Jurnal Akhlak

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 15

JURNAL

AKHLAK DALAM BERBANGSA DAN BERNEGARA

DISUSUN OLEH :

1. Annisa yunara(22631009)
2. Choirul mustofa (22631015)
3. Dini Damayanti (22631022)

FAKULTAS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) CURUP
TAHUN 2022
Abstrac

This article aims to be a guideline for the general public about how we behave
and uphold Islamic religious values regarding the ethics of the nation and state. This
is felt to be quite important by paying attention to the phenomena and the many cases
related to the fading of understanding as well as awareness as citizens who must have
ethics in doing all actions that are responsible for the good and progress of the nation.
Modernization and the rapid flow of globalization contribute to the weakening of
public awareness in upholding the values and norms that must be a reference in
behavior, so these conditions must require special attention for us all in order to
maintain the integrity and national unity, especially our nation is a nation that is very
diverse in all lines, both religion, race, ethnicity, culture and between groups.
Keyword: Ethics, National and State, Islam
Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk menjadi pedoman bagi masyarakat secara umum
tentang bagaimana cara kita bersikap dan menjunjung tinggi nilai-nilai Agama Islam
tentang etika berbangsa dan bernegara. Hal ini dirasakan cukup penting dengan
memperhatikan fenomena dan banyaknya kasus-kasus yang berkaitan dengan
pudarnya pemahaman sekaligus kesadaran sebagaiwarga negara yang harus memiliki
etika dalam melakukan segala perbuatan yang bertanggung jawab bagi kebaikan dan
kemajuan bangsa. Modernisasi dan arus globalisasi yang sangat pesat turut
menyumbang faktor melemahnya kesadaran masyarakat dalam menjunjung tinggi-
tinggi nilai dan norma-norma yang harus menjadi acuan dalam bertingkah laku,
sehingga kondisi seperti ini harus memerlukan perhatian khusus bagi kita semua
dalam rangka menjaga keutuhan dan persatuan bangsa, terlebih bangsa kita adalah
bangsa yang sangat majemuk di semua lini, baik agama, ras, suku, budaya dan antar
golongan.
Keyword: Etika, Berbangsa dan bernegara, Islam
A. Pendahuluan

