Islam Dan Politik

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 9

ISLAM DAN POLITIK DI INDONESIA

(Perspektif Sejarah)

ISLAM AND POLITICS IN INDONESIA


(Historical Perspective)

Qisthi Faradina Ilma Mahanani1 , Mega Alif Marintan2, Article history:


Irma Ayu Kartika Dewi3, Moh. Ashif Fuadi4 Submitted: 18 Juni 2022
123
UIN Raden Mas Said Surakarta Accepted: 20 Juni 2022
[email protected] Published: 28 Juli 2022

Abstract: This research explains the dynamic perspective of Islam and politics in Indonesia. The
relationship between Islam and the political situation in Indonesia is not always harmonious.
With qualitative methods through the study of literature, this research resulted in the conclusion
that Islamic and political ndication are two aspects that converge in its development that has
never been interrupted from the previous period. The existence of Islam in Indonesia is largely
determined by the objective conditions built by the Muslims themselves through qualifications
and political capacities that are insightful in the formation of the intellectuality of their people.
The condition of Muslims today has indeed progressed, but institutionally politically it has
regressed. Therefore, discussing Islamic and political issues is felt increasingly urgently by
Muslims themselves. The engineering of the conversation and its implementation includes a
doctrinal Understanding of Islam that is contextual to the political growth of the nation, a
coaching system that can liberate people from material and spiritual backwardness, and
leadership that is not only charismatic, but also dedicative and professional.
Keywords: Islam, Politic, Perspective, Historical

Abstrak: Penelitian ini menjelaskan tentang perspektif Islam dan politik di Indonesia yang
dinamis. Hubungan antara keislaman dengan situasi politik yang ada di Indonesia tak selalu
harmoni. Dengan metode kualitatif melalui studi pustaka penelitian ini menghasilkan kesimpulan
bahwa ndikasi Islam dan politik merupakan dua aspek yang menyatu dalam perkembangannya
yang tidak pernah terputus dari periode sebelumnya. Eksistensi Islam di Indonesia sangat
ditentukan oleh kondisi objektif yang dibangun umat Islam itu sendiri melalui kualifikasi dan
kapasitas politik yang berwawasan pembentukan intelektualitas umatnya. Kondisi umat Islam
dewasa ini memang telah mengalami kemajuan, namun secara institusi politik telah mengalami
kemunduran. Oleh karena itu, membicarakan persoalan Islam dan politik dirasakan semakin
urgen oleh umat Islam itu sendiri. Rekayasa pembicaraan dan implementasinya meliputi
pemahaman Islam doktrinal yang kontekstual dengan pertumbuhan politik bangsa, sistem
pembinaan yang dapat membebaskan umat dari keterbelakangan material maupun spiritual, serta
kepemimpinan yang tidak saja kharismatik, melainkan juga dedikatif dan profesional.
Kata kunci: Islam, Politik, Perspektif, Sejarah

PENDAHULUAN
Penelusuran terhadap sejarah perpolitikan di Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai
cara sehingga dapat digunakan untuk mengungkap perjalanan perubahan sistem politik umat
Islam di Indonesia. Berpikir secara dialektis akan terlihat perjalanan sejarah sebagai sesuatu yang

61
Islam and Politic in Indoenesia (Historical Persepective)
Qisthi Faradina Ilma Mahanani, Irma Ayu Kartika Dewi, Moh. Ashif Fuadi

mapan dan mendapat reaksi hingga pada akhirnya melahirkan sintesa baru. Pendekatan ini tentu
dapat digunakan untuk mengamati perjalanan sejarah Islam dan politik di Indonesia sebagai umat
mayoritas yang memeluk agama Islam. Keberadaan umat Islam di negara ini sering menjadi
bahan pembicaraan dan peranannya pun mengalami pasang surut. Ia pasang hampir pada setiap
permulaan babak baru, tetapi pada umumnya kemudian surut.1 Berbagai pembicaraan tentang
Islam dalam konteks politik di Indonesia juga mengindikasikan bahwa ia tidak dapat dipisahkan
dengan kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Tulisan ini bertujuan membicarakan Islam pada pentas politik Indonesia dalam perspektif
sejarah. Untuk mempermudah penulis mencoba membahas tiga perspektif, yakni memahami
trend politik Islam sebagai sebuah dasar, Islam pada orde Baru, diskripsi pemikiran Islam masa
kini dengan berbagai harapan yang seharusnya terjadi. Untuk memperkuat analisisnya akan
digunakan tinjauan literatur (literature review) yakni sebuah pendekatan pustaka yang
mendukung identifikasi pertanyaan penelitian tertentu. Tinjauan literatur perlu menggambar dan
mengevaluasi berbagai jenis sumber termasuk artikel jurnal akademik dan profesional, buku, dan
sumber relevan.2

