Aliusman, Journal Manager, Titis 6

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

ISSN 1141-1951 (p) 2548-4745 http://ejournal.uin-suka.ac.

id/ushuluddin/ref/
Refleksi: Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam, Vol. 22 No. 1 (Januari 2022), hlm 121-136
https://doi.org/10.14421/ref.2022.2201-06
Submitted: 01-26-2022 Revised: 02-23-2022 Accepted:03-23-2022

Menggali Narasi, Melestarikan Tradisi: Warisan


KonsepWater Preservation pada Makam Sunan Muria

1Titis Thoriquttyas, 2Nurul Ahsin


1Universitas Negeri Malang, 2IAIN Kediri
[email protected], [email protected]

Abstract
This study examines the legacy of Sunan Muria's thoughts on conserving
water sourced from the sign and symbol around the graves The existence
of water plays an important role in the religious studies. Islam,
Christianity, Judaism, Hinduism and Buddhism use water as an important
component in every religious ritual. Therefore, one of the contemporary
issues in Islamic studies that has attracted the attention of scholars is water
conservation. Based on initial observations, researchers found a water jar
that is sacred by the local community. Social, religious, and cultural
narratives about sacred concepts are the main points of this research. In
addition, based on extensive field research, various interviews and
literature studies on related topics, the researcher explores the complexity
of the heritage of water conservation thought in Sunan Muria's perspective
through the identification of signs and symbols on their tombs from the
concepts of eco-theology; bi'ah al-hudry.
Keyword: water preservation, bi’ah al-budry, eco-theology

Refleksi: Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam is licensed under a Creative Commons Attribution-Non Commercial-Share Alike 4.0
International License. http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/
Menggali Narasi, Melestarikan Tradisi: Warisan Konsep W ater P reservation… .

Abstrak

Penelitian ini berfokus pada penggalian pemikiran Sunan Muria terkait


pelestarian air dengan mengidentifikasi simbol (symbol ) dan tanda-tanda
(sign ) dari area pesarean . Keberadaan air memegang peranan penting dalam
bahasan pemikiran agama. Islam, Kristen, Yahudi, Hindu dan Budha
menggunakan air sebagai salah satu komponen penting dalam setiap ritual
keagamaan. Oleh karena itu, salah satu isu kontemporer dalam kajian Islam
yang menarik perhatian para ulama adalah pelestarian air. Berdasarkan
observasi awal, peneliti menemukan tempat air yang disakralkan (sacred )
oleh masyarakat setempat. Narasi sosial, agama, dan budaya tentang konsep
sacred menjadi poin utama penelitian ini. Selain itu, berdasarkan penelitian
lapangan yang ekstensif, berbagai wawancara dan studi literatur tentang
topik terkait, peneliti mengeksplorasi kompleksitas warisan pemikiran
pelestarian air dalam perspektif Sunan Muria melalui identifikasi tanda dan
simbol di makam mereka dari konsep eco-theology dan bi’ah al-hudry
Kata Kunci: pelestarian air, walisongo, teologi lingkungan

A. Pendahuluan

Diskursus perihal eksistensi air merupakan topik aktual yang dapat


dikaji melalui berbagai disiplin keilmuan. Dalam pemikiran agama-
agama, air tidak hanya sebagai barang yang nampak (visible things)
namun juga sebagai wahana untuk memulai peribadatan. Baik agama
Islam, Kristen, Katholik dan agama-agama lainnya, memiliki dokrin
agama yang menempatkan air sebagai piranti yang menyimbolkan
proses pensucian dan pemurnian diri. Bahkan dalam sejarahnya,
walisongo sebagai pioneer penyebar agama Islam di tanah Jawa juga
memainkan peranannya dalam mewariskan konsep dan gagasan terkait
eksistensi air.

Bila mengacu pada aspek kesejarahan, pola komunikasi walisongo


lebih menekankan pada akomodasi budaya-budaya lokal sehingga
proses dakwah bisa tercapai dengan soft approach. 1 Metode penyebaran

1Syamsul Bakhri and Ahmad Hidayatullah, “Desakralisasi Simbol Politheisme Dalam


Silsilah Wayang: Sebuah Kajian Living Qur’an Dan Dakwah Walisongo Di Jawa,” SANGKéP:
Jurnal Kajian Sosial Keagamaan 2, no. 1 (2019): 13–30; Failasuf Fadli, “Media Kreatif

122 Vol. 22 No. 1, Januari 2022


Titis Thoriquttyas & Nurul Ahsin

Islam dan nilai-nilainya tidak hanya dilakukan dengan cara sufistik,


namun juga dengan pendekatan politik, kesehatan dan kultural.
Pembauran walisongo dalam masyarakat tidak hanya dipandang sebagai
pendekatan yang optimal dan efisien dalam merangkul berbagai
segmentasi masyarakat. 2

Pesan-pesan moral yang disampaikan Walisongo tidak terlepas dari


nilai-nilai universal, yaitu toleransi, akulturasi dan multikulturalisme.
Pesan tersebut disampaikan dan diwariskan melalui berbagai
instrument, misalnya seni budaya, seni arsitektur dan beberapa hal
lainnya 3, baik bersifat instrinsik dan ekstrinsik. Secara instrinsik, pesan
dan warisan pemikiran Walisongo bisa ditelusuri melalui warisan-
warisan pemikiran dalam bidang Fikih, Tasawuf dan sebagainya, namun
secara ekstrinsik, pesan dan warisan pemikiran Walisongo tidak hanya
hanya berorientasi pada Islamic Studies, namun juga meluas pada bidang
keilmuan lainnya. 4 Salah satunya dalam bidang konservasi lingkungan,
dimana dapat ditemui hampir semua di area makam Sunan terdapat air
yang disakralkan. Eksistensi air tersebut secara langsung maupun tidak
langsung menggugah kesadaran kita bahwa ada hal yang harus diulas dan
dibahas secara komprehensif terkait warisan pemikiran tersebut.

