Adminjaya,+7 +I+Wayan+Jatiyasa

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

Komunikasi Bahasa Bali dalam Paruman Adat di Desa Bunutan Karangasem

(Perspektif Sosiolinguistik)
Oleh
I Wayan Jatiyasa
STKIP Agama Hindu Amlapura
[email protected]

Abstract
This research is a qualitative research that aims to describe: Diterima : 14 November 2018
(1) the form of communication in the Balinese language in the Direvisi : 12 Januari 2019
paruman adat in Bunutan Karangasem Village; (2) the Diterbitkan : 31 Maret 2019
obstacles faced when communicating Balinese in the paruman
adat in Bunutan Karangasem Village; and (3) a strategy to Kata Kunci :
overcome the obstacles of communicating Balinese language Komunikasi Bahasa Bali;
in the paruman adat in Bunutan Karangasem Village. Data Paruman Adat;
collection methods use the look and interview method. The Sosiolinguistik
referral method is done with basic techniques and advanced
techniques. The basic technique, namely tapping technology
assisted with recording instruments, while the follow-up
technique, which is using competent involvement-free
listening techniques and note taking techniques are assisted
with notebook instruments. The interview method uses a
standardized interview. Based on the results and discussion, it
can be concluded that: (1) the form of communication in the
Balinese language in the paruman adat in the village of
Bunutan Karangasem, namely using Balinese Madia language
and pointing at the dialect of Bunutan Karangasem Village;
(2) constraints when communicating Balinese language in
paruman adat in Bunutan Karangasem Village are influenced,
namely: directly (lack of knowledge about anggah-ungguhing
basa Bali, no Balinese education, Indonesian/English
language use is cooler, spontaneity due to forgetfulness, and
habits) and indirectly (the impact of tourism, economic
demands, and population heterogeneity); (3) a strategy
undertaken to overcome the constraints of communicating
Balinese language in the paruman adat in Bunutan
Karangasem Village, namely: empowerment of Bali
Provincial Bali Language Instructor; giving dharma
discourse or counseling of Hinduism; free tutoring at the
Indonesian Children's Foundation in Lean; and further study
to college.
Volume 2 Nomor 1 (2019) 187
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan
untuk mendeskripsikan: (1) bentuk komunikasi bahasa Bali
dalam paruman adat di Desa Bunutan Karangasem; (2)
kendala-kendala yang dihadapi saat berkomunikasi bahasa
Bali dalam paruman adat di Desa Bunutan Karangasem; dan
(3) strategi mengatasi kendala-kendala berkomunikasi bahasa
Bali dalam paruman adat di Desa Bunutan Karangasem.
Metode pengumpulan data menggunakan metode simak dan
wawancara. Metode simak dilakukan dengan teknik dasar dan
teknik lanjutan. Teknik dasarnya, yakni tekni sadap dibantu
dengan instrumen alat perekam, sedangkan teknik
lanjutannya, yakni menggunakan teknik simak bebas libat
cakap (SBLC) dan teknik catat dibantu dengan instrumen
buku catatan. Metode wawancara menggunakan wawancara
berencana (standardized interview). Berdasarkan hasil dan
pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: (1) bentuk
komunikasi bahasa Bali dalam paruman adat di Desa Bunutan
Karangasem, yaitu menggunakan bahasa Bali Madia dan
menunjuk dialek Desa Bunutan Karangasem; (2) kendala-
kendala saat berkomunikasi bahasa Bali dalam paruman adat
di Desa Bunutan Karangasem dipengaruhi, yaitu: secara
langsung (kurangnya pengetahuan tentang anggah-ungguhing
basa Bali, tidak berpendidikan bahasa Bali, pemakaian bahasa
Indonesia/Inggris dirasa lebih keren, spontanitas karena lupa,
dan kebiasaan) dan secara tidak langsung (dampak pariwisata,
tuntutan ekonomi, dan heterogenitas penduduk); (3) strategi
yang dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala
berkomunikasi bahasa Bali dalam paruman adat di Desa
Bunutan Karangasem, yaitu: pemberdayaan Penyuluh Bahasa
Bali Provinsi Bali; pemberian dharma wacana atau
penyuluhan agama Hindu; bimbingan belajar gratis di
Yayasan Anak Indonesia di Lean; dan studi lanjut ke
perguruan tinggi.

Pendahuluan
Bahasa Bali merupakan bahasa daerah etnis Bali yang sampai saat ini masih dilestarikan
dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya. Komunikasi ini muncul dalam berbagai aspek
keagamaan, sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Masyarakat Bali lumbrah berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa Bali. Komunikasi bahasa Bali oleh masyarakat Bali mencerminkan
kecintaan terhadap bahasa Ibu yang telah diwariskan sejak masa kanak-kanak mulai dari
lingkungan keluarga, selanjutnya dikembangkan pada pendidikan formal di sekolah dasar dan
menengah.

