Skripsi Evaluasi Inseminasi Buatan (Ib) Di Kecamatan Bunga Raya Kabupaten Siak
Skripsi Evaluasi Inseminasi Buatan (Ib) Di Kecamatan Bunga Raya Kabupaten Siak
Skripsi Evaluasi Inseminasi Buatan (Ib) Di Kecamatan Bunga Raya Kabupaten Siak
Oleh :
SOBIRIN
NIM. 10583002325
Oleh :
SOBIRIN
NIM. 10583002325
ix
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................... 16
4.1. Kondisi Umum. ............................................................................. 16
4.1.1 Kondisi Daerah Penelitian........................................................ 16
4.2. Keberhasilan IB............................................................................. 19
4.2.1jumlah Service.......................................................................... 19
4. 2.2. Service Per Conseption (S/C) ............................................... 20
4.2.3. Angka Kebuntingan ............................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 24
LAMPIRAN.................................................................................................... 26
x
PENDAHULUAN
merupakan cara yang ampuh yang pernah diciptakan oleh manusia guna
(Toelihere, 1993).
teknologi IB di lapangan adalah nilai Service per Conception atau S/C. Nilai S/C
Raya Kabupaten Siak. Data yang diperoleh dari dari laporan Inseminator (2009)
1
2000 sebanyak 228 dan pada akhir tahun 2009 tercatat sebanyak 475. Untuk melihat
kondisi pelaksanaan program IB di Kecamatan Bunga Raya. Penelitian ini juga dapat
dijadikan acuan dalam evaluasi penentuan program IB yang akan diterapkan pada
daerah lain dalam rangka peningkatan populasi ternak untuk pemenuhan kebutuhan
2
TINJAUAN PUSTAKA
Inseminasi Buatan (IB) pada hewan peliharaan telah lama dilakukan sejak
berabad-abad yang lampau. Seorang pangeran arab yang sedang berperang pada abad
ke-14 dan dalam keadaan tersebut kuda tunggangannya sedang mengalami birahi.
Kemudian dengan akal cerdikya, sang pangeran dengan menggunakan suatu tampon
kapas, sang pangeran mencuri semen dalam vagina seekor kuda musuhnya yang baru
saja dikawinkan dengan pejantan yang dikenal cepat larinya. Tampon tersebut
kemudian dimasukkan ke dalam vagina kuda betinanya sendiri yang sedang birahi.
Alhasil ternyata kuda betina tersebut menjadi bunting dan lahirlah kuda baru yang
dikenal tampan dan cepat larinya. Inilah kisa awal tentang IB, dan setelah itu tidak
limapuluhan oleh Prof. B. Seit dari Denmark di Fakultas Kedokteran Hewan Bogor
(Ungaran dan Mirit/Kedu Selatan), Jawa Timur (Pakong dan Grati), Jawa Barat
(Cikole/Sukabumi) dan Bali (Baturati). Juga FKH dan LPP Bogor, difungsikan
sebagai stasium IB untuk melayani daerah Bogor dan sekitarnya, Aktivitas dan
3
pelayanan IB waktu itu bersifat hilang, timbul sehingga dapat mengurangi
2.2.1. Peternak
dalam tata laksana yaitu seringnya peternak mengganti pejantan jika seekor betina
tidak langsung menjadi bunting pada perkawinan pertama atau kedua, yang lebih
parah lagi bila perkawinan dilakukan secara IB kurang berhasil maka diganti dengan
ekor sapi harus berkembang biak menurut frekuensi sesuai dengan ukuran ekonomi
dan sapi ini harus dapat bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama selama
hidupnya supaya sapi tersebut dapat menutup biaya untuk membesarkan anaknya
sampai mencapai umur dapat berkembang biak, sehingga diharapkan peternak dapat
menentukan dan memilih ternak yang cocok untuk dipelihara (Djanuar, 1986).
ternak pada kesalahan tatalaksana yang dapat dibagi atas : 1) Kegagalan pendeteksian
birahi dan kegagalan melaporkan dan mengawinkan sapi betina pada saat yang tepat.
