17 Fahmi Khumaeni 680-692 Okk

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 13

Vol. 8, No.

2, Juli 2022
P-ISSN: 2085-2487; E-ISSN: 2614-3275
DOI: 10.31943/jurnalrisalah.v8i2.243

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KURIKULUM


PENDIDIKAN ISLAM: KURIKULUM DAN PENDEKATAN
HUMANISTIK DI ERA DIGITAL
Fahmi Khumaini
Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri Indonesia
E-mail: [email protected]

Farida Isroani
Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri Indonesia
E-mail: [email protected]

Roudlotun Ni’mah
Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri Indonesia
E-mail: [email protected]

Ifa Khoiria Ningrum


Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri Indonesia
E-mail: [email protected]

Hamam Thohari
Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri Indonesia
E-mail: [email protected]

Received Revised Accepted


4 Juni 2022 1 Juli 2022 15 Juli 2022

WISDOM OF CURRICULUM DEVELOPMENT OF ISLAMIC EDUCATION:


CURRICULUM AND HUMANISTIC APPROACH IN DIGITAL ERA

Abstract
This research aims to analyze the wisdom development of curriculum in Islamic education
based on humanistic and curriculum approach at digital era. This study was library research.
The purpose of Islamic education if examined critically is to seek to create happiness in the
world and in the hereafter, serve the needs of Muslims, maintain the integrity of Muslims
and instill morality and so on. It is clear that the formulation of the objectives of Islamic
education is still general and not in context with the realities of society and the development
of the times. In the current era of globalization, the purpose of education must be held in a
re-orientation. Clarifying this orientation does not mean eliminating the spirit of the goals of
Islamic education which had originally been idealized. For this reason, educational goals and
curriculum must be directed into a unified whole to achieve the idealized goals. An

Risâlah, Jurnal Pendidikan dan Studi Islam


https://jurnal.faiunwir.ac.id/index.php/Jurnal_Risalah 680
Fahmi Khumaeni, Farida Isroani, Roudlotun Ni’mah, Ifa Khoiria Ningrum, Hamam Thohari
Kebijakan Pengembangan Kurikulum......

important part of the curriculum system is planning, organization, implementation,


monitoring and evaluation.
Keyword: curriculum, humanistic approach, and digital age.

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengembangan kebijakan kurikulum
pendidikan Islam berdasarkan pendekatan kurikulum dan humanistik yang terjadi pada era
digital sekarang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis studi
pustaka. Hasil penelitian menunjukan bahwa tujuan pendidikan Islam jika ditelaah secara
kritis adalah berusaha untuk menciptakan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, melayani
kebutuhan umat Islam, menjaga keutuhan umat Islam dan menanamkan moralitas dan
sebagainya. Jelas bahwa rumusan tujuan pendidikan Islam masih bersifat umum dan tidak
sesuai dengan realitas masyarakat dan perkembangan zaman. Di era globalisasi saat ini,
tujuan pendidikan harus direorientasi. Memperjelas orientasi ini tidak berarti
menghilangkan semangat tujuan pendidikan Islam yang semula diidealkan. Untuk itu,
tujuan pendidikan dan kurikulum harus diarahkan menjadi satu kesatuan yang utuh untuk
mencapai tujuan yang dicita-citakan. Bagian penting dari sistem kurikulum adalah
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi.
Kata Kunci : Kurikulum, Pendekatan Humanistik, dan Era Digital.

Pendahuluan
Tujuan pendidikan Islam kalau dicermati secara kritis lebih berupaya
menciptakan kebahagiaan didunia dan di akhirat, melayani kebutuhan umat Islam,
menjaga keutuhan umat Islam dan menanamkan akhlaq dan sebagainya. Hal ini
tampak jelas bahwa rumusan tujuan pendidikan Islam masih bersifat umum dan
tidak konteks dengan realitas masyarakat dan perkembangan zaman. Dalam era
globalisasi sekarang tujuan pendidikan harus diadakan sebuah re-orientasi.
Memperjelas orientasi ini bukan berarti menghilangkan semangat tujuan pendidikan
Islam yang semula telah diidealkan. Untuk hal tersebut tujuan pendidikan dan
kurikulum harus diarahkan menjadi satu kesatuan yang utuh untuk mencapai tujuan
yang di idelakan.1 Bagian penting dari sistem kurikulum yaitu perencanaan,
organisasi, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Ini merupakan satu kesatuan
konsep yang saling terkait guna membentuk suatu model kurikulum yang ideal,
sesuai dengan kebutuhan pendidikan dan perkembangan masyarakat.
Setiap kegiatan pengembangan kurikulum hendaknya menggunakan
landasan yang kuat sehingga akan melahirkan kurikulum yang sesuai dengan
kebutuhan. Yang dimaksud dengan landasan kurikulum di sini adalah bidang-
bidang yang dapat dijadikan dasar pokok keputusan tentang kurikulum karena
berdasarkan landasan-landasan tersebut dapat dijawab pertanyaan-pertanyaan
mendasar seperti: bagaimanakah tujuan hidup manusia, hal-hal apakah yang harus
diajakan kepada generasi muda agar dapat membimbing mereka ke kehidupan yang
baik, seberapa jauh peranan dan tanggung jawab sekolah dalam hal ini, relevansi
pendidikan terhadap kebutuhan dan struktur masyarakat, peranan teknologi dan
struktur keluarga terhadap praktek kependidikan di sekolah, pemenuhan kebutuhan

1
Imam Machali, Mustofa (ed), Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi (Yogyakarta: Presma
Fak. Tarbiyah, 2004), hlm. 155.

