OK Plindungn+LH Tmbang+1 #+OK

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 17

10.48171/jwh.v3i2.

57

PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP


AKIBAT EKSPLOITASI PERTAMBANGAN
PERSPEKTIF KONSTITUSI

Nikmah Fitriah, Adha, Ari Puspitawati, Aspihani, Didi Noryadi

[email protected]

Mahasiswa
Program Magister Ilmu Hukum
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam

ENVIRONMENTAL DAMAGE
DUE TO MINING EXPLOITATION
CONSTITUTIONAL PERSPECTIVE

ABSTRACT

This study aims to analyze the efforts to protect against environmental


destruction due to mining exploitation by adopting constitutional norms.
The current state of the environment is a means to predict future conditions. This
causes environmental law regulations that are created and needed to be able to go far in the
future in establishing various rules or norms concerning the determination of legal values
​ ​ that are beneficial to the welfare of the nation and state, especially to the Indonesian
people themselves in the future. So that countries in the world agree to protect the
environment by incorporating general environmental principles into the constitution of a
country or regional constitution. Therefore, the author conducted a normative-empirical
research by analyzing legal materials and the data described using a descriptive-qualitative
approach.
This research is focused on a problem and the situation will then reveal a fact that
is analyzed with related concepts and theories so that conclusions can be drawn. Legal
protection efforts against environmental destruction due to mining exploitation activities
have so far not been effective so that the risk is not only experienced by living things
around the mining area, but legal risks will be given to those who violate the provisions of
environmental law.
Law enforcement has an important role in supporting the protection and
management of the environment as regulated in the Republic of Indonesia Law No. 32 of
2009 concerning Environmental Protection and Management, but more than that,
Environmental Law actually also prioritizes local wisdom and an approach to the principle
of subsidiarity.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis upaya perlindungan terhadap


1
10.48171/jwh.v3i2.57

perusakan lingkungan akibat eksploitasi pertambangan dengan pengadopsian norma-


norma konstitusi.
Keadaan lingkungan hidup saat ini merupakan sarana untuk memprediksikan
keadaan di masa mendatang. Hal tersebut menyebabkan peraturan hukum lingkungan
yang diciptakan dan diperlukan seharusnya mampu untuk jauh kedepannya dalam
menetapkan berbagai kaidah atau norma yang menyangkut penetapan nilai-nilai hukum
yang bermanfaat terhadap kesejahteraan bangsa dan Negara terutama terhadap rakyat
Indonesia sendiri di masa akan datang. Sehingga Negara-negara di dunia sepakat
melindungi lingkungan dengan memasukkan prinsip-prinsip umum lingkungan hidup ke
dalam konstitusi suatu negara ataupun konstitusi regional. Oleh sebab itu penulis
melakukan penelitian normatif-empiris dengan mengalisis bahan hukum dan data
diuraikan menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif. Penelitian ini tertuju pada suatu
masalah dan keadaan kemudian akan diungkapkannya sebuah fakta-fakta yang dianalisis
dengan konsep dan teori terkait sehingga dapat ditarik kesimpulan. Upaya perlindungan
hukum terhadap perusakan lingkungan hidup akibat kegiatan eksploitasi pertambangan
sampai saat ini masih belum efektif sehingga resiko tidak hanya dialami oleh mahluk
hidup yang ada disekitar pertambangan akan tetapi resiko hukum akan diberikan
terhadap mereka yang melanggar ketentuan hukum lingkungan.
Penegakkan hukum memiliki peranan penting dalam mendukung perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-Undang RI No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, namun lebih
daripada itu Hukum Lingkungan sesungguhnya juga mengedepankan kearifan lokal
dan pendekatan asas subsidiaritas.

PENDAHULUAN

Hak asasi atas lingkungan yang baik dan sehat adalah hak setiap orang atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia sesuai dengan
Pasal 65 ayat (1) tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam
memenuhi hak asasi atas lingkungan hidup yang baik dan sehat setiap orang berhak
mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses
keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak atas
informasi lingkungan hidup merupakan suatu konsekuensi logis dari hak dan peran dalam
pengelolaan lingkugan hidup yang berlandaskan pada asas keterbukaan, terhadap akses
informasi. Sehingga tercipta lingkungan yang baik dan sehat dari kesadaran masyarakat
atas pentingnya lingkungan yang baik dan sehat, Dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang
RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa
“Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses
partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat”. Definisi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diatur dalam Pasal 1
angka 2 Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup sebagai upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
2
10.48171/jwh.v3i2.57

pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum.

PERMASALAHAN

1. Bagaimana konstitusi mengatasi permasalahan hukum akibat eksploitasi


pertambangan ?
2. Bagaimana faktor-faktor dalam perlindungan lingkungan di Indonesia unsur
kepastian, kemanfaatan, dan keadilan?

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan mengalisis bahan hukum pustaka
dan data diuraikan menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif. Penelitian ini tertuju
pada suatu masalah dan keadaan kemudian akan diungkapkannya sebuah fakta-fakta yang
sesuai dengan kebenarannya yang dianalisis dengan konsep dan teori terkait sehingga dapat
ditarik kesimpulan.

