Hadits 1

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 18

Makalah

Pembagian Hadits Berdasarkan Rowi: Mutawatir, Ahad, Shohih,


Hasan, Dhoif, Marfu', Mauquf Dan Maqti.
Disusun untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Studi Hadits

DAFTAR ISI
Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

Bab 1 Pendahuluan 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 1

C. Tujuan 1

Bab II Pembahasan 2

A. Pengertian Hadits...…………………………………………………………....2
B. Hadits Mutawatir 2

i
C. Hadits Ahad 7

D. Hadits Shohih 8

E. Hadits Hasan 10

F. Hadits Dhoif 10
G. Hadits Marfu’ 12
H. Hadits Mauquf……..……………………………………………………..… 13
I. Hadits Maqti……………………………………..……………………….......14

Bab III Penutup 15

A. Kesimpulan 15

B. Saran 15

Daftar Pustaka16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagaimana yang kita ketahui bahwasanya hadits adalah bentuk ucapan atau
perintah Rasulullah yang didasarkan pada Al-Qur’an sebagai salah satu tuntunan
umat. Sebagai tuntunan umat maka siapa yang meriwayatkan hadits ini harus benar-
benar bisa menjadi tuntunan. Dalam skema ini dapat dipahami, bahwa hadits dilihat
dari segi rowi-nya terbagi menjadi delapan macam yaitu hadits Mutawatir, Ahad,
Shohih, Hasan, Dhaif, Marfu’, Mauquf, dan Maqti.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu Hadits Mutawatir?


2. Apa itu Hadits Ahad?
3. Apa itu Hadits Shohih?
4. Apa itu Hadits Hasan?
5. Apa itu Hadits Dhaif?
6. Apa itu Hadits Marfu’?
7. Apa itu Hadits Mauquf?
8. Apa itu Hadits Maqti?
1.3 Tujuan
1. Memahami pembagian hadits berdasarkan rowi
2. Memahami setiap jenis pembagian hadits berdasarkan rowi

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hadits

Secara etimologis Hadis atau al- hadits menurut bahasa adalah al- jadid yang
artinya (sesuatu yang baru) yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat
atau waktu yang singkat seperti (orang yang baru masuk/ memeluk islam).
Sedangkan secara istilah (terminologi), sebagian ahli mengakatan bahwa hadits
adalah Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau. Sementara para ulama ushul memberikan
pengertian hadis adalah: “Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya
yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya”.
Berdasarkan pengertian hadis menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadis
adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw. Baik ucapan, perbuatan
maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan
Allah yang disyari’atkan kepada manusia

2.2 Hadits Mutawatir.

2.2.1 Pengertian Hadist Mutawatir

Pengertian Hadits Mutawatir secara lughowi istilah mutawatir berasal dari


isim fail musytaq dari al-tawatur yang berarti tatabu’ (datang berturut-turut dan
beriringan satu dengan yang lainnya). Secara istilah yang dimaksud dengan mutawatir
adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak periwayat dalam setiap tingkatan satu
dengan lainnya dan masing-masing periwayat tersebut semuanya adil yang tidak
memungkinkan mereka itu semuanya sepakat berdusta atau bohong semuanya
bersandar pada panca indra. Hadits mutawatir berada pada tingkatan paling tinggi
dalam hal meyakinkan penerima informasi. Ia sejajar dengan Al-Qur’an, dalam arti
sama diriwayatkan secara mutawatir. Segolongan ulama’ berkata bahwa ilmu
(keyakinan) yang diperoleh dari khabar mutawatir sama dengan keyakinan yang
didapati dari melihat dengan mata kepala sendiri. Para ulama’ sependapat bahwa
hadits mutawatir harus diterima sebagai berasal dari Nabi. Daya ikat hadits mutawatir
ini disebut di dalam kitab-kitab bahwa orang-orang Islam.