Risâlah, Jurnal Pendidikan dan Studi Islam 681 Vol. 8, No. 2, Juli 2022
https://jurnal.faiunwir.ac.id/index.php/Jurnal_ P-ISSN: 2085-2487; E-ISSN: 2614-3275
Risalah
Fahmi Khumaeni, Farida Isroani, Roudlotun Ni’mah, Ifa Khoiria Ningrum, Hamam Thohari
Kebijakan Pengembangan Kurikulum......

dasar manusia lewat jalur pendidikan, relevansi struktur kurikulum dengan tahap-
tahap perkembangan kedewasaan anak didik, dan masih banyak lagi pertanyaan
yang relevan. Melalui kajian terhadap bidang-bidang yang menjadi landasan
pengembangan kurikulum ini, hal-hal yang bersifat normatif dan ideal yang menjadi
tumpuan tujuan penyelenggaraan pendidikan dapat dianalisis, dan ini sangat
bermanfaat untuk mencegah agar program pendidikan yang lahir tidak mudah
goyah dan berubah-ubah karena rapuhnya fondasi yang mendasarinya.2
Tulisan ini akan membahas tentang kebijakan pengembangan kurikulum
pendidikan Islam secara filosofis dari aspek epistemologi3 kurikulum, yakni aspek
landasan dan pengembangan kurikulum berbasis Humanistik. 4 Secara garis besar
teori humanistik ini adalah sebuah teori belajar yang mengutamakan pada proses
belajar bukan pada hasil belajar. Teori ini mengemban konsep untuk memanusiakan
manusia sehingga manusia (siswa) mampu memahami diri dan lingkungannya. Di
era digital yang mana jika tidak disikapi dengan arif, maka manusia akan tercerabut
dari nilai-nilai kemanusiaanya, seperti kurangnya kesadaran terhadap lingkungan
sosialnya dan lupa akan eksistensinya sebagai manusia dan makhluk sosial, hal ini
yang melatar belakangi mengapa tema ini di angkat oleh penulis.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis studi pustaka.
Penelitian ini akan mencoba menelusuri sesuatu yang berkaitan dengan kebijakan
pengembangan kurikulum Pendidikan Islam dalam perspektif kurikulum dan
pendekatan humanistik yang terjadi di era digital saat ini. Sumber data dalam
penelitian ini adalah buku-buku, jurnal-jurnal, dan hasil penelitian lain yang relevan
yang berkaitan dengan judul.

2
Sukamto, Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Teknologi dan Kejuruan,
(Jakarta; Proyek Pengembangan LPTK, Dirjen Dikti Depdikbud, 1988), hlm. 13.
3
Yang dimaksud dengan aspek epistemologis adalah uraian bagaimana kurikulum tersebut dibentuk,
serta bagaimana tahap dan model mengembangkan kurikulum pendidikan Islam yang ideal dan sesuai dengan
perkembangan zaman.
4
Dalam kamus ilmiah popular awal kata humanistik, human berarti mengenai manusia atau cara
manusia. Humane berarti berperikemanusiaan. Humaniora berarti pengetahuan yang mencakup filsafat, kajian
moral, seni, sejarah, dan bahasa. Humanis, penganut ajaran dan humanisme yaitu suatu doktrin yang menekan
kepentingan-kepentingan keamusiaan dan ideal (humanisme pada zaman renaisans didasarkan atas peradaban
Yunani Purba, sedangkan humanisme modern menekankan manusia secara ekslusif). Jadi humanistik adalah
rasa kemanusiaan atau yang berhubungan dengan kemansuiaan. Lihat Henryk Misiak dan Virgini Staudt
Sexton, Psikologi Fenomenologi, Eksistensial, dan Humanistik, (Bandung: PT Refika Aditama, 2005),
hlm.125. Telah disadari bahwa sains dan teknologi lahir dan berkembang melalui pendidikan, maka salah satu
terapi terhadap berbagai masalah di atas bisa didekati melalui pendidikan. Oleh karenanya, tulisan-tulisan
yang mengedepankan paradigma pendidikan yang berwawasan kemanusiaan (humanistik) menjadi sangat
penting dan diperlukan. Manusia merupakan makhluk yang multidimensional. Bukan saja karena manusia
sebagai subjek yang secara teologis memiliki potensi untuk mengembangkan pola kehidupannya, tetapi
sekaligus sebagai objek dalam keseluruhan macam dan bentuk aktifitas dan kreativitasnya. Lihat Baharuddin
dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik, Konsep, Teori, dan Aplikasi dalam Dunia Pendidikan,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), hlm. 11.

Risâlah, Jurnal Pendidikan dan Studi Islam 682 Vol. 8, No. 2, Juli 2022
https://jurnal.faiunwir.ac.id/index.php/Jurnal_ P-ISSN: 2085-2487; E-ISSN: 2614-3275
Risalah
Fahmi Khumaeni, Farida Isroani, Roudlotun Ni’mah, Ifa Khoiria Ningrum, Hamam Thohari
Kebijakan Pengembangan Kurikulum......

Hasil dan Pembahasan


Telaah Epistemologis: Landasan Pengembangan Kurikulum
Ada beberapa landasan yang mesti diperhatikan dalam mengembangkan
kurikulum pendidikan. James A. Beane, et al. menyebutkan adanya tiga fondasi atau
landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu landasan filsafat, sosiologi, dan
psikologi.5 Ada tiga landasan, yaitu landasan filosofis, landasan sosial buadaya dan
landasan psikologis6. Nana Syaodih Sukmadinata menyebutkan ada empat landasan,
yaitu tiga seperti yang dikemukakan oleh Nana Sudjana dan yang satunya lagi adalah
perkembangan ilmu dan teknologi.7 S. Nasution menambahkan satu lagi yaitu
landasan organisatoris.8 Sementara itu, As-Syaibany juga menambahkan satu
landasan yaitu landasan agama.9
Landasan filosofis dimaksudkan, pentingnya filsafat dalam mengembangkan
kurikulum lembaga pendidikan.10 Pendidikan berintikan interaksi antar manusia,
terutama antara pendidik dan peseta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dalam interaksi tersebut banyak persoalan-persoalan yang bersifat mendasar, seperti
apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapa pendidik dan peseta didik, apa isi
pendidikan dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, yang
pertanyaan-pertanyaan tersebut membutuhkan jawaban yang mendasar, yang
esensial yaitu jawaban-jawaban filosofis.
Istilah filsafat berasal dari kata-kata philein yang berarti cinta atau suka sekali
akan sesuatu. Kata shopia berarti kebajikan atau kebijaksanaan. Dengan demikian
jelas bahwa orang yang mempelajari filsafat diharapkan akan menjadi orang
bijaksana dalam tingkah laku dan perbuataannya.11 Orang belajar berfilsafat agar ia
menjadi orang yang mengerti dan berbuat secara bijak. Untuk dapat mengerti
kebijakan dan berbuat secara bijak, ia harus tahu atau berpengetahuan. Pengetahuan
tersebut diperoleh melalui proses berpikir, yaitu berpikir secara sistematis, logis, dan
mendalam. Pemikiran demikian dalam filsafat sering disebut sebagai pemikiran
radikal, atau berpikir sampai ke akar-akarnya (radic berarti akar).12 Berfilsafat
diartikan pula berpikir secara radikal, berpikir sampai ke akar. Dalam hal ini Imam
Barnadib menyatakan:
Filsafat adalah ilmu yang menjadikan segala sesuatu sebagai objek
materi, dan hakikat sebagai objek formal atau sudut pandang terhadap
objeknya. Jadi, bila dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang lain, terdapat
kesamaan pada objek materi. Namun pada ilmu-ilmu yang lain, objek
tersebut hanya dapat diambil secara terbatas, sedangkan pada ilmu filsafat,

