Essay Ronggeng Dukuh Paruk

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 8

Izumi, Volume 6, No 1, 2017

e-ISSN: 2502-3535, p-ISSN: 2338-249X


Tersedia online di http://ejournal.undip.ac.id/index.php/izumi

FOREIGNISASI LEKSIKON BUDAYA


DALAM PENERJEMAHAN RONGGENG DUKUH PARUK
KE DALAM BAHASA JEPANG

Oleh:
Sa’idatun Nishfullayli
Prodi Bahasa Jepang Sekolah Vokasi UGM
[email protected]

ABSTRACT

In the translation of cultural words, Domestication and Foreignization strategy is a kind of


translation strategy that is widely applied by translators. The tendency to use one of these
strategies in a translation work can be identified through the analysis of translation
techniques. This article discusses the translation strategy of cultural words in Ronggeng
Dukuh Paruk which had translated into Japanese, Parukku Mura no Odoriko. Through the
identification and analysis of translation techniques, it is known that the cultural words in
Ronggeng Dukuh Paruk is translated into Japanese using several techniques: (1) borrowing,
(2) paraphrase, (3) using cultural words which equivalence in target language, (4) using
generic words, (5) using neutral words . From the results of calculating the amount of usage
of each technique, it is known that the borrowing and paraphrase is the most widely used
techniques, so it can be concluded that in this translation used the strategy of foreignization.
Foreignization is the strategy that focuses on the source text, as an interpreter attempt to
maintain the concept of culture As well as the socio-cultural values of Javanese society as in
the original novel. The fact raises the assumption that Parukku Mura no Odoriko lacks the
tastes of readers in Japan because of the many foreign cultural concepts in the novel thus
making the distance between the reader and the translation product itself.

Key word: translation analysis, cultural words, domestication, foreignization

I. PENDAHULUAN ketiga karya tersebut dicetak kembali


Salah satu novel berbahasa menjadi sebuah novel utuh berjudul
Indonesia yang sarat dengan unsur budaya Ronggeng Dukuh Paruk. Novel ini sudah
Jawa, yakni Ronggeng Dukuh Paruk, diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa,
merupakan sebuah novel yang berlatar antara lain: bahasa Inggris, Jerman, Jepang,
kehidupan masyarakat Jawa pada era Belanda, dan China.
1965an, yang masih memegang adat Pada tahun 1986, Yamane Shinobu
budaya Jawa. Unsur atau konsep budaya itu menerjemahkan trilogi pertama novel
terkandung dalam leksikon (kosakata) tersebut ke dalam bahasa Jepang dengan
budaya. Selain banyak diapresiasi oleh para judul Parukku Mura no Odoriko (Penari
ahli, novel ini juga menjadi sumber kajian dari Desa Paruk). Akan tetapi, meskipun
para peneliti dari berbagai bidang ilmu. Ronggeng Dukuh Paruk mengalami cetak
Novel Ronggeng Dukuh Paruk merupakan ulang hingga ke-11 kalinya, tidak demikian
gabungan dari trilogi cerita yang terdiri dengan Parukku Mura No Odoriko.
dari: Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Bahkan, hingga saat ini Lintang Kemukus
Lintang Kemukus Dini Hari (1985), dan Dini Hari dan Jantera Bianglala belum
Jantera Bianglala (1986). Pada tahun 2003, diterjemahkan ke bahasa Jepang. Fakta

