51-Article Text-102-1-10-20170404
51-Article Text-102-1-10-20170404
51-Article Text-102-1-10-20170404
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Ko mponen ekosistem perkebunan, baik hayati (mahkluk hidup) maupun non hayati (lingkungan)
saling berinteraksi satu dengan yang lain (Odum, 1993). Dalam perkembangannya hubungan yang
ada menunjukkan keseimbangan alam yang utuh. Jika salah satu di antara komponen ini terganggu
maka komponen lainnya juga ikut terganggu, dan akhirnya akan mengurangi nilai keanekaragaman
hayati yang ada.
Pada dasarnya keanekaragaman hayati selalu berbeda di setiap tempat, hal ini dikarenakan
keragaman faktor-faktor lingkungan. Lingkungan merupakan gabungan dari berbagai komponen
fisik maupun hayati yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme yang ada di dalamnya. Jadi
lingkungan ini sangatlah luas dan mencakup semua hal yang ada di luar organisme yang
bersangkutan misalnya radiasi matahari, suhu, curah hujan, kelembaban, topografi, parasit,
predator, kompetitor,dan simbion mutualisme (Heddy et al., 1986).
Jurnal AIP Volume 4 No. 2│ Oktober 2016: 97-105 97
Jurnal Agro Industri Perkebunan
Di alam terdapat berbagai bentuk simbiosis yang secara tidak langsung dapat
meningkatkan produksi tanaman yaitu simbiosis mutualisme. Simbiosis mutualisme merupakan
hubungan simbiotik yang saling menguntungkan untuk kedua organisme yang bersimbiosis.
Salah satu di antaranya adalah cendawan mikoriza. Cendawan mikoriza merupakan bentuk
hubungan simbiosis mutualisme antara cendawan dengan perakaran tanaman tingkat tinggi.
Hubungan dawan dengan perakaran tanaman tingkat tinggi. Hubungan simbiosis antara inang
dengan cendawan meliputi penyediaan fotosintat (karbohidrat) oleh tanaman inang. Sebaliknya,
tanaman inang mendapatkan tambahan nutrien yang diambil cendawan dari tanah (Musnawar,
2006).
Tingkat ketergantungan tanaman terhadap CMA selain ditentukan oleh tanaman itu sendiri,
juga akan ditentukan oleh kandungan fosfat dalam tanah dan jenis isolat cendawan yang dipakai.
Oleh karena itu perlu diketahui jenis CMA yang mana yang dominan pada suatu pertanaman.
Dengan diketahuinya jenis CMA yang dominan pada suatu areal tanaman tertentu, maka hasil
tersebut dapat dijadikan dasar penggunaan CMA. Cendawan mikoriza arbuskula pada areal
tanaman kelapa sawit tidak sama dengan CMA pada tanman kakao, kopi ataupun karet. Jenis dan
dominansi CMA sangat dipengaruhi oleh jenis vegetasi dan lingkungannya. Dominansi CMA
tertentu pada tanah mineral lebih tinggi daripada tanah gambut, atau sebaliknya. Dengan demikian
perlu adanya kajian mengenai dominansi spesies CMA pada beberapa areal tanaman perkebunan
yang memiliki kondisi lingkungan yang berbeda.
Perkembangan CMA pada umumnya dipengaruhi oleh kondisi rizosfer dan spora
cendawan. Kondisi rizosfer adalah kondisi di sekitar perakaran seperti suhu, pH, dan eksudat akar.
Sementara kondisi spora cendawan adalah dormansi dan kematangan spora. Asosiasi yang dibentuk
oleh cendawan ini, pada dasarnya tidak menyebabkan penyakit pada akar, tetapi meningkatkan
penyerapan unsur hara bagi pertumbuhan tanaman. Infeksi CMA sangat membantu pertumbuhan
tanaman, terutama pada tanah miskin hara (Musnawar, 2006).
Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) dapat ditemukan hampir pada sebagian besar tanah
dan pada umumnya tidak mempunyai inang yang spesifik. Namun tingkat populasi dan komposisi
jenis sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh karakteristik tanaman dan sejumlah faktor lingkungan
seperti suhu, pH, kelembaban tanah, kandungan fosfor dan nitrogen. Suhu terbaik untuk
perkembangan CMA adalah pada suhu 30°C, tetapi untuk kolonisasi miselia yang terbaik adalah
pada suhu 28°C-35°C (Powell dan Bagyaraj, 1984; Suhardi, 1989; Setiadi, 2001a).
Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) diperkirakan di masa mendatang dapat dijadikan
sebagai salah satu alternatif teknologi untuk membantu pertumbuhan, meningkatkan produktivitas
dan kualitas tanaman perkebunan terutama yang ditanam pada lahan-lahan marginal yang kurang
subur. Cendawan ini mempunyai peran yang cukup penting yaitu : perbaikan nutrisi tanaman, dan
peningkatan pertumbuhan, sebagai pelindung hayati, meningkatkan resistensi tanaman terhadap
kekeringan, terlibat dalam siklus biogeokimia, sinergis dengan mikroorganisme lain, dan
METODE PENELITIAN
butiran-butiran tanah hancur, selanjutnya didiamkan beberapa detik sampai butiran tanah
mengendap sebelum larutan dituang ke saringan. Selanjutnya larutan disaring dalam satu set
saringan dengan ukuran 35 µm, 45 µm, dan 75 µm secara berurutan dari atas ke bawah.
Penyaringan dilakukan di bawah air yang mengalir untuk memudahkan spora lolos dan bersih dari
partikel tanah. Tahap ini dilakukan sebanyak tiga kali untuk memastikan seluruh spora sudah
terlepas dari partikel tanah. Hasil saringan pada masing-masing saringan dicuci dengan
mengalirkan air dan hasil cuciannya ditempatkan pada petridis untuk diamati di bawah mikroskop
dan dihitung jumlah spora yang ditemukan. Kegiatan ini dilakukan pada setiap ukuran saringan
untuk setiap contoh tanah.
Pengamatan
Peubah yang diamati pada penelitian ini meliputi jumlah spora, jenis spora, dan dominansi
spesies CMA.
1. Jumlah spora masing-masing media dihitung berdasarkan jumlah semua spora yang
ditemukan pada preparat tanpa melihat jenis, ukuran, bentuk, dan warnanya.
2. Jenis spora pada masing-masing lokasi ditentukan berdasarkan ciri- ciri spora seperti, ukuran ,
bentuk, warna, ornament permukaan spora, dinding spora, dan perubahan isi spora akibat
pemberian larutan Melzer’s.
Dominansi CMA adalah persentase keberadaan masing-masing jenis pada setiap contoh
tanah yang diamati. Dominansi dihitung berdasarkan ada tidaknya jenis CMA tertentu pada setiap
contoh pengamatan dibagi dengan jumlah pengamatan seluruhnya dikalikan dengan 100%.
Jumlah spora
Hasil pengamatan spora pada berbagai rhizosfer tanaman perkebunan (kakao, karet, kopi,
dan kelapa sawit) tertera pada Tabel 1.
Pada Tabel 1 dapat terlihat bahwa jumlah spora mikoriza pada tanaman kelapa sawit lebih
tinggi daripada ketiga jenis tanaman lainya, sedangkan jumlah spora paling sedikit ditemukan pada
tanaman karet. Jumlah spora mikoriza pada tanaman kakao 1,2 spora, tanaman karet 1 spora,
tanaman kopi 1,4 spora, dan pada tanaman kelapa sawit 2,4 spora.
Jenis spora
Jenis spora pada masing-masing lokasi ditentukan berdasarkan ciri- ciri spora seperti,
ukuran, bentuk, warna, ornamen permukaan spora, dinding spora, dan perubahan isi spora akibat
pemberian larutan Melzer’s. Hasil pengamatan pada penelitian ini seperti pada Tabel 2.
Dominasi CMA
Dominansi CMA adalah persentase keberadaan masing-masing jenis pada setiap contoh
tanah yang diamati. Dominansi dihitung berdasarkan ada tidaknya jenis CMA tertentu pada setiap
contoh pengamatan dibagi dengan jumlah pengamatan seluruhnya dikalikan dengan 100%.
Dominasi CMA pada perkebunan kakao, karet, kopi, dan kelapa sawit tertera pada Tabel 3.