Ulasan pemikiran walisongo terkait pelestarian air juga merupakan


bentuk imajinasi kreatif (creative imagination). Hal ini muncul
dilatarbelakangi temuan bahwa hampir penelitian terdahulu (prior
research on the topic) terkait walisongo berfokus pada dimensi sufisme,
teologi, fikih, komunikasi (dakwah) dan pendidikan (tarbiyah). Selain
itu kreatifitas Walisongo dalam mengemas konten dan metode dakwah
perlu dikaji ulang, dengan mempertimbangkan masih banyaknya ruang
kajian ilmiah untuk menelusuri pemikiran-pemikiran walisongo. 5
Menurut hemat peneliti, kreatifitas walisongo terkait warisan pemikiran
dalam pelestarian lingkungan dan air, tampak dalam keberadaan

Walisongo Dalam Menyemai Sikap Toleransi Antar Umat Beragama Di Jawa,” Al-
Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam 10, no. 2 (2019): 287–302.
2Pierre Fournié, “Rediscovering the Walisongo, Indonesia: A Potential New Destination

for International Pilgrimage.,” International Journal of Religious Tourism and Pilgrimage 7,


no. 4 (2019): 77–86.
3S. Ag Hatmansyah, “Strategi Dan Metode Dakwah Walisongo,” Al-Hiwar: Jurnal Ilmu

Dan Teknik Dakwah 3, no. 5 (2017); Abdurrohman Kasdi, “The Role of Walisongo in
Developing the Islam Nusantara Civilization,” Addin 11, no. 1 (2017): 1–26.
4Fournié, “Rediscovering the Walisongo, Indonesia.”
5Damar Safera and Muhammad Chairul Huda, “TRadisi Suroan Sebagai Tapak Tilas

Walisongo (Studi Di Desa Jatirejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang),” Al-Mada:


Jurnal Agama, Sosial, Dan Budaya 3, no. 1 (2020): 66–79.

Vol. 22 No. 1, Januari 2022 123


Menggali Narasi, Melestarikan Tradisi: Warisan Konsep W ater P reservation… .

gentong air sakral. Dengan adanya sakralitas air tersebut, seharusnya


masyarakat sekitar beserta penziarah memiliki kesadaran tinggi terkait
keberadaan dan ketersediaan air di masa depan. Salah satunya adalah
Sunan Muria yang lokasi makamnya menjadi lokus penelitian ini.

Adanya kesamaan terkait wujud sumber mata air yang disakralkan di


makam walisongo, khususnya di makam Sunan Muria, maka penelitian
ini mempunyai dua rumusan masalah utama, yaitu 1). bagaimana warisan
pemikiran Sunan Muria dalam pelestarian air?; 2). bagaimana
interpretasi atas warisan tradisi bagi pengunjung, pengelola dan
masyarakat di sekitar makam sunan Muria?

Dalam mengurai temuan dan pembahasannya, penelitian ini


memiliki landasan normatif dan implementatif terkait narasi dan tradisi
pelestarian air yang bersumber dari warisan pemikiran walisongo.
Untuk memberikan landasan normative, penelitian ini dimulai dengan
pembahasan tentang etika Islam dalam pelestarian air yang berasal dari
al Quran dan Hadits, kemudian konsep eko-teologi dalam tinjauan
filosof muslim. Selanjutnya, landasan implementatif membahas temuan
di makam Sunan Muria dan tanda-tanda (the signs) dalam pelestarian air
dengan mengambil fokus pada tinjuan sakralitas dan profanitas (sacred
and profane) dan kearifan lokal (local wisdom) serta interpretasi atas
tradisi lisan (oral tradition) pengunjung, pengelola dan masyarakat
sekitar.

Penelitian ini dilakukan sebelum pandemi covid-19, yaitu pada bulan


Agustus sampai Oktober 2019. Responden dalam penelitian ini
mencakup penziarah, pengelola makam dan beberapa masyarakat
sekitar makam Sunan Muria. Pengumpulan data menggunakan metode
wawancara terstruktur dan wawancara bebas berbasis rincian
pertanyaan bersumber dari rumusan masalah. Data-data tersebut
dikategorisasikan berdasarkan rancangan penelitian terkait penggalian
warisan pemikiran Sunan Muria dalam upaya pelestarian air, setelah itu
proses reduksi data dilakukan peneliti untuk lebih memfokuskan data-
data temuan lapangan tersebut. Penelitian ini dimulai dari persiapan,
studi pendahuluan, penelitian lapangan, pengolahan dan analisis data,
serta penyusunan laporan.