5
James A. Beane, et al., Curriculum Planning and Development, (New York: Macmillan Company,
1944), hlm. 73.
6
Ibid.
7
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1997), hlm. 58.
8
S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Edisi Kedua, Cet. Kelima, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm.
14.
9
Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Terjemah: Hasan
Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 523.
10
Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, hlm.. 10.
11
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2002), hlm..
12
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum…, hlm. 39.

Risâlah, Jurnal Pendidikan dan Studi Islam 683 Vol. 8, No. 2, Juli 2022
https://jurnal.faiunwir.ac.id/index.php/Jurnal_ P-ISSN: 2085-2487; E-ISSN: 2614-3275
Risalah
Fahmi Khumaeni, Farida Isroani, Roudlotun Ni’mah, Ifa Khoiria Ningrum, Hamam Thohari
Kebijakan Pengembangan Kurikulum......

semua objek diambil sebagai keseluruhan. Sebagai penjelasan, berikut ini


dikemukakan beberapa contoh. Dalam ilmu psikologi yang menjadi objek
materi adalah gejala-gejala kejiwaan yang ada pada manusia. Sedangkan pada
filsafat, bila yang diambil sebagai objek adalah manusia maka yang menjadi
ruang lingkup telaahnya ialah manusia sebagai keseluruhan. Metode yang
digunakan pada keduanya juga berbeda. Pada psikologi, metode yang
digunakan bervariasi, misalnya deskripsi dan eksperimen yang pada asasnya
bersifat empirik atau berdasar pengalaman. Namun, pada filsafat yang
menonjol adalah perenungan terhadap objeknya, yang pada asasnya dapat
bersifat tanpa bersendikan pada pengalaman (apriori) atau bersendikan atas
pengalaman (aposteriori).13
Dari kutipan di atas dapat dipahami filsafat berbeda dengan cabang
pengetahuan lainnya (ilmu pengetahuan), meskipun ada persamaannya.
Perbedaannya adalah filsafat berupaya untuk menggambarkan dan menyatakan
suatu pandangan secara komprehensif tentang alam semesta dan kedudukan
manusia di dalamnya. Dapat dikatakan bahwa filsafat merupakan cara berpikir yang
radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-
dalamnya Berfilsafat berarti menangkap sinopsis peristiwa-peristiwa yang simpang
siur dalam pengalaman manusia. Sementara suatu cabang ilmu pengetahuan
mengkaji satu bidang pengetahuan manusia yang daerah cakupannya terbatas. Ilmu
pengetahuan berkenaan dengan fakta-fakta sebagaimana adanya (Das Sein),
berusaha melihat segala sesuatu secara objektif, menghilangkan hal-hal yang bersifat
subjektif. Filsafat melihat segala sesuatu dari sudut bagaimana seharusnya (Das
Sollen), faktor-faktor subjektif dalam filsafat sangat berpengaruh. Namun demikian
antara filsafat dan ilmu pengetahuan mempunyai hubungan yang saling mengisi dan
melengkapi (komplementer). Filsafat memberikan landasan-landasan dasar bagi
ilmu pengetahuan. Sementara ilmu pengetahuan dapat memberikan bahan-bahan
untuk perenungan filsafat. Keduanya dapat memberikan bahan-bahan bagi manusia
untuk membantu memecahkan berbagai masalah dalam kehidupannya.
Filsafat, sebagai pengetahuan yang mengadakan tinjauan dan mempelajari
obyeknya dari sudut hakekat ini, berhadapan dengan beberapa problema utama,
yaitu: 1) Realita, ialah mengenai kenyataan, yang selanjutnya menjurus kepada
masalah kebenaran. Kebenaran akan timbul bila orang telah dapat menarik
kesimpulan bahwa pengetahuan yang dimiliki ini telah nyata. Realita atau kenyataan
ini dipelajari oleh metafisika. 2) Pengetahuan, yang berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara manusia memperoleh dan
menangkap pengetahuan itu, dan jenis-jenis pengetahuan. Pengetahuan dipelajari
oleh epistemologi. Dan 3) Nilai, yang dipelajari oleh cabang filsafat yang disebut
aksiologi. Pertanyaan-pertanyaan yang dicari jawabnya antara lain adalah seperti:
nilai-nilai yang bagaimanakah yang dikehendaki oleh manusia dan yang dapat
digunakan sebagai dasar hidupnya.14

13
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, hlm. 3.
14
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode, Cet. Kesembilan, (Yogyakarta: Andi
Offset, 1997), hlm. 20.