Volume 2 Nomor 1 (2019) 188


Dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan kualitas pendidikan bahasa Bali bagi
generasi muda Bali, maka Pemerintah Provinsi Bali bersama instansi terkait telah melakukan
berbagai tindakan preventif melalui pembinaan dan penyuluhan bahasa, aksara, dan sastra Bali
bersinergi dengan Balai Bahasa Provinsi Bali dan Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra
Bali (sekarang digagas menjadi Lembaga Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali); penetapan Peraturan
Gubernur Bali Nomor: 20 Tahun 2013 tentang Bahasa, Aksara, dan Sastra Daerah Bali pada
Pendidikan Dasar dan Menengah bertujuan mewajibkan satuan pendidikan untuk mengajarkan
bahasa, aksara, dan sastra Bali minimal 2 jam pelajaran per minggu (Pasal 4 ayat 1). Satuan yang
dimaksud ialah jenjang pendidikan dasar (Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar
Luar Biasa/Paket A dan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah/Sekolah Menengah
Pertama Luar Biasa/Paket B), serta jenjang pendidikan menengah (Sekolah Menengah
Atas/Madrasah Aliyah/Sekolah Menengah Atas Luar Biasa/Paket C/Sekolah Menengah
Kejuruan); pengadaan Tenaga Kontrak Non-PNS Penyuluh Bahasa Bali Provinsi Bali melalui
Dinas Kebudayaan Provinsi Bali (pada tahun 2016 dan 2017) dan Dinas Pendidikan Provinsi
Bali pada tahun 2018; peninjauan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor: 3
Tahun 1992 tentang Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali sehubungan dengan pembinaan,
pengembangan, dan pelestarian bahasa, aksara, dan sastra Bali oleh Komisi IV Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali selama beberapa kali pertemuan yang
melibatkan beberapa instansi, perguruan tinggi se-Bali, praktisi pendidikan, dan Aliansi Peduli
Bahasa Bali; serta berbagai kegiatan dan lomba yang berciri khas bahasa Bali baik di tingkat
desa (porsenides), kecamatan (porsenijar), kabupaten (Utsawa Dharma Gita, bulan bahasa,
porsenijar), maupun provinsi (Utsawa Dharma Gita, PKB).
Kesemua upaya Pemerintah Provinsi Bali dalam rangka penyelenggaraan pelestarian dan
pembinaan bahasa Bali tersebut di atas, tidak akan berhasil jika tanpa peran aktif seluruh
komponen masyarakat Bali dan pemegang kebijakan di kabupaten/Kota. Pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terlebih memasuki era revolusi industri 4.0 yang
menggempur Indonesia khususnya Bali menimbulkan beberapa dampak yang signifikan dalam
perkembangan pola kehidupan masyarakatnya. Sistem literasi data yang menuntut orang untuk
memiliki kemampuan membaca, analisis dan menggunakan informasi di dunia digital; sistem
literasi teknologi yang menuntut orang untuk memahami cara kerja mesin, aplikasi teknologi;
serta sistem literasi yang menuntut berprilaku berperikemanusiaan, kecakapan komunikasi, dan
desain dalam kehidupan masyarakat Bali rupanya hanya berimplikasi pada dua ranah saja, yaitu
literasi data dan literasi teknologi.

Volume 2 Nomor 1 (2019) 189


Masyarakat Bali tergerus dalam arus era digital dan teknologi yang tidak dapat
dibendung. Pengembangan kognisi dapat diakses melalui internet di berbagai media termasuk
maraknya penggunaan jejaring sosial untuk berbagai kepentingan. Demikian halnya komunikasi
dalam lingkungan keluarga antara ibu, ayah, dan anak-anak serta kerabat seringkali hanya
melalui komunikasi digital. Hal ini menyebabkan “keintiman” dalam keluarga menjadi
berkurang dan dapat memicu ketidakharmonisan keluarga. Pola hidup masyarakat Bali juga
berorientasi pada kerja, seringkali keluarga terutama kebutuhan anak-anak dalam pendidikan
dan pengembangan mental menjadi urusan nomor dua. Di samping itu, komunikasi sosial
kemasyarakatan di desa pun telah terpengaruh sehingga menyebabkan rendahnya kualitas
kesopansantunan berbahasa diantara sesamanya. Munculnya istilah-istilah asing atau kata
serapan bahasa Indonesia dalam komunikasi bahasa Bali seolah-olah merupakan kebanggaan
tersendiri oleh penuturnya sebagai manusia “kekinian”.
Perkembangan dunia digital saat ini mampu mendongkrak pariwisata Bali untuk
meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali khususnya Karangasem. Namun, juga
berdampak negatif dalam perkembangan etika kebahasaan Bali yang mana menganut sistem
anggah-ungguhing basa Bali. Artinya, masyarakat Bali dalam berbagai aktivitas sepatutnya
berkomunikasi mengacu pada tingkatan-tingkatan bahasa Bali, yaitu: kasar, biasa, menengah,
dan tinggi (kasar, andap, madia, alus sor, alur mider, dan alus singgih) sesuai dengan klasifikasi
penutur (Sang Sor: Wangsa Jaba dan Sang Singgih: Wangsa Brahmana, Wesia, Ksatria), seiring
perkembangannya maka penggunaan bahasa Bali terlebih bahasa Bali yang baik dan benar sudah
mulai berkurang kualitasnya.
Komunikasi bahasa Bali kasar digunakan hanya ketika dalam keadaan sedang marah,
mengumpat, dan berkelahi. Bentuk bahasa Bali ini nilai rasa bahasanya sangat rendah.
Misalnya: (1) Durus numbasang tiang pulsa, Cok? „Jadi membelikan saya pulsa, Cok?‟ (jenis
bahasa Bali ini adalah bahasa Bali Kasar Jabag, digunakan oleh Wangsa Jaba kepada orang
yang patut dihormati, yakni Cokorda; semestinya menggunakan bahasa Bali alus „sopan‟, yakni:
Durus numbasang titiang pulsa, Ratu Cokorda?); (2) Ih, bani iba mentas ke umah kaine,
mapunggel tendas ibane! „Eh, berani kamu datang ke rumahku, terpenggal kepalamu! (jenis
bahasa Bali ini adalah bahasa Bali Kasar Pisan, digunakan khusus untuk mengumpat, berdebat
atau berkelahi) . Komunikasi bahasa Bali andap „biasa‟, digunakan oleh seseorang yang
memiliki kedudukan sama. Misalnya: Yan, aba mai sampate lakar anggon di paon! „Yan, bawa
ke sini sapunya akan dipakai di dapur!‟. Komunikasi bahasa Bali Madia, digunakan oleh
seseorang yang belum saling mengenal satu sama lain dan kata-kata yang digunakan biasanya
adalah kata-kata bahasa Bali menengah (kruna alus Madia) dan bahasa campuran (sisipan