124 Vol. 22 No. 1, Januari 2022


Titis Thoriquttyas & Nurul Ahsin

Informasi dari juru kunci makam, pengelola kawasan makam dan


beberapa peziarah menjadi informan kunci dalam penggalian data
primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data yaitu observasi,
dokumentasi, dan wawancara. Data yang telah terkumpul selanjutnya
dianalisis menggunakan analisis deskriptif kualitatif kemudian
diinterpretasikan dengan triangulasi teori

Data-data hasil reduksi, kemudian dianalisis dengan kajian sakral dan


profan dalam studi agama-agama sesuai pemikiran Emile Durkheim dan
Eliade. Pemilihan kedua tokoh tersebut dilatarbelakangi konsen yang
mendalam tentang sakralitas dan profan dalam studi agama-agama dan
masih relevan sesuai perkembangan zaman. Meskipun dalam beberapa
aspek, pemikiran kedua tokoh tersebut bertolakbelakang, namun
peneliti menarik garis tengah diantara perbedaan-perbedaan tersebut
untuk lebih memperkaya bahasan dalam penelitian ini.

B. Etika Islam dan Fikih dan Konservasi Air

Etika Islam dalam pelestarian air dapat ditelusuri dalam al Quran dan
Hadits. Penelitian terdahulu (prior research in the topic) tentang konsep
air dan bentuk-bentuk pelestariannya sesuai al Quran dan hadits sudah
banyak dibahas dalam berbagai literatur, dan penelitian ini menegaskan
ulang konsep-konsep tersebut dalam uraian bahasan yang lebih spesifik
dan terstruktur.
Penelitian ini menawarkan sisi alternatif dalam mengeksplorasi
warisan pelestarian air dan lingkungan dari perspektif Walisongo. Kajian
ini mencoba menangkap gap penelitian dengan penelitian sebelumnya
dengan memfokuskan pada konsep fiqh bi'ah yang muncul dengan
penanda dari makam Walisongo.
Selanjutnya perlu dirumuskan pendekatan alternatif dalam
penanganan konservasi air dalam pandangan Islam, yaitu pendekatan
etnoekologi. 6Pendekatan ini diharapkan mampu memperluas cakrawala
pemahaman masyarakat (setempat) dalam menyadari pentingnya
menjaga dan memelihara lingkungan hidup berlandaskan nilai-nilai
agama.
Namun harus di sadari pula bahwa pada perkembangan awal dalam
fikih Islam sebenarnya sudah mulai memperkenalkan konsep air dan
lingkungan melalui pokok bahasan tentang fikih lingkungan, misalnya

6Richard C. Foltz, “Iran’s Water Crisis: Cultural, Political, and Ethical Dimensions,”
Journal of Agricultural and Environmental Ethics 15, no. 4 (2002): 357–80.

Vol. 22 No. 1, Januari 2022 125


Menggali Narasi, Melestarikan Tradisi: Warisan Konsep W ater P reservation… .

konsep ihya’ al-mawat (pembukaan lahan tidur), iqta’ (privatisasi


tambang), hima (Kawasan hutan lindung, 7anjuran penanaman pohon dan
beberapa hadits yang secara eksplisit maupun implisit membahas tentang
lingkungan.
Terdapat perbedaan mendasar antara fikih klasik dan fikih
kontemporer dalam memandang eksistensi air (konservasi dan
restorasi), yaitu dalam kitab-kitab fikih klasik, pembahasan air yang
berorientasi pada lingkup dan instrumentasi dalam bersuci (thaharah)
dengan sedikit memberikan ulasan tentang konservasi air maupun
lingkungan. Berbeda halnya dalam fikih kontemporer yang sudah mulai
memperluas bahasan dan lingkup diskusi tentang eksistensi air diluar
thaharah.
Urgensi perlindungan lingkungan dengan melibatkan interdisiplin
keilmuan, yaitu aspek teologis dan hukum Islam telah dielaborasikan
secara mendalam oleh Abu Hanifah. Hanifah dalam magnum opus-nya,
al-Fiqh al Akbar menjelaskan bahwa tujuan utama pemberlakuan syariah
dengan penekanan pada dimensi kearifan dan keadilan bagi seluruh
makhluk (salah satunya alam), bermula dan berakhir pada kesadaran
dalam perlindungan lingkungan. 8 Pendekatan secara fikih (ahkam) tidak
hanya digunakan dalam memberikan justifikasi pada perlindungan alam,
namun juga secara etika syariah mendorong adanya kesadaran dan aksi
nyata dalam perlindungan alam.
Perlu diakui bahwa banyak akademisi Muslim maupun Barat yang
menaruh perhatian dalam diskursus terkait pelestarian alam melalui
studi agama-agama. Dari kalangan akademisi barat, Gardner dalam
Invoking the Spirit: Religon and Spirituality in the Quest for A
Sustainablemengajak masyarakat untuk berkolaborasi dengan para tokoh
agama apapun yang memiliki pengaruh besar di masyarakat dalam upaya-
upaya perlindungan alam. Gardner memandang bahwa keterlibatan
tokoh agama sebagai sebuah keharusan setidaknya dilatarbelakangi oleh
argumentasi bahwa agama merupakan modal dan aset yang berguna

7Jamaluddin Jamaluddin, “Fiqh Al-Bi’ah Ramah Lingkungan; Konsep Thaharah Dan


Nadhafah Dalam Membangun Budaya Bersih,” Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman 29, no.
2 (2018): 324–45.
8Thich Nhat Hanh et al., Spiritual Ecology: The Cry of the Earth (The Golden Sufi Center,

2013); Jeffrey S. Lamp, “Ecotheology: A People of the Spirit for Earth,” in The Routledge
Handbook of Pentecostal Theology (Routledge, 2020), 357–66.