PEMBAHASAN
Trend Politik Islam sebagai Sebuah Dasar
Berdasarkan kajian terhadap sumber ajaran Islam al-Qur’an dan sunnah, setiap muslim
meyakini bahwa kedua sumber ajaran tersebut memberikan skema kehidupan (the scheme of life)
yang sangat jelas. Skema kehidupan ini bermakna bahwa masyarakat yang harus dibangun oleh
setiap muslim adalah masyarakat yang tunduk pada kehendak Ilahi, sehingga klasifikasinya
tentang nilai baik dan buruk harus dijadikan kriteria atau landasan etis dan moral bagi
pengembangan seluruh dimensi kehidupan.3 Karenanya pembumian nilai-nilai Islami merupakan
suatu tuntutan terhadap umat Islam. Agaknya akan lebih memperjelas masalah dengan mengutip
ungkapan yang ditulis oleh H.A.R. Gibb dalam bukunya Wither Islam, bahwa bukan hanya a
system of theology, lebih dari itu Islam merupakan a complete civilization. Dengan nada yang
konfirmatif Nasir mengatakan bahwa Islam tidak dapat dipisahkan dari seluruh dimensi
kehidupan.4
Islam tidak memisahkan persoalan-persoalan rohani dengan persoalan-persoalan dunia,
melainkan mencakup kedua segi ini. Hukum Islam (syariat) mengatur keduanya, hubungan
manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesamanya. Menyadari akan hal ini, umat
Islam memerlukan kekuasaan politik sebagai instrumen yang vital bagi pelaksanaan nilai-nilai
Islami. Dalam kitabnya al-Siyasah al-Syar’iyyah, Ibnu Taimiyah mengungkapkan bahwa nilai
(organisasi politik) bagi kehidupan kolektif manusia merupakan keperluan agama yang
terpenting. Tanpa tumpangannya, agama tidak akan tegak dengan kokoh.5 Muhammad Asad
berpendapat bahwa suatu negara dapat menjadi benar-benar Islami hanyalah dengan keharusan
pelaksanaan yang sadar dari ajaran Islam terhadap kehidupan bangsa, dan dengan jalan
menyatukan ajaran itu ke dalam undang-undang negara. Suatu negara dapat dikatakan sebagai
negara Islam apabila ajaran Islam tentang sosio-politik dilaksanakan dalam kehidupan rakyat
berdasarkan konstitusi.6

1
Deliar Noer, "Islam dan Politik: Mayoritas dalam Minoritas" dalam Prisma, No.5 Thn. XVII, 1988, hlm.3.
2
Jennifer Rowley and Frances Slack, “Conducting a Literature Review,” Management research news 27, no.
6 (2004).
3
Amin Rais, Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1987, hlm. 50- 51.
4
Dikutip dari Nasir Tamara, “Sejarah Politik Islam Orde Baru”, dalam Prisma, No. 5 Thn. XVII, 1988, hlm.
1.
5
Ibnu Taimiyah, al-Siyasash al-Syar’iyyah, Kairo: Dar al-Kutub al-'Arabi, 1952, hlm. 174. Lihat juga Ibnu
Taimiyah, Majmu’ Fatawa Syaykh al-Islam Ahmad Ibnu Taimiyah, Jilid XXVIII, disunting oleh Muhammad
Abdurrahman Ibnu Qasim, Riyadh: Matabi’ al-Riyadh, 1963, hlm. 62.
6
Amin Rais, Cakrawala Islam…, hlm. 52;