LITERATURE REVIEW

Pengertian Eksploitasi

Eksploitasi adalah kegiatan pencarian dalam rangka penyelidikan dan


penjajakan wilayah atau daerah yang diperkirakan mengandung mineral atau berbagai
hal yang menjadi target dengan menggunakan survei geologi dan survei geofisika
serta pengeboran. Istilah eksploitasi erat dengan pekerjaan atau aktivitas tertentu
yang dilakukan secara berlebihan, dan umumnya memberikan dampak negatif,
eksploitasi sering digunakan untuk menggambarkan sebuah kegiatan pemanfaatan
demi kepentingan pribadi. Contohnya ketika seseorang tidak bertanggung jawab
melakukan pengerukan batu bara, secara besar-besaran terlebih menimbulkan
kerusakan lingkungan alam disekitarnya seperti hutan dan hewan langka yang tinggal
disekitarnya.
Eksploitasi bisa merujuk pada kegiatan yang dilakukan secara berlebihan dan
berujung membawa dampak buruk baik manusia maupun lingkungan alam itu,
praktek eksploitasi bisa ditemukan disosial masyarakat objeknya mencangkup sumber
daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM). Istilah eksploitasi berdasarkan
objeknya terdiri dari :

a..Eksploitasi ekonomi

Eksploitasi ekonomi yaitu tindakan tidak bertanggung jawab yang dilakukan


oleh perorangan atau kelompok dalam kegiatan ekonomi, kegiatan eksploitasi ini
merupakan tindakan mengambil keuntungan secara ekonomis dengan atau tanpa
persetujuan orang lain. Konsep eksploitasi ekonomi adalah sebagai suatu hubungan
dalam distribusi kekayaan ekonomi, dimana seorang pekerja tidak menerima jumlah
pendapatan atau hak yang layak. Konsep ini dapat diterapkan pada semua jenis
ekonomi pasar dan tidak hanya eksklusif untuk hubungan kapitalis kerja, namun
3
10.48171/jwh.v3i2.57

tindakan eksploitasi ekonomi ini memiliki kaitan yang begitu erat dengan praktek
eksploitasi manusia, yaitu suatu eksploitasi yang menggambarkan pemanfaatan suatu
hal secara berlebihan kepada sumber daya manusia. Hal ini tercantum pada
U ndang-Undang RI No. 21 Tahun 2077 tentang tindakan pidana perdagangan orang.
Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa eksploitasi manusia adalah tindakan
dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi; tetapi tidak terbatas pada
pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau Praktik serupa perbudakan,
penindasan, hingga pemerasaan, begitu juga dengan pemanfaatan fisik, seksual, organ
reproduksi, atau secara melawan hukum, memindahkan atau mentransplantasi organ
atau jaringan tubuh, atau memanfaatkan tenaga dan kemampuan seseorang oleh
pihak lain untuk mendapatkan keuantungan baik material maupun immaterial, contoh
eksploitasi manusia misalnya ‘human trafficking” seperti memperkerjakan anak di
bawah umur, tidak memberikan upah yang layak pada pekerja dan lain-lain.

b. Eksploitasi Alam

Eksploitasi alam yaitu merupakan kegiatan penambangan yang meliputi


aktifitas pengambilan dan pengangkutan endapan bahan galian, atau mineral berharga
sampai ketempat penimbunan dan pengolahan atau pencucian, bahkan terkadang
sampai ketempat pemasaran. Kegiatan eksploitasi alam ini dilakukan lebih merujuk
pada oknum tidak bertanggung jawab, tujuannya untuk mendapatkan keuntungan
pribadi secara besar-besaran, contohnya seperti pembalakan liar dan penambangan
illegal. Aktifitas eksploitasi alam ini akan merusak ekosistem yang bisa menyebabkan
kerusakan lingkungan berskala besar dan dampak negatifnya tidak hanya dirasakan
oleh hewan dan tumbuh- tumbuhan dilingkungan alam tersebut, namun juga oleh
manusia.

c. Eksploitasi Hewan

Eksploitasi hewan yaitu suatu eksploitasi yang menjadikan hewan sebagai


objeknya dan tindakan pemanfaatan hewan secara berlebihan untuk meraup
keuntungan pribadi tanpa memperdulikan dampak buruk yang akan dialami hewan
tersebut contohnya menimbulkan kelangkaan hewan tersebut ataupun punahnya
komunitas hewan tersebut.
Apabila eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang tidak dapat diperbaharui,
diambil secara berlebihan. maka SDA tersebut akan cepat habis dan dapat
menyebabkan kepunahan/kelangkaan

PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum Terhadap Perusakan Lingkungan Hidup Akibat


Eksploitasi Pertambangan.

Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup yang merupakan generasi ketiga pengaturan hukum lingkungan di
Indonesia. Undang-undang ini mengatur bagaimana perlindungan dan pengelolaan
4
10.48171/jwh.v3i2.57

lingkungan hidup dengan sistematis demi tercapainya keseimbangan lingkungan


serta kesejahteraan manusia sebagai satu kesatuan dalam lingkungan. Selain demi
kesejahteraan dan keseimbangan, Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mengatur tentang upaya untuk
melestarikan lingkungan secara berkelanjutan serta mencegah kerusakan lingkungan.
Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup juga memiliki beberapa jenis instrumen penegakan hukum
lingkungan. Jenis penegakan instrumen tersebut antara lain :
a.Sanksi Administrasi

Sanksi administrasi bersifat mengawasi dan melakukan tindakan pencegahan


pelanggaran hukum lingkungan. Sanksi administrasi terdiri atas; teguran tertulis,
paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan dan pencabutan izin lingkungan.

b.Penyelesaian Sengketa Lingkungan di Luar Pengadilan Penyelesaian ini bersifat


musyawarah antar masyarakat agar terjaminnya mufakat antara kedua belah pihak.
Kedua pihak dapat menggunakan jasa mediator atau pihak ketiga yang bebas dan
tidak memihak untuk membantu menyelesaikan sengketa. Penyelesaian di luar
pengadilan dilakukan untuk tercapainya bentuk dan besaran ganti rugi, tindakan
pemulihan pasca kerusakan, jaminan agar pencemaran dan kerusakan lingkungan
tidak terulang kembali, danmencegah meluasnya dampak negatif yang ditimbulkan.

c.Penyelesaian Sengketa Lingkungan di Pengadilan.

