130-558-2-PB Anniza Faradhana PDF

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 8

Jurnal Belantara Vol. 2, No.

2, Agustus 2019 (104-111) E-ISSN 2614-3453


DOI: https://doi.org/10.29303/jbl.v2i2.130 P-ISSN 2614-7238
Jurnal Belantara Vol. 2, No. 2, Agustus 2019 (104-111)

PERAN HUTAN TANAMAN RAKYAT DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN


DI KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN UNIT XIV GEDONG WANI

Role Of Community Plantation Forest In Increasing Income In Forest Management


Unit XIV Gedong Wani

Anniza Faradhana*, Susni Herwanti dan Hari Kaskoyo

Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung


Jl. Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No.1, Bandar Lampung
*
Email: [email protected]

ABSTRACT

Community Plantation Forests (CPF) have a very important role in increasing the
income for people around the forest. This study aims to see the role of community
plantations is in increasing the farmer’s income using Agrosilvopastura cropping pattern.
Data collection used observation techniques, interviews, and literature studies. The
sampling method used proportional simple random with the number of respondents as many
as 90 farmers. Data analysis used income analysis. The results showed that the role of HTR
was very influential for the income of farmers 66,25%, compared non CPT (33,75%) with an
income value of Rp 2,258,050,000/KK/year or Rp 8,755,863/KK/month using the
agrosilvopastura cropping pattern, which was a combination of various agricultural crops
(64,20%), forestry (1,36%), and farm (0,69%). Training for farmers and forestry extension
workers needs to be carried out to support activities to be more effective and extension
workers need to take a more intensive approach to farmers so they can provide solutions
and alternative solutions to problems in management.
.
Keywords: Community Plantation Forest; Forest Management Unit; Social Forestry;
Agrosilvopastura.

ABSTRAK

Hutan Tanaman Rakyat (HTR) memberikan peluang bagi masyarakat di dalam atau
sekitar hutan untuk meningkatkan pendapatan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran
hutan tanaman rakyat dalam meningkatkan pendapatan petani dengan pola tanam
agrosilvopastura. Pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara, dan studi
literatur. Pengambilan sampel menggunakan proportional simple random dengan jumlah
responden sebanyak 90 petani. Data yang sudah dikumpulkan dianalisis pendapatannya
yang berasal dari HTR dan non HTR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran HTR
sangat berpengaruh terhadap pendapatan petani sebesar 66,25% dibandingkan non HTR
(33,75%) dengan nilai pendapatan Rp 2.258.050.000/KK/tahun atau Rp
8.755.863/KK/bulan. Pola tanam mengunakan sistem agrosilvopastura yaitu kombinasi
antara jenis tanaman pertanian (64,20%), kehutanan (1,36%), dan petenakan (0,69%).
Pelatihan untuk petani dan penyuluh kehutanan perlu dilakukan untuk menunjang kegiatan
agar lebih efektif; selain itu penyuluh perlu melakukan pendekatan lebih intensif kepada
petani sehingga dapat memberikan solusi dan alternatif-alternatif pemecahan masalah
dalam pengelolaannya.

Kata kunci: Hutan Tanaman Rakyat; Kesatuan Pengelolaan Hutan; Perhutanan Sosial;
Agrosilvopastura.