62
Al-Isnad: Journal of Islamic Civilization History and Humanities

Vol. 3.1 No. 01 June 2022 | 1-199

Untuk mewujudkan cita cita itu memerlukan perjuangan dan perjalanan yang panjang. Ini
telah dilakukan oleh umat Islam Indonesia. Sebab disadari sekali bahwa perjuangan melawan
segala bentuk kezaliman merupakan suatu hal yang harus dilaksanakan oleh umat Islam. Prinsip
ini diyakini benar oleh umat Islam sehingga jika tidak dilaksanakan atau tidak tercapai maka
mustahil pelaksanaan ajaran Islam secara benar akan dapat diterapkan dengan baik. Oleh karena
itu sangat wajar sekali bila dikatakan umat Islam Indonesia dikenal sebagai penantang-penantang
gigih terhadap segala bentuk imperialisme.
Para pemimpin umat Islam yang tergabung dalam berbagai partai politik membangun
semangat kebangsaan yang tetap dilandasi benang merah Islam. Warna perjuangan dalam
membentuk suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat, tentu tidak harus terhenti setelah bebasnya
bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Sebagai suatu bangsa yang majemuk bukan hanya
dalam bentuk perbedaan suku dan adat namun yang lebih serius adalah pada dataran perbedaan
keyakinan dan agama tentu menimbulkan berbagai perbedaan kehendak dalam mewarnai bangsa
dan negara ini. Akibatnya yang tidak dapat dihindarkan tentu munculnya berbagai pergumulan
antara sesama anak bangsa yang dilatarbelakangi perbedaan agama. Bagi umat Islam, negara
yang ingin dibentuk tentu berdasarkan ajaran Islam, dengan jalan menyatukan ajaran itu ke dalam
konstitusi negara. Inilah tema sentral yang diperjuangkan oleh para pemimpin Islam di Indonesia
yang pertama ketika menjelang proklamasi dan yang kedua pada masa kemerdekaan.
Berakhirnya masa penjajahan dengan diproklamirkannya kemerdekaan Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, menuntut para pemimpin bangsa bekerja keras untuk
menata dan memberikan wajah baru bagi Republik ini. Isu yang paling asasi ialah menetapkan
Dasar Negara. Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia melalui para pemimpin
berupaya konsisten terhadap identitas mereka dengan memperjuangkan agar nilai-nilai Islam
termaktub dalam konstitusi negara.
Berawal dari perjuangan gigih dalam panitia sembilan yang diketuai oleh Soekarno
dengan melahirkan “Piagam Jakarta” yang di tandatangani pada tanggal 22 Juni 1945. Isu ini
mencapai klimaksnya dalam perdebatan di Majelis Konstituante hasil pemilu I tahun 1955. Inilah
yang tentunya dapat dianggap sebagai diskripsi fakta sejarah bangsa Indonesia khusunya umat
Islam, yang membentuk trend politik Islam yang terus berkembang dalam perjalanan sejarah
perpolitikan bangsa Indonesia sampai dewasa ini.

Islam Pada Masa Orde Baru


Orde Baru sebagai satu babakan sejarah dari mata rantai sejarah Indonesia tidaklah luput
dari filosofi sejarah pada umumnya, yakni berada pada kisaran hukum refleksi, dan interaksi
dialeksi. Ini berarti orde baru, di samping merupakan perwujudan aksi-reaksi masyarakat yang
terawetkan terhadap problem aktual, memberikan getaran timbal balik pada kehidupan manusia
dalam perspektif kulturalnya, juga merupakan antitesa terhadap sejarah yang mendahuluinya.7
Harus diakui Orde Baru telah melahirkan optimisme, pranata dan tawaran alternatif yang
mempengaruhi struktur, pola kultur dan persepsi masyarakat dalam memandang masa depan
negara, bangsa dan masyarakat Indonesia. Tidak terkecuali dalam hal ini adalah institusi Islam
dan persepsi umatnya dalam konteks upaya aktualisasi diri. Lahirnya orde Baru di pertengahan
tahun 1966 yang kemudian mengidentifikasi dirinya sebagai orde pembangunan, telah membawa
perubahan di hampir semua bidang kehidupan bangsa, baik di bidang politik, ekonomi maupun
sosial budaya.
Dalam bidang politik, perubahan itu terjadi dengan adanya mekanisme perwujudan
partisipasi politik rakyat dan penyegaran kepemimpinan nasional yang dimanifestasikan melalui
pemilihan umum setiap lima tahun sekali. Berikutnya, pada tahun 1973 telah dilakukan
penyederhanaan partai melalui fusi, dari 10 partai menjadi 3 partai, yakni Partai Persatuan

7
Fachry Ali dan Bachtiar Efendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia
Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986, hlm. 93–106.
Islam and Politic in Indoenesia (Historical Persepective)
Qisthi Faradina Ilma Mahanani, Irma Ayu Kartika Dewi, Moh. Ashif Fuadi