30 Copyright @2017, IZUMI, e-ISSN: 2502-3535, p-ISSN: 2338-249X


Izumi, Volume 6, No 1, 2017
e-ISSN: 2502-3535, p-ISSN: 2338-249X
Tersedia online di http://ejournal.undip.ac.id/index.php/izumi

tersebut memunculkan asumsi bahwa teknik penerjemahan, misalnya, teknik


terjemahan Parukku Mura no Odoriko adaptasi lazim digunakan pada strategi
kurang memenuhi selera pembaca di domestikasi, sedangkan teknik kata
Jepang. pinjaman (borrowing) menjadi teknik
Menerjemahkan sebuah teks yang pilihan dalam strategi foreignisasi.
sarat dengan unsur-unsur budaya Sebaliknya, dari sisi peneliti hasil
merupakan tantangan tersendiri bagi terjemahan, untuk menentukan strategi
seorang penerjemah. Penerjemah perlu mana yang lebih dominan dalam hasil
mengaplikasikan strategi khusus agar terjemahan, terlebih dahulu harus
unsur-unsur budaya dalam Tsu diidentifikasi teknik penerjemahan yang
tersampaikan dengan baik dan seakurat dipakai oleh penerjemah, dan selanjutnya
mugkin dalam Tsa. Artinya, untuk mecapai akan terlihat apakah teknik-teknik yang
tujuan tersebut, penerjemah harus dipakai tersebut mengarah pada domestikasi
menggunakan strategi dan teknik tertentu atau foreignisasi. Domestikasi ditandai
dala menerjemahkan leksikon. Tujuan dengan banyaknya pemakaian teknik
penerjemahan bisa berorientasi pada pemakaian kata bersifat netral, pemakaian
pembaca bahasa sasaran (target language kosakata padanan budaya Bsa, pelesapan
oriented), atau lebih berorientasi pada (omission), dan pemakaian kolokasi yang
bahasa sumber (source language oriented). semakna tapi berbeda bentuk/struktur.
Penerjemahan yang berorientasi pada Adapun foreignisasi ditandai dengan
pembaca bahasa sasaran (Bsa) akan dominasi pemakaian teknik kata pinjaman
mementingkan tingkat pemahaman dan (borrowing), baik kata pinjaman tanpa frasa
penerimaan pembaca terhadap hasil penjelas maupun disertai frasa penjelas atau
terjemahan. Adapun penerjemahan yang catatan kaki, serta teknik parafrasa
berorientasi pada bahasa sumber (Bsu) akan (Humanika, 2011).
mengedepankan nilai-nilai sosial budaya Penelitian tentang domestikasi dan
penutur Bsu yang terkandung dalam teks foreignisasi dalam penerjemahan telah
asli banyak dilakukan. Beberapa di antaranya
Penentuan tujuan tersebut akan seperti yang dilakukan oleh Laraswaty
berimbas pada pemilihan strategi (2014) yang dalam artikelnya menjelaskan
penerjemahan leksikon budaya. Dua tentang bentuk-bentuk penerapan strategi
strategi penerjemahan yang lazim dipakai domestikasi dan foreignisasi dalam hasil
untuk kedua tujuan tersebut yakni terjemahan novel “Laskar Pelangi”, yakni
domestikasi dan foreignisasi (Venutti dalam “The Rainbow Troop”. Laraswati
Laraswaty, 2014). Domestikasi merupakan menyimpukan bahwa strategi foreignisasi
upaya mencari padanan yang sedekat lebih menonjol dikarenakan bahasa Inggris
mungkin dalam Bsa, sehingga hasil sebagai bahasa kelompok mayoritas di
terjemahan akan terasa lebih alami dalam dunia dinilai lebih dapat diterima oleh
Bsa dan memudahkan pembaca dalam pembaca, dibanding domestikasi istilah
memahami dan menikmati teks terjemahan. budaya dalam bahasa Indonesia yang
Sebaliknya, foreignisasi berusaha dianggap sebagai bahasa minoritas di dunia.
mempertahankan leksikon-leksikon budaya Kajian serupa juga dilakukan oleh Dwi
dalam Tsu untuk tetap ada dalam Tsa, Astuti dan Seinsani (2017) dalam artikelnya
dengan tujuan untuk mempertahankan nilai yang berjudul “Foreignisasi: Upaya
sosio kultural yang terkandung dalam Tsu pemertahanan Budaya dalam Novel
demi memperkenalkan budaya penutur Bsu Perburuan Berbahasa Indonesia dan Le
kepada pembaca. Fugitif Berbahasa Perancis”.
Dari sisi penerjemah, setiap strategi Meskipun telah banyak hasil kajian
yang dipilih akan diikuti oleh pemilihan tentang domestifikasi dan foreignisasi

