RESUME JURNAL JATI DIRI BANGSA by ILHAM

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 12

RESUME/REVIEW

JATI DIRI BANGSA

PENDIDIKAN PANCASILA&KEWARGANEGARAAN

Dosen Pembimbing :

Immawati Nur Aisyah Rivai S.Pd, M.Pd

Disusun Oleh :

ILHAM
60600121022

Kelas : C

JURUSAN MATEMATIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2021
JATI DIRI BANGSA
WayanLasmawan

Prodi Pendidikan Dasar (S3) Universitas Pendidikan Ganesha


Email:[email protected]

ABSTRACT

National identity is a must for society who admit themselves belong to any nation and
country. This identity will lead the society to global community interaction including all the
social aspects. In accordance to that issue, "sense of belonging" of any national identity is a must.
National identity is a "nation-state" identity which attaches to the nation including its juridical-
social instruments. For Indonesia, national identity is in this globalization era faced to
reconstruction process in order to be in line with country constitution. In relation to that
phenomenon, there are many ways could be done to strengthen the national identity, specifically
for Indonesia national identity. One relevant alternative way to strengthen national identity is
through many innovative research conducted by high education institutions. Innovative research
is indicated by several aspects, that is, the research which be able to improve nation
competitiveness in terms of: (1) developing and/or producing products, (2) developing and/or
producing policy, (3) developing science and technology, (4) preserving value and culture, and
(5) enpowering society thoroughly and continuously. The research conducted by high education
institutions is hoped to be the major driven for strengthening nationalidentity.

Pendahuluan

Warna bangsa dalam kontestasi kenegaraan berubah secara drastis pada tahun 1999, yaitu
dengan lahirnya orde reformasi beserta segala inovasi dan rekonstruksi elemen yang
mengiringinya. Sebelum gerakan demokratisasi merebak, persoalan persatuan dan kesatuan
bangsa sangat intensif dilakukan dan terpelihara dengan baiknya, walaupun resonansi ritme
sosial tetap mengiringinya. Namun modal sosial yang sangat kuat dan tumbuh bersama-sama
dengan kebangkitan nasional tersebut, dikelola secara simultan dengan aspek-aspek kehidupan
yang lain, serta pendekatan yang relatif represif dan mengedepankan stabilitas politik, sehingga
memicu lahirnya bibit-bibit unggul “pembaharuan”. Persoalan-persoalan yang bernuansa
separatisme kedaerahan dapat diredam atas nama pendekatan stabilitas politik, dengan nuansa
pembangunan ekonomi yang secara artifisial cukup memuaskan, untuk memenuhi basic needs
rakyat, dalam balutan sentralistik yang sedemikian rupa. Pada saat terjadinya krisis ekonomi
yang dahsyat pada akhir tahun 1997, yang akhirnya tidak dapat diatasi dan kemudian disusul
oleh krisis multidimensional akibat sinergi negatif antara berbagai aspek politik, ekonomi, social,
yang ibaratnya “api dalam sekam”, maka meledaklah ketidakpercayaan public, sehingga orde
saat itu runtuh yang melahirkan orde reformasi sebagaimana yang kita jalani saat ini.
Salah satu side effect runtuhnya orde baru adalah berkembangnya sikap skeptis terhadap
ideologi Pancasila, akibat trauma atas pendekatan doktriner “eka prasetya panca-karsa” dalam
formula penataran P4 yang menjadikan Pancasila kurang mencerminkan keseimbangan antara
moralitas institusional, sosial dan sipil, bahkan menjadikan Pancasila sebagai ideologi tertutup di
luar penafsiran nilai-nilai yang diformalkan. Kondisi gamang terhadap ideologi Pancasila telah
menyurutkan makna ideologi, baik sebagai perekat persatuan bangsa maupun sebagai the
predictability function of ideology. Ada sejumlah fakta perjalanan bangsa yang bisa dijadikan
sebagai penegasan atas hal tersebut, seperti: (1) munculnya gerakan radikalisme yang tidak
jarang disertai dengan langkah- langkah anarkhis, kekerasan dan amuk massa, (2) munculnya
terorisme, yang dipicu oleh radikalisme dengan memanfaatkan melemahnya ideologi Pancasila,
(3) toleransi terhadap perbedaan pendapat sangat lemah, (4) munculnya elemen-elemen
separatisme dan kedaerahan/primordialisme, dengan menafsirkan otonomi daerah sebagai
federalism, (5) pendekatan fragmentatif dalam menghadapi persoalan-persoalan kebangsaan,
(6)etiadaan atau kelangkaan tokoh panutan, sehingga memicu perasaan gotong-royong,
solidaritas dan kemitraan yang lemah pula, dan (7) ketidaksepahaman dalam mensikapi proses
globalisasi, sehingga menjadikan iklim investasi yang buruk dan larinya modal asing (foreign
direct investment) sebagai the final aftermath.