Volume 2 Nomor 1 (2019) 190


bahasa Indonesia atau asing), seperti: „ten „tidak‟, „tiang „saya‟ dan memakai kata ganti orang
kedua “Jero”. Misalnya: Jero, tiang nunasang antuk pasengan jerone sira, nggih? „Tuan, saya
mohonkan namanya Tuan siapa, ya?.‟ Komunikasi bahasa Bali Alus Sor, digunakan oleh
seseorang saat berbicara selaku orang pertama tunggal dan oleh Wangsa Jaba kepada orang yang
patut dihormati (Tri Wangsa), bertujuan menjaga etika kesopansantunan saat berbicara dengan
lawan bicara (orang kedua) dan orang yang dibicarakan (orang ketiga) tersebut. Misalnya:
Titiang sampun polih matur ring Ratu Peranda indik pamargin upacara ring Purnama Kapate
„Saya sudah dapat berbicara kepada Peranda tentang pelaksanaan upacara di Purnama Sasih
Kapat.‟ Komunikasi bahasa Bali Alus Mider, digunakan oleh seseorang kepada khalayak secara
sopan dengan kata-kata, seperti iraga „kita‟ dan druene „anda sekalian‟; yang menyatakan
kepunyaan bersama. Misalnya: Upacara Ngenteg Linggih punika sampun prasida puput
sangkaning utsaha miwah ayah-ayah iraga sareng sami „Upacara Ngenteg Linggih telah selesai
melalui usaha dan pengabdian kita semua.‟ Komunikasi bahasa Bali Alus Singgih, digunakan
seseorang untuk mengatakan segala sesuatu yang berkaitan dengan orang yang dihormati atau
oleh Wangsa Jaba kepada Tri Wangsa bertujuan menjaga etika kesopansantunan berbahasa Bali,
sedangkan yang berbicara dan segala sesuatu yang berkaitan dengan si pembicara digunakan
bahasa Bali Alus Sor. Misalnya: Kurenan titiange wawu kalih rahina sane lintang ngembasang
rare, yening rabin Gusti Aji sampun mobot? „Istri saya baru dua hari yang lalu melahirkan bayi,
kalau istri Gusti Aji sudah hamil?‟ (adapun perbedaan kata-kata untuk si pembicara, yaitu: kata
kurenan, titiange, dan ngembasang dikategorikan kata Alus Sor, jika di-Alus Singgih-kan
menjadi rabin, ratune/Gusti Ajine, dan ngamijilang; sedangkan kata-kata Alus Singgih pada
kalimat tersebut, yaitu: kata rabin, Gusti Aji, dan mobot).
Etika berkomunikasi bahasa Bali dipengaruhi oleh klasifikasi masyarakat Bali baik
secara tradisional maupun modern. Secara tradisonal, masyarakat Bali terdiri atas Wangsa Jaba
dan Tri Wangsa seperti dinyatakan di depan, sedangkan secara modern, masyarakat Bali terdiri
atas Sang Sor (bawahan: murid, tukang sapu) dan Sang Singgih (Atasan: guru, kepala kantor).
Dalam situasi resmi keadatan, masyarakat Bali wajib menggunakan bahasa Bali alus. Misalnya,
dalam kegiatan, paruman/pasangkepan, dharma wacana, widya tula, atur pakeling, ataupun atur
piuning.
Paruman adat adalah salah satu tempat berkumpul krama (warga desa adat)
menghasilkan keputusan bersama secara musyawarah mufakat yang sangat demokratis, karena
setiap krama memiliki hak suara yang sama sehingga keputusan yang diambil dapat memuaskan
diri setiap orang untuk mencapai kepuasan dan kebahagian serta kesentosaan bagi seluruh
masyarakat. Sekalipun paruman masih sangat eksis keberadaannya dalam memutuskan topik

Volume 2 Nomor 1 (2019) 191


atau perkara di lingkungan desa adat/banjar atau kolektif masyarakat tertentu, akan tetapi sarana
komunikasi yang digunakannya telah mengalami degradasi. Hal ini juga terjadi di Desa Bunutan,
Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Desa Bunutan membawahi sepuluh banjar dinas,
yaitu: Banjar Dinas Sega, Gulinten, Canguang, Bangle, Bunutan, Lean, Banyuning, Aas,
Batukeseni, dan Kusambi. Namun secara adat wilayah ini dibagi menjadi dua wilayah adat, yaitu
adat Gulinten berdiri sendiri dan adat Sega yang membawahi kesembilan dusun lainnya (Bakti,
Wawancara 18 April 2018).
Desa Bunutan terkenal dengan keindahan alamnya yang memesona. Potensi sumber daya
alam berupa pantai, bukit, lembah, dan pegunungan yang dimilikinya menjadi daya tarik
wisatawan asing untuk datang dan berlibur di sana. Dengan adanya pariwisata, pola hidup orang
pedesaan tidak mau kalah dengan orang-orang yang tinggal di perkotaan. Mereka memanfaatkan
kesempatan tersebut untuk bekerja di villa, bungalow, atau hotel yang ada di desanya. Sebelum
berkembangnya pariwisata di Bunutan, masyarakat di Desa Bunutan masih menggunakan bahasa
Bali sebagai bahasa ibu. Seiring dengan berkembangnya pariwisata, krama lebih cendrung
menggunakan bahasa Indonesia bahkan bahasa Inggris sebagai sarana berkomunikasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dirasa penting untuk meneliti fenomena komunikasi
bahasa Bali dalam paruman adat di Desa Bunutan Karangasem secara khusus melalui perspektif
sosiolinguistik. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) bentuk komunikasi bahasa
Bali dalam paruman adat di Desa Bunutan Karangasem; (2) kendala-kendala yang dihadapi saat
berkomunikasi bahasa Bali dalam paruman adat di Desa Bunutan Karangasem; (3) strategi
mengatasi kendala-kendala berkomunikasi bahasa Bali dalam paruman adat di Desa Bunutan
Karangasem.

Metode
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang mendeskripsikan secara rinci
sehubungan dengan masalah penelitian, yaitu bentuk, kendala-kendala, dan strategi mengatasi
kendala-kendala pada komunikasi bahasa Bali dalam paruman adat di Desa Bunutan
Karangasem. Dengan demikian jenis penelitian ini tidak menekankan pada jumlah atau kuantitas,
tetapi lebih pada segi kualitas secara alamiah yang menyangkut pengertian, konsep, nilai, serta
ciri-ciri yang melekat pada objek penelitian dimaksud. Pendekatan data dilakukan dengan
pendekatan empiris (empirical approach), yaitu metode pendekatan yang berorientasi pada
gejala yang telah ada secara alami (natural phenomena). Penentuan subjek penelitian dilakukan
berdasarkan sampling non-probability jenis purposive sampling, yaitu sampel yang dipilih
berdasarkan kriteria tertentu. Artinya, peneliti menentukan sendiri orang-orang yang akan

