Sebuah Pengantar
Sebuah Pengantar
Sebuah Pengantar
Volume 13 Nomor 25
Februari 2017
Jhon A Mebri
KEDUDUKAN HAK ATAS TANAH MASYARAKAT HUKUM ADAT UNTUK
KEPENTINGAN UMUM1
Jhon A Mebri
Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Jalan Semolowaru Nomor 45, Surabaya 60118, Indonesia
Abstract
Land has a very important meaning in human life, because most of human life depends on the land. There is a
close correlation between man and the land and there is no human in this world who does not need the land. The
land is not only understood as an economic resource, but for others it sees the land as sacred and one of the
indigenous peoples of Papua must preserve. So with the government policy to allocate land for public interest
often conflict with the interest of indigenous people of Papua. Related to the procurement of land is regulated in
Law No. 2 of 2012 on Land Procurement for Development for Public Interest. The focus of this research is how
to recognize and regulate land rights of indigenous and tribal peoples for the public interest in Papua and how
are the legal effects on customary land rights for indigenous and tribal peoples in Papua? By using normative
research methods it can be concluded that the recognition and regulation of indigenous peoples' rights to land as
customary rights in accordance with the provisions of the Basic Agrarian Law, the Law on Special Autonomy
and Law No. 6 of 2014 on Villages, is recognized Of its existence and use in accordance with applicable
provisions in indigenous and tribal peoples. However, in practice it is often not in accordance with the
provisions in force in Indonesia, so as not to provide justice and legal certainty.The legal consequences of
customary law community land acquisition for public interest are the form of indemnity for indigenous and
tribal peoples through the agreed mechanism and the transfer of land rights of customary law community to the
government.
Keywords: Papua customary law community, government, land procurement
A. Pendahuluan
Bumi, Air, Ruang angkasa serta Kekayaan Alam (BARKA) yang terkandung di
dalamnya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia yang
mempunyai fungsi penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Tanah
memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena sebagian besar
kehidupan manusia bergantung kepada tanah.Terdapat korelasi yang erat antara manusia
dengan tanah dan tidak ada satupun manusia di dunia ini yang tidak membutuhkan tanah.
Mengingat tanah termasuk segala sesuatu yang melekat diatasnya menjadi bagian dari
tanah, seperti pohon atau tumbuhan yang melekat pada tanah tersebut.2
Tanah tidak hanya dipahami sebagai sumber ekonomi saja,namun bagi pihak lain
memandang tanah sebagai sesuatu yang sakral dan harus dijaga salah satu adalah
masyarakat adat. Mereka memandang tanah khususnya tanah ulayat karena merupakan
peningalan nenek moyang ataupun sebagai lambang identitas mereka.
Dalam kehidupan manusia tanah tidak akan terlepas dari segala tindaktanduk
manusia itu sendiri sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani hidup
serta kelanjutan kehidupannya.Hubungan antara manusia dengan tanah dapat diartikan
sebagai hubungan hakiki. Artinya hubungan tersebut akan terjalin secara berkesinambungan
1
10.5281/zenodo.1171055.
2Yudhi Setiawan, Instrumen Hukum Campuran Dalam Konsolidasi Tanah, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2009, hlm. 161.
69
Kedudukan Hak Atas Tanah...