Kondisi kebangsaan yang demikian, masih menjadi jaminan bagi bangsa Indonesia,
bahwa bangsa ini akan tetap kokoh berdiri dan persatuan serta kesatuan nasional baik yang
bernuansa struktural maupun solidaritas social, tetap bisa dipertahankan di negeri ini. Sebab
bangsa Indonesia memang didirikan atas dasar falsafah non-primordialisme, melainkan atas
dasar sense of common suffering, akibat penjajahan asing yang berates tahun lamanya. Hal ini
membuktikan bahwa fondasi berdirinya bangsa ini adalah pluralisme dengan semboyan
”Bhinneka Tunggal Ika” atau “unity ini diversity/e pluribus unum”. Semboyan ini sangat
bermakna, karena di dalamnya terkandung elemenelemen: diversity, unity, harmony, tolerance
and peace. Fakta ini tidak hanya bernuansa domestik, tetapi juga mondial mengingat pengaruh
globalisasi, yang menjadikan dunia ini sebagai the global village, yang anti terhadap segala
perilaku diskriminatif.

Mendiskusikan atau membicarakan mengenai membangun jati diri pada dasarnya


merupakan proses penumbuhan dan pengembangan nilai-nlai luhur yang terpancar dari hati
nurani melalui mata hati kita, dan direfleksikan dalam pemikiran, sikap dan perilaku kita dalam
berbangsa dan bernegara. Pada dasarnya jati diri bangsa dipengaruhi oleh perkembangan sistem
nilai yang dianut dan dipahami, yang senantiasa berubah secara dinamis mengikuti paradigma
yang berlaku dimana masyarakat itu bertumbuh dan berkembang. Paradigma sebagai suatu
himpunan pendapat atau pengertian yang dapat memberikan jawaban atau penjelasan pada suatu
pertanyaan ilmiah; atau pendefinisian dari suatu anggapan untuk berbagai masalah dan metode
yang absah atau suatu kriteria untuk menentukan permasalahan yang dipertanyakan. Bersandar
pada kontekstualitas tersebut, pergantian suatu paradigma dengan paradigma yang baru
merupakan kejadian ilmiah yang diakibatkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam
proses peralihan paradigma tersebut seringkali terjadi atau tidak berlangsung secara mulus,
karena selalu terdapat masyarakat pendukung paradigma lama dan pendukung paradigma baru.
Hal ini bisa saja berlangsung lama, yang dipicu rasa keengganan pemeluk paradigma lama untuk
mengakui keunggulan paradigma baru.

Merujuk pada konstelasi paradigm jati diri bangsa Indonesia sebagaimana yang kita
pahami saat ini, maka kegiatan-kegiatan penelitian yang inovatif atau inovatif researchs mestinya
mampu memainkan peranan yang memadai sebagai langkah terstruktrur bagi penguatan jati diri
kebangsaan. Melalui researchs inovatif, akan mampu diformulasikan berbagai strategi,
pendekatan, dan model serta diproduksinya meda, hipotesis, serta generalisasi baru penguatan
jati diri bangsa. Research inofatif mestinta mampu memainkan peranan yang memadai dalam
upaya peneguhan dan penguatan jati diri bangsa dalam balutan serta prinsip-prinsip ilmiah yang
layak untuk dilakoni. Berdasarkan rasional tersebut, maka sajian singkat ini akan
mengetengahkan bahasan terkait dengan silogisme serta konstelasi jati diri bangsa dalam
paradigm penelitian inovatif (walau terkesan dipaksakan), namun dengan sanfaran pada kajian
teoritis-empiris yang lebih banyak merujuk pada pengalaman serta temuan penelitian yang telah
ada saat ini. Tentu, formulasi kajian yang ada dalam sajian singkat ini, bukanlah jawaban
mujarab atas berbagai phenomena kebangsaan yang ada saat ini, namun minimal melalui kajian
ini kita akan mampu memahami secara baik tentang apa dan bagaimana mestinya kita sebagai
sebuah anggota komunitas ke-indonesia-an dalam bingkai negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pembahasan
1. Globalisasi dan Peneguhan Identitas Kebangsaan