126 Vol. 22 No. 1, Januari 2022


Titis Thoriquttyas & Nurul Ahsin

dalam melestarikan lingkungan dan membangun dunia yang


berkelanjutan secara sosial dan ekologis. 9
Secara lebih lanjut, dengan meninjau gagasan Gardner menunjukkan
bahwa peranan agama dan penafsir agama (kyai, ustadz dan tokoh
keagamaan lainnya) memiliki porsi yang besar dalam mewujudkan
pelestarian air. Tidak hanya sebagai cultural broker, namun tokoh agama
juga dipandang mampu memainkan kharisma dan otoritas keagamaan
sebagai alat dan instrument dalam menggugah kesadaran akan urgensitas
air dan pelestariannya. Oleh karena itu, tokoh agama dan agama itu
sendiri perlu memformulasikan dan mengimplementasikan gagasan
pelestarian air bagi pemeluk agama masing-masing.
Menengok lebih mundur, dalam buku Ri'ayatul Bi'ah fi Syari'atil Islam
karya Yusuf Qardhawi mengemukakan bahwa fikih menaruh perhatian
yang besar dalam upaya perlindungan lingkungan. 10 Argumentasi tersebut
berasal dari temuan istilah khusus dalam fikih klasik yang berkaitan erat
dengan konteks lingkungan, misalnya thaharah (kebersihan), ihya al-
mawat (pemanfaatan tanah yang tidak terpakai), al musaqat dan al
muzara’ah (pemanfaatan kepemilikan tanah) dan regulasi kepemilikan
dan penggunaan air dan api (bahan bakar). Mengacu pada literatur
sejarah peradaban, konsep hima yaitu perlindungan suatu kawasan
dengan fokus konservasi dan pelestarian, sudah lumrah ditemukan dalam
lembaran-lembaran sejarah Islam. Penggunaan hima diwujudkan dalam
bentuk padang rumput luas yang dibatasi penggunaan bahkan ada
larangan untuk mengeksploitasinya dalam bentuk apapun.
Beberapa gambaran sejarah dan teoritis diatas semakin memperjelas
posisi dan urgensi pemikiran agama dalam upaya pelestarian air. Etika
Islam sangat jelas memaparkan bukti otentisitas keharusan dan
kebutuhan untuk menjaga lingkungan, sehingga akan berimplikasi pada
ketersediaan air yang memadai. Implikasi tidak langsung dari keharusan
seorang Muslim untuk mengenal dan menerapkan konsep thaharah,
dimana menggunakan instrument air, adalah perlunya aksi nyata, aktif
dan berkelanjutan dalam setiap usaha pelestarian air.

C. Air Gentong yang disakralkan: Sebuah Warisan


Pemikiran
Tim peneliti melakukan penyelidikan lebih lanjut mengenai asal
muasal mata air dalam gentong di kawasan Sunan Muria, Kudus, dan

9John Grim and Mary Evelyn Tucker, Ecology and Religion (Island Press, 2014).
10Maizer Said Nahdi and Aziz Ghufron, “Etika Lingkungan Dalam Perspektif Yusuf Al-
Qaradawy,” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 44, no. 1 (2006): 195–221.

Vol. 22 No. 1, Januari 2022 127


Menggali Narasi, Melestarikan Tradisi: Warisan Konsep W ater P reservation… .

penjaga makam menjawab bahwa mata air tersebut sudah ada sejak
Sunan Muria masih menjadi sumber air bagi masyarakat Kudus di masa
lalu. Sifat magis dari mata air tersebut berasal dari kharisma Sunan
Muria yang menjadikannya sebagai sumber penghidupan dan sarana
untuk bersuci.

Berdasarkan penjelasan para penjaga makam Sunan Muria,


pengunjung atau peziarah makam percaya bahwa gentong air di
kawasan Sunan tersebut memiliki kekuatan magis sehingga disakralkan
oleh masyarakat sekitar. Orang percaya bahwa dengan meminum dan
membasuh muka dengan air tong suci mampu menyembuhkan
beberapa penyakit dan mengabulkan permohonan atau doa. Sehingga,
banyak pengunjung yang membawa beberapa botol air untuk keluarga
di rumah masing-masing. Masyarakat percaya bahwa mata air memiliki
kemampuan untuk menyembuhkan berbagai penyakit.

Dalam konteks ini, rumusan terkait warisan pemikiran Sunan Muria


tentang fiqh lingkungan menjadi penting dalam rangka memberikan
pencerahan dan paradigma baru bahwa pemikirannya tidak hanya
berpusat pada masalah ibadah dan ritual saja, tetapi pembahasan
tentang lingkungan sebenarnya juga mencakup peraturan-peraturan
yang ada. sesuai dengan prinsip peribadatan dan prinsip agama terhadap
berbagai realitas kehidupan sosial yang berkembang di masyarakat.
Peninggalan pemikiran Walisongo terhadap lingkungan diharapkan
mampu memperkuat kearifan lokal dalam upaya pelestarian alam,
khususnya pelestarian air.