sampai kelak manusia itu kembali kepada Sang Pencipta dengan tempat perjalanan
terakhirnya juga melalui tanah. 3
Kebutuhan tanah baik oleh pemerintah maupun masyarakat yang terus bertambah
tanpa diikuti dengan pertambahan luas lahan menjadi masalah yang krusial. Masalah timbul
karena adanya berbagai pemberontakan kepentingan.4 Disatu sisi tanah harus dipergunakan
dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, di sisi
lain harus tetap dijaga kelestariannya.5
Hal tersebutmemang sudah menjadi kewajiban manusia untuk memelihara dan
mengatur peruntukannya secara adil dan berkelanjutan demi kelangsungan hidup umat
manusia di masa mendatang.Sangat berartinya tanah bagi kehidupan manusia dan bagi
Negara di buktikan dengan di aturnya secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 33 ayat (3) bahwa “bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan di pergunakan sebesar-
besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Untuk menindaklanjuti penafsiran Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) di atas, negara memberi kewenangan kepada penyelenggara
pemerintah (terutama bidang pertanahan) untuk mengundangkan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria pada tanggal 24 September
1960.6
Ketentuan Pasal tersebut kemudianmenjadi landasan filosofis terhadap pengaturan
tanah di Indonesia yang secarayuridis diatur dalamUndang-Undang Nomor 5 tahun 1960
tentang PeraturanDasar Pokok-Pokok Agraria yang kemudian dikenal dengan sebutan
Undang-UndangPokok Agraria (UUPA).Hal tersebut diperlukan guna menjadi suatu
landasan bagi setiap orang di dalam melakukan perbuatan hukum yang berhubungan
dengan pemilikan maupun penggunaan tanah agar supaya mendapat jaminan hukum dan
kepastian hak. Demi mewujudkan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
wargamasyarakat, maka diperlukan pengaturan yang tertulis, lengkap dan dilaksanakan
secara konsisten sehingga mencegah terjadinya sengketa tanah.7
B. Pembahasan
1. Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Papua
Provinsi Papua dulu mencakup seluruh Wilaya Indonesia di Pulau Papua. Pada masa
pemerintahan kolonial Hindia Belanda, wilayah ini dikenal sebagai Nugini Belanda
(Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch New Guinea). Setelah berada bergabung dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, wilayah ini dikenal sebagai Provinsi Irian Barat sejak tahun
1969 hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto. pada saat
meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi
hingga tahun 2002.8
2017.
8 http://id.wikipedia.org/wiki/Papua#Sejarah,diakses tanggal 18 Mei 2017.
70
DiH Jurnal Ilmu Hukum
Volume 13 Nomor 25
Februari 2017
Jhon A Mebri
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua
mengamanatkan nama provinsi ini untuk diganti menjadi Papua. Pada tahun 2003, disertai
oleh berbagai protes (penggabungan Papua Tengah dan Papua Timur), Papua dibagi
menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua
sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian JayaBarat (setahun kemudian menjadi
Papua Barat). Bagian timur inilah yang menjadi wilayah Provinsi Papua pada saat ini.9
Definisi orang asli papua secara historis muncul dari pengalaman,” memory passionist
akan masa-masa diwaktu lalu yang penuh tantangan dan pergulatan untuk menunjukan jati
diri, sehingga dasar ini yang menjadi konsensus bersama seluruh pemangku kepentingan di
Tanah Papua untuk mengidentifikasikan masyarakat adat papua sebagai orang asli papua
dan terakomodir secara legal dalam sebuah perundang-undangan yang konstitusional yaitu
Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Orang Asli Papua menurut Undang-Undang
Otonomi Khusus Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri
dari suku-suku asli di Papua dan/atau yang diterima dan diakui sebagai orang asli papua
oleh masyarakat (hukum) adat papua.
Melewati berbagai cara, dari diplomasi di jalur PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa)
dan bilateral, hingga penyerangan Yos Sudarso, dan melewati PEPERA (Penentuan
Pendapat Rakyat), maka keutuhan Papua sebagai bagian NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia) tercapai pada tahun 1969.10
2. Pengakuan Adanya Masyarakat Adat Dan Masyarakat Hukum Adat
Apabila kita berbicara tentang adat “custom” berarti kita berbicara tentang wujud
gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan serta hukum
yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem yaitu sistem budaya.
Sementara adat-istiadat (customs) merupakan kompleks konsep serta aturan yang
mantap dan terintegrasi kuat dalam sistem budaya dari suatu kebudayaan yang menata
tindakan manusia dalam kehidupan sosial kebudayaan itu.Adat adalah kebiasaan suatu
masyarakat yang bersifat ajeng (dilakukan terus-menerus), dipertahankan oleh para
pendukungnya. Kebiasaan merupakan cermin keperibadian suatu bangsa. Adat adalah
penjelmaan jiwa bangsa itu yang terus menerus berkembang secara evolusi dari abad
keabad.11
Hukum (law) adalah segala aturan yang menjadi pedoman perilaku setiap orang
dalam hidup bermasyarakat atau bernegara di sertai sanksi yang tepat apabila
dilanggar.12Hukum adalah sistem pengendalian kehidupan masyarakat yang terdiri atas
aturan adat, undang-undang, peraturan-peraturan, dan lain-lain norma tingkahlaku yang
