Direct Advantage of Social Forestry in Ecotourism Sector of Tanggamus Regency
Direct Advantage of Social Forestry in Ecotourism Sector of Tanggamus Regency
Direct Advantage of Social Forestry in Ecotourism Sector of Tanggamus Regency
id
ABSTRACT
Social forestry area that has the potential of ecotourism drives economic analysis of
agroforestry among others were directed to assess whether the resources used in
agroforestry activities are already quite efficient. While the community can not rely
proceeds from the farm, the tourism sector comes to be a reliable source of income to meet
the community needs. This study aimed to evaluate the direct benefits gained by the
community, both from farming and other business results from social forestry region.
Measurement of this immediate benefit was taken by approaching to the market value to
quantify price of various directly marketable commodities. The sample size set with
sampling friction by 20% in each study site, while the method of sampling was done using a
quota sampling method. Assessment of each alternative in determinating allocation of
efficient ecosystem utilization was done by using the Cost-Benefit Analysis (CBA) and
Benefit Cost Ratio (BCR). The study results showed a variety of direct benefits that gained
by farmers located around bufferzone forest areas, namely; farming, ecotourism, trade,
labor, livestock and fish. Farming sector is still the mainstay of income source, each
farming concession on forest land have indicated the venture feasibility in financial aspect.
These indicate that farm management on forestry land is able to deliver benefits to the
whole society.
PENDAHULUAN
Pengembangan sektor wisata dapat dianggap sebagai proses transformasi yang tak lazim
(Nugroho, 2011). Peran ekowisata dalam ekonomi masyarakat di wilayah perhutanan sosial
terasa amat membantu ketika terjadi penurunan produksi hasil kebun. Pada saat itu
masyarakat tidak dapat menggantungkan pendapatan dari hasil kebun yang dimiliki, maka
sektor wisata menjadi sumber pendapatan yang diandalkan untuk memenuhi kebutuhan
hidup masyarakat.
Analisis ekonomi pada wilayah perhutanan sosial yang memiliki potensi ekowisata
difokuskan terhadap wanatani antara lain diarahkan untuk menilai apakah sumberdaya yang
digunakan dalam kegiatan wanatani sudah cukup effisien; dalam hal ini dilakukan dengan
membandingkan antara manfaat yang dihasilkan dengan biaya yang harus dikeluarkan.
Salah satu cara untuk menilai keberadaan wanatani adalah mengevaluasi produktivitas
wanatani, secara finansial. Produktivitas di sini diartikan sebagai kemampuan untuk
berproduksi yang secara finansial diukur dari seberapa besar wanatani mampu memberikan
keuntungan berupa pendapatan bersih atau sering disebut dengan profitabilitas
(Budidarsono, 2002). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi manfaat langsung yang
diperoleh masyarakat, baik dari usahatani maupun manfaat ikutan ekowisata dari kawasan
perhutanan sosial. Data dan informasi yang diperoleh dari kajian ini diharapkan dapat
dimanfaatan untuk menyusun alternatif pengelolaan kawasan perhutanan yang
berdampingan dengan ekowisata dan menuju pembangunan perhutanan berkelanjutan.
METODE PENELITIAN
Π(Tt’) adalah keuntungan bersih maksimum yang diperoleh rumah tangga setelah
melakukan perluasan areal usahatani pada tahun t. Π(T) adalah keuntungan bersih
maksimum yang diperoleh rumah tangga sebelum melakukan perluasan usahatani. Untuk
menduga perubahan kesejahteraan rumah tangga tersebut, dilakukan dengan
mempertimbangkan fungsi pengeluaran (expenditure function) rumah tangga disekitar
kawasan tersebut. Fungsi pengeluaran biasa digunakan dalam ekonomi kesejahteraan
untuk mengaitkan antara pendapatan dan utilitas melalui fungsi utilitas tidak langsung
(indirect utility function). Fungsi ini adalah pengeluaran minimum yang diperlukan untuk
memperoleh tingkat utilitas tertentu (Varian, 1992). Dalam kasus penggunaan lahan pada
areal perhutanan sosial, fungsi pengeluaran diformulasikan sebagai berikut:
dimana, Pm adalah suatu vektor harga dipasar barang, Pa adalah suatu vektor harga
barang sumberdaya pada lahan tambahan, w = upah, Pk adalah suatu vektor harga barang-
barang modal, Uo = fungsi utilitas tidak langsung rumah tangga, T’ adalah luas lahan yang
ditetapkan sebagai lokasi usahatani, Xm adalah suatu vektor dari barang yang dibeli oleh
rumah tangga, dan Xa adalah suatu vektor dari barang sumberdaya yang dapat dihasilkan
subject to,
Dimana: Y adalah tingkat pendapatan dan Uo adalah kepuasan maksimum yang diperoleh
jika tidak ada tambahan penggunaan lahan.