Pembangunan (PPP), yang merupakan gabungan dari partai-partai Islam, NU, Permusi, PSII dan
Perti; Partai Demokrasi Indonesia (PDI), gabungan dari PNI, Parkindo, Partai Katholik, Murba,
dan IPKI; Golongan Karya (Golkar). Tidak satupun dari ketiga parpol itu yang membawa nama
agama atau ideologi kultural lainya. Bahkan satu-satunya partai yang mengusung Islam, PPP,
harus merelakan identitas keislamannya hilang. Padahal identitas keislamannya itulah menjadi
kekuatan PPP. Rekayasa partai politik ini diikuti juga dengan kebijaksanaan masa mengambang
(floating mass) yang membatasi kegiatan politiknya di Daerah Tingkat II ke atas; dan
menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya azas bagi parpol (1983) dan Ormas (1985).
Pemerintah dengan semua rekayasanya itu adalah bagian penting dari apa yang disebut
dengan birokratisasi, yakni keterlibatan pemerintah terhadap seluruh aktifitas rakyat. Hal ini
sebenarnya merupakan suatu perwujudan dari obsesi pemerintah yang didominasi ABRI
(sekarang berubah menjadi TNI dan POLRI) dalam rangka mewujudkan ketertiban dan stabilitas
nasional sebagai prasyarat untuk melaksanakan pembangunan secara lancar dan penuh perhatian.
Di awal kelahirannya, Orde Baru sangat menguntungkan Islam, karena muncul orde baru ini
berarti telah melenyapkan orde lama dan gerakan Soekarnoisme yang didukung oleh Partai
Komunis Indonesia (PKI) sebagai partai yang anti agama.
Kenyataannya dapat dicermati dengan banyaknya dukungan dari parpol-parpol, ormas-
ormas Islam kepada Orde Baru. Meskipun demikian, tidak semua keinginan kelompok Islam
dapat dikabulkan. Seperti diketahui, bahwa pada awal kelahiran Orde Baru, tokoh-tokoh
Masyumi memperjuangkan agar tokoh-tokoh mereka yang masih ditahan Orde Lama segera
dilepaskan dan Partai Masyumi sendiri direhabilitir, tetapi apa yang menjadi tuntutan itu tidak
dapat dikabulkan. Demikian pula dengan Bung Hatta yang akan mendirikan Parta Demokrasi
Islam. Sebagai jalan keluarnya dibentuklah Partai Muslimin Indonesia (Permusi) yang diharapkan
dapat menjadi penjelmaan dari partai Masyumi yang telah dilarang. Namun pemerintah
menginginkan agar partai tersebut menjadi partai baru yang tidak ada sangkut pautnya dengan
partai Masyumi, bahkan para bekas tokoh-tokoh Masyumi pun tidak diperbolehkan memimpin
partai baru tersebut.8
Dalam Pemilu pertama sejak Orde Baru yang berlangsung pada tahun 1971, partai-partai
Islam hanya mendapatkan suara sekitar 29% dan Perti hanya 0,7%. Sedangkan Golkar
memperoleh suara 62,8%, PNI 6,4%, Perkindo dan Partai Katholik 2, 45%.9 Kemudian dapat
dicatat bahwa kelahiran PPP sebagai fusi dari Partai-Partai Islam pada tahun 1973 sebenarnya
tidaklah sederhana. Fusi bukanlah ide dari pemimpin partai, melainkan berasal dari pemerintah.
Dan meskipun para pemimpin partai dari keempat partai tersebut sudah bersepakat untuk
meleburkan diri dalam sebuah partai yang disebut atau diberi nama PPP, namun latar belakang
kulturalnya yang berbeda tetap menjadi faktor potensial bagi perpecahan, sebagaimana yang
pernah terjadi pada masa lalu, yakni ketika PSII yang kemudian disusul oleh NU memisahkan
diri dari Masyumi. Ternyata kekompakan itu hanya bertahan sampai tahun 1973 sampai
menjelang pemilu tahun 1982.
Pada gilirannya, sejarah telah membuktikan menjelang Pemilu tahun 1982 semakin
nampak perbedaan yang tajam antara unsur-unsur dalam tubuh PPP semakin nampak. Faktor
utama penyebabnya, karena J. Naro yang menggeser calon-calon dari unsur NU dalam daftar
calon anggota DPR. Sikap yang membawa kekacauan dalam tubuh partai politik telah
mengakibatkan berkurangnya jumlah kursi PPP di DPR yakni sebanyak 6 kursi dibandingkan dari
jumlah kursi yang diperoleh pada tahun 1977 yang memperoleh 99 kursi.10 Sejak inilah PPP
berada dalam posisi yang semakin tidak menentu dengan adanya sikap otoriter yang ditampilkan
J. Naro terhadap setiap pimpinan partai yang berbeda dengannya. Bukan itu saja, sikap otoriter
itu juga diterapkan terhadap mereka yang berasal dari unsur yang sama dengan dirinya (Permusi),
bila perbedaan yang mereka munculkan. Sikap ini berdampak tidak menguntungkan partai, yang

8
Nasir Tamara, “Sejarah Politik Islam Orde Baru”, dalam Deliar Noer, Islam dan Politik…, hlm. 3.
9
Nasir Tamara, “Sejarah Politik Islam Orde Baru”, hlm. 3
10
Nasir Tamara, “Sejarah Politik Islam Orde Baru”, hlm. 4

64
Al-Isnad: Journal of Islamic Civilization History and Humanities

Vol. 3.1 No. 01 June 2022 | 1-199

dapat dilihat dari hasil Pemilu tahun 1987 dengan perolehan PPP hanya 61 kursi di Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Jadi meskipun pada awalnya Orde Baru itu memberikan peluang dan
posisi memungkinkan bagi umat Islam untuk memperkuat dan menentukan sikap politiknya,
namun pada perjalanannya telah dikacaukan oleh munculnya ambisius kelompok dan pribadi.
Makanya orientasi politik dan implementasinya oleh umat Islam telah menimbulkan konflik
internal yang serius, sehingga menyudutkan umat yang mayoritas menjadi veriferian dalam
percaturan pembangunan secara nasional.