Volume 2 Nomor 1 (2019) 192


dijadikan sebagai subjek penelitian guna memperoleh data yang akurat. Adapun yang dijadikan
sebagai subjek penelitian adalah krama adat di Desa Bunutan Karangasem yang dianggap
mampu untuk memberikan data terkait dengan kendala-kendala dan strategi mengatasi kendala-
kendala komunikasi bahasa Bali dalam paruman Adat tersebut.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak. Penggunaan
metode simak dilakukan dengan dua teknik, yaitu teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik
dasarnya, yakni teknik sadap. Teknik dasar sadat digunakan karena dalam pengumpulan datanya
dengan cara menyadap komunikasi bahasa Bali dalam paruman adat. Teknik sadap
menggunakan instrumen berupa alat perekam (recorder). Kemudian digunakan teknik lanjutan,
yaitu teknik simak bebas libat cakap (SBLC) dan dibantu dengan teknik lanjutan berupa teknik
catat. Teknik catat menggunakan instrumen berupa buku catatan. Teknik simak bebas libat cakap
(SBLC) dimaksudkan peneliti menyadap komunikasi bahasa Bali dalam paruman adat tanpa ikut
terlibat dalam komunikasi tersebut. Jadi, peneliti hanya sebagai pengamat. Teknik ini digunakan
didasarkan atas pertimbangan objektivitas dan kereliabelan data penelitian. Oleh karena itu,
teknik SBLC harus disertai teknik lanjutan berupa teknik catat. Hal ini digunakan karena peneliti
tidak hanya akan menyimak dan menyadap, tetapi juga harus mencatat hal-hal yang relevan
terkait dengan bentuk komunikasi bahasa Bali dalam paruman adat tersebut. Selain
menggunakan metode simak, pengumpulan data penelitian ini juga menggunakan metode
wawancara. Metode wawancara yang digunakan adalah metode wawancara berencana
(standardized interview) untuk mengumpulkan data terkait dengan kendala-kendala dan strategi
mengatasi kendala saat berkkomunikasi dalam paruman adat di Desa Bunutan Karangasem.
Analisis data menggunakan prosedur analisis data kualitatif seperti yang dikemukakan
oleh bungin (2005: 164), yaitu: (1) reduksi data, yang dimaksud dengan tahap reduksi data
adalah data yang masih bercampur sehingga perlu dipilah-pilah sesuai dengan klasifikasi data;
(2) klasifikasi data, yaitu pemilahan data untuk menjawab rumusan masalah yang diangkat dalam
penelitian ini, (3) display data dilakukan untuk menampilkan data yang telah diklasifikasikan,
sehingga memudahkan penyajiannya, dan (4) langkah terakhir adalah melakukan interpretasi
data, kemudian setelah melakukan interpretasi data barulah melakukan penarikan kesimpulan.
Sementara itu, penyajian analisis data menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu dengan
menyajikan data secara naratif melalui kata-kata yang mengacu pada rumusan masalah.

Hasil dan Pembahasan


Dalam sajian ini juga sekaligus dilakukan pembahasan terhadap masing-masing hasil
penelitian, yaitu: (1) bentuk komunikasi bahasa Bali dalam paruman adat; (2) kendala-kendala

Volume 2 Nomor 1 (2019) 193


saat berkomunikasi bahasa Bali dalam paruman adat; dan (3) strategi mengatasai kendala-
kendala berkomunikasi bahasa Bali dalam paruman adat di Desa Bunutan Karangasem.

Bentuk Komunikasi Bahasa Bali dalam Paruman Adat di Desa Bunutan Karangasem
Bentuk komunikasi bahasa Bali dalam paruman adat di Desa Bunutan Karangasem
bervariasi. Dalam komunikasi tersebut, muncul bahasa Bali yang tidak baku dan mengandung
bahasa Indonesia. Tidak baku, maksudnya bahasa yang digunakan tidak sesuai dengan anggah-
ungguhing basa Bali. Adapun bahasa Bali dimaksud yaitu sebagai berikut.
Inggih masyarakat tiang sareng sami, tiang nunas mangda trepti dumun! Puniki tiang
pacang nyampeang mengenai piodalan ring pura segara sane pacang kelaksanayang
ring purnama kelima sane jagi rauh. Adapun yang tiang ingin sampaikan ring rahina
mangkin yaitu mengenai pendanaan. Rencana tiang untuk piodalane niki tiang akan
memungut dana setiap anggota masyarakat, yaitu sebesar lima puluh ribu rupiah.
Sapunapi niki kraman tiang yen sekadi punika?
Terjemahan :
Baiklah masyarakat saya semua, saya mohon tenang dulu! Saya akan menyampaikan
mengenai upacara di Pura Segara yang akan dilaksanakan pada saat purnama kelima
yang akan datang. Adapun yang saya ingin sampaikan sekarang, yaitu mengenai dana
yang akan digunakan pada upacara tersebut. Rencana saya untuk upacara ini saya akan
memungut dana dari setiap anggota masyarakat, yaitu sebesar lima puluh ribu rupiah.
Bagaimana ini masyarakat saya jika seperti itu?
Berdasarkan kutipan komunikasi bahasa Bali di atas, maka dapat dilihat bahwa banyak
muncul penggunaan kata “tiang” „saya‟ yang menyatakan sebagai pembicara selaku kelian desa
adat saat berbicara kepada masyarakat Desa Bunutan. Dalam konteks etika berbahasa Bali yang
baik dan benar sesuai anggah-ungguhing basa Bali, maka penggunaan kata ”tiang” sangat tidak
sopan, terlebih lagi dalam komunikasi formal adat seperti dalam paruman. Kata “tiang”
merupakan kategori kata bahasa Bali jenis menengah (basa Bali Madia), sehingga nilai rasa
bahasanya pun menengah. Sebab, jenis kata seperti ini biasanya digunakan oleh seseorang yang
belum saling mengenal satu sama lain. Selain itu, bahasa ini seringkali digunakan dalam
komunikasi pergaulan sehari-hari dalam ranah non-formal ketika berkomunikasi dengan
golongan krama tertentu yang telah dikenal secara akrab atau menjalin hubungan kekerabatan.
Kata “tiang” dalam konteks komunikasi formal, sepatutnya digunakan dengan kata “titiang”,
yaitu salah satu bentuk kata bahasa Bali Alus Sor. Kata “titiang” merupakan kata bahasa Bali
yang bernilai kesopanan si pembicara. Jadi, siapapun yang berkedudukan selaku penutur