4
adanya pejantan mandul di suatu peternakan. 5) buruknya kualitas pakan yang
diberikan.
Pemeliharaan sapi dapat dilakukan secara ekstensif, semi intensif dan intensif.
Pemeliharaan secara ekstensif adalah dengan membiarkan sapi dilepas pada padang
pengembalaan selama 24 jam sedangkan secara intensif pada siang hari dilepas pada
adalah pemeliharaan sapi di mana seluruh aktivitas ternak dilakukan dikandang dan
kebutuhan pakan ternak disediakan seluruhnya oleh peternak (Sugeng, 2002). Secara
singkat manajemen peternakan dapat dibagi atas tiga proses yaitu (1) pemilihan bibit,
pakan, pencegahan penyakit (2) proses produksi dan (3) proses hasil dan
penanganannya, ketiga proses ini harus berjalan lancar dan seimbang. Apabila salah
satunya terhambat maka seluruh aliran produksi akan terganggu (Rasyaf, 1996).
yang berkualitas pula yang dapat dilakukan dengan menilai bentuk eksteriornya,
2.2.3. Pakan
tenaga. Pada umumnya sapi memembutuhkan makanan berupa hijauan dan pakan
tambahan 1-2% dari berat badan. Bahan pakan tambahan ini dapat berupa dedak
5
halus (bekatul), bungkil kelapa, gaplek dan ampas tahu (Tabrani, 2004). Selanjutnya
Bandini (2003) mengatakan bahwa setiap hari sapi memerlukan pakan hijauan
sebanyak 10 % dari berat badannya dan diberikan dua kali sehari yaitu pagi dan sore.
Anonimous (2005) menjelaskan bahwa pemberian pakan dapat dilakukan dengan tiga
cara yaitu, dengan pengembalaan (Pasture fattening), kreman atau Dry Lot Fattening,
Berfungsinya alat reproduksi ternak sapi betina bibit secara sempurna tidak
lepas dari proses-proses biokimia dari sebagian besar alat tubuh. Hal ini menunjukkan
sapi bunting memerlukan nutrisi makanan yang baik dan seimbang dengan
pada fungsi yang sempurna berbagai hormon dan alat-alat tubuh. Setiap abnormalitas
menyebapkan embrio yang sedang tumbuh dan berkembang bisa merusak kondisinya,
dan menyebabkan kematian fetus didalam uterus atau kelahiran anak sapi yang lemah
Produktivitas ternak betina bibit dapat dinilai dari jumlah anak yang
dihasilkan per tahun atau per satuan waktu. Jarak dari kelahiran sampai terjadinya
6
dan involusi uterus selesai. Pemulihan kesuburan ternak setelah melahirkan ditandai
oleh kembalinya siklus birahi, mau dikawini pejantan dan dilanjutkan terjadi
kebuntingan. Apabila aktivitas siklus birahi terjadi, involusi uterus tidak lagi menjadi
faktor pembatas fertilitas, tetapi angka konsepsi akan rendah bila induk dikawinkan
dalam dua bulan pertama setelah melahirkan. Makin panjang jarak kawin kembali
setelah beranak, angka konsepsi yang diperoleh akan semakin tinggi (Hunter,1981).
Waktu yang optimal untuk melaksanakan IB adalah pada saat uterus sudah
kembali normal, sebaiknya uterus bebas dari penyakit yang menular, dan telah
mengalami beberapa kali birahi setelah beranak baru setelah di IB. Hal ini agar alat
reproduksi mencapai involusi yang sempurna sebelum mencapai sapi itu menjadi
bunting lagi, sapi sesudah beranak memerlukan waktu 26 hari untuk beristirahat
dianjurkan supaya sapi itu diberi waktu lebih lama untuk menjadikan uterus normal
Service (S) per Conception (C) disingkat S/C adalah rata-rata inseminasi
atau perkawinan dalam sekelompok ternak yang dilakukan untuk mendapatkan suatu
kebuntingan. Nilai S/C dinyatakan dalam bentuk bilangan 1,2,3, dan seterusnya
makin tinggi nilai S/C makin rendah nilai kesuburan kelompok betina tersebut
(Toelihere, 1981).
