One Similarity Deep Inside Diversities - Babies Movie 2010
One Similarity Deep Inside Diversities - Babies Movie 2010
One Similarity Deep Inside Diversities - Babies Movie 2010
Disusun Oleh:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2014
Semua orang setuju, bahkan seluruh orang di dunia ini setuju, bahwa kasih sayang
yang paling indah yang pernah ada di dunia ini adalah kasih sayang orang tua
kepada anaknya, terutama kasih sayang seorang ibu. Begitu menggetarkan hati
ketika melihat raut wajah seorang ibu yang melahirkan merintih merasakan sakit
yang begitu hebat berubah berseri bahagia dalam sekejap hanya karena melihat
bayinya lahir dengan selamat dan menangis. Hebatnya lagi, ini adalah hukum
Tuhan yang tidak bisa diubah. Berlaku universal tanpa kecuali. Tanpa memandang
ras, usia, perbedaan konteks budaya. Bukankah kasih sayang Tuhan sangat
berlimpah bahkan ketika baru saja kita dilahirkan?
Itulah yang saya rasakan setelah melihat film “Babies”. Empat bayi, empat budaya
berbeda namun tetap memiliki satu hal yang bisa saya turut rasakan “Kasih
sayang Ibu”, melihat film ini saya pun dilanda kerinduan pada ibu saya.
Karakteristik masing-masing ibu dalam film ini membuat saya berfikir, “Anak
adalah bagian dari diri Ibu”. Salah satu bintang di film Babies; Bayur, bayi
mongolia yang lucu dengan muka bulat dan pipi tembam, terbiasa untuk sendiri
sejak bayi. Ibunya sibuk bekerja mengurus ternak di luar. Bayur dididik untuk
menjadi anak yang tidak bergantung dengan ibunya. Bayur menjadi mandiri dan
berani karena sering ditinggal ibunya yang sibuk berternak diluar, bukankah
Bayur yang mandiri dan berani itu bagian dari ibu Bayur yang sibuk bekerja?
Kalau Bayur menjadi anak yang mandiri dan berani karena ibunya yang sibuk
berternak, kalau begitu berarti saya menjadi ambisius dan suka bersaing karena
ada bagian dari diri ibu saya yang menuntut saya untuk begitu? Saya pun
menjawab pertanyaan saya sendiri, “Karena saya adalah anak yang paling besar
dengan tiga adik, saya dituntut untuk mampu mengatasi masalah sendiri sehingga
dapat diandalkan, dan mendapat penghargaan karena mengurangi beban orang tua
saya yang terlalu besar dengan anak yang banyak, jangan bersedih, karena suatu
saat itu akan berguna untuk dirimu –sifat ini-..” mencoba memahami orang tua
saya sendiri dan menghibur diri.
Dari pemikiran itu saya merasakan peran yang diambil oleh ibu dan lingkungan
tempat tinggal si bayi sangat berpengaruh, setidaknya itu pesan yang saya
dapatkan dari film Babies ini. Saya mencoba memahami si Ibu dengan kognisi
sosial mereka yang dipengaruhi kebudayaan mereka masing-masing mencoba
untuk menjadi ibu terbaik untuk anak-anak mereka. Empat pola pengasuhan
berbeda dengan kasih sayang yang sama. Lagi-lagi saya bergumam memuji
kebesaran kuasa Tuhan. Tidak ada yang lebih baik antara satu kebudayaan dengan
kebudayaan lain. Saya meyakinkan diri saya dengan berfikir seperti ibu dari
Ponijau, Bayur, Mari-Chan, dan Hattie dengan kondisi geografis masing-masing,
kebudayaan masing-masing, orang-orang di kebudayaan masing-masing; tentu
kita akan membesarkan anak kita sesuai dengan apa yang biasa orang lain
lakukan, apa yang orang pikirkan itu benar, apa yang kita rasakan baik untuk anak
kita, dan apa yang kita bisa lakukan untuk bayi kita dengan fasilitas dan kondisi
geografis yang diberikan Tuhan.
Kelebihan dan kekurangan pada perkembangan anak akan tetap ada, ketika ada
perbedaan yang begitu kentara, bukankah itu wajar? Lingkungan yang begitu
berbeda, Namibia, Afrika yang masih begitu etnik dengan Amerika yang modern;
Ponijau dan Hattie yang sangat mencolok berbeda dalam kecepatan
perkembangan bahasa. Perbedaan ini kita harus tilik ke belakang, Ponijau adalah
bayi pengamat, Ibunya memang banyak berbicara namun tidak mengajak anak
untuk interaktif, hanya memberikan informasi dengan tujuan mengajarkan agar
Ponijau menirukan gerakan tubuh si Ibu, lebih kepada sisi praktis.Ibu Hattie
dengan koleksi bukunya yang begitu banyak mengajak Hattie untuk melihat hal-
hal baru untuk memperkaya informasi dan kerja kognisi Hattie, menambah kosa
kata, dan aktif berbicara. Pemahaman mengenai hal baru yang sifatnya
memperkaya pemahaman kognitif adalah hal yang relevan untuk di ajarkan di
Amerika karena mereka nanti akan menempuh pendidikan formal, sedangkan
Namibia? Pengetahuan praktis lebih relevan disana bukan? Pantas saja Hattie
lebih cepat dan lebih lancar dalam berbicara, itu hipotesis saya.