Penyelesaian melalui pengadilan dilakukan apabila terdapat pihak tertentu yang


dirugikan secara materi sehingga pihak yang bertanggung jawab wajib untuk
membayarkan sejumlah uang tergantung putusan pengadilan.
Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang ini memperkenalkan
ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan
bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan
tindak pidana korporasi.
Dalam Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup berisi tentang Perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran atau
kerusakan lingkungan hidup yang meliputi, perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Hal ini tercermin dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang RI No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa Perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang
dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya
pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan,
pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Adapun tujuan dari upaya perlindungan serta pengelolaan lingkungan hidup,
tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yakni:

5
10.48171/jwh.v3i2.57

1.Melindungi wilayah NKRI dari pencemaran dan kerusakanlingkungan hidup.


2.Menjamin keselamatan, kesehatan dan kehidupan manusia.
3.Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup serta kelestarian ekosistem.
4.Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.
5.Mencapai keserasian, keselarasan dan keseimbangan lingkungan hidup.
6.Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini serta masadepan.
7.Menjamin pemenuhan serta perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai
bagian dari hak asasi manusia.
8.Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana.
9.Mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
10Mengantisipasi isu lingkungan global.

Penyegelan tersebut sesuai dengan Pasal 68, pasal 100 dan pasal 116 pada
Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Masing-masing pasal tersebut berbunyi :
Pasal 68

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban;

a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan


lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu,
b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup, dan
c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.

Pasal 100

(1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku
mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila
sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan
lebih dari satu kali.

Pasal 116

(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama
badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. badan usaha;
dan/atau b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut
atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan
lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan
terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa
memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Terdapat beberapa turunan dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ini, yaitu :
6
10.48171/jwh.v3i2.57

1. Peraturan Pemerintah R I No. 27 Tahun 2012 yang mengatur tentang Perizinan


Lingkungan.
2. Peraturan Pemerintah RI No. 101 Tahun 2014 terkaitPengelolaan Limbah B3.
3. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 13 Tahun 2013 yang mengatur
tentang Audit Lingkungan Hidup.

B. Perlindungan Konstitusi

Kajian tentang hukum konstitusi adalah hukum tertinggi di dalam suatu negara.
Oleh karena konstitusi merupakan landasan fundamental terhadap segala bentuk hukum
atau peraturan perundang-undangan, maka sebagai prinsip yang berlaku secara universal,
segala produk hukum dan peraturan perundang-undangan tersebut tidak boleh bertentangan
dengan konstitusi. Konstitusi kini juga dipahami bukan lagi sekedar suatu dokumen mati,
tetapi lebih dari itu, konstitusi telah menjelma dan berfungsi sebagai prinsip-prinsip dasar
dalam penyelenggaraan suatu negara yang harus selalu hidup mengikuti perkembangan
zamannya (the living constitution). Dilihat dari sudut kedudukannya, konstitusi adalah
kesepakatan umum (general consensus) atau persetujuan bersama (common agreement)
dari seluruh rakyat mengenai hal-hal dasar yang terkait dengan prinsip dasar kehidupan dan
penyelenggaraan negara serta struktur organisasi suatu negara.
Ketentuan yang terdapat di dalam konstitusi memiliki makna penting dan
konsekuensi besar untuk dilaksanakan dengan sungguhsungguh dan tanpa terkecuali, baik
melalui beragam kebijakan maupun produk peraturan perundangan-undangan. Dalam
kaitannya dengan perlindungan terhadap lingkungan, maka dapat ditarik relasi antar
keduanya bahwa keberadaan norma atau ketentuan tentang lingkungan hidup atau konsep
pembangunan berkelanjutan di dalam konstitusi akan sangat memiliki pengaruh hukum
yang signifikan. Pertama, ketentuan tersebut akan berpengaruh terhadap pengembangan
kebijakan dalam rangka perlindungan nilai-nilai dan prinsip dasar lingkungan hidup pada
skala nasional dan regional. Kedua, konstitusionalisasi prinsip-prinsip lingkungan hidup
akan menciptakan yuridiksi atas hukum nasional yang berlaku di setiap tingkatan wilayah
pemerintahan, baik provinsi, kotamadya, maupun kabupaten. Dalam konteks ini,
peningkatan kapasitas dan komitmen hukum para penyelenggara negara akan diwajibkan
oleh konstitusi dalam upaya untuk mengelola fungsi-fungsi negara dalam ranah
perlindungan terhadap lingkungan. Ketiga, isi konstitusi juga akan memengaruhi hubungan
yang akan terbentuk antara hukum lingkungan substantif dan prosedural, serta sulit-
tidaknya hukum lingkungan di tingkat nasional diintegrasikan dan diharmonisasikan
dengan normanorma lingkungan di tingkat internasional. Lebih dari itu, konstitusi yang
memuat ketentuan lingkungan juga akan menentukan arah dan batas lingkup mengenai hak
atas benda (property rights) yang kemudian secara tidak langsung berpengaruh terhadap
konsepsi perlindungan atas kepemilikan pribadi (private ownership). Berdasarkan Pasal 1
ayat (2) dan ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945, Indonesia adalah negara yang menganut
prinsip demokrasi (democracy) dan nomokrasi (nomocracy). Keduanya disejajarkan secara
seimbang untuk menutupi kelemahannya masingmasing. Lebih spesifik lagi, Indonesia
juga tengah menganut sistem demokrasi konstitusional (constitutional democracy), di mana
proses dan pelaksaaan prinsipprinsip demokrasi harus tunduk pada ketentuan norma yang
dicantumkan dalam UUD Negara RI Tahun 1945. Walaupun tidak ada syarat mutlak
bahwa sebuah konstitusi negara haruslah menggunakan sistem demokrasi, akan tetapi
7
10.48171/jwh.v3i2.57