Copyright @2017, IZUMI, e-ISSN: 2502-3535, p-ISSN: 2338-249X 31


Izumi, Volume 6, No 1, 2017
e-ISSN: 2502-3535, p-ISSN: 2338-249X
Tersedia online di http://ejournal.undip.ac.id/index.php/izumi

dalam karya terjemahan, tetapi sejauh transportasi), misalnya: tempe bongkrek, air
pengetahuan penulis, belum banyak tajin, warung, sado. Ketiga, kebudayaan
dilakukan kajian tentang hal tersebut untuk sosial (pekerjaan, hiburan, permainan,
hasil terjemahan dalam bahasa Jepang. olahraga), misalnya: gendang, tayub,
Kajian yang banyak dilakukan dalam hasil ronggeng. Keempat yaitu organisasi sosial
terjemahan berbahasa Jepang umumnya (adat, kekerabatan, perkawinan), misalnya:
masih seputar teknik penerjemahan kamituwa, mantri. Kelima, gestur dan
leksikon budaya, misalnya tesis berjudul kebiasaan, misalnya: melempar sampur,
“Strategi Penerjemahan Kosakata Budaya bersimpuh, bertembang.
dari Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Adapun teknik penerjemahan yang
Jepang” (Muryati, 2013). Penelitian akan menjadi alat analisis dalam artikel ini
tersebut menjelaskan tentang beberapa adalah delapan (8) teknik penerjemahan
strategi penerjemahan kosakata budaya yang disampaikan oleh Baker (2011), yaitu:
dalam novel “Cantik Itu Luka” ke dalam (1) penerjemahan dengan kosakata umum
bahasa Jepang “Bi wa Kizu”. Selain itu, (generik/superodinat), misal: pelataran ~
dijelaskan juga adanya pergeseran struktur hiroba ‘lapangan luas’ (2) penerjemahan
dan pergeseran semantis sebagai dengan kosakata netral (menghilangkan
konsekuensi dari strategi penerjemahan makna ekspresifnya), misal: susuk ~ kinhari
yang diaplikasikan. ‘jarum emas’; arkais ~ kuno; (3)
Dibandingkan dengan beberapa penerjemahan dengan padanan budaya;
kajian yang telah disebutkan di atas, artikel misal: dukun ~ jujutshi (ahli mantra); (4)
tentang domestikasi dan foreignisasi dalam penerjemahan dengan kata pinjaman, misal:
terjemahan Ronggeng Dukuh Paruk ini gaplek ~ gapurekku; atau kata pinjaman
memiliki kesamaan dalam hal ranah kajian, disertai penjelasan tambahan; (5)
yakni tentang strategi penerjemahan penerjemahan menggunakan parafrasa
leksikon budaya dalam novel hasil dengan kata-kata terkait, misal: daun pintu
terjemahan. Sementara itu, untuk bambu ~ take no tobira ‘pintu bambu’; (6)
membedakan dengan kajian lain, artikel ini penerjemahan menggunakan parafrasa
memanfaatkan novel teremahan bahasa dengan kosakata tak terkait, misal: sado ~
Jepang sebagai sumber data. Kajian tentang ni rin basha ‘angkutan dua roda yang
domestikasi dan foreignisasi pada Parukku ditarik kuda’; (7) penerjemahan dengan
Mura no Odoriko juga penting dilakukan penghilangan sebagian/pelesapan; (8)
tidak hanya untuk mengetahui teknik apa penerjemahan dengan ilustrasi.
saja yang dipakai oleh penerjemah dalam
menerjemahkan leksikon budaya, tetapi II. METODOLOGI PENELITIAN
juga untuk menentukan strategi mana yang Sumber data untuk penelitian ini
lebih dominan, domestikasi ataukah adalah novel berbahasa Jepang berjudul
foreignisasi. Hasil penentuan tersebut Parukku Mura no Odoriko yang merupakan
diharapkan dapat berkontribusi untuk terjemahan dari trilogi pertama novel
memberikan alasan mengapa Parukku Mura Ronggeng Dukuh Paruk. Data penelitian
no Odoriko tidak mengalami kepopuleran berupa leksikon budaya dalam Parukku
seperti novel aslinya, Ronggeng Dukuh Mura no Odoriko, yang merupakan
Paruk. padanan leksikon budaya dalam Ronggeng
Newmark (1988) mengkategorikan Dukuh Paruk. Untuk selanjutnya novel
leksikon budaya ke dalam lima (5) kategori. Parukku Mura no Odoriko disingkat PMO,
Pertama, ekologi (flora fauna, iklim, cuaca), dan Ronggeng Dukuh Paruk disingkat RDP.
misal: bunga semboja, pohon nangka. Penelitian ini menggunakan metode
Kedua, kebudayaan material (makanan, kepustakaan (library research method),
minuman, rumah dan kota, pakaian, yaitu data diperoleh dengan cara membaca,