Sebagai sebuah proses, globalisasi bertujuan untuk menghomogenisasi berbagai bidang,


dengan tanpa pengecualian. Proses ini disebarluaskan melalui instrumen teknologi informasi
yang dikontrol oleh negara-negara maju sehingga negara-negara berkembang seperti Indonesia
lebih diposisikan sebagai fihak yang dipengaruhi (objek). Konsekuensinya, identitas negara-
negara maju (pengontor) berkembang secara cepat dan mudah dan diikuti oleh banyak
masyarakat Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa globalisasi sesungguhnya mengancam
identitas Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Karena itu, adalah penting dan mendesak
untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan merevitalisasi identitas kebangsaan Indonesia. Ian
Clark memandang globalisasi sebagai salah satu penyebab berakhirnya Perang Dingin karena
globalisasi telah mendorong marjinalisasi Uni Sovyet dengan menyingkap kelemahan-kelemahan
di dalam negara komunis itu. Pada saat yang sama, globalisasi juga muncul sebagai efek Perang
Dingin. Karena itu, globalisasi dapat dikatakan sebagai sistem kontinuitas antara tatanan pada
Perang Dingin dan pascaPerang Dingin (Clark dalam Baylish dan Smith 2001, 737).

Bermula dari kontinuitas tersebut, nilai-nilai Barat yang khas AS semakin kencang
dipromosikan ke banyak negara. Identitas kultural yang semula hanya dianut dan berlaku di
komunitas tertentu diglobalkan ke seluruh wilayah dunia. Globalisasi kian mudah berproses
seiring dengan perkembangan pesat teknologi komunikasi dan informasi. Dalam hal ini, jaringan
internet memegang peran terbesar dalam melancarkan penyebaran identitas lokal dan nasional
suatu negara ke ranah global. Sementara Manuel Castells (1996) mengatakan bahwa meluasnya
jejaring komunikasi yang menyebabkan hubungan antarmasyarakat di seluruh dunia berjalan
secara cepat dan dekat telah menimbulkan dilema antara tetap bertahan dalam identitas asli (the
self) atau ikut melebur dalam identitas masyarakat yang mengidentifikasi diri sebagai
masyarakat jaringan global (the net). Kuatnya penetrasi budaya yang terglobalkan menyebabkan
sebagian orang merasa identitas aslinya telah usang karena tidak sejalan dengan globalisasi.
Mereka lantas mengalami krisis identitas dan akibatnya meninggalkan the self untuk bergabung
dalam the net yang justru kian mengancam eksistensinya sebagai sebuah bangsa-negara.

Bagi Indonesia, merasuknya nilai-nilai luar melalui proses globalisasi ke masyarakat


Indonesia merupakan ancaman bagi kelestarian identitas dan budaya asli yang mencitrakan
nasionalitas kebangsaan dan lokalitas khas sebagai fondasi kebudayaan nasional. Sebagai sebuah
bangsa, Indonesia merupakan wilayah menyatu yang merupakan tempat hidup dan
berkembangnya beragam suku bangsa, bahasa daerah, dan kebudayaan lokal. Persoalannya,
semangat persatuan itu kini semakin memudar seiring menjamurnya pemakaian budaya asing
dan penggunaan bahasa Inggris yang disebarkan oleh arus globalisasi ke masyarakat Indonesia.
Kebudayaan konvensional yang memposisikan dan merevitalisasi tepo seliro, toleransi, keramah
tamahan, penghormatan pada yang lebih tua juga digempur oleh pergaulan bebas dan sikap
individualistik sebagai akibat dari globalisasi. Pada konteks ini, kesalahan dalam merespon
globalisasi bisa berakibat pada memudarnya identitas kebangsaan. Bersandar pada rasional
tersebut, maka revitalisasi identitas kultural Indonesia merupakan langkah penting dan mendesak
untuk dilakukan melalui serangkaian upaya strategis termasuk jalur penelitian-penelitian ilmiah
oleh pendidikan tinggi dan sejenisnya.

