Aliusman, Journal Manager, Titis 6
Aliusman, Journal Manager, Titis 6
Aliusman, Journal Manager, Titis 6
id/ushuluddin/ref/
Refleksi: Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam, Vol. 22 No. 1 (Januari 2022), hlm 121-136
https://doi.org/10.14421/ref.2022.2201-06
Submitted: 01-26-2022 Revised: 02-23-2022 Accepted:03-23-2022
Abstract
This study examines the legacy of Sunan Muria's thoughts on conserving
water sourced from the sign and symbol around the graves The existence
of water plays an important role in the religious studies. Islam,
Christianity, Judaism, Hinduism and Buddhism use water as an important
component in every religious ritual. Therefore, one of the contemporary
issues in Islamic studies that has attracted the attention of scholars is water
conservation. Based on initial observations, researchers found a water jar
that is sacred by the local community. Social, religious, and cultural
narratives about sacred concepts are the main points of this research. In
addition, based on extensive field research, various interviews and
literature studies on related topics, the researcher explores the complexity
of the heritage of water conservation thought in Sunan Muria's perspective
through the identification of signs and symbols on their tombs from the
concepts of eco-theology; bi'ah al-hudry.
Keyword: water preservation, bi’ah al-budry, eco-theology
Refleksi: Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam is licensed under a Creative Commons Attribution-Non Commercial-Share Alike 4.0
International License. http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/
Menggali Narasi, Melestarikan Tradisi: Warisan Konsep W ater P reservation… .
Abstrak
A. Pendahuluan
Walisongo Dalam Menyemai Sikap Toleransi Antar Umat Beragama Di Jawa,” Al-
Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam 10, no. 2 (2019): 287–302.
2Pierre Fournié, “Rediscovering the Walisongo, Indonesia: A Potential New Destination
Dan Teknik Dakwah 3, no. 5 (2017); Abdurrohman Kasdi, “The Role of Walisongo in
Developing the Islam Nusantara Civilization,” Addin 11, no. 1 (2017): 1–26.
4Fournié, “Rediscovering the Walisongo, Indonesia.”
5Damar Safera and Muhammad Chairul Huda, “TRadisi Suroan Sebagai Tapak Tilas
Etika Islam dalam pelestarian air dapat ditelusuri dalam al Quran dan
Hadits. Penelitian terdahulu (prior research in the topic) tentang konsep
air dan bentuk-bentuk pelestariannya sesuai al Quran dan hadits sudah
banyak dibahas dalam berbagai literatur, dan penelitian ini menegaskan
ulang konsep-konsep tersebut dalam uraian bahasan yang lebih spesifik
dan terstruktur.
Penelitian ini menawarkan sisi alternatif dalam mengeksplorasi
warisan pelestarian air dan lingkungan dari perspektif Walisongo. Kajian
ini mencoba menangkap gap penelitian dengan penelitian sebelumnya
dengan memfokuskan pada konsep fiqh bi'ah yang muncul dengan
penanda dari makam Walisongo.
Selanjutnya perlu dirumuskan pendekatan alternatif dalam
penanganan konservasi air dalam pandangan Islam, yaitu pendekatan
etnoekologi. 6Pendekatan ini diharapkan mampu memperluas cakrawala
pemahaman masyarakat (setempat) dalam menyadari pentingnya
menjaga dan memelihara lingkungan hidup berlandaskan nilai-nilai
agama.
Namun harus di sadari pula bahwa pada perkembangan awal dalam
fikih Islam sebenarnya sudah mulai memperkenalkan konsep air dan
lingkungan melalui pokok bahasan tentang fikih lingkungan, misalnya
6Richard C. Foltz, “Iran’s Water Crisis: Cultural, Political, and Ethical Dimensions,”
Journal of Agricultural and Environmental Ethics 15, no. 4 (2002): 357–80.
2013); Jeffrey S. Lamp, “Ecotheology: A People of the Spirit for Earth,” in The Routledge
Handbook of Pentecostal Theology (Routledge, 2020), 357–66.
9John Grim and Mary Evelyn Tucker, Ecology and Religion (Island Press, 2014).
