BAB II Sewa

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 33

BAB II

TINJAUAN UMUM PENGERTIAN SEWA RAHIM DALAM ISLAM

A. Pengertian Sewa Rahim dan Landasan Hukum Pengharaman Sewa Rahim

1. Pengertian Sewa Rahim (Surrogate Mother)

Sewa rahim adalah suatu kesepakatan di mana seorang wanita bersedia hamil dan

selanjutnya memberikan anak yang akan dilahirkannya pada orang tua lain yang akan

mengangkatnya sebagai anak. Ia (wanita) tersebut bisa menjadi ibu genetik dari si

anak (bentuk tradisional dari surrogacy), atau bisa juga dengan cara di buahi (transfer

embrio) dari benih orang lain (gestational surrogacy).1

Penyewaan rahim merupakan metode reproduksi bantuan (assisted reproduction).

Dalam beberapa kasus, ini menjadi satu-satunya alternatif bagi pasangan (yang sulit

punya anak) dan ingin memiliki anak yang masih memiliki ikatan dengan mereka

secara biologis.2

Di dalam situs http://en.wikipedia.com, dikenal beberapa terminologi tentang

penyewaan rahim yaitu:

1. In traditional surrogacy the surrogate is pregnant with her own biological child,
but this child was conceived with the intention of relinquishing the child to be
raised by others; often by the biological father and possibly his partner, either
male or female.
2. In gestational surrogacy the surrogate is pregnant via embryo transfer with a
child of which she is not the biological mother. She may have made an
arrangement to relinquish it to the biological mother or father to raise, or to a
parent who is themselves unrelated to the child (e. g. because the child was
conceived using egg donation and/or sperm donation).
3. Altruistic surrogacy is a situation where the surrogate is not receiving financial
reward for her pregnancy or the relinquishment of the child (sometimes with the
exception of expenses associated with the pregnancy or birth). Compare with
commercial surrogacywhich is a type of surrogacy in which the surrogate is being
1
Surrogacy,” http://en.wikipedia.com. Di akses pada tanggal 17 Desember 2014, 21:20 WIB
2
Ibid.

20
21

paid for her pregnancy and the relinquishment of the child. It is typically combined
with gestational surrogacy (see Commercial surrogacy).
A surrogate mother or birth mother is the woman who is pregnant with the
child. The word surrogate, from Latin subrogare (to substitute), means appointed
to act in the place of. The commissioning parents are the individual or persons
who intend to rear the child after its birth.
There is a tendency now to limit the term ‘surrogacy’ to only mean ‘gestational
surrogacy’.3

Di dalam terminologi seperti yang disebutkan di atas, disebutkan beberapa istilah

yang berkaitan dengan penyewaan rahim yaitu:

1. Menurut istilah traditional surrogacy, ibu sewa mengandung anaknya sendiri

secara biologis, namun anak ini setelah lahir akan diberikan pada orang tua lain

yang akan mengangkatnya sebagai anak; baik oleh ayah biologisnya sendiri, dan

mungkin untuk mitranya (mitra ayah biologisnya), baik wanita maupun pria.

2. Menurut istilah gestational surrogacy, ibu sewa mengandung lewat transfer

embrio dimana ia berarti bukan ibu si anak secara biologis. Ibu sewa tersebut bisa

membuat kesepakatan dengan ibu atau ayah biologisnya untuk mengangkat anak

yang akan dilahirkannya sebagai anak mereka sendiri, atau dengan orang tua

(pasangan suami istri) yang bahkan tidak memiliki hubungan apa-apa dengan si

anak (misalnya, anak ini dikandung dengan cara transfer embrio yang diambil dari

donor benih dan atau donor sperma).

3. Menurut istilah altruistic surrogacy, ibu sewa tidak menerima bayaran atas

kehamilannya atau atas anak yang akan diserahkannya (namun terkadang untuk

biaya medis selama masa hamil dan melahirkan ditanggung oleh calon orangtua

yang akan mengasuh si bayi). Sedangkan commercialsurrogacy sebaliknya,

dimana si ibu sewa mendapatkan bayaran uang atas kehamilan dan atas anak yang

3
Ibid.
22

akan ia serahkan pada orang tua angkatnya. Ini secara tipikal berkombinasi

dengan gestational surrogacy.

Seorang ibu sewa atau ibu yang melahirkan si bayi adalah wanita yang mengandung

si bayi tersebut. Kata surrogate berasal dari bahasa latinsubrogare (yang artinya

menggantikan), yang berarti wanita yang ditunjuk untuk bertindak sebagai ibu

pengganti atau ibu sewa. Para orang tua angkat (yang menunjuk ibu sewa) adalah

individu atau orang-orang yang akan membesarkan anak tersebut setelah dilahirkan.

Ada kecenderungan sekarang ini untuk membatasi istilah ‘surrogacy’ hanya berarti

“gestational surrogacy”.

Di dalam bahasa Arab, sewa rahim dikenal dengan berbagai macam

istilahdiantaranya: al-‘ummu al-musta’jir, al-ummu al-badilah, al-musta’jir al-

hadanah, syatlul janin, al-ummu al-kazibah, ar-rahmu al-musta’ar, atau ta’iirul

arham. Tetapi sewa rahim lebih dikenal dengan istilah ar-rahmu al-musta’jir atau al-

ummu al-badilah. Sedangkan di dalam bahasa Inggris sewa rahim dikenal dengan

istilah surrogate mother.4

Menurut Ali ‘Arif, di dalam bukunya al-‘Ummu al-Badilah(ar-Rahmu al-Musta’jirah)

sebagaimana dikutip oleh Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi, sewa rahim adalah

menggunakan rahim wanita lain untuk mengandungkan benih wanita (ovum) yang

telah dibuahi dengan benih laki-laki (sperma), dan janin itu dikandung oleh wanita

tersebut hingga lahir. Kemudian anak itu diberikan kembali kepada pasangan suami

4
Radin Seri Nabahah bt.Ahmad Zabidi, “Penyewaan Rahim Menurut Pandangan Islam.”
http//tibbians.tripod.com/shuib3.pdf, akses 19 December 2014, hlm. 2
23

isteri tersebut untuk memeliharanya dan anak itu dianggap anak mereka dari sudut

undang-undang.5

Yahya Abdurrahman al-Khatib mendefinisikan sewa rahim adalah dua orang suami

isteri yang membuat kesepakatan bersama wanita lain untuk menanamkan sel telur

yang telah diinseminasi (dibuahi) dari wanita pertama dengan sperma suaminya pada

rahim wanita kedua dengan upah yang telah disepakatinya. Selanjutnya, wanita kedua

ini disebut:6

1. Al-‘ummu al-musta’ar (ibu pinjaman), yaitu wanita yang di dalam rahimnya

dimasukkan sel telur yang telah diinseminasi (dibuahi). Ia juga disebut dengan

mu’jirah al-batni (wanita yang menyewakan perutnya).

2. Ar-rahim az-zi’r secara etimologis az-zi’r adalah wanita yang belas kasih kepada

anak orang lain dan yang menyusuinya, sama saja dari manusia atau unta.