Volume 2 Nomor 1 (2019) 194


(pembicara), maka seyogyanya menggunakan kata “titiang” sebagai bentuk sikap rendah hati
tidak meninggikan diri (sombong, angkuh) terhadap lawan bicara. Sekalipun sanksi dalam
kesalahan berbahasa Bali tidak serta merta dapat ditindak secara langsung, namun secara tidak
langsung berimplikasi pada penutur itu sendiri. Orang yang menggunakan bahasa Bali seperti itu
akan dianggap orang yang tidak beretika, tidak tahu sor-singgih basa, menyombongkan diri, dan
sejenisnya.
Di samping kesalahan dalam penggunaan kata, juga ditemukan adanya pemakaian kata-
kata bahasa Indonesia, seperti pada kata: “masyarakat, nyampeang, mengenai, adapun, yang,
ingin, sampaikan, yaitu, pendanaan, rencana, untuk, akan, memungut, dana, setiap, anggota,
sebesar, lima puluh ribu rupiah.” Pemakaian bahasa Indonesia dalam ranah formal keadatan
dianggap tidak baik, sebab paruman merupakan tempat penyampaikan, pembahasan,
pertimbangan, dan pemutusan topik atau perkara yang mengandung nilai-nilai etika, estetika, dan
filosofi tertentu sebagai kebudayaan Bali yang telah diwariskan oleh leluhur secara turun-
temurun. Oleh karena itu, kemampuan dalam menyampaikan pendapat semestinya menggunakan
bahasa Bali Alus.
Mengacu pada kutipan komunikasi oleh kelian desa adat tersebut, maka sepatutnya
bahasa Indonesia itu dapat dipadankan atau diganti dengan bahasa Bali, yaitu: kata “masyarakat”
menjadi krama; “nyampeang” menjadi ngrauhang; “mengenai” menjadi ngeninin; “adapun”
menjadi mungguing; “yang” menjadi sane; “ingin” menjadi mamanah; “sampaikan” menjadi
aturang; “yaitu” menjadi luire, “pendanaan” menjadi prabea; “rencana” menjadi paridabdab;
“untuk” menjadi antuk; “akan” menjadi jagi/pacang; “memungut” menjadi nuduk; “dana”
menjadi jinah; “setiap” menjadi satunggil; “anggota” menjadi krama; “sebesar” menjadi
makatah; dan “lima puluh ribu rupiah” menjadi seket tali rupiah. Dengan demikian, maka
komunikasi yang baik dan benar dalam kutipan komunikasi tersebut sebaiknya menjadi: “Inggih
krama adat sareng sami, titiang nunas mangda trepti dumun! Puniki titiang pacang ngrauhang
ngeninin indik piodalan ring Pura Segara sane pacang kalaksanayang ring Purnama Kalima
sane jagi rauh. Mungguing sane pacang titiang aturang ring rahina mangkin, luire ngeninin
indik prabea. Paridabdab titiang antuk piodalane puniki titiang pacang nuduk jinah satunggil
krama adat, luire makatah seket tali rupiah. Sapunapi puniki kraman titiang yening sakadi
asapunika?”
Di samping penggunaan bahasa Indonesia, komunikasi bahasa Bali dalam paruman adat
di Desa Bunutan Karangasem juga disisipi dengan bahasa Inggris seperti pada kutipan di bawah
ini.

Volume 2 Nomor 1 (2019) 195


Yen menurut tiang kene. Masalah dana lima puluh ribu „to sing dadi permasalahanpe
‘tapi pengidih tiange dana ane terkumpul nantinya agar benar-benar digunakan
untuk keperluan yadnya. „pang sing nyan dana ane terkumpul ‘to megenep-genepan
anggone. Pang ‘da ja ulian pipis akento ngaenang iraga uyut, jealous, atau negative
thinking ngajak timpal pedidi. Contohnya nyan anggon kosumsi meli roko, arak, tuak,
dan keperluan di luar yadnya. ‘pang sing care maluan rokone to meplaibang abane
mulih dadine sisa pipise ‘to sing ade bakat anggon tahun depan-pe.
Terjemahan :
Kalau menurut saya seperti ini. Masalah uang lima puluh ribu itu tidak jadi permasalahan
teapi yang saya minta uang yang terkumpul nantinya agar benar-benar digunakan untuk
keperluan yadnya. Agar nantinya dana yang terkumpul itu dipakai lain-lain. Agar
janganlah sampai uang lima puluh ribu menjadi permasalahan, saling cemburu atau
punya pikiran negatif. Contohnya nantinya dipakai membeli rokok, arak, tuak, dan
keprluan di luar yadnya. Agar tidak seperti dahulu rokok (itu) dibawa pulang jadinya sisa
uang itu tidak bisa dipakai untuk tahun depan.
Menyimak kutipan di atas, maka dapat dipahami bahwa salah satu krama Desa Bunutan
juga tidak paham dengan pemakaian bahasa Bali yang baik dan benar, khususnya dalam konteks
paruman adat. Dalam kutipan itu, terdapat kata-kata bahasa Inggris yang langsung digunakan
dalam komunikasinya tanpa ragu sedikit pun. Seolah-olah kata-kata tersebut merupakan bahasa
asli komunikasi masyarakat Bali, seperti: “jealous” „cemburu‟ dan “negative thinking”
„berpikiran negatif.‟ Kata bahasa Inggris tersebut semestinya dapat disepadankan dengan
kosakata bahasa Bali, yaitu: “jealous” menjadi iri; dan “negative thinking” menjadi mapikayun
kaon. Pemakaian kosakata bahasa Indonesia pun dapat diganti dengan menggunakan kosakata
bahasa Bali, yaitu: kata “menurut” menjadi manut; “masalah” menjadi indik; “dana” menjadi
jinah; “lima puluh ribu” menjadi seket tali rupiah; “tapi” menjadi sakewanten; “terkumpul”
menjadi mapupul; “nantinya” menjadi pungkuran; “agar‟ menjadi mangda; “digunakan” menjadi
kaanggen; “untuk” menjadi antuk; “keperluan” menjadi sakabuatan; “atau” menjadi utawi;
“contohnya” menjadi contonnyane; “konsumsi” menjadi ajengan; “dan” menjadi miwah; “di
luar” menjadi tiosan; dan ”tahun depan” menjadi warsa sane rauh. Dengan demikian,
komunikasi bahasa Bali oleh salah satu krama dalam paruman adat tersebut semestinya menjadi:
“Manut titiang kadi asapuniki. Indik jinah seket tali rupiah inucap nenten pacang ngawinang
pikobet, sakewanten pinunas titiange jinah sane mapupul pungkuran mangda yukti-yukti
kaanggen antuk sakabuatan yadnya. Mangda nenten raris jinah sane mapupul punika kaanggen
nenten patut. Mangda nenten raris sangkaning jinah asapunika ngawinang iraga marebat, iri,