2
2.2.2 Hukum Hadist Mutawatir

1. Berfaidah keyakinan. Bahwa hadits mutawatir memberi faidah harus


diyakini apa adanya. Ini disebut sebagai ilmu dharuri yang tidak lagi dapat
ditawar kebenarannya. Orang harus meyakini bahwa apa yang
diriwayatkan para perawi memang pernah disampaikan atau dilakukan
oleh Rosulullah melihat kuantitas perawi yang tidak mungkin bersepakat
berdusta.

2. Pasti shahih. Maka tidak dibutuhkan pembahasan mengenai hal ihwal


periwayatannya.

3. Wajib meyakini keshahihannya seperti meyakini Al-Qur’an. Bahwa


mengingkari hadits mutawatir dapat menyebabkan kekufuran.

4. Wajib mengamalkannya. Maksudnya, bila disana Nabi menyebut perintah,


maka harus dilaksanakan, sebaliknya bila disana Nabi melarang, maka
harus disingkiri.

2.2.3 Pembagian Hadits Mutawatir.

Para ahli ushul membagi hadits mutawatir kepada dua bagian. Yakni
mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi. Hadits mutawatir lafdzi adalah hadits yang
diriwayatkan oleh banyak periwayat (mutawatir) dari sisi lafalnya. Lafadz tersebut
antara satu dengan lainnya sama dengan hadits Nabi Muhammad SAW. Contoh
adalah hadits mengenai bacaan ta’awudz:

‫لقد قرأت على عبدالله بن مسعود فقلت أعوذ بالسميع العليم فقال قل اعوذ‬
‫بالله من الشيطان الرجيم قل فلقد قرأت على رسول الله صلعم فقلت أعوذ‬
‫بالسميع العليم فقال لى يا ابن ام عبد قل اعوذ بالله من الشيطان الرجيم هكذا‬
‫أقرأنيه جبريل عن القلم عن اللوح المحفوظ‬.

Hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits yang rawi-rawinya berlainan dalam


menyusun redaksi pemberitaanya, tetapi berita yang berlainan tersebut terdapat
pesesuaian pada prinsipnya. Contoh hadits ini adalah hadits yang menerangkan
kesunnahan mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini berjumlah sekitar seratus
hadits dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi mempunyai titik persamaan, yaitu
keadaan Nabi Muhammad mengangkat tangan saat berdo’a. Namun ada ulama yang

3
mengatakan bahwa hadits mutawatir terbagi menjadi tiga, yaitu dengan menambahkan
hadits amali sebagaimana penjelasan Sayyid Abdul majid al-Ghouri dalam kitabnya
“al-Muyassar fi ‘ulum al-Hadits”. Hadits mutawatir amali merupakan hadits yang
diambil oleh orang-orang, semisal dari satu bangsa ke bangsa lainnya, dan karenanya
tidak membedakan antara satu mukmin dengan mukmin lainnya seperti shalat lima
waktu, puasa bulan Ramadhan, haji dan lain-lain. Semua itu dilakukan berdasar
mutawatir amali dari nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti para sahabat hingga
sampailah pada era sekarang ini. Keseluruhannya tidak berbeda dalam pelaksanaan,
baik bangsa barat maupun bangsa timur. Dalam segi perawian hadits mutawatir, ada
sebuah contoh metode yang masih terus dilakukan oleh umat muslim hingga kini.
Metode itu biasa disebut dengan musalsal, yaitu meriwayatkan hadits nabi secara
mutawatir baik dari segi lafadz, makna dan pengamalannya. Sebagai contoh ialah
musalsal bi a’udzubillahi mina asy-syaithoni ar-rajim, musalsal bi al-fatihah, musalsal
bil buka’ dan musalsal bil musyabakah.

