Penyelesaian Sengketa Hak Ulayat Pada Kawasan Hutan

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 11

SASI

Volume 27 Nomor 1, Januari - Maret 2021 : h. 102 - 112


p-ISSN: 1693-0061 | e-ISSN: 2614-2961
Jurnal Terakreditasi Nasional, SK. No. 28/E/KPT/2019
This is open access article under the CC-BY-NC 4.0 International License

Penyelesaian Sengketa Hak Ulayat pada Kawasan Hutan

Adonia Ivone Laturette


Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon, Indonesia
E-mail: [email protected]

Dikirim: 07/02/2021 Direvisi: 25/03/2021 Dipublikasi: 13/4/2021


Info Artikel Abstract
Customary law communities are one of the legal subjects of the state that
Keywords: are recognized in statutory regulations. Customary law communities have a
Dispute Resolution; multidimensional relationship with customary rights, not just an economic
Customary Rights; resource, but an integral part of the overall life of the customary law
Peacefully. community. This research aims to study and analyze the settlement of
disputes by indigenous peoples over land exploitation which is customary
rights in the Forest Zone. The research method used in this research is
normative juridical research, namely the method of doctrinal law research
by examining and examining the provisions of the applicable laws and
regulations as a basis for later analyzing the problems being studied. Based
on the results of the research that the importance of the role of land in human
life, land becomes an object that is prone to disputes or disputes between
humans, this happens because human needs for land are increasing, land
can cause disturbances and involve the community at large, so it is
demanded to handle it appropriately. The parties involved and authorized
to deal with the issue of customary rights in the forest area of indigenous
peoples, resolve it in various ways. The method of dispute resolution that
has been taken so far is through court (litigation). Over time, dispute
resolution through deliberation is increasingly being carried out. Land
disputes, which are more related to issues of interest or interest of the
parties, are relatively easier to resolve through deliberation as long as both
parties are open to each other and want the best solution for all parties.
Abstrak
Masyarakat hukum adat merupakan salah satu subjek hukum negara yang
Kata Kunci: diakui dalam peraturan perundang-undangan. Masyarakat hukum adat
Penyelesaian memiliki hubungan multidimensi dengan hak ulayat, bukan sekadar sumber
Sangketa; Hak ekonomi, tetapi merupakan bagian tidak terpisahkan dari keseluruhan
Ulayat; Secara Damai. kehidupan masyarakat hukum adat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
dan menganalisis penyelesaian sengketa masyarakat hukum adat atas
eksploitasi tanah yang merupakan hak ulayat pada Kawasan Hutan. Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis
normatif, yakni metode penelitian Hukum doktrinal dengan mengkaji dan
menelaah ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai
dasar untuk kemudian menganalisis permasalahan yang dikaji. Berdasarkan
hasil penelitian bahwa pentingnya peran tanah dalam kehidupan manusia,
tanah menjadi objek yang rawan terhadap perselisihan atau sengketa antar
manusia, hal ini terjadi karena kebutuhan manusia akan tanah semakin
meningkat, tanah dapat menimbulkan gangguan-gangguan dan melibatkan

102 | S A S I V o l . 2 7 N o . 1 , J a n u a r i - M a r e t 2 0 2 1
masyarakat banyak maka dituntut penangan secara tepat. Para pihak yang
terkait dan berwenang menangani permasalahan hak ulayat pada kawasan
hutan masyarakat adat, menyelesaikan dengan berbagai cara. Cara
penyelesaian sengketa yang telah ditempuh selama ini adalah melalui
pengadilan (litigasi). Seiring dengan perjalanan waktu, penyelesaian
sengketa melalui cara musyawarah semakin bayak di lakukan. Sengketa
pertanahan yang lebih banyak berkaitan dengan masalah kepentingan atau
DOI: interes para pihak, relatif lebih mudah untuk diselesaikan melalui cara
10.47268/sasi.v27i1.504 musyawarah sepanjang kedua belah pihak saling terbuka dan menginginkan
jalan keluar yang terbaik bagi semua pihak.

A. PENDAHULUAN
Tanah bagi kehidupan manusia mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini
disebabkan hampir seluruh aspek kehidupannya terutama bagi bangsa Indonesia tidak dapat
terlepas dari keberadaan tanah yang sesungguhnya tidak hanya dapat ditinjau dari aspek
ekonomi saja, melainkan meliputi segala kehidupan dan penghidupannya. Tanah mempunyai
multiple value, maka sebutan tanah air dan tumpah darah dipergunakan oleh bangsa Indonesia
untuk menyebutkan wilayah negara dengan menggambarkan wilayah yang didominasi tanah,
air, dan tanah yang berdaulat.1 Selain itu tanah seabagi salah satu komponen ekosistem yang
sangat strategis untuk kelangsungan hidup umat manusia, serta pula sebagai faktor utama dalam
tiap aktivitas pembangunan,2 pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
merupakan problem klasik yang senantiasa memunculkan sengketa dimasyarakat 3 . Pasal 1
butir 6 Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menyatakan bahwa Pelepasan atau penyerahan hak
atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah
dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah.4
Arti penting tanah bagi manusia sebagai individu maupun negara sebagai organisasi
masyarakat yang tertinggi, secara konstitusi diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 yang menyatakan bahwa: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”.
Sebagai tindak lanjut dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berkaitan dengan
bumi atau tanah, maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Pokok Dasar Agraria yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan UUPA. Tujuan pokok dari
UUPA adalah:5
1) Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agrarian nasional, yang merupakan
alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat,
terutama rakyat dalam rangka masyarakat adil dan makmur.
2) Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum
pertanahan.