10Maizer Said Nahdi and Aziz Ghufron, “Etika Lingkungan Dalam Perspektif Yusuf Al-
Qaradawy,” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 44, no. 1 (2006): 195–221.
penjaga makam menjawab bahwa mata air tersebut sudah ada sejak
Sunan Muria masih menjadi sumber air bagi masyarakat Kudus di masa
lalu. Sifat magis dari mata air tersebut berasal dari kharisma Sunan
Muria yang menjadikannya sebagai sumber penghidupan dan sarana
untuk bersuci.
mistis dan beyond the logic, sedangkan makna profane mengacu pada
hal-hal yang berkaitan langsung dengan kehidupan biasa. Lebih
lanjutnya lagi, Durkheim berpendapat bahwa agama-agama secara
simbolis mewakili masyarakat itu sendiri.
Menurut Mircea Eliade, dalam buku The Sacred and the Profane ini,
Eliade mendeskripsikan dua macam perbedaan mendasar dari
pengalamanberagama: tradisional dan modern. Manusia tradisional atau
homoreligius selalu terbuka untuk memandang dunia sebagai
pengalamanyang sakral. 13 Sedangkan manusia modern tertutup bagi
pengalaman pengalaman semacam ini. Menurutnya, manusia modern
hanya dapat membangun dirinya secara utuh ketika ia
mendesakralisasikan dirinya dan dunia. Baginya, dunia hanya dialami
sebagai yang profan. Menurut Eliade, yang sakral diketahui oleh
manusia karena ia memanifestasikan dirinya secara berbeda dari dunia
profan. 14
Adloff, “Durkheim, Mauss, and Shils: The Sacred of Civil Society,” in Religious
13Frank
Communities and Civil Society in Europe (De Gruyter Oldenbourg, 2020), 305–24; Gary R.
Butler, “Sacred and Profane Space: Ritual Interaction and Process in the Newfoundland
House Wake,” Material Culture Review, 1982.
14Klaus Oschema, “Sacred or Profane? Reflections on Love and Friendship in the Middle
Ages,” in Love, Friendship and Faith in Europe, 1300–1800 (Springer, 2005), 43–65; Stephan
Moebius, “Sociology of the Sacred,” in The Oxford Handbook of Émile Durkheim, 2020.
15Tiago Ribeiro Santos and Ione Ribeiro Valle, “Sacred and Profane in the Pedagogical
Thought of Emile Durkheim,” Educação e Pesquisa 45 (2019); Kenneth Thompson,
“Durkheim, Ideology and the Sacred,” Social Compass 40, no. 3 (1993): 451–61.
16Sorin Petrof, “Religious Broadcasting–Between Sacred and Profane toward a Ritualized
Mystification,” Journal for the Study of Religions and Ideologies 14, no. 40 (2015): 92–111.
D. Kesimpulan
Daftar Pustaka
Adloff, Frank. “Durkheim, Mauss, and Shils: The Sacred of Civil Society.” In
Religious Communities and Civil Society in Europe , 305–24. De Gruyter
Oldenbourg, 2020.
Arkoun, Muhammad. “A Return to the Question of Humanism in Islamic.”
Unpublished Essay , n.d.
Bakhri, Syamsul, and Ahmad Hidayatullah. “Desakralisasi Simbol
Politheisme Dalam Silsilah Wayang: Sebuah Kajian Living Qur’an Dan
Dakwah Walisongo Di Jawa.” SANGKéP: Jurnal Kajian Sosial Keagamaan 2,
no. 1 (2019): 13–30.
Butler, Gary R. “Sacred and Profane Space: Ritual Interaction and Process
in the Newfoundland House Wake.” Material Culture Review , 1982.
Durkheim, Emile. Emile Durkheim on Morality and Society . University of
Chicago Press, 1973.
———. Emile Durkheim: Selected Writings . Cambridge University Press,
1972.
Fadli, Failasuf. “Media Kreatif Walisongo Dalam Menyemai Sikap Toleransi
Antar Umat Beragama Di Jawa.” Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam 10,
no. 2 (2019): 287–302.
Foltz, Richard C. “Iran’s Water Crisis: Cultural, Political, and Ethical
Dimensions.” Journal of Agricultural and Environmental Ethics 15, no. 4
(2002): 357–80.
Fournié, Pierre. “Rediscovering the Walisongo, Indonesia: A Potential New
Destination for International Pilgrimage.” International Journal of
Religious Tourism and Pilgrimage 7, no. 4 (2019): 77–86.
Santos, Tiago Ribeiro, and Ione Ribeiro Valle. “Sacred and Profane in the
Pedagogical Thought of Emile Durkheim.” Educação e Pesquisa 45 (2019).
Thompson, Kenneth. “Durkheim, Ideology and the Sacred.” Social Compass
40, no. 3 (1993): 451–61.