104
Jurnal Belantara Vol. 2, No. 2, Agustus 2019 (104-111)

PENDAHULUAN

Hutan memiliki peran penting dalam memberikan manfaat jasa lingkungan dan
memberikan manfaat berupa kayu yang memiliki nilai ekonomis tinggi (Agustini et al., 2017).
Jumlah penduduk yang semakin meningkat dapat mengakibatkan tingginya permintaan
produk hasil hutan sehingga industri-industri perkayuan membutuhkan bahan baku
tambahan untuk memenuhi permintaan konsumen. Hutan tanaman perlu dikembangkan
sebagai penghasil tambahan bahan baku kayu untuk kebutuhan industri. Herwanti (2015)
menyatakan bahwa tanaman kayu di hutan produksi diharapkan mampu memberikan
kontribusi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dalam industri perkayuan.
Tingginya permintaan kayu menyebabkan masyarakat membuka lahan hutan
sehingga alih fungsi lahan hutan mengalami peningkatan (Alam, 2007). Menurut Ilham et al.
(2016) salah satu upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk menjawab
permasalahan kehutanan adalah dengan memperbaiki tata kelola sumber daya hutan.
Skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/-KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan
Sosial salah satunya adalah Hutan Tanaman Rakyat (HTR). HTR adalah hutan tanaman
pada hutan produksi yang dibangun oleh masyarakat atau kelompok untuk meningkatkan
kualitas dan potensi hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur sehingga
menjamin kelestarian sumber daya serta memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk
berusaha di bidang hutan tanaman (Herawati et al., 2010). Menurut Kaskoyo et al. (2014);
Mulyana et al. (2017); Santoso et al. (2017); Saipurrozi et al. (2018) pelibatan masyarakat
dalam pengelolaan hutan negara dapat meminimalkan konflik penggunaan lahan hutan.
Upaya pemerintah meminimalkan kerusakan hutan di Provinsi Lampung dilakukan
dengan cara pemberian Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat
(IUPHHK-HTR). Salah satu lokasi HTR terdapat di KPH Unit XIV Gedong Wani Register 40
Lampung Selatan. IUPHHK-HTR diberikan pada tahun 2017 dengan luas 30.243 ha dan
tersebar di lima desa yaitu Desa Budi Lestari, Desa Sri Katon, Desa Jati Indah, Desa Sinar
Ogan, dan Desa Jati Baru (Novayanti et al., 2018). Jenis tanaman yang diusahakan di
lahan HTR adalah kombinasi jenis tanaman kehutanan dan tanaman pertanian. Beberapa
penelitian menunjukkan bagaimana peran hutan tanaman rakyat terhadap peningkatan
pendapatan petani (Sarjono et al., 2017; Miranda et al., 2015). Oleh karena itu penelitian ini
penting untuk dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui peran HTR dalam meningkatkan
pendapatan di KPH XIV Gedong Wani khususnya dengan pola tanam agrosilvopastura.

METODE

Penelitian dilaksanakan di Desa Budi Lestari dan Desa Sri Katon (Gambar 1) pada
bulan Agustus - September 2018. Lokasi ini dipilih karena HTR di KPH Unit XIV Gedong
Wani merupakan HTR percontohan di Provinsi Lampung dan kelompok tani hutan yang ada
di kedua desa tersebut adalah kelompok tani tertua dibandingkan desa lainnya, serta aktif
dalam mengikuti kegiatan. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 843 petani yang tersebar
di Desa Budi Lestari 410 petani dan Desa Sri Katon 433. Jumlah responden sebanyak 90
petani yang dihitung menggunakan Rumus Slovin (Arikunto, 2011). Metode pengambilan
sampel dilakukan secara proportional simple random dengan mempertimbangkan kategori
dalam populasi penelitian. Hal ini karena Desa Budi Lestari dan Sri Katon memiliki jumlah
sub populasi yang tidak sama, sehingga didapatkan 44 responden di Desa Budi Lestari dan
46 responden di Desa Sri Katon.

105
Jurnal Belantara Vol. 2, No. 2, Agustus 2019 (104-111)

Gambar 1. Lokasi Penelitian


Figure 1. Research Sites

Alat yang digunakan adalah alat tulis, daftar pertanyaan (kuisioner), kamera digital,
dan laptop. Jenis data yang dikumpulkan data primer dan data skunder. Data primer
meliputi nama petani, jumlah tenaga kerja, luas lahan, tingkat pendidikan, umur, jumlah
tanggungan keluarga, jenis kelamin, dan jenis tanaman. Data sekunder meliputi data jumlah
penduduk, data luas lahan, data pekerjaan, dan studi literatur. Analisis data menggunakan
rumus pendapatan (Soekartawi, 1995):
Pd = TR – TC