Deskripsi Pemikiran Islam dan Tarikan Sejarah


Kehadiran Orde Baru sebagaimana dijelaskan di atas adalah sebagai orde yang telah
melahirkan upaya-upaya restrukturisasi perikehidupan bangsa baik dalam sosial, politik, budaya,
ekonomi dan aspek lainnya. Slogan pembaharuan telah menjadi format politik baru.11 Namun,
yang perlu dicatat bahwa pelanggaran isu pembaharuan (modernitas) memberi pengaruh yang
cukup dalam di kalangan elite Islam. Apakah pembaharuan yang sedang bergulir mernyertai
dinamika pembangunan yang mengacu pada program oriented dan sikap pragmatis; atau akan
berdampak positif bagi Islam atau justru merupakan pukulan yang dahsyat yang mengancam
eksistensinya.
Berdasarkan fakta sejarah, setelah mandegnya rehabilitasi Masyumi dan munculnya
pendirian Partai Demokrasi Islam Indonesia serta semakin sempitnya ruang gerak partai Islam,
meskipun tokoh-tokohnya pertama kali optimis namun pada gilirannya kalangan Islam banyak
mengambil warna keras dalam merespon arus pembangunan dan modernisasi, akibatnya
menempatkan umat Islam pada posisi marginal dalam pembangunan itu sendiri.
Sejalan dengan perkembangannya, sebetulnya telah terjadi arus baru di kalangan muda
Islam Yogya dalam mengantisipasi persoalan Islam. Keadaan dipertanyakan secara kritis. Islam
dan kelembagaannya dibicarakan secara cerdas. Walaupun di sana-sini menimbulkan tanggapan
pro dan kontra, paling tidak didapatkan diskripsi bahwa sebagian masih dapat memahami
orientasi poltik dalam perjuangan Islam, sedangkan sebagian yang lain memandang orientasi
tersebut perlu ditinjau kembali bahkan dirombak.12
Kelompok terakhir menawarkan alternatif pemahaman Islam secara lebih mendasar dan
proporsional dalam konteks kemasyarakatan, tidak terbatas pada orientasi politik bahkan orientasi
politik dan implikasinya telah menimbulkan konflik yang serius sehingga menyudutkan umat
Islam yang mayoritas menjadi veriferian dalam percaturan pembangunan. Kondisi demikian tidak
dapat dibiarkan berlangsung terus. Oleh karenanya, perlu dirumuskan secara memungkinkan
umat Islam berperan sejajar dengan umat yang lain dalam pembangunan atau pada sudut pandang
yang lain tidak menurunkan citra Islam sebagai agama.
Gerakan pemahaman Islam secara kritis dan empirik ini mendapatkan momentumnya
pada awal tahun 70-an pada saat Nurcholis Madjid melontarkan gagasan “Keharusan
Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, 3 Januari 1970. Dengan peran
masmedia yang demikian intens, gagasan itu tersebar dengan cepat dan menyentak suasana yang
telah terkondisi. Wajarlah jika reaksi dari berbagai kalangan segera bermunculan baik yang pro
dan kontra. Muatan isi yang ditonjolkan oleh pemikiran baru itu adalah seputar liberalisasi
pandangan, sekularisasi, kebebasan berpikir, idea of progress, inklusifisme, pemisahan Islam
sebagai nilai dan partai Islam sebagai alat.13
Eksistensi pemikiran awal tahun 70-an, di mana lingkaran Yogya dapat disebut sebagai
induknya memberikan pengaruhnya tersediri dan terjalin dengan rangkaian-rangkaian
sebelumnya. Sehingga sebagian pengamat memposisikannya sebagai gerakan reaktif terhadap
corak perubahan sosial-politik yang sedang berlangsung. Tentu persoalannya tidak sesederhana