1
Laturette, A.I. (2016). Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat. SASI, 22(2), 52-
66. DOI: https://doi.org/10.47268/sasi.v22i2.168, h. 52.
2
Hetharie, Y. (2019). Perjanjian Nominee sebagai Sarana Penguasaan Hak Milik atas Tanah oleh Warga
Negara Asing (WNA) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. SASI, 25(1), 27-36.
DOI: https://doi.org/10.47268/sasi.v25i1.147, h. 2t.
3
Kotalewala, F., Laturette, A.I., & Uktolseja, N. (2020). Penyelesaian Sengketa dalam Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Jalan untuk Kepentingan Umum. SASI, 26 (3), 415-433.
https://doi.org/10.47268/sasi.v26i3.397, h. 415.
4
Hallauw, D.K., Matuankotta, J.K., & Uktolseja, N. (2020). Analisis Hukum Surat Pelepasan Hak Atas
Tanah Adat (Dati) Di Kota Ambon. SASI, 26 (1), 111-118. https://doi.org/10.47268/sasi.v26i1.256, h. 113.
5
Laturette, A.I. (2016). Op. Cit. h. 52.
103 | S A S I V o l . 2 7 N o . 1 , J a n u a r i - M a r e t 2 0 2 1
3) Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas
tanah bagi rakyat seluruhnya.
Kehadiran UUPA didesain untuk mengakhiri pluralitas pranata hukum yang mengatur
bidang pertanahan dan ingin menciptakan satu tata hukum tanah nasional, dengan menjadikan
hukum adat sebagai dasarnya, sekalipun UUPA menggunakan istilah agraria, namun substansi
pengaturannya lebih berhubungan dengan hukum tanah sebagai bidang hukum utama dari
hukum agrarian.6
Oleh karena itu untuk dapat mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, maka
dalam memanfaatkan dan menggunakan tanah yang merupakan bagian dari sumber daya alam
harus dilaksanakan secara bijaksana dan dalam pengelolaannya diserahkan kepada negara.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang lebih dikenal dengan sebutan UUPA secara
ideologis mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kaum petani Indonesia. Hal ini
dikarenakan sejak berlakunya UUPA, secara yuridis formal ada keinginan yang sangat kuat
untuk memfungsikan hukum agraria nasional sebagai “alat“ untuk membawa kemakmuran,
kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan masyarakat tani dalam rangka masyarakat adil dan
makmur, karena dalam kehidupan masyarakat khususnya di daerah pedesaan, tanah merupakan
salah satu faktor produksi yang sangat penting, karena tanah merupakan salah satu sumber
hidup dan kehidupan mereka, di samping itu tanah-tanah adat sering dihubungkan dengan nilai
kosmis-magis-religius. Hubungan ini bukan saja antara individu dengan tanah, tetapi juga antar
sekelompok anggota masyarakat suatu persekutuan hukum adat di dalam hubungan dengan hak
ulayat. Bagi negara Indonesia, sebagai negara yang agraris keberadaan tanah memiliki fungsi
yang sangat penting bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya.
Di negara seperti Indonesia fungsi tanah kian meningkat dan mempunyai nilai ekonomis
yang sangat tinggi. Dari sekian banyak bidang yang menyangkut tanah, bidang ekonomi
nampak mendominasi aktivitas manusia atas tanah. Hal ini berkaitan dengan kelangsungan
hidup manusia, dimana pertumbuhan penduduk serta pertumbuhan ekonomi yang melaju pesat.
Sering kali karena pentingnya peran tanah dalam kehidupan manusia, tanah menjadi objek yang
rawan terhadap perselisihan atau sengketa antar manusia, hal ini terjadi karena kebutuhan
manusia akan tanah semakin meningkat, namun persediaan tanah relatif tetap.
Negara dalam hal ini melakukan upaya dengan melakukan perlindungan terhadap
masyarakat hukum adat di Indonesia dengan tetap menjaga kemanfaatan, kearifan lokal, sosial
dan budaya dalam penggunaan hak ulayat. 7 Pengakuan keberadaan hak ulayat diakui oleh
undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang pengaturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
sepanjang eksistensinya masih ada, sebagaimana yang dapat disimpulkan dari Pasal 3 Jo Pasal
58 UUPA yang mengakui masih berlakunya hak ulayat maupun hak-hak lainnya yang tidak
bertentangan dan sepanjang belum diatur secara khusus. Pengakuan hukum adat sebagaimana
disebutkan dalam UUPA, pada hakikatnya tidak jelas pengaturannya, ketidakjelasan tersebut
menunjukkan bahwa para pembentuk UUPA sebenarnya bimbang dan ragu terutama tentang
hukum adat mana yang diberlakukan. Disamping itu juga penjajahan dengan sistem positivisme
hukum turut mewarnai sistem hukum Indonesia yang berpengaruh kuat pada saat itu 8 .
Namundalam Keputusan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No. 5 Tahun 1999, Pasal 1 ayat
(1) secara tegas mengatur bahwa Hak Ulayat adalah wewenang yang menurut hukum adat
dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan

6
Shidarta. (2010). Peragaan Pola Penalaran Hukum dalam Kajian Putusan Kasus Tanah Adat”. Jurnal
Yudisial, 3 (3), 207-219. http://dx.doi.org/10.29123/jy.v3i3.208, h. 218
7
Achmad, I. A., Risdiwanto, G., & Rezandy, J. G. (2020). Kewenangan Hak Menguasai Negara Atas Hak
Ulayat Pada Kawasan Hutan Lindung. Soumatera Law Review, 3 (1), 81-92.
http://doi.org/10.22216/soumlaw.v3i1.5102, h. 81.
8
Saija, R., Letsoin, F.X., Akyuwen, R.J., & Radjawane, P. (2020). Status Kepemilikan Hak Atas Tanah
Adat Marga dalam Kebijakan Penataan Aset Reforma Agraria Di Kabupaten Maluku Tenggara. SASI, 26 (1), 99-
110. https://doi.org/10.47268/sasi.v26i1.246, h. 100.
104 | S A S I V o l . 2 7 N o . 1 , J a n u a r i - M a r e t 2 0 2 1
lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk
tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari
hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat
hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Ketentuan di atas menunjukan bahwa
Hak Ulayat harus benar-benar masih ada dan tidak diberikan peluang untuk menimbulkan
kembali hak-hak tersebut, jika secara faktual dalam masyarakat sudah tidak ada lagi. Namun
ketentuan di atas tidak memberikan syarat ang menunjukan masih ada atau tidaknya Hak Ulayat
suatu masyarakat hukum adat. Keberadaan Hak Ulayat harus diikuti dengan hubungan antara
tanah dan masyarakat. Dengan demikian selama tanah ulayat tersebut ada, haruslah
dimanfaatkan oleh warga masyarakat guna meningkatkan kesejahteraan.9
Selain itu tersirat pengakuan atas hak ulayat yang terdapat dalam UUD Tahun 1945 Pasal
18B ayat(2). Sedangkan pengakuan keberadaan hak ulayat dalam Undang-Undang Kehutanan
tidak secara detail mengenai pengaturan keberadaan hak ulayat. Melainkan hanya mengatur
mengenai hutan adat dan masyarakat hukum adat, meskipun rumusan hutan adat adalah hutan
negara yang berada dalam wilayah masyarakat, meskipun Undang-Undang kehutanan
merupakan Undang-undang yang bersifat khusus sedangkan UUPA bersifat umum, banyak
pemanfaatan hutan yang dilakukan dengan sengaja tanpa ijin, yang mana didalamnya terdapat
hutan adat atau hutan ulayat yang merupakan perwujudan dari hak ulayat masyarakat hukum
adat setempat namun sering kali terjadi pelanggaran terhadap hak adat tersebut yang terjadi
karena adanya peraturan yang saling bertentangan, belum adanya pengaturan tentang
kepemilikan kolektif atas tanah sehingga menyebabkan ketidakjelasan prosedur pengakuan hak
kolektif masyarakat adat atas tanah, untuk itu diperlukan cara penyelesaian sangketa tanah
melalui musyawarah atau penyelesaian lewat jalur non litigai agar dapat mencegah konflik yang
berkepanjangan.
Sengketa tanah dalam masyaratkat setiap tahun semakin meningkat dan terjadi hampir di
seluruh daerah di Indonesia baik di perkotaan maupun di pedesaan termasuk salah satunya di
Maluku. Kasus pertanahan yang sering terjadi bila dilihat dari konflik kepentingan para pihak
dalam sengketa pertanahan antara lain: 10
1) Rakyat berhadapan dengan birokrasi
2) Rakyat berhadapan dengan perusahaan negara
3) Rakyat berhadapan dengan perusahaan swasta
4) Konflik antara rakyat Hampir di setiap daerah yang terdapat sengketa tanah ulayat.

B. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis
normatif11, yakni metode penelitian Hukum doctrinal dengan mengkaji dan menelaah ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai dasar untuk kemudian menganalisis
permasalahan yang dikaji. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder melalui studi dokumen dan literatur terkait. Analisis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif guna menjawab permasalah yang
dikaji.

