ID Konflik Pengelolaan Lahan Plasma Sawit D

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 18

KONFLIK PENGELOLAAN LAHAN PLASMA SAWIT DI KABUPATEN

SERUYAN TAHUN 2008 - 2013

Oleh :
Jenie Tri Andanni - 14010111130062
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Diponegoro Semarang
Jalan Prof.H Soedarto, SH, Tembalang, Semarang. Kotak Pos 1269
Website : http://www.fisip.undip.ac.id/ Email : fisip@[email protected]

ABSTRACT

Seruyan Regency is the one of regencies with a number of Oil Palm


Company. As a consequnce, the government through the minister of agriculture
has oblige the company to provide plasma land for people around the plantation
20% in minimum from total plantation wide-scale. In the implementation, still
hard for the company to actuate it due to multiple interpretations on figuring
out the minister of agriculture regulation. This study was aimed for knowing the
caused factor why its so hard to the company to actuated the regulation, people
perception on plasma land policy and also the action that government take to
solved the conflict.
This study used a qualitative research method, with an interview and
literature study to collect data. Source of data that used in this study are primary
and secondary data were then examined and analyzed with descriptive approach.
The results of these studies include, still there the different perception
between the company and people to decide the land area that will be the plasma
land, the company wanted the plasma land built up outside the company
plantation area while people wanted in reverse. Moreover, the other cause that
the company cant actuated the plasma land were caused by 3 factors, licensing,
capital and land. To solved this conflict, the government has take some actions by
forming a handling team, make an appeal letter to the company and also
empowering people.
The province government should be more assertive to enforce and more
proactive to sosalize the regulation to the company as well as the people, the
company can commited to increasing public welfare to all people around
plantaion area and people can make common cause by the company and can be
empowered. Because if every single stakeholder can be cooperate, then conflict
can be more easy to solved.

Keywords: Conflict, Plasma Land, Perception


PENDAHULUAN

Di Indonesia kelapa sawit merupakan komoditas unggulan yang

pembudidayaannya berkembang sangat pesat sejak dekade 1990-an yang

tercatat seluas 1,1 juta hektar, dan pada tahun 2012 berkembang menjadi

sekitar 9,07 juta hektar dengan produksi Crude Palm Oil (CPO) sebanyak

23,52 juta ton (Direktorat Jendral Perkebunan,2012).

Kabupaten Seruyan (Kalimantan Tengah) merupakan salah satu

kabupaten dengan jumlah perusahaan sawit yang cukup banyak, di sepanjang

wilayah utara sampai selatan. Kemudian sebagai konsekuensi dari banyaknya

perkebunan sawit tersebut, pemerintah melalui Menteri Pertanian mewajibkan

pihak perusahaan menyediakan lahan plasma untuk masyarakat sekitar daerah

perkebunan sawit tersebut, seluas minimal 20% dari luas wilayah perkebunan

yang dikelolanya.

Dari luas wilayah Kabupaten Seruyan 16.404 km2, 544.804,18 Ha

diantaranya digunakan sebagai lahan perkebunan sawit. Ini berarti ±33,21%

dari luas wilayah Kabupaten Seruyan adalah lahan perkebunan sawit, dengan

kata lain lebih dari ¼ luas Kabupaten Seruyan adalah lahan perkebunan

Sawit. Dari semua perusahaan kelapa sawit yang ada di Kabupaten Seruyan

belum ada yang melaksanakan kewajiban memberikan minimal 20% dari

lahan inti perkebunan yang menjadi hak masyarakat sekitar perkebunan.


Berdasarkan Pasal 11 Ayat 1 Permentan No. 26 Tahun 2007 tentang

Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, perusahaan perkebunan yang

memiliki IUP atau IUP-B wajib mengembangkan kebun plasma untuk

masyarakat lokal sekurang-kurangnya 20% dari luas areal yang diusahakan.

Penyediaan kebun plasma merupakan salah satu bentuk tanggung jawab

sosial dari perusahaan kepada masyarakat sekitar perkebunan. Lahan plasma

ini nantinya dapat dikelola oleh masyarakat dengan bimbingan dari

perusahaan. Sistem pengelolaan lahan ini dapat berupa kredit, hibah atau bagi

hasil.