32 Copyright @2017, IZUMI, e-ISSN: 2502-3535, p-ISSN: 2338-249X


Izumi, Volume 6, No 1, 2017
e-ISSN: 2502-3535, p-ISSN: 2338-249X
Tersedia online di http://ejournal.undip.ac.id/index.php/izumi

menyimak, kemudian diidentifikasi, Organisasi 副 郡 長 ‘siten 7


diklasifikasikan, dan dianalisis. sosial wedana’; ~のお
Berikut adalah tahapan penelitian yang か み さ ん ‘Nyai
dipakai dalam penelitian ini. ~’
1. Mengidentifikasi leksikon budaya dalam つか

RDP dan mengklasifikasikan setiap 仕えるボーイ


leksikon budaya sesuai teori kategorisasi ‘kacung’
leksikon budaya. Gesture dan サンプ ルを 扱え 7
2. Mengidentifikasi terjemahan masing- kebiasaan る ’melempar
masing leksikon budaya dalam PMO. sampur’
3. Membandingkan leksikon budaya dalam TOTAL 91
RDP dan padanannya dalam novel PMO
untuk mengidentifikasi teknik
penerjemahan yang dipakai. Dari dari delapan (8) teknik
4. Menentukan strategi mana yang lebih penerjemahan yang dikemukakan Baker
dominan dengan membandingkan (2011), hanya enam (6) teknik yang dipakai
jumlah pemakaian masing-masing teknik dalam PMO. Penerjemahn dengan teknik
penerjemahan. pelesapan (omission) dan ilustrasi tidak
ditemukan oleh penulis dalam hasil
III. HASIL DAN PEMBAHASAN terjemahan. Berikut adalah contoh analisis
3.1. Leksikon Budaya dalam RDP dan teknik penerjemahan dalam PMO.
Teknik Penerjemahannya ke
dalam PMO 3.2. Menggunakan kata umum
(generik/superordinat)
Berdasarkan hasil penelusuran dan Contoh 1:
identifikasi, ditemukan setidaknya 91 Tsu: Beberapa anak telah turun dari
leksikon budaya yang diklasifikasikan ke balai-balai,...
dalam lima (5) kategori seperti dalam tabel (RDP, hal. 23)
berikut ini. Istilah ‘leksikon budaya’
merujuk pada kosakata yang memuat Tsa: 子どもたちはもう寝台からお
konsep budaya yang tidak dikenal dalam りて、
penutur Bsa, atau tidak identik sama dengan (PMO, hal. 25)
konsep budaya yang dimiliki penutur Bsa. Kodomo-tachi wa mou shindai kara
orite,
Tabel 1. Kategorisasi Leksikon Budaya
dalam PMO Menurut KBBI (2012), balai-balai
Kategori Contoh Jumlah adalah tempat duduk atau tempat tidur yang
Ekologi ダダップ ‘bunga 11 dibuat dari kayu. Adapun shindai diartikan
‘tempat tidur/kasur/bed’. Dalam budaya
dadap’; ナ ン カ
Jawa, balai-balai tidak hanya dipakai
‘nangka’; バチャ sebagai tempat tidur, melainkan juga untuk
ン ‘daun bacang’ duduk-duduk, istirahat, dan berbincang.
Kebudayaan テンペ ‘tempe’; 45 Bahkan balai-balai juga umum ditemui di
material ワルン‘warung’ ; dapur karena masyarakat Jawa biasa
二輪馬車 ‘sado’ memasak sambil duduk dan mengobrol.
Kebudayaan タユッブ ‘tayub’; 21 Karena budaya Jepang tidak mengenal
sosial furniture yang sama persis bentuk dan
呪術師 ‘dukun’;
fungsinya dengan balai-balai, maka
看護人 ‘mantri’ penerjemah memadankannya dengan kata