Modernisasi dan arus globalisasi hari ini dirasakan sangat berdampak pada
perubahan tingkah laku manusia pada umumnya. Bak pisau bermata dua kemajuan
tersebut selalu membawa dampak positif dan negatif pada tingkah laku manusia,
terlebih di dunia media sosial. Di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun dewasa ini
kita bisa menyaksiakan betapa mengerikan dampak media soasial yang mampu
memporak porandakan nilai-nilai dan etika berbangsa dan bernegara. Pergolakan
politik yang disebabkan pemilu baik kepala daerah maupun pilpres, kasus radikalisme
dan terorisme, dan banyak lagi kasus-kasus personal yang sedikit banyak
mempengaruhi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air kita tercinta
ini. Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad
Saw sebagai nabi dan utusan Allah Swt sebagai petunjuk hidup umat manusia (hudan
li an-nas).
Agama Islam hadir ke tengah umat manusia sebagai petunjuk karena ajaran-
ajarannya bersifat universal, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia baik aspek
mikro maupun makro.Aspek makro, Islam mengatur tatanan kehidupan dalam aspek
terkecil dalam kehidupan manusia seperti mengatur tentang etika bersilaturahim,
bertetangga, belajara dan sebagainya.Sedang dalam aspek makro, Islam mengatur
tatanan kehidupan manusia dalam aspek terluas dalam kehidupan manusia salah satu
di antaranya adalah etika berbangsa dan bernegara. Etika berbangsa dan bernegara
sangat diperlukan dalam kehidupan manusia karena tanpa etika tersebut maka
kehidupan berbangsa dan bernegara tidak akan berjalan dengan tentram, damai, dan
rukun. Oleh karena itu, sebagai warga negara Indonesia sekaligus sebagai seorang
muslim maka sangat penting memahami dan merealisasikan pentingnya etika dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara karena pada hakikatnya ajaran Islam yang
dibawakan oleh Nabi Muhammad Saw memiliki misi profetis untuk
menyempurnakan akhlak mulia maka dengan memahami dan merealisasikan etika
dalam berbangsa dan bernegara pada hakikatnya kita sedang merealisasikan ajaran
Islam itu sendiri.
B. Pengertian Etika Berbangsa dan Bernegara
Secara etimologi kata “etika” berasal dari Bahasa Yunani yang terdiri dari dua
kata yaitu ethos dan ethikos. Ethos berarti sifat, watak kebiasaan, tempat yang biasa.
Ethikos berarti susila, keadaban, kelakuan dan perbuatan yang baik.1
Istilah lainnya yang memiliki makna hampir sama dengan etika adalah moral.
Moral berasal dari kata Latin: Mos (bentuk tunggal), atau mores (bentuk jamak) yang
berarti adat istiadat, kebiasaan, kelakuan, watak, tabiat, akhlak, cara hidup.
Secara terminologis, etika adalah ilmu tentang baik buruknya suatu perbuatan
manusia atau dalam kata lain etika digunakan untuk meninjau perbuatan manusia dari
sisi keilmuan. Dalam filsafat, etika disebut sebagai filsafat moral, yakni studi yang
sistematik tentang sifat dasar dari berbagai konsep nilai baik dan buruk, benar dan
salah suatu perbuatan manusia. Etika juga sering diartikan sebagai aturan yang tidak
tertulis dimana setiap orang diharapkan untuk mematuhinya.
Dalam Bahasa Inggris, istilah bangsa dikenal dengan nama “nation” yang
memiliki dua pengertian, yakni pengertian antropologissosiologis dan politis. Dalam
pengertian antropologis dan sosiologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang
merupakan suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing merasa
satu kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah dan istiadat. Adapun yang dimaksud bangsa
dalam pengertian politik adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan
mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke
dalam dan ke dalam.2
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bangsa adalah sekumpulan manusia
yang memiliki kesamaan sejarah, asal keturunan, agama, adat istiadat, bahasa dan lain
sebagainya yang hidup dalam suatu wilayah tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.
Istilah negara atau “state” berasal dari Bahasa Latin “status” atau “statum”
yang berarti menempatkan dalam keadaan berdiri, membuat berdiri, dan
menempatkan. Kata status sendiri dalam Bahasa Latin klasik berarti sesuatu yang
memiliki sifat-sifat tegak dan tetap.3
Sedangkan menurut para ahli seperti yang diungkapkan oleh George Jellinek,
negara adalah organisasi kekuasaan yang dari sekelompok manusia yang mendiami

1 Loren, Bagus. Kamus Filsafat. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2009).h. 217


2 Abudin, Nata. Akhlak tasawuf dan Karakter Mulia. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012). h.
75
3 Isjwara, F. Pengantar Ilmu Politik (Bandung : Bina Cipta, 2011). h. 92
wilayah tertentu. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa etika berbangsa
dan bernegara adalah suatu aturan yang merupakan keharusan bagi seorang warga
negara dalam menjalankan aktivitasnya dalam berbangsa dan bernegara.
C. Dasar-dasar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Dalam Islam
Secara kodrati, manusia ditakdirkan oleh Allah Swt bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa tujuannya adalah agar saling mengenal sebagaimana yang
tercantum dalam Al-Qur‟an surat Al-Hujurat ayat 13:

“Wahai manusia!Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-


laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal.Sesungguhnya yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Mahateliti.”
Tidak hanya untuk saling mengenal saja akan tetapi juga untuk saling memberi
manfaat. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Quraish Shihab ketika
menjelaskan ayat tersebut bahwa semakin kuat sikap pengenalan satu pihak kepada
selainnya, semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat.Karena itu ayat di
atas menekankan perlunya saling mengenal.4 Apalah arti perkenalan jikalau tidak
saling memberikan manfaat. Oleh karena itu dalam Islam manusia terbaik adalah
manusia yang memberikan manfaat untuk orang lain sebagaimana hadits Nabi Saw:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR.
Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam
Shahihul Jami‟ no: 3289).
Dengan memahami adanya keanekaragaman manusia maka tentu kita akan
memahami pentingnya tatanan kehidupan manusia khususnya dalam berbangsa dan
bernegara. Terkait hubungan manusia dalam berbangsa dan bernegara, pertama Islam
memerintahkan kepada orang beriman agar taat kepada Allah, taat kepada Rasul-Nya