Pada kenyataannya, masih banyak perusahaan yang mengabaikan

Permentan tentang kebun plasma ini, sehingga masyarakat melakukan aksi

protes terhadap perusahaan melalui pemerintah daerah. Disinilah peran

pemerintah daerah sangat dibutuhkan untuk bisa menjadi penengah dalam

masalah yang terjadi antara pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit dan

masyarakat sekitar perkebunan kelapa sawit yang merasa hak mereka belum

dipenuhi.

Berdasarkan uraian diatas penulis merasa tertarik untuk melaksanakan

penelitian dengan judul Konflik Pengelolaan Lahan Plasma Kelapa Sawit di

Kabupaten Seruyan Tahun 2008 ± 2014.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori konflik, dimana

di dalamnya terdapat teori konflik kepentingan dan resolusi konflik.


Berdasarkan teori tersebut, penulis mencoba mengetahui bagaimana

gambaran konflik yang terjadi, penyebab konflik terjadi dan resolusi dari

konflik lahan plasma sawit yang ada di Kabupaten Seruyan.

Metode yang penulis gunakan adalah metode kualitatif dengan tipe

penelitian bersifat deskriptif. Data-data yang penulis peroleh adalah data

primer melalui wawancara dan data sekunder diperoleh melalui dokumen,

buku, arsip, dan perundang-undangan, kemudian data yang diperoleh penulis

dianalisis malalui reduksi data, penyajian data dan menarik kesimpulan.

PEMBAHASAN

1. Gambaran Konflik

Konflik pengelolaan lahan plasma di Kabupaten Seruyan berawal

dari munculnya perbedaan persepsi antara pihak perusahaan perkebunan

kelapa sawit dengan masyarakat sekitar perkebunan. Dimana diantara

keduabelah pihak terjadi perbedaan persepsi dalam menafsirkan

Permentan Nomor 26 Tahun 2007 khususnya pada pasal 11 ayat 1 yang

EHUEXQ\L ³3HUXVDKDDQ SHUNHEXQDQ \DQJ PHPLOLNL ,83 DWDX ,83-B, wajib

membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20%

(dua puluh perseratus) dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh

SHUXVDKDDQ ´ 'DODP SDVDO LQL WHUMDGL SHUEHGDDQ SHPDKDPDQ DQWDUD

perusahaan dan masyarakat mengenai penentuan area lahan yang akan di

bangun kebun plasma tersebut. Menurut pandangan perusahaan, area lahan


yang digunakan sebagai lahan plasma adalah area yang berada di luar

HGU. Karena untuk perusahaan yang sudah beroperasi sebelum keluarnya

Permentan tersebut mayoritas sudah melakukan penanaman kelapa sawit

di keseluruhan IUP yang telah mereka miliki. Sedangkan dari pandangan

masyarakat sendiri berpendapat jika area lahan yang digunakan sebagai

lahan plasma harus berada di dalam area HGU perusahaan sesuai dengan

peraturan yang ada. Hal tersebut mengakibatkan tuntutan dari masyarakat

yang menginginkan plasma segera diberikan. Padahal dalam kenyataanya

untuk mendapatkan plasma tersebut harus melalui proses yang panjang

dan tidak bisa di dapatkan secara instan.

Mayoritas perkebunan sawit yang ada di Kabupaten Seruyan adalah

perkebunan yang telah berdiri sebelum keluarnya Permentan Nomor 26

Tahun 2007. Dalam pandangan hukum perusahaan besar swasta yang

bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit yang telah berdiri dan

memiliki IUP sebelum keluarnya Permentan Nomor 26 Tahun 2007 tidak

memiliki kewajiban memberikan plasma masyarakat yang berasal dari

area HGU perusahaan sawit yang telah di tanam, namun perusahaan mau

membangun kebun plasma jika lahan tersedia dan berada di luar area

perkebunan yang termasuk dalam IUP.

a. Awal Konflik Pengelolaan Lahan Plasma Berdasarkan Peraturan

Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007


Akar konflik atau sumber konflik dari kasus antara perusahaan

kelapa sawit dan masyarakat sekitar perkebunan adalah ketika

keluarnya Permentan Nomor 26 Tahun 2007 tentang izin usaha

perkebunan berkenaan dengan perbedaan padangan diantara keduanya

dalam menentukan area lahan yang akan digunakan untuk membangun

kebun plasma. Dalam konflik ini, ada trianggulasi kepentingan yang

meliputi kepentingan psikologi, kepentingan prosedural dan

kepentingan substansional. Kepentingan psikologi adalah sumber

konflik dilihat sesuai dengan cara pandang dari pihak yang berkonflik.