Volume 2 Nomor 1 (2019) 196


utawi mapikayun kaon sareng sameton ndewek. Contonnyane raris kaanggen numbas ajengan,
numbas lanjaran, sajeng rateng, sajeng, miwah sakabuatan tiosan ring yadnya. Mangda nenten
kadi dumun lanjarane punika kabakta mantuk dadosipun sisan jinahe punika nenten wenten
prasida anggen ring warsa sane rauh.”
Mengacu pada uraian pembahasan di atas, maka dapat ditegaskan bahwa bentuk
komunikasi bahasa Bali dalam paruman adat di Desa Bunutan Karangasem, yakni menggunakan
bahasa Bali Madia. Hal ini karena bahasa Bali yang digunakan oleh masyarakat Desa Bunutan
dalam paruman adat itu mengalami percampuran dengan bahasa Indonesia dan Inggris. Dalam
sosiolinguistik, fenomena ini dikenal dengan campur kode. Demikian juga adanya kosakata
bahasa Bali yang diidentifikasi muncul sebagai dialek masyarakat Desa Bunutan sendiri, seperti
pada kata “permasalahanpe” „permasalahan‟, “kento” „begitu‟.

Kendala-kendala saat Berkomunikasi Bahasa Bali dalam Paruman Adat di Desa Bunutan
Karangasem
Adapun kendala-kendala yang dihadapi saat berkomunikasi bahasa Bali dalam paruman
adat di Desa Bunutan Karangasem dikategorikan menjadi dua, yaitu: langsung dan tidak
langsung.
Secara langsung, kendala yang dihadapi saat berkomunikasi bahasa Bali dalam paruman
adat di Desa Bunutan Karangasem, yaitu sebagai berikut. Pertama, kurangnya pengetahuan
tentang anggah-ungguhing basa Bali. Pengetahuan anggah-ungguhing basa Bali atau sering juga
disebut sor-singgih basa Bali merupakan aturan baku dalam etika berbahasa Bali sesuai dengan
tingkatan-tingkatan berbahasa Bali. Hal ini diungkapkan Bakti (Wawancara: tanggal 28 April
2018), bahwa hanya segelintir orang saja yang benar-benar paham tentang berkomunikasi
menggunakan bahasa Bali sesuai anggah-ungguhing ini. Menurutnya, sistem komunikasi bahasa
Bali ini cendrung sulit dipahami mengingat di Desa Bunutan Karangasem lebih banyak
menggunakan bahasa kasamen atau andap yang lumbrah digunakan dalam pergaulan
masyarakatnya. Selain itu, keberadaan Wong Menak atau golongan Tri Wangsa pun tidak
sebanyak di daerah lainnya sehingga komunikasi bahasa Bali Alus sangat minim diterapkan
dalam komunikasi sehari-hari.
Kedua, tidak berpendidikan bahasa Bali. Masyarakat Desa Bunutan Karangasem dulunya
bermata pencaharian sebagai petani, pekebun, atau nelayan serta beberapa sebagai karyawan
swasta. Namun semenjak menggeliatnya pariwisata di daerah itu, maka perkembangan
kehidupan masyarakat termasuk mata pencahariannya pun berubah menjadi karyawan di villa,
bungalow, home stay, dan hotel. Dengan adanya lingkungan seperti itu, maka secara langsung

Volume 2 Nomor 1 (2019) 197


masyarakat tidak ada yang berminat melanjutkan studi atau menekuni bidang ilmu bahasa Bali.
Ketiga, pemakaian bahasa Indonesia/Inggris dirasakan masyarakat jauh lebih keren. Pemakaian
bahasa Bali dalam paruman adat serta forum resmi lainnya menjadi ajang unjuk kemampuan
beretorika bagi beberapa masyarakat Desa Bunutan Karangasem. Hal ini karena melalui
penggunaan bahasa campuran akan menambah kewibawaan, dipandang berpikiran modern, gaul,
tidak katrok, serta dapat dengan mudah dipahami oleh orang lain pada topik-topik tertentu
(Nitantara, wawancara: tanggal 3 Mei 2018).
Keempat, spontanitas karena lupa. Berbicara di depan umum atau khalayak merupakan
tantangan tersendiri bagi masyarakat di Desa Bunutan Karangasem. Adanya kendala dalam
berkomunikasi bahasa Bali yang baik dan benar dipengaruhi oleh faktor kelupaan terhadap
kosakata bahasa Bali alus penutur diakibatkan karena grogi atau malu. Hal itulah yang
menyebabkan penutur secara spontan menggunakan kosakata bahasa Bali yang kurang tepat.
Selain itu, perasaan grogi yang berlebihan akan menyebabkan inti pembicaraan tidak akan dapat
dipahami dengan baik oleh pendengar. Kelima, kebiasaan. Faktor kebiasaan secara langsung
telah memberikan dampak yang buruk terhadap komposisi bahasa Bali yang digunakan saat
paruman adat di Desa Bunutan Karangasem. Selain itu, penggunaan dialek dengan logat daerah
setempat akan berpengaruh pada kualitas bahasa Bali alus itu sendiri. Misalnya, penggunaan
secara berulang-ulang kata “tiang” dalam satu kalimat.
Secara tidak langsung, kendala-kendala saat berkomunikasi bahasa Bali dalam paruman
adat di Desa Bunutan Karangasem, yaitu sebagai berikut. Pertama, adanya dampak pariwisata.
Bunutan merupakan kawasan pariwisata yang sedang berkembang. Dengan perkembangan
tersebut maka secara tidak langsung akan terjadi juga peralihan profesi dari ibu rumah tangga,
pekebun, atau petani menjadi karyawan villa, bungalow, home stay, dan hotel. Dengan adanya
lingkungan pariwisata sudah tentu akan berpengaruh pada kosakata terkait lingkungan itu juga.
Apalagi pergaulan diantara penduduk setempat dengan tourist dengan budaya yang berbeda
tentunya akan menyebabkan terjalin akulturasi yang sangat erat. Dengan demikian secara tidak
langsung berpengaruh pada pemakaian bahasa Inggris atau gaul dalam paruman adat di Desa
Bunutan.
Kedua, tuntutan ekonomi. Menurut Suta (Wawancara: 3 Mei 2018), faktor ekonomi juga
sangat berpengaruh terjadinya kendala saat berkomunikasi bahasa Bali dalam paruman adat di
Desa Bunutan Karangasem. Bagi karyawan yang bekerja di pariwisata seiring dengan pekerjaan
yang diambilnya, maka tuntutan profesinya ialah belajar bahasa Inggris. Melalui belajar bahasa
Inggris inilah menurut Suta dapat menafkahi keluarga. Sedangkan jika belajar bahasa Bali,
menurutnya tidak akan dapat menghasilkan uang (dolar). Itulah mengapa penting sekali