7
Semua usaha mensukseskan IB dengan jalan penampungan, penanganan, dan
pengolahan semen yang baik akan gagal bila cara inseminasi tidak dilakukan dengan
tepat. Semen harus disemperotkan kedalam saluran kelamin sapi betina ditempat yang
benar ketetapan waktu inseminasi mempunyai arti yang penting begitu juga dengan
pengamatan berahi perlu dilakukan secara intensif. Kurang lebih dari 60 % dari
seluruh sapi memiliki panjang siklus berahi antara 17-25 hari. Meskipun panjang
siklus berahi tidak masuk dalam angka rata-rata, angka S/C tidak menurun asalkan
Waktu optimal untuk inseminasi adalah 6 jam setelah puncak birahi. Angka
S/C akan menjadi lebih baik bila dilakukan dua kali inseminasi selama birahi.
Biasanya inseminasi pada waktu pagi hari dan setelah pukul 12.00 WIB lalu di ulangi
pada pagi hari berikutnya. Angka S/C akan naik dengan dua kali inseminasi.
Keberhasilan suatu kegiatan IB dapat ditentukan oleh angka S/C. Bila angka S/C
dalam sebuah kegiatan IB tinggi itu bukti bahwa pelaksanaan IB yang dilakukan
belum sempurna, sebaliknya bila angka S/C dalam sebuah kegiatan IB itu rendah
dan kegagalan inseminasi dapat dilihat dari seekor sapi yang diinseminasi lagi pada
Nilai S/C di pengaruhi oleh jarak beranak, semakin rendah S/C maka jarak
beranak juga semakin pendek. Menurut Toelihere (1993) lama thawing dan fertilitas
induk merupakan faktor yang mempengaruhi nilai S/C. Semakin lama waktu yang
dibutuhkan untuk membawa semen ketempat inseminasi maka fertilitas semen akan
8
menurun sehingga nilai S/C akan tinggi. Indikator fertilitas induk dapat diketahui
melalui deteksi siklus birahi dan berahi kembali setelah melahirkan. Sapi-sapi yang
memiliki lama birahi tidak normal akan memiliki catatan pengulangan yang tinggi.
Birahi kembali setelah melahirkan erat kaitannya dengan involusi uterus yaitu
1992).
bukanlah bukti mutlak terjadinya kebuntinga, karena kemungkinan sapi yang tidak
bunting tidak memperlihatkan gejala birahi yang disebabkan oleh corpus luteum tidak
beregres secara normal (corpus luteum persistens) atau dapat juga karena kematian
embrio. Untuk menentukan kebuntingan oleh seorang dokter hewan secara rectal
penentuan awal kebuntingan pada ternak sulit dilakukan, karena ternak sapi tidak
ataupun biologik terhadap kebuntingan seperti pada kuda, manusia dan hewan
terjadinya kebuntingan dini. Oleh sebab itu cara penentuan kebuntingan yang paling
tepat adalah dengan palpasi rectal. Kriteria penentuan hasil pemeriksaan didasarkan
9
pada keadaan uterus, ovaria, arteri uterine dan ada tidaknya selubung fetus didalam
uterus. Pemeriksaan yang paling tepat diperoleh setelah kebuntingan berumur 60 hari.
plasenta dari organ induk pada akhir masa kebuntingan (Toelihere, 1981).
tunjang oleh perejanan yang kuat dari urat daging uterus, perut dan otot diafragma.
dengantujuan untuk membuat betina jadi bunting tanpa perlu terjadi perkawinan
alami. Konsep dasar dari teknologi ini adalah bahwa seekor pejantan secara alamiah
untuk membuahisatu sel telur (oosit) pada hewan betina diperlukan hanya satu
kelahiran ternak dengan baik; c) Mencegah terjadinya kawin sedarah pada sapi betina
(inbreeding); d) Dengan peralatan dan teknologi yang baik spermatozoa dapat simpan
dalam jangkawaktu yang lama; e) Semen beku masih dapat dipakai untuk beberapa
sering terjadi pada saat perkawinan karena fisik pejantan terlalu besar; g)
10
Menghindari ternak dari penularan penyakit terutama penyakit yang ditularkandengan
hubungan kelamin.