Sedangkan bentuk jamaknya adalah az’ur az’ar dan zu’ur. Yang dimaksud

dengan ar-rahim az-zi’r di sini adalah bahwa sel telur itu diambil dari seorang

wanita, sedang rahim yang mengandung dan yang melahirkan adalah wanita lain.

3. Syatlu al-janin (penanaman janin), yaitu seorang suami mencampuri isterinya

yang tidak layak hamil, kemudian sperma itu dipindahkan dari isterinya ke dalam

rahim wanita lain yang mempunyai suami melalui metode kedokteran.

Selanjutnya, wanita inilah yang mengandungnya hingga melahirkan.

4. Al-mud’ifah (wanita pelayan), yaitu wanita lain dimana sel telur (ovum) yang

telah diinseminasi (dibuahi) dipindahkan ke dalam rahimnya. Ia juga disebut

dengan ummubi al-wakalah (ibu perwakilan).

5
Ibid.
6
Yahya Abdurrahman al-Khatib, 2003, Hukum-Hukum Wanita Hamil (Ibadah, Perdata, Pidana), cet. Ke-1 al-Izzah,
Jawa Timur, hlm. 166-167
24

Sedangkan Said Agil Husin al-Munawar mendefinisikan sewa rahim adalah penitipan

sperma dan ovum dari sepasang suami isteri ke dalam rahim wanita lain. Penyewaan

rahim biasanya melalui perjanjian atau persyaratan tertentu dari kedua belah pihak,

baik perjanjian tersebut berdasarkan rela sama rela (gratis), atau perjanjian itu berupa

kontrak.7

Masalah ini disebut dengan sewa rahim, karena biasanya orang atau pasangan

yang ingin memiliki anak akan membayar sejumlah uang kepada ibu sewa atau

kepada organisasi yang bertugas mencari wanita yang bersedia untuk dititipi sperma

dan ovum yang telah dibuahi, dengan syarat wanita tersebut bersedia untuk

menyerahkan anak tersebut setelah lahir atau pada masa yang dijanjikan. Istilah lain

yang biasa digunakan adalah ibu sewa, ibu titipan, ibu tumpang, atau ibu pengganti.

Hal ini disebabkan, karena terkadang ibu yang dijadikan tempat untuk menitipkan

sperma dan ovum tidak mendapatkan bayaran apa-apa dari pasangan yang memiliki

ovum dan sperma. Misalnya dalam kasus penitipan sperma dan ovum dan sperma

suami-isteri, kepada isteri yang lain dari suami yang sama.

2. Landasan Hukum Pengharaman Sewa Rahim

Salah satu tujuan dari pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan yang sah,

yang dihasilkan dengan cara yang wajar dari pasangan suami-isteri, karena rumah

tangga akan terasa kurang sempurna tanpa kehadiran seorang anak, sekalipun di

dalam rumah tangga tersebut terdapat harta yang berlimpah ruah. Diharapkan dengan

hadirnya seorang anak tidak saja dapat memberikan kepuasan batin ataupun juga

7
Said Agil Husin al-Munawar, 2004, Hukum Islam & Pluralitas Sosial, Penamadani, Jakarta, hlm. 105.
25

dapat menunjang kepentingan duniawi, tetapi lebih dari itu seorang anak sangat

diharapkan bisa memberikan manfaat bagi kedua orangtuanya.

Untuk memperoleh keturunan, tidak semua pasangan suami isteri dapat memperoleh

anak sebagaimana diharapkan. Hal itu disebabkan karena beberapa faktor, misalnya

seorang isteri tidak bisa mengandung, baik disebabkan masalah dari pihak suami

(impoten) ataupun masalah dari pihak isteri (mandul). Oleh karena itu, bayi tabung

merupakan salah satu alternatif yang bisa dijadikan cara untuk membantu pasangan

suami isteri yang mendambakan kehadiran seorang anak. Bayi tabung yang dilakukan

dengan menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri kemudian

embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim isteri, para ulama sepakat untuk

memperbolehkannya dengan syarat seyogyanya dilakukan oleh dokter ahli

(perempuan), sperma dan ovum berasal dari pasangan suami isteri, dilakukan dalam

keadaan yang betul-betul mendesak serta syarat-syarat yang lainnya yang tidak

melanggar aturan syara’. Cara seperti ini tidak dilarang dalam Islam karena nasab

anak bisa terjaga dan ini sesuai dengan konsep al-maqasid asy-syari’ah8 yang salah

satunya bertujuan untuk menjaga keturunan.

Kemandulan, walaupun merupakan takdir Allah SWT namun seringkali dianggap

suatu penyakit. Maka biasanya setiap pasangan suami isteri yang ingin memperoleh

keturunan dapat menempuh apapun cara asalkan tidak bertentangan dengan syara’.

Akan tetapi seiring berjalannya waktu, praktek bayi tabung ini berkembangkearah

hal-hal yang dilarang oleh agama yang salah satunya adalah praktek bayi tabung

8
Maqasid as-syari’ah adalah makna dan tujuan yang dikehendaki syara’ dalam mensyariatkan suatu hukum bagi
kemaslahatan umat manusia.
26

dengan menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri, kemudian

embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim wanita lain. Cara ini biasanya dikenal

dengan sewa rahim (surrogate mother). Ketika praktek bayi tabung dengan

menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri kemudian embrionya

ditransplantasikan ke dalam rahim wanita lain (surrogate mother) atau sewa rahim ini

terjadi, tentunya menimbulkan masalah hukum yang sangat pelik.

Surrogate mother apabila ditinjau dari segi teknologi dan ekonomi memang tidak

menimbulkan masalah, tetapi yang menjadi masalah adalah apabila hal ini dikaitkan

dengan persoalan hukum.

Selaku umat Islam, kita perlu mengenal pasti apakah ini sudah sesuai dengan

syara’ ataukah sebaliknya, karena ini merupakan masalah ijtihadiyah yang tidak

mempunyai nash yang jelas tentang pengharaman atau pengharusannya. Karena di

dalam kehidupan seorang muslim segala sesuatunya harus sesuai dengan syariat Islam

yang menitikberatkan maqasid as-syariah yaitu untuk memelihara kesucian nasab

dan mencegah dari percampuran nasab, serta menjaga kemuliaan anak adam.

Hukum positif yang mengatur tentang surrogate mother secara khusus di

Indonesia belum ada, namun kita bisa merujuk pada Pasal 1548 KUH Perdata, dan

Pasal 1320 KUH Perdata tentang sewa menyewa.

Pasal 1548 KUH Perdata berbunyi:

Sewa menyewa adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan
diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama
waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut
terakhir itu.
27

Berdasarkan bunyi Pasal 1548 KUH Perdata di atas, maka yang dijadikan objek

dalam sewa menyewa adalah barang yang dapat memberikan kenikmatan bagi para

pihak selama waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga. Tetapi kini muncul

suatu pertanyaan, apakah rahim seorang wanita dapat dianggap sebagai barang atau

tidak?

Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian didefinisikan sebagai sesuatu

perbuatan dimana seseorang atau beberapa orang atau beberapa orang mengikatkan

dirinya kepada seseorang atau beberapa orang lain. Dengan kata lain masing-masing

orang yang mengadakan perjanjian mempunyai keterikatan, mengikatkan diri pada

sebuah perjanjian. Kemudian pada pasal 1233 KUH Perdata, perikatan ditegaskan

sebagai sesuatu yang dilahirkan karena perjanjian maupun undang-undang. Karena itu

berdasarkan kedua pasal tersebut semua yang tercantum atau diperjanjikan

merupakan undang-undang bagi mereka dan termasuk untuk kepada unsur perjanjian.