Kepentingan prosedural adalah sumber konflik dilihat sesuai dengan

tatacara yang dilakukan untuk menjalankan misi. Sedangkan

kepentingan substansional adalah sumber konflik dilihat dari perbedaan

pandangan dalam menafsirkan isi dari Permentan Nomor 26 Tahun

2007.

1. Secara Psikologis, masyarakat beranggapan bahwa perusahaan

harus membangun kebun plasma minimal 20% dari total luas areal

kebun yang di usahakan. Kebun masyarakat tersebut dibangun

dalam area lahan perusahaan yang telah mendapatkan IUP. Jika

lahan yang di gunakan adalah lahan yang berasal dari masyarakat

maka perusahaan berkewajiban untuk mengganti rugi lahan yang

digunakan untuk membangun kebun masyarakat tersebut.

Sedangkan, perusahaan berpandangan jika kawasan yang


digunakan untuk membangun kebun masyarakat berada di luar area

perusahaan yang telah mendapatkan IUP (khusunya yang

beroperasi sebelum keluarnya Permentan Nomor 26 Tahun 2007).

2. Secara Prosedural, masyarakat sekitar perkebunan mempunyai misi

untuk tetap mempertahankan hak mereka untuk mendapatkan kebun

plasma minimal 20% dari area HGU perusahaan, baik yang

beroperasi sebelum keluarnya permentan ataupun setelah keluarnya

permentan. Sedangkan untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit

sendiri memiliki misi untuk tetap mempertahan pendapat mereka

dalam menafsirkan isi dari permentan berkaitan dengan pengaturan

areal lahan yang digunakan untuk membangun kebun plasma.

3. Secara Substansional, isi dari Permentan Nomor 26 Tahun 2007

pasal 11 ayat 1 yang multitafsir mengakibatkan ketidak jelasan dan

konflik antara masyarakat dan perusahaan perekebunan kelapa sawit.

Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2007 tentang izin usaha

perkebunan merupakan ujung pangkal dari konflik antara perusahaan

sawit dan masyarakat sekitar perkebunan. Tuntutan masyarakat kepada

perusahaan untuk memberikan plasma masyarakat minimal 20% dari

area IUP yang dimiliki perusahaan kelapa sawit. Munculnya konflik di

sebabkan karena perbedaan pandangan dalam menafsirkan isi dari

Permentan tersebut, khusunya pada pasal 11 ayat 1 yang mengatur

tentang plasma masyarakat. Keinginan masyarakat untuk di bangunkan


kebun plasma di area IUP perusahaan kelapa sawit dan mendapatkan

haknya secara cepat tanpa memahami proses panjang yang harus di

lalui juga merupakan masalah yang belum bisa terselesaikan.

2. Tantangan/Kendala yang di Hadapi Perusahaan dalam Pelaksanaan

Pemenuhan Kewajiban Menjalankan Permentan Nomor 26 Tahun

2007

Dalam melaksanakan kewajiban sosialnya, perusahaan perkebunan

sawit yang ada di Kabupaten Seruyan selama ini banyak mengalami

kendala, baik dari sisi perizinan, permodalan sampai kesulitan di lahan.

a. Perizinan

Untuk membangun kebun plasma masyarakat, perusahaan perkebunan

kelapa sawit harus melalui proses perizinan mulai dari pengajuan

permohonan kepada Bupati sampai bisa sampai proses land Clearing.

Proses untuk calon lahan yang masuk dalam kawasan Areal

Penggunaan Lain (APL) akan lebih cepat jika di bandingkan dengan

calon lahan yang masuk dalam kawasan Hutan Konversi (HPK)

ataupun kawasan Hutan Produksi (HP).

b. Permodalan

Selain masalah perizinan, permodalan juga merupakan suatu kendala

untuk perusahaan perkebunan sawit dalam melaksanakan kewajiban

membangun lahan plasma bagi masyarakat sekitar perkebunan. Dalam

pembangunan kebun plasma masyarakat diperlukan modal yang cukup


besar hingga bisa panen. Untuk modal kebun plasma ini dilakukan

melalui hubungan kerjasama dengan bank pemerintah ataupun swasta

yang telah di setujui oleh permerintah dan telah di sepakati baik dari

pihak perusahaan maupun bank.

c. Lahan

Setelah keluarnya Kepmenhut Nomor 529 Tahun 2012 tentang status

kawasan hutan. Maka semakin sulit perusahaan perkebunan sawit untuk

mencari lahan yang bisa digunakan sebagai lahan plasma. Perusahaan

harus mengkaji kawasan yang akan digunakan sebagai lahan plasma,

apakah lahan termasuk dalam kawasan APL, HP atau HPK. Persoalan

lahan ini juga merupakan suatu permasalahan yang cukup sulit atau

kendala yang cukup berat bagi perusahaan, karena jika tidak ada lahan

maka proses realisasi plasma akan semakin sulit untuk dijalankan.