Copyright @2017, IZUMI, e-ISSN: 2502-3535, p-ISSN: 2338-249X 33


Izumi, Volume 6, No 1, 2017
e-ISSN: 2502-3535, p-ISSN: 2338-249X
Tersedia online di http://ejournal.undip.ac.id/index.php/izumi

yang lebih umum, yakni shindai ‘tempat dalam kata ronggeng tidak dapat
untuk tidur’. Pemadanan tersebut dinilai tersampaikan sepenuhnya pada pembaca
berterima karena sesuai dengan konteks teks hasil terjemahan. Terlebih kata
cerita yang menggambarkan kegiatan anak- ronggeng adalah salah satu kata kunci
anak ketika bangun tidur dan turun dari dalam novel ini.
tempat tidurnya.
3.4. Menggunakan padanan kosakata
3.3. Menggunakan kata netral (non budaya Bsa
expressive words)
Contoh 2: Contoh 3:
Tsu: Sudah dua bulan Srintil Tsu: Laki-laki yang hampir sebaya ini
menjadi ronggeng. (RDP, hal. secara turun temurun menjadi
43) dukun ronggeng di dukuh Paruk.
(RDP, hal. 16)
Tsa: スリンティルが踊り子にな
って、もう二ヶ月が過ぎた。 Tsa: サカリャとほぼ同年輩のその
(PMO, hal. 57) 男は、パルック村で代々続い
Surintiru ga odori-ko ni natte, た踊りの呪術師である。
mou nikagetsu ga sugita. (MO, hal. 14)
Sakarya to hobo dounenpai no
Pada contoh (2), kata ronggeng sono otoko wa, Parukku mura de
yang seharusnya memiliki pemaknaan atau daidai tsuzuita odori no jujutsu-
konotasi khusus bagi masyarakat Jawa, shi de aru.
diterjemahkan dengan kata yang yang netral
dalam bahasa Jepang, yakni odori-ko ‘gadis Dalam kehidupan masyarakat
penari’. Frasa odori-ko bermutan netral, Jepang, seseorang yang ahli membacakan
umum, dan tidak mengandung konotasi mantra disebut jujutsu-shi. Tugas dan peran
tertentu. Pemadanan tersebut akan seorang jujutsu-shi kurang lebih sama
menghilangkan konotasi yang terkandung dengan peran seorang dukun dalam budaya
dalam ronggeng, misalnya: menjalani ritual masyarakat Jawa. Oleh karena itu, pada
khusus sebelum dinobatkan sebagai contoh di atas, kata dukun dipadankan
ronggeng, dipasang mantra atau susuk dengan jujutsushi.
dalam tubuhnya agar pandai menarik
perhatian lawan jenis, dan sebagainya, 3.5. Menggunakan kata pinjaman
dinilai sebagai mahluk istimewa karena (dengan/atau tanpa penjelas)
dipilih sebagai titisan para leluhur.
Pada pemunculan pertama dan Dalam novel PMO, leksikon budaya
kedua di awal teks, kata ronggeng yang diterjemahkan dengan teknik kata
ロ ン
diterjemahkan dengan jawa buyou (ジャワ pinjaman umumnya disertai penjelasan,
ゲ ン bisa berupa catatan glosarium di setiap
舞踊 ) dan buyou ( 舞 踊 ), namun dalam akhir bab cerita ataupun kata penjelas yang
pemunculan ketiga hingga akhir teks, diletakkan di belakang kata pinjaman itu
ronggeng selalu diterjemahkan dengan kata sendiri.
odori-ko.
Contoh 4:
Penerjemahan ronggeng Tsu: Suami-istri Santayib
menggunakan teknik mengganti dengan menyiapkan barang
kata netral ini dinilai Penulis kurang tepat dagangannya; tempe bongkrek.
karena konotasi serta nilai sosio kultural (RDP, hal. 22)