Globalisasi merupakan dimensi lain dari globalism, selain interdependensi. Globalism


merupakan jaringan antara negara-negara di dunia yang terhubung secara interdependensi dalam
jarak yang melintasi benua (multicontinental distances). Salah satu bentuk globalism yang
ditingkatkan oleh globalisasi adalah social and cultural globalism. Pada tingkatan tertinggi,
social globalism mempengaruhi kesadaran individu dan sikapnya terhadap budaya, politik, dan
identitas personal. Keohane dan Nye menilai globalism sebagai “thin globalization”. Sedangkan
era globalism sekarang adalah “thick globalism”. Tingkat kepadatan globalism di era
kontemporer ditandai oleh peningkatan density networks, institutional velocity, dan transnational
participation (Keohane dan Nye, 2000). Pada tataran dunia kontemporer, globalisasi berkembang
sebagai proses dengan empat karakteristik, yaitu: (1) rentangan aktivitas ekonomi, sosial, dan
politik melintasi batas-batas politik sehingga kejadian, keputusan, dan aktivitas di suatu wilayah
dunia memiliki arti signifikan bagi individu dan komunitas di wilayah yang berjauhan, (2)
intensifikasi dan interkoneksitas di hampir semua aktivitas social, (3) akselerasi proses dan
interaksi global karena evolusi sistem transportasi dan komunikasi meningkatkan kecepatan
pergerakan ide, berita, barang, informasi, modal, dan teknologi ke seluruh dunia, dan (4)
peningkatan ekstensifitas, intensifitas, dan kecepatan gerak interaksi global yang ditandai dengan
penajaman efek kejadian lokal terhadap situasi global dan konsekuensi serius peristiwa global
terhadap dinamika lokal sehingga memunculkan kesadaran global kolektif (McGrew dalam
Baylish dan Smith,2001).

McGrew, Anthony Giddens (1990) menganggap globalisasi sebagai “the intensification


of worldwide social relations which link distant localities in such a way that local happenings are
shaped by events occuring many miles away and vice versa.” Nilai-nilai lokal yang berkembang
di wilayahwilayah berbeda dan berjauhan di dunia saling bertemu dan berinteraksi dalam relasi
sosial yang berjalan secara intensif. Dalam globalisasi, hasil dari relasi itu cenderung
memantapkan eksistensi nilai-nilai yang berasal dari negara-negara maju dan menyingkirkan
nilai- nilai tradisional di negaranegara berkembang dan miskin. Hal itu disebabkan nilai- nilai
negara maju dianggap modern sehingga harus dianut dan nilai-nilai negara berkembang
dipandang terbelakang sehingga perlu ditinggalkan. Pada konteks ini, globalisasi merupakan
bagian ekstrem dari interdependensi antarnegara. Implikasinya, negara menjadi jauh lebih lemah
sebagai aktor sehingga keberadaannya menjadi usang. Jika globalisasi dipandang sebagai
transformasi sifat negara, maka negara tetap memegang peran sentral. Ini mendorong gagasan
negara yang terglobalisasi (globalized state) sebagai bentuk negara. Negara menjadi berbeda dari
sebelumnya, tetapi tidak usang. Globalisasi tidak menyebabkan negara hilang, melainkan
merupakan proses transformasi negara menuju globalized states. Ketika menjadi globalized
states, identitas negara dapat mengalami perubahan (Clark dalam Baylish dan Smith 2001, 739-
740).

Pada tiga klasifikasi sebagaimana yang dipolakan oleh Manuel Castells, identitas negara
termasuk dalam klasifikasi pertama, yaitu legitimising identity, yaitu identitas yang
dikonstruksikan oleh institusi secara umum dan negara secara khusus. Klasifikasi kedua,
resistence based identity, yaitu identitas dari kelompok yang merasa ditekan untuk
mengonstruksi identitasnya sesuai dengan sistem yang menyubordinatnya. Klasifikasi ketiga,
project based identity, merupakan identitas yang muncul dari identifikasi diri berdasarkan proyek
kepentingan tertentu (Castells, 2006). Identitas kenegaraan sebagai sesuatu yang dikonstruksi
oleh masyarakat untuk memberi makna pada kehidupannya. Ketika ditarik ke tingkat nasional,
negara telah berperan secara sengaja mengonstruksi identitas kebangsaannya. Reaksi negara
terhadap globalisasi yang tidak memperlihatkan representasi masyarakat mendorong peningkatan
jumlah orang yang menegakkan identitas kolektif mereka bersandar pada prinsip komunalitas
(Castells, 2006). Di sisi lain, konsep ini memiliki variasi tipologis yang bertingkat dari individu
ke regional dan nasional. Identifikasi yang sama juga dibutuhkan untuk menentukan identitas
nasional sebuah negara. Kecenderungan homogenisasi yang dibawa globalisasi tampak begitu
kuat sehingga suatu negara bisa kehilangan keunikan identitasnya. Upaya homogenisasi ini
menyebabkan partikularitas budaya hilang, identitas kultural musnah, dan pemikiran kritis
lenyap (Castells, 2006). Bertalian dengan hal tersebut, bagaimana sebuah bangsa-negara mampu
menegakkan identitas dan jati dirinya sangat ditentukan oleh seberapa mampu warga negaranya
memfilterisasi pengarug luar dan mengelola arus global menjadi kekuatan local yang
mengglobal. Atau dalam konstruksi pemikiran Fukuyama dikenal dengan glokalisasi terstruktur
(Lasmawan, 2016).