Selain itu, untuk mengetahui sahnya suatu perjanjian maka persyaratan dari suatu

perjanjian harus dipenuhi oleh para pihak. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata syarat

sahnya suatu perjanjian melputi beberapa hal antara lain:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu pokok persoalan tertentu;

4. Suatu sebab yang tidak dilarang.

Bila syarat-syarat pertama dan kedua (subyektif) tidak terpenuhi, maka

perjanjiannya dapat dimintakan pembatalannya kepada pengadilan (verneigtibaar),


28

sedangkan jika syarat yang ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjiannya

batal demi hukum.

Apabila syarat pertama dan kedua diterapkan dalam perjanjian sewa menyewa

rahim, maka perjanjian tersebut dapat terpenuhi karena disini orang-orang yang

terlibat atau para pihak yang mengadakan perjanjian, yaitu orang tua yang menitipkan

embrio dan ibu pengganti adalah orang yang cakap melakukan perbuatan hukum.

Sedangkan masalah syarat ketiga dan keempat dalam Pasal 1320 KUH Perdata dapat

diterapkan dalam perjanjian sewa menyewa rahim, karena rahim dapat dijadikan

objek dalam perjanjian dan sebab yang halal juga dapat diterapkan karena hal itu

tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Walau

kasus ini belum muncul di Indonesia, tetapi pada akhirnya kasus semacam ini

mungkin akan lahir dan tumbuh di Indonesia, seperti halnya apa yang terjadi di

Inggris dan Amerika Serikat. Hal ini disebabkan karena perkembangan ilmu dan

teknologi yang tidak megenal batas wilayah. Walaupun persoalan sewa menyewa

rahim pada waktu KUH Perdata dibuat belum ada, tetapi Undang-undang

memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan isi perjanjian,

sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi:

Semua perjanjiam yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi

mereka yang membuatnya.

Kebebasan itu meliputi:

1. Kebebasan untuk melakukan perjanjian dengan siapapun.

2. Kebebasan untuk menetapkan isinya.


29

3. Perlakuan dan syarat sesuai kehendaknya.

4. Bebas untuk menentukan bentuk perjanjian.

5. Bebas untuk memilih ketentuan Undang-undang mana yang ia mau.

Menurut Desriza Ratman, perjanjian pada praktik surrogate mother dianggap tidak

sah jika tidak memenuhi salah satu persyaratan tersebut, antara lain persyaratan

tentang adanya sebab yang halal. Surrogate mother dinyatakan tidak sah dengan

alasan tersebut dengan dalil sebagai berikut:

1. Melanggar peraturan perundang-undangan yang ada (hukum positif):

a. UU RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 127 ayat (1) yang

berbunyi: upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh

pasangan suami isteri yang sah dengan ketentuan:

1) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami isteri yang bersangkutan

ditanamkan dalam rahim isteri dimana ovum berasal;

2) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan

kewenangan untuk itu;

3) Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

b. Permenkes RI

No.73/Menkes/PER/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi

Reproduksi Buatan.

1) Pasal 4: Pelayanan reproduksi teknologi buatan hanya dapat diberikan

kepada pasangan suami isteri yang terikat perkawinan yang sah dan

sebagai upaya akhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan pada

suatu indikasi medik.


30

2) Pasal 10:

(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan

Menteri ini dapat dikenakan tindakan administratif.

(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

berupa peringatan sampai dengan pencabutan izin penyelenggaraan

pelayanan teknologi reproduksi buatan.

(3) SK Dirjen Yan Medik Depkes RI tahun 2000 tentang Pedoman

Pelayanan Bayi Tabung di RS, terdapat 10 pedoman:

1) Pelayanan teknologi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur

dan sperma suami isteri yang bersangkutan; (pedoman no.1)

2) Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan

infertilitas sehingga kerangka pelayanan merupakan bagian dari

pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan; (pedoman

no.2)

3) Dilarang melakukan surrogacy dalam bentuk apapun; (pedoman

no.4)

2. Bertentangan dengan kesusilaan:

a. Tidak sesuai dengan norma moral dan adat istiadat atau kebiasaan umumnya

masyaraat Indonesia atau di lingkungannya.

b. Bertentangan dengan kepercayaan yang di anut oleh agama Islam karena

terdapat unsur pokok yang mengharamkan praktik sewa rahim yaitu unsur

zina.

3. Bertentangan dengan ketertiban umum:


31

a. Akan menjadi pergunjingan di dalam masyarakat sehingga wanita surrogate

mother besar kemungkinan akan dikucilkan dari pergaulan.

b. Terlebih lagi bila status dari wanita surrogate mother adalah gadis atau janda.

4. Poin 1,2, dan 3 diperkuat dengan pasal 1339 KUH Perdata, yang berbunyi

“Pejanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan sengaja

tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat

perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang” sehingga

pasal ini menyatakan bahwa dalam menentukan suatu perjanjian, para pihak tidak

hanya terikat terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut,

tetapi juga terikat oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.

5. Bertentangan juga terhadap pokok-pokok perjanjian atau perikatannya itu sendiri,

di mana rahim itu bukanlah suatu benda (hukum kebendaan) dan tidak dapat

disewakan (hukum sewa menyewa) yang terdapat pada Kitab Undang-undang

Hukum Perdata (KUH Perdata).

Menurut Prof Leenen bahwa: perjanjian antara ibu pengganti dengan orang tua

genetik adalah batal demi hukum, karena salah satu syarat untuk menjadikan

perjanjian tersebut sah adalah syarat yang halal dan syarat ini tidak dipenuhi sehingga

tidak mungkin seorang ibu menyerahkan seorang bayi yang ia lahirkan kepada pihak

lain, berdasarkan suatu perjanjian (baringscontract).9

Prof Leenen melihat perjanjian antara surrogate mother dengan orang tua genetis

dari segi hukum perdata terutama Pasal 1320 KUH Perdata, dan ia menyimpulkan

bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum, karena syarat keempat tidak terpenuhi,

9
Salim, 1993, Bayi Tabung Tinjauan Aspek Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta hlm. 86
32

yaitu sebab yang halal. Tetapi anehnya Prof. Leenen tidak melihat kepada pasal-pasal

yang lain, terutama Pasal 1338 KUH Perdata, yang memberikan kebebasan kepada

individu untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, dan pasal inilah yang

merupakan inti hukum perjanjian.

Dalam hukum Indonesia praktek surrogate mother ini tergolong metode atau upaya

kehamilan diluar cara yang alamiah. Dalam hukum ini praktek ibu pengganti secara

implisit tidak diperbolehkan. Dalam Pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan

oleh pasangan suami isteri yang sah dengan ketentuan:

a. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami isteri yang bersangkutan

ditanamkan dalam rahim isteri dari mana ovum berasal;

b. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan

untuk itu;

c. Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

Hal ini berarti bahwa metode atau kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur

dalam Pasal 127 UU Kesehatan, termasuk ibu pengganti (surrogate mother), secara

hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia. Larangan ini juga termuat dalam Pasal 16

UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (UU lama), yang menegaskan bahwa

kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk

membantu suami isteri mendapatkan keturunan, dan Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 73/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi

Reproduksi Buatan: Pasal 4, juga menegaskan bahwa pelayanan teknologi reproduksi

buatan hanya dapat diberikan kepada pasangan suami isteri yang terikat perkawinan
33

yang sah dan sebagai upaya terakhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan

suatu indikasi medik.

Dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut, terdapat kesamaan yang

menegaskan bahwa bayi tabung yang diperbolehkan hanya kepada pasangan suami

isteri yang sah, lalu menggunakan sel sperma dan sel telur dari pasangan tersebut

yang kemudian embrionya ditanam dalam rahim isteri bukan wanita lain atau wanita

yang menyewakan rahimnya.

Bagi masyarakat yang hendak melakukannya (surrogate mother), diancam

sanksi pidana (Pasal 82 UU No. 23 Tahun 1992). Hal ini dilakukan untuk menjamin

status anak tersebut sebagai anak sah dari pasangan suami isteri tersebut.

Selain itu ayat Al-Qur’an yang secara tegas menyebutkan larangan pelaksaan bayi

tabung dengan menggunakan rahim wanita lain (sewa rahim) memang tidak ada.

Akan tetapi, tidak berarti Al-Qur’an sama sekali tidak memberikan petunjuk

pemecahan hukum atas masalah tersebut. Ada beberapa dalil syar’i yang bisa

diqiyaskan atau yang bisa dijadikan rujukan untuk mengetahui hukum sewa rahim

dengan menggunakan sperma dan ovum dari suami isteri, kemudian embrionya

ditransplantasikan ke dalam rahim wanita lain. Dalil-dalil tersebut adalah:

a. Firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 30 yang artinya:

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya,

dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka.

Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”10

10
QS. An-Nur ayat 30
34

Di dalam kedua ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan

kepada laki-laki yang beriman, agar menahan dan memelihara kemaluannya.

Kemudian dilanjutkan dengan perintah serupa kepada wanita-wanita agar

menahan pandangan dan memelihara kemaluannya.

b. Qs. Al-Ahzab : 4 yang artinya:

“Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu

(sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkatan di mulutmu saja. Dan Allah

mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar.”11

Berdasarkan firman Allah SWT di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:

a. Diperintahkan kepada laki-laki dan wanita yang beriman agar memelihara

kemaluan dan penglihatannya;

b. Diharamkan bagi seorang laki-laki menyiram spermanya di dalam rahim

orang lain, dan;

c. Anak angkat tidaklah sama dengan anak kandung. Sewa rahim yang

menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang embrionya

ditransplantasikan ke dalam rahim ibu penggantinya sama halnya dengan

anaks susuan atau sama statusnya dengan anak angkat.

Hal di atas tentunya analog dengan pengharaman sewa rahim yang dilakukan dengan

menggunakan sperma dan ovum dari suami isteri kemudian embrionya

ditransplantasikan ke dalam rahim wanita lain, karena adanya keterlibatan pihak

ketiga (wanita lain selain isteri) dalam prosesi kelahiran seorang anak. Apabila

praktek sewa rahim ini dilakukan oleh pasangan suami-isteri, maka akan

11
QS. Al-Ahzab ayat 4
35

menimbulkan akibat hukum yang sangat pelik (khususnya yang berhubungan dengan

nasab anak) serta menimbulkan kemudharatan yang jauh lebih besar daripada manfaat

yang didapat.

Adapun dikalangan ulama dan cendekiawan muslim, terdapat beberapa pendpat

dalam menyoroti masalah sewa rahim dengan menggunakan sperma dan ovum dari

pasangan suami isteri, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim wanita

lain. Berikut ini adalah pandangan yang dikemukakan oleh para ulama:

a. Ulama atau cendekiawan muslim yang mengharamkan.

Termasuk dalam kelompok ini adalah Lembaga Fikih Islam OKI, Majelis Ulama

Indonesia DKI Jakarta, Majelis Tarjih Muhammadiyah, Muktamar, Munas dan

Konbes Nadhatul Ulama dan Fathurrahman Djamil. Alasan yang mereka

kemukakan diantaranya adalah praktek sewa rahim ini akan memicu terjadinya

percampuran nasab, menurunkan martabat manusia, merusak tata hukum yang

akan dibina dalam masyarakat, serta perbuatan ini dapat dianalogikan dengan

perbuatan zina berdasarkan hadis Nabi bahwa tidak halal bagi seorang yang

beriman kepada Allah dan hari akhir menyirami air (spermanya) ke ladang

(rahim) orang lain (selain isterinya).

b. Ulama atau cendekiawan muslim yang membolehkan.

Sepanjang penelusuran penyusun, hanya Ali Akbar yang dengan terang-terangan

membolehkan praktek sewa rahim ini dengan alasan bahwa “sesuatu” yang

dicampur di dalam rahim wanita lain tersebut hanyalah sperma dan ovum yang

telah bercampur (digabungkan) yang pada tahap-tahap selanjutnya akan menjadi

embrio. Sehingga, ketika embrionya dimasukkan ke dalam rahim wanita lain (ibu
36

titipan), tujuannya hanya menitipkan untuk memperoleh kehidupan, yaitu

makanan untuk membesarkan embrio tersebut agar menjadi bayi yang sempurna.

Menurut beliau, hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan zina. Lebih

lanjut Ali Akbar berpendapat bahwa praktek sewa rahim ini bisa disamakan

dengan masalah ibu susuan (karena pada dasarnya, ibu yang dititipkan sperma

dan ovum dari pasangan suami isteri tersebut akan mendapatkan upah dari

pasangan yang memesannya). Dan di dalam Islam menurut beliau diperbolehkan

menyusukan anak kepada wanita lain. Maka sewa rahim ini juga diperbolehkan

dengan cara mengqiyaskan sama dengan persoalan penyusuan (ar-rada’ah).

Menurut Majma’ al-Fiqhu al-Islami 12 , sebagaimana ditetapkan dalam keputusannya

tertanggal 8-13 Safar 1407 H pada poin ketiga mereka memutuskan untuk

mengharamkan praktek inseminasi buatan dengan bibit dari suami isteri dan

ditransplantasikan pada orang (wanita lain). Alasan pengaharaman tersebut menurut

Suwito disebabkan adanya kekhawatiran akan terjadinya percampuran nasab dan

hilangnya perasaan keibuan serta halangan syara’ lainnya.13

Diantara sebab-sebab yang menjadi landasan pengharaman sewa rahim adalah:14

1. Sewa rahim membawa banyak keburukan dan kemudharatan kepada masyarakat

dibanding manfaat yang diperoleh dan hal ini bertentangan dengan al-maqasid as-

syari’ah.