Volume 2 Nomor 1 (2019) 198


memelajari bahasa Inggris. Nelayan atau penjual ikan di pantai pun belajar bahasa Inggris untuk
mengumpulkan dolar dari tourist yang berkeinginan untuk wisata fishing, snorkling, sekedar
berjemur, ataupun membeli ikan. Ketiga, heterogenitas penduduk. Menurut Suta, seorang
pemangku yang juga merupakan seorang tokoh di Desa Bunutan Karangasem menambahkan,
sejak pariwisata maju di Desa Bunutan, orang-orang mulai berdatangan dan mencari kerja di
Bunutan. Mereka datang dari berbagai golongan, seperti Hindu, Islam, ataupun Kristen. Orang
yang datang ke Bunutan lebih banyak berasal dari daerah kota (Kabupaten Karangasem), namun
ada juga orang luar daerah, seperti Jawa, Lombok, bahkan ada juga orang asing dari Prancis,
serta tourist asing lainya. Dengan adanya orang-orang luar tersebut maka pergeseran bahasa Bali
pun terjadi, sehingga semakin hari kualitas bahasa Bali dalam paruman adat di Desa Bunutan
semakin rendah.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat ditegaskan bahwa kendala-kendala saat
berkomunikasi bahasa Bali dalam paruman adat di Desa Bunutan Karangasem dipengaruhi
secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung, yaitu: kurangnya pengetahuan tentang
anggah-ungguhing basa Bali, tidak berpendidikan bahasa Bali, pemakaian bahasa
Indonesia/Inggris dirasa lebih keren, spontanitas karena lupa, dan kebiasaan. Sedangkan secara
tidak langsung, yaitu: dampak pariwisata, tuntutan ekonomi, dan heterogenitas penduduk.

Strategi Mengatasi Kendala-kendala Berkomunikasi Bahasa Bali dalam Paruman Adat di


Desa Bunutan Karangasem
Berdasarkan beberapa kendala yang dihadapi oleh krama Desa Bunutan Karangasem saat
berkomunikasi bahasa Bali dalam paruman adat, maka strategi yang dilakukan untuk mengatasi
kendala itu, yaitu: (1) pemberdayaan Penyuluh Bahasa Bali Provinsi Bali; (2) pemberian dharma
wacana atau penyuluhan agama Hindu; (3) bimbingan belajar gratis di Yayasan Anak Indonesia
di Lean; dan (4) studi lanjut ke perguruan tinggi.
Pertama, pemberdayaan Penyuluh Bahasa Bali Provinsi Bali. Eksistensi Penyuluh Bahasa
Bali yang direkrut ulang oleh Dinas Pendidikan Provinsi Bali memiliki kedudukan, peran, dan
fungsi yang sangat penting dalam perlindungan, pelestarian, pembinaan, dan pengembangan
bahasa Bali khususnya di Desa Bunutan Karangasem. Adanya Penyuluh Bahasa Bali atas nama I
Kadek Bakti, S.Pd., yang beralamat di Batukeseni, Desa Bunutan menjadi keuntungan tersendiri
bagi masyarakat Desa Bunutan. Dengan adanya Bapak Kadek Bakti, S.Pd., maka pembinaan
bahasa Bali bagi masyarakat Desa Bunutan Karangasem tentu dapat dilakukan secara intensif,
efektif, dan efisien. Menurut Bakti (Wawancara: tanggal 6 Mei 2018), program Penyuluh Bahasa
Bali Provinsi Bali selain pembinaan kelompok belajar bahasa Bali di sekolah-sekolah dasar,