4 M. Quraish, Shihab. Tafsil Al-Misbah. (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 262


dan taat kepada pemerintah. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur‟an surat An-Nisa ayat
59:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Ayat ini dan ayat sebelumnya (58) mengandung tentang prinsipprinsip
kesejahteraan umat Islam khususnya dalam urusan kekuasaan pemerintahan. Prinsip-
prinsip tersebut adalah (1) taat kepada Allah sebagaimana tercantum dalam Al-
Qur‟an, (2) taat kepada Rasulullah sebagaimana terdapat dalam sunnahnya yang
sahih, (3) taat kepada pemegang kekuasaan, selagi mereka bagian dari kaum muslim
dan selama perintahnya tidak bertentangan dengan Allah Dan Rasul-Nya, (4)
mengembalikan kepada Allah (Al-Qur‟an) dan Rasul-Nya (sunnah), jika terjadi
perselisihan.
Kedua, Islam mengatur akan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara adalah tempat dimana suatu
bangsa tinggal dan hidup sehingga tentram tidaknya dan nyaman tidaknya sangat
tergantung dari kondisi persatuan dan kesatuan. Negara yang persatuan dan
kesatuannya kuat akan cenderung dalam kondisi yang aman dan tentram, oleh karena
itu dalam Islam persatuan dan kesatuan menjadi hal yang sangat penting bagi
kehidupan manusia. Pada ayat di atas telah dijelaskan bahwa perbedaan itu
merupakan kodrat Allah dan tidak ada satu orang pun yang mampu untuk menghapus
dan menghilangkan perbedaan tersebut.Perbedaan menjadikan seseorang berlomba-
lomba untuk menjadi yang terbaik (muttaqin) bukan menjadikan rusak dan runtuhnya
persatuan dan kesatuan. Al-Qur‟an menjelaskan tentang pentingnya persatuan dan
kesatuan sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 103:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan


janganlah bercerai berai”
Ayat di atas memberikan penjelasan kepada kita untuk senantiasa berpegang
teguh kepada ajaran-ajaran Allah (Islam) yang menjadi pijakan utama dalam
menjalani kehidupan di dunia dan Allah memerintahkan kita untuk memperkuat
persatuan dan kesatuan dan menghindarkan dari segala perpecahan yang sangat
berdampak bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Ketiga, Islam memerintahkan kepada orang beriman untuk membela tanah air.
Tanah air yang menjadi tempat hidup dan mencari penghidupan harus dibela bahkan
membela tanah air merupakan bagian daripada iman atau dengan kata lain membela
tanah air adalah bagian dari konsekuensi keimanan seseorang. Nabi Muhammad Saw
telah memberikan teladan kepada kita dalam mencintai tanah air. Beliau sangat cinta
terhadap dua kota, yakni Mekkah dan Madinah. Mekkah adalah tempat beliau lahir
dan Madinah adalah tempat dimana beliau ketika pertama kali hijrah diterima oleh
masyarakat Madinah dan tempat dimana Rasulullah membangun peradaban. Al-
Qur‟an memberikan petunjuk tentang pentingnya mencintai tanah air sebagaimana
yang tercantum dalam Al-Qur‟an surat Al-Qashshash ayat 85:

“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukumhukum) Al-


Qur‟an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempatkembali. Katakanlah:
“Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam
kesesatan yang nyata.”
Ibnu „Abbas menyatakan bahwa ayat di atas turun di Juhfah dekat Mekkah
dalam perjalanan Nabi menuju ke Madinah.Ketika itu beliau dalam bahaya.Hati dan
pandangan beliau tertuju ke negeri yang dicintainya dan yang terasa bagi beliau
sangat berat untuk ditinggalkan, seandainya bukan karena dakwah Islam lebih penting
dan mulia bagi beliau dari negeri dan tumpah darahnya. Dalam artian beliau sangat
mencintai kota Mekkah namun karena perintah Allah dan dakwah Islam maka beliau
harus meninggalkan kota yang sangat dicintainya. Dengan demikian, cinta tanah air
adalah telah dicontohkan oleh Rasulullah sendiri.
Keempat, memecahkan persoalan umat dengan jalan musyawarah.Asal kata
musyawarah yang sudah menjadi Bahasa Indonesia tersebut adalah asywara yang
berarti menampakkan sesuatu atau mengeluarkan madu dari sarang lebah.
Musyawarah berarti menampakkan sesuatu yang semula tersimpan atau mengeluarkan
pendapat (yang baik) kepada pihak lain. Orang yang bermusyawarah laksana orang
yang minum madu.5 Musyawarah dalam konteks kehidupan sosial sangat penting
terutama dalam rangka mencari solusi atas berbagai permasalahan karena dengan
musyawarah maka akan ditemukan berbagai pandangan atau pendapat dari hasil kerja
keras akal sehingga bisa menjadi alternative bagi berbagai persoalan. Dalam Islam,
setiap persoalan yang terkait dengan orang lain harus diselesaikan dengan jalan
musyawarah karena dengan jalan ini akan adanya keterbukaan dan kerelaan.
Sebaliknya jika persoalan diselesaikan dengan sepihak sudah dipastikan akan terjadi
keterpaksaan yang pada akhirnya bukan solusi yang didapatkan akan tetapi justru
masalah baru. Oleh karena itu, Islam menempatkan musyawarah sebagai cara yang
paling penting untuk menyelesaikan persoalan salah satunya yang terdapat dalam Al-
Qur‟an surat Ali Imran ayat 153:

“(Ingatlah) ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada seseorangpun, sedang
Rasul yang berada di antara kawan-kawanmu yang lain memanggil kamu, karena itu
Allah menimpakan atas kamu kesedihan atas kesedihan, supaya kamu jangan
bersedih hati terhadap apa yang luput dari pada kamu dan terhadap apa yang
menimpa kamu. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

5 Achmad Haris, Zubair. Kuliah Etika. (Jakarta: Rajawali Press, 2012). h. 217
Ayat yang menjadi pembahasan ini turun setelah peristiwa Uhud.Sebelum
perang dilakukan Nabi mengajak para sahabatnya untuk bermusyawarah tentang
bagaimana menghadapi musuh. Pada musyawarah tersebut, Nabi mengikuti pendapat
mayoritas sahabat, meskipun hasilnya sungguh sangat menyedihkan yang berakhir
dengan kakalahan kaum muslim. Saat berakhir itulah Nabi memutuskan untuk
menghapuskan musyawarah.Namun dengan turunnya ayat ini, Allah berpesan kepada
Nabi bahwa tradisi musyawarah (yang luhur tersebut) tetap harus dipertahankan dan
dilanjutkan meski terbukti hasil keputusannya (kadang) keliru). Ayat di atas juga
menjelaskan bahwa lapangan (obyek) musyawarah adalah segala masalah yang belum
terdapat petunjuk agama secara jelas dan pasti sekaligus berkaitan dengan kehidupan
duniawi.Sedangkan orang-orang yang bisa dan layak diajak bermusyawarah
sebagaimana dalam hadits Nabi ketika berpesan kepada Ali adalah orang yang tidak
berperedikat penakut, kikir dan berambisi.6
D. Etika Seorang Muslim Dalam Berbangsa dan Bernegara
Dalam kondisi apapun, Allah Swt memerintahkan kepada umat Islam untuk
senantiasa berakhlak yang baik, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.Namun, sebelum menjelaskan tentang etika atau lebih khusus lagi akhlak
dalam bernegara alangkah baiknya dijelaskan tentang beberapa hak dan kewajiban
seorang warga negara dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hak
warga negara dapat diartikan sebagai sesuatu yang dapat dimiliki oleh setiap warga
negara dari negaranya yang diatur oleh undang-undang sedangkan kewajiban warga
negara adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh setiap warga negara terhadap
negaranya.
Adapun hak-hak sebagai warga negara tercantum dalam UUD 1945
diantaranya adalah hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak (Pasal 27 Ayat 2),
hak untuk ikut serta dalam membela negara (Pasal 27 Ayat 3), hak untuk berpendapat
(Pasal 28), hak untuk mendapatkan kebebasan beragama (Pasal 29), hak dalam
pertahanan dan keamanan (Pasal 30 Ayat 1), hak untuk mendapatkan pengajaran
(Pasal 31 Ayat 1), hak untuk mengembangkan dan memajukan kebudayaan (Pasal 32
Ayat 1), hak untuk mendapatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial (Pasal 33), dan
hak bagi fakir miskin dan orang-orang terlantar untuk mendapatkan perhatian dari
negara. Sedangkan kewajiban warga negara terhadap negaranya adalah menjunjung
tinggi hukum dan pemerintahan tanpa kecuali (Pasal 27 Ayat 1), kewajiban membela
6 Moch, Saragih, Kusnardi, Bintan D, Ilmu Negara (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2015). h. 142
negara (Pasal 27 Ayat 3), dan ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara
(Pasal 30 Ayat 1). Dengan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa adanya
hubungan timbal balik antara negara dan warga negaranya, oleh karena itu sudah
sepatutnya sebagai seorang muslim untuk menjalankan segala kewajiban-kewajiban
kita sebagai warga negara.
Secara garis besar, setidaknya ada tiga etika seorang muslim dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, yaitu menegakkan keadilan dan kebenaran, menegakkan
nilai-nilai kemanusiaan, dan mewujudkan kemaslahatan umat.
Pertama, menegakkan keadilan dan kebenaran. Dalam kehidupan, kebenaran
dan keadilan adalah sesuatu yang paling dicari oleh setiap manusia bahkan kehidupan
manusia itu sendiri disebut sebagai proses dalam mencari keadilan dan kebenaran.