Risâlah, Jurnal Pendidikan dan Studi Islam 684 Vol. 8, No. 2, Juli 2022
https://jurnal.faiunwir.ac.id/index.php/Jurnal_ P-ISSN: 2085-2487; E-ISSN: 2614-3275
Risalah
Fahmi Khumaeni, Farida Isroani, Roudlotun Ni’mah, Ifa Khoiria Ningrum, Hamam Thohari
Kebijakan Pengembangan Kurikulum......

John S. Brubacher sebagaimana dikutip oleh Imam Barnadib, menunjukkan


bahwa filsafat dan pendidikan itu mempunyai hubungan yang erat satu sama lain
karena problema-problema tersebut berada dalam lingkungan dua disiplin ini.
Oleh karena itu, dalam proses pengembangan kurikulum lembaga pendidikan,
hendaknya mempertimbangkan hasil-hasil yang dicapai oleh cabang-cabang di atas
sesuai dengan jenis atau aliran filsafat yang dianut. Metafisika akan memberikan
pandangan mengenai dunia yang bagaimanakah yang diperlukan. Epistemologi
akan memberikan gambaran mengenai hakekat pengetahuan dan bagaimana cara
memperolehnya. Hal ini sangat diperlukan dalam hubungan dengan penyusunan
dasar-dasar kurikulum. Kurikulum yang lazimnya diartikan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan pendidikan, dapat diumpamakan sebagai jalan raya yang perlu
dilewati oleh peserta didik dalam usahanya untuk mengenal dan memahami
pengetahuan. Agar mereka berhasil dalam mencapai tujuan ini perlu mengenal
hakekat pengetahuan dan bagaimana cara memperolehnya. Sedangkan Aksiologi
sebagai cabang filsafat yang mempelajari nilai-nilai sangat penting dalam penentuan
tujuan-tujuan pendidikan.
a. Landasan Psikologis
Landasan psikologis dalam pengembangan kurikulum yang dimaksudkan
adalah faktor-faktor psikologis yang harus dijadikan dasar pertimbangan dalam
pengembangan kurikulum.15 Kurikulum sebagai program pendidikan secara umum
terdiri dari empat unsur, yaitu tujuan, materi atau bahan pelajaran, strategi
pembelajaran, dan penilaian. Menurut Nana Syaodih Sukmadinata, landasan
psikologis ini sangat diperlukan dalam merumuskan semua unsur kurikulum di atas,
baik perumusan tujuan, materi, strategi pembelajaran maupun teknik-teknik
penilaiannya.16 Menurut S. Nasution, landasan psikologis ini dalam pengembangan
kurikulum sangat diperlukan, terutama dalam: 1) seleksi dan organisasi bahan
pelajaran, 2) menentukan kegiatan belajar yang paling serasi, dan 3) merencanakan
kondisi belajar yang optimal agar tujuan belajar tercapai.17
Menurut kedua pendapat di atas, dapatlah disimpulkan bahwa landasan
psikologis ini dalam pengembangan kurikulum dapat memberikan acuan dalam
merumuskan keempat unsur kurikulum, akan tetapi dari keempat unusr tersebut
yang paling pokok adalah dalam kaitannya dengan pemilihan dan penentuan bahan
atau materi pelajaran dan strategi pembelajaran. Pemilihan dan penentuan materi
pelajaran haruslah disesuaikan dengan tarap perkembangan peserta didik sehingga
akan fungsional dalam upaya membantu perkembangan dirinya. Demikian pula,
agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan efektif harusnya disesuai dengan
taraf perkembangan mereka. Oleh karena itu, menurut Nana Sudjana, setidaknya
ada dua cabang psikologi yang sangat penting sebagai landasan dalam
pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar.18

15
Suharsimi Arikunto, dkk., Manajemen Kurikulum, (Yogyakarta: Jurusan Administrasi Pendidikan
FIP UNY, 2000), hlm. 48.
16
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum…, hlm.. 46.
17
S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, hlm. 57.
18
Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, hlm.14.

Risâlah, Jurnal Pendidikan dan Studi Islam 685 Vol. 8, No. 2, Juli 2022
https://jurnal.faiunwir.ac.id/index.php/Jurnal_ P-ISSN: 2085-2487; E-ISSN: 2614-3275
Risalah
Fahmi Khumaeni, Farida Isroani, Roudlotun Ni’mah, Ifa Khoiria Ningrum, Hamam Thohari
Kebijakan Pengembangan Kurikulum......