Tabel 3. Dominasi spesies CMA pada perkebunan kakao, karet, kopi, dan kelapa sawit
Glomus tipe (%)
Perkebunan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kakao 16,67 33,33 33,33 16,67 0 0 0 0 0 0
Karet 20 20 0 20 0 20 20 0 0 0
Kopi 0 57,14 0 14,29 0 0 0 28,57 0 0
Kelapa sawit 0 50 0 8,33 8,33 16,67 0 0 8,33 8,33
Dominasi spesies CMA pada perkebunan kakao menunjukan bahwa spesies Glomus tipe 2
dan Glomus tipe 3 sangat dominan yaitu dengan dominasi 33,33%. Nilai dominansi terendah pada
tanaman kakao terdapat pada spesies Glomus tipe 1 dan Glomus tipe 4 yaitu dengan dominasi
16,66%. Pada perkebunan karet semua spesies Glomus tipe 1, Glomus tipe 2, Glomus tipe 4,
Glomus tipe 6, dan Glomus tipe 7 memiliki dominasi yang sama yaitu 20%. Pada lokasi
perkebunan kopi spesies yang paling dominan yaitu spesies Glomus tipe 2 dengan dominasi
57,14%, selanjutnya Glomus tipe 8 dengan dominasi 28,57%, sedangkan untuk spesies terendah di
dominasi oleh Glomus tipe 4 dengan dominasi 14,29%. Pada lokasi perkebunan sawit spesies yang
paling dominan yaitu spesies Glomus tipe 2 dengan dominasi 50% dan diikuti oleh Glomus tipe 6
dengan dominasi 16,67%, sedangkan spesies terendah didominasi oleh Glomustipe 4, Glomus tipe
5, Glomus tipe 9, dan Glomus tipe 10 dengan dominasi 8,33%.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada empat lokasi perkebunan yang berbeda
menunjukan bahwa pada perkebunan kelapa sawit memiliki jumlah spora tertinggi yaitu 2,4 spora
dan yang terendah terdapat pada lahan perkebunan karet yaitu sebanyak 1 spora, perkebunan kakao
1,2 spora dan perkebunan kopi sebanyak 1,4 spora (Tabel 1). Hal ini diduga karena tanaman sawit
merupakan tanaman inang yang cocok bagi CMA, sebab keefektivan setiap jenis CMA selain
tergantung pada jenis CMA itu sendiri juga sangat tergantung pada jenis tanaman dan jenis tanah
serta interaksi antara ketiganya (Brundrett et al., 1996 dalam Kartika, 2006). Selanjutnya dapat
dijelaskan bahwa jenis tanaman akan memberikan tanggap yang berbeda terhadap CMA, demikian
juga dengan jenis tanah, berkaitan erat dengan pH dan tingkat kesuburan tanah. Jumlah spesies dan
karakteristik CMA sangat di pengaruhi oleh karakteristik lahan, karena karakteristik lahan
perkebunan kelapa sawit, karet, kakao, dan kopi sangat berbeda baik dari sisi kultur teknis maupun
kondisi lahannya.
Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa jenis CMA Glomus lebih mendominasi pada
semua kondisi lahan, jadi dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa jenis CMA Glomus adalah
Genus yang paling dominan dengan berbagai tipe yang berbeda (10 tipe) dari ke empat lokasi
perkebunan yang berbeda, hal ini diduga bahwa genus Glomus lebih mudah beradaptasi dengan
berbagai lingkungan yang berbeda (Utoyo, 2009).
Pada penelitian ini, Glomus tipe 2 lebih mendominasi karena keberadaanya pada setiap
sampel yang di amati pada empat lokasi perkebunan yang berbeda. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena daya adaptasi dari glomus tipe 2 tinggi, sebab tidak semua tipe spora yang
ditemukan mampu beradaptasi pada keadaan lingkungan yang berbeda. Perbedaan lokasi dan
rizosfer menyebabkan perbedaan keanekaragaman spesies dan populasi CMA, misalnya yang
didominasi oleh fraksi lempung berdebu merupakan tanah yang baik bagi perkembangan Glomus
(Margarettha, 2011).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan spora mikoriza pada rhizosfer tanaman
kakao, karet, kopi, dan kelapa sawit diperoleh bahwa rata-rata jumlah sepora tertinggi terdapat pada
perkebunan kelapa sawit (2,4 spora), sedangkan jumlah spora terendah terdapat pada perkebunan
karet (1 spora). Jenis spora pada semua rhizosfer tanaman kakao, karet, kopi, dan kelapa sawit di
dominasi oleh jenis Glomus dengan berbagai tipe yang berbeda (10 tipe). Glomus tipe 2
mendominasi pada semua rhizosfer tanaman perkebunan (kakao, karet, kopi, dan kelapa sawit).
SARAN
Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian lanjutan
mengenai studi karakteristik mikoriza terutama pada lahan kritis dalam upaya pengembangan
tanaman perkebunan.
DAFTAR PUSTAKA
Heddy, S., S. B. Soemitro, dan S. Soekartomo. 1986. Pengantar Ekologi. Rajawali. Jakarta.
Margarettha. 2011. Eksplorasi dan identifikasi mikoriza indigen asal tanah bekas tambang batu
bara. Jurnal Berita Biologi 10(5): 641-646.
Odum, E. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan oleh Tjahjono Samingan. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Powell, C. L. dan J. Bagyaraj. 1984. VA Mycorrhiza. CRC Press, Inc. Boca Raton. Florida.
Setiadi, Y. 2001a. Peranan mikoriza arbuskula dalam rehabilitasi lahan kritis di Indonesia.
Disampaikan dalam Rangka Seminar Penggunaan Cendawan Mikoriza dalam Sistem
Pertanian Organik dan Rehabilitasi Lahan Kritis. Bandung 23 April 2001.
Utoyo, B. 2009. Studi Karakteristik Cendawan Mikoriza Arbuskula Pada Beberapa Pola
Pengusahaan Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). [Tesis]. Fakultas Pertanian
Universitas Lampung. Bandar Lampung.