Metafisika Thomas Aquinas
Metafisika Thomas Aquinas
Metafisika Thomas Aquinas
Pendahuluan
Thomas Aquinas merupakan salah satu filsuf dan teolog besar Abad Pertengahan. Ia
dilahirkan di Napoli pada akhir tahun 1225. Pada umur sembilan belas tahun, Thomas
Aquinas bergabung dengan ordo Dominikan dan kemudian ditahbiskan sebagai seorang
Imam. Thomas belajar di Universitas Paris dan kemudian ke Koeln dan menjadi murid Santo
Albertus Agung. Kemungkinan cara berpikir Thomas yang Aristotelian dipengaruhi oleh
Santo Albertus yang memanfaatkan filsafat Aristoteles dalam berteologi.
Thomas Aguinas adalah penulis yang produkttif. Ia mewariskan banyak karya tulis baik
dalam filsafat maupun teologi. Dalam buku-bukunya tersebut, ditemukan ajaran Thomas
Aquinas mengenai metafisika. Thomas Aguinas membangun sistem metafisikanya dengan
mendasarkan pada ajaran-ajaran Aristoteles. Oleh karena itu, ketika membahas metafisika
Thomas Aquinas, kita akan bersinggungan dengan metafisika Aristoteles. Melalui
penyelidikan metafisis, Ia hendak mengungkap prinsip-prinsip yang terakhir untuk seluruh
kenyataan. Paper ini hendak menguraikan gagasan Thomas Aguinas mengenai metafisika
tersebut. Lantas, untuk mengerti metafisikanya dengan lebih mudah, penulis akan
memberikan uraian singkat mengenai apanya metafisika dan metafisika Aristoteles sebagai
pengantar untuk masuk ke dalam metafisika Thomas Aquinas. Lebih lanjut, akan diberikan
kesimpulan dan tanggapan kritis.
Metafisika merupakan temuan orisinil dari Aristoteles. Namun demikian, Istilah metafisika
bukan berasal dari Aristoteles melainkan dari Andronikos dan Rhodos pada tahun 40 SM
yang merujuk ajaran Aristoteles menganai <<ada>>. Penyebutan metafisika dikarenakan
dalam karya filsafat Aristoteles, ajaran yang merujuk pada metafisika ditempatkan sesudah
(meta) bukunya mengenai fisika (physika). Secara sederhana Metafisika merupakan ilmu
yang mempelajari mengenai penyebab terakhir dan prinsip prinsip pertama serta universal
dari realitas[1]. Definisi tersebut mengandung dua unsur pokok.
Kedua, metafisika mempelajari prinsip pertama dan universal dari realitas. Prinsip tersebut
merupakan unsur dasar yang menjelaskan cara bereksistensinya segala sesuatu. Misalnya,
konsep mengenai atom merupakan prinsip dasar molekul-molekul. Olehkarenanya,
metafisika mencari dan merumuskan prinsip-prinsip yang secara mendalam (radikal)
melandasi dan membentuk sesuatu. Maka apabila seseorang bertanya mengenai apa itu
hakikat dari sesuatu atau realitas, ia sudah masuk kedalam penelitian mengenai metafisika.
Salah satu pertanyaan mengenai metafisika adalah apa itu “substansi” yang dikemukakan
Aristoteles.
Di dalam pendahuluan telah dikemukakan bahwa metafisika Thomas Aquinas erat dengan
pemikiran Aristoteles yakni mengenai substansi dan perubahan (gerakan). Kata substansi
menurut Aristoteles mempunyai banyak makna yakni 1) subtansi merujuk pada “forma” 2)
substansi merujuk pada “materia” 3) substansi merujuk gabungan materia dan forma 4)
substansi dalam arti yang pertama dalam artinya sebagai individu 5) substansi dalam arti
kedua dalam artinya sebagai predikat substansial[2]. Dari pengertian-pengertian mengenai
substansi diatas maka dapat dilanjutkan dengan menyelidiki bagaimana sesuatu ber-ada
terutama “substansi sensible”.
Aristoteles menjelaskan bagaimana substansi sensible muncul ber-ada memakai teori empat
causa dan penjelasan mengenai perubahan/gerakan/”potentia-actus”/”materia-forma”.
Sebagai contoh penulis menggunakan “mimbar” untuk menunjukkan bagaimana “mimbar”
ada. Pertama, mimbar itu ada karena ada causa materialisnya (kayu sebagai bahan mimbar),
ada causa effisien (ada tukang kayu yang membuatnya), ada causa formalis (ada “forma” atau
bentuk mengenai mimbar sehingga sesuatu itu adalh mimbar bukan yang lain), dan causa
finalis (tujuan mimbar itu adalah untuk mimbar perkuliahan kuliah filsafat abad pertengahan).
Melalui empat causa mimbar tersebut ada atau ber-ada.
Cara berpikir Aristoteles mengenai substansi yang muncul dari substansi lain menunjukkan
adanya perubahan atau pergerakan. Lantas kemudian pertanyaan yang muncul adalah apa
yang menjadi penggerak pertama yang memungkinkan adanya gerakan tersebut. Aristoteles
menjawab dengan mengemukakan ajarannya yakni bahwa gerakan harus mempunyai sebab
akhir sebagai sumber gerakan. Sumber gerakan itu tidak bergerak yang disebut dengan istilah
“motor immobile”. Gerak yang tidak digerakkan itu diadopsi oleh Thomas Aquinas yang
menyebutnya sebagai Tuhan.