Keterangan : Pd = Total Pendapatan


TR = Total Peneriman
TC = Total Biaya

HASIL dan PEMBAHASAN

A. Kondisi Umum Lokasi

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) XIV Gedong Wani terletak di dua Kabupaten
yaitu Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Lampung Timur. IUPHHK-HTR diberikan
pada tahun 2017 dengan ketetapan luas wilayah sebesar 30.243 ha. Penggunaan lahan
meliputi pemukiman (7,6%), pabrik (0,28%), perkebunan (0,91%), pertanian lahan kering
(70,6%), lahan terbuka (6,79%), belukar (1,02%), dan kebun campuran (12,8%) (KPHP
Gedong Wani, 2015).
HTR merupakan program pembangunan yang strategis dalam upaya peningkatan
produksi kayu sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan
hutan melalui adanya pembentukan kelompok tani hutan. Kelompok tani hutan di Desa Budi
Lestari bernama Wana Lestari dan di Desa Srikaton bernama Jaya Abadi. Pembentukan
kelompok tani hutan mampu mempermudah petani untuk mendapatkan informasi terkait
HTR serta bantuan berupa bibit dan pupuk dari pemerintah daerah.

106
Jurnal Belantara Vol. 2, No. 2, Agustus 2019 (104-111)

Pola tanam yang digunakan petani dalam mengelola lahan HTR adalah sistem
agrosilvopastura yaitu kombinasi antara jenis tanaman pertanian, kehutanan, dan
peternakan. Jenis tanaman pertanian terdiri dari padi, jagung, dan singkong sedangkan jenis
tanaman kehutanan meliputi karet, sengon, akasia, dan mahoni serta jenis hewan yang
diternak oleh petani adalah sapi dan kambing.

B. Pendapatan Petani HTR

Tanaman karet memberikan pendapatan paling besar yaitu Rp 27.022.400/KK/tahun.