C. PEMBAHASAN
1. Sengketa hak ulayat pada masyarakat

9
Lakburlawal, M. A. (2016). Akses Keadilan bagi Masyarakat Adat dalam Penyelesaian Sengketa Tanah
Ulayat yang Diberikan Hak Guna Usaha. ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata, 2 (1), 59-75.
http://doi.org/10.36913/jhaper.v2i1.24, h. 64.
10
Sumardjono, Maria S.W. (2005). Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta :
Kompas, h. 182.
11
Irianto, Sulistyowati. (2009). Praktik Hukum: Perspektif Sosiolegal, Jakarta: Yayasan Obor, h. 308
105 | S A S I V o l . 2 7 N o . 1 , J a n u a r i - M a r e t 2 0 2 1
Sengketa ini berkaitan dengan hak-hak keperdataan, baik oleh subyek hak maupun oleh
pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap obyek haknya (tanah). Adapun yang menjadi
pokok permasalahan berkaitan dengan kepastian hak atas tanahnya.12 Sehagairnana diketahui
bahwa proses penetapan suatu hal atas tanah termasuk penerbitan surat keputusan dan
sertifikatnya, sangat tergantung pada data fisik dan data yuridis yang disampaikan pihak yang
menerima hak kepada Badan Pertanahan Nasional. Apabila data yang disampaikan
mengandung kelernahan-kelemahan, maka demikian pula kualitas kepastian hukurn mengenai
hak atas tanah akan mengandung kelemahan yang pada suatu saat dapat dibatalkan apabila
terbukti cacat administrasi maupun cacat hukum.
Memperoleh suatu hak atas tanah serta mendapatkan sertifikat atas tanah sebagai bukti
kepemilikan dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu konversi bekas hak lama dan tanah bekas
hak milik adat serta permohonan hak13. Sistern publikasi pendaftaran tanah Indonesia yang
menganut stelsel negatif yang bertendes positif, tidak memungkinkan untuk memberikan
jaminan kepastian hukum secara mutlak. Jaminan kepastian hukum dirnaksud hanya ada
apabila data fisik dan data yuridis yang tercanturn di dalam buku tanah, sertifikat dan dafiar-
daftar isian lainnya, sesuai dengan kenyataan di lapangan. Oleh karena itu, suatu hak atas tanah
masih terbuka untuk dibatalkan, baik berdasarkan putusan badan peradilan maupun berdasarkan
kenyataan yang sebenamya dilapangan, dengan dernikian maka keabsahan atas hak sebagai
dasar penetapan suatu hak sebagai dasar penetapan suatu hak tanah sangat penting dalam rangka
memberikan jaminan kepastian hukurn.
Meskipun menganut stelsel negative, tidak berarti dalam memproses suatu hak, Badan
Pcrtanahan Nasional bersikap positif, dalam rangka pelaksanaan asas-asas urnum pernerintahan
yang baik, proses penerbitan hak selalu dilakukan dengan standar ketelitian yang dapat
dipertanggungawabkan, yaitu dengan jalan dilakukan penelitian riwayat tanah, penetapan batas
secara contracditore, delimitatie, diumumkan serta dibukannya kesempatan bagi pihak-pihak
yang berkepentingan untuk menyampaikan keberatan.14
Penggunaan tanah ulayat oleh para investor, seringkali menimbulkan sengketa. Hal ini
disebabkan karena penggunaannya tidak sesuai dengan yang seharusnya. Menurut hukum
pertanahan di Indonesia, penggunaan lahan oleh para investor harus berhadapan langsung
dengan pemilik tanah atau masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat dengan melaksanakan
perjanjian. Pada kenyataannya, para investor justru langsung mendapatkan tanah tersebut
melalui Pemerintah. Akibatnya masyarakat sebagai pemilik mengajukan protes atas kegiatan
investor di atas tanah mereka yang kemudian hal ini memicu timbulnya sengketa tanah ulayat.15
Fenomena sengketa tanah yang muncul, baik sengketa antara pemerintah dengan
masyarakat, masyarakat dengan investor, pemerintah dengan pemerintah maupun masyarakat
itu sendiri semakin intensif. Sebagian besar muncul sebagai akibat pembebasan tanah untuk
kepentingan pembangunan infrastruktur, industri, perumahan, paiwisata maupun perkebunan
skala besar.
Sengketa tanah sebagian besar terjadi antara masyarakat adat yang mempertahankan hak
adat atas tanah dengan pemilik modal besar yang mendapatkan konsesi pengusahaan hutan,
pertambangan, termasuk pertambangan minyak dan gas bumi, dan pengembangan agribisnis
dengan pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat). Gejala re-ciaming tanah oleh masyarakat terhadap
unit dan asset-aset produktif yang telah dibangun diatasnya, rata-rata telah terjadi di seluruh

12
Ibid, h. 81.
13
Riardo, Rahmat. (2019). Konversi Hak Atas Tanah Ulayat Kaum Menjadi Hak Milik Melalui Program
Pendaftaran Tanah Sistimatis Lengkap di Kota Solok. Soumatera Law Review, 2 (2), 193-206.
http://doi.org/10.22216/soumlaw.v2i2.3556, h. 193.
14
Ibid, h, 81.
15
Warman, Kurnia. & Syofiarti. (2012). Pola Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Di Sumatera Barat
(Sengketa antara Masyarakat vs Pemerintah). Masalah-Masalah Hukum, 41 (3), 407-415.
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/view/5771, h. 407.
106 | S A S I V o l . 2 7 N o . 1 , J a n u a r i - M a r e t 2 0 2 1
wilayah Indonesia.16 Masyarakat adat dapat membuktikan bahwa ia mempunyai alas hak atas
tanah yang disengketakan.17
Pengertian sengketa menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan
pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan
(selanjutnya disebut Permen No. 1 Tahun 1999) Pasal 1 yaitu:
“Sengketa pertanahan adalah perbedaan pendapat mengenai;”
1) Keabsahan suatu hak;
2) Pemberian ha katas tanah;
Pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihan dan penerbitan tanda buktu haknya, antara
pihak-pihak yang berkepentingan dengan instansi dilingkungan Badan Pertanahan Nasional,
sedangkan pihak-pihak yang berkepentingan adalah pihak-pihak yang merasa mempunyai
hubungan hukum dengan bidang tanah tertentu atau pihak lain yang kepentingannya
terpengaruh oleh status hokum tanah tersebut, maka sengketa pertanahan yang timbul dewasa
ini, pada umumnya dapat diklasifikasikan dalam kelompok-kelompok sebagai berikut :
1) Sengketa pertanahan yang bersifat politis
Sengketa pertanahan yang bersifat politis biasanya ditandai dari hal-hal sebagai
berikut:
a) Melibatkan masyarakat banyak
b) Menimbulkan keresahan dan kerawanan masyarakat.
c) Menimbulkan ketidakpercayaan kepada pemerintah /penyelenggara Negara.
d) Mengganggu penyelenggaraan pembangunan nasional, serta menimbulkan
bahaya disintegrasi bangsa.18
Sengketa yang bersifat politis ini biasanya tidak didasarkan pada alasan-alasan
hukum melainkan dengan memanfaatkan isu-isu politis sehingga terbentuk opini
masyarakat yang mengarah pada ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Keadaan seperti ini lebih lanjut akan melahirkan gangguan-gangguan social, politik,
ekonomi maupun keamanan. Meskipun demikian, sngketa-sengketa yang tidak
bersifat politis-pun apabila tidak ditangani secara adil dapat berkembang menjadi
sengketa yang bersifat politis.
Sengketa yang bersifat politis tersebut antara lain disebabkan:
a) Eksploitasi dan dramatisasi ketimpangan-ketimpangan keadaan penguasaan dan
pemilikan tanah didalam masyarakat, dan
b) Tuntunan keadilan dan keberpihakan pada golongan ekonomi lemah.19
Manifestasi dan bentuk sengketa yang bersifat politis diatas, dilakukan dalam bentuk
unjuk rasa, penekanan-penekanan kepada institusi pemerintah dengan institusi yang
dirasakan dapat menyalurkan aspirasi masyarakat seperti lembaga swadaya
masyarakat, lembaga perwakilan rakyat, Komisi Nasional HAM, Komisi
Ombudsman bahkan sampai ke lembaga Kepresidenan.
2) Bentuk-bentuk sengketa pertanahan yang bersifat strategis antara lain :
a) Tuntutan pengembalian tanah (reclaiming action) sebagai akibat pengembalian
tanah pada jaman pemerintahan colonial.
b) Tuntutsn pengembalian tanah garapan yang kini dikuasai oleh pihak lain.
c) Penyerobotan tanah-tanah perkebunan.
d) Pendudukan tanak-tanah asset instansi pemerintah.
e) Tuntutan pemberian hak atas tanah bekas tanah partikelir yang diduduki rakyat