menurut teori demokratik, antara konstitusionalisme dan demokrasi sangatlah


berkesesuaian. Sebab, adanya kewenangan yang limitatif dari cabang-cabang kekuasaan
negara akan memberikan tempat penting terhadap tumbuhnya interaksi sosial dan
pengambilan keputusan bagi individu dan kelompok secara bebas. Oleh karenanya, sistem
konstitusi yang demikian akan sangat memberikan ruang luas bagi berkembangnya
semangat yang lebih besar bagi gerakan pro-lingkungan
Dengan demikian, Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia juga
memiliki mandat konstitusi (constitutional mandate) untuk melindungi dan meningkatkan
fungsi lingkungannya. Bahkan hal tersebut sudah sepantasnya dijadikan komitmen dan
konsekuensi pokok bagi negara yang menganut gagasan negara kesejahteraan (welfare
state). Akan tetapi, seberapa banyak keberhasilan gerakan tersebut dan seberapa besar
efektivitas penyelesaian masalah lingkungan akan sangat tergantung salah satunya dari
pengaturan konstitusionalisasi norma dan karakteristik institusionalnya.
1. Konstitusionalisasi Norma Lingkungan
Setelah hampir lima belas tahun pasca perubahan terakhir UUD Negara RI
Tahun 1945 pada tahun 2002, banyak pihak yang mulai menaruh perhatian atas
kajian konstitusi yang bersentuhan dengan permasalahan lingkungan hidup.
Ketentuan hasil perubahan telah membawa makna penting bagi tersedianya
jaminan konstitusi atas keberlangsungan lingkungan di Indonesia.
Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945
merupakan ketentuan kunci tentang diaturnya norma mengenai lingkungan di
dalam Konstitusi Indonesia. Secara berturut-turut, kedua Pasal tersebut
berbunyi sebagai berikut: Pasal 28H ayat (1) bahwa “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Pasal 33 ayat (4) bahwa “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Berdasarkan kedua Pasal di atas maka sudah jelas bahwa UUD 1945 juga
telah mengakomodasi perlindungan konstitusi (constitutional protection), baik
terhadap warga negaranya untuk memperoleh lingkungan hidup yang memadai
maupun jaminan terjaganya tatanan lingkungan hidup yang lestari atas dampak
negatif dari aktivitas perekonomian nasional. Untuk lebih memperjelas
penafsiran konstitusi terhadap ketentuan kunci di atas, maka akan diuraikan
secara satu persatu sebagai berikut:

1. Hak hidup dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa setiap warga negara
berhak dan memperoleh jaminan konstitusi (constitutional guaranteee)
untuk hidup serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk
tumbuh dan berkembang. Ketentuan ini dapat juga disandingkan dengan
Pasal 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang
menyebutkan,
“everyone has the right to a standart of living adequate for the
health and well-being of himself and of his family”. Sedangkan di dalam
Pasal 12 ayat (1) ICESCR ditegaskan, “The States Parties to the present
8
10.48171/jwh.v3i2.57

Covenant recognize the right of everyone to the enjoyement of the highest


attaintable standard of physical and mental health”.
Kebutuhan hidup warga negara Indonesia juga harus terpenuhi
sesuai dengan ukuran yang memadai baik terhadap kesehatannya maupun
hal-hal lain yang terkait dengan penyokong kehidupan seseorang. Secara
lebih luas, norma ini diperkuat pemaknaannya dengan termaktubnya salah
satu tujuan negara sebagai cita negara (staatsidee) pada Alinea Keempat
Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945, yaitu untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sebagai
perbandingan, Mahkamah Agung India dalam menafsirkan Pasal 21
Konstitusi India mengenai “hak untuk hidup” (right to life) dan
“kemerdekaan pribadi” (personal liberty) menggunakan doktrin public trust
yang erat kaitannya dengan aspek lingkungan hidup dan ekologi
Dengan demikian, hak untuk hidup dan kemerdekaan pribadi dalam
Konstitusi India ditafsirkan juga meliputi “right to a wholesome
environment”. 7 Selanjutnya, walaupun hak untuk hidup dan mendapatkan
lingkungan yang baik dan sehat dapat berdiri sendiri, namun adakalanya hak
tersebut sangat berkaitan erat denga norma konstitusi lainnya yang
bersinggungan dengan lingkungan, yaitu norma “pembangunan
berkelanjutan” dan “berwawasan lingkungan”.
2. Pembangunan berkelanjutan
Penggunaan istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) diperkenalkan pertama kali pada masa 1970-an dan menjadi
istilah utama pada saat dan setelah terbentuknya World Commission on
Environment and Development (WCED) pada 1987 atau lebih dikenal
dengan Brundtland Commission. Komisi tersebut mendefinisikan
pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi
kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi
masa depan.
Pembangunan berkelanjutan dengan hak asasi manusia dapat
dikatakan juga memiliki hubungan yang begitu erat. Oleh karenanya, hak-
hak asasi manusia yang secara tegas tercantum dalam Pasal 28 hingga Pasal
28J UUD Negara RI Tahun 1945 juga menjadi persyaratan penting untuk
dipenuhi apabila pembangunan berkelanjutan ingin dikatakan berjalan
sesuai dengan amanat konstitusi. Sebab, ketentuan dan norma hak asasi
manusia di dalam UUD Negara RI Tahun 1945 memiliki substansi dan
pengaturan yang selaras dengan ketentuan perlindungan HAM yang bersifat
universal sebagaimana tercantum dalam berbagai Konvensi Internasional,
seperti UDHR, ICCPR, ECOSOC, dan lain sebagainya
Selanjutnya, KTT Pembangunan Berkelanjutan yang dilaksanakan di
Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002 telah menghasilkan asas-asas
pembangunan berkelanjutan yang tercantum dalam UNCED, terdiri dari: (1)
keadilan antargenerasi (intergenerational equity); (2) keadilan dalam satu
generasi (intra - generational equity); (3) prinsip pencegahan dini
(precautionary principle); (4) perlindungan keanekaragaman hayati
(conversation of biological diversity); dan (5) internalisasi biaya lingkungan
(internalisation of environment cost and incentive mechanism).
9
10.48171/jwh.v3i2.57