12
Suatu lembaga yang membahas permasalahan-permasalahan keislaman yang berpusat di Cairo, Mesir, dan
Lembaga Fiqih Islam yang berada di bawah naungan Organisasi Konferensi Islam (OKI).
13
Suwito, 2002, “Inseminasi Buatan Menurut Tinjauan Hukum Islam”, dalam Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz
Anshari AZ (ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer Pustaka Firdaus, Jakarta, hlm. 24.
14
Ibid., hlm. 6-11
37

Praktek sewa rahim ini bisa menjatuhkan dan merendahkan martabat wanita sebagai

makhluk yang telah dimuliakan oleh Allah dan terhindar dari praktek jual beli seperti

barang dagangan yang boleh diperjualbelikan. Di negara-negara Barat, banyak

terdapat instansi-instansi yang melayani praktek sewa rahim yang seolah-olah rahim

adalah seperti barang dagangan. Tujuannya hanyalah semata-mata untuk mencari

keuntungan duniawi.

Hal ini tentunya bertentangan dengan konsep akhlak di dalam Islam yang

memposisikan persamaan dan kebebasan di kalangan manusia. Ia juga akan

merendahkan kedudukan wanita sebagai anak Adam yang telah dimuliakan oleh

Allah SWT, diberikan rezeki dari yang baik-baik, dan diberikan kelebihan yang lebih

sempurna dibandingkan dengan makhluk Allah yang lain sebagaimana Firman Allah

SWT yang artinya:

“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di

darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami

lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang

sempurna.”15

2. Menjatuhkan kedudukan dan kemuliaan seorang wanita karena perbuatan ini

dikategorikan sebagai bentuk perzinahan, sedangkan memelihara kemuliaan itu

adalah tuntutan syari’at. Namun, terdapat perbedaan antara zina dan penyewaan

rahim karena zina melibatkan hubungan kelamin antara laki-laki dan wanita

sementara biasanya perzinahan berupaya menghindari untuk mendapatkan anak.

Tetapi, walau bagaimanapun masalah ini tetap tidak terlepas dari perbuatan yang

diharamkan oleh syari’at karena akan membawa kepada percampuran nasab. Ini
15
QS. Al-Isra ayat 70
38

adalah karena tidak ada hubungan pernikahan antara suami isteri pemilik benih

dengan ibu tumpang (ibu pengganti) tersebut.

3. Sewa rahim bisa mengubah sifat keibuan keluar dari konsep ibu sebenarnya

sebagaimana yang berlangsung sejak awal penciptaan manusia, karena seorang ibu

pada dasarnya bukan hanya sekedar memiliki benih yang akan mewariskan sifat-sifat

dirinya. Tetapi lebih dari itu ia memiliki tanggung jawab mengandung, melahirkan,

menyusui dan memelihara anak tersebut. Akibat dari praktek sewa rahim ini, konsep

ibu sejati (memiliki benih dan melahirkan) tidak terwujud. Akibatnya, masalah ini

akan membuka kemungkinan kepada wanita untuk sewenang-wenang melepaskan

diri daripada tanggung jawab sebagai seorang ibu yang merasakan sakit dan

kesusahan ketika mengandung dan melahirkan. Masalah ini juga seolah-olah

memperbolehkan seorang wanita untuk memperoleh anak dengan cara yang mudah

jika ia memiliki kemampuan dari sudut materi atau finansial (dengan cara melakukan

sewa rahim). Bahkan, seseorang dimungkinkan bisa memiliki anak yang banyak

dalam waktu yang singkat jika pada setiap bulan benih dibuahi dan dimasukkan ke

dalam ibu titipan yang berbeda-beda. Dalam masa setahun, pasangan itu bisa

memiliki dua belas orang anak. Hal ini tentunya bertentangan dengan prinsip Islam

yang memberikan kelebihan seorang ibu lebih utama dibanding bapak tiga kali lipat

dan hak memelihara anak apabila terjadi perceraian diserahkan kepada ibu. Ini

diberikan sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap pengorbanan ibu

yang telah mengandung, melahirkan, menyusui dan membesarkan anak yang tidak

ada bandingannya. Firman Allah SWT yang artinya:


39

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang

tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah,

dan menyapihnya dalam usia dua tahun.”16

4. Apabila ibu titipan tersebut adalah wanita yang belum menikah tetapi dia

menyewakan rahimnya kemudian hamil, hal ini akan menyebabkan terjadinya

keleluasaan praktek kemungkaran dalam masyarakat.

5. Islam memandang rahim wanita mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan bukan

barang hinaan yang boleh di sewa atau diperjual-belikan, karena rahim adalah

anggota tubuh manusia yang mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan naluri

dan perasaan ketika seorang ibu mengandung. Ia (rahim) sangat berbeda dengan

tangan dan kaki yang digunakan untuk bekerja yang tidak melibatkan perasaan.

Rahim dikategorikan sebagai sesuatu yang diharamkan untuk disewa, karena ia

berhubungan dalam penentuan nasab. Selain itu, perantara untuk mendapatkan anak

adalah hak Allah SWT dan menyewa rahim termasuk pada bagian faraj. Sedangkan

hukum asal sesuatu yang berasal dari faraj adalah haram sebagaimana dikatakan

dalam kaidah :

Al-ashlu fiil ibdho’I at-tahriim17

6. Diantara syarat sahnya suatu akad nikah tidak adanya permusuhan atau perselisihan

antara kedua belah pihak yang melakukan akad. Dalam penyewaan rahim ini, tidak

mustahil akan terjadinya perselisihan dalam menentukan hak kepemilikan dan nasab

anak yang dilahirkan karena adanya pihak ketiga selain suami dan isteri pemilik benih

(ibu pengganti). Masalah lain yang kemudian akan muncul adalah kesulitan dalam

16
QS. Luqman ayat 14
17
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, 2006, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah
yang Praktis, cet. Ke-1 Kencana, Jakarta, Hlm. 122
40

menentukan ibu yang sebenarnya bagi bayi tersebut, apakah ibu pemilik benih dan

ciri-ciri genetik pada anak atau ibu yang mengandung serta melahirkannya. Begitu

juga dengan masalah dalam menentukan nasab anak kepada bapaknya dan lain-lain.

Selain itu, tidak menutup kemungkinan masalah ini akan membuat keresahan di

tengah-tengah masyarakat apabila ibu tumpang (ibu pengganti) tersebut tidak mau

menyerahkanbayi yang telah dikandungnya dan membatalkan perjanjian yang telah

dibuat sekalipun telah dibayar secara penuh oleh pihak pasangan suami isteri atau

orang yang menyewa rahimnya itu. Hal ini bisa jadi disebabkan karena perasaan ibu

titipan tersebut berubah dan ia mulai menyayangi bayi yang dianggap anaknya sendiri

setelah melalui proses kehamilan dan melahirkan.

7. Walaupun keinginan untuk memiliki keturunan adalah tujuan utama dalam

pernikahan, tetapi apabila dilihat dari dampak atau akibat sewa rahim ini, ternyata

membawa lebih banyak mudharat ketimbang manfaat yang di dapat.

Pengharaman penyewaan rahim ini lebih dekat kepada konsep saddu azzari’ah

(menutup jalan kepada kemudharatan) dan menepati al-maqasid as-syari’ah untuk

memelihara keturunan (hifzu an-nasl) daripada terjadinya percampuran nasab dan

menghindari terjadinya penistaan terhadap kehormatan manusia. Sedangkan pendapat

yang mengatakan bahwa masalah ini termasuk dalam kaidah fiqih yang artinya:

“Tidak bisa diterima karena diantara kriteria darurat itu adalah kekhawatiran akan

terjadinya kemudharatan yang lebih parah kepada diri dan orang lain.”