16
Murad, Rusmadi. (2007). Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan. Bandung: Mandar Maju, h. 77.
17
Kusmayanti, H., & Hawari, S.Y. (2020). Praktik Eksekusi Riil Tanah Milik Masyarakat Adat Sunda
Wiwitan. SASI, 26 (3), 341-355. https://doi.org/10.47268/sasi.v26i3.285, h. 350.
18
Ibid, h. 77.
19
Ibid, h. 78.
107 | S A S I V o l . 2 7 N o . 1 , J a n u a r i - M a r e t 2 0 2 1
f) Tuntutan pengembalian tanah atau tuntutan ganti rugi sebagai akibat kebijakan
pembebasan tanah untuk pembangunan dimasa lalu.
g) Tuntutan penguasaan tanah oleh masyarakat hukum adat atas tanah ulayat
diwilayahnya.
h) Tuntutan redistribusi tanah yang terkena obyek landreform.
i) Tuntutan atas proses perolehan hakatas tanah yang tidak mempertimbangkan
ketersediaan tanah bagi masyarakat atau kepentingan masyarakat disekitarnya.
j) Tuntutan pengembalian tanah yang penggunaannya tidak sesuai denga ijin
lokasi.
k) Masalah tanah milik organisasi terlarang, masalah tanah milik warganegara
Belanda yang terkena ketentuan ndang-Undang Nornor 3 Tahun 1960
l) Masalah-masalah yang timbul sebagai akibat dan kegiatan pengadaantanah
untuk pembangunan dalam sekala besar.20

2. Penyelesaian Sengketa hak ulayat pada masyarakat


Maka itu berdasarkan sifatnya yang sangat vital, sangketa tanah dapat menimbulkan
gangguan-gangguan dan melibatkan masyarakat banyak maka dituntut penangan secara tepat.
para pihak yang terkait dan berwenang menangani permasalahan tersebut menyelesaikan
dengan berbagai cara. Cara penyelesaian sengketa yang telah ditempuh selama ini adalah
melalui pengadilan (litigasi), dalam dimensi yuridis penguasaan tanah dan pemilikan tanah
memerlukan perlindungan, implikasinya harus terdapat perlindungan hukum terhadap hak-hak
keperdataan pemilikan tanah dan perlakuan yang adil terhadap kepemilikan tanah tersebut.
Sengketa tanah yang berlarut-larut dan tidak ada penyelesaian yang baik dapat menyebabkan
pihak yang dirugikan melakukan gugatan ke pengadilan. Meskipun ada peluang lebar
menggugat melalui pengadilan tetapi pihak awam cenderung menghindarinya, selain itu
terdapat anggapan dalam masyarakat bahwa pengajuan gugatan lewat pengadilan relatif mahal,
memakan waktu yang cukup lama bahkan berbelit-belit. Oleh karena itu diupayakan
masyarakat menyelesaikan sengketanya dengan menempuh jalur non litigasi. Penyelesaian
melalui jalur pengadilan bertujuan untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, maka
penyelesaian di luar pengadilan justru yang diutamakan adalah perdamaian dalam mengatasi
sengketa yang terjadi di antara yang bersengketa dan bukan mencari pihak yang benar atau
salah.21
Bila harus mencari siapa yang benar dan yang salah tidak akan menghasilkan keputusan
yang menguntungkan para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa non litigasi atau
alternative yang lebih dikenal dengan istilah Alternatif Dispute Resolution (ADR) diatur dalam
UndangUndang Nomor 9 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Mekanisme penyelesaian sengketa dengan cara ini digolongkan dalam media non litigasi yaitu
merupakan konsep penyelesaian konflik atau sengketa yang kooperatif yang diarahkan pada
suatu kesepakatan satu solusi terhadap konflik atau sengketa yang bersifat win-win solution.
ADR dikembangkan oleh para praktisi hukum dan akademisi sebagai cara penyelesaian
sengketa yang lebih memiliki akses pada keadilan. Meskipun permasalahan pertanahan dan
penyelesaian yang timbul dari permasalahan tersebut telah diatur sedemikian rupa, namun para
pihak yang terlibat di dalamnya mempunyai cara sendiri-sendiri yang mereka anggap lebih baik
atau lebih cocok dipakai untuk menyelesaikan permasalahan pertanahan yang dialami.
Kehidupan masyarakat dan negara selalu berkembang sesuai denganperkembangan zaman.
Bagi masyarakat perkembangan tersebut merupakan tuntutan perkembangan tersebut
mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk yang berhubungan dengan pertanahan.
Tanah yang menjadi faktor yang sangat penting bagi masyarakat dan negara harus pula