Psikologi perkembangan membahas perkembangan individu sejak masa


konsepsi, yaitu masa pertemuan spermatozoid dengan sel telur sampai dengan
dewasa. Psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam menetapkan isi
kurikulum yang diberikan kepada peserta didik agar tingkat keluasan dan
kedalaman bahan pelajaran sesuai dengan taraf perkembangan mereka. Adanya
jenjang atau tingkat pendidikan dalam sistem persekolahan merupakan satu bukti
bahwa psikologi perkembangan menjadi landasan dalam pendidikan, khususnya
kurikulum. Para ahli psikologi perkembangan mencoba membagi tahap-tahap
perkembangan anak dari sudut yang beragam. Namun pada prinsipnya semua itu
akan sangat membantu dalam proses pendidikan termasuk dalam pengembangan
kurikulumnya.
Psikologi belajar pada prinsipnya adalah suatu cabang psikologi yang
mengkaji tentang bagaimana individu itu belajar. Dengan diketahuinya secara betul
bagaimana proses belajar itu berlangsung, dalam keadaan yang bagaimana belajar
itu memberikan hasil yang sebaik-baiknya, maka kurikulum dapat direncanakan dan
dilaksanakan dengan cara yang seefektif-efektifnya. 19
Apabila psikologi perkembangan bermanfaat bagi penyusunan isi kurikulum
agar sesuai dengan taraf perkembangan anak, maka psikologi belajar memberikan
sumbangan terhadap kurikulum dalam hal bagaimana kurikulum itu diberikan
kepada peserta didik dan bagaimana pula peserta didik harus mempelajarinya. Ini
berarti, sumbangan psikologi belajar terhadap, kurikulum berkenaan dengan
pelaksanaan kurikulum di sekolah, yakni melalui strategi belajar mengajar. Psikologi
belajar berkenaan proses perubahan tingkah laku manusia itu terjadi. Hal ini
diperlukan dalam pendidikan terutama bagi guru dalam melaksanakan
pembelajaran, sebab proses belajar mengajar atau pembelajaran pada hakikatnya
mengubah tingkah laku baru para peserta didik.
b. Landasan Sosial Budaya
Yang dimaksud dengan landasan sosial budaya adalah pentingnya aspek-
aspek sosial dan budaya yang berkembang di masyarakat dijadikan acuan dalam
pengembangan kurikulum. Hal ini berangkat dari satu premis bahwa pendidikan
lahir dari, oleh, dan untuk masyarakat dan budaya. Di sini ada hubungan timbal
balik yang harmonis antara pendidikan, masyarakat dan budaya.
Menurut Nana Syaodih Sukmadinata, ada tiga sifat penting pendidikan dalam
hubungannya dengan masyarakat. Pertama, pendidikan mengandung nilai dan
memberikan pertimbangan nilai. Hal itu disebabkan karena pendidikan diarahkan
pada pengembangan pribadi anak agar sesuai dengan nilai-nilai yang ada dan
diharapkan masyarakat. Karena tujuan pendidikan mengandung nilai, maka isi
pendidikan harus memuat nilai. Proses pendidikannya juga harus bersifat membina
dan mengembangkan nilai. Kedua, pendidikan diarahkan pada kehidupan dalam
masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan, tetapi menyiapkan anak
untuk kehidupan dalam masyarakat. Generasi muda perlu mengenal dan memahami
apa yang ada dalam masyarakat, memiliki kecakapan-kecakapan untuk dapat
berpartisipasi dalam masyarakat. Ketiga, pelaksanaan pendidikan dipengaruhi dan

19
S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, hlm. 13.

Risâlah, Jurnal Pendidikan dan Studi Islam 686 Vol. 8, No. 2, Juli 2022
https://jurnal.faiunwir.ac.id/index.php/Jurnal_ P-ISSN: 2085-2487; E-ISSN: 2614-3275
Risalah
Fahmi Khumaeni, Farida Isroani, Roudlotun Ni’mah, Ifa Khoiria Ningrum, Hamam Thohari
Kebijakan Pengembangan Kurikulum......

didukung oleh lingkungan masyarakat tempat pendidikan itu berlangsung.


Kehidupan masyarakat berpengaruh terhadap proses pendidikan, karena pendidikan
sangat melekat dengan kehidupan masyarakat. Proses pendidikan merupakan
bagian dari proses kehidupan masyarakat. Pelaksanaan pendidikan membutuhkan
dukungan dari lingkungan masyarakat, penyediaan fasilitas, personalia, sistem sosial
budaya, politik, keamanan, dan lain-lain.20
Sementara itu keterkaitan antara pendidikan dengan budaya dapat dijelaskan
sebagai berikut. Pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan. Dalam arti yang
lebih mendasar, pendidikan merupakan suatu proses kebudayaan. Ia lahir dari
budaya dan dilaksanakan dalam rangka proses pembudayaan. Pendidikan adalah
proses sosialisasi melalui interaksi insani menuju manusia yang berbudaya. Dalam
konteks itulah anak didik dihadapkan dengan budaya manusia, dibina dan
dikembangkan sesuai dengan nilai budayanya, serta dipupuk kemampuan dirinya
menjadi manusia berbudaya.21
Kondisi sosial budaya dalam masyarakat dengan segala aspek yang ada di
dalamnya selalu berubah dan berkembang terutama akibat adanya perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang juga merupakan hasil budaya manusia. Oleh
karena itu, pendidikan harus mengantisipasi tuntutan perkembangan tersebut
sehingga mampu menyiapkan anak didik untuk dapat hidup wajar sesuai dengan
kondisi sosial budaya masyarakat. Dalam kontek inilah kurikulum sebagai program
pendidikan harus dapat menjawab tantangan/ tuntutan tersebut, bukan hanya dari
segi isi programnya, tetapi juga pendekatan dan strategi pelaksanaannya.
Isi pendidikan (kurikulum) adalah kebudayaan manusia yang senantiasa
berkembang. Baik kebudayaan universal seperti bahasa, sistem pengetahuan,
agama/sistem religi, sistem mata pencaharian/teknologi, organisasi sosial, kesenian
maupun kebudayaan khusus yang sesuai dengan masyarakat setempat. Kebudayaan
universal terutama bahasa, religi, dan sistem pengetahuan serta teknologi, adalah
unsur-unsur utama isi kurikulum secara universal. Sedangkan unsur kebudayaan
khusus masuk sebagai isi kurikulum dalam bentuk kurikulum muatan lokal.
c. Landasan Agama
Landasan agama ini muncul terutama dari pemikir pendidikan Islam, yang
umumnya mempunyai pendirian bahwa segala sistem yang ada dalam masyarakat,
termasuk sistem pendidikan harus meletakkan dasar falsafah, tujuan, dan
kurikulumnya pada ajaran agama (baca Islam). Dalam Islam, sumber ajaran agama
yang pokok adalah Al-Quran dan As-Sunnah, dan sumber lainnya adalah ijtihad.
Dari sumber-sumber inilah aspek-apsek atau unsur-unsur pendidikan
dikembangkan, seperti prumusan tujuan pendidikan, materi, dan strategi
22
pelaksanaannya.
Dasar berpikir bagi landasan agama ini adalah seperti dalam landasan filsafat,
bahwa dalam kegiatan pendidikan akan muncul persoalan-persoan yang sangat
mendasar seperti ke arah mana pendidikan harus diarahkan, siapakah peserta didik
itu, siapakah pendidik itu, apa yang harus dididikkan ke peserta didik, dan

20
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum…, hlm. 58-59.
21
Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, hlm.12.
22
Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, hlm. 524.