Sehingga fungsi pengeluaran e adalah jumlah pendapatan minimum yang
diperlukan oleh rumah tangga untuk mendapatkan tingkat utilitas yang akan diperoleh.
Biaya yang dikeluarkan rumah tangga sama dengan perubahan keuntungan yang dihasilkan
dari perubahan akses terhadap lahan. Karena adanya perluasaan penggunaan lahan dalam
kegiatan produksi dari T ke T’ melalui penggunaan lahan (HR dan HKm) mengakibatkan
terjadinya perubahan terhadap kepuasan maksimum yang diperoleh oleh rumah tangga
yang bersangkutan. Oleh karena itu diperlukan perubahan terhadap pengeluaran minimum
yang diperlukan untuk mempertahankan kepuasan yang sama sebaai akibat adanya
perubahan luas lahan. Perubahan kesejahteraan tersebut dinyatakan sebagai Hicksian
compensation surplus (Mitchael and Carson, 1989). Kondisi tersebut dapat ditulis sebagai
berikut:
dimana: e (Pm, Pa, w, Uo, T’) merupakan pengeluaran minimum yang diperlukan untuk
memperoleh tingkat kepuasan (Uo) dengan adanya perluasan lahan, sehingga persamaan
menjadi:
e (Pm, Pa, w, Uo, T’) = e’ (Pm, Pa, w, Uo, T’) +π(T’) ………………………………… 7)
dimana: e’ (Pm, Pa, w, Uo, T’) +π(T’) mencerminkan pendapatan minimum eksogen
(exogenous income) yang diperlukan untuk memperoleh tingkat kepuasan Uo pada luas
lahan T’, sehingga:
merupakan fungsi produksi rumah tangga, A = a(La, K, T’) dimana A adalah tingkat
produksi, K adalah jumlah barang modal dan T’ adalah luas lahan setelah dimanfaatkannya
areal perhutanan, melalui kegiatan penggunaan lahan subject to:
dengan memasukkan dimensi waktu terhadap nilai uang (time value of money) maka total
kesejahteraan meningkat dapat rumuskan:
Rumah tangga yang melakukan kegiatan penggunaan lahan perhutanan sosial, akan
menghasilkan barang-barang pertanian berupa manfaat yang dinotasikan dengan (+) dan
beberapa elemen lainnya bersifat negatif yaitu misalnya biaya produksi untuk membeli
input atau biaya yang dikeluarkan lainnya, dinotasikan dengan ct. Dengan memasukkan
elemen tersebut, maka persamaan (12) dapat dikembangkan menjadi:
Jika masing-masing bt dan ct dikalikan dengan harga tertentu (Pt), maka didapat nilai
manfaat langsung yang dinotasikan dengan Bt dan biaya langsung yang dinotasikan dengan
Ct sehingga persamaan menjadi:
Dimana ΔSW adalah total perubahan kesejahteraan yang diperoleh masyarakat setelah
mereka mendapatkan tambahan lahan ataupun akses terhadap pemanfaatan lahan
dikawasan perhutanan sosial.
Dalam upaya mengevaluasi kegiatan penggunaan lahan perhutanan sosial yang
dilakukan pada areal hutan rakyat (HR), dan hutan kemasyarakatan (HKm), persamaan (14)
dapat dikonversikan dalam bentuk kriteria nilai bersih sekarang (Net Present Value atau
NPV) seperti berikut ini:
Dimana Bt merupakan manfaat langsung pada periode-t, Ct adalah biaya langsung pada
periode-t, r adalah tingkat suku bunga dan t adalah discount period.
Secara umum persamaan (15) dapat ditulis dalam model analisis biaya manfaat (BCA)
model sebagai berikut:
……………………………………………………………… 16)
(1) Lokasi penelitian pertama adalah kawasan perhutanan sosial yang berada pada sekitar
kawasan ekowisata lumba-lumba Teluk Kiluan, lokasi ini meliputi sebagian kawasan
hutan rakyat (HR) dan sebagian lainnya kawasan hutan kemasyarakatan (HKm).
(2) Lokasi penelitian kedua adalah kawasan perhutanan rakyat yang termasuk dalam areal
penyangga (Bufferzone) Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang intensif
dibina instansi terkait, pembinaan meliputi usahatani, sosial kemasyarakatan dan
potensi pendapatan dari ekowisata.
dimana :
ML1 = Manfaat langsung dari hasil hutan (berbagai komoditas yang diusahakan; kakao,
kopi, cengkeh, jengkol, duren, karet, lada dll) (Rp/Thn)
ML2 = Manfaat langsung, total hasil yang diperoleh dari ikut mengelola ekowisata
(Rp/Thn).