9 Ibid.
10 Anonim Catatan Pelanggaran HAM di Papua, Briefing Paper, Lembaga Studi dan Advokasi Masyara-
kat (Elsam), Jakarta tanpa tahun, hlm. 1, 2. Sumber http://www.elsam.or.id/pdf/catatan%20
Pelanggaran%20HAM%20 di %20 Papua. pdf. Diakses 17 Juli 2017
11 Dominikus Rato, Hukum Adat (Suatu Pengantar Singkat), Jawa Timur, Lasbang Presindo, Jawa Timur
2011, hlm. 1.
12 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung , 2010, hlm. 1.
71
Kedudukan Hak Atas Tanah...
dibuat, disahkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berwenang dalam masyarakat
yang bersangkutan.13
Sedangkan hukum adat (customary law) adalah Perilaku yang terus-menerus
dlakukan perorangan menimbulkan “kebiasaan pribadi”. Kemudian apabila seluruh
anggota masyarakat melakukan perilaku kebiasaan tadi maka lambat laun kebiasaan itu
menjadi “adat” dari masyarakat itu. Jadi adat adalah kebiasaan masyarakat dan kelompok-
kelompok masyarakat lambat laun menjadi,kan adat itu sebagai adat yang seharusnya
berlaku bagi semua anggota masyarakat dengan dilengkapi oleh sanksi, sehingga menjadi
hukum adat.14
Norma lama yang masih terdapat dimana-mana di daerah maupun di dalam
masyarakat yang merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya. Norma lama/hukum
adat akan diterima sepanjang akan dapat meningkatkan kehidupan masyarakat sebagai
kepribadian sesuai nilai-nilai tradisional yang ada.15
Persekutuan hukum atau masyarakat hukum (rechtsgemeenschap) “Sekelompok
orang-orang yang terkait sebagai suatu kesatuan dalam suatu susunan yang teratur, yang
bersifat abadi dan memiliki pimpinan serta kekayaan sendiri baik berwujud maupun tidak
berwujud dan mendiami atau hidup di atas wilayah tertentu”.16
Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh Cornelius
van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius van Vollenhoven mengeksplor
lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat. Ter Haar memberikan pengertian sebagai
berikut:
Masyarakat hukum adat adalah Kelompok masyarakat yang teratur, menetap di
suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan
sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para
anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai
hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu
mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah
tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk
selama-lamanya.17
Nilai-nilai Adat istiadat bisa hilang, tentu saja bukan tanpa alasan. Kekhawatiran
bahkan lebih tepat keprihatinan semacam ini, dimana terpaan pergaruh sangat gencar dan
hampir tidak dapat dibendung, apalagi dalam zaman komunikasi dan informasi yang amat
canggih dewasa ini. Pengakuan mengenai keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat
diIndonesia terdapat di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
UUD NRI, undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini
menunjukan bahwa keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat telah diterima dalam
kerangka hukum yang berlaku di Indonesia.
sebagai peraturan yang dibuat untuk mengisi kekosongan undang-undang khusus tentang
masyarakat hukum adat.
UU HAM lahir satu tahun sebelum dilakukannya amandemen terhadap Pasal 28I
ayat (3) UUD NRI 1945. Kuat dugaan, Pasal 28I ayat (3) UUD NRI 1945 dan juga beberapa
ketentuan terkait hak asasi manusia lainnya di dalam konstitusi mengadopsi materi muatan
yang ada di dalam UU HAM. Namun ada sedikit perbedaan antara Pasal 28I ayat (3) UUD
NRI 1945 dengan Pasal 6 ayat (2) UU HAM.
Pasal 6 ayat (2) UU HAM mengatur lebih tegas dengan menunjuk subyekmasyarakat
hukum adat dan hak atas tanah ulayat. Sedangkan Pasal 28I ayat (3) membuat rumusan
yang lebih abstrak dengan menyebut hak masyarakat tradisional. Hak masyarakat
tradisional itu sendiri merupakan istilah baru yang sampai saat ini belum memiliki definisi
dan batasan yang jelas. Pasal 28I ayat (3) UUD NRI 1945 juga mempersyaratkan keberadaan
dan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang sesuai dengan perkembangan zaman. Bila
dibandingkan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945, maka rumusan Pasal 28I ayat (3)
UUD NRI 1945 memberikan persyaratanyang lebih sedikit dan tidak rigid.