2.2.4 Syarat-syarat Hadits Mutawatir.

1. Bilangan atau jumlah periwayatnya banyak.

Dalam hal ini para ulama’ berselisih tentang jumlahnya. Sebagian


ulama berpendapat bahwa paling sedikit adalah 4 orang periwayat
berdasarkan pemahaman atas Q.S. al-nur (24):13, “Mengapa mereka (yang
menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong
itu? Seolah lah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka
mereka itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta”. Ada yang
berpendapat, sebagai pemahaman mengertai ayat-ayat yang menerangkan
tentang mula’anah. Ada pendapat lain yang mengatakan minimal 10
periwayat karena dengan alasan jumlah kurang dari 10 merupakan
bilangan satuan. Di samping itu masih banyak yang berpendapat bahwa
mutawatir berjumlah sepuluh, dua belas, dua puluh, empat puluh, tujuh
puluh, bahkan ada yang mengatakan lebih dari tiga ratus perawi.
Banyaknya periwayat dari awal sanad sampai akhir cenderung stabil.
Jumlah periwayatnya imbang masing-masing tingkatan, yaitu tidak gemuk
di satu tingkatan sedang ditingkatan lainnya kecil. Atau dengan kata lain,
jumlah periwayatnya dari generasi satu ke generasi yang lainnya

4
bertambah tidak berubah menjadi sedikit. Tidak adanya kesepakatan
mereka untuk berdusta. Oleh karena itu, isi atau teks hadits yang
diriwayatkan diantara mereka nyata atau tidak ada perbedaan satu dengan
yang lainnya. Atau dengan kata lain, mereka tidak berdusta atas yang
disampaikannya merupakan benar-benar dari Rosulullah SAW.

2. Semuanya bersandar pada panca indra.

Persyaratan ini menjadikan hadits mutawatir mencapai derajat yang


tiggi karena transmisinya dilakukan dengan metode al-sama’. Dalam
pandangan ulama’ metode penyampaian hadits tersebut merupakan metode
yang terbaik dalam periwayatan hadits atau kegiatan tahammul wa al-ada’.
Metode menggunakan selain panca indera tidak dibenarkan, semisal
pemikiran manusia mengenai sesuatu

3. Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam thabaqoh pertama


dengan jumlah rawi-rawi dalam thobaqoh berikutnya.Oleh karena itu,
kalau suatu hadits diriwayatkan oleh sepuluh sahabat umpamanya,
kemudian diterima oleh lima orang tabi’in dan seterusnya hanya
diriwayatkan oleh dua orang tabi’it-tabi’in, bukan hadits mutawatir. Sebab
jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara thabaqoh pertama, kedua dan
ketiga.

2.3 Hadits Ahad

2.3.1 Pengertian Hadist Ahad

Kata ahad atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti satu, maka khobar ahad
atau khobar wahid berarti suatu berita yang disampaikan oleh orang satu. Adapun
yang dimaksud hadits ahad menurut istilah, banyak didefinisikan oleh para ulama’,
antara lain: Hadits ahad adalah khobar yang jumlah perowinya tidak sebanyak jumlah
perowi hadits mutawatir, baik perowi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya
yang memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak mencapai jumlah
perowi hadits mutawatir. Ada juga ulama’ yang mendefinisikan hadits ahad secara
singkat yaitu: hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir. Muhammad
Abu Zarhah mendefinisikan hadits ahad yaitu tiap-tiap khobar yang yang
diriwayatkan oleh satu,dua orang atau lebih yang diterima oleh Rosulullah dan tidak

5
memenuhi persyaratan hadits mutawatir. Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan hadits
ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau sejumlah orang tetapi
jumlahnya tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadits mutawatir. Keadaan perawi
seperti ini terjadi sejak perawi pertama sampai perawi terakhir.