Sapi Bali merupakan sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil
domestikasi dari banteng (Bibos banteng) adalah jenis sapi yang unik, hingga saat ini
masih hidup liar di Taman Nasional Bali Barat, Taman Nasional Baluran dan Taman
Nasional Ujung Kulon. Sapi asli Indonesia ini sudah lama didomestikasi suku bangsa
Bali di pulau Bali dan sekarang sudah tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Sapi
Bali berukuran sedang, dadanya dalam, tidak berpunuk dan kaki-kakinya ramping.
Kulitnya berwarna merah bata. Cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekornya
berwarna hitam. Kaki di bawah persendian karpal dan tarsal berwarna putih. Kulit
berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam
kulit berwarna putih tersebut berbentuk oval (white mirror). Pada punggungnya
selalu ditemukan bulu hitam membentuk garis (garis bellut) memanjang dari gumba
hingga pangkal ekor. Sapi Bali jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan
sapi Bali betina. Warna bulu sapi Bali jantan biasanya berubah dari merah bata
menjadi coklat tua atau hitam legam setelah sapi itu mencapai dewasa kelamin.
Warna hitam dapat berubah menjadi coklat tua atau merah bata apabila sapi itu
dikebiri. (Toelihere,1993).
11
2.3.2 Sapi Madura
Sapi Madura adalah salah satu sapi asli Indonesia. Sapi Madura berasal dari
Pulau Madura dan pulau-pulau di sekitarnya. Pulau Sapudi sangat dikenal sebagai
tempat sapi Madura berkembang pesat. Sapi Madura merupakan persilangan Bos
sondaicus dengan Bos indicus. Ciri-ciri punuk diperoleh dari Bos Indicus sedangkan
warna diwarisi dari Bos sondaicus sedangkan sifat karyotipik sapi Madura
menunjukkan adanya kemiripan dengan Bos taurus, kecuali pada kromosom Y-nya
yang mirip dengan Bos indicus. Sehingga diduga sapi Madura merupakan hasil
perkawinan silang antara indukan Bos taurus atau Bos javanicus dengan pejantan Bos
sapi Madura seragam dalam bentuk dan warna. Hal ini untuk menjaga keaslian sapi
Madura. Sapi Madura mudah hidup dan berbiak dimana saja. Sapi Madura juga tahan
terhadap berbagai penyakit. Karena kelebihan tersebut, sapi Madura biasanya banyak
dikirim ke lain daerah, lain pulau sebagai bantuan untuk meningkatkan ekonomi
masyarakat.
Sapi Madura tergolong sapi berukuran kecil. Tinggi sapi jantan berkisar 120
cm dan betina 105 cm. Sapi madura berwarna merah coklat atau coklat tua dengan
warna putih tanpa batas yang jelas disekitar pantat. Warna putih juga ditemui pada
daerah kaki serta sedikit di sekitar moncong. Bobot hidup berkisar 220-250 kg,
dengan berat karkas berkisar 50,96%-51,72%. Libido sapi jantan sangat kuat namun,
produksi semen agak rendah. Sapi jantan mempunyai rata-rata 1,0-1,3 ml per
12
Menurut Sugeng (2006) ciri – ciri yang dimiliki bangsa sapi Madura sebagai
salah satu kelompok bangsa sapi tropis pada dasarnya seperti sapi bali. Namun, sapi
ini memiliki ciri khas yang menonjol sehingga dengan mudah bisa dibedakan dengan
Baik jantan maupun betina berwarna merah bata dan hampir tidak ada
bedanya antara kedua jenis kelamin tersebut. Paha bagian belakang berwarna putih,
sedangkan kaki depan berwarna merah muda. Tanduk pendek dan beragam, ada yang
melengkung seperti bulan sabit, dan adapula yang tumbuh agak kesamping dan
keatas. Tanduk pada betina kecil dan pendek. Panjangnya kurang lebih 10 cm, jantan
15-20 cm. Panjang badan mirip sapi bali, tetapi berponok kecil. Berat badan 350 kg,
Sugeng (2006) bangsa sapi ini berasal dari India (Madras) yang beriklim
tropis dan bercurah hujan rendah. Sapi ongol ini di Eropa disebut Zebu, sedangkan di
Pulau Jawa sangat populer dengan sebutan sapi benggala. Sapi Onggole merupakan
jenis sapi dwi guna untuk tenaga kerja dan penghasil daging meskipun kurang ideal
jika dibandingkan dengan Sapi Bali, Sapi Onggole memiliki warna bulu kelabu
sampai kuning ke-kelabuan, punuk bulat dan besar, tanduk pendek, bergelambir,
badan panjang dan kaki relatif pendek serta pertumbuhannya lambat (Arbi dan
Meilus, 1977). Ciri-ciri Sapi Peranakan Onggole (PO) adalah berwarna putih kelabu
mempunyai lipatan-lipatan kulit yang terdapat pada bawah perut dan leher.