Islam adalah agama yang akan selalu berpihak kepada keadilan dan kebenaran bahkan
menegakkan keadilan dan kebenaran adalah kewajiban bagi setiap muslim kapan saja
dan dimana saja. Karena saking pentingnya keadilan dalam kehidupan manusia, Allah
Swt memerintahkan kepada orang-orang beriman agar selalu menegakkan keadilan
dan kebenaran.
Kedua, menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Secara genealogis, manusia
diciptakan oleh Allah Swt dari jenis yang sama, dari nenek moyang yang sama dan
dari bahan yang sama. Persamaan inilah yang menjadi dasar pentingnya menegakkan
nilai-nilai kemanusiaan. Penegakkan nilai-nilai kemanusiaan dalam Islam menjadi
tujuan diturunkannya syariat (maqashidus syari‟ah) yang mencakup lima hal, yaitu
hak beragama (hifdhzud din), hak hidup (hifdhzun nafs), hak intelektual (hifdhzul
„aql), hak kekayaan (hifdhzul maal), dan hak keturunan (hifdhzun nasl). Secara
sosiologis, ajaran Islam akan mengerucut pada lima hal tersebut karena lima hal
tersebut merupakan sesuatu yang sangat primer dan utama dalam kehidupan manusia.
Dengan demikian, seorang muslim berkewajiban menegakkan pentingnya
nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara apabila ini
terwujud maka cita-cita menjadi negara yang baldatun thayyibatun warabbun ghafur
akan tercapai.
Ketiga, mewujudkan kemaslahatan umat.Inti daripada syariat Islam adalah
terwujudnya kemaslahatan umat. Kemaslahatan ini bisa bersifat materil maupun non
materil, baik untuk dirinya dan juga untuk orang lain. Kemaslahatan adalah sesuatu
yang bersifat universal, berlaku dimana saja dan kapan sehingga harus diperjuangkan
oleh setiap manusia.Dalam berbangsa dan bernegara, kebijakan atau keputusan
hukum harus mengacu kepada terwujudnya kemaslahatan umat bahkan dalam kaidah
fikih dikatakan bahwa kebijakan seorang pemimpin harus dikaitkan dengan
kemaslahatan. Dengan demikian, peran serta seorang muslim dalam politik secara
umum dan kebijakan secara khusus adalah ikut serta mendorong terwujudnya
kemaslahatan umat.
E. Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Indonesia dalam
Perspektif Islam Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
terdapat empat pilar yang menjadi pondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.Namun pertanyaannya
apakah keempat pilar tersebut sejalan dengan ajaran-ajaran Islam?Untuk menjawab
pertanyaan tersebut maka alangkah baiknya kita pahami satu persatu dari komponen
keempat pilar tersebut.
Pertama, Pancasila. Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia
yang dimana nilai-nilai yang terdapat di dalamnya diambil dari karakter dan
pandangan hidup dari bangsa Indonesia itu sendiri. Terdapat lima sila dalam
Pancasila, yaitu (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan
beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, dan (5) Keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia. Jika ditelusuri dan dipahami dengan seksama satu persatu maka
nilai-nilai Pancasila tidak ada yang bertentang dengan ajaran-ajaran Islam atau bahkan
sejalan dengan ajaran-ajaran Islam. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa
merupakan esensi daripada ajaran akidah yang menjadi ajaran pokok dan utama.Sila
kedua kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan perintah Allah bahwa tegaknya
keadilan dan manusia beradab merupakan perintah Allah.Sila ketiga persatuan
Indonesia, Islam memerintahkan kepada umat Islam untuk mempererat silaturahmi
dan Islam sangat mengecam perpecahan. Sila keempat kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, sila ini
mengisyaratkan bahwa proses penentuan kebijakan harus melalui musyawarah dan
musyawarah ini merupakan ajaran daripada Al-Qur‟an. Dan kelima keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia, sila ini menunjukkan bahwa keadilan sosial merupakan
tujuan daripada terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Islam,