2.3.2 Pembagian Hadits Ahad

Para muhadditsin membagi atau memberi nama-nama tertentu bagi hadits


ahad mengingat banyak sedikitnya rawi-rawi yang berada pada tiap-tiap thabaqot,
yaitu hadits masyhur, hadits aziz, hadits farad dan hadits ghorib.

a. Hadits Masyhur
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi atau lebih dan
tidak sampai pada batasan mutawatir. Ibnu Hajar mendefinisikan
hadits masyhur secara ringkas, yaitu hadits yang mempunyai jalan
terhingga, tetapi lebih dari dua jalan dan tidak sampai kepada batas
hadits mutawatir. Hadits ini dinamakan masyhur karena telah tersebar
luas dikalangan masyarakat. Ada ulama’ yang memasukkan seluruh
hadits yang popular dalam masyarakat, sekali pun tidak mempunyai
sanad, baik berstatus shohih atau dhi’if ke dalam hadits masyhur.
Ulama’ Hanafiah mengatakan bahwa hadits masyhur menghasilkan
ketenangan hati, kedekatan pada keyakinan dan kewajiban untuk
diamalkan, tetapi bagi yang menolaknya tidak dikatakan kafir. Hadits
masyhur ini ada yang berstatus sahih, hasan dan dhaif. Yang dimaksud
dengan hadits masyhur sahih adalah hadits masyhur yang telah
mencapai ketentuan-ketentuan hadist shahih baik pada sanad maupun
matannya.
b. Hadits Aziz
Dinamakan Aziz karena kelangkaan hadits ini. Sedangkan
pengertiannya adalah hadits yang jumlah perowinya tidak kurang dari
dua. Sebagai contoh ialah hadits “laa yu’minu ahadukum hatta akuna
ahabba ilaihu min waalidihi wawaladihi wannasi ajma’in”.
Diriwayatkan dari Anas oleh dua orang: Qotadah dan Abdul Aziz bin
Shuhaib. Dan dari Abdul Aziz kepada Isma’il bin Alayyah dan Abdul
Warits.

6
c. Hadits Ghorib
Adalah hadits yang diriwayatkan satu perowi saja. Hadits
Ghorib terbagi menjadi dua: yaitu ghorib mutlaq dan ghorib nisbi.
Ghorib mutlaq terjadi apabila penyendirian perawi hanya terdapat pada
satu thabaqat. Hadits ghorib nisbi terjadi apabila penyendiriannya
mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang perawi. Penyendirian
seorang rawi seperti ini bisa terjadi berkaitan dengan ketsiqahan rawi
atau mengenai tempat tinggal atau kota tertentu. Di banyak kitab-kitab
atau buku-buku yang membahas ilmu hadits dijelaskan bahwa tiga
jenis inilah pembagian daripada hadits ahad. Sebagian ulama’
mengatakan bahwa hadits fard merupakan jenis dari hadits ahad.
Namun beberapa lainnya menganggap antara hadits Fard dan Ghorib
sama. Yang membedakan hanya dari segi penyebutannya saja.
Beberapa ahli hadits mengatakan al-fard mendominasi (al-fard al-
mutlaq) sementara ghorib mendominasi (al-fard an-nisbi). Dalam
Minhatul Mughits karangan Hafidz Anas dijelaskan bahwa hadits
ghorib terbagi atas dua bagian, mutlak dan nisbi. Mutlak ialah
sendirinya hadits sahabat atau tabi’in. Nisbi ialah selain sahabat dan
tabi’in.

2.3.3 Hukum Hadits Ahad

Hukum hadits ahad, sebagaimana dikatakan oleh al-hafidz Ibnu Hajar menurut
Jumhur ulama ialah dapat diterima dalam artian tidak wajib mengamalkannya.
Adapun yang ditolak, yaitu hadits ahad yang tidak memiliki landasan kebenaran atas
pembahasan mengenai tingkah rawi selain yang pertama, yaitu mutawatir. Semua
mutawatir itu diterima karena dijaminnya kebenaran periwayatannya. Akan tetapi
sesungguhnya wajib mengamalkan sebab diterimanya apabila menemukan di
dalamnya sifat asal diterima, yaitu ditetapkannya kebenaran periwayat (adil dan
terpecaya). Atau asal penolakan yaitu ditetapkannya kebohongan periwayatan,
ataupun tidak (yaitu tidak sesuai dengan kriteria asal sifat diterimanya, tidak dengan
asal sifat penolakan. Maka hal ini mencakup dengan diterima dan ditolak seperti
jeleknya hafalan dan dianggap bodoh).