34 Copyright @2017, IZUMI, e-ISSN: 2502-3535, p-ISSN: 2338-249X


Izumi, Volume 6, No 1, 2017
e-ISSN: 2502-3535, p-ISSN: 2338-249X
Tersedia online di http://ejournal.undip.ac.id/index.php/izumi

3.6. Menggunakan parafrasa dengan


Tsa: サンタユィブの夫婦は、売り kata terkait
物のテンペ・ボンクレックの
準備に取り掛かった。 (PMO, Contoh 6:
hal. 24) Tsu: Kakek Srintil itu percaya penuh
Santayibu no fuufu wa, urimono roh Ki Secamenggala telah
no tempe bonkurekku no junbi ni memasuki tubuh Kertareja dan
torikakatta. ingin bertayub.
(RDP, hal. 47)
Pada contoh (4), tempe bongkrek
diterjemahkan dengan meminjam kata Tsa: スチャムンガラがカルタレ
tersebut tanpa disertai penjelasan tambahan ェジャのーーに乗り移って、
dalam teks. Akan tetapi, dalam glosarium タユバン踊りをするつもり
dituliskan penjelasan tentang tempe なのだと七直感した。
bongkrek. Teknik ini dipakai karena dalam (PMO, hal. 62)
budaya Jepang tidak ditemukan makanan
sejenis tempe ataupun tempe bongkrek. Pada contoh (6), kata tayuban
Dalam glosarium dijelaskan bawa tempe ‘menari tayub’ diterjemahkan dengan
adalah makanan khas orang Indonesia; teknik parafrasa dengan kata terkait, yakni
sedangkan tempe bongkrek dalam Tsu tayuban odori o suru ‘menari tayub’.
digambarkan sebagai makanan sehari-hari Artinya, dalam terjemahan, frasa tersebut
bagi masyarakat miskin. masih mengandung kata tayub dan diberi
penjelasan odori o suru. Jadi, bertayub
Contoh 5: dipadankan dengan melakukan tarian tayub
Tsu: “Aku bersedia membuatkan dalam bahasa Jepang.
badongan untukmu,”..
“Tidak usah, ambilkan saja aku 3.7. Menggunakan parafrasa dengan
daun bacang. Nanti badongan ini kata tak terkait
lebih baik.” (RDP, h.12)
Contoh 7:
Tsa: “ore, kanmuri tsukutte yarou Tsu: Mereka makan gaplek. (RDP,
ka,”... hal. 15)
“iranai yo. Demo, bacan no ha,
totte kite kureru? Soshitara kono Tsa: 村たちは乾燥したキャッ
kanmuri, motto suteki ni サバを たべ・・・
narundakedo.” (PMO, hal.7) (PMO, hal. 12)
Muratachi wa kansou shita
Pada contoh (5), daun bacang yang kyassaba o tabe...
tidak dikenal oleh masyarakat Jepang
diterjemahkan dengan teknik kata pinjaman Kata gaplek diterjemahkan dengan
disertai kata penjelas di belakangnya, yakni kansou shita kyassaba ‘singkong yang
ha ‘daun’. Artinya, bacang adalah jenis dikeringkan’. Dalam frasa tersebut tidak
daun. digunakan kata gaplek melainkan
diterjemahkan dengan menjelaskan bentuk
dan proses pembuatan gaplek. Pemakaian
teknik parafrasa ini bertujuan untuk
memperkenalkan pembaca bahwa gaplek
adalah sejenis bahan makanan yang dibuat