Durkheim dalam magnum opus-nya, the elementary forms of


religious life menyatakan bahwa agama terdiri dua domain yang
terpisah, yaitu hal yang sakral (sacred) dan duniawi (profane).
Masyarakat sebagai penganut sebuah agama telah mendefinisikan
konsep sakral dan duniawi sesuai latarbelakang sosial dan budaya. 11
Pemaknaan sakral mengacu pada hal-hal yang bersifat supranatural,

11Emile Durkheim, Emile Durkheim: Selected Writings (Cambridge University Press,


1972); Emile Durkheim, Emile Durkheim on Morality and Society (University of Chicago
Press, 1973); Alexander A. Goldenweiser, “Religion and Society: A Critique of Emile
Durkheim’s Theory of the Origin and Nature of Religion,” The Journal of Philosophy,
Psychology and Scientific Methods, 1917, 113–24; Acha Priliya Hafiza Kencana, “Agama
Perspektif Emile Durkheim” (PhD Thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2017).

128 Vol. 22 No. 1, Januari 2022


Titis Thoriquttyas & Nurul Ahsin

mistis dan beyond the logic, sedangkan makna profane mengacu pada
hal-hal yang berkaitan langsung dengan kehidupan biasa. Lebih
lanjutnya lagi, Durkheim berpendapat bahwa agama-agama secara
simbolis mewakili masyarakat itu sendiri.

Menurut hasil wawancara salah satu pengunjung makam sunan


Kudus, Arya [32 tahun], menyatakan bahwa keluarganya mempercayai
adanya kekuatan magis dalam air yang dikeramatkan pada gentong air
minum di area pesarean (makam). Arya berkeyakinan air tersebut
mampu menyembukan penyakit-penyakit yang tidak bisa diobati
melalui pengobatan medis. Lebih lanjutnya, ada salah satu anggota
keluarganya yang telah divonis secara medis mengindap sakit kanker
prostat, kemudian karena mengikuti saran kyai-nya untuk minum
secara rutin air di gentong.

Pengalaman keagamaan yang dialami Arya, juga dirasakan oleh


pengunjung makam Sunan Muria lainnya, yaitu Wisnu [49 tahun].
Wisnu sebagai pengunjung makam Sunan Muria yang berasal dari Jepara
menyatakan bahwa keyakinan terhadap sisi magis air suci di kawasan
makam Sunan Muria merupakan bentuk akumulasi dari bacaan-bacaan
dan mengaji al Quran yang dilakukan di area makam. Oleh karena itu,
Wisnu sejak lama berkeyakinan bahwa air dimakam Sunan Muria
memiliki dimensi magis dan sakral.

Elaborasi dan pengalaman keagamaan yang dialami Arya dan Wisnu


sebagai masyarakat sekitar dan pengunjung makam Sunan Muria, bila
dianalisis menggunakan teori sacred and profane Durkheim, maka air
yang berada di area makam merupakan air yang bersifat sacred. Air
tersebut bahkan menjadi simbol bagi masyarakat yang mempercayai
dimensi sakralitas air dan kemampuan air tersebut untuk
menyembuhkan berbagai penyakit ataupun menjadi solusi atas berbagai
permasalahan penziarah.

Selain itu, dengan mengutip pemikiran Nottingham bahwa, sesuatu


dapat dikatakan sakral bukan pada wujud dan bentuk tapi justru
berbagai sikap dan perasaan manusianya yang memperkuat kesakralan
benda - benda itu. 12 Dangan demikian kesakralan terwujud karena sikap
mental yang didukung oleh perasaan. Perasaan kagum terhadap
kesakralan air gentong di makam Sunan Muria menambah dimensi

12Muhammad Arkoun, “A Return to the Question of Humanism in Islamic,” Unpublished


Essay, n.d.

Vol. 22 No. 1, Januari 2022 129


Menggali Narasi, Melestarikan Tradisi: Warisan Konsep W ater P reservation… .

sakralitas air tersebut. Keyakinan atas kesakralan air gentong di


kawasan makam Sunan Muria merupakan hasil kristalisasi perasaan
keagamaan masyarakat dan pengunjung. Sikap mental dan munculnya
perasaan “takjub” atas khasiat air gentong tersebut semakin menjadikan
sakralitasnya meningkat.

Menurut Mircea Eliade, dalam buku The Sacred and the Profane ini,
Eliade mendeskripsikan dua macam perbedaan mendasar dari
pengalamanberagama: tradisional dan modern. Manusia tradisional atau
homoreligius selalu terbuka untuk memandang dunia sebagai
pengalamanyang sakral. 13 Sedangkan manusia modern tertutup bagi
pengalaman pengalaman semacam ini. Menurutnya, manusia modern
hanya dapat membangun dirinya secara utuh ketika ia
mendesakralisasikan dirinya dan dunia. Baginya, dunia hanya dialami
sebagai yang profan. Menurut Eliade, yang sakral diketahui oleh
manusia karena ia memanifestasikan dirinya secara berbeda dari dunia
profan. 14

Dengan meninjau pemikiran diatas, maka masyarakat disekitar


makam Sunan Muria dapat dikategorikan sebagai masyarakat yang
berkultur homoreligius, dimana mereka memiliki keterbukaan untuk
menerima sesuatu yang bersifat sakral dikehidupan mereka, salah
satunya dengan adanya konsep air yang disakralkan. Eksistensi air yang
awalnya bersifat profan namun bergeser kearah sakral membuktikan
bahwa adanya sikap keterbukaan masyarakat terkait hal-hal sakral.