7
-Pertama (diterima) mencakup keyakinan kebenaran riwayat untuk
menetapkan kebenaran pengambilannya, maka boleh mengambilnya.

-Kedua (ditolak) meliputi keyakinan kebohongan cerita. Maka ditolak.

- Ketiga (ditolak/diterima) apabila menemukan alasan (sifat atau tingkah) yang


mencakup satu dari dua jenis kebenaran. Apabila tidak, maka hal ini terhenti. Ketika
terjadi penghentian pengamalan, hadits menjadi seperti ditolak. Bukan sebab
ditetapkannya sifat penolakan, tetapi karena tidak ditemukannya sifat wajib
diterimanya hadits tersebut.

2.4 Hadist Shahih

2.4.1 Pengertian Hadits Shahih

Kata shahih berdasarkan segi bahasa berarti orang sehat, yang dimaksud hadits
shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat. Menurut
istilah hadits shahih ialah hadits yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan
oleh orang yang adil dan dhabit (kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya,
selamat dari kejanggalan (syadzdz) dan cacat (‘illat).

1.4.2 Syarat-syarat Hadits Shahih

1. Persambungan sanad (at-tishalu as-nadi) Artinya setiap perawi dalam


sanad bertemu dan menerima periwayatan dari perawi sebalumnya baik
secara langsung atau hukum dari awal sampai akhirannya.

a. Pertemuan langsung (mubasyarah), seseorang bertatap muka


langsung dengan syaikh yang menyampaikan periwayatan. Maka ia
mendengar berita yang disampaikan atau melihat apa yang dilakukan.

b. Pertemuan secara hukum (hukmi), seseorang meriwayatkan


hadits dari seseorang yang hidup semasanya dengan ungkapan kata
yang mungkin mendengar atau mungkin melihat. Misalnya: ( ‫فالن قال‬
= (si fulan berkata: /dari si fulan/si fulan melakukan begini
Persambungan sanad dalam ungkapan kata ini masih secara hukum,
maka perlu penelitian lebih lanjut, sehingga dapat diketahui benar
apakah ia bertemu dengan syaikhnya atau tidak.

8
2. Keadilan para perawi (‘adalah ar-ruwah) Pengertian adil dalam bahasa
adalah seimbang atau meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dalam istilah
periwayatan orang adil. Adil adalah orang yang konsisten (istiqomah)
dalam beragama, baik akhlaknya, tidak fasik dan tidak melakukan cacat
muru’ah. Isiqomah dalam beragama artinya orang tersebut konstiten dalam
beragama, menjalankan segala perintah dan menjauhkan segala dosa yang
menyebabkan kefasikan. Fasik artinya tidak patuh beragama (al-khuruj‘an
at-tha’ah), mempermudah dosa besar atau melanggengkan dosa kecil
secara kontinu sedang menjaga muru’ah artinya menjaga kehormatan
seorang perawi, menjalankan segala adab dan akhlak yang terpuji dan
menjauhi sifat-sifat yang tercela menurut umum dan tradisi.

3. Para perawi bersifat dhabith (Dhabath ar-ruwah) Kata “dhabth” menurut


bahasa adalah yang kokoh, yang kuat, yang hafal dengan sempurna.
Seorang perawi dikatakan dhabith apabila perawi tersebut mempunyai
daya ingatan dengan sempurna terhadap hadits yang diriwayatkannya.
Yang dicakup oleh pengertian dhabith dalam periwayatannya disisni ada
dua kategori, yaitu dhabith fi alshadr dan dhabith fi al-kitab. Yang
dimaksud dengan dhabith fi al-shadr, ialah terpeliharanya periwayatan
dalam ingatan, sejak ia menerima hadits sampai meriwayatkannya pada
orang lain; sedang dhabith fi al-kitab, ialah terpeliharanya kebenaran suatu
periwayatan melalui tulisan.