2. JatiDiri Bangsa dan Dinamika DuniaKampus (Pendidikan Tinggi)


Pembangunan dan penguatan jati diri kebangsaan pada dasarnya tidak bisa dilepaskan
dari peran serta dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi sebagai sumber inovasi dan
lahirnya manusia-manusia terdidik bagi kebesaran bangsanya. Artinya bahwa dunia kampus
mestinya mampu memainkan peranan yang strategis dalam kaitannya dengan mengatasi berbagai
persoalan kebangsaan, khususnya menyangkut jati diri bangsa Indonesia. Jika dunia kampus
hadir secara nyata serta konsisten dalam pembangunan integritas kebangsaan, atau hendak
berkotribusi terhadap bangsanya, bentuk kontribusi yang paling utama adalah yang berangkat
dari jati diri dan karakternya sendiri. Karena jati diri bangsa terbentuk ketika kita sebagai warga
bangsa ini, bersungguh‐sungguh dalam merumuskan dan menegakkan jati diri kita masing--‐
masing. Kalau perilaku kita sok‐sok‐an, mustahil kiranya kita bisa menegakkan jati diri dan
karakter bangsa. Ada dua pertanyaan, yang untuk jawabannya, universitas perlu merefleksi jati
diri secara seksama. Pertama, sebagai lembaga pendidikan, sejauhmana universitas telah ambil
bagian dalam perubahan social kenegaraan? Kedua, sebagai lembaga keilmuan corak keilmuan
macam yang telah dan akan dikembangkan sehingga perannya dalam perubahan sosial
kebangsaan melekat dalam kesehariannya.

3. Ancaman Homogenisasi Globalisasi


Jika dalam kesehariannya universitas memang terlibat jauh dan efektif dalam mengarungi
dan mengelola perubahan sosial, maka kontribusinya bagi penyelesaian masalah kebangsaan
tidaklah harus “diada--‐adakan”. Karena jika corak keilmuan yang dikembangkan adalah yang
berwatak transformatif, maka aktivitas pengembangan ilmu yang dilakukan dalam kesehariannya
akan berkontribusi bagi penanganan masalah bangsa dan kenegaraan. Pengembangan keilmuan
di dunia kampus perlu dihayati sebagai ilmu ‘tentang kita’, dan produksi pengetahuan melalui
kegiatan keilmuan haruslah menambah pengatahuan kita. Sense ke--‐kita--‐an haruslah
termanifestasikan dalam kegiatan keilmuan. Ketika meneliti Indonesia, yang harus dilakukan
adalah melakukan refleksi kolektif tentang kita sebagai warga bangsa yaitu bangsa Indonesia.
Agar bersifat transformatif, pengembangan keilmuan di universitas, khususnya melalui kegiatan
penelitian, perlu memprioritaskan pengkajian tentang ‘kita’ dari pada mereka. Olah rasa kekitaan
itulah yang memungkinkan pengembangan kelimuan melalui penelitian-penelitian inoovatif
ambil bagian dalam proses perubahan sosial dan penanganan masalah identitas kebangsaan.
Tanpa komitmen untuk ambil bagian dalam proses perubahan social kenegaraan, kegiatan
keilmuan di dunia kampus hanya akan mengungkap apa yang seharusnya (das sollen). Oleh
karena itu, sejauh ini sangat sedikit prestasi kita dalam mewujudkakan keberpihakan pada nilai
ke dalam dunia nyata. Kita mendudukkan pendidikan sebagai proses yang apolitis. Biasanya
yang dituntut untuk dihasilkan para ilmuwan adalah ‘penjelasan ilmiah’, bukan ‘realita baru’
yang didambakan publik. Ketiadaan motif untuk melakukan transformasi telah menjadikan
ilmuwan berwatak mendua. Di satu sisi, mereka menekuni dunia pendidikan dan berfikir
seakan--akan perubahan sosial dapat diisolasi sebagai persoalan teknikalitas pembelajaran
semata atau dalam penelitian yang informative belaka. Di sisi lain, dirinya tampil optimis,
seakan-akan teknikalitas tersebut bermuara pada perubahan sosial politik kebangsaan dimana
universitas (kalangan akademisi) beraktivitas. Menelisik pengembangan keilmuan dikalangan
universitas saat ini, kebanyakan ilmu yang dikembangkan adalah ilmu yang informatif, namun
belum transformatif. Ilmuwan sudah merasa cukup dengan memberi informasi berbasis kajian
ilmiahnya, namun tidak berkewajiban untuk menghasilkan perubahan atas persoalan
kebangsaannya. Lebih dari itu, secara diam-diam metodologi keilmuan yang digunakan justru
mengekang dunia kampus untuk ambil bagian secara meluas dalam menghasilkan
perubahan/penanganan masalah-masalah kebangsaan. Pengekangan itu justru dilakukan demi
menjaga atau atas nama obyektifitas ataupun kenetralankajian akademik.