Pendekatan konstitusional terhadap Pasal 28I ayat (3) UUD NRI 1945 ini adalah
pendekatan HAM. Hal ini nampak jelas dalam sistematika UUD NRI 1945 yang meletakkan
Pasal 28I ayat (3) UUD NRI 1945 di dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia bersamaan
dengan hak-hak asasi manusia lainnya.18 Oleh karena itu, instansi pemerintah yang paling
bertanggungjawab dalam landasan konstitusional ini adalah Kementerian Hukum dan
HAM.
Selanjutnya terdapat Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945 yang berkaitan
dengan hak atas kebudayaan dan bahasa daerah. Kedua ketentuan ini berkaitan dengan hak
atas kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat adat antara lain hak untuk mengembangkan
nilai-nilai budaya dan bahasa daerah. Ketentuan ini menjadi pelengkap bagi ketentuan
lainnya di dalam konstitusi berkaitan dengan keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum
adat.
Berbagai undang-undang terkait pertanahan dan pengelolaan kekayaan alam, seperti
kehutanan,mendelegasikan pengaturan dan pengakuan keberadaan dan hak-hakmasyarakat
hukum adat itu kepada pemerintah daerah dalam bentuk peraturan daerah (Perda).
3. Pengaturan Tanah Masyarakat hukum Adat Papua
Dalam memajukan kesejahktraan harus didahului dengan kemajuan perekonomian,
dan untuk meningkatkan perekonomian, harus ditunjang dengan infrastruktur, dan
seterusnya untuk meningkatkan infastruktur harus di dukung dengan prasarana yang
berupa lahan. Dengan kemajuan pembangunan diawali dengan adanya lahan untuk
pengadaan infastruktur.
Salah satu unsur dalam pelaksanaan pembangunan yang tidak bisa dihindari lagi
adalah masalah kebutuhan lahan atau tanah. Tanah merupakan kebutuhan dalam
pelaksanaan pembangunan yang memiliki komponen yang paling utama, karena itu
sebelum pelaksaan pembangunaan harus ada terlebih dahulu tersedianya komponen yang
18Arizona, Yance (edt), Antara Teks Dan Konteks: Dinamika Pengakuan Hukum Hak Masyarakat Adat
Atas Sumber Daya Alam di Indonesia, Jakarta, 2010. HuMa.
74
DiH Jurnal Ilmu Hukum
Volume 13 Nomor 25
Februari 2017
Jhon A Mebri
paling prinsip yang dinamakan lahan atau tanah. Tanpa adanya komponen yang utama ini,
maka pembangunan tidak bisa diwujudkan secara optimal.19
Pengaturan masalah pertanahan khususnya hak ulayat atas tanah secara filosofi di
dasarkan pada sila Pancasila sebagai landasan falsafah bangsa Indonesia, terutama mengacu
pada sila I, II, V, oleh karena itu pengaturan hak ulayat kedalam hukum pertanahan nasional
harus memuat dan merefleksikan nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam Pancasila serta
nilai-nilai dan tujuan dari negara hukum kesejahtraan. Nilai-nilai filosofi dan hukum
dibidang pertanahan secara normatif telah dituangkan dalam UUPA khususnya Pasal 3,
yaitu:
Dengan mengingat ketentua-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat
dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang
lebih tinggi.
Hal ini telah memuat beberapa prinsip atas dasar hukum agraria/pertanahan.
Demikian kedudukan hak ulayat masyarakat hukum adat dicermati dari aspek yuridis
berdasarkan hukum adat, maka pada hakekatnya mencerminkan hubungan hukum atas
tanah dan masyarakat, tidak bertentangan dengan norma dan asas-asas sebagai landasan
pembentukannya Undang-Undang Pokok-pokok Agraria (UUPA).
Adapun yang dimaksud dasar filosofis dari Hukum Adat adalah sebenarnya nilai-
nilai dan sifat Hukum Adat itu sangat identik dan bahkan sudah terkandung dalam butir-
butir Pancasila. Sebagai contoh, religio magis, gotong royong, musyawarah mufakat dan
keadilan. Dengan demikian Pancasila merupakan kristalisasi dari Hukum Adat.