4. Tidak Syadz (Janggal) Yang dimaksud dengan syadz atau syudzuz


(jama’ dari syadz) disini, adalah hadits yang bertentangan dengan hadits
lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah. Ini pengertian yang dipegang oleh
Al-Syafii dan diikuti oleh kebanyakan para ulama lainnya. Al-Hakim Al-
Naisaburi memasukkan hadits fard (hadits yang diriwayatkan oleh seorang
perawi yang tsiqqah, tetapi tidak ada perawi lain yang meriwayatkannya),
kedalam kelompok hadits syadz. Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama
ahli hadits.

5. Tidak ber-illat (ghairu mu ’allal) Kata ‘illat yang bentuk jamaknya ‘ilal
atau al-‘ilal, menurut bahasa berarti cacat, penyakit, keburukan dan
kesalahan baca. Dikatakan samar-samar (illat), karena jika dilihat dari segi

9
zahirnya, hadits tersebut terlihat shahih. Adanya kesamaran pada hadits
tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak shahih. Dengan
demikian, maka yang dimaksud hadits yang tidak berillat, ialah hadits-
hadits yang didalamnya tidak terdapat kesamaran atau keraguraguan.

2.5 Hadits Hasan

2.5.1 Pengertian Hadits Hasan

Hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih, yaitu hadits yang rangkaian
sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit, tidak terdapat
syadz dan ‘illah. Namun perbedaannya adalah kualitas hafalan perawi hadits hasan
tidak sekuat hadits shahih. Ulama hadits sebenarnya berbeda-beda dalam
mendefenisikan hadits hasan. Menurut Mahmud Thahhan, defenisi yang mendekati
kebenaran adalah defenisi yang dibuat Ibnu Hajar. Menurut beliau hadits hasan ialah:

“Hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi adil, namun kualitas
hafalannya tidak seperti hadits shahih, tidak terdapat syadz dan ‘illah.”

Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih tidak ada perbedaan, kecuali
hanya di bidang hafalannya. Pada hadits hasan, hafalan perawinya ada yang kurang
meskipun sedikit. Adapun untuk syarat-syarat lainnya, antara hadits hasan dengan
hadits shahih adalah sama.

2.5.2 Syarat Hadits Hasan

1. Sanadnya bersambung;
2. Perawinya adil;
3. Perawinya dhabit tetapi ke-dhabit-annya di bawah ke-dhabit-an hadits
shahih;
4. Tidak terdapat kejanggalan (syadz);
5. Tidak ada ‘ilat.
2.6 Hadits Dhaif

2.6.1 Pengertian Hadits Dhaif

Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih dan
hadits hasan. Dalam Mandzumah Bayquni disebutkan hadits hasan adalah:

10
“Setiap hadits yang kualitasnya lebih rendah dari hadits hasan adalah dhaif dan hadits
dhaif memiliki banyak ragam.”

2.6.2 Macam-Macam Hadits Dhaif

a. Dhaif dari segi bersambung sanadnya, yaitu:


1) Hadits mursal ialah hadits yang gugur sanadnya setelah tabiin.
2) Hadits munqati’ ialah hadits yang pada sanadnya terdapat seorang
perawi yang gugur atau pada sanad tersebut disebutkan nama
seseorang yang tidak dikenal namanya
3) Hadits mu’dal ialah hadits yang gugur dua orang sanadnya atau
lebih secara berturut-turut.
b. Dhaif dari segi sandarannya
1) Hadits mauquf ialah hadits yang disandarkan pada sahabat
2) Hadist maqtu’ ialah hadits yang diriwayatkan dari tabiin dan
disandarkan kepadanya baik perkataan maupun perbuatannya.
c. Dhaif dari segi-segi lainnya
1) Hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang
lemah (perawi yang dhaif) yang bertentangan dengan periwayatan
orang kepercayaan.
2) Hadits matruk ialah hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang
tertuduh dusta (terhadap hadits yang diriwayatkannya) atau nampak
kefasikannya, baik pada perbuatan atau pada perkataannya atau
orang yang banyak lupa atau banyak ragu.
3) Hadits syadz ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang
maqbul akan tetapi bertentangan matannya dengan periwayatan dari
orang yang kualitasnya lebih utama.
4) Hadits maqlub ialah hadits yang lafalnya tertukar pada salah
seseorang dari sanadnya atau nama seseorang sanadnya, kemudian
mendahulukan penyebutannya yang seharusnya disebut belakangan
atau membelakangkan penyebutan yang seharusnya didahulukan
atau dengan sesuatu pada tempat yang lain.