Risâlah, Jurnal Pendidikan dan Studi Islam 687 Vol. 8, No. 2, Juli 2022
https://jurnal.faiunwir.ac.id/index.php/Jurnal_ P-ISSN: 2085-2487; E-ISSN: 2614-3275
Risalah
Fahmi Khumaeni, Farida Isroani, Roudlotun Ni’mah, Ifa Khoiria Ningrum, Hamam Thohari
Kebijakan Pengembangan Kurikulum......

sebagainya, yang semua ini memerlukan jawaban-jawaban yang mendasar. Di sini


antara agama dan filsafat akan bisa saling melengkapi dalam memberikan jawaban-
jawaban tersebut. Agama yang bersumber pada wahyu yang sifat kebenarannya
mutlak akan mampu memberikan jawaban dan arahan yang tidak bisa diberikan
oleh filsafat. Sementara filsafat yang sumber utamanya adalah hasil perenungan
pemikiran manusia akan memberikan perincian lebih lanjut atas jawaban yang
diberikan agama yang mungkin masih bersifat global.23
d. Landasan organisatoris
Landasan ini berkenaan dengan masalah, dalam bentuk yang bagaimana
bahan pelajaran dalam kurikulum akan disusun, dikelompokkan dan disajikan ?
Apakah dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah, ataukah diusahakan
adanya hubungan antara pelajaran yang diberikan, misalnya dalam bentuk
broad-field. Ataukah diusahakan hubungan secara lebih mendalam dengan
menghapuskan segala batas-batas mata pelajaran, jadi dalam bentuk kurikulum yang
terpadu.24
Tidak sedikit jenis organisasi kurikulum yang dikembangkan oleh para ahli
kurikulum. S. Nasution mengelompokkan organisasi kurikulum menjadi dua
kelompok besar, yaitu:25
a. Kurikulum berdasarkan mata pelajaran (Subject curriculum), yang
meliputi: kurikulum mata pelajaran terpisah-pisah (separate subject
curriculum), kurikulum mata pelajaran gabungan (correlated curriculum)
b. Kurikulum terpadu (integrated curriculum), yang antara lain meliputi:
kurikulum inti (core curriculum), kurikulum pengalaman (activity
curriculum)
Mana jenis organisasi yang akan digunakan biasanya dipengaruhi oleh aliran
psikologi (khususnya psikologi belajar) yang dianut. Bagi yang mengikuti paham
psikologi asosiasi yang berpendirian bahwa keseluruhan sama dengan jumlah
bagian-bagiannya cenderung memilih kurikulum yang subject-centered, atau yang
berpusat pada mata pelajaran, yang dengan sendirinya akan terpisah-pisah.
Sebaliknya psikologi Gestalt lebih mengutamakan keseluruhan, karena keseluruhan
itu bermakna dan lebih relevan dengan kebutuhan anak dan masyarakat. Aliran
psikologi memilih kurikulum terpadu atau integrated curriculum.
Yang perlu dipahami bahwa tidak ada jenis organisasi kurikulum yang baik
dan tidak baik. Setiap organisasi kurikulum mempunyai kebaikan akan tetapi tidak
lepas dari kekurangan ditinjau dari segi-segi tertentu. Selain itu, bermacam-macam
organisasi kurikulum dapat dijalankan secara bersama di satu sekolah, bahkan yang
satu dapat membantu atau melengkapi yang satu lagi.

Kurikulum dan Pendekatan Humanistik di Era Digital


Pendekatan humanistis dalam pengembangan kurikulum bertolak dari ide
“memanusiakan manusia”. Penciptaan konteks yang akan memberi peluang manusia
untuk menjadi lebih human, untuk mempertinggi harkat manusia merupakan dasar

23
Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, hlm. 16.
24
S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, hlm. 14.
25
S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, hlm. 107-108.

Risâlah, Jurnal Pendidikan dan Studi Islam 688 Vol. 8, No. 2, Juli 2022
https://jurnal.faiunwir.ac.id/index.php/Jurnal_ P-ISSN: 2085-2487; E-ISSN: 2614-3275
Risalah
Fahmi Khumaeni, Farida Isroani, Roudlotun Ni’mah, Ifa Khoiria Ningrum, Hamam Thohari
Kebijakan Pengembangan Kurikulum......

filosofi, dasar teori, dasar evaluasi dan dasar pengembangan program pendidikan
humanistik.26
Pendekatan pengembangan kurikulum humanistik berpijak pada teori
pendidikan pribadi (personalized education) yang antara lain dipelopori oleh John
Dewey (Progressive Education) dan JJ. Rousseau (Romantic Education). Teori
pendidikan ini bertolak dari asumsi bahwa anak atau peserta didik adalah yang
pertama dan utama dalam pendidikan. Ia adalah subjek yang menjadi pusat kegiatan
pendidikan. Mereka percaya bahwa peserta didik mempunyai potensi, punya
kemampuan, dan kekuatan untuk berkembang. Para pendidik humanis juga
berpegang pada konsep Gestalt, bahwa individu atau anak merupakan satu kesatuan
yang menyeluruh. Pendidikan diarahkan kepada membina manusia yang utuh
bukan saja segi fisik dan intelektual tetapi juga segi sosial dan afektif (emosi, sikap,
perasaan, nilai, dan lain-lain).27
Teori pendidikan humanistik menekankan bahwa tugas pendidikan yang
utama ialah mengembangkan anak sebagai individu selain sebagai makhluk sosial.
Hal ini dapat dilakukan bila dalam pendidikan dikembangkan kemampuan dan
potensi anak, khususnya imaginasinya yang kreatif. Untuk itu perlu diberikan
kepada anak didik kebebasan, kemandirian, hak untuk menemukan diri serta
pengembangan kemampuan fisik dan emosionalnya, jadi perkembangan anak itu
sebagai keseluruhan. Kurikulumnya sering berdasarkan konsepsi "child-centered"
yang mengutamakan ekspresi diri secara kreatif, individualitas, aktivitas
pertumbuhan "dari dalam", bebas dari paksaan dari luar. Kurikulum ini memelihara
keutuhan anak sebagai “keseluruhan". Khususnya mengenai kreativitas dan
spontanitasnya.28
Konsep kurikulum yang humanistik ini memindahkan titik berat pendidikan
dari bahan pelajaran kepada anak sebagai individu keseluruhan. Untuk itu
diusahakan integrasi antara aspek afektif (perasaan, sikap, nilai-nilai) dengan aspek
kognitif (pengetahuan dan kemampuan intelektual), sehingga apa yang dipelajari
mempunyai makna pribadi bagi anak. Maka karena itu, lebih banyak diberi
kesempatan kepada anak untuk memilih dari berbagai alternatif sesuai dengan
maknanya bagi kehidupannya dengan bertanggung jawab atas pilihannya itu.29
Kurikulum humanistik memandang aktualisasi diri sebagai suatu kebutuhan
asasi. Tiap anak mempunyai "self" masing-masing yang sering tak dikenal dan
disadarinya, yang tersembunyi atau tertekan dan karena itu perlu dibangkitkan dan
dikembangkan. Psikologi yang mereka anut merupakan reaksi terhadap aliran
behaviorisme yang dianggap mekanistik dan mengabaikan aspek afektif dan
kebebasan. Selain itu juga merupakan reaksi terhadap psikologi Freud yang
terlampau memandang manusia sebagai makhluk yang dikuasai oleh daya-daya
emosional pathologis dari alam tak sadar.
Dengan dasar psikologi Gestalt diinginkan integrasi perasaan, pikiran, dan
perbuatan yang memberikan kebulatan pengalaman yang menyenangkan sesuai