Maka dengan demikian hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan
tanah sebagai hak ulayat yang dipakai sebagai dasar hukum agraria (UUPA), menurut
penulis dengan demikian maka hak ulayat mengandung asas-asas kebersamaan, asas
keadilan, asas keseimbangan, asas religius, asas ekonomi, asas hak asasi, asas nasionalitas,
asas kepastian hukum, asas pemanfaatan bersama, asas personalitas, dan sebagainya. Dari
landasan asas-asas tersebut diatas dalam Undang-Undang Pokok-pokok Agraria (UUPA)
agar dapat mengatur peruntukan pengunaan tanah ulayat masyarakat hukum adat untuk
kepentingan umum.
Undang-Undang Otonomi Khusus Papua menegaskan keberadaan masyarakat
hukum adat, dan hak-haknya atas sumber daya alam tidak terlepas dari dasar-dasar hukum
yang mendasari. Undang-undang ini mengatur keberadaan masyarakat hukum adat dan
hak-hak atas sumber daya alam, sebagai berikut yaitu Pengakuan keterwakilan masyarakat
hukum adat dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Selain
itu juga wakil dari kelompok agama dan perempuan. Urgensi keterwakilan masyarakat
hukum adat di dalam MPR adalah:
Mudakir Iskandar Syah, Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum, Upaya Hukum
19
Masyarakat Yang Terkena Pembebasan dan Pencabutan Hak, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2015, hlm. 96.
75
Kedudukan Hak Atas Tanah...
a) Melalui MRP masyarakat hukum adat dapat melindungi hak-haknya dari tindakan
pelanggaran dan pengabaian oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
b) MRP dapat menyalurkan aspirasi masyarakat hukum adat dan memfasilitasi
penyelesaian masalah yang terjadi pada masyarakat hukum adat.
Perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat, yaitu hak atas tanah dan
hak atas kekayaan intelektual, sebagaimana diatur pada pasal 43 dan pasal 44. Hak atas
tanah meliputi hak bersama atau hak ulayat dan hak perorangan (penjelasan pasal 43 ayat
(2). Namun pengakuan terhadap hak ulayat disertai dengan catatan-catatan, yaitu:
a) Subjek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat bukan penguasa adat
b) Penguasa adat hanya bertindak sebagai pelaksana dalam mengelola hakulayat.
Pengakuan terhadap peradilan adat (pasal 51) Undang-Undang Otonomi Khusus
Papua meletakkan peradilan adat sebagai peradilan perdamaian yang tidak boleh
menjatuhkan hukuman pidana, penjara atau kurungan. Pengakuan peradilan adat
diharapkan dapat mengurangi korban peradilan negara dalam menyelesaikan sengketa
perdata atau perkara pidana yang melibatkan warga masyarakat hukum adat.
Dalam pasal 64 ayat (1) menegaskan. bahwa Undang-Undang juga mewajibkan
pemerintah Provinsi Papua untuk menghormati hak-hak masyarakat hukum adat dalam
melakukan pengelolaan lingkungan hidup. Program inventarisasi, pengukuran dan
pemetaan tanah-tanah ulayat di Provinsi Papua akan dilakukan oleh pemerintah
Kabupaten/ Kota dengan menggunakan dana dari APBD Provinsi dan Kabupaten/ Kota.
Dalam pasal 6 Undang-Undang Otonomi Khusus, mengatur mengenai bidang sosial:
1) Pemerintah provinsi memberikan perhatian dan penanganan khusus bagi
pengembangan suku-suku yang terisolasi, terpencil dan terabaikan di Provinsi Papua.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasus.
Selanjutnya berkaitan dengan pengaturan wilayah masyarakat hukum adat, saat ini
dibuat Rancangan Perda Khusus Hak-hak Masyarakat hukum adat. Rancangan ini disiapkan
sebagai respon terhadap peraturan yang telah ada karena dinilai:
1) Belum terdapat ketentuan-ketentuan yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan
kongkrit untuk membedakan antara hak ulayat dengan hak perorangan, apakah hak
ulayat meliputi tanah, hutan dan perairan
2) Rancangan Perdasus Tanah Ulayat dilihat masih harus mengacu pada peraturan-
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi namun wilayah pelestariannya
dibayangkan tidak hanya di luar kawasan hutan, tetapi juga di dalam kawasan hutan.