ML3 = Manfaat langsung, total dari hasil perikanan (tangkapan maupun budidaya) dan
hewan ternak (Rp/Thn).
ML4 = Manfaat langsung, total dari buruh tani (Rp/Thn)
ML5 = Manfaat langsung, total dari perdagangan komoditas perhutanan (penampung,
perantara, pedagang antar kampung) (Rp/Thn)
(BCR) atau perbandingan antara pendapatan dengan biaya yang didiskon untuk masing-
masing alternatif pengelolaan akan mengikuti persamaan berikut :
dimana :
Bt = Manfaat langsung yang diperoleh pada waktu t (Rp)
Ct = Biaya langsung yang dikeluarkan pada waktu t (Rp)
t = Tahun
r = Interest rate
NPV = Net Present Value (nilai manfaat bersih sekarang)
BCR = Benefit Cost Ratio (ratio manfaat-biaya)
Dengan pola penggunaan lahan yang beragam jenis tanaman, praktik penggunaan lahan
pada lahan perhutanan sosial menggunakan variasi NPV:
1) Jika penggunaan lahan telah menghasilkan komoditas tertentu, maka NPV yang
terbesar menunjukkan yang terbaik,
2) Kelayakan penggunaan lahan perhutanan sosial yang baik harus bernilai NPV positif.
Nilai BCR menentukan tingkat efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya alam.
Tingkat suku bunga (interest rate) yang dipakai adalah mengikuti tingkat suku bunga
nominal yang berlaku pada saat penelitian.
Jenis tanaman yang dikelola petani responden, seperti pada umumnya pemanfaatan
lahan pada kawasan perhutanan yang diisi dengan berbagai jenis tanaman (Tabel 2.). Secara
umum pada ketiga wilayah, tanaman kakao terlihat dominan di budidayakan, baik pada
areal HKm Kiluan (97%), HR Kiluan (55,7%) dan HR Bufferzone (47,6%). Budidaya
kakao banyak dipilih karena memiliki karakter berbuah sepanjang tahun. Pada areal HR
Bufferzone, tanaman kopi amat dominan sebanyak 92%, dominasi kopi memiliki nilai
historis tersendiri, tanaman kopi menjadi daya tarik dan menjadi asal mula terjadinya
perambahan hutan pada wilayah ini (Verbist dan Pasya, 2004). Tanaman kopi yang ada
sekarang merupakan warisan dari orangtua yang pertama kali memasuki kawasan hutan.
Sebagai upaya peremajaan, saat ini petani melakukan stek terhadap tanaman kopi yang
sudah diatas 25 tahun untuk meningkatkan produksi (Juwita et al. 2014).
satu lahan adalah rendahnya hasil produksi rata-rata yang diperoleh petani yang dapat
dilihat pada Tabel 3. Luasan lahan yang sempit, bukanlah menjadi satu-satunya penyebab
rendahnya hasil produksi, dari hasil wawancara beberapa petani di Hutan Rakyat Kiluan,
Hutan Kemasyarakatan Kiluan dan Hutan Rakyat Bufferzone, mengeluhkan perubahan
cuaca yang ekstrem (climate change) sehingga menyebabkan gagal bunga pada beberapa
komoditi (kakao dan kopi) dan berakibat menurunnya hasil produksi pertanian (Robiyan et
al., 2014). Dalam menghadapi masa paceklik tersebut petani masih bisa mengandalkan
tanaman pisang untuk menutupi kebutuhan dan beberapa tanaman selingan.
Manfaat Langsung
Manfaat langsung diukur melalui pendapatan yang diperoleh petani dari usaha yang
dikelola petani pada berbagai ekosistem lahan yang dikuasai. Pendapatan usahatani
dihitung dari pendapatan seluruh tanaman yang dikelola (Tabel 4.)
Sementara pendapatan yang berasal dari luar usahatani, bersumber dari pengelolaan
ekowisata, perikanan dan peternakan, dagang dan buruh tani (Tabel 5.). Kegiatan ekowisata
yang biasa dilakukan petani pada wilayah hutan rakyat Kiluan, sebagian menyewakan
kamar dan rumah tinggal (homestay) untuk wisatawan yang mengunjungi wisata lumba-
lumba dengan tarif Rp 250.000,- s/d Rp 300.000,- per malam belum ditambah dengan
sarapan pagi dan makan siang yang nilainya bervariasi, sebagian lainnya menyewakan
perahu untuk ke spot lokasi lumba-lumba dengan tarif Rp 500.000,- per perahu, yang bisa
diisi 3 orang pengunjung. Meskipun demikian pengembangan ekowisata pada kawasan
pesisir harus tetap memperhatikan aspek pengelolaan lingkungan dan sosial budaya
(Sulistyo,2007).