Saya rasa hal di atas juga ada kaitannya dengan transmisi budaya yang terjadi
dalam pengasuhan anak. Ibu mengajarkan hal-hal yang dianggap relevan dengan
kehidupan dan mengajarkan nilai-nilai yang berguna dan dapat digunakan untuk
bertahan hidup, sesuai dengan konteks budaya masing-masing. Hattie dan Marie-
Chan yang sama-sama dari negara maju, diberikan tugas-tugas kognitif untuk
merangsang perkembangan kognitif mereka, agar nanti mereka mampu
beradaptasi, dan bersaing dengan anak lain di bangku pendidikan formal, supaya
mereka dapat bertahan dalam kehidupan sekolah lebih baik lagi kalau berprestasi.
Itu akan lebih baik untuk masa depan mereka di kehidupan modern, karena di hari
esok akan mudah mencari pekerjaan. Si Bayur, bayi Mongolia diasuh untuk
terbiasa dengan ternak karena itu adalah hal yang relevan dengan kehidupan
Bayur. Kehidupan Bayur esok hari mungkin saja tidak akan jauh dari berternak,
karena itu adalah mata pencaharian yang relevan dengan kondisi geografis di
Mongolia dengan padang rumput luas sejauh mata memandang. Bagaimana
dengan Ponijau? Ponijau si bayi lucu Namibia, sejauh yang saya bisa tangkap
adalah diajarkan untuk makan untuk bertahan hidup, dan menghilangkan
kesedihan. Makan membuat hati gembira. Ibunya segera menyusui Ponijau
apabila Ponijau rewel. Ponijau suka merasakan sesuatu yang baru dengan
mulutnya, belajar apakah sesuatu bisa dimakan atau tidak. Kebudayaan disana
menganggap bahwa asal kita dapat memakan sesuatu maka kita dapat bertahan
hidup itulah mengapa mencari makan (dengan gaya konvensional) menjadi
sesuatu yang relevan untuk diajarkan kepada Ponijau di Namibia.
Transmisi budaya juga melibatkan orang lain di luar orang tua yang berinteraksi
dengan anak. Saya berfikir mungkin Ponijau yang hidup dalam kelompok tentu
sangat dipengaruhi oleh orang lain dalam perkembangannya; teman-temannya,
teman-teman ibunya, dan anggota kelompok lainnya –termasuk binatang-
mempengaruhi bagaimana Ponijau berperilaku. Ponijau pun belajar mengenai apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan langsung dari masyarakat, langsung dari
kebudayaan itu sendiri, sehingga wujud perilaku yang ditampilkan pun identik
atau seragam dengan orang lain dengan kelompoknya. Ketika Ponijau berperilaku
sama dengan kelompoknya Ponijau diberikan apresiasi/reward karena berperilaku
sesuai dengan harapan kelompok, makin jadilah transmisi budaya itu mengakar
kuat dalam diri Ponijau.
Ponijau yang dikelilingi banyak orang lain di luar keluarganya sangat berbeda
dengan Bayur yang keluarganya hidup tanpa tetangga di padang rumput luas.
Transmisi budayanya hanya berasal dari orang tua dan kakaknya, interaksi dengan
orang lain sangat minim sehingga Bayur sangat menghormati nilai-nilai yang
dipegang oleh ibunya. Bayur mengamati ibunya ketika marah, dilain kesempatan
dia juga terlihat mencoba untuk mendapatkan kepercayaan ibunya lagi setelah
dimarahi karena menumpahkan air bersama kakaknya, namun ibunya malah pergi,
Bayur pun hanya duduk diam. Interaksi di luar keluarga yang sering terjadi adalah
interaksi dengan hewan ternak yang merupakan pembiasan, dan merupakan
bagian dari pengasuhan yang diberikan oleh sang ibu.
Bagaimana dengan Hattie dan Mari-Chan? Hattie dan Mari-Chan dengan orang
tua yang hidup dalam masyarakat modern tentu mengetahui pentingnya
membangun relasi agar dapat diterima dengan kelompoknya. Ibu dan ayah Hattie
dan Mari-Chan sama-sama membawa mereka berdua ke pusat pendidikan anak
balita agar mereka dapat belajar hal baru sekaligus belajar bersosialisasi. Hattie
dan Mari dikenalkan dengan banyak orang agar mereka dapat belajar bagaimana
seharusnya berperilaku dengan orang lain, bagaimana mereka agar mereka dapat
diterima karena relasi sosial akan sangat berguna di kehidupan esok, apabila kita
butuh bantuan. Namun saya tidak melihat ada interaksi dengan kakek-nenek Mari,
berbeda dengan Hattie yang juga diasuh oleh neneknya. Nenek Hattie tentu
berpengaruh dalam transmisi budaya, karena mengajarkan banyak hal yang
berupa kebiasaan-kebiasaan saat Hattie masih kecil.