8. Selain itu, apabila ada pihak yang membolehkan penyewaan rahim dan beralasan

dengan menqiyaskan konsep penyewaan rahim dengan penyusuan (ar-rada’ah),


41

alasan ini juga tidak bisa diterima karena penyewaan rahim berbeda dengan

penyusuan yang bisa dilihat dari beberapa hal:

a. Manfaat dalam upah penyusuan adalah manfaat yang di syariatkan di dalam Al-

Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur’an yang artinya:

“Kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu, maka berikanlah imbalan

kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan

baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan

anak itu untuknya.”18

b. Seorang anak yang disusui mempunyai nasab yang jelas dengan kedua ibu

bapaknya dan ini berbeda dengan janin yang belum sempurna di dalam rahim ibu

tumpang (ibu pengganti).

c. Bayi yang disusui boleh diberi makanan lain selain susu dalam keadaan tertentu.

Berbeda dengan penyewaan rahim karena makanan janin bergantung sepenuhnya

kepada darah ibu yang mengandungkannya.

B. Prosedur / Tata Cara Sewa Rahim

Sebelum membicarakan tentang tata cara pembuahan dengan cara inseminasi buatan atau

dalam hal ini sewa rahim, terlebih dahulu perlu dijelaskan teknik inseminasi buatan yang

dikembangkan dalam dunia kedokteran.

Menurut H. Masjfuk Zuhdi teknik inseminasi buatan yang dikembangkan dalam dunia

kedokteran ada dua, yaitu:

18
QS. At-Thalaq ayat 6
42

1. Teknik In Vitro Vertilization dengan cara mengambil sperma suami dan ovum isteri,

kemudian di proses di vitro (tabung), dan setelah terjadi pembuahan lalu di

transferkan ke dalam rahim isteri;

2. Teknik Gamet Intra Felopian Tuba (GIFT) dengan cara mengambil sperma suami

dan ovum isteri, dan setelah dicampur terjadi pembuahan, maka segera di tanam di

saluran telur (tuba fallopi)19

Sewa Rahim (surrogate mother) menggunakan rahim wanita lain untuk mengandungkan

benih wanita (ovum) yang telah disenyawakan dengan benih laki-laki (sperma), dan janin

itu dikandung oleh wanita tersebut sehingga dilahirkan. Kemudian anak itu diberikan

kepada pasangan suami isteri itu untuk memeliharanya dan anak tersebut merupakan

anak mereka dari sudut undang-undang.

Menyewakan rahim adalah, menanam ovum seorang wanita yang subur bersamaan

dengan sperma suaminya di dalam rahim wanita lain dengan imbalan sejumlah uang

ataupun tanpa imbalan karena berbagai sebab diantaranya, rahim pemilik ovum tidak baik

untuk hamil, atau ketiadaan rahim bersamaan dengan adanya dua sel telur yang subur

atau salah satunya, atau karena pemilik ovum ingin menjaga kesehatan dan

kecantikannya dan sebagainya dari beberapa sebab yang ada.

Dalam sewa rahim sperma suami disenyawakan dengan ovum isteri dalam radar

maksimal, kemudian benih yang telah disenyawakan tadi dimasukkan ke dalam rahim

wanita lain sebagai pihak ketiga (bukan isteri).

Terdapat 5 bentuk penyewaan rahim diantaranya:

19
H. Masjfuk Zuhdi, 1989
43

1. Bentuk pertama, benih istri (ovum) disenyawakan dengan benih suami (sperma),

kemudian dimasukkan kedalam rahim wanita lain. Kaedah ini digunakan dalam

keadaan istri memiliki benih yang baik, tetapi rahimnya dibuang karena pembedahan,

kecacatan yang teruk, akibat penyakit yang kronik atau sebab-sebab yang lain.

2. Bentuk kedua, sama dengan bentuk pertama, kecuali benih yang telah disenyawakan

dibekukan dan dimasukkan ke dalam rahim ibu pengganti selepas kematian pasangan

suami isteri itu.

3. Bentuk ketiga, ovum isteri disenyawakan dengan sperma lelaki lain (bukan suaminya)

dan dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini apabila suami mandul dan

isteri ada kecacatan pada rahimnya tetapi benih isteri dalam keadaan baik.

4. Bentuk keempat, sperma suami disenyawakan dengan ovum wanita lain, kemudian

dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini berlaku apabila isteri ditimpa

penyakit pada ovary dan rahimnya tidak mampu memikul tugas kehamilan, atau isteri

telah mencapai tahap putus haid (menopause).

5. Bentuk kelima, sperma suami dan ovum isteri disenyawakan, kemudian dimasukkan

ke dalam rahim isteri yang lain dari suami yang sama. Dalam keadaan ini isteri yang

lain sanggup mengandungkan anak suaminya dari isteri yang tidak boleh hamil.20

Proses penanaman bibit (Embryo Transfer)

1. Jika menggunakan teknik Fertilisasi in Vitro, proses penanaman bibit dalam tujuh

tingkatan dasar yang dilakukan oleh petugas medis21, yaitu:

20
Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi, “Penyewaan Rahim.” Hlm. 4-5.
21
Proses Inseminasi Buatan atau Bayi Tabung, www.Id.wikipedia.com diakses pada tanggal 27 Januari 2015
44

a. Istri diberi obat pemicu ovulasi yang berfungsi untuk merangsang indung telur

mengeluarkan sel telur yang diberikan setiap hari sejak permulaan haid dn baru

dihentikan setelah sel-sel telurnya matang.

b. Pematangan sel-sel telur dipantau setiap hari melalui pemeriksaan darah istri dan

pemeriksaan ultrasonografi.

c. Pengambilan sel telur dilakukan dengan penusukan jarum melalui vagina dengan

tuntunan ultrasonografi.

d. Setelah dikeluarkan beberapa sel telur, kemudian sel telur tersebut dibuahi dengan

sel sperma suaminya yang telah diproses sebelumnya dan dipilih yang terbaik.

e. Sel telur dan sperma yang sudah dipertemukan di dalam tabung fetri kemudian

dibiakkan di dalam lemari pengeram. Pemantauan dilakukan 18-20 jam kemudian,

dan keesokan harinya diharapkan sudah terjadi pembuahan sel.

f. Embrio yang berada dalam tingkat pembelahan sel ini kemudian diimplantasikan

ke dalam rahim istri. Pada periode ini tinggal menunggu terjadinya kehamilan.

g. Jika dalam waktu 14 hari setelah embrio diimplantasikan tidak terjadi menstruasi,

dilakukan pemeriksaan air kemih untuk kehamilan, dan seminggu kemudian

dipastikan dengan ultrasonografi.

2. Sedangkan jika menggunakan teknik Tandur Alih Gamet Intra Tuba (Gamette Intra

Fallopian Transfer) proses penanaman bibit dilakukan dengan pencucian sperma

dengan memisahkan sperma yang motil dengan sperma yang tidak motil/mati.