tegaknya keadilan dan kebenaran merupakan kewajiban setiap orang khususnya
seorang muslim.
Kedua, Undang-undang Dasar 1945. Undang-undang dasar adalah hukum
dasar (basic law) yang menjadi dasar pijakan bagi kehidupan bangsa
Indonesia.Undang-undang ini mengatur tentang bentuk, sistem pemerintahan,
pembagian kekuasaan, wewenang badanbadan pemerintahan, hak dan kewajiban
warga negara, dan lain sebagainya. Dalam Islam, Al-Qur‟an dan as-Sunnah
merupakan pijakan utama, selama UUD 1945 tidak bertentangan dengan ajaran Islam
maka tentu tidak menjadi masalah bahkan sebaliknya jika sesuai dengan ajaran Islam
maka harus diterima dan dilaksanakan oleh setiap muslim.
Ketiga, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia adalah negara
kepulauan yang terdiri dari beraneka ragam suku, bangsa, bahasa, agama, adat,
budaya dan sebagainya yang disatukan oleh kesadaran bersama sehingga disebut
sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perbedaan dalam kehidupan manusia
merupakan kodrat Allah yang tidak bisa dirubah-rubah bahkan adanya
keanekaragaman ini menjadikan Indonesia sebagai negeri yang kaya. Dalam Islam,
keanekaragaman tersebut bertujuan agar terjadinya saling mengenal dan bekerjasama
dan keanekaragaman juga sebagai cara Allah untuk menguji siapa yang paling takwa
kepada Allah. Adanya perbedaan dalam bingkai persatuan merupakan semangat yang
ingin dicapai oleh ajaran Islam karena Islam sangat mengutamakan pentinya
persatuan dan kesatuan.
Keempat, Bhineka Tunggal Ika. Bhineka Tunggal Ika atau yang sering kita
terjemahkan sebagai berbeda tetapi tetp satu jua merupakan semboyan bangsa
Indonesia untuk mempersatukan segala perbedaan yang ada dalam bangsa Indonesia
seperti suku, bahasa, agama, adat, budaya dan sebagainya. Bhineka Tunggal Ika jika
ditelusuri dalam ajaran Islam merupakan pengejawantahan daripada surat Al-Hujurat
ayat 13. Dimana perbedaan bukanlah menjadi penghalang bagi seseorang untuk
mendapatkan tempat yang mulia di sisi Allahakan tetapi ketakwaan kepada-Nya
merupakan kunci untuk mendapatkan tempat yang mulia tersebut.
F. Kesimpulan
Sebagai agama universal, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia
baik aspek mikro maupun makro termasuk dalam hal ini adalah terkait tentang
kehidupan berbangsa dan bernegara.Ajaran Islam menekankan pentingnya etika atau
akhlak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar terwujudnya kehidupan yang
damai, tenteram dan sentosa.Etika atau akhlak berbangsa dan bernegara dalam Islam
dapat diwujudkan dengan menegakkan keadilan dan kebenaran, menegakkan nilai-
nilai kemanusiaan, dan mewujudkan kemaslahatan umat.
Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, terdapat empat pilar
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan
Bhineka Tunggal Ika.Empat pilar tersebut jika ditelusuri dan dipahami secara
mendalam maka tidak ada yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam sehingga
perlu didukung dan diimplementasikan oleh seluruh warga negara Indonesia. Jikapun
di dalamnya terdapat kekurangan, kelemahan atau kekeliruan maka bisa direvisi
sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Daftar Pustaka

Abdul Ghofur, Waryono. Tafsir Sosial. (Yogyakarta: ElSaQ, 2005).


Bagus, Loren. Kamus Filsafat. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2009).
Isjwara, F. Pengantar Ilmu Politik (Bandung : Bina Cipta, 2011)
Kusnardi, Moch, Saragih, Bintan D, Ilmu Negara (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2015)
(Nata, Abudin. Akhlak tasawuf dan Karakter Mulia. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2012).
Nur, Aminudin, Pengantar Studi Sejarah Pergerakan Nasional (Jakarta:Pembimbing
Massa, 2008)
Shihab, M. Quraish. Tafsil Al-Misbah. (Jakarta: Lentera Hati, 2002).
Zubair, Achmad Haris. Kuliah Etika. (Jakarta: Rajawali Press, 2009).

You might also like