3. Berwawsan Lingkungan
Menurut Surna T. Djajadiningrat, proses pembangunan
berkelanjutan bertumpu pada tiga faktor utama, yaitu: (1) kondisi sumber
daya alam; (2) kualitas lingkungan, dan (3) faktor kependudukan. Dengan
demikian, pembangunan berkelanjutan tidak akan bermakna banyak apabila
tidak turut memperhatikan aspek-aspek yang berwawasan lingkungan.
Pembangunan haruslah mampu untuk menjaga keutuhan fungsi dan
tatanan lingkungan, sehingga sumber daya alam yang ada dapat senantiasa
tersedia guna mendukung kegiatan pembangunan baik untuk masa sekarang
maupun masa yang akan datang. Untuk menciptakan konsep pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, maka diperlukanlah pokok-
pokok kebijakan yang di antaranya berpedoman pada hal-hal sebagai
berikut:
a. Pengelolaan sumber daya alam perlu direncanakan sesuai dengan daya
dukung lingkungannya;
b. Proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan
dikendalikan melalui penerapan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) sebagai bagian dari studi kelayakan dalam
proses perencanaan proyek;
c. Adanya pengutamaan penanggulangan pencemaran air, udara, dan tanah;
d. Pengembangan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi
stabilitas tatanan lingkungan.
e. Pengendalian kerusakan lingkungan melalui pengelolaan daerah aliran
sungai, rehabilitasi dan reklamasi bekas pembangunan, serta
pengelolaan wilayah pesisir dan lautan;
f. Pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan
lingkungan;
g. Pengembangan peran serta masyarakat, kelembagaan, dan ketenagaan
dalam pengelolaan lingkungan hidup;
h. Pengembangan hukum lingkungan yang mendorong badan peradilan
untuk menyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum lingkungan;
dan
i. Pengembangan kerja sama luar negeri. Dari penjelasan di atas, maka
tampak jelas bahwa terdapat pertalian antara norma “pembangunan
berkelanjutan” dan “berwawasan lingkungan”.
Segala strategi dan kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan
memerlukan tafsir konstitusi secara khusus ketika aktor-aktor negara ingin
melaksanakan aktivitas perekonomian. Hal tersebut harus dipahami semata-
mata untuk mencegah terjadinya dampak negatif yang lebih besar atas
rusaknya alam dan lingkungan.

Jimly Asshiddiqie, mendefinisikan konstitusi sebagai hukum dasar yang dijadikan


pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar
tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis. Hal
tersebut tidak terlepas karena tidak semua negara memiliki konstitusi tertulis atau Undang-
undang Dasar.
Berangkat dari pendapat beberapa ahli tentang pengertian konstitusi di atas,
10
10.48171/jwh.v3i2.57

menurut hemat penulis dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai batasan-batasan


pengertian konstitusi yang dirumuskan sebagai berikut :
Pertama, konstitusi merupakan suatu kaidah hukum yang memberikan
batasanbatasan terhadap kekuasaan dalam penyeleggaraan suatu negara; Kedua,
mendeskripsikan tentang penegakan hak-hak asasi manusia; dan ketiga, konstitusi
berisikan materi mengenai susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental.
Teori konstitusi menghendaki negara terbentuk atas basic norm yang demokrasi
yang merupakan naluri masyarakat suatu bangsa, sehingga konstitusi yang dibentuk adalah
konstitusi demokrasi yang menghendaki the rule of law.
Konstitusi juga disebut sebagai ground wet atau oxford dictionary of law, perkataan
Constituion diartikan sebagai : ”…the rule and practices that determine the composition
and functions of the organs of the central and local government in a state and regulate the
relationship bet-ween individual and the state”. Artinya, yang diatur itu tidak saja
berkenaan dengan organ negara beserta komposisi dan fungsinya, baik di tingkat pusat
maupun di tingkat pemerintah daerah (local government), tetapi juga mekanisme hubungan
antara negara atau organ negara itu dengan warga Negara.
1. Aspek Kepastian, Kemanfaatan dan Keadilan Hukum
Untuk mengatasi kebingungan masyarakat tersebut, pada tanggal 5 Juni
1987 telah dikeluarkan Surat Edaran Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 1987 tentang Prosedur Penanggulangan
Kasus Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup. Dalam surat edaran
tersebut disebutkan, bahwa penegakan hukum dalam kasus pencemaran dan
atau perusakan lingkungan hidup melibatkan Menteri Dalam Negeri, Menteri
Kehakiman, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jaksa
Agung dan Kepala Kepolisian.
Apabila diperhatikan tentang tata cara pelaporan yang diatur dalam Surat
Edaran tersebut, maka sekilas nampak terdapat perbedaan tentang prosedur
melapor dengan yang diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Dalam Surat Edaran tersebut, kewajiban melaporkan tentang telah
terjadinya peristiwa pidana (pencemaran dan atau perusakan) adalah kepada
aparat pemerintah daerah dan tidak langsung ke polisi. Namun demikian,
apabila diperhatikan secara keseluruhan maka isi dari Surat Edaran tersebut,
pada dasarnya tidak ada perbedaan dengan ketentuan yang selama ini berlaku
dalam KUHAP; karena kesemuanya itu bermuara pada polisi sebagai penyidik
tunggal.
Sebenarnya dalam kasus-kasus lingkungan hidup, baik yang bersifat pidana
maupun perdata, kesemuanya tidak membutuhkan sebuah hukum acara
(lingkungan) tersendiri atau khusus. Artinya proses beracaranya tetap
menggunakan peraturan perundangundangan yang telah ada yaitu Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk kasus pidana
lingkungan, dan menggunakan HIR dan RBg untuk kasus perdata lingkungan.