Sesudah itu, antara sel telur dan sperma dipertemukan lalu disemprotkan kedalam

rahim.22

22
Suwito, 2002, Inseminasi Buatan Menurut Tinjauan Hukum Islam, dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz
Anshari AZ (ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, hlm 21
45

C. Hak dan Kewajiban Penyewa dengan Yang di Sewa

Sebagaimana halnya dengan perjanjian pada umumnya, demikian pula pada

perjanjian sewa menyewa, hak dan kewajiban haruslah dipenuhi pada saat tercapainya

kata sepakat diantara para pihak yang mengadakan perjanjian.

Hak dan kewajiban wanita yang menyewakan rahimnya (ibu pengganti) terhadap

penyewa (suami isteri pemilik sel sperma dan ovum)23:

1. Ibu tumpang itu mestilah wanita yang bersuami, bukan anak gadis atau janda.

2. Wanita itu juga wajib mendapatkan izin suaminya, karena kehamilan akan

menghalanginya memberikan beberapa hak suaminya selama waktu kehamilan dan

nifas seperti hubungan seks dan sebagainya.

3. Wajib bagi ibu tumpang beriddah dari suaminya, untuk menghilangkan keraguan

masih terdapatnya benih yang disenyawakan pada rahimnya yang akan menyebabkan

berlaku percampuran nasab.

4. Ibu tumpang bertanggung jawab dalam membesarkan janinyang ada dalam

kandungannya.

5. Ibu tumpang juga harus memeriksakan kesehatan janinnya secara teratur, laporan

kesehatan tentang kesehatan ibu dan janin yang ada dalam kandungannya serta

laporan psikologi secara komplit diberikan pada pasangan suami isteri.

6. Ibu tumpang berhak mendapatkan upah dalam jumlah tertentu.

7. Nafkah ibu tumpang, biaya perawatan dan pemeliharaannya sewaktu masa kehamilan

dan nifas adalah tanggung jawab pemilik benih, atau wali sesudahnya, karena janin

tersebut tumbuh akibat dari darahnya. Justru wajib bagi pemilik embrio untuk

membayar kadar kehilangan darah tersebut.


23
Al-Qardhawi, Fatwa Al-Musarah, (Kaherah : Dar Al-Wahbah), Juz I, hlm. 574-575
46

8. Ibu tumpang berhak menyusukan bayi itu jika ia ingin berbuat demikian, karena

membiarkan susu pada badannya akan memudharatkan fisik, sebagaimana

perasaannya juga terkesan apabila anak itu diambil dari padanya karena Allah

berkaitan dengan proses kelahiran.

Hak dan kewajiban suami isteri pemilik ovum terhadap ibu pengganti:

1. Pasangan suami isteri pemilik ovum wajib membayar sejumlah uang kepada ibu

pengganti.

2. Penyewa wajib menanggung segala biaya yang dikeluarkan untuk proses bayi tabung

termasuk untuk biaya perawatan ibu pengganti selama masa kehamilan Sembilan

bulan lamanya.

3. Pasangan suami isteri berhak atas anak yang dikandung oleh ibu pengganti. Setelah

proses persalinan berlangsung penyewa berhak mendapatkan anak tersebut.

D. Doktrin Fiqih Tentang Sewa Rahim Dalam Islam

Diantara pendapat ulama/pemikir yang membolehkan pelaksanaan bayi tabung

dengan ibu pengganti (sewa rahim) adalah:

Dr. Ali Akbar berpendapat bahwa: Menitipkan bayi tabung pada wanita yang bukan

ibunya boleh, karena si ibu tidak menghamilkannya, sebab rahimnya mengalami

gangguan, sedangkan menyusukan anak kepada wanita lain di bolehkan dalam Islam,

malah boleh diupahkan. Maka bolehlah memberikan upah kepada wanita yang

meminjamkan rahimnya.”24

24
Salim, 1993, Bayi Tabung Tinjauan Aspek Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 46
47

Pandangan tersebut secara tegas menyebutkan bahwa cara ibu titipan dibolehkan, dan

cara ini disamakan dengan ibu susuan yang dikenal dalam Islam. Dengan adanya

penegasan tersebut, maka dengan sendirinya anak yang dilahirkan oleh si ibu titipan

dapat dikualifikasikan sebagai anak susuan.

Prof. Drs. Husein Yusuf juga memberikan komentar yang serupa dengan Ali Akbar.

Beliau mengatakan bahwa: status anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung

berdasarkan titipan, tetap anak yang punya bibit dari ibu yang melahirkan adalah sama

dengan ibu susuan.

Pendapat H. Salim Dimyati juga mempunyai pandangan bahwa: bayi tabung yang

menggunakan sel telur dan sperma dari suami-isteri yang sah, lalu embrionya dititipkan

kepada ibu pengganti, maka anak yang dilahirkannya tidak lebih hanya anak angkat

belaka, tidak ada hak mewarisi dan diwarisi, sebab anak angkat bukanlah anak sendiri

dan tidak boleh disamakan dengan anak kandung.25

Dari ketiga pendapat tersebut diatas jelas bahwa bayi tabung dengan ibu pengganti

dibolehkan, dengan syarat benih yang dititipkan berasal dari hasil perkawinan yang sah,

dan status anak yang dilahirkan dapat dikategorikan sebagai anak susuan, dan antara anak

susuan dan ibu susuan tidak dapat saling mewarisi.

Zakaria Ahmad al Bari dalam kitabnya beliau menguraikan pendapat bahwa Inseminasi

buatan itu boleh menurut syara’, jikalau dilakukan dengan mengunakan sperma suami.26

Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’ (MPKS) Departemen Kesehatan Republik

Indonesia: “Permanian buatan dengan mani suami sendiri tidak terlarang.”27

25
Ibid.
26
Zakaria Ahmad Al Bari, 1964, Ahkamul Aulad fil Islam, Ad Darul Qaumiyah, Kairo, hlm. 13
48

Sejumlah ulama yang lain telah mengemukakan pendapatnya yang senada dengan

pendapat tersebut di atas, yakni bahwasanya inseminasi buatan dengan sperma suami

sendiri adalah boleh. Alasan yang dikemukakan berkisar antara: mengingat asal sperma,

yaitu dari suami sendiri, tidak menimbulkan masalah apa-apa, serta penerimaan para

ulama bahwa cara inseminasi buatan adalah usaha atau ikhtiar yang sangat berfaedah dan

memberi maslahat, yaitu lahirnya anak yang sangat didambakan dan dihajatkan oleh

pasangan suami isteri yang bersangkutan.

Sungguh meskipun mayoritas ulama membolehkan inseminasi buatan dengan sperma

suami namun ada juga ulama yang mengharamkan. Diantara pendapat yang

mengharamkan teknik bayi tabung dengan ibu pengganti adalah:

Hasil ijtihad Ahli Fiqih dari berbagai pelosok dunia Islam pada tahun 1986 di Aman

yang tercantum dalam ketetapan dari sidang ketiga dari Majma’ul Fiqhil Islamiy Athfalul

Annabib (bayi tabung), yang intinya melarang perbuatan bayi tabung dengan ibu

pengganti karena hal ini dilarang menurut Syara’.

Hasil ijtihad tersebut di atas senada dengan Surat Keputusan Majelis Ulama

Indonesia Nomor: Kep-952/MUI/XI/1990 tentang Inseminasi Buatan atau Bayi Tabung.