Mircea Eliade, sebagai salah satu akademisi dalam bidang studi


agama-agama, melalui bukunya yang berjudul The Sacred and the
Profane: TheNature of Religion (1959) mengelaborasikan eksistensi dan
karakteristik hal sakral dan profan. Sifat yang supernatural, diluar
kebiasaan umum dan sulit ditinggalkan oleh masyarakat merupakan
karakter hal yang sakral. Sedangkan, sesuatu yang bersifat umum,

Adloff, “Durkheim, Mauss, and Shils: The Sacred of Civil Society,” in Religious
13Frank

Communities and Civil Society in Europe (De Gruyter Oldenbourg, 2020), 305–24; Gary R.
Butler, “Sacred and Profane Space: Ritual Interaction and Process in the Newfoundland
House Wake,” Material Culture Review, 1982.
14Klaus Oschema, “Sacred or Profane? Reflections on Love and Friendship in the Middle

Ages,” in Love, Friendship and Faith in Europe, 1300–1800 (Springer, 2005), 43–65; Stephan
Moebius, “Sociology of the Sacred,” in The Oxford Handbook of Émile Durkheim, 2020.

130 Vol. 22 No. 1, Januari 2022


Titis Thoriquttyas & Nurul Ahsin

keseharian merupakan karakter hal yang profan. Relasi sakral dan


profan tidak bersifat binary, namun bisa saling bergeser maupun
bertukar posisi, dalam artian hal yang pada awalnya bersifat profan bisa
bergeser kearah sakral ataupun sebaliknya. 15 Pada mulanya, air
merupakan benda profan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari
dengan berbagai peruntukan, namun air dapat bersifat sakral saat
masyarakat mempercayai kekuatan magis dan supernatural dalam air
tersebut. Air dalam pemahaman studi agama-agama memiliki dimensi
supernatural, misalnya dalam Islam, air berfungsi sebagai instrument
untuk bersuci dan dalam Hindu, air (dalam hal ini Sungai Gangga di
India contohnya) juga sebagai sarana peribadahan dan pensucian diri.
Pergeseran konstruksi “sakral” pada suatu ritual keagaman ataupun
paham keagamaan merupakan bukti bahwa terdapat proses dinamis dan
luwes dalam praktik keagamaan.

Tinjauan atas hal-hal sakral, sesuai pemikiran Eliade mengacu pada


sesuatu yang supernatural, ukhrawi, suci dan bersifat kekal. Sedangkan
dalam tinjauan Durkheim, sakralitas berkaitan erat dengan sifat sosial,
dan memiliki arti bagi masyarakat luas, sedangkan nilai profan adalah
sesuatu yang domestik dan bersifat partikular atau individual. 16

Ditinjau dari pemikiran eliade dan Durkheim, maka terdapat


setidaknya dua dimensi sakral yang dalam pemaknaan air di kawasan
makam sunan Muria, yaitu dimensi supernatural dan dimensi sosial.
Dimensi supernatural berkaitan dengan kepercayaan masyarakat sekitar
dan penziarah yang menganggap air tersebut magis dan mampu
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada. Rasa
penghormatan dan pengkultusan pada air yang awalnya bersifat profan
menjadi sakral, menandakan adanya dimensi supernatural air.
Pelanggengan secara magis dan pengakuannya berimplikasi logis dalam
kesadaran masyarakat pada pelestarian lingkungan. Hal ini merupakan
tanggungjawab masyarakat untuk menjaga lingkungan karena
konservasi alam sangat berpengaruh dalam menjaga kualitas dan
kuantitas air sakral tersebut. Terlepas dari dimensi sejarah, sosiologi
dan studi agama-agama, lingkungan memang sangat berkaitan erat
dengan ketersediaan air. Dalam dimensi sosial, pensakralan air menjadi

15Tiago Ribeiro Santos and Ione Ribeiro Valle, “Sacred and Profane in the Pedagogical
Thought of Emile Durkheim,” Educação e Pesquisa 45 (2019); Kenneth Thompson,
“Durkheim, Ideology and the Sacred,” Social Compass 40, no. 3 (1993): 451–61.
16Sorin Petrof, “Religious Broadcasting–Between Sacred and Profane toward a Ritualized

Mystification,” Journal for the Study of Religions and Ideologies 14, no. 40 (2015): 92–111.

Vol. 22 No. 1, Januari 2022 131


Menggali Narasi, Melestarikan Tradisi: Warisan Konsep W ater P reservation… .

salah satu identitas sosial kalangan muslim khususnya di Jawa yang


mempererat kohesi sosial. Dengan demikian, kedua dimensi tersebut
merepresentasikan sakralitas air yang mencakup dua hal, yaitu dimensi
sosial dan supernatural.