11
Fachry Ali dan Bachtiar Efendi, Merambah Jalan Baru Islam…, hlm. 107.
12
Abdurrahman Wahid, Pergolakan Pemikiran Islam, Jakarta: LP3ES, 1980, hlm. 46.
13
Nurcholish Madjid, Islam Komedernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987, hlm. 171– 208.
Islam and Politic in Indoenesia (Historical Persepective)
Qisthi Faradina Ilma Mahanani, Irma Ayu Kartika Dewi, Moh. Ashif Fuadi

itu, melainkan di samping akibat pengaruh gejolak budaya aktual, juga merupakan sintesa
terhadap pola pemahaman sebelumnya. Sebagaimana diketahui bahwa pola pembaharuan yang
terjadi di Indonesia melalui fase puritanistik politis, ideologis, pendidikan dan sosial.
Pada tolok ukur tertentu diketahui bahwa pembaharuan sebelumnya dianggap telah gagal
menghantarkan Islam ke pangkuan pemeluknya14, kalah dalam mewujudkan cita-cita politiknya.
Pada posisi lain dapat dinilai bahwa mereka telah berbuat dan juga berprestasi dalam konteks
zamannya. Kembali pada pemahaman pada pembaharuan 70-an, terlepas dari terminologi yang
digunakan, yang dianggap kurang tepat oleh sementara kalangan dan Nurcholish Madjid sendiri
menyadari bahwa terminologi yang dipakai memang kontroversial dan menganjurkan pemakaian
istilah teknis yang lebih tepat dan netral.15
Secara substansial gerakan itu telah menawarkan landasan-landasan dasar dalam kerangka
mengembalikan daya gerak psikologis (psycholo-striking force) umat Islam melalui titik pandang
yang realistik; tidak apologetik. Arah yang menjadi bidikannya paling tidak tercermin pada
analisis bahwa supaya umat Islam tidak dapat mengenali dan mengarahkan gejala-gejala
modernitas, tidak terasing dari padanya dan tidak lagi berada pada posisi marginal dalam
dinamika pembangunan, khususnya ikut dan melakukan pengambilan kebijakan politik bangsa.
Untuk ke arah itu diperlukan prasyarat dasar berupa pembenahan kalau tidak perombakan pola-
pola pandang, kebebasan berpikir, keterbukaan sikap dan meletakkan Islam menjadi membumi
sebagai sistem nilai.

Islam Dewasa Ini


Komitmen orde baru terhadap program pembangunan bangsa Indonesia melalui partai
Islam dirasakan begitu besar. Akan tetapi arah dan bentuk pembangunan "ideal" yang akan
dilaksanakan di masa akan datang masih terjadi perbedaan pandangan di awal masa Orde Baru.
Fenomena ini sangat beralasan, karena pada saat itu para birokrat dan teknorat banyak yang
berlatar belakang pendidikan sekular dan kultur priyayi – abangan. Dampaknya terlihat pada
corak pembangunan yang dilaksanakan lebih berwatak modernisasi yang kebarat baratan
(westernized). Warna ini menjadikan umat Islam termasuk para tokoh modernismenya melihat
modernisasi ini penuh dengan kecurigaan, bahkan menentangnya.
Sehingga seringkali umat Islam menjadi sasaran kritik dari pihak pemerintah dengan
klaim bahwa Islam anti pembangunan, anti modern, anti Pancasila dan seterusnya. Ini terjadi
karena gerakan modernisme Islam di awal masa ini sampai awal orde baru sebenarnya lebih
merupakan gerakan pemurnian Islam dari pada gerakan yang menekankan bagaimana
meningkatkan kualitas umat Islam dan memahami ajaran-ajaran Islam agar dapat merespon
perkembangan kehidupan yang ada. Pemikiran yang muncul dari Masyumi misalnya tentang
politik, ternyata itu hanya merupakan pemikiran yang ditransfer dari Barat dengan bungkus
Islam.
Deliar Noer sebagai tokoh Islam pertama secara terbuka mengatakan bahwa modernisasi
itu tidak bertentangan dengan Islam, melainkan menjadi suatu keharusan.16 Pernyataan ini
kemudian diikuti oleh Nurcholish Madjid, yang dalam beberapa hal justru mempunyai jangkuan
pemikiran lebih jauh seperti pendapatnya bahwa langkah utama untuk melakukan modernisasi
bagi umat Islam harus dengan menciptakan iklim yang liberalistik. Salah satu bagian dari proses
ini adalah apa yang diistilahkan dengan sekularisasi yang berbeda dengan istilah baku.17 Setelah
munculnya dua pemikiran ini, kemudian diikuti pula oleh pemikir-pemikir lainnya, terutama
muncul pada dekade tahun 80-an, yang kemudian menurut Fachry Ali dan Bachtiar Effendi
diklasifikasikan menjadi empat pola utama, yakni: Neo-modernisme dengan tokohnya
14
A. Wahib dalam Awad Bahason, Massa Islam Dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa, dalam Prisma,
No. Ekstra, 1984, hlm. 129.
15
Nurcholish Madjid, dalam Basri Ananda, Sekitar Usaha Membangkitkan Etos Intelektulisme Islam di
Indonesia, Jakarta: Pelita, 1985, hlm. 28.
16
Fachry Ali dan Bachtiar Efendi, Merambah Jalan Baru Islam…, hlm. 110.
17
Fachry Ali dan Bachtiar Efendi, Merambah Jalan Baru Islam…, hlm. 129

