-ISSN 1693-3516 | E-ISSN 2528-7575 4


Jurnal Niara Vol. 11, No. 1 Juni 2018, Hal. 1-5

yang layak dari lingkungannya. Perlakuan diskriminatif yang selama ini selalu disematkan kepada mereka
harus segera ditinggalkan.
Didalam upaya melindungi segenap bangsa Indonesia seperti yang tertuang dalam cita-cita
Negara Republik Indonesia, sudah seharusnya pemerintah menetapkan undang- undang terkait kesehatan
jiwa. Baik KUHP maupun Undang-undang kesehatan jiwa secara jelas memberikan kepastian hukum
terhadap tanggung jawab negara. Namun apabila dibiarkan maka kondisi ini, jika dibiarkan berlanjut,
akan semakin memarginalisasi layanan kesehatan mental dan akhirnya akan membawa banyak masalah
psikososial di komunitas seperti yang ditunjukkan dengan meningkatnya insidens bunuh diri, adiksi zat
psikoaktif, kekerasan, dan banyaknya penderita psikotik kronik yang menggelandang.

4. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis
adalah Proses Hukum Bagi Pelaku Yang Melakukan Tindak Kekerasan / Bullying / Penindasan /
Penyiksaan Terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa bahwa belum terlaksana dengan baik, karena proses
hukum bagi pelaku yang melakukan Tindak Kekerasan / Bullying / Penindasan / Penyiksaan Terhadap
Orang Dengan Gangguan Jiwa ini masih belum ada sanksi yang tegas mengatur hal tersebut, akan tetapi,
dalam pelaksanaan penegak hukum masih merujuk pada kitab undang-undang hukum pidana

5. SARAN

Adapun saran yang diberikan oleh penulis setelah melakukan penelitian Seharusnya ada sanksi yang
tegas bagi Pelaku Yang Melakukan Tindak Kekerasan / Bullying / Penindasan / Penyiksaan Terhadap
Orang Dengan Gangguan Jiwa
.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Ahmad Yusuf Dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika

[2] Andrey Sujatmoko, (2016). Hukum HAM dan Hukum Humaniter. Jakarta: Rajawali Pers.

[3] Azyumardi Azra. (2007). Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN.

[4] Barda Nawawi Arief. (2005). Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan
Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Adtya Bakti.

[5] Elia Daryati dan Anna Farida, (2014). Parenting With Heart, Jakarta: Kaifa.

[6] Ponny Retno Astuti. (2008). Merendam Bullying 3 Cara Efektif Mengatasi Kekerasan Pada Anak.
Jakarta: UI Press.

[7] Soerjono Soekanto. (2007). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta

P-ISSN 1693-3516 | E-ISSN 2528-7575 5

You might also like