Sakralitas air makam Sunan Muria sering menjadi tumpuan dan


harapan bagi penziarah yang sedang menghadapi musibah dan
permasalahan hidup. Beberapa penziarah yang telah diwawancarai
menyampaikan bahwa saat dia menghadapi kesulitan dalam hidup
(rezeki kurang lancar, permasalahan keluarga dan kesulitan memiliki
keturunan), maka dia akan meminum air sakral tersebut sebagai
solusinya. Daya magis air tersebut dipercaya mampu menyembuhkan
penyakit, memperlancar rezeki, memudahkan perjodohan dan bahkan,
mensukseskan saat ujian sekolah ataupun masuk perguruan tinggi

Perbedaan perspektif Eliade dan Durkheim dalam memandang porsi


dan posisi sakralitas air memperkaya kajian penelitian ini. Durkheim
menyatakan bahwa sesuatu yang sakral berkaitan erat dengan simbol-
simbol yang mengarah pada larangan-larangan. 17 Larangan pencemaran
lingkungan dan air merupakan simbol dibalik sakralitas air gentong di
Kawasan makam Sunan Muria, selain itu juga larangan untuk
menyalahgunakan lingkungan sekitar makam.

Selain itu, berdasarkan hasil wawancara salah satu masyarakat sekitar


makam sunan kudus menyatakan bahwa terjadi pergeseran makna
ziarah wali yang bernuansa sakral kearah hal-hal materialistik (profan).
Makam sunan Muria tidak hanya sebagai ikon keagamaan, namun juga
mengandung makna dan fungsi sebagai ikon pariwisata. Hal ini tampak
pada simbol promosi pariwisata di kawasan makam sunan Muria
sehingga meningkatkan branding baik dilingkup lokal maupun
nasional. Munculnya kesadaran tersebut meningkatkan nilai
komodifikasi ziarah walisongo, khususnya di makam Sunan Muria,
sebagai asset potensi daerah. Namun, disisi lain hal yang harus disadari
oleh masyarakat sekitar dan pengunjung adalah keseimbangan ekologi
yang harus dijaga diperhatikan. Keseimbangan ekologi disini diartikan
sebagai pengelolaan dan penggunaan sumber daya alam, secara lebih

17Goldenweiser, “Religion and Society.”

132 Vol. 22 No. 1, Januari 2022


Titis Thoriquttyas & Nurul Ahsin

khusus adalah air, harus memperhitungkan keberlanjutan jangka


panjang (sustainability) dan efisiensi.

Oleh karena itu eksistensi sakralitas air, warisan pelestarian


lingkungan dan adanya nuansa profanitas (dalam hal ini pergeseran
kearah komersialisme dan pariwisata) menjadikan situs area makam
Sunan Muria di Kudus menjadi lokasi penelitian dalam bidang
pemikiran agama yang perlu dikaji. Terlebih lagi terkait warisan
pelestarian air dengan mengambil starting point gagasan Walisongo,
dalam hal ini adalah Sunan Muria, menjadikan distingsi khusus sehingga
memperkuat konstruksi kearifan lokal dalam upaya konservasi
lingkungan dan mata air.

D. Kesimpulan

Berdasarkan paparan dan pembahasan di atas, makna dan fungsi


pensakralan air gentong di makam Sunan Muria yang berkaitan dengan
upaya pelestarian air dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: religi, sosial
dan ekonomi. Makna dan fungsi religi berwujud kepercayaan kepada air
gentong sebagai simbol yang memiliki kekuatan supernatural (ghaib)
yang dipercaya mampu memberikan solusi atas permasalahan masing -
masing penziarah. Secara sosial, sakralitas air sebagai simbol yang
mengikat dan mempererat kesatuan masyarakat Muslim di Indonesia
untuk memenuhi harapan serta kebutuhan penziarah, sedangkan secara
ekonomi, pensakralan air sebagai simbol komodifikasi dan glorifikasi
air yang memberikan multiple effect bagi masyarakat sekitar melalui
sektor pariwisata.

Terlebih lagi dalam konteks kekinian seperti sekarang ini, membuat


makna dan fungsi tersebut mengalami penyesuaian-penyesuaian secara
dinamis. Seperti yang ditunjukan dalam dinamika kehidupan
masyarakat dikawasan makam Sunan Muria, makna religi dan sosial
tersebut terus disesuaikan dengan kebutuhan hidup warga
masyarakatnya. Makna dan fungsi religi bukan hanya sebatas
supernatural dan impersonal, tetapi juga melebar kepada fungsi
ekonomi, wisata, dan budaya. Begitu juga dengan makna dan fungsi
sosialnya. Pensakralan tersebut bukan hanya untuk ikatan
kebersamaanwarga masyarakat lokal Kudus, tetapi juga untuk penegas
identitas diri sebagai kalangan Muslim nasional, dan ikon pariwisata

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bentuk penelusuran


awal terkait gagasan ataupun warisan Sunan Muria terkait upaya

Vol. 22 No. 1, Januari 2022 133


Menggali Narasi, Melestarikan Tradisi: Warisan Konsep W ater P reservation… .