Bertalian dengan silogisme di atas, gagasan tentang pendidikan sebagai reproduksi nilai,
sudah lama dikenal dan sudah banyak diperjuangkan. Kealphaan kita selama ini sebetulnya
hanya pada level operasionalisasi atau penjabaran. Tidak banyak lembaga pendidikan tinggi yang
dengan seksama dan komprehensif menjabarkannya. Belum cukup seksama kita menjabarkan
gagasan sederhana tersebut ke dalam praktek pengelolaan universitas, pembelajaran, penelitian
dan pengabdian pada masyarakat, praktek pengembangan kurikulum. Artinya bahwa,
seperangkat agenda reorientasi masih diperlukan jika dunia kampus betul-betul hendak menjadi
katalisator, kalau bukan faktor penentu, perubahan social kenegaraan, terlebih dalam upaya
penguatan jati diri kebangsaan yang saat ini benar-benar sangat dibutuhkan. Jika dunia kampus
benar-benar ingin mengembangkan kegiatanpendidikan, terutama penelitian keilmuan yang
transformatif, maka ada begitu banyak masalah kolektif (kebangsaan) yang langsung atau tidak
langsung akan ikut tertanggulangi. Untuk itu, dunia kampus mestinya tidak semata-mata
mengembangkan citra (branding) sebagai lembaga pendidikan dan keilmuan yang transformatif,
namun juga memiliki haluan yang jelas dalam menyikapi berbagai persoalan kenegaraan yang
kian merebak saat ini. Artinya bahwa: (1) harus ada nila--nilai tertentu yang disepakati untuk
diproduksi, dan (2) ukuran keberhasilan pendidikan dan peneli-tian inovasi dikalangan dunia
kampus adalah tereproduk-sinya nilai-‐nilai tersebut dalam kiprah sehari--‐harinya. Jika kita
bersepakat bahwa kegiatan penelitian inovatif sebagai proses reproduksi nilai-nilai, maka
terlebih penting dari itu, nilai kebangsaan merupakan hal yang niscaya dijunjung tinggi,
mengingat kebangsaan adalah salah satu ekspresi kebersaamaan sebagai sebuah komuinitas
dalam regulasi yang bersifat yuridis-formal. Komitmen untuk mengem-bangkan nilai-nilai
inovatif melalui praktek pendidikan dan penelitian transformatif, akan bermuara pada
pengembangaan kebersamaan dalam berbangsa dan bernegara. Dengan cara ini, sekali lagi,
keterlibatan kita dalam pengembangan rasa kebangsaan bukanlah sekedar wacana yang bersifat
informative, melainkan benar-benar harus diletakkan pada koridor nilai-nilai kebangsaan yang
riil serta bermanfaat bagui kemaslahatan masayarakat luas.
Kesimpulan
Salah satu side effect runtuhnya orde baru adalah berkembangnya sikap skeptis terhadap ideologi
Pancasila, akibat trauma atas pendekatan doktriner «eka prasetya pancakarsa» dalam formula
penataran P4 yang menjadikan Pancasila kurang mencerminkan keseimbangan antara moralitas
institusional, sosial dan sipil, bahkan menjadikan Pancasila sebagai ideologi tertutup di luar
penafsiran nilai-nilai yang diformalkan. Kondisi gamang terhadap ideologi Pancasila telah
menyurutkan makna ideologi, baik sebagai perekat persatuan bangsa maupun sebagai the
predictability function of ideology. Modus dan skala globalisasi di masa kini telah
berubah, dimana secara terstruktur dunia mengalami Revolusi 4T yang memiliki efek pendorong
global dominan sehingga batas antar wilayah semakin kabur dan berujung pada terciptanya
global village. Pembangunan dan penguatan jati diri kebangsaan pada dasarnya tidak bisa
dilepaskan dari peran serta dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi sebagai sumber
inovasi dan lahirnya manusia-manusia terdidik bagi kebesaran bangsanya.
Artinya bahwa dunia kampus mestinya mampu memainkan peranan yang strategis dalam
kaitannya dengan mengatasi berbagai persoalan kebangsaan, khususnya menyangkut jati diri
bangsa Indonesia. Jika dunia kampus hadir secara nyata serta konsisten dalam pembangunan
integritas kebangsaan, atau hendak berkotribusi terhadap bangsanya, bentuk kontribusi yang
paling utama adalah yang berangkat dari jati diri dan karakternya sendiri dalam bingkai
ketajaman pisau bedah akademis.
HASIL RESUME/REVIEW

