Hadits 1
Hadits 1
Hadits 1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Bab 1 Pendahuluan 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan 1
Bab II Pembahasan 2
A. Pengertian Hadits...…………………………………………………………....2
B. Hadits Mutawatir 2
i
C. Hadits Ahad 7
D. Hadits Shohih 8
E. Hadits Hasan 10
F. Hadits Dhoif 10
G. Hadits Marfu’ 12
H. Hadits Mauquf……..……………………………………………………..… 13
I. Hadits Maqti……………………………………..……………………….......14
A. Kesimpulan 15
B. Saran 15
Daftar Pustaka16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana yang kita ketahui bahwasanya hadits adalah bentuk ucapan atau
perintah Rasulullah yang didasarkan pada Al-Qur’an sebagai salah satu tuntunan
umat. Sebagai tuntunan umat maka siapa yang meriwayatkan hadits ini harus benar-
benar bisa menjadi tuntunan. Dalam skema ini dapat dipahami, bahwa hadits dilihat
dari segi rowi-nya terbagi menjadi delapan macam yaitu hadits Mutawatir, Ahad,
Shohih, Hasan, Dhaif, Marfu’, Mauquf, dan Maqti.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Secara etimologis Hadis atau al- hadits menurut bahasa adalah al- jadid yang
artinya (sesuatu yang baru) yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat
atau waktu yang singkat seperti (orang yang baru masuk/ memeluk islam).
Sedangkan secara istilah (terminologi), sebagian ahli mengakatan bahwa hadits
adalah Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau. Sementara para ulama ushul memberikan
pengertian hadis adalah: “Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya
yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya”.
Berdasarkan pengertian hadis menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadis
adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw. Baik ucapan, perbuatan
maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan
Allah yang disyari’atkan kepada manusia
2
2.2.2 Hukum Hadist Mutawatir
Para ahli ushul membagi hadits mutawatir kepada dua bagian. Yakni
mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi. Hadits mutawatir lafdzi adalah hadits yang
diriwayatkan oleh banyak periwayat (mutawatir) dari sisi lafalnya. Lafadz tersebut
antara satu dengan lainnya sama dengan hadits Nabi Muhammad SAW. Contoh
adalah hadits mengenai bacaan ta’awudz:
لقد قرأت على عبدالله بن مسعود فقلت أعوذ بالسميع العليم فقال قل اعوذ
بالله من الشيطان الرجيم قل فلقد قرأت على رسول الله صلعم فقلت أعوذ
بالسميع العليم فقال لى يا ابن ام عبد قل اعوذ بالله من الشيطان الرجيم هكذا
أقرأنيه جبريل عن القلم عن اللوح المحفوظ.
3
mengatakan bahwa hadits mutawatir terbagi menjadi tiga, yaitu dengan menambahkan
hadits amali sebagaimana penjelasan Sayyid Abdul majid al-Ghouri dalam kitabnya
“al-Muyassar fi ‘ulum al-Hadits”. Hadits mutawatir amali merupakan hadits yang
diambil oleh orang-orang, semisal dari satu bangsa ke bangsa lainnya, dan karenanya
tidak membedakan antara satu mukmin dengan mukmin lainnya seperti shalat lima
waktu, puasa bulan Ramadhan, haji dan lain-lain. Semua itu dilakukan berdasar
mutawatir amali dari nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti para sahabat hingga
sampailah pada era sekarang ini. Keseluruhannya tidak berbeda dalam pelaksanaan,
baik bangsa barat maupun bangsa timur. Dalam segi perawian hadits mutawatir, ada
sebuah contoh metode yang masih terus dilakukan oleh umat muslim hingga kini.
Metode itu biasa disebut dengan musalsal, yaitu meriwayatkan hadits nabi secara
mutawatir baik dari segi lafadz, makna dan pengamalannya. Sebagai contoh ialah
musalsal bi a’udzubillahi mina asy-syaithoni ar-rajim, musalsal bi al-fatihah, musalsal
bil buka’ dan musalsal bil musyabakah.
4
bertambah tidak berubah menjadi sedikit. Tidak adanya kesepakatan
mereka untuk berdusta. Oleh karena itu, isi atau teks hadits yang
diriwayatkan diantara mereka nyata atau tidak ada perbedaan satu dengan
yang lainnya. Atau dengan kata lain, mereka tidak berdusta atas yang
disampaikannya merupakan benar-benar dari Rosulullah SAW.