20
Ibid, h. 79.
21
Usman, Rachamadi. (2003). Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung: Citra Aditya
Bakti, h. 4.
108 | S A S I V o l . 2 7 N o . 1 , J a n u a r i - M a r e t 2 0 2 1
rnenyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat serta kepentingan negara, dalarn rangka
memenuhi tuntutan diperlukan persedian tanah untuk menampung dinamika perkembangan
tersebut.
Sementara untuk rnenjamin terlaksananya fungsi tanah sebagai sarana pemenuhan
kepentingan dan kebutuhan masyarakat dan negara, dituntut adanya kepastian hukurn hak atas
tanah. Namun demikian tuntutan akan kepastian tersebut seringkali belum sesuai harapannya,
hal ini tampak dari adanya sengketa pertanahan.
Upaya untuk mencari penyelesaian sengketa pertanahan, tidak dapat dilepaskan dan
upaya untuk memahami berbagai akar permasalahan pertanahan yang sedemikian kompleks
dimensinya. Akar permasalahan sengketa pertanahan dalam garis besarnya dapat ditimbulkan
oleh hal-hal sebagai berikut: 22
1) Konflik kepentingan, yang disebabkan karena adanya persaingan kepentingan yang
terkait dengan kepentingan substantif (contoh: hak atas sumber daya agraria
termasuk tanah), kepentingan prosedural maupun kepentingan psikologis.
2) Konflik struktural, yang disebabkan antara lainkarena : pola perilaku atauinteraksi
yang destruktif; kontrol pemilikan atau pembagian sumber daya yangtidak seimbang;
kekuasaan dan kewenangan yang tidak seimbang; serta factor geografis, fisik atau
lingkungan yang rnenghambat kerjasama.
3) Konflik nilai, disebabkan karena perbedaan kriteria yang digunakan
untukmengevaluasi gagasan atau perilaku; perbedaangaya hidup, ideologi
atauAgama/kepercayaan.
4) Konflik hubungan, yang disebabkan karena ernosi yang berlebihan, persepsiyang
keliru, kornunikasi yang buruk atau salah pengulangan perilaku yang negative.
5) Konflik data, yang disebabkan karena informasi yang tidak lengkap; informasiyang
keliru; pendapat yang berbeda tentang hal-hal yang relevan; interpretasi data yang
berbeda ; dan perbedaan prosedur penilaian (Moore, 1996).
Pemahaman terhadap berbagai akar permasalahan tersebut dapat dijadikantitik tolak
dalam upaya penyelesaian sengketa pertanahan yang timbul. Mekanisme penyelesaian sengketa
yang pada umumnya ditempuh oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah sebagai berikut:
a) Bila ditemukan cacat administratif karena kekeliruan data awal, maka koreksi
administratif dilakukan oleh BPN.
b) Bila kedua belah pihak saling terbuka, diusahakan musyawarah yangdifasilitasi oleh
BPN.
c) Bila sengketa melibatkan instansi sektoral, diupayakan koordinasi antarsektor.
d) Bila semua usaha telah menemui kegagalan, utamanya bila obyek sengketa
berkenaan dengan masalah “hak” yang berkaitan dengan kebenaran material,maka
upaya terakhir adalah melalui pengadilan.23

Berkenaan dengan mekanisme penyelesaian sengketa tersebut di atas terdapat berbagai


hambatan yang perlu disampaikan sebagai catatan. Upaya penyelesaian berupa koreksi
administratif oleh BPN pada umumnya dilakukan dalam bentuk pembatalan Surat Keputusan
Pemberian Hak Atas Tanah atau sertifikat hak atas tanah, baik karena dijumpai adanya cacat
hukum administrasi dalam penerbitan keputusan pemberian dan/atau sertifikat hakatas tanah
karena melaksanakan putusan pengadilan.24
Sebagai instansi yang bertanggung jawab untuk urusan pelayananadministratif, BPN
tidak berwenang untuk melakukan uji materiil dalarn rangkamenemukan kebenaran terhadap
sengketa bcrkenaan dengan kebenaran data yuridis dan/atau data fisik, namun seringkali pihak