Copyright @2017, IZUMI, e-ISSN: 2502-3535, p-ISSN: 2338-249X 35


Izumi, Volume 6, No 1, 2017
e-ISSN: 2502-3535, p-ISSN: 2338-249X
Tersedia online di http://ejournal.undip.ac.id/index.php/izumi

dari singkong yang dikeringkan. Selain itu, 3.8. Domestikasi atau Foreignisasi?
gambaran kondisi sosial masyarakat miskin
yang hanya bisa makan gaplek (karena Tabel berikut ini menampilkan
ketidakmampuan mereka membeli beras), jumlah pemakaian masing-masing teknik
juga tetap dapat tersampaikan dengan penerjemahan dalam PMO.
teknik parafrasa.
Tabel 2. Distribusi Pemakaian Teknik
Contoh (8): Penerjemahan
Tsu: ‘Rangkap’ yang dimaksud Jenis Teknik Jumlah Total
Strategi
Sakarya tentulah soal guna- Penerjemahan Pemakaian
Domestikasi Memakai kata 17 38
guna, pekasih, susuk, dan
umum
tetek bengek lainnya yang
Memakai kata 2
akan membuat seorang netral
ronggeng laris. Menggunakan 19
kata pengganti
(RDP, hal. 16) kebudayaan
Foreignisasi Memakai kata 27 53
Tsa: ...『ランカップ』とは、相 pinjaman
ようじゅつ
Parafrasa dengan 20
手に愛情を起こさせる妖術 kata terkait
しょう ら く

や 娼 楽、呪文を唱えながら Parafrasa dengan 6


踊り子の肌に金の針を挿入 kata tak terkait
して、一そう美しく、愛ら
Tabel 2 memperlihatkan bahwa
し く す る 呪 術 な ど ...
teknik pemakaian kata pinjaman paling
(PMO, hal. 15) banyak dilakukan penerjemah untuk
‘Rangkappu’ to wa, aite ni menerjemahkan leksikon budaya dalam
aijou o okosaseru youjutsu ya RDP. Teknik lain yang juga banyak
shouraku, jumon o tonae- dilakukan adalah teknik pemkaian padanan
nagara odoriko no hada ni kosakata kebudayaan Bsa, parafrasa dengan
kin no hari o sounyuu shite, kata terkait, serta memakai kata umum.
ichisou utsukushiku, airashiku Adapun teknik pemakaian kata netral
suru jujutsu nado... adalah teknik yang paling sedikit dilakukan
penerjemah.
Pada contoh (8), kata susuk Dalam hal strategi atau ideologi
diterjemahkan dengan teknik parafrasa penerjemahan, oleh karena jumlah
memakai kata tak terkait. Kata susuk pemakaian teknik kata pinjaman dan
diterjemahkan dalam bentuk klausa “jumon parafrasa lebih banyak daripada jumlah
o tonae-nagara odoriko no hada ni kin no pemakaian teknik lainnya, maka dapat
hari o sounyuu shite” yang dapat diartikan disimpulkan bahwa novel RDP
‘memasukkan jarum emas ke dalam kulit diterjemahkan ke dalam PMO dengan
seseorang sambil dibacakan mantra’. Dalam memakai strategi foreignisasi. Dari
klausa tersebut tidak dipakai kata yang simpulan tersebut dapat diasumsikan bahwa
sepadan dengan susuk dalam bahasa dengan strategi foreignisasi, penerjemah
Jepang, melainkan berisi penjelasan tentang berupaya memperkenalkan budaya Jawa,
bentuk susuk yakni jarum emas, dan khususnya tentang kehidupan masyarakat
bagaimana proses memasukkan susuk ke Jawa yang masih memegang adat dan
dalam tubuh seseorang, yakni jarum tradisi melestarikan seni Tayub. Hal-hal
dimasukkan ke dalam kulit sambil mistis dan gambaran kondisi sosial budaya
dibacakan mantra.