Kata ahad atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti satu, maka khobar ahad
atau khobar wahid berarti suatu berita yang disampaikan oleh orang satu. Adapun
yang dimaksud hadits ahad menurut istilah, banyak didefinisikan oleh para ulama’,
antara lain: Hadits ahad adalah khobar yang jumlah perowinya tidak sebanyak jumlah
perowi hadits mutawatir, baik perowi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya
yang memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak mencapai jumlah
perowi hadits mutawatir. Ada juga ulama’ yang mendefinisikan hadits ahad secara
singkat yaitu: hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir. Muhammad
Abu Zarhah mendefinisikan hadits ahad yaitu tiap-tiap khobar yang yang
diriwayatkan oleh satu,dua orang atau lebih yang diterima oleh Rosulullah dan tidak
5
memenuhi persyaratan hadits mutawatir. Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan hadits
ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau sejumlah orang tetapi
jumlahnya tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadits mutawatir. Keadaan perawi
seperti ini terjadi sejak perawi pertama sampai perawi terakhir.
a. Hadits Masyhur
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi atau lebih dan
tidak sampai pada batasan mutawatir. Ibnu Hajar mendefinisikan
hadits masyhur secara ringkas, yaitu hadits yang mempunyai jalan
terhingga, tetapi lebih dari dua jalan dan tidak sampai kepada batas
hadits mutawatir. Hadits ini dinamakan masyhur karena telah tersebar
luas dikalangan masyarakat. Ada ulama’ yang memasukkan seluruh
hadits yang popular dalam masyarakat, sekali pun tidak mempunyai
sanad, baik berstatus shohih atau dhi’if ke dalam hadits masyhur.
Ulama’ Hanafiah mengatakan bahwa hadits masyhur menghasilkan
ketenangan hati, kedekatan pada keyakinan dan kewajiban untuk
diamalkan, tetapi bagi yang menolaknya tidak dikatakan kafir. Hadits
masyhur ini ada yang berstatus sahih, hasan dan dhaif. Yang dimaksud
dengan hadits masyhur sahih adalah hadits masyhur yang telah
mencapai ketentuan-ketentuan hadist shahih baik pada sanad maupun
matannya.
b. Hadits Aziz
Dinamakan Aziz karena kelangkaan hadits ini. Sedangkan
pengertiannya adalah hadits yang jumlah perowinya tidak kurang dari
dua. Sebagai contoh ialah hadits “laa yu’minu ahadukum hatta akuna
ahabba ilaihu min waalidihi wawaladihi wannasi ajma’in”.
Diriwayatkan dari Anas oleh dua orang: Qotadah dan Abdul Aziz bin
Shuhaib. Dan dari Abdul Aziz kepada Isma’il bin Alayyah dan Abdul
Warits.
6
c. Hadits Ghorib
Adalah hadits yang diriwayatkan satu perowi saja. Hadits
Ghorib terbagi menjadi dua: yaitu ghorib mutlaq dan ghorib nisbi.
Ghorib mutlaq terjadi apabila penyendirian perawi hanya terdapat pada
satu thabaqat. Hadits ghorib nisbi terjadi apabila penyendiriannya
mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang perawi. Penyendirian
seorang rawi seperti ini bisa terjadi berkaitan dengan ketsiqahan rawi
atau mengenai tempat tinggal atau kota tertentu. Di banyak kitab-kitab
atau buku-buku yang membahas ilmu hadits dijelaskan bahwa tiga
jenis inilah pembagian daripada hadits ahad. Sebagian ulama’
mengatakan bahwa hadits fard merupakan jenis dari hadits ahad.
Namun beberapa lainnya menganggap antara hadits Fard dan Ghorib
sama. Yang membedakan hanya dari segi penyebutannya saja.
Beberapa ahli hadits mengatakan al-fard mendominasi (al-fard al-
mutlaq) sementara ghorib mendominasi (al-fard an-nisbi). Dalam
Minhatul Mughits karangan Hafidz Anas dijelaskan bahwa hadits
ghorib terbagi atas dua bagian, mutlak dan nisbi. Mutlak ialah
sendirinya hadits sahabat atau tabi’in. Nisbi ialah selain sahabat dan
tabi’in.
Hukum hadits ahad, sebagaimana dikatakan oleh al-hafidz Ibnu Hajar menurut
Jumhur ulama ialah dapat diterima dalam artian tidak wajib mengamalkannya.