3) Pengakuan hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan SDA setiap sektor sebaiknya
dilandasi oleh Perdasus yang mengakui hak-hak masyarakat hukum adat
4) Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) sudah membuat pokok-pokok pikiran
sebagai bahan untuk menyusun Perdasus mengenai suku-suku terasing, Perdasus ini
akan menjadi Peraturan Pelaksanaan dari pasal 66 Undang-undang Otonomi Khusus.20
Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas
Tanah. Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 tahun 2008 :
a. Bahwa tanah beserta segala isinya, yakni perairan, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan
bahan tambang/mineral sebagai karunia tuhan yang maha esa harus dikelola secara
77
Kedudukan Hak Atas Tanah...
21 Mudakir Iskandar Syah, Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum, Upaya Hukum
Masyarakat Yang Terkena Pembebasan dan Pencabutan Hak, Jakarta, 2015, hlm. 70.
22 Maria S.W.Sumarjono, Tanah Dalam Prefektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Buku Kompas,
24 Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria),
Yogyakarta, Citra Media, 2007, hlm. 5.
25 Nurus Zalman, Politik Hukum Pengadaan Tanah, Antara Kepentingan Umum dan Perlindungan Hak
80
DiH Jurnal Ilmu Hukum
Volume 13 Nomor 25
Februari 2017
Jhon A Mebri
pendapat yang keliru, karena terbitnya Besluit Van De Goevernur New Guinea No. 63,
tanggal 22 Februari 1961 seluas + 200 Hektar, dengan dasar perhitungan secara faktua),
adalah 5 Km (panjang) x 400 m (lebar), merupakan akal-akalan Belanda saja yang merasa
terpaksa harus meninggalkan Tanah Papua, karena kalah diplomasi dengan Pemerintah
Republik Indonesia, jadi catatan Belanda tersebut, hanyalah `kejahatan administrasi` yang
mereka harapkan suatu saat akan menjadi ‘bom waktu` bagi stabilitas keamanan dan
ketertiban di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.26
Ketika awal-awal peristiwa pengusiran terhadap masyarakat adat dari Tanah Adat
tersebut, dengan mengacu pada Keputusan Presiden RI, No. 32 Tahun 1979, tentang Pokok-
Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru atas Tanah asal Konversi Hak-
Hak Barat, telah ada ketentuan yang mengatur, diantaranya, adalah:
a. Pasal-1 ayat (2) butir (e), disebutkan “Dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan
bekas Pemegang Hak dan Penggarap Tanah/Penghuni Bangunan”;
b. Pasal-3, disebutkan “Kepada bekas Pemegang Hak yang tidak diberikan Hak Baru
karena tanahnya diperlukan untuk proyek pembangunan, akan diberikan Ganti Rugi
yang besarnya akan ditetapkan oleh suatu Panitia Penaksir”;
Setelah keluarnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus
bagi Propinsi Papua, masyarakat adat Papua mempunyai harapan, bahwa hak-hak
masyarakat Papua atas tanah adatnya akan diperhitungkan dan dihargai oleh Pemerintah
Pusat maupun Daerah, namun ternyata masyarakat adat Papua masih harus menerima
kembali kekecewaan demi kekecewaan yang tidak pernah berakhir.
Mengacu kepada UU RI No. 21 Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi
Papua, maka berdasarkan ketentuan pada:
a. Pasal-38 ayat (2), yaitu Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang
memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak
masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-
prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang
pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus;
b. Pasal- 40 ayat (2), yaitu Perizinan dan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dinyatakan
cacat hukum, merugikan hak hidup masyarakat atau bertentangan dengan ketentuan
Undang-undang ini, wajib ditinjau kembali, dengan tidak mengurangi kewajiban hukum
yang dibebankan pada pemegang izin atau perjanjian yang bersangkutan;
c. Pasal-42 ayat (2), yaitu Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah Provinsi
Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat;
d. Pasal-43 ayat (1), yaitu Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati,
melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan
berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku;
e. Pasal-43 ayat (3), yaitu Pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih
ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut
26 http://media.aliansiindonesia.com/baca/id/1443135232/penyerobotan.tanah.masyarakat.adat.di.-
sentani.papua.