66
Al-Isnad: Journal of Islamic Civilization History and Humanities

Vol. 3.1 No. 01 June 2022 | 1-199

Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Majdid, Sosialisme Demokrasi Islam dengan tokohnya M.
Dawam Raharjdo dan Adi Sasono, Universalisme dengan tokohnya Jalaluddin Rahmat dan AM.
Saefuddin, Modernisme dengan tokohnya Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Djohan Effendi.18 Dengan
munculnya pola-pola pemikiran baru ini, dikotomi tradisionalis-modernis tidak terlihat lagi
bahkan menjadi semakin pudar.
Sejalan dengan adanya pembaharuan pemikiran, telah terjadi pula perubahan orientasi
organisasi dari para pemimpin Islam. Sebelumnya format perjuangan Islam lebih difokuskan
melalui jalur politik, dalam perkembangan selanjutnya format perjuangan meliputi bidang yang
lebih luas dan konkrit, terutama upaya-upaya untuk membebaskan umat Islam dari kebodohan
dan kemiskinan. Dahulu ormas-ormas Islam dengan segenap underbow-nya lebih berperan
sebagai penggalang masa dan pemimpinnya berorientasi pada politik praktis seperti menjadi
anggota DPR, dan kalau bergerak di bidang pendidikan atau sosial misalnya itupun hanya
terbatas, maka pada saat ini ormas-ormas itu berperan untuk membina umat dalam bidang yang
lebih luas. Untuk melaksanakan program pembinaan ini secara efektif, Muhammadiyah misalnya,
telah membentuk badan-badan otonom yang terdiri dari Majelis Ekonomi, Majelis Pendidikan
Tinggi, Penelitian dan Pengembangan, Majelis Tabligh dan Majlis Tarjih. Sedangkan NU
membentuk lembaga Pendidikan Ma’arif, Majelis Sosial Mabarrot, Lembaga Kemaslahatan
Keluarga, Lembaga Pengembangan dan Pembangunan Pertanian, Lembaga Kajian dan
Pengembangan Sumberdaya Manusia, dan Lajnah Ta’wir wa Nasyr.
Di samping program pembinaan yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam yang berskala
nasional, kini telah tumbuh yayasan-yayasan, lembaga-lembaga pendidikan dan pengembangan
masyarakat yang bersifat lokal, di samping adanya individu-individu yang bergerak di bidang
pengembangan masyarakat yang tidak menggunakan simbol Islam, tetapi mereka tetap peduli
terhadap pelembagaan Islam. Kemudian di sisi lain, perubahan orientasi ini membawa
konsekuensi adanya diversifikasi kepemimpinan umat Islam yang kini terdiri dari ulama, tokoh-
tokoh organisasi Islam, intelektual muslim dan pejabat negara di bidang agama Islam. Meskipun
pada saat ini terjadi depolitisasi Islam atau kemuduran politik Islam secara institusional serta
kekuatan tawar menawar (bergaining power) para pemimpin Islam, akan teatapi tidak hanya
berlangsung di lingkungan masyarakat yang secara tradisional memang mentaati Islam (santri),
melainkan juga menembus ke universitas-universitas, kantor-kantor swasta dan birokrasi
pemerintah, yang disertai dengan semakin banyaknya serana-sarana ibadah di sekitar mereka.
Penyaluran aspirasi umat Islam kemudian mengalami perubahan. Kalau pada masa lalu,
PPP dianggap sebagai satu-satunya sarana penyaluran aspirasi umat Islam, maka pada saat ini
aspirasi itu bisa disalurkan juga melalui, PKS, PBR, PKB, PAN, PBB dan partai-partai lainnya
termasuk partai lokal khusus di Nanggroe Aceh Darussalam yang lahir setelah perjanjian damai
Helsinki. Persoalannya, apakah penyaluran itu dapat dilayani dan disalurkan oleh pihak pihak
yang berkompoten di bidangnya kepada umat Islam, atau sekedar membudayakan Islam yang
selalu dianggap identik dengan kultur atau budaya modern yang selalu ditemukan berada bahkan
kontras dengan nilai-nilai Islam.
Kenyataan di atas mengidentifikasikan bahwa tantangan yang dihadapi umat Islam
semakin variatif, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Sementara persoalan-persoalan
traumatis pun belum dapat dihilangkan seluruhnya, yang menurut Aswab Mahasin adalah
benturan antara tradisionalisme dan modernisme, antara ikatan-ikatan keagamaan dan
kebangsaan, dan antara santri dan abangan.19 Tantangan eksternal yang tak bisa dielakkan adalah
cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang kuat pengaruhnya
terhadap kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya yang semakin sekular.
Sementara tingkat pendidikan umat masih rata-rata rendah, dan dinamika pemahaman
Islam yang mengalami kelambanan dibandingkan dengan lajunya perkembangan ilmu