Harga jual getahnya saat ini Rp 6.000/kg. Harga tersebut naik dibandingkan harga
sebelumnya sekitar Rp 4.000/kg. Petani biasanya melakukan penyadapan batang karet
setiap hari lalu dikumpulkan dan jika sudah terkumpul dalam seminggu karet akan dijual ke
pengepul. Petani HTR beranggapan bahwa tanaman karet memiliki usia produktif lebih
lama, sehingga dapat terus dipanen tanpa harus mengganti tanaman karet yang baru.
Umur pohon karet di kedua desa ini kisaran 3,5-15 tahun dan sudah siap sadap pada umur
3,5-4 tahun. Senada dengan penelitian yang dilakukan Pusari & Haryati (2014) bahwa
batang pohon karet yang sudah siap sadap di kisaran umur 3,5-5 tahun. Menurut Hadi &
Rifai (2014) tanaman karet memberikan sumbangan pendapatan yang cukup besar
terhadap pendapatan petani sebesar Rp 54.235.729/KK/tahun.
Komoditi padi memberikan pendapatan terbesar kedua setelah karet yaitu Rp
22.461.538/KK/tahun. Frekuensi penanaman padi dalam setahun sebanyak dua kali yaitu
pada musim hujan dan kemarau dengan umur masa tanam empat bulan. Petani menjual
hasil panen berupa beras dengan harga jual beras kisaran Rp 3.500-Rp 5.000. Harga ini
ditentukan berdasarkan kualitas beras itu sendiri dan pemberian pupuk NPK oleh petani
pada musim tanam. Asnawi (2013) menyatakan semakin tinggi pupuk NPK yang digunakan
maka akan semakin tinggi hasil produksi padi. Hasil penelitian ini menunjukkan kesamaan
dengan Prasetyo et al. (2016) bahwa tanaman padi masih menjadi sumber pendapatan
petani karena tanaman padi memberikan sumbangan yang cukup besar untuk memenuhi
kebutuhan pangan.
Komoditi singkong memberikan pendapatan sebesar Rp 21.980.000/KK/tahun
dengan frekuensi panen satu kali dalam setahun. Harga jual singkong yaitu Rp 900-Rp
1.000/kg. Petani mengakui harga singkong saat ini naik dibandingkan dengan harga awal
Rp 500/kg. Komoditi jagung memberikan pendapatan keempat setelah singkong yaitu Rp
20.500.000/KK/tahun dengan frekuensi panen sebanyak dua kali dalam setahun dan harga
jual jagung yaitu Rp 2.000-Rp 3.000/kg. Petani HTR mempertahankan komoditi singkong
dan jagung karena menurut petani kedua komoditi tersebut sangat mudah dipasarkan dan
lebih cepat panennya.
Tanaman jengkol dan kelapa hanya sebagai tanaman pengisi di antara jagung dan
singkong. Hasil panen jengkol dan kelapa sebagian besar dijual dengan sistem borongan
untuk 20 pohon tanaman jengkol dipatok dengan harga Rp 1.500.000/borongan, sedangkan
untuk 20 tanaman kelapa dipatok dengan harga Rp 800.000/borongan. Kedua komoditi ini
juga biasanya dikomsumsi sendiri oleh petani dan dibagikan oleh tetangga atau kerabat
terdekat karena tidak semua petani menanam dua komoditi tersebut.
Sebagian besar petani menanam tanaman pertanian yaitu padi, jagung, singkong,
dan karet, karena menurut petani umur panen yang singkat lebih menguntungkan
dibandingkan tanaman pohon yang umur panennya lebih lama yang mencapai 5 tahun.
Tanaman kehutanan seperti akasia, mahoni, dan sengon ditanam oleh sebagian kecil
petani; karena tanaman tersebut hanya sebagai tanaman pengisi. Menurut Erwin et al.
(2017); Febryano et al. (2009) salah satu pertimbangan petani dalam memilih jenis tanaman
adalah waktu panen yang singkat.
Petani di kedua desa ini menjual seluruh hasil panen ke pengepul. Pengepul
merupakan pedagang yang membeli komoditas hasil panen dari petani dan memasarkan
dengan harga yang murah di bawah harga pasaran. Sebagian besar petani hanya
menunggu pengepul mendatangi rumah petani untuk membeli hasil panen karena menurut