81
Kedudukan Hak Atas Tanah...
ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak
ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tatacara dan berdasarkan peraturan
perundang-undangan;
f. Pasal-43 ayat (4), yaitu Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat
hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan
masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan
mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya.
Putusan Nomor 49/Pdt/2014/PT JAP, yang menolak kasasi dari pihak masyarakat
hukum adat Papua. Adanya putusan Pengadilan Negeri Jaya pura yang menolak untuk
mengakui adanya hak tanah masyarakat hukum adat dengan tidak memberikan ganti rugi,
maka hal tersebut bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku. Sehingga
menimbulkan ketidak pastian hukum. Maka dengan demikian putusan tersebut tidak
mencerminakan perlindungan hukum dan tidak memenuhi prinsip negara hukum yaitu
adanya asas legalitas. Dalam artian bahwa aturan yang berlaku harus ditegakan dan
ditindaklanjuti. Sehingga dapat memberikan kepastian hukum yang melindungi
kepentingan masyarakat hukum adat. Agar dalam menentukan pengaturan harus
memberikan keadilan bagi setiap lapisan masyarakat hukum adat.
5. Akibat Hukum Pengadaan Tanah Masyarakat Hukum Adat Untuk Kepentingan
Umum
Munculnya suatu konflik dapat juga dikarenakan adanya perbedaan presepsi,
pandangan, pengertian dan pemahaman terhadap suatu masalah. Berkaitan dengan
meningkatnya kebutuhan akan pengadaan tanah, baik perseorangan, badan hukum swasta,
atau publik secara otomatis berpengaruh terhadap keberadan hak ulayat masyarakat
hukum adat. Dalam banyaknya kasus di berbagai sektor, konflik pertanahan di Indonesia
juga berkaitan dengan tanah hak ulayat.
Pada era sosial media seperti saat ini, pembangunan infastruktur untuk kepentingan
umum bisa jadi masih akan tersandung upaya pembebasan lahan untuk tanah-tanah yang
dimiliki adat dan ulayat. Ini terjadi lantaran dalam pelaksanaan hak ulayat masyarakat
hukum adat di berbagai daerah di Indonesia masih benar-benar di atur dengan ketentuan
hukum dan kesepakatan masyarakat setempat.
Ada banyak penelitian dan pengkajian tentang konflik pertanahan yang menyatakan,
di beberapa daerah di Indonesia ternyata masih banyak tanah-tanah dalam lingkungan
masyarakat hukum adat yang pengurusan, pengguasaan, dan peggunaannya didasarkan
pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan sebagai tanah ulayat.
Peraturan Mentri Negra Agraria (PMNA)/ Kepala BPN (KBPN) No 5 1999 Tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.Hak Ulayat
merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang
berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayanya. Dari sini muncul
dua konsekuensi hukum, yaitu perdata dan publik. Hukum perdata berhubung dengan hak
kepunyaan atau kepemilikan bersama atas tanah. Sedangkan hukum publik berkaitan
dengan tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin pengguasaan,
pemeliharaan, peruntukan, dan penggunaan tanah.
82
DiH Jurnal Ilmu Hukum
Volume 13 Nomor 25
Februari 2017
Jhon A Mebri
Pengadaan tanah untuk pembangunan Pelabuhan, Bandar Udara dan Terminal,
memang termasuk dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sebagaimana
terdapat dalam Pasal 10 huruf d, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunaan Untuk Kepentingan Umum.
Pada dasarnya pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan
pemberian ganti kerugian yang layak dan adil sebagaimana dikatakan dalam Pasal 9 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. Penilaian besarnya nilai ganti kerugian atas tanah
yang terkena pengadaan tanah untuk kepentingan umum ditetapkan oleh Penilai (Pasal 33
jo. Pasal 32 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012). Penilai ini ditetapkan oleh Lembaga
Pertanahan (Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012). Nilai ganti kerugian
yang dinilai oleh Penilai merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi
pembangunan untuk kepentingan umum (Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012).
Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian ganti kerugian
kepada pihak yang berhak. Hasil kesepakatan tersebut dimuat dalam berita acara
kesepakatan (Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012).Pengadilan negeri
memutus bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan (Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012).