13
MATERI DAN METODE
3.2. Materi
Kecamatan Bunga Raya. Alat – alat yang digunakan dalam penelian ini adalah alat
dokumentasi meliputi kamera, peralatan tulis (pena, pensil dan note book).
3.3. Metode
1. S/C (service/conception)
S/C adalah Jumlah iseminasi yang di butuhkan oleh seekor betina sampai
2. Angka Kebuntingan.
14
3.4. Analisis Data
Data yang didapat akan dianalisis secara diskriptif dengan menampilkan rata-
Rata-rata :
n
X=
i 1
xi
n
Dimana: X = Rata-rata
n
i 1
X i = Jumlah semua harga x yang ada dalam sampel
n = Jumlah data
Standar deviasi :
S=
(X i X )2
n 1
n = Jumlah data
X = Rata - rata
15
HASIL DAN PEMBAHASAN
Letak Daerah
Kecamatan Bunga Raya merupakan salah satu kecamatan yang terdapat pada
Kabupaten Siak Provinsi Riau. Secara geografis terletak pada 101°58`- 102°13`BT
dan 0°39`- 1°04`LT dengan jarak dari pusat Kota Siak Sri Indrapura 25 Km
dengan batas daerah: Sebelah utara dengan Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten
Bengkalis. Sebelah selatan dengan Kecamatan Siak. Sebelah barat dengan Kecamatan
Sungai Mandau, Kecamatan Siak. Sebelah timur dengan Kecamatan Sungai Apit
permukaan laut yang beriklim sedang dengan kisaran suhu antara 27 – 30 0C dengan
Jumlah penduduk Kecamatan Bunga Raya berdasarkan sensus tahun 2007 adalah
15.261 jiwa sebanyak 5.760 kepala keluarga dan mayoritas beragama islam. Mata
usaha sampingan.
Luas Kecamatan Bunga Raya 151 km2 dengan keadaan wilayah yang terdiri
dari desa : Jayapura, Buatan Lestari, Tuah Indrapura Sungai Berbari, Sungai Limau,
Dosan, Benayah, Pedadaran, Bunga raya, Kemuning Muda, Jati Baru, Langsat
16
4.1.2 Keadaan Umum Peternakan
adalah 3.731 ekor sapi yang terdiri dari 1.250 ekor jantan dan 2.481 ekor betina.
Bangsa sapi yang dipelihara peternak adalah : PO, Simental, Onggol, Brahman, dan
yang berasal dari pejantan unggul dari BIB Lembang dalam bentuk mini straw yaitu
semen Simental (straw putih), Brahman (straw biru tua) dan FH (straw abu – abu).