2. Pengaturan Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menurut Undang-


Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup

1) Pengaturan Pengelolaan Lingkungan Hidup tentang Perlindungan Dan


11
10.48171/jwh.v3i2.57

Pengelolaan Lingkungan Hidup dibentuk dalam pengupayaan yang


sistematis dan terpadu dilaksanakan agar pelestarian fungsi lingkungan
hidup serta mencegah terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan
yang meliputi proses perencanaan, manfaat, pengendalian, pemeliharaan,
bentuk pengawasan dan proses penegakan hukum. Pasal 3 Undang-Undang
RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup memiliki beberapa tujuan yaitu :
a) Perlindungan wilayah NKRI dari pencemaran ataupun kerusakan
lingkungan hidup
b) Jaminan keselamatan, kesehatan dalam kehidupan manusia
c) Kelangsungan hidup yang terjamin serta kelangsungan ekosistem.
d) Terjaganya fungsi dari kelestarian
e) Tercapainya keserasian, keselarasan dan seimbang lingkungan hidup
f) Terpenuhinya jaminan keadilan generasi masa kini dan masa yang akan
datang.
g) Perlindungan dan terpenuhinya HAM
h) Bijaksana dalam pemanfaatan SDA
i) Mewujudkan pembangunan berkelanjutan
j) Antisipasi isu lingkungan global.

2) Konsep Pengelolaan Lingkungan Hidup


Pasal 4 Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memiliki ruang lingkup berupa perencanaan,
pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum.
Pada setiap dampak lingkungan hidup memiliki dasar pada perencanaan,
pemanfaatan, pengendalian serta pemeliharaan yang jelas dan dengan adanya
pengawasan serta penegakan hukum yang bersifat tegas dan mendorong.
Pasal 13 ayat (1) dan (2) Undang-Undang RI Nomor 32 tahun 2009
berkesimpulan bahwa :
a) Pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan dilakukan dengan
cara pelestarian fungsi lingkungan hidup
b) Pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang
tertuang pada ayat (1) :
1. Pencegahan
2. Pemulihan
3. Penanggulangan.

3) Tanggung Jawab Hak Pemanfaatan Lingkungan Hidup

Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup menjabarkan bahwa apabila dalam memanfaatkan
suatu sumber daya alam ada baiknya dilakukan atas dasar sebagai pendukung
lingkungan hidup. Pasal 12 menyebutkan bahwa proses pemanfaatannya dilakukan
sesuai dengan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(RPPLH) :
a) Pelaksanaan RPPLH dilakukan demi kepentingan sumber daya alam
b) RPPLH pada ayat 1, manfaat yang dapat dilakukan sesuai dorongan
12
10.48171/jwh.v3i2.57

lingkungan hidup dengan memperlihatkan kelanjutan fungsi serta proses


lingkungan hidup. Dengan produktivitas yang berlanjut akan
mendatangkan keselamatan dan rasa sejahtera pada masyarakat.
Manfaat lingkungan hidup selalu mengedepankan hak asasi manusia (HAM)
agar menjadikan kehidupan yang sehat dalam lingkungan. Pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup merupakan bentuk akibat dari kegiatan industri atau
usaha sehingga menyebabkan melemahnya tindakan penegakan hukum itu sendiri
dan mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.
Kegiatan industri atau usaha telah memberi dampak bagi pencemaran
ataupun kerusakan lingkungan hidup disebabkan oleh tidak patuh dalam
melaksanakan peraturan undang-undang yang sedang berlaku. Bentuk pengabaian
terhadap peraturan AMDAL merupakan salah satu penyebabnya. AMDAL adalah
sebuah singkatan dari Analisis mengenai dampak lingkungan hidup. AMDAL
adalah bentuk dalam pengelolaan lingkungan serta sebagai penjamin dalam upaya
konservasi. Tujuan dari adanya AMDAL yaitu agar dapat terjaganya dan
meningkatnya kualitas lingkungan dalam menekan angka pencemaran agar
rendahnya sebuah dampak negatif.
Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, menentukan sanksi pidana terhadap para pelaku
yang dikenai dugaan bersalah dalam pengadilan sehingga mendapat sanksi berupa
denda ataupun tahanan bagi pelaku yang melakukan tindak pidana pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup.
Takdir Rahmadi, berpendapat bahwa paling tidak ada 2 alasan mengenai
sebab sanksi pidana. Pertama, sanksi pidana memiliki maksud dalam proses
perlindungan kepentingan lingkungan berupa harta benda, kesehatan untuk
melindungi kepentingan lingkungan karena manusia tidak akan dapat merasakan
harta bendanya serta kesehatan apabila dalam kualitas lingkungannya tidak
terpenuhi dengan baik. Yang kedua sanksi pidana ini bermaksud agar dapat
memberikan rasa takut terhadap pelaku pencemaran. Sanksi yang berupa pidana
penjara, denda, pemulihan wilayah yang tercemar, tempat usaha ditutup serta
adanya penyebaran pengumuman melalui sosial media ataupun media sosial
sehingga akan merusak nama baik dar pelaku pencemaran.
4) Tanggung Jawab Pemerintah Daerah dalam Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup

Dilaksanakannya pengelolaan lingkungan hidup oleh pemerintah memiliki


kewajiban untuk pewujudan, tumbuh, berkembang dan peningkatan kesadaran serta
pertanggungjawaban:
a) Pengambilan keputusan pengelolaan lingkungan hidup
b) Masyarakat sebagai pengelola lingkungan hidup
c) Kemitraan dan masyarakat, usaha dan pemerintah berupaya dalam
melestarikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
d) Kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup sehingga menjamin
pemeliharaan daya dukung dan daya ampung lingkungan hidup
e) Menetapkan dan mengembangkan perangkat preventif dan proaktif
f) Pemanfaatan dan pengembangan teknologi yang ramah lingkungan
g) Penyelenggaraan penelitian dan mengembangkan bidang lingkungan
13
10.48171/jwh.v3i2.57

hidup
h) Penyediaan informasi lingkungan hidup dan penyebarluasan masyarakat
i) Pemberian penghargaan kepada masyarakat yang berjasa dalam bidang
lingkungan hidup.
Pasal 63 ayat (3) tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
berisikan mengenai Tugas dan wewenang pemerintah kota, yaitu :
a) Penetapan kebijakan
b) Penetapan dan pelaksanaan KLHS
c) Penetapan dan pelaksanaan RPPLH
d) Penetapan dan pelaksanaan UKL-UPL
e) Penyelenggaraan sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca dan
melakukan pengembangan dan kerja sama
f) Pengembangan dan penerapan instrumen lingkungan hidup
g) Mempunyai fasilitas dalam proses sengketa
h) Pembinaan serta pengawasan terhadap pertanggungjawaban usaha
dalam perizinan lingkungan sesuai dengan undang-undang
i) Maksimal dalam pelayanan standar
j) Pelaksanaan kebijakan tata cara pengakuan dengan adanya hukum adat,
kearifan lokal yang berhubungan dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup
k) Pengelolaan informasi lingkungan hidup
l) Pengembangan dan pelaksanaan kebijakan sistem informasi lingkungan
hidup
m) Menerbitkan izin lingkungan
n) Melaksanakan penegakan hukum lingkungan hidup daerah perkotaan.

5) Sanksi terhadap Pihak yang Melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun


2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur sanksi terhadap para pihak yang terbukti
dalam dugaan pelanggaran penegakan hukum pada bidang lingkungan hidup
memiliki kategori yaitu :
a) Penegakan hukum lingkungan berkaitan dengan hukum administrasi
atau hukum tata usaha negara
b) Penegakan hukum lingkungan berkaitan dengan hukum perdata
c) Penegakan hukum lingkungan berkaitan dengan hukum pidana
Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berisikan tentang
larangan dalam melakukan pembukaan lahan dengan cara pembakaran liar
yaitu “Apabila seseorang telah dilarang melakukan pembukaan lahan
dengan cara pembakaran”.
Pasal 108 Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur mengenai
sanksi bagi pelanggar bahwa Setiap orang yang melakukan pembakaran
lahan akan dipidana dengan pidana penjara minimal 3 (tiga) tahun dan
maksimal 10 (sepuluh) tahun. Denda minimal Rp.3.000.000.000.000 (tiga
miliar rupiah) dan maksimal Rp.10.000.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah).
14
10.48171/jwh.v3i2.57

Penetapan nilai-nilai hukum merupakan nilai yang berlaku sebagai undang-


undang yang ditetapkan pemerintah dan diterapkan dimasyarakat, diharapkan dapat
diberlakukan untuk memberikan manfaat dalam menjaga perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup agar lebih baik dan lebih bijak, sehingga dapat terjaga kelestariannya,
contoh nilai sumber daya alam yang dapat dieksploitasi, seperti pertambangan batu bara,
emas, biji besi, minyak bumi, nikel, tembaga dan lain-lainya.
Upaya perlindungan hukum terhadap perusakan lingkungan hidup akibat kegiatan
eksploitasi pertambangan sampai saat ini masih belum efektif sehingga resiko tidak hanya
dialami oleh mahluk hidup yang ada disekitar pertambangan akan tetapi resiko hukum
akan diberikan terhadap mereka yang melanggar ketentuan hukum lingkungan.
Berdasarkan Hukum Lingkungan dan contoh kasus yang pernah terjadi, diharapkan
masyarakat secara keseluruhan dapat memahami dan menyadari bahwa mereka turut
berperan aktif dalam pemeliharaan lingkungan sebagai satu kesatuan dengan lingkungan.
Penegakkan hukum memiliki peranan penting dalam mendukung perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun
2009, namun lebih daripada itu Hukum Lingkungan sesungguhnya juga mengedepankan
kearifan lokal dan pendekatan asas subsidiaritas yang ditujukan untuk mengoptimalkan
kesadaran para pihak untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup, namun jika
kesadaran tersebut tidak ada maka Hukum wajib ditegakkan.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup membagi upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup menjadi enam bagian, yakni perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan serta penegakan hukum. Berikut penjelasan singkat mengenai
enam bagian tersebut yaitu dengan :
1. Upaya perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
dimana dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan jika upaya perencanaan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan tiga tahapan, yakni:
a. Invetarisasi lingkungan hidup Dilakukan untuk memperoleh data serta informasi
tentang sumber daya alam. Investarisasi dilakukan dalam tingkat wilayah
ekoregion, kepulauan serta nasional.
b. Penetapan wilayah ekoregion Dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek,
seperti bentang alam, iklim, flora dan fauna, sosial budaya, ekonomi, dan lain
sebagainya.
c. Penyusunan RPPLH (Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup)
Dilakukan dengan menyusun RPPLH pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten.
Penyusunan ini disesuaikan dengan investarisasi lingkungan hidup.
d. Upaya pemanfaatan sumber daya Dalam Pasal 12 Undang-Undang RI No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan jika
pemanfaatan sumber daya dilakukan berdasarkan RPPLH yang telah dibuat
sebelumnya. Namun, jika RPPLH belum terbentuk, maka pemanfaatannya harus
memperhatikan tiga aspek, yakni keberlanjutan proses serta fungsi lingkungan
hidup, keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup serta keselamatan mutu hidup
dan masyarakat.
e. Upaya pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup Dalam Pasal
13 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
15
10.48171/jwh.v3i2.57