Kasihan dengan si Bayur, bayi Mongolia yang terbengkalai karena ibunya sibuk
merawat ternaknya dari pada bayinya. Saya melihat tangannya terlihat sudah besar
dan bergerak dengan lincah, sudah memenuhi kriteria untuk merangkak namun
kakinya masih digedong (dibungkus rapat dengan kain). Kematangan rangka otot
yang dihambat membuat Bayur bergerak-gerak seperti ulat, lucu sekali. Saat
Bayur sudah merangkak saya pun melihat kakinya terlihat lebih kecil
dibandingkan dengan badannya, karena saat rangka ototnya matang dan butuh
untuk berkembang malah dihambat dengan kain yang membungkus rapat kakinya.
Bayur pun diikat dan ditautkan pada dipan ketika sudah bisa merangkak dan
menjelajah rumah, bahkan hingga keluar rumah. Ibunya mungkin bermaksud agar
Bayur tidak pergi kemana-kemana sehingga tidak membahayakan Bayur dan
membuat repot Ibunya. Saya tetap tidak setuju dengan hal ini karena kurang
manusiawi (karena menjadi mirip dengan anjing); ibu tetap bertanggung jawab
penuh terhadap keselamatan si bayi, meskipun dia mempunyai pekerjaan yang
begitu banyak, juga membatasi ruang gerak dan ruang belajar Bayur sehingga
baik perkembangan kognitif maupun perkembangan sensori motorik Bayur
terhambat.
“Beruntung orang tua saat ini (modern) sadar akan kebutuhan perkembangan anak
sesuai usianya” pikir saya. Orang tua di negara-negara maju tentu sudah
mengetahui dan mencoba memahami apa tugas perkembangan anak mereka dan
apa yang bisa mereka lakukan untuk membantu anak mereka melewati tugas
perkembangan tersebut. Orang tua Mari-chan dan Hattie memberikan anak
mereka kebebasan untuk mengeksplorasi lingkungan di bawah pengawasan
mereka. Tentunya perkembangan sensori-motor mereka berkembang dengan baik,
dan akan diikuti pula dengan hal-hal lain yang berkembang dengan baik seiring
tumbuhnya Mari-chan dan Hattie.
Satu lagi yang saya sadari, perbedaan kontribusi pengasuhan oleh ayah yang
sangat signifikan antara orang tua di negara maju yang pada umumnya kedua
orang tuanya bekerja dengan orang tua di negara berkembang (Namibia dan
Mongolia). Hampir tidak terlihat adanya interaksi antara ayah dengan bayi pada
negara berkembang, berbeda dengan negara-negara maju (Jepang dan Amerika)
yang cukup terlihat kontribusinya. Hal ini mungkin disebabkan karena di negara
maju, istri atau wanita juga bekerja dan memiliki kedudukan yang sama dengan
suami, sehingga dalam pengasuhan tidak ada kecenderungan tertentu namun lebih
kepada pembagian tugas. Ini sesuai dengan teori Santrock (2002) bahwa terjadi
pergeseran peran dengan banyaknya wanita yang memilih untuk memiliki anak
yang lebih sedikit agar dapat memiliki waktu yang lebih banyak untuk bekerja, ini
menyebabkan berkurangnya jatah waktu pengasuhan oleh ibu dan bertambahnya
jatah waktu mengasuh untuk ayah, dan pengasuhan biasanya akan dibantu oleh
lembaga pengasuhan seperti tempat penitipan anak. Berbeda dengan negara
berkembang yang membuat spesifikasi tak tertulis mengenai tugas suami dan
tugas istri yang begitu jelas batas di antara keduanya.
Perbedaan-perbedaan itu terlalu banyak untuk terus dicari dan digali, akan selalu
ada dan ada, karena pada dasarnya individu memang punya karakteristik masing-
masing. Perbedaan-perbedaan yang tak terhingga itu tetap saja tidak menutupi
satu bentuk kebaikan murni yang ada di dunia ini, kasih sayang orang tua kepada
anaknya, terutama seorang ibu. Perbedaan tidaklah mengapa, karena itu adalah
bentuk ekspresi yang khas dalam setiap individu. Ketika kamu mencoba
memahami mengapa mereka berbeda, diujung pencarian itu kamu akan tersenyum
karena mengetahui bahwa maksud kita adalah sama karena pada dasarnya kita
berasal dari satu makhluk. Hanya saja jalannya yang berbeda, dan itu membuat
hidup kita semakin mudah, karena kita yang membuat budaya untuk memudahkan
hidup kita; membuat kita semakin kompleks dan semakin butuh untuk terus
dipahami, karena kita adalah manusia.
Daftar Pustaka