11
2.7 Hadits Marfu’

2.7.1 Pengertian Hadits Marfu’

Menurut bahasa Hadits Marfu’ merupakan isim maf’ul dari kata kerja fa’ala yang
merupakan lawan dari kata wadla’. Disebut seperti ini karena dinisbahkan kepada
pemilik kedudukan tinggi, yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan
menurut istilah Hadits Marfu’ adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun
sifatnya.

Hadis marfu’ sendiri memiliki banyak varian yang perlu diketahui oleh pembaca.
Pertama adalah marfu’ qauli (perkataan), marfu’ fi’li (perbuatan), marfu’ taqriri
(ketetapan), dan marfu’ washfi (sifat). Sedangkan jenisnya ada yang sharih dan ada
yang hukmi.

1. Marfu’ qauli adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi


Muhammad saw khusus untuk perkataan beliau.

Untuk lebih jelasnya, terdapat sebuah riwayat yang


bersumber dari sahabat Anas, beliau mengatakan:

‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬


‫ َال ُيْؤ ِم ُن َحُدُكْم َحَّتى ُكوَن‬:‫ َق اَل الَّنِبُّي صلى الله عليه وسلم‬: ‫َعْن َنٍس َق اَل‬
. ‫َأَحَّب ِإَلْيِه ِم ْن َو اِلِدِه َوَو َلِدِه َو الَّناِس َأْج َم ِع يَن‬

Dari Anas, Nabi saw bersabda: “Tidaklah beriman salah satu dari kalian
sampai aku lebih dicintai olehnya dari orang tuanya dan anaknya serta
semua orang.” (HR. Muslim)

2. Marfu’ fi’li adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi


Muhammad saw khusus untuk perbuatan beliau.

Terdapat sebuah hadis dari ‘Aisyah Ra yang menceritakan


kegiatan atau perbuatan Nabi ketika selesai salat subuh.

‫ َق اَلْت َكاَن الَّنِبُّي صلى الله عليه وسلم ِإَذا َص َّلى‬، ‫ َر ِض َي الَّلُه َعْنَه ا‬، ‫َعْن َعاِئَش َة‬
‫َأل‬ ‫َل‬ ‫َط‬ ‫ْل‬
‫َر ْكَعَتِي ا َف ْج ِر اْض َجَع َع ى ِش ِّق ِه ا ْيَم ِن‬

12
Dari ‘Aisyah Ra, ia berkisah: “Dahulu Nabi saw apabila telah usai
mengerjakan dua rakaat fajar (salat subuh), Nabi berbaring di atas
lambung kanannya (miring ke sebelah kanan).” (HR. Bukhari)

Hadis ini berbeda dengan contoh pada hadis pertama di mana


‘Aisyah menceritakan perbuatan Nabi Muhammad, bukan
perkataan beliau.

3. Marfu’ taqriri hadis yang disandarkan kepada Nabi


Muhammad saw khusus untuk ketetapan beliau.

Adapun contoh untuk hadis ini adalah kisah yang cukup


populer berkenaan dengan “pembiaraan” Nabi melihat
sahabatnya, Khalid bin Walid memakan binatang “dhab”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari.

4. Marfu’ washfi hadis yang disandarkan kepada Nabi


Muhammad saw khusus untuk sifat beliau, baik itu karakter
beliau atau fisik beliau.