Jika ada pihak yang keberatan dengan putusan pengadilan negeri, maka pihak yang
keberatan tersebut, dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, dapat mengajukan
kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia (Pasal 38 ayat (3) Undang-Undang 2
Tahun 2012). Selanjutnya, Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima (Pasal 38 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012).
Putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap menjadi dasar pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang mengajukan
keberatan (Pasal 38 ayat (5) Undang-Undang 2 Tahun 2012). Jika pihak yang berhak menolak
bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan dalam waktu
yang telah ditetapkan dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 2012, maka karena
hukum pihak yang berhak dianggap menerima bentuk dan besarnya ganti kerugian hasil
musyawarah (Pasal 39 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012).
Dasar Hukum Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum:
1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunaan
Untuk Kepentingan Umum.
2. Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Sehingga dengan adanya ketentuan tersebut maka akibat hukum yang terjadi dalam
melakukan pengadaan tanah yaitu adanya bentuk ganti rugi. Akan tetapi terkait dengan
ganti rugi untuk tanah masyarakat hukum adat tidak ditentukan secara detail. Dalam artian
bahwa diberikan keleluasaan untuk dilakukan negosiasi sendiri antara pemerintah dengan
masyarakat hukum adat. Selain itu akibat hukum yang terjadi dengan adanya pelepasan hak
atas tanah masyarakat hukum adat maka beralilah kepemilikan hak atas tanah tersebut.
83
Kedudukan Hak Atas Tanah...
C. Penutup
Dapat disimpulkan hak ulayat dalam hukum positif Indonesia masih diakui, hal
demikian ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal
18B Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pengakuan dan pengaturan hak masyarakat adat akan tanah
sebagai hak ulayat yang sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pokok-Pokok
Agraria (disebut juga UUPA), Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus), dalam berbagai
Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur dan
melindungi hak masyarakat adat yang tinggal di Kabupaten/Kota merupakan sebagai
landasan hukum tentang tanah untuk kepentingan masyarakat adat. Status hukum Tanah
Komunal Masyarakat Hukum Adat semakin kuat dengan diterbitkannya Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2015 yang
menetapkan hak-hak atas tanah adat merupakan hak milik bersama atas tanah yang
diberikan kepada masyarakat hukum adat untuk mewujudkan cita-cita luhur dan komitmen
pemerintah sesuai Pasal 33 UUD 1945. Bagi masyarakat adat Papua, tidak ada kehidupan di
atas muka bumi ini jika tidak ada tanah. Tanah menjadi segalah sumber kehidupan dimuka
bumi ini. Itulah filosofi tanah bagi orang Papua. Pemerintah sebaiknya memperhatikan
kebiasaan dan adat istiadat yang masih berlaku dalam tatanan masyarakat adat Papua.
Mengingat Papua merupakan daerah otonomi khusus.
Daftar Pustaka
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2004.
Ahmad Fauzie Ridwan, Hukum Tanah Adat, 1, Dewarucci Press, Jakarta, 1982.
Arizona, Yance (edt), Antara Teks Dan Konteks: Dinamika Pengakuan Hukum Hak Masyarakat
Adat Atas Sumber Daya Alam Di Indonesia, Jakarta, 2010.
Dominikus Rato, Hukum Adat (Suatu Pengantar Singkat), Jawa Timur, Laksbang Presindo,
Jawa Timur, 2011.
Husen Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat HukumAdat
Atas Tanah, LaksBang PRESSindo, Jogjakarta, 2010.
Maria S.W. Sumarjono, Tanah Dalam Prefektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Buku Kompas,
Jakarta, 2008.
Mudakir Iskandar Syah, Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum, Upaya
Hukum Masyarakat Yang Terkena Pembebasan dan Pencabutan Hak, Jala Permata Aksara,
Jakarta, 2015.
Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi
Agraria), Citra Media, Yogyakarta, 2007.
Nurus Zaman, Politik Hukum Pengadaan Tanah, Refika Aditama, Bandung, 2016.
Peter Mahmud, Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010.
Setiono, Rule Of Law (Supermasi Hukum), Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2004.
Yudhi Setiawan, Instrumen Hukum Campuran Dalam Konsolidasi Tanah, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2009.
84