22
Sumardjono, Maria S. W. Op. Cit. h. 112.
23
Ibid, h. 113.
24
Ibid, h. 113.
109 | S A S I V o l . 2 7 N o . 1 , J a n u a r i - M a r e t 2 0 2 1
yang bersengketa kurang memahami perbedaan kewenangan BPN yang termasuk dalarn
lingkup hukumadministrasi dan kewengan melakukan uji materiil yang merupakan
kewenanganbadan peradilan.
Kurang pemahaman ini seringkali rnenyebabkan banyaknya kasus/sengketa yang masuk
ke BPN dan setelah diteliti ternyata penyelesaiannya tidak rnenjadi wewenang BPN atau
tindakan yang diharapkan dan BPN tidak dapat serta merta dilakukan karena misalnya, telah
ditangani oleh pengadilan dan belum rnempunyai kekuatan hukum yang tetap.25
Berkenaan dengan sengketa yang terkait dengan masalah pendudukan dan penggarapan
tanah dan sumber daya agraria selain tanah, terdapat 2 (dua) pola dasar pada pelakunya, yakni
dilakukan oleh mereka yang merasa merniliki hak atas tanah atau sumber daya agraris selain
tanah dan pendudukan/pcnggarapan sumber daya agraria yang tidak produktif atau dianggap
tidak produktif oleh kelompok masyarakat yang tinggal di sekilar lokasi tanpa memperdulikan
alas hak melainkan karena tidak tercapainya rasa keadilan yang subyektif.26
Hal ini memberikan gambaran bahwa seringkali tidak mudah untuk membedakan antara
tuntutan yang didasarkan pada alas hak atau tuntutan yang tidak berdasarkan alas hak, dan
keadaan itu dengan rnudah dapat dirnanfaatkan oleh pihak ketiga yang tidak beritikad baik.
Dalam hal penyelesaian upaya sengketa memerlukan koordinasi antarinstansi, rnisalnya dalarn
sengketa antar masyarakat dengan melibatkan instansi kehutanan, ABRI, Departernen
Perhubungan, dan lain-lain, koordinasi yang diharapkan tidak selalu dapat dilaksanakan. Salah
satu alasan sulitnya melaksanakan koordinasi antar instansi, terutama instansi sektoral, adalah
karena dari segi nominatif peraturan perundang-undangan sektoral yang sentralislik itu sering
tumpang tindih dan tidak konsisten satu sarna lain.27
Dari segi empiris, tidak adanya satu instansi yang bertanggung jawabuntuk
rnengkoordinasikan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan antar sector mendorong setiap sektor
untuk bertindak dalam ruang vertikal masing-rnasing dengan menyisakan sedikit kesempatan
untuk melakukan koordinasi horizontal, dalarn hal diperlukannya koordinasi antar instansi,
dengan tujuan untukmemberikan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat terhadap hak
atas tanahnya, diperlukan peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka rnelaksanakan fungsi
pengawasan untuk memfasilitasi pertemuan dengan instansi terkait untuk rnelakukan
koordinasi yang diperlukan.
Seiring dengan perjalanan waktu, penyelesaian sengketa melalui cara musyawarah
semakin bayak di lakukan. Sengketa pertanahan yang lebih banyak berkaitan dengan rnasalah
kepentingan atau interes para pihak, relatif lebih mudah untuk diselesaikan melalui cara
musyawarah sepanjang kedua belah pihak saling terbuka dan menginginkan jalan keluar yang
terbaik bagi semua pihak.
Temuan hasil penelitian berkenaan dengan Potensi Penerapan Penyelesaian Sengketa
Alternatif (ADR) di Bidang Pertanahan mengungkapkan hal-hal sebagai berikut:
1) Berbagai kasus pertanahan yang bersifat horizontal maupun vertikal, baikyang
melibatkan sengketa antarwarga masyarakat, antara warga masyarakat dengan badan
usaha atau instansi pemerintah, terbuka kemungkinannya untukdiselesaikan dengan
cara perundingan atau mediasi.
2) Persepsi warga masyarakat terhadap cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan
yang mereka gunakan bervariasi. Ada yang berpandangan bahwapihak yang diminta
menyelesaikan, dalam hal ini fasilitator; hanya berperansebagai tempat mengadu
berkenaan dengan konflik pertanahan yang dihadapi, sementara salah satu pihak
berada dalarn posisi yang lemah berhadapandengan lawan konflik. Narnun, pada

25
Ibid, h. 114.
26
Naskah Akademis. (2004). Gagasan Pembentukan Komite Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria.
27
Ibid, h. 113.
110 | S A S I V o l . 2 7 N o . 1 , J a n u a r i - M a r e t 2 0 2 1
akhirnya pihak yang diminta menjadi fasilitator atau mediator tersebut diharapkan
ikut memperjuangkan kepentingannya.

Sebagian masyarakat lainnya memandang penyelesaian sengketa diluar pengadilan


sebagai cara untuk rnemenangkan konflik, baik karena mereka mempunyai dasar untuk
memenangkannya maupun tidak. Untuk itu, di tengah terjadinya proses penyelesaian, mereka
mengerahkan dukungan dari warga masyarakat lainnya untuk menunjukkan kekuatannya
rnelalui unjuk rasa, demonstrasi, dan cara lain untuk memengaruhi proses penyelesaian
sengketa sehingga dapat mengabulkan tuntutan mereka, terdapat juga warga masyarakat yang
dengan penuh kesadaran menempatkancara penyelesaian di luar pengadilan sebagaimana
mestinya. Apabilakesempatan tercapai, maka hasilnya tidak menimbulkan konflik
berkelanjutan. Artinya kedua belah pihak merasa tidak direndahkan dan dipermalukandengan
adanya kesepakatan bersama itu.
Hasil kesepakatan atau keputusan tidak selamanya dipatuhi dan dilaksanakan oleh para
pihak. Hal ini menunjukkan norma moral sebagai dasar untuk melaksanakan hasil kesepakatan
atau keputusan itu belum dihayati oleh warga masyarakat yang menempuh cara penyelesaian
sengketa di luar pengadilan.28