Kawasan yang bisa dan siap untuk dibangun sebagai lahan plasma

adalah kawasan yang berstatus APL. Jika kawasan masih dalam status

HP atau HPK, perusahaan harus menyelesaikan legalitasnya dan

tentunya memerlukan proses yang makin panjang lagi. Area lahan

terbuka yang semakin kecil yang ada di Kalimantan Tengah Khusunya

Kabupaten Seruyan juga merupakan salah satu masalah yang cukup

berarti. Semakin meningkatnya angka pertumbuhan penduduk akan

semakin mendorong angka pertumbuhan pembangunan, mulai dari

pembangunan perumahan, hiburan dan industri.


3. Persepsi Pihak yang Terlibat dalam Pengelolaan Lahan Plasma di

Kabupaten Seruyan

a. Pandangan Perusahaan

Konflik pengelolaan lahan plasma yang terjadi sejak keluar dan di

berlakukannya Permentan Nomor 26 Tahun 2007 ini merupakan hal

yang sudah lama terjadi. Tuntutan masyarakat untuk membangun kebun

plasma berupa kebun kelapa sawit yang berada di area HGU

perusahaan dan juga tuntutan ganti rugi lahan masyarakat yang

digunakan untuk membangun lahan plasma merupakan pokok masalah

dari konflik ini.

Dalam pandangan perusahaan isi dari Permentan Nomor 26

Tahun 2007 tentang pedoman izin perkebunan, khususnya pada pasal

11 ayat 1 yang menjelaskan tentang lahan plasma. Perusahaan setuju

dan mau untuk menjalankan isi dari permentan tersebut, namun masih

banyaknya kesulitan dan perbedaan pandangan yang berbeda antara

masyarakat dan perusahaan membuat perusahaan sampai saat ini masih

sangat sulit untuk memenuhi kewajiban mereka membangun kebun

plasma minimal 20% dari luas area kebun perusahaan. Keberatan

perusahaan yang telah beroperasi sebelum keluarnya Permentan Nomor

26 Tahun 2007 dengan pembangunan kebun plasma di dalah area HGU

perusahaan sampai saat ini masih menjadi problem.


b. Pandangan Masyarakat

Masyarakat merupakan salah satu pihak yang terlibat dalam

konflik pengelolaan lahan plasma ini. Kebanyakan dari masyarakat

yang menginginkan cepat terealisasinya kebun plasma untuk

masyarakat membuat keadaan sempat memanas. Konflik yang di

landasi perbedaan persepsi antara masyarakat dan perusahaan ini

sempat menyebabkan hubungan yang tidak harmonis antara masyarakat

dan perusahaan. Demo massa mejadi salah satu upaya yang di lakukan

oleh masyarakat sekitar pekebunan untuk memyampaikan aspirasi

mereka dan juga untuk menuntut cepat terealisasinya hak-hak mereka

untuk mendapatkan lahan plasma minimal 20% yang harus di berikan

oleh perusahaan.

Dalam pandangan masyarakat, isi dari Permentan Nomor 26

Tahun 2007 tentang Izin Usaha Perkebunan khusunya dalam pasal 11

ayat 1 yang menjelaskan tentang kewajiban perusahaan dalam

pemenuhan lahan plasma minimal 20%, masyarakat beranggapan jika

untuk memenuhi kawajiban 20% tersebut perusahaan harus

membangunkan kebun dari luas area lahan perusahaan yang telah

mendapatkan izin. Namun jika sudah tidak ada lahan lagi dalam area

perkebunan milik perusahaan, perusahaan wajib mangganti rugi lahan

masyarakat yang di gunakan sebagai kebun plasma tersebut.