18
Fachry Ali dan Bachtiar Efendi, Merambah Jalan Baru Islam…, hlm. 170
19
Aswab Mahasin, “Marhaban”, dalam Prisma, No. Ekstra, 1984, hlm. 2.
Islam and Politic in Indoenesia (Historical Persepective)
Qisthi Faradina Ilma Mahanani, Irma Ayu Kartika Dewi, Moh. Ashif Fuadi

pengetahuan dan teknologi modern. Demikian pula akulturasi budaya yang semakin
mengaburkan bahkan tidak hanya nilai peradaban bangsa, melainkan juga memarginalkan umat
Islam dari nilai Islam yang benar. Meskipun arus back to Islam semakin deras, namun upaya
penerimaan dan penyadarannya secara jujur jauh dari yang diharapkan. Pada sisi lain, upaya-
upaya penyebaran agama non-Islam (proses kristenisasi) dengan berbagai cara sejak dua
dasawarsa ini mengalami kemajuan. Kenyataan ini tentu berdampak pada berkurangnya jumlah
umat Islam, setidaknya memperlamban upaya memahamkan nilai keislaman bagi masyarakat
karena umat Islam terjebak dengan sistem toleransi beragama dan kerjasama yang mereka galang.

KESIMPULAN
Berdasarkan gambaran di atas dapat dikemukakan indikasi Islam dan politik merupakan
dua aspek yang menyatu dalam perkembangannya yang tidak pernah terputus dari periode
sebelumnya. Eksistensi Islam di Indonesia sangat ditentukan oleh kondisi objektif yang dibangun
umat Islam itu sendiri melalui kualifikasi dan kapasitas politik yang berwawasan pembentukan
intelektualitas umatnya. Kondisi umat Islam dewasa ini memang telah mengalami kemajuan,
namun secara institusi politik telah mengalami kemunduran. Oleh karena itu, membicarakan
persoalan Islam dan politik dirasakan semakin urgen oleh umat Islam itu sendiri. Rekayasa
pembicaraan dan implementasinya meliputi pemahaman Islam doktrinal yang kontekstual dengan
pertumbuhan politik bangsa, sistem pembinaan yang dapat membebaskan umat dari
keterbelakangan material maupun spiritual, serta kepemimpinan yang tidak saja kharismatik,
melainkan juga dedikatif dan profesional. Dengan demikian, keberadaan Islam akan dapat
memberi arti bagi pertumbuhan bangsa, paling tidak bagi pemeluknya, atau dengan istilah al-
Qur’an adalah rahmatan li al-alamin.

68
Al-Isnad: Journal of Islamic Civilization History and Humanities

Vol. 3.1 No. 01 June 2022 | 1-199

DAFTAR PUSTAKA
A. Wahib dalam Awad Bahason, Massa Islam Dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa,
dalam Prisma, No. Ekstra, 1984.
Abdurrahman Wahid, Pergolakan Pemikiran Islam, Jakarta: LP3ES, 1980.
Amin Rais, Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1987.
Aswab Mahasin, “Marhaban”, dalam Prisma, No. Ekstra, 1984.
Deliar Noer, "Islam dan Politik: Mayoritas dalam Minoritas" dalam Prisma, No.5 Thn. XVII,
1988.
Dikutip dari Nasir Tamara, “Sejarah Politik Islam Orde Baru”, dalam Prisma, No. 5 Thn. XVII,
1988.
Fachry Ali dan Bachtiar Efendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam
Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986.
Ibnu Taimiyah, al-Siyasash al-Syar’iyyah, Kairo: Dar al-Kutub al-'Arabi, 1952.
Nurcholish Madjid, dalam Basri Ananda, Sekitar Usaha Membangkitkan Etos Intelektulisme
Islam di Indonesia, Jakarta: Pelita, 1985.
Nurcholish Madjid, Islam Komedernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987.
Rowley, Jennifer, and Frances Slack. “Conducting a Literature Review.” Management research
news 27, no. 6 (2004).

P-ISSN xxxx-xxxx E-ISSN xxxx-xxxx © 2022 author(s)


Published by SPI FAB IAIN Surakarta, this is an open-access article under the CC-BY-SA license.

You might also like