Lingkungan Hidup disebutkan jika upaya pengendalian ini dilakukan melalui tiga
cara, yaitu pencegahan, penanggulangan serta pemulihan.

Penutup

Pasal 28I ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945 ditentukan bahwa negara,
terutama pemerintah dalam hubungannya dengan kewajiban yang ditimbulkan oleh
hak asasi manusia, diwajibkan untuk menghormati (to respect), melindungi (to
protect), dan memenuhinya (to fulfill), namun setiap warga negara harus pula
mengemban kewajiban dan tanggung jawab bersama untuk mengatasi berbagai
permasalahan lingkungan. Dengan cara demikian, maka perlindungan terhadap
lingkungan dari perspektif konstitusi dapat semakin menguat.
Masyarakat seyogyanya memiliki kesadaran dalam pelestarian lingkungan
hidup serta ikut turun tangan untuk memelihara lingkungan hidup sebagai bentuk
partisipasi dan dapat mengetahui mengenai risiko yang akan didapatkan apabila
melakukan pelanggaran hukum lingkungan. Perlu adanya peningkatan kerja sama
antara pemerintah dan masyarakat dalam pelaksanaan pelestarian lingkungan.
Setiap kegiatan eksploitasi pastilah menghasilkan suatu akibat, begitu juga
dengan kegiatan eksploitasi bahan tambang, pastilah membawa dampak negatif
yang jelas terhadap lingkungan dan juga kehidupan di sekitarnya.
Oleh sebab itu, para penambang atau pihak perusahaan pengelola
pertambangan yang mengoprasionalkan kegiatannya dalam mengeksploitasi
pertambangan wajib untuk bertanggung jawab terhadap pengolahan sumber daya
alamnya sesuai undang-undang Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang RI No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup membagi upaya
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi enam bagian, yakni
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan serta
penegakan hukum. Selain itu pasal 5 Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tentang upaya
perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta undang-undang
pertambangan lainnya yang menunjang kesejahteraan ekosistem alam.
Banyak sekali eksploitasi sumber daya alam yang membawa dampak
terhadap lingkungan hidup disekitarnya. Segala kegiatan eksploitasi
pertambangan yang berlangsung diharapkan tidak hanya mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dalam nilai materi dan energi saja, namun mampu untuk
memberikan pertanggung jawaban yang tepat guna menjaga kelestarian sumber
daya alam tersebut untuk jangka panjangnya (masa yang akan datang). Maka dari
itu pemerintah diharapkan agar lebih tegas menindak para penambang yang
terbukti melanggar peraturan pertambangan, agar para penambang (perusahaan-
perusahaan pertambangan) dapat menggunakan teknologi yang ramah lingkungan
disekitar pertambangan. Selain itu diharapkan juga agar perusahaan
pertambangan meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan
lingkungan hidup dengan melakukan penghematan penggunaan sumber daya alam
tanpa melakukan eksploitasi yang berlebihan, terutama ekosistem sumber daya
alam yang memiliki kelangkaan ataupun sumber daya alam tidak bisa melakukan
16
10.48171/jwh.v3i2.57

pembaharuan ekosistem kembali secara cepat, agar tidak menimbulkan resiko


dampak negatif aktivitas pertambangan tersebut.

REFERENCE

Aan Efendi, Hukum Lingkungan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014.


Akil Mochtar, Bantuan Hukum Sebagai Konstitusional Warga Negara, Bina Cipta,
Jakarta, 2009.
Aris Harnanto, Pengelolaan Sumber Daya Air, Bayu Media, Malang, 2004.
Abdurrahman, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung, 1986.
Aan Efendi, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Mandar Maju, Bandung, 2012.
Djatmiko, Margono, Wahyono, Pendayaan Waste Management (Kajian Lingkungan
Indonesia), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Fuad Amsyari, Prinsip-prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1997.
Hyronimus Rhiti, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Universitas
Atmajaya, Yogyakarta, 2006.
Jur Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
M. Daud Silalahi, S.H, Pengaturan Hukum Sumber Daya Air dan Lingkungan Hidup
di Indonesia, Alumni, Bandung, 1996.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina
Cipta, Jakarta, 1995.
M. Rasyid Ariman, Fungsi Hukum Pidana terhadap Perbuatan PencemaranLingkungan
Hidup, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988.
M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia, Alumni, Bandung, 2001

17

You might also like