konservasi lingkungan. Penelitian-penelitian berikutnya diharapkan


mampu mengambil lingkup penelitian dengan melibatkan sampel
lokasi penelitian yang lebih luas, tentunya selain makam Sunan Muria,
sehingga akan memperkaya dan mempertajam ulasan dan bahasan
terkait

Daftar Pustaka

Adloff, Frank. “Durkheim, Mauss, and Shils: The Sacred of Civil Society.” In
Religious Communities and Civil Society in Europe , 305–24. De Gruyter
Oldenbourg, 2020.
Arkoun, Muhammad. “A Return to the Question of Humanism in Islamic.”
Unpublished Essay , n.d.
Bakhri, Syamsul, and Ahmad Hidayatullah. “Desakralisasi Simbol
Politheisme Dalam Silsilah Wayang: Sebuah Kajian Living Qur’an Dan
Dakwah Walisongo Di Jawa.” SANGKéP: Jurnal Kajian Sosial Keagamaan 2,
no. 1 (2019): 13–30.
Butler, Gary R. “Sacred and Profane Space: Ritual Interaction and Process
in the Newfoundland House Wake.” Material Culture Review , 1982.
Durkheim, Emile. Emile Durkheim on Morality and Society . University of
Chicago Press, 1973.
———. Emile Durkheim: Selected Writings . Cambridge University Press,
1972.
Fadli, Failasuf. “Media Kreatif Walisongo Dalam Menyemai Sikap Toleransi
Antar Umat Beragama Di Jawa.” Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam 10,
no. 2 (2019): 287–302.
Foltz, Richard C. “Iran’s Water Crisis: Cultural, Political, and Ethical
Dimensions.” Journal of Agricultural and Environmental Ethics 15, no. 4
(2002): 357–80.
Fournié, Pierre. “Rediscovering the Walisongo, Indonesia: A Potential New
Destination for International Pilgrimage.” International Journal of
Religious Tourism and Pilgrimage 7, no. 4 (2019): 77–86.

134 Vol. 22 No. 1, Januari 2022


Titis Thoriquttyas & Nurul Ahsin

Goldenweiser, Alexander A. “Religion and Society: A Critique of Emile


Durkheim’s Theory of the Origin and Nature of Religion.” The Journal of
Philosophy, Psychology and Scientific Methods, 1917, 113–24.
Grim, John, and Mary Evelyn Tucker. Ecology and Religion. Island Press,
2014.
Hanh, Thich Nhat, John Stanley, David Loy, Mary Evelyn Tucker, John
Grim, Wendell Berry, Winona LaDuke, Vandana Shiva, Susan Murphy, and
Satish Kumar. Spiritual Ecology: The Cry of the Earth. The Golden Sufi
Center, 2013.
Hatmansyah, S. Ag. “Strategi Dan Metode Dakwah Walisongo.” Al-Hiwar:
Jurnal Ilmu Dan Teknik Dakwah 3, no. 5 (2017).
Jamaluddin, Jamaluddin. “Fiqh Al-Bi’ah Ramah Lingkungan; Konsep
Thaharah Dan Nadhafah Dalam Membangun Budaya Bersih.” Tribakti:
Jurnal Pemikiran Keislaman 29, no. 2 (2018): 324–45.
Kasdi, Abdurrohman. “The Role of Walisongo in Developing the Islam
Nusantara Civilization.” Addin 11, no. 1 (2017): 1–26.
Kencana, Acha Priliya Hafiza. “Agama Perspektif Emile Durkheim.” PhD
Thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2017.
Lamp, Jeffrey S. “Ecotheology: A People of the Spirit for Earth.” In The
Routledge Handbook of Pentecostal Theology, 357–66. Routledge, 2020.
Moebius, Stephan. “Sociology of the Sacred.” In The Oxford Handbook of
Émile Durkheim, 2020.
Nahdi, Maizer Said, and Aziz Ghufron. “Etika Lingkungan Dalam Perspektif
Yusuf Al-Qaradawy.” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 44, no. 1 (2006):
195–221.
Oschema, Klaus. “Sacred or Profane? Reflections on Love and Friendship in
the Middle Ages.” In Love, Friendship and Faith in Europe, 1300–1800, 43–
65. Springer, 2005.
Petrof, Sorin. “Religious Broadcasting–Between Sacred and Profane toward
a Ritualized Mystification.” Journal for the Study of Religions and
Ideologies 14, no. 40 (2015): 92–111.
Safera, Damar, and Muhammad Chairul Huda. “TRadisi Suroan Sebagai
Tapak Tilas Walisongo (Studi Di Desa Jatirejo Kecamatan Suruh Kabupaten
Semarang).” Al-Mada: Jurnal Agama, Sosial, Dan Budaya 3, no. 1 (2020): 66–
79.

Vol. 22 No. 1, Januari 2022 135


Menggali Narasi, Melestarikan Tradisi: Warisan Konsep W ater P reservation… .

Santos, Tiago Ribeiro, and Ione Ribeiro Valle. “Sacred and Profane in the
Pedagogical Thought of Emile Durkheim.” Educação e Pesquisa 45 (2019).
Thompson, Kenneth. “Durkheim, Ideology and the Sacred.” Social Compass
40, no. 3 (1993): 451–61.

136 Vol. 22 No. 1, Januari 2022

You might also like