4. Upaya Penyelesaian Konflik

a. Upaya Perusahaan

Dalam penyelesaian konflik pengelolaan kebun plasma untuk

masyarakat sekitar perkebunan kelapa sawit yang ada di Kabupaten

Seruyan, pihak perusahaan sudah berusaha melakukan beberapa upaya

agar masalah ini bisa terselesaikan. Diantara upaya-upaya yang telah

dilakukan oleh perusahaan adalah sebagai beriku:

1. Memberdayakan masyarakat, dengan cara mengikut sertakan

masyarakat dalam setiap proses legalitas, mendirikan koperasi,

membantu kegiatan koperasi dan pengaktifan koperasi yang multi

usaha.

2. Memberikan pemahaman kepada masyarakat agar tidak hanya

berorientasi pembangunaan kebun masyarakat merupakan satu-

satunya upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,

tetapi dangan usaha prodiktif merupakan alternatif untuk mengatasi

permasalahn tersebut.

3. Memberikan masukan kepada pemerintah daerah untuk bersikap

tegas, baik pada perusahaan maupun masyarakat dalam

mengimplementasikan regulasi yang berlaku.

4. Malakukan komunikasi yang intens, baik dengan pemerintah

ataupun masyarakat untuk mendengarkan dan menyampaikan

masukan demi tercapainya penyelesaian konflik.


b. Upaya Pemerintah

Berbagai macam upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah

untuk menyelesaikan konflik pengelolaan lahan plasma yang ada di

Kabupaten Seruyan. Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh

pemerintah di antaranya:

1. Pemerintah provinsi mengeluarkan Keputusan Gubernur

Nomor 188.44/355/2010 Tentang Pembentukan Tim

Pencegahan, Penertiban, Penanganan dan Penyelesaian

Gangguan Usaha Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah.

Adapun tugas, fungsi dan kewenangan Tim Pencegahan,

Penertiban, Penanganan dan Penyelesaian gangguan Usaha

Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah yang diatur dalam

keputusan gubernur tersebut adalah:

a. Menghimpun data dan informasi terkait pencegahan,

penertiban, penanganan dan penyelesaian Gangguan

Usaha dan Konflik Perkebunan (GUKP) yang terjadi.

b. Mempersiapkan rapat/pertemuan.

c. Menetapkan jadwal rapat/pertemuan.

d. Menyiapkan bentuk penanganan di lapangan (sosialisasi).

e. Menyiapkan berita acara atau laporan.

f. Mengidentifikasi bentuk/jenis GUKP.


g. Mengumpulkan peraturan dan perundang-undangan yang

berlaku.

h. Menyiapkan administrasi dan jadwal pertemuan dan

kesiapan tim untuk identifikasi dan checking lapangan.

2. Memberikan surat himbauan kepada perusahaan±perusahaan

besar kelapa sawit yang ada di Kabupaten Seruyan,

diantaranya dengan mengeluarkan

a. Surat Bupati Seruyan melalui Dinas Kehutanan dan

Perkebunan Nomor 525/2987/HUTBUN/XII/2013 tentang

percepatan pembangunan kebun plasma (revitalisasi)

perkebunan kelapa sawit yang ditujukan kepada pimpinan

perusahaan perkebunan kelapa sawit Kabupaten Seruyan.

b. Surat Direktorat Jendral Perkebunan Nomor

326/RC.110/E/8/2011 tantang pembangunan kebun untuk

masyarakat sekitar oleh perusahaan penerima IUP atau

IUP-B.

c. Surat Departemen Pertanian Direktorat Jendral

Perkebunan Nomor 396/OT.140/E1.1/07/2007 tentang

penjelasan pasal 11 ayat (1) Permentan No. 26 Tahun

2007.

3. Mempermudah perusahaan untuk membuat perizinan dengan

catatan harus sesuai dengan standart yang ada.


4. Memberikan masukan kepada perusahaan untuk melakukan

plasma dengan aternatif lain misalnya mitra ternak sawit,

dimana jika mitra kebun sait (kebun plasma tidak bisa

dijalankan di karenakan tidak adanya lahan) maka perusahaan

bisa menggantikannya dengan ternak sapi ataupun ayam yang

di lakukan di area perkebunan.

5. Membuat skala prioritas kepada penerima plasma agar dengan

adanya perkebunan dapat di wujudkan kesejahteraan dan tidak

terjadi diskriminasi maupun ketimpangan sosial.