Aktivitas ekowisata pada wilayah Hutan Rakyat Bufferzone, dengan menyewakan
rumah tinggal (homestay) dan menjadi pemandu wisata (guide) untuk wisata petualangan
ke areal Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, kegiatan ekowisata ini dibina langsung
oleh Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Ekowisata ini juga mendorong
pendapatan masyarakat melalui perdagangan, terlihat dari komposisi pendapatan yang
berasal dari dagang yang mencapai Rp 20.000.000,-/tahun untuk wilayah hutan rakyat
kiluan dan Rp 7.300.000,-/tahun untuk areal Hutan Rakyat Bufferzone, selain dari jual beli
hasil pertanian itu sendiri.
Komposisi sumber pendapatan pada Tabel 5., juga menunjukkan sektor usahatani
masih menempati proporsi tertinggi dibanding sektor lainnya, kondisi ini sejalan dengan
penelitian Nadeak et al. (2013) pada kawasan perhutanan di Kabupaten Pesawaran. Petani
memiliki besar harap terhadap lahan usahatani yang dikuasai, dan menjadikan usahatani
sebagai sumber mata pencaharian utama dan merupakan usaha yang mereka kuasai secara
turun temurun, adapun sumber mata pencaharian lainya merupakan upaya alternatif yang
dilakukan dalam bertahan hidup pada masa paceklik.
KESIMPULAN
Terdapat beragam manfaat langsung yang bisa diperoleh petani yang berada di
sekitar hutan lindung, yaitu; usahatani, ekowisata, dagang (sebagai pengumpul hasil kebun
maupun kelontongan), buruh tani, ternak dan ikan. Sektor usahatani masih merupakan
sumber pendapatan andalan, meskipun kepemilikan lahan petani sebagian besar (47%)
seluas 0,25-1 Ha yang tergolong sempit, masing-masing pengusahaan pada lahan
perhutanan menunjukkan kelayakan usaha dari aspek finansial. Hasil ini menunjukkan
bahwa pengelolaan usahatani pada lahan perhutanan mampu memberikan manfaat kepada
masyarakat secara keseluruhan. Potensi lain yang berpeluang meningkatkan pendapatan
adalah ekowisata. Manfaat ekowisata memiliki keterkaitan langsung dengan sektor
perdagangan yang dilakukan oleh warga, sehingga dengan berkembangnya ekowisata akan
ikut meningkatkan pendapatan warga.
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Bahruni. 1999. Penilaian Sumberdaya Hutan dan Lingkungan. Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Juwita, T., F.E. Prasmatiwi., H. Santoso. 2014. Financial Benefit of The Empowerment
and Coffee Verification in Coffee Quality Improvement Effort: Case Study
Verification Program Empowered by PT Nestlé Indonesia in Tanggamus District.
Buletin. RISTRI. 4(2): 165-174.
Mitchell, R and M.T. Carson. 1989. Using Surveys to Value Public Goods. The Contingent
Valuation Methods.Resources for the Future. Washington DC.
Nadeak, N., R. Qurniati., W.Hidayat. 2013. Analisis Finansial Pola Tanam Agroforestri di
Desa Pesawaran Indah Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Prov.
Lampung. Jurnal Sylva Lestari. 1(1): 65-74.
Panayotou, 1997. Basic Concept and Common Valuation Errors in Cost-Benefit Analysis.
International Environmental Program. Harvard Institute for International
Development. Harvard University. Cambridge.
Putong, I. 2003. Pengantar Ekonomi Mikro dan Makro. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Robiyan, R., T.Hasanudiin., H. Yanfika. 2014. Persepsi Petani terhadap Program SL-PHT
dalam Peningkatan Produktivitas dan Pendapatan Usahatani Kakao. Jurnal Ilmu
Ilmu Agribisnis. 2(3):301-308.
Saptana, 2012. Food Farming Efficiency Concept and Its Implications for Productivity
Enhancement. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 30(2): 109-128.
Sulistyo, EB. 2007. Peranan dan Kepentingan Stakeholder dalam Pengelolaan Wilayah
Pesisir (Studi Kasus di Desa Sidodadi Kabupaten Lampung Selatan). Jurnal Sosio
Ekonomika. 13(1): 15-23.
Subarna, Trisna. 2011. Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Menggarap Lahan di Hutan
Lindung: Studi Kasus di Kabupaten Garut Jawa Barat. Jurnal Penelitian Sosial
Ekonomi Kehutanan. 8(4): 265-275.
Varian. 1992. Microeconomics Analysis. Third Edition. W.W. Norton &Company. New
York.
Verbist, B. dan G.Pasya. 2004. Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik dan
Negosiasi di Sumberjaya, Lampung Barat. Prov.Lampung. Agrivita. 26(1): 20-29.