Makanan utama dari sapi - sapi yang dipelihara di Kecamatan Bunga Raya
adalah rumput lapangan yang ada di sekitar rumah, rumput yang berasal dari areal
sawah yang tidak ditanami. Pada musim panen sapi diberi jerami padi dan makanan
tambahan berupa dedak dan sisa-sisa hasil pertanian seperti daun jagung dan daun
ketela pohon. Rumput unggul seperti rumput gajah dan setaria sudah dikenal peternak
akan tetapi belum dibudidayakan secara maksimal dimana peternak hanya menanam
Pemeliharaan sapi yang dilakukan oleh peternak masih bersifat semi intensif
dimana pada siang hari sapi ditambatkan di lapangan rumput sekitar rumah, areal
sawah yang tidak ditanami dan pada areal sawah yang sudah panen. Sedangkan pada
Kandang ternak yang ada terbuat dari bahan yang mudah didapat seperti
dinding dari bambu dan batang kayu ,atap dari daun rumbia dan lantai berupa tanah
yang dipadatkan. Lokasi kandang terletak dekat dengan rumah peternak sehingga
17
Keterampilan Iseminator
BIB Lembang. Pos IB di Kecamatan Bunga Raya memiliki dua orang tenaga
dengan mengunakan container berukuran 34XT berkapasitas 2400 straw yang berisi
N2 cair dengan suhu -196°C, cara penyimpanan semen beku yang dilakukan sudah
dapat dikatakan baik, sehinga fertilitas semen yang disimpan tetap tinggi.
selama 20 detik. Hal ini sesuai dengan pendapat Sanjaya (1976) yang dikutip oleh
Taurin dkk (2000) bahwa, untuk daerah Indonesia thawing semen beku sebaiknya
dilakukan dengan air kran dan semen beku yang di cairkan harus segera di
18
4.2. Keberhasilan IB
Tabel 1. Hasil Penelitian Keberhasilan IB di Kec. Bunga Raya Tahun 2008 – 2009.
Jumlah Service (x) 748 62,33 +8,38 13,45 488 40,67 +10,50 25,82
Total Induk di IB
(ekor) 670 50,58 +5,7 11,26 470 39,17 +7,00 17,88
Induk Bunting di IB
1 (ekor) 545 45,42 +5,53 12,19 462 38,50 +5,50 14,29
Angka Kebuntingan
(%) 89,76 +3,48 3,88 98,71 +2,94 2,98
Service/Conception
(x/ekor induk
bunting) 1,23 +0,09 6,92 1,03 +0,06 6,29
Data yang di peroleh dari inseminator di Kec.Bunga Raya tercatat jumlah sapi
yang di IB pada tahun 2008 adalah 607 ekor dan pada tahun 2009 adalah 470 ekor.
Jumlah service adalah jumlah ternak yang dikawinkan pada periode tertentu. Pada
tahun 2008 jumlah service untuk ternak sapi di Kec Bunga Raya ialah 748, dengan
19
rata – rata perbulan IB ialah 62,33 dengan standar deviasi 8,38. Sedangkan jumlah
service untuk ternak sapi di Kec Bunga Raya pada tahun 2009 ialah 488, dengan rata
– rata perbulan IB ialah 40,67 dengan standar deviasi 10,50. Dari data diatas
diketahui bahwasanya jumlah service pada tahun 2008 lebih besar dibandingkan
jumlah service tahun 2009, begitu juga dengan jumlah rata – rata perbulannya.
Angka S/C hasil inseminasi buatan di Kecamatan Bunga Raya tahun 2008 dan
tahun 2009 tergolong sangat baik yaitu 1,23 + 0,09 dan 1,03 + 0,06 (Tabel. 1). Hal
Toelihere (1993) menyatakan bahwa nilai S/C yang normal berkisar antara
1,6-2,0. Selanjutnya ditambahkan oleh Payne (1970) bahwa angka S/C untuk daerah
tropis berkisar 1,3-1,6 dengan asumsi satu kali inseminasi jumlah sapi betina yang
untuk ternak sapi di Tanah Datar 1,57 (Elmirizal, 1993), 50 Kota 1,51 (Asrar, 1995),
Bukit Sunda 1,14 (Putri, 2002 ) dan Kayu Aro 1,12 (Hidayati, 2002).