Seperti dijelaskan diatas, Esse merupakan penentu suatu benda disebut pengada. Esse
memungkinkan suatu benda bereksistensi. Ketika suatu benda menerima Esse maka benda itu
ada. Dalam cara berpikir aristoteles yang diadopsi oleh Aquinas mengenai potensilitas dan
actualitas, Esse merupakan actus murni dan yang tersempurna yang tidak tidak lagi bisa
menjadi potensi karena ia actus yang sudah mencapai kepenuhannya.
Esensi dijelaskan oleh Aquinas dalam tiga cara. Pertama, esensi adalah sesuatu yang secara
umum dimiliki oleh semua yang alamiah, olehnya segala sesuatu yang berbeda dapat
dikelompokkan ke dalam kelas-kelas yang disebut spesies. Kedua, Esensi adalah “forma”
atau bentuk. Ketiga, Esensi diartikan sebagai kodrat. Kodrat dimengerti dengan pandangan
Boethius yang menyatakan bahwa kodrat merupakan sesuatu yang melaluinya benda-benda
riil dapat dimengerti oleh intelek.Kodrat juga dimengerti dengan pandangan Aristoteles yakni
kodrat sebagai yang menerangkan bagaimana esensi dari sesuatu mengarahkannya kepada
tindakan spesifik.[5] Kemudian Thomas Aquinas merangkum esensi sebagai apa yang
melaluinya dan dalamnya suatu pengada mendapatkan eksistensinya. Sebagai contoh, esensi
dari mimbar adalah apa yang karenanya ia menjadi mimbar bukan kursi, meja, atau papan
tulis. Oleh esensinya tersebut mimbar bisa bereksistensi dan disebut sebagai pengada (ens).
Esensi berbeda dengan eksistensi. Esensi bisa disetarakan sebagai substansi (ingat substansi
menurut aristoteles dan Aquinas) Namun apa hubungannya esensi dengan eksistensi? Dalam
cara berpikir mengenai perubahan/pergerakan/ potentia-actus, esensi merupakan potensi yang
oleh karena esse Ia bereksistensi, karena esse adalah actus murni dan dasar dari segala
sesuatu.
Dari uraian diatas, diketahui bahwa esensi adalah forma. Forma atau bentuk merupakan unsur
yang bersifat universal. Berkat forma yang diterima oleh materi, subtansi (materi) dapat
dikelompokkan ke dalam suatu species tertentu. Pertanyaan klasik yang sering ditanyakan
adalah bagaimana dijelaskan adanya mimbar A, mimbar B, dan mimbar C jika mimbar A,B,C
tidak sama secara keseluruhan dengan “mimbar”. Dalam contoh tersebut apabila mimbar A
sama secara keseluruhan dengan “mimbar” maka konsekuensinya tidak ada lagi bisa
dikatakan ada mimbar B dan mimbar C, pastilah B dan C tersebut sesuatu yang lain. Namun
demikian, dalam kenyataan sungguh-sungguh ditemukan adanya mimbar A, B, dan C.
Thomas Aquinas menjawab persoalan tersebut dengan menyatakan bahwa agar dapat berada
dalam suatu substansi yang partikular bentuk harus diindividuasikan dan diperbanyak secara
numerik oleh materi[6]. Dengan kata lain, Forma menyebabkan substansi dapat
dikelompokan kedalam species dan materi mengindividuasikan forma. Melalui kuantitas
yang berbeda antara materi satu dengan materi lainnya, forma diindividuasikan oleh materi,
sehingga mimbar dapat disebut mimbar A, mimbarB, dan mimbar C yang kesemuanya
partikular. Oleh karenanya, masalah metafisika mengenai bagaimana individu tertentu
merupakan bagian dari species tanpa menjadi keseluruhan dari species tersebut dapat
dijelaskan.
Kedua, substansi nir-rawagi yang tersusun hanya dari forma. Jiwa adalah substansi nirragawi.
Ia hanya berupa forma tanpa materi. Jiwat tidak mempunyai raga. Forma atau esensi tersebut
merupakan potentialitas yang bisa mendapatkan aktualitasnya dengan menerima esse, yakni
aktualitas. Secara lebih singkat Jiwa hanya terdiri dari esensi dan eksistensi. Lebih lanjut,
Tuhan merupakan esse. Tuhan adalah substansi yang esensinya bereksistensi dari dirinya
sendiri.
Aquinan mendasarkan seluruh metafisikanya pada konsep mengenai esse sebagai prinsip
aktualitas yang memungkinkan esensi bereksistensi. Materi dan forma maupun forma secara
otonom tidak dapat bereksistensi tanpa esse yakni substansi pemberi eksistensi. Oleh
karenanya, dapat ditarik kesimpulan bahwa bagi Aquinas eksistensi mendahului esensi.
Pertanyaan yang diajukan adalah mengapa harus mendapatkan esse. Bukankah materi dan
forma sudah cukup menjelaskan keberadaan <ada>. Dengan melihat latar belakang Thomas
Auinas yang merupakan seorang religius permasalahn tersebut dapat dipahami.
Eksistensi mendahului esensi dipakai oleh para Eksistensialis. Mereka adalah Soren
Kiergegaard, dan Sartre. Sartre memandang bahwa eksistensi mendahului esensi tetapi
dengan artian yang sama sekali berbeda[7]. Apabila Thomas Aquinas mendasarkan ajarannya
pada eksistensi Tuhan, Sartre justru dengan eksistensialismenya menghilangkan Tuhan.