JATI DIRI BANGSA


WayanLasmawan

Prodi Pendidikan Dasar (S3) Universitas Pendidikan Ganesha


Email:[email protected]

Abstract
National identity is a must for society who admit themselves belong to any nation and
country. National identity is a «nation-state» identity which attaches to the nation including its
juridical-social instruments. For Indonesia, national identity is in this globalization era faced to
reconstruction process in order to be in line with country constitution. One relevant alternative
way to strengthen national identity is through many innovative research conducted by high
education institutions.

Pendahuluan
Warna bangsa dalam kontestasi kenegaraan berubah secara drastis pada tahun 1999, yaitu
dengan lahirnya orde reformasi beserta segala inovasi dan rekonstruksi elemen yang
mengiringinya. Sebelum gerakan demokratisasi merebak, persoalan persatuan dan kesatuan
bangsa sangat intensif dilakukan dan terpelihara dengan baiknya, walaupun resonansi ritme
sosial tetap mengiringinya. Namun modal sosial yang sangat kuat dan tumbuh bersama-sama
dengan kebangkitan nasional tersebut, dikelola secara simultan dengan aspek-aspek kehidupan
yang lain, serta pendekatan yang relatif represif dan mengedepankan stabilitas politik, sehingga
memicu lahirnya bibit-bibit unggul «pembaharuan». Kondisi kebangsaan yang demikian, masih
menjadi jaminan bagi bangsa Indonesia, bahwa bangsa ini akan tetap kokoh berdiri dan
persatuan serta kesatuan nasional baik yang bernuansa struktural maupun solidaritas social, tetap
bisa dipertahankan di negeri ini. Sebab bangsa Indonesia memang didirikan atas dasar falsafah
non-primordialisme, melainkan atas dasar sense of common suffering, akibat penjajahan asing
yang berates tahun lamanya. Bersandar pada kontekstualitas tersebut, pergantian suatu
paradigma dengan paradigma yang baru merupakan kejadian ilmiah yang diakibatkan oleh
perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam proses peralihan paradigma tersebut seringkali terjadi
atau tidak berlangsung secara mulus, karena selalu terdapat masyarakat pendukung paradigma
lama dan pendukung paradigma baru. Hal ini bisa saja berlangsung lama, yang dipicu rasa
keengganan pemeluk paradigma lama untuk mengakui keunggulan paradigma baru.
Pembahasan