Volume 2 Nomor 1 (2019) 199


namun juga berlanjut dengan pembinaan remaja atau sekaa truna. Di samping itu, di tahun 2018
ini, program baru Penyuluh Bahasa Bali Provinsi Bali yakni melakukan pembinaan-pembinaan
kepada keluarga di daerah tempat tugasnya; minimal 10 keluarga per bulan. Pembinaan yang
telah dilakukan nantinya dijadikan laporan bulanan yang disetorkan setiap awal bulan sekali.
Kedua, pemberian dharma wacana atau penyuluhan agama Hindu. Usaha
memberdayakan Penyuluh Agama Hindu Kementerian Agama dalam memberikan penyuluhan
baik secara perseorangan melalui dharma wacana di setiap pelaksanaan upacara agama ataupun
secara berkelompok melalui penyuluhan agama Hindu bermedia pementasan bondres berbahasa
Bali sangat efektif dalam memberikan tuntunan dan pengetahuan tentang pentingnya
mempelajari bahasa Bali dalam konteks ritual di Bali (Suta, wawancara: 6 Mei 2018).
Ketiga, bimbingan belajar gratis di Yayasan Anak Indonesia di Lean. Mengadakan
bimbingan belajar atau les gratis di Yayasan Anak Indonesia yang ada di Lean. Usaha ini
dianggap berhasil karena dapat memberikan daya tarik dan pengetahuan tambahan dari
pembelajaran bahasa Bali di sekolah. Melalui les ini diharapkan akan semakin banyak generasi
muda Desa Bunutan Karangasem yang terampil dalam berkomunikasi bahasa Bali, di samping
bahasa Inggris sebagai penunjang profesi utama masyarakat setempat.
Keempat, studi lanjut ke perguruan tinggi. Satu-satunya perguruan tinggi keagamaan
Hindu swasta (PTKHS) yang memiliki Program Studi Pendidikan Bahasa Bali di Kabupaten
Karangasem adalah Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Agama Hindu
Amlapura, yang beralamat di Jalan Ngurah Rai Nomor 35 Amlapura. Melalui studi lanjut di
STKIP Agama Hindu Amlapura, diharapkan banyak Sarjana Pendidikan Bahasa Bali yang
berasal dari Desa Bunutan. Dengan demikian akan semakin banyak pula masyarakat Desa
Bunutan yang terdidik dan terampil dalam bahasa Bali. Sampai saat ini, sebanyak 1 orang
Sarjana Pendidikan Bahasa Bali ditamatkan oleh Program Studi Pendidikan Bahasa Bali, STKIP
Agama Hindu Amlapura atas nama I Wayan Jaya Kusuma (lulus pada tahun 2015), sedangkan 1
orang atas nama I Wayan Putu Yasa yang masih terdaftar sebagai mahasiswa aktif di semester
III.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
hal-hal sebagai berikut.
1. Bentuk komunikasi bahasa Bali dalam paruman adat di Desa Bunutan Karangasem, yaitu
menggunakan bahasa Bali Madia. Hal ini karena bahasa Bali yang digunakan dalam
paruman adat oleh masyarakat Desa Bunutan telah mengalami campur kode dengan

Volume 2 Nomor 1 (2019) 200


bahasa Indonesia dan Inggris. Demikian juga adanya kosakata bahasa Bali yang
menunjukkan dialek Desa Bunutan Karangasem.
2. Kendala-kendala saat berkomunikasi bahasa Bali dalam paruman adat di Desa Bunutan
Karangasem dipengaruhi, yaitu: (1) secara langsung, meliputi: kurangnya pengetahuan
tentang anggah-ungguhing basa Bali, tidak berpendidikan bahasa Bali, pemakaian
bahasa Indonesia/Inggris dirasa lebih keren, spontanitas karena lupa, dan kebiasaan.; dan
(2) secara tidak langsung, meliputi: dampak pariwisata, tuntutan ekonomi, dan
heterogenitas penduduk.
3. Strategi yang dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala berkomunikasi bahasa Bali
dalam paruman adat di Desa Bunutan Karangasem, yaitu: (1) pemberdayaan Penyuluh
Bahasa Bali Provinsi Bali; (2) pemberian dharma wacana atau penyuluhan agama Hindu;
(3) bimbingan belajar gratis di Yayasan Anak Indonesia di Lean; dan (4) studi lanjut ke
perguruan tinggi.
Sehubungan dengan simpulan di atas, maka dapat diberikan saran, yaitu: (1) adanya
bentuk campur kode dalam komunikasi bahasa Bali pada paruman adat di Desa Bunutan
Karangasem hendaknya diminimalisir dengan berupaya secara mandiri untuk meningkatkan
keterampilan berbicara bahasa Bali yang baik dan benar. Baik dalam artian sopan dan enak
didengar, sedangkan benar dalam artian tata krama berbahasa Bali sesuai anggah-ungguhing
basa Bali; (2) adanya kendala dalam berkomunikasi bahasa Bali jangan dijadikan sebagai
pemisah untuk terus melestarikan dan mengembangkan bahasa Bali dalam ranah adat khususnya
di Desa Bunutan Karangasem; dan (3) strategi yang telah dilaksanakan secara intensif hendaknya
dipertahankan dan ditingkatkan lagi.

Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. (Edisi Revisi VI),
Cetakan XIII. Jakarta: Rineka Cipta.
Bagus, I Gusti Ngurah. 1989. “Tahun 2000-An Bahasa Bali akan Mati”. Makalah Seminar tidak
di publikasikan.
Bungin, Burhan. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam
Varian Kontemporer. Cetakan Ketiga. Jakarta: PT RajaGarifindo Persada.
Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. (Edisi Revisi).
Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2007. Kajian Bahasa: Struktur Internal, Pemakaian, dan Pemelajaran. Jakarta:
Rineka Cipta.

Volume 2 Nomor 1 (2019) 201


––––––. 2010a. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.
Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Cetakan 3. Jakarta: Balai
Pustaka.
Indrawan Jendra, Made Iwan. 2012. Sosiologi Bahasa Bali: Pengantar bagi Pemahaman
Konsep-konsep dan Teori-teori Sosiolinguistik untuk Kajian Pemakaian dan Pendidikan
Bahasa Bali. Denpasar: Vidia.
J: Kersten, S.V.D. 1974. Warna-warna Bahasa Bali. Singaraja: Denpasar.
Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Edisi
Revisi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Karya.
Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor: 3 Tahun 1992. Lembaran Daerah
Nomor: 385 Tahun 1992 Seri: D Nomor 379 tentang Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali
tanggal 24 September 1992.
Peraturan Gubernur Bali Nomor: 20 Tahun 2013 tentang Bahasa, Aksara, dan Sastra Daerah Bali
pada Pendidikan Dasar dan Menengah tanggal 26 April 2013.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora
pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suwija, I Nyoman. 2005. Kamus Anggah-ungguhing Basa Bali. Denpasar: Sanggar Ayu suara.
______. 2012. Mabaos Bali Manut Anggah-ungguh Basa. Denpasar: Pelawa Sari.
Tim Penyusun. 2008. Kamus Bali-Indonesia Beraksara Bali dan Latin. Denpasar: Badan
Pembina Bahasa, Aksar, dan Sastra Bali, Provinsi Bali.

Volume 2 Nomor 1 (2019) 202

You might also like