Adapun yang ditolak, yaitu hadits ahad yang tidak memiliki landasan kebenaran atas
pembahasan mengenai tingkah rawi selain yang pertama, yaitu mutawatir. Semua
mutawatir itu diterima karena dijaminnya kebenaran periwayatannya. Akan tetapi
sesungguhnya wajib mengamalkan sebab diterimanya apabila menemukan di
dalamnya sifat asal diterima, yaitu ditetapkannya kebenaran periwayat (adil dan
terpecaya). Atau asal penolakan yaitu ditetapkannya kebohongan periwayatan,
ataupun tidak (yaitu tidak sesuai dengan kriteria asal sifat diterimanya, tidak dengan
asal sifat penolakan. Maka hal ini mencakup dengan diterima dan ditolak seperti
jeleknya hafalan dan dianggap bodoh).
7
-Pertama (diterima) mencakup keyakinan kebenaran riwayat untuk
menetapkan kebenaran pengambilannya, maka boleh mengambilnya.
Kata shahih berdasarkan segi bahasa berarti orang sehat, yang dimaksud hadits
shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat. Menurut
istilah hadits shahih ialah hadits yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan
oleh orang yang adil dan dhabit (kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya,
selamat dari kejanggalan (syadzdz) dan cacat (‘illat).
8
2. Keadilan para perawi (‘adalah ar-ruwah) Pengertian adil dalam bahasa
adalah seimbang atau meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dalam istilah
periwayatan orang adil. Adil adalah orang yang konsisten (istiqomah)
dalam beragama, baik akhlaknya, tidak fasik dan tidak melakukan cacat
muru’ah. Isiqomah dalam beragama artinya orang tersebut konstiten dalam
beragama, menjalankan segala perintah dan menjauhkan segala dosa yang
menyebabkan kefasikan. Fasik artinya tidak patuh beragama (al-khuruj‘an
at-tha’ah), mempermudah dosa besar atau melanggengkan dosa kecil
secara kontinu sedang menjaga muru’ah artinya menjaga kehormatan
seorang perawi, menjalankan segala adab dan akhlak yang terpuji dan
menjauhi sifat-sifat yang tercela menurut umum dan tradisi.
5. Tidak ber-illat (ghairu mu ’allal) Kata ‘illat yang bentuk jamaknya ‘ilal
atau al-‘ilal, menurut bahasa berarti cacat, penyakit, keburukan dan
kesalahan baca. Dikatakan samar-samar (illat), karena jika dilihat dari segi
9
zahirnya, hadits tersebut terlihat shahih. Adanya kesamaran pada hadits
tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak shahih. Dengan
demikian, maka yang dimaksud hadits yang tidak berillat, ialah hadits-
hadits yang didalamnya tidak terdapat kesamaran atau keraguraguan.
Hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih, yaitu hadits yang rangkaian
sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit, tidak terdapat
syadz dan ‘illah. Namun perbedaannya adalah kualitas hafalan perawi hadits hasan
tidak sekuat hadits shahih. Ulama hadits sebenarnya berbeda-beda dalam
mendefenisikan hadits hasan. Menurut Mahmud Thahhan, defenisi yang mendekati
kebenaran adalah defenisi yang dibuat Ibnu Hajar. Menurut beliau hadits hasan ialah:
“Hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi adil, namun kualitas
hafalannya tidak seperti hadits shahih, tidak terdapat syadz dan ‘illah.”
Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih tidak ada perbedaan, kecuali
hanya di bidang hafalannya. Pada hadits hasan, hafalan perawinya ada yang kurang
meskipun sedikit. Adapun untuk syarat-syarat lainnya, antara hadits hasan dengan
hadits shahih adalah sama.
1. Sanadnya bersambung;
2. Perawinya adil;
3. Perawinya dhabit tetapi ke-dhabit-annya di bawah ke-dhabit-an hadits
shahih;
4. Tidak terdapat kejanggalan (syadz);
5. Tidak ada ‘ilat.
2.6 Hadits Dhaif
Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih dan
hadits hasan. Dalam Mandzumah Bayquni disebutkan hadits hasan adalah:
10
“Setiap hadits yang kualitasnya lebih rendah dari hadits hasan adalah dhaif dan hadits
dhaif memiliki banyak ragam.”
11
2.7 Hadits Marfu’
Menurut bahasa Hadits Marfu’ merupakan isim maf’ul dari kata kerja fa’ala yang
merupakan lawan dari kata wadla’. Disebut seperti ini karena dinisbahkan kepada
pemilik kedudukan tinggi, yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan
menurut istilah Hadits Marfu’ adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun
sifatnya.