1. Globalisasi dan Peneguhan Identitas Kebangsaan


Proses ini disebarluaskan melalui instrumen teknologi informasi yang dikontrol oleh
negara-negara maju sehingga negara-negara berkembang seperti Indonesia lebih diposisikan
sebagai fihak yang dipengaruhi . Pada saat yang sama, globalisasi juga muncul sebagai efek
Perang Dingin. Bermula dari kontinuitas tersebut, nilai-nilai Barat yang khas AS semakin
kencang dipromosikan ke banyak negara. Identitas kultural yang semula hanya dianut dan
berlaku di komunitas tertentu diglobalkan ke seluruh wilayah dunia.
Sementara Manuel Castells mengatakan bahwa meluasnya jejaring komunikasi yang
menyebabkan hubungan antarmasyarakat di seluruh dunia berjalan secara cepat dan dekat
telah menimbulkan dilema antara tetap bertahan dalam identitas asli atau ikut melebur dalam
identitas masyarakat yang mengidentifikasi diri sebagai masyarakat jaringan global . Sebagai
sebuah bangsa, Indonesia merupakan wilayah menyatu yang merupakan tempat hidup dan
berkembangnya beragam suku bangsa, bahasa daerah, dan kebudayaan
lokal. Persoalannya, semangat persatuan itu kini semakin memudar seiring menjamurnya
pemakaian budaya asing dan penggunaan bahasa Inggris yang disebarkan oleh arus
globalisasi ke masyarakat Indonesia. Kebudayaan konvensional yang memposisikan dan
merevitalisasi tepo seliro, toleransi, keramah tamahan, penghormatan pada yang lebih tua juga
digempur oleh pergaulan bebas dan sikap individualistik sebagai akibat dari
globalisasi. Globalism merupakan jaringan antara negara-negara di dunia yang terhubung
secara interdependensi dalam jarak yang melintasibenua .

Salah satu bentuk globalism yang ditingkatkan oleh globalisasi adalah social and cultural
globalism. Pada tiga klasifikasi sebagaimana yang dipolakan oleh Manuel Castells, identitas
negara termasuk dalam klasifikasi pertama, yaitu legitimising identity, yaitu identitas yang
dikonstruksikan oleh institusi secara umum dan negara secara khusus. Klasifikasi
kedua, resistence based identity, yaitu identitas dari kelompok yang merasa ditekan untuk
mengonstruksi identitasnya sesuai dengan sistem yang menyubordinatnya. Klasifikasi
ketiga, project based identity, merupakan identitas yang muncul dari identifikasi diri berdasarkan
proyek kepentingan tertentu . Identitas kenegaraan sebagai sesuatu yang dikonstruksi oleh
masyarakat untuk memberi makna pada kehidupannya.

2. Jati Diri Bangsa Dan Dinamika Kampus


Pembangunan dan penguatan jati diri kebangsaan pada dasarnya tidak bisa dilepaskan
dari peran serta dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi sebagai sumber inovasi dan
lahirnya manusia-manusia terdidik bagi kebesaran bangsanya. Jika dunia kampus hadir secara
nyata serta konsisten dalam pembangunan integritas kebangsaan, atau hendak berkotribusi
terhadap bangsanya, bentuk kontribusi yang paling utama adalah yang berangkat dari jati diri
dan karakternya sendiri. Kalau perilaku kita sok‐sok‐an, mustahil kiranya kita bisa menegakkan
jati diri dan karakter bangsa. Ada dua pertanyaan, yang untuk jawabannya, universitas perlu
merefleksi jati diri secara seksama.

3. Ancaman Homogenisasi Globalisasi


Karena jika corak keilmuan yang dikembangkan adalah yang berwatak transformatif,
maka aktivitas pengembangan ilmu yang dilakukan dalam kesehariannya akan berkontribusi bagi
penanganan masalah bangsa dan kenegaraan. Ketika meneliti Indonesia, yang harus dilakukan
adalah melakukan refleksi kolektif tentang kita sebagai warga bangsa yaitu bangsa Indonesia.
Biasanya yang dituntut untuk dihasilkan para ilmuwan adalah ‘penjelasan ilmiah’, bukan ‘realita
baru’ yang didambakan publik. Di satu sisi, mereka menekuni dunia pendidikan dan berfikir
seakan--akan perubahan sosial dapat diisolasi sebagai persoalan teknikalitas pembelajaran
semata atau dalam penelitian yang informative belaka. Artinya bahwa, seperangkat agenda
reorientasi masih diperlukan jika dunia kampus betul-betul hendak menjadi katalisator, kalau
bukan faktor penentu, perubahan social kenegaraan, terlebih dalam upaya penguatan jati diri
kebangsaan yang saat ini benar-benar sangat dibutuhkan. Jika dunia kampus benar-benar ingin
mengembangkan kegiatanpendidikan, terutama penelitian keilmuan yang transformatif, maka
ada begitu banyak masalah kolektif yang langsung atau tidak langsung akan ikut tertanggulangi.
Untuk itu, dunia kampus mestinya tidak semata-mata mengembangkan citra sebagai lembaga
pendidikan dan keilmuan yang transformatif, namun juga memiliki haluan yang jelas dalam
menyikapi berbagai persoalan kenegaraan yang kian merebak saat ini.

You might also like