26
Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial…, hlm. 78.
27
Nana Syodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum…, hlm. 86.
28
Hilda Taba, Curriculum Development: Teory and Practice, hlm. 28.
29
S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, hlm. 21.

Risâlah, Jurnal Pendidikan dan Studi Islam 689 Vol. 8, No. 2, Juli 2022
https://jurnal.faiunwir.ac.id/index.php/Jurnal_ P-ISSN: 2085-2487; E-ISSN: 2614-3275
Risalah
Fahmi Khumaeni, Farida Isroani, Roudlotun Ni’mah, Ifa Khoiria Ningrum, Hamam Thohari
Kebijakan Pengembangan Kurikulum......

dengan keinginan anak. Sekolah menjadi tempat belajar yang menyenangkan yang
membangkitkan motivasi intrinsik karena bahan pelajaran bermakna bagi mereka.
Sekolah “tradisional” mematikan spontanitas, kegembiraan belajar serta kepribadian
anak. Dari kalangan humanis timbul kecaman bahwa sekolah dan masyarakat "sakit"
yang dapat dilihat dari berkecamuknya gejala-gejala persaingan, ketidakadilan,
manipulasi manusia, dan ketiadaan peri kemanusiaan. Kurikulum humanistik
diharapkan dapat mengatasi penyakit-penyakit itu.30
Kurikulum humanistik mempunyai beberapa karakteristik, berkenaan dengan
tujuan dan fungsi, metode, organisasi isi, dan evaluasi.31 Masing-masing karakteristik
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut;
a. Tujuan dan fungsi
Menurut para humanis, kurikulum berfungsi menyediakan pengalaman
(pengetahuan) berharga untuk membantu memperlancar perkembangan pribadi
peserta didik. Bagi mereka tujuan pendidikan adalah proses perkembangan
pribadi yang dinamis yang diarahkan pada pertumbuhan, integritas, dan
otonomi kepribadian, sikap yang sehat terhadap diri sendiri, orang lain, dan
belajar. Semua itu merupakan bagian dari cita-cita perkembangan manusia yang
teraktualisasi (self actualizing person). Seseorang yang telah mampu
mengakutalisasikan diri adalah orang yang telah mencapai keseimbangan
(harmoni) perkembangan seluruh aspek pribadinya baik aspek kognitif, estetika,
maupun moral. Seorang dapat bekerja dengan baik bila memiliki karakter yang
baik pula.
b. Metode
Kurikulum humanistik menuntut konteks hubungan emosional yang baik
antara pendidik dan peserta didik. Pendidik/guru selain harus mampu
menciptakan hubungan yang hangat dengan peserta didik, juga mampu menjadi
sumber. Ia harus mampu memberikan materi yang menarik dan mampu
menciptakan situasi yang memperlancar proses belajar. Pendidik harus
memberikan dorongan kepada peserta didik atas dasar saling percaya. Peran
mengajar bukan saja dilakukan oleh pendidik tetapi juga oleh peserta didik.
Pendidik tidak memaksakan sesuatu yang tidak disengani peserta didik.
c. Organisasi isi
Salah satu kekuatan besar kurikulum humanistik terletak di dalam
tekanannya pada integrasi, yaitu kesatuan perilaku bukan saja yang bersifat
intelektual tetapi juga emosional dan tindakan. Kurikulum humanistik juga
menekankan keseluruhan. Kurikulum harus mampu memberikan pengalaman
yang menyeluruh, bukan pengalaman yang terpenggal-penggal. Kurikulum ini
kurang menekankan sekuens, karena dengan sekuens para peserta didik kurang
mempunyai kesempatan untuk memperluas dan memperdalam aspek-aspek
perkembangannya.32

30
Ibid., hlm. 23.
31
John D. Mc. Neil, Kurikulum Sebuah Pengantar Komprehensif, hal. 20. Baca juga: Nana Syodih
Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum…, hlm. 90-91.
32
John D. Mc. Neil, Kurikulum Sebuah Pengantar Komprehensif, hlm. 22

Risâlah, Jurnal Pendidikan dan Studi Islam 690 Vol. 8, No. 2, Juli 2022
https://jurnal.faiunwir.ac.id/index.php/Jurnal_ P-ISSN: 2085-2487; E-ISSN: 2614-3275
Risalah
Fahmi Khumaeni, Farida Isroani, Roudlotun Ni’mah, Ifa Khoiria Ningrum, Hamam Thohari
Kebijakan Pengembangan Kurikulum......