D. P E N U T U P
Sengketa tanah yang berlarut-larut dan tidak ada penyelesaian yang baik dapat
menyebabkan pihakmyang dirugikan melakukan gugatan ke pengadilan. Meskipun ada peluang
lebar menggugat melalui pengadilan tetapi pihak awam cenderung menghindarinya, selain itu
terdapat anggapan dalam masyarakat bahwa pengajuan gugatan lewat pengadilan relatif mahal,
memakan waktu yang cukup lama bahkan berbelit-belit. Oleh karena itu diupayakan
masyarakat menyelesaikan sengketanya dengan menempuh jalur non litigasi. Penyelesaian
melalui jalur pengadilan bertujuan untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, maka
penyelesaian di luar pengadilan justru yang diutamakan adalah perdamaian dalam mengatasi
sengketa yang terjadi di antara yang bersengketa dan bukan mencari pihak yang benar atau
salah. Bila harus mencari siapa yang benar dan yang salah tidak akan menghasilkan keputusan
yang menguntungkan para pihak yang bersengketa

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal
[1] Achmad, I. A., Risdiwanto, G., & Rezandy, J. G. (2020). Kewenangan Hak Menguasai
Negara Atas Hak Ulayat Pada Kawasan Hutan Lindung. Soumatera Law Review, 3 (1), 81-
92. http://doi.org/10.22216/soumlaw.v3i1.5102.
[2] Hetharie, Y. (2019). Perjanjian Nominee sebagai Sarana Penguasaan Hak Milik atas Tanah
oleh Warga Negara Asing (WNA) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. SASI,
25(1), 27-36. DOI: https://doi.org/10.47268/sasi.v25i1.147.
[3] Hallauw, D. K., Matuankotta, J. K., & Uktolseja, N. (2020). Analisis Hukum Surat
Pelepasan Hak Atas Tanah Adat (Dati) Di Kota Ambon. SASI, 26 (1), 111-
118. https://doi.org/10.47268/sasi.v26i1.256.
[4] Kotalewala, F., Laturette, A.I., & Uktolseja, N. (2020). Penyelesaian Sengketa dalam
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Jalan untuk Kepentingan Umum. SASI, 26 (3), 415-
433. https://doi.org/10.47268/sasi.v26i3.397.
[5] Kusmayanti, H., & Hawari, S.Y. (2020). Praktik Eksekusi Riil Tanah Milik Masyarakat
Adat Sunda Wiwitan. SASI, 26 (3), 341-355. https://doi.org/10.47268/sasi.v26i3.285.
[6] Laturette, A. I. (2016). Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum

28
Sumardjono, Maria S. W. Op. Cit, h. 115.
111 | S A S I V o l . 2 7 N o . 1 , J a n u a r i - M a r e t 2 0 2 1
Adat. SASI, 22(2), 52-66. DOI: https://doi.org/10.47268/sasi.v22i2.168.
[7] Lakburlawal, M. A. (2016). Akses Keadilan bagi Masyarakat Adat dalam Penyelesaian
Sengketa Tanah Ulayat yang Diberikan Hak Guna Usaha. ADHAPER: Jurnal Hukum
Acara Perdata, 2 (1), 59-75. http://doi.org/10.36913/jhaper.v2i1.24.
[8] Riardo, Rahmat. (2019). Konversi Hak Atas Tanah Ulayat Kaum Menjadi Hak Milik
Melalui Program Pendaftaran Tanah Sistimatis Lengkap di Kota Solok. Soumatera Law
Review, 2 (2), 193-206. http://doi.org/10.22216/soumlaw.v2i2.3556.
[9] Shidarta. (2010). Peragaan Pola Penalaran Hukum dalam Kajian Putusan Kasus Tanah
Adat”. Jurnal Yudisial, 3 (3), 207-219. http://dx.doi.org/10.29123/jy.v3i3.208.
[10] Saija, R., Letsoin, F.X., Akyuwen, R.J., & Radjawane, P. (2020). Status Kepemilikan Hak
Atas Tanah Adat Marga dalam Kebijakan Penataan Aset Reforma Agraria Di Kabupaten
Maluku Tenggara. SASI, 26 (1), 99-110. https://doi.org/10.47268/sasi.v26i1.246.
[11] Warman, Kurnia. & Syofiarti. (2012). Pola Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Di
Sumatera Barat (Sengketa antara Masyarakat vs Pemerintah). Masalah-Masalah Hukum,
41 (3), 407-415. https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/view/5771.

Buku
[12] Irianto, Sulistyowati. (2009). Praktik Hukum: Perspektif Sosiolegal, Jakarta: Yayasan Obor.
[13] Murad, Rusmadi. (2007). Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan. Bandung: Mandar Maju.
[14] Sumardjono, Maria S.W. (2005). Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan
Implementasi, Jakarta: Kompas.
[15] Usman, Rachamadi. (2003). Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung:
Citra Aditya Bakti.

Lain-Lain
[16] Naskah Akademis. (2004). Gagasan Pembentukan Komite Nasional untuk Penyelesaian
Konflik Agraria.

112 | S A S I V o l . 2 7 N o . 1 , J a n u a r i - M a r e t 2 0 2 1

You might also like