Membaiknya nilai S/C di daerah ini tidak terlepas dari kerja inseminator yang
salalu aktif dalam mengontrol ternak yang yang berahi setelah adanya laporan
peternak. Disamping itu juga disebabkan karena peternak sudah mengetahui dengan
jelas tanda-tanda berahi dan waktu yang tepat untuk mengawinkan sapinya.
betina, dan kesuburan betina itu sendiri (Hafez,2000). Ditambahkan oleh Gardon
20
(1996) bahwa S/C ternak yang di IB dipengaruhi oleh lingkungan, kemampuan ternak
tertinggi akan tercapai bila sapi dikawinkan terhitung diantara pertengahan berahi
sampai akhir birahi dengan hasil yang baik bila dikawinkan sampai 6 jam sesudah
akhir birahi. Dengan rendahnya S/C yang didapatkan dari penelitian berarti kesuburan
sapi betina yang diinseminasi di daerah ini sudah tinggi, karena makin rendah angka
S/C maka makin tinggi kesuburan betina dalam kelompok tersebut, sebaliknya makin
tinggi angka S/C yang didapat maka makin rendahlah kesuburan kelompok betina
pertama (Hafez, 2000). Pelaksanaan IB pada ternak sapi di Kecamatan Bunga Raya
selama tahun 2008 - 2009 dapat dilihat pada Tabel 1. Angka Kebuntingan ternak sapi
pada tahun 2008 - 2009 yang diinseminasi adalah: 89,76%. Dan 98,71 % angka
kebuntingan yang diperoleh dari hasil penelitian ini sangat baik, jika dibandingkan
dengan pendapat Toelihere (1993) bahwa, angka kebuntingan yang baik pada
peternakan sapi di Indonesia adalah 65 - 70%. Angka kebuntingan ini lebih tinggi jika
21
1993), 50 Kota 52,05% (Asrar, 1995), Bukit Sundi 70,72% (Putri, 2002) dan di
yang sudah baik dalam melaksanakan IB, pengetahuan peternak yang sudah baik
dalam mengelola ternaknya diantaranya dalam mengenal tanda - tanda berahi serta
pelaporan yang tepat pada inseminator bila sapi minta kawin sehingga ovum yang di
ovulasikan dapat dibuahi oleh spermatozoa dan terjadi kebuntingan. Sejalan dengan
pendapat Partodihardjo (1992) bahwa ada beberapa hal yang dapat mengpengaruhi
Angka Kebuntingan antara lain penyakit, kesuburan betina waktu inseminasi dan
faktor kebetulan. Tinggi Angka Kebuntingan juga dipengaruhi umur pada saat sapi
betina pertama kali dikawinkan walaupun dewasa kelaminnya telah sampai umur
8 - 12 bulan namun perkawinan di tunda dulu. Hal ini bertujuan untuk menghindari
hal-hal yang tidak menguntungkan seperti menurunkan angka konsepsi, rendah yang
1960). Salisbury dan Van Demart (1985) menyatakan bahwa, sebaiknya induk sapi
22
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kecamatan Bunga Raya sudah sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari angka S/C pada
tahun 2008, 1.23 dan pada tahun 2009, 1.03, dengan persentase kebuntingan pada
5.2. Saran
3. Disarankan kepada dinas terkait untuk mempertahankan nilai S/C dan angka
23
DAFTAR PUSTAKA
AbriantoWahyuWibisono, http://duniasapi.com/silsilah-sapi-bali/
24
Partodihardjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Cetakan ke-3 Penerbit Mutiara
Sumber Widia, Jakarta.
Payne, W. J. A. 1970. Catrle Production in the Tropics Vol 1. Logman Group Ltd.
London.
Salisbury, G.W, dan Vandemark. MIL, 1985. Fisiologi dan Inseminasi Buatan
Pada Sapi. (diterjemahkan oleh R. Djanuar). UGM press. Yogyakarta.
Sudrajad, T.S. 2003. Peduli Peternak Rakyat. Yayasan Agindo Mandiri, Jakarta.
Taurin, B. S., Dewiki. dan Hardini. 2000. Materi Pokok Inseminasi Buatan.
Universitas Terbuka. Jakarta .
25