36 Copyright @2017, IZUMI, e-ISSN: 2502-3535, p-ISSN: 2338-249X


Izumi, Volume 6, No 1, 2017
e-ISSN: 2502-3535, p-ISSN: 2338-249X
Tersedia online di http://ejournal.undip.ac.id/index.php/izumi

pada tahun 1965-an kiranya dianggap pembaca juga perlu usaha lebih untuk
menarik oleh penerjemah, sehingga dengan bisa menikmati PMO, antara lain harus
strategi foreignisasi, istilah-istilah budaya sesekali membaca glosarium untuk bisa
dan nilai-nilai sosial masyarakat Jawa masa mendapatkan nuansa cerita, atau
itu diharapkan dapat tersampaikan kepada berusaha memahami frasa-frasa penjelas
para pembaca Jepang. lainnya.
Strategi foreignisasi yang Meskipun setiap masyarakat pembaca
mengakibatkan banyaknya leksikon memiliki karakter yang berbeda-beda,
asing dalam hasil terjemahan dan tetapi beberapa penyebab di atas
adanya beberapa parafrasa penjelas yang dianggap penulis turut menyumbang
cukup panjang, akan merepotkan ketidakpopuleran novel PMO di Jepang
pembaca ketika sedang menikmati novel pada masa itu. Selanjutnya, masih
PMO ini. Banyaknya leksikon yang dibutuhkan penelitian lanjutan yang
‘asing’ bagi pembaca akan menjadikan komperehensif untuk dapat
PMO sebagai novel yang ‘asing’ pula membuktikan asumsi tersebut.
bagi pembaca Jepang. Selain itu,

DAFTAR PUSTAKA

Baker, Mona. 2011. In Other Words. New Laraswaty, Dewi. 2014. An Analysis if
York: Routledge. Domestication and Foreignization
of Cultural world Translation in
Departemen Pendidikan Nasional. 2012. Andrea Hirata’s Novel entitled
Kamus Besar Bahasa Indonesia: Laskar Pelangi. Bandung:
Edisi Keempat. Jakarta: PT. Universitas Pendidikan Indonesia.
Gramedia Pustaka Utama.
Newmark, Peter. 1988. A Textbook of
Dwi Astuti, Dies Oktavia., Izzati Gemi Translation. Hertfordshire: Prentice
Seinsani. 2017. “Foreignisasi: Hall Int. Ltd.
Upaya Pemertahanan Budaya dalam
Novel Perburuan Bahasa Indonesia Tohari, Ahmad. 2003. Ronggeng Dukuh
dan Le Fugitif Berbahasa Perancis”. Paruk. Jakarta: PT. Gramedia
Intercultural Communication Pustaka Utama.
Through Language, Literature, and Yamane, Shinobu. 1986. Mura no Odoriko.
Arts (Proceedings). Tidak Tokyo: Imamura Bunka Jigyousha.
Diterbitkan. Jakarta: Universitas
Negeri Jakarta.

Humanika, Eko Setyo. 2011. “Ideologi


Penerjemahan Worldplay dalam
Alice’s Adventures in Wonderland
ke dalam bahasa Indonesia”.
Widyaparwa (Volume 39).
Yogyakarta: Balai Bahasa
Yogyakarta

Copyright @2017, IZUMI, e-ISSN: 2502-3535, p-ISSN: 2338-249X 37

You might also like