Dalam keputusan ini disebutkan bahwa: Inseminasi buatan atau bayi tabung dengan

sperma dan ovum yang diambil secara muhtaram dari pasangan suami-isteri untuk suami-

isteri yang lain hukumnya haram atau tidak dibenarkan dalam Islam.

Kedua hasil ijtihad tersebut mengharamkan penggunaan teknik bayi tabung yang

menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri lalu embrionya

ditransplantasikan ke dalam rahim isteri yang lain (isteri kedua, ketiga atau keempat).

27
MPKS Depkes. RI, 1970, Permanian Buatan, fatwa No.8/1959, Bagian Penerbitan/Perpustakaan Departemen
Kesehatan RI, Jakarta. Hlm. 122
49

Dengan demikian jelaslah bahwa status anak yang dilahirkan oleh isteri-isteri yang lain

sebagai anak zina.

Status anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung model titipan seperti ini

persoalannya lebih rumit, beberapa ulama ada yang mengharamkan perbuatan tersebut

dan menganggap anak dari hasil bayi tabung dengan ibu pengganti sebagai anak zina, tapi

beberapa ulama juga membolehkan atau menghalalkan teknik bayi tabung dengan ibu

pengganti ini, dengan syarat adanya ikatan perkawinan yang sah antara pasangan suami

isteri yang menitipkan embrio. Berdasarkan hasil ijtihad beberapa ulama/pemikir, dan

dengan metode qiyas yang digunakan, maka status anak bayi tabung dengan ibu

pengganti dapat dikategorikan ke dalam anak susuan yang telah ada hukum yang

mengaturnya dalam Al-Qur’an, dengan ‘illat atau alasan baik anak susuan maupun anak

hasil bayi tabung dengan ibu pengganti sama-sama dipelihara dan disusukan oleh wanita

yang bukan ibunya. Dan dalam masalah warisan, mereka (anak susuan dan ibu susuan)

tidak dapat saling mewarisi, karena nasabnya hanya dihubungkan dengan orang tua

genetisnya saja, yaitu pasangan suami-isteri yang menitipkan embrio atau benih ke dalam

rahim pengganti.

Sedangkan menurut Majma’ al-fiqhu al-Islami, sebagaimana ditetapkan dalam

keputusannya tertanggal 8-13 Safar 1407 H/ 11-16 Oktober 1986 M pada poin ketiga

mereka memutuskan untuk mengharamkan praktek inseminasi buatan dengan bibit dari

suami isteri dan ditransplantasikan pada wanita lain. Alasan pengharaman tersebut

menurut Suwito disebabkan adanya kekhawatiran akan terjadinya percampuran nasab dan
50

hilangnya perasaan keibuan serta halangan syara’ lainnya.28 Berikut fatwa-fatwa Majma’

al-Fiqhu al-Islami:

Bahwa sidang Majma’ al-Fiqhu al-Islami yang diselenggarakan pada sesi muktamar ke-3

yang diadakan di kota ‘Amman, ibu kota kerajaan Yordania al-Hasyimiyyah pada tanggal

8-13 Safar tahun 1407 H, bertepatan dengan 11-16 Oktober tahun 1986 M.

Setelah dipaparkan masalah insminasi buatan “bayi tabung”, yaitu dengan

memperhatikan secara seksama berbagai pengkajian yang disampaikan dan setelah

mendengarkan penjelasan para pakar dan ahli kedokteran, maka setelah dibahas panjang

lebar, jelaslah bagi majelis:

Bahwa cara inseminasi buatan yang dikenal saat ini ada tujuh macam:

a. Dengan cara mengawinkan sperma yang diambil dari seorang suami dengan sel telur

(ovum) yang diambil dari seorang wanita yang bukan isterinya. Kemudian hasil

pembuahan ditanamkan ke dalam rahim isterinya.

b. Dengan cara mengawinkan sperma yang diambil dari seorang laki-laki yang bukan

suaminya dengan sel telur (ovum) isteri. Kemudian hasil pembuahan ditanamkan ke

dalam rahim isteri.

c. Dengan pembuahan sperma dan sel telur (ovum) pasangan suami isteri yang

dilakukan di luar (maksudnya pembuahan tidak alami tetapi di proses di

laboratorium), kemudian hasil pembuahan ditanamkan ke dalam rahim wanita lain.

d. Dengan cara melakukan pembuahan di luar, antara sperma dan sel telur (ovum) dari

laki-laki asing dan perempuan asing (bukan sel telur milik pasangan suami isteri)

kemudian hasil pembuahan ditanamkan ke dalam rahim isteri.

28
Suwito, Inseminasi Buatan., hlm. 24
51

e. Dengan cara melakukan pembuahan di luar, antara sperma dan sel telur (ovum)

pasangan suami isteri kemudian hasil pembuahan tersebut ditanamkan ke dalam

rahim isteri yang lain (dari suami yang sama).

f. Dengan cara mengambil sperma suami dan sel telur isterinya, lalu pembuahan

dilakukan di luar lalu ditanamkan di dalam rahim isteri.

g. Dengan cara mengambil benih sperma seorang suami, kemudian disuntikkan ke

tempat yang sesuai di vagina isterinya atau di rahimnya, sehingga pembuahan terjadi

di dalam.

Sidang menyimpulkan:

Bahwa lima cara yang pertama, semuanya diharamkan menurut tuntunan syari’at dan

dilarang keras secara substansial karena akan menyebabkan terjadinya percampuran

nasab keturunan dan menghilangkan nilai-nilai keibuan dan hal-hal lain yang dilarang

syari’at.

Sedangkan cara keenam dan ketujuh, maka Majma’ al-Fiqhu al-Islami berpandangan

bahwa tidak mengapa menggunakan cara di atas (cara keenam dan ketujuh) ketika

memang dibutuhkan dengan tetap menegaskan perlunya mengambil sikap hati-hati

sebagaimana mestinya.

Sebagaimana dikutip Suwito, Majelis Ulama juga mengharamkan inseminasi

model ini. Sedangkan Mahmud Syaltut, Yusuf al-Qardhawi, al-Ribashy dan Zakaria

Ahmad al-Barry tidak menggambarkan secara jelas kasus semacam ini. Akan tetapi,

mereka jelas-jelas mengharamkan inseminasi buatan yang bibitnya (khususnya

sperma) bukan berasal dari suaminya yang sah.29

29
Suwito, op.cit, hlm. 24
52

Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah, model bayi tabung yang sperma dan

ovumnya kepada wanita berasal dari pasangan suami isteri, kemudian embrionya

dititipkan kepada wanita lain yang bukan isterinya, maka Islam tidak membenarkan.

Sebab menurut mereka, menanam benih pada wanita lain haram hukumnya, sebagai

penjelasan Nabi bahwa tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari

akhir menyirami airnya ke ladang orang lain. kedua kalinya, Islam melarang karena:30

a. Pembuahan semacam itu termasuk kejahatan yang menurunkan martabat manusia.

b. Merusak tata hukum yang telah dibina dalam kehidupan masyarakat.

30
Keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah ke 21, Bayi Tabung dan Pencangkokan dalam Sorotan Hukum Islam
(Yogyakarta: Persatuan, t.t.) hlm. 65

You might also like