KESIMPULAN

1. Konflik pengelolaan lahan plasma di Kabupaten Seruyan terjadi karena

adanya multitafsir dalam Permentan Nomor 26 Tahun 2007 khususnya

pasal 11 ayat 1 mengenai pengaturan lahan yang akan di bangun kebun

plasma, sehingga menimbulkan perbedaan persepsi antara perusahaan

perkebunan kelapa sawit dan masyarakat sekitar perkebunan kelapa sawit

yang ada di Kabupaten Seruyan. Perbedaan pandangan dalam menentukan

lahan yang akan di gunakan untuk membangun kebun plasma terjadi

karena rata-rata perusahaan perkebunan yang ada di Kabupaten Seruyan

sudah beroperasi sebelum keluarnya Permentan tersebut, sehingga

perusahaan menginginkan lahan yang di gunakan untuk membangun

kebun plasma berada di luar HGU dan masyarakat menginginkan lahan

plasma tetap di bangun di areal HGU perusahaan. Dalam upaya untuk


memenuhi kewajiban sosialnya membangun kebun plasma untuk

masyarakat, perusahaan mengalami beberapa kendala diantaranya proses

perizinan yang panjang dan berebelit-belit, permodalan yang minim karena

untuk membangun suatu kebun plasma di butuhkan dana yang cukup

besar, lahan yang semakin sempit dan juga sering terjadi tumpang tindih

status kawasan karena keluarnya Kepmenhut Nomor 529 tahun 2012

tentang status kawasan hutan.

2. Perbedaan pandangan yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat

mengakitbatkan konflik pengelolaan lahan terjadi. Menurut pandangan

perusahaan, lahan yang akan digunakan untuk membangun kebun plasma

harus berada diluar areal perkebunan mereka, sehingga jika kebun plasma

di bangun di arel HGU perusahaan merasa keberatan. Sedangkan menurut

pandangan masyarakat, areal yang digunakan untuk membangun kebun

plasma harus berada dalam areal perkebunan perusahaan sesuai dengan

apa yang di atur dalam Permentan yang mereka pahami.

3. Untuk mengatasi konflik pengelolsaan lahan yang terjadi telah ada

beberapa upaya yang dilakukan oleh perusahaan maupun pemerintah.

Upaya yang dilakukan perusahaan perkebunan diantaranya:

memberdayakan masyarakat, Memberikan masukan kepada pemerintah

untuk bersikap tegas dalam mengimplementasikan regulasi yang berlaku,

melakukan komunikasi yang intens dengan semua pihak. Sedangkan upaya

yang dilakukan pemerintah adalah: Pembentukan Tim Pencegahan,


Penertiban, Penanganan dan Penyelesaian gangguan Usaha Perkebunan

Provinsi Kalimantan Tengah, Memberikan surat himbauan kepada

perusahaan±perusahaan besar kelapa sawit yang ada di Kabupaten

Seruyan, mempermudah perusahaan untuk membuat perizinan,

memberikan masukan kepada perusahaan untuk memberikan plasma

alternatif lain dan membuat skala prioritas untuk penerima lahan plasma.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Anselm, Strauss & Juliet Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif.


Yogyakarta:Pustaka Belajar.

Hermawan, Asep. Penelitian Bisnis Paradigma Kuantitatif. Jakarta: Grasindo.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 2009. Panduan Penanganan Konflik


Kepentingan bagi Penyelenggara Negara. Jakarta: KPK.

Moleong, lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Bandung: PT


Remaja Rosdakarya. 2010.

Mukhsin, Jamil. 2007. Resolusi Konflik: Model dan Strategis. Semarang:


Walisongo Median Centre.

Pruitt, Dean G. 2004. Teori konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:


Alfabeta.

Winardi. Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan), Bandung:


Mandar Maju. 1994.

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.


Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan

Usaha Perkebunan.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 93 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan

Usaha Perkebunan.

Peratutan Menteri Pertanian Nomor 33 Tahun 2006 tentang Pengembangan

Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan.

Surat Bupati Seruyan melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan Nomor

525/2987/HUTBUN/XII/2013 tentang percepatan pembangunan kebun

plasma (revitalisasi) perkebunan kelapa sawit

Sumber Internet:

http://ditjenbun.deptan.go.id/. Diakses tanggal 18 September 2013

http://iqbalpasoepati.blogspot.com/2012/11/macam-macam-konflik-sosial-

serta.html. diakses tanggal 15 desember 2013.

http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_kepentingan. diakses tanggal 29 Desember

2013.

You might also like