d. Evaluasi
Dalam evaluasi, kurikulum humanistik berbeda kurikulum konvensional
(subjek akademik). Model ini lebih mengutamakan proses dari pada hasil. Kalau
kurikulum yang konvensional terutama subjek akademik penilaian ditentukan
secara objektif dan mempunyai kriteria pencapaian, maka dalam kurikulum
humanistik tidak ada kriteria. Ahli humanis lebih tertarik dalam pertumbuhan
tanpa memperhatikan tentang bagaimana pertumbuhan itu diukur atau
ditentukan. Sasaran mereka adalah perkembangan anak supaya menjadi
manusia yang lebih terbuka, lebih berdiri sendiri. Kegiatan yang mereka lakukan
hendaknya bermanfaat bagi peserta didik. Kegiatan belajar yang baik adalah
yang memberikan pengalaman yang akan membantu para peserta didik
memperluas kesadaran akan dirinya dan orang lain dan dapat mengembangkan
potensi-potensi yang dimilikinya. Ketika diminta untuk mempertimbangkan
efektifitas kurikulum mereka, ahli humanis biasanya percay kepada penilaian
subjektif oleh guru dan peserta didik.33
Pendekatan pengembangan kurikulum humanistik seperti halnya
pendekatan-pendekatan lainnya, juga tidak lepas dari adanya kritikan yang
menunjukkan akan kelemahannya. Di antaranya adalah kritikan bahwa konsep
aktualisasi diri tidak jelas, bahwa aktualisasi diri belum tentu akan membawa
kebaikan bagi masyarakat umum, bahwa pendekatan itu terlampau mengutamakan
diri individu. Maka karena itu pendekatan aktualisasi diri atau humanistik perlu
dikaitkan dengan pendekatan rekonstruksi sosial dalam kurikulum. 34.
Akan tetapi pada era digital saat ini, pendekatan humanistik cukup relevan
digunakan, disaat manusia mulai kehilangan eksistensi dan jati dirinya, mulai pudar
kesadaran terhadap lingkungan sosialnya akibat pengaruh teknologi serta tidak bijak
dalam penggunaannya, apalagi diintegrasikan dengan pendekatan-pendekatan lain
yang relevan, dan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan lembaga pendidikan.
Pendekatan dengan teori pendidikan humanistik pada kondisi tersebut menekankan
bahwa tugas pendidikan yang utama ialah mengembangkan anak sebagai individu
dan sebagai makhluk sosial. Hal ini dapat dilakukan bila dalam pendidikan
dikembangkan kemampuan dan potensi anak, khususnya imaginasinya yang kreatif.
Untuk itu perlu diberikan kepada anak didik kebebasan, kemandirian, hak untuk
menemukan diri serta pengembangan kemampuan fisik, sosial dan afektif (emosi,
sikap, perasaan, nilai, dan lain-lain), jadi perkembangan anak dilihat secara
keseluruhan.

Simpulan
Konsep kurikulum yang humanistik ini memindahkan titik berat pendidikan
dari bahan pelajaran kepada anak sebagai individu keseluruhan, merupakan
integrasi antara aspek afektif (perasaan, sikap, nilai-nilai) dengan aspek kognitif
(pengetahuan dan kemampuan intelektual), sehingga apa yang dipelajari
mempunyai makna pribadi bagi anak. Maka karena itu, lebih banyak diberi

33
Ibid., hal. 23. Baca juga: Nana Syodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum…, hlm. 91.
34
S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, hlm. 23.

Risâlah, Jurnal Pendidikan dan Studi Islam 691 Vol. 8, No. 2, Juli 2022
https://jurnal.faiunwir.ac.id/index.php/Jurnal_ P-ISSN: 2085-2487; E-ISSN: 2614-3275
Risalah
Fahmi Khumaeni, Farida Isroani, Roudlotun Ni’mah, Ifa Khoiria Ningrum, Hamam Thohari
Kebijakan Pengembangan Kurikulum......

kesempatan kepada anak untuk memilih dari berbagai alternatif sesuai dengan
maknanya bagi kehidupannya dengan bertanggung jawab atas pilihannya itu.
Pada konteks era digital saat ini, kurikulum berbasis humanistik berusaha
menjadikan murid sebagai Subyek pembelajaran, membantu murid menemukan
karakter dan bakatnya, mengarahkan murid kepada manusia yang sadar akan
lingkungan sosialnya, serta bijak menggunakan tekhnologi tanpa harus kehilangan
sisi kemanusiaannya sebagai makhluk sosial.

DAFTAR PUSTAKA
Baharuddin dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik, Konsep, Teori, dan Aplikasi
dalam Dunia Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009)
Henryk Misiak dan Virgini Staudt Sexton, Psikologi Fenomenologi, Eksistensial, dan
Humanistik, (Bandung: PT Refika Aditama, 2005)
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2002)
Imam Machali, Mustofa (ed), Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi
(Yogyakarta: Presma Fak. Tarbiyah, 2004)
James A. Beane, et al., Curriculum Planning and Development, (New York: Macmillan
Company, 1944)
John D. Mc. Neil, Kurikulum Sebuah Pengantar Komprehensif, Terjemah: Subandijah,
(Jakarta: Radar Jaya Offset, 1988)
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997)
Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Teori Pendidikan Pelaku
Sosial Kreatif, Edisi V Cet. Kedua, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2003)
Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Terjemah:
Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979)
Suharsimi Arikunto, dkk., Manajemen Kurikulum, (Yogyakarta: Jurusan Administrasi
Pendidikan FIP UNY, 2000)
Sukamto, Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Teknologi dan
Kejuruan, (Jakarta; Proyek Pengembangan LPTK, Dirjen Dikti Depdikbud,
1988)
S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Edisi Kedua, Cet. Kelima, (Jakarta: Bumi Aksara,
2003)

Risâlah, Jurnal Pendidikan dan Studi Islam 692 Vol. 8, No. 2, Juli 2022
https://jurnal.faiunwir.ac.id/index.php/Jurnal_ P-ISSN: 2085-2487; E-ISSN: 2614-3275
Risalah

You might also like