Berkenaan dengan marfu’ washfi, terdapat sebuah riwayat


yang bersumber dari Bukhari dan Muslim, diriwayatkan dari
sahabat Anas.

‫ َو َال ِباْلَق ِص ير‬، ‫َكاَن َر ُس وُل اللِه صلى الله عليه وسلم َلْيَس ِبالَّطِو يِل اْلَباِئِن‬

“Rasulullah Saw tidaklah tinggi menjulang, dan tidak pula pendek..” (HR.
Al-Bukhari)

Hadis ini menceritakan tentang ciri-ciri fisik Rasulullah, itu


mengapa ia dikategorikan sebagai marfu’ washfi. Adapula beberapa
riwayat yang berkaitan dengan ciri-ciri akhlak Rasulullah saw, itu juga
termasuk ke dalam marfu’ washfi.

2.8 Hadits Mauquf


2.8.1 Pengertian Hadits Mauquf

13
Hadits Mauquf adalah hadits yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa
perkataan, perbuatan atau semacam itu, baik sanadnya itu bersambung ataupun
sanadnya itu terputus.
Contoh Hadits Mauquf yang Shahih Contoh berikut ini kita nukil hanya pada matan
dan Sahabat Nabi yang menyampaikannya. ‫ اِالْقِتَصاُد ِفى الُّس َّنِة َأْحَس ُن‬: ‫َعْن َعْبِد الَّلِه َقاَل‬
‫ ِمَن اِالْج ِتَهاِد ِفى اْلِبْدَعِة‬Dari Abdullah (bin Mas’ud) –semoga Allah meridhainya- ia
berkata: Sederhana dalam Sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam
kebid’ahan (riwayat al-Baihaqiy dalam as-Sunan al-Kubro, al-Hakim dalam al-
Mustadrak, dinyatakan shahih sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim oleh adz-
Dzahabiy.
2.9 Hadits Maqtu’
2.9.1 Pengertian Hadits Maqtu
Hadits Maqtu' adalah yang disandarkan kepada tabi’in dan tabi’ut tabi’i serta orang
yang sesudahnya, baik berupa perkataan, perbuatan.
Berikut ini adalah beberapa kutipan perkataannya yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dalam Muqoddimah Shahih Muslim: ‫َعْن ُمَح َّمِد ْبِن ِس يِريَن َقاَل ِإَّن َهَذا اْلِعْلَم ِديٌن‬
‫ْأ‬
‫َفاْنُظُر وا َعَّمْن َت ُخُذوَن ِديَنُكْم‬. dari Muhammad bin Sirin ia berkata: Sesungguhnya Ilmu
ini adalah Dien. Maka lihatlah kalian dari siapa kalian mengambil (ilmu) Dien kalian
(riwayat Muslim dalam Muqoddimah Shahih Muslim).

14
BAB III
PENUTUP

1.1 KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pembagian
hadits adalah suatu proses, cara atau perbuatan membagi hadits menjadi
beberapa bagian dengan tujuan memisahkan atau mengklasifikasikan suatu
hadits dengan hadits lain berdasarkan sanad, matan serta perawinya. Hadits
berdasarkan perawinya terdapat 8 jenis yakni mutawatir, ahad, shohih, hasan,
dhoif, marfu', mauquf dan maqti.

1.2 Saran
Semoga dengan dihadirkannya makalah tentang pembagian hadits
yang diambil lebih dari sepuluh buku referensi dapat memberikan wawasan
yang luas mengenai macam-macam hadits serta dapat memudahkan dalam
menyampaikan hadits tanpa ada keraguan. Saran penulis, penulis
mempersilahkan bagi yang ingin lebih menyempurnakan makalah ini secara
lebih rinci lagi.

15
DAFTAR PUSTAKA

Khon, Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadist. Jakarta: AMZAH

Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadits. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

https://bincangsyariah.com/khazanah/definisi-dan-pembagian-hadis-marfu/

https://islam.nu.or.id/post/read/83811/pembagian-hadits-ditinjau-dari-kualitasnya

16

You might also like