Hadis marfu’ sendiri memiliki banyak varian yang perlu diketahui oleh pembaca.
Pertama adalah marfu’ qauli (perkataan), marfu’ fi’li (perbuatan), marfu’ taqriri
(ketetapan), dan marfu’ washfi (sifat). Sedangkan jenisnya ada yang sharih dan ada
yang hukmi.
Dari Anas, Nabi saw bersabda: “Tidaklah beriman salah satu dari kalian
sampai aku lebih dicintai olehnya dari orang tuanya dan anaknya serta
semua orang.” (HR. Muslim)
َق اَلْت َكاَن الَّنِبُّي صلى الله عليه وسلم ِإَذا َص َّلى، َر ِض َي الَّلُه َعْنَه ا، َعْن َعاِئَش َة
َأل َل َط ْل
َر ْكَعَتِي ا َف ْج ِر اْض َجَع َع ى ِش ِّق ِه ا ْيَم ِن
12
Dari ‘Aisyah Ra, ia berkisah: “Dahulu Nabi saw apabila telah usai
mengerjakan dua rakaat fajar (salat subuh), Nabi berbaring di atas
lambung kanannya (miring ke sebelah kanan).” (HR. Bukhari)
َو َال ِباْلَق ِص ير، َكاَن َر ُس وُل اللِه صلى الله عليه وسلم َلْيَس ِبالَّطِو يِل اْلَباِئِن
“Rasulullah Saw tidaklah tinggi menjulang, dan tidak pula pendek..” (HR.
Al-Bukhari)
13
Hadits Mauquf adalah hadits yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa
perkataan, perbuatan atau semacam itu, baik sanadnya itu bersambung ataupun
sanadnya itu terputus.
Contoh Hadits Mauquf yang Shahih Contoh berikut ini kita nukil hanya pada matan
dan Sahabat Nabi yang menyampaikannya. اِالْقِتَصاُد ِفى الُّس َّنِة َأْحَس ُن: َعْن َعْبِد الَّلِه َقاَل
ِمَن اِالْج ِتَهاِد ِفى اْلِبْدَعِةDari Abdullah (bin Mas’ud) –semoga Allah meridhainya- ia
berkata: Sederhana dalam Sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam
kebid’ahan (riwayat al-Baihaqiy dalam as-Sunan al-Kubro, al-Hakim dalam al-
Mustadrak, dinyatakan shahih sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim oleh adz-
Dzahabiy.
2.9 Hadits Maqtu’
2.9.1 Pengertian Hadits Maqtu
Hadits Maqtu' adalah yang disandarkan kepada tabi’in dan tabi’ut tabi’i serta orang
yang sesudahnya, baik berupa perkataan, perbuatan.
Berikut ini adalah beberapa kutipan perkataannya yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dalam Muqoddimah Shahih Muslim: َعْن ُمَح َّمِد ْبِن ِس يِريَن َقاَل ِإَّن َهَذا اْلِعْلَم ِديٌن
ْأ
َفاْنُظُر وا َعَّمْن َت ُخُذوَن ِديَنُكْم. dari Muhammad bin Sirin ia berkata: Sesungguhnya Ilmu
ini adalah Dien. Maka lihatlah kalian dari siapa kalian mengambil (ilmu) Dien kalian
(riwayat Muslim dalam Muqoddimah Shahih Muslim).
14
BAB III
PENUTUP
1.1 KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pembagian
hadits adalah suatu proses, cara atau perbuatan membagi hadits menjadi
beberapa bagian dengan tujuan memisahkan atau mengklasifikasikan suatu
hadits dengan hadits lain berdasarkan sanad, matan serta perawinya. Hadits
berdasarkan perawinya terdapat 8 jenis yakni mutawatir, ahad, shohih, hasan,
dhoif, marfu', mauquf dan maqti.
1.2 Saran
Semoga dengan dihadirkannya makalah tentang pembagian hadits
yang diambil lebih dari sepuluh buku referensi dapat memberikan wawasan
yang luas mengenai macam-macam hadits serta dapat memudahkan dalam
menyampaikan hadits tanpa ada keraguan. Saran penulis, penulis
mempersilahkan bagi yang ingin lebih menyempurnakan makalah ini secara
lebih rinci lagi.
15
DAFTAR PUSTAKA
https://bincangsyariah.com/khazanah/definisi-dan-pembagian-hadis-marfu/
https://islam.nu.or.id/post/read/83811/pembagian-hadits-ditinjau-dari-kualitasnya
16