107
Jurnal Belantara Vol. 2, No. 2, Agustus 2019 (104-111)

petani jika petani mengantarkan hasil panen ke pengepul maka petani akan mengeluarkan
biaya tambahan untuk transportasi. Kholifah et al. (2017) menyatakan bahwa petani tidak
ingin repot dan mengeluarkan biaya lagi untuk menghantarkan hasil panen ke pengepul.
Ternak yang dimiliki petani hanya dua jenis yaitu kambing dan sapi, rata-rata petani
memiliki 3 ekor kambing dan 1 ekor sapi. Pakan ternak yang biasanya diberikan petani
merupakan rumput yang berasal dari lahan HTR. Petani HTR tidak memiliki jumlah ternak
yang terlalu banyak karena menurut petani jika jumlah ternak terlalu banyak petani takut
kesusahan dalam mengurusnya dan memberi makan. Pendapatan dari peternakan terbilang
kecil karena petani menjual hasil ternak hanya pada musim- musim tertentu seperti hari raya
besar. Hasil penelitian ini sejalan dengan Persetyo et al. (2016) pendapatan dari
peternakan hanya menjadi sumber pendapatan pendamping.
Luas lahan garapan petani rata-rata 1,5 ha dengan kisaran 0,5-4 ha. Semakin luas
lahan garapan petani semakin besar pula pendapatan petani. Penelitian Susanti & Rauf
(2013) menunjukkan luas lahan garapan petani mempengaruhi pendapatan. Susilowati dan
Maulana (2012) menambahkan bahwa luas lahan 0,5-1 ha sudah mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan petani..
Petani menggunakan tenaga kerja pada saat musim tanam dan musim panen
berlangsung. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata tenaga kerja yang digunakan
oleh petani adalah satu hingga dua orang dan tidak semua petani menggunakan tenaga
kerja. Petani yang menggunakan tenaga kerja dipengaruhi oleh kepemilikan luas lahan
yang besar, sehingga dengan adanya tenaga kerja tambahan maka proses penanaman dan
pemanenan tidak memerlukan waktu yang lama. Hasil penelitian memiliki kesamaan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Mariani et al. (2011) bahwa jumlah tenaga kerja
berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani.
Pendapatan non HTR merupakan pendapatan yang didapatkan di luar kegiatan
pertanian 33,75 % (Gambar 2). Jenis pekerjaan buruh pabrik memberikan sumbangan
sebesar Rp 18.240.000/KK/tahun, sedangkan buruh bangunan Rp 3.171.429/KK/tahun.
Alasan petani bekerja sebagai buruh pabrik dan buruh bangunan yaitu untuk memberikan
tambahan pendapatan serta jarak tempuh pabrik tidak jauh dengan rumah petani. Usaha
warung di kedua desa ini sebanyak tujuh warung yang memberikan pendapatan sebesar
Rp 11.007.143/KK/tahun. Pendapatan dari pekerjaan tukang ojek adalah sebesar Rp
1.800.000/KK/tahun. Pekerjaan ojek di kedua desa ini sebagai ojek antar jemput anak
sekolah, karena jarak tempuh rumah ke sekolah relatif jauh. Pendapatan dari pekerjaan
sebagai aparat desa sebesar Rp 14.400.000/KK/tahun sedangkan pendapatan dari
pekerjaan buruh tani adalah Rp 240.000/KK/tahun. Pekerjaan sebagai buruh tani
merupakan pekerjaan yang tersedia pada saat musim tanam dan musim panen
berlangsung.

33,75%

66,25% Pendapatan HTR


Pendapatan Non HTR

Gambar 2. Pendapatan petani dari HTR dan non HTR


Figure 2. Farmer income from CPF and non CPF

108
Jurnal Belantara Vol. 2, No. 2, Agustus 2019 (104-111)

C. Peran HTR dalam Meningkatkan Pendapatan

Tanaman budidaya tahunan berupa kayu hanya memberikan pendapatan sebesar


1,36% dari sumber pendapatan HTR, sedangkan tanaman pertanian sebesar 64,20% dan
peternakan sebesar 0,69% (Gambar3). Sebagian besar petani memilih menanam tanaman
pertanian dibandingkan tanaman kehutanan untuk meningkatkan pendapatan karena petani
beranggapan bahwa tanaman pertanian lebih cepat dipanen dan menghasilkan pendapatan
dibandingkan tanaman kehutanan. Hasil ini tidak sesuai dengan Peraturan Menteri
Kehutanan No.P.55/Menhut-II/2011 tentang Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan
Tanaman Rakyat.

0,69% 1,36%

Tanaman Kehutanan
Tanaman Pertanian
64,20%
Peternakan

Gambar 3. Pendapatan petani dari HTR berdasarkan jenis komoditas


Figure 3. Farmer income from CFP is based on commodity type

Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan IUPHHK-HTR Gedong Wani yaitu


kurangnya pemahaman petani dalam program HTR serta pengelolaan aspek silvikultur yang
masih kurang baik. Pemahaman petani yang sudah lama menetap untuk membuka
kawasan hutan menjadi lahan pertanian dan adanya dukungan dari sektor pertanian
membuat konsep HTR kurang diterima oleh petani. Pada umumnya, petani menginginkan
agar kawasan yang dikelola menjadi hak milik pribadi melalui suatu proses pelepasan
kawasan hutan. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak mau terlibat atau berpartisipasi
dalam kegiatan HTR. Sejak diturunkan IUPHHK-HTR kegiatan sosialisasi yang telah
dilakukan oleh penyuluh maupun instansi terkait lainnya kepada petani belum efektif. Hasil
penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan Novayanti et al. (2018) bahwa
kurangnya tenaga pendamping dan rendahnya intensitas sosialisasi di KPH Unit XIV
Gedong Wani menyebabkan pengetahuan masyarakat terhadap program pembangunan
HTR rendah dan saat ini, penyuluh yang berjalan baru bersifat teknis.

KESIMPULAN dan SARAN

Peran hutan tanaman rakyat dengan pola tanam agrosilvopastura sangat besar
dalam meningkatkan pendapatan. Hasil pendapatan petani di lahan HTR lebih besar
(66,25%) dibandingkan non HTR (33,75%). Nilai total Rp 2.258.050.000/KK/tahun atau
sebesar Rp 8.755.863/kk/bulan. Jenis tanaman kayu di lahan HTR menunjukan persentase
yang sangat kecil (1,36%) dibandingkan dengan tanaman pertanian yaitu sebesar (64,20%)
dari pendapatan total HTR. Pendampingan dan sosialisasi perlu dilakukan secara intensif
oleh penyuluh kehutanan kepada petani tentang fungsi utama HTR dan dapat memberikan
solusi alternatif-alternatif pemecahan masalah dalam pengelolaannya.

109
Jurnal Belantara Vol. 2, No. 2, Agustus 2019 (104-111)

DAFTAR PUSTAKA

Agustini, S., Dharmawan, A.H. & Putri, E. I.K. (2017). Kontribusi hutan nagari pada struktur
nafkah dan ekonomi pedesaan: Studi kasus di Padang Pariaman. Sodality, 5(2), 138-
147.
Alam, S. (2007). Hubungan kondisi sosial ekonomi masyarakat dengan konversi hutan
rakyat menjadi areal perladangan berpindah (Studi kasus petani hutan kemiri rakyat
Kabupaten Maros). Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(3), 280-290.
Arikunto, S. (2011). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Asnawi, R. (2013). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi sawah inbriding
dan hibrida di Provinsi Lampung. SEPA, 10(1),11-18.
Erwin., Bintoro, A. & Rusita. (2017). Keragaman vegetasi di Blok Pemanfaatan Hutan
Pendidikan Konservasi Terpadu (HPKT) Tahura Wan Abdul Rachman, Provinsi
Lampung. Jurnal Sylva Lestari, 5(3), 1-11. doi: 10.23960/jsl351-11.
Febryano, I.G., Suharjito, D. & Soedomo, S. (2009). Pengambilan keputusan pemilihan jenis
tanaman dan pola tanam di lahan hutan negara dan lahan milik: Studi kasus di Desa
Sungai Langka, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi
Lampung. Forum Pascasarjana, 32(2), 129-141.
Hadi, S. & Rifai, A. (2014). Analisis kemampuan membayar pinjaman oleh petani pada eks
proyek UPP Perkebunan Tree Crops Smallholder Delevopment Project (TCSDP).
Jurnal of Agricultural Economics, 5(1), 35-51.
Herawati, T., Widjayanto, N., Suharudin & Eriyanto. (2010). Analisis responden pemangku
kepentingan di daerah terhadap kebijakan hutan tanaman rakyat. Jurnal Analisis
Kebijakan Kehutanan, 7(1), 13-25.
Herwanti, S. (2015). Potensi kayu rakyat pada kebun campuran di Desa Pesawaran Indah
Kabupaten Pesawaran. Jurnal Sylva Lestari, 3(1), 113-120. doi: 10.23960/jsl13113-
120.
Ilham, P. Q., Purnomo, H. & Nugroho, T. (2016). Analisis pemangku kepentingan dan
jaringan sosial menuju pengelolaan multipihak di Kabupaten Solok, Sumatra Barat.
Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 21(2), 144-149. doi: 10.18343/jipi.21.2.114.
Kaskoyo, H., Mohammed, A. & Inoue, M. (2014). Present state of community forestry (Hutan
Kemasyarakatan /HKM) program in a protection forest and its challenges: Case study
in Lampung Province, Indonesia. Journal of Forest Science, 30(1), 15-29.

Kholifah, U. N., Wulandari, C., Santoso, T. & Kaskoyo, H. (2017). Kontribusi agroforestri
terhadap pendapatan petani di Kelurahan Sumber Agung Kecamatan Kemiling Kota
Bandar Lampung. Jurnal Sylva Lestari, 5(2), 39-47. doi: 10.23960/jsl3539-47.
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Gedong Wani. (2015). Rencana Pengelolaan Hutan
Jangka Panjang. Bandar Lampung: KPHP Gedong Wani.
Mariani., Maryam, S. & Husinsyah. (2011). Pengaruh metode System of Rice Intensification
(SRI) terhadap pendapatan dan efisiensi usaha tani (Oryza sativa) di Desa Karang
Tunggal Kecamatan Tanggorang Seberang Kabupaten Kutai Lartanegara. Jurnal
Agribisnis, 8(2), 17-23.
Miranda, A., Lumangkun, A. & Husnani, A. (2015). Analisa pendapatan petani karet dari
hutan tanaman rakyat di Trans SP 1 Desa Pangmilang Kecamatan Singkawang
Selatan Kota Singkawang Kalimantan Barat. Jurnal Hutan Lestari, 3(4), 517-525.
Mulyana, L., Febryano, I.G., Safe’i, R. & Banuwa, I. R. (2017). Performa penelolaan
agroforestri di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Rajabasa. Jurnal Hutan
Tropis, 5(2), 127-133.
Novayanti, D., Banuwa, I. S., Safe’i, R., Wulandari, C. & Febryano, I. G. (2018). Analisis
faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat dalam pembangunan hutan

110
Jurnal Belantara Vol. 2, No. 2, Agustus 2019 (104-111)

tanaman rakyat pada KPH Gedong Wani. Jurnal Hutan dan Masyarakat, 9(2), 61-74.
doi: 10.24259/jhm.v9i2.2861.
Persetyo, S.A., Romdhon, M.M. & Badrudin, R. (2016). Kontribusi pendapatan usahatani
padi sawah, itik petelur, dan ikan air tawar terhadap pendapatan total usahatani di
Kabupaten Lebong. Jurnal Agrisep, 16(1), 91-100.
Pusari, D. & Haryanti, S. (2014). Pemanenan getah karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) dan
penentuan Kadar Karet Kering (KKK) dengan variasi temperatur pengovenan di PT
Djambi Waras Jujuhan Kabupaten Bungo, Jambi. Jurnal Anatomi dan Fisiologi, 22(2),
64-74. doi: 10.14710/baf.v22i2.7819.
Santoso,T., Riniarti, M. & Febryano, I.G. (2017). Identifikasi perubahan tutupan dan
penggunaan lahan sebagai dasar penentuan strategi pengelolaan KPHP Way
Terusan. EnviroScienteae, 13(3), 208-217.
Saipurrozi, M., Febryano, I. G., Kaskoyo, H. & Wulandari, C. 2018. Uji coba program
kemitraan kehutanan di Kesatuan Pengelolaan Hutan Unit XIV Gedong Wani, Provinsi
Lampung. Jurnal Hutan Tropis, 6(1), 35-42.
Sarjono, A., Lahjie, A. M., Kristiningrum, R. & Herdiyanto. (2017). Produksi kayu bulat dan
nilai harapan lahan jabon (Anthocephalus cadamba) di PT Intraca Hutani Lestari.
Jurnal Hutan Tropis, 5(1), 22-30.
Soekartawi. (1995). Analisis Usahatani. Jakarta: UI Press.
Susanti & Rauf, R.A. (2013). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan
usahatani jagung manis. Jurnal Agrotekbis,1(5), 500– 508.
Susilowati, S.H. dan Maulana, M. (2012). Luas lahan usahatani dan kesejahteraan petani.
Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, 10(1), 17-30.

111

You might also like