Tatalaksana Anestesi Untuk Appendiktomi Pada Pasien Appendisitis

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 34

Laporan Kasus

Tatalaksana Anestesi Untuk Appendiktomi Pada Pasien


Appendisitis

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian Anestesi
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia

Oleh :
Idha Fitriyani, S.Ked
130610019

Preseptor :
dr. Fachrurrazy, Sp. An, M.Kes, KIC

BAGIAN ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RSUD CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Apendisitis merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan
membutuhkan pengobatan operasi pada anak-anak dan dewasa di bawah umur 50
tahun, dengan puncak kejadian pada usia dekade kedua dan ketiga yaitu usia 10-
20 tahun. Apendisitis merupakan kasus emergensi obstetrik yang paling sering
pada wanita hamil, terjadi sering pada trisemester kedua1.
Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang. Kejadian ini mungkin disebabkan akibat perubahan pola makan di
Negara berkembang yang banyak mengonsumsi makanan berserat. Di Amerika
Serikat, jumlah kasus apendisitis dilaporkan oleh lebih dari 40.000 rumah sakit
tiap tahunnya. Laki-laki memiliki rasio tinggi terjadi apendisitis, dengan rasio
laki-laki:perempuan yaitu 1,4:1, dengan resiko seumur hidup apendisitis yaitu
pada laki-laki 8.6% dan 6.7% pada perempuan1.
Di Indonesia, insiden apendisitis akut jarang dilaporkan. Insidens
apendisitis akut pada pria berjumlah 242 sedangkan pada wanita jumlahnya 218
dari keseluruhan 460 kasus. Pada tahun 2008, insiden apendisitis mengalami
peningkatan. Hal ini disebabkan karena peningkatan konsumsi ‘junk food’
daripada makanan berserat.
Apendisitis akut yang merupakan keadaan akut abdomen maka diperlukan
tindakan yang segera maka kecepatan diagnosis sangat diperlukan. Diagnosis
dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan
laboratorium, USG, laparoskopi, dan CT scan. Tingkat akurasi diagnosis
apendisitis akut berkisar 76-92%. Pengobatan untuk apendisitis akut adalah
pembedahan, apendiktomi. Sebelum pembedahan, pasien diberikan antibiotik
perioperatif yang spectrum luas untuk menekan insiden infeksi luka postoperasi
dan pembentukan abses intraabdominal2.
Setiap tindakan pembedahan memerlukan tatalaksana anastesi yang tepat,
termasuk dalam tindakan apendiktomi kasus apendisitis akut. Berdasarkan latar
belakang yang telah dijabarkan di atas, maka tatalaksana anestesi pada
apendiktomi kasus apendisitis akut penting untuk dibahas dalam suatu kajian
ilmiah dalam bentuk laporan kasus.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen Anestesi Pre-operatif


2.1.1 Penilaian Preoperatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan
persiapan preoperasi salah satunya adalah kunjungan terhadap pasien sebelum
pasien dibedah sehingga dapat diketahui adanya kelainan di luar kelainan yang
akan dioperasi.
Tujuannya adalah:
- Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien
- Melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya
riwayat hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik berupa
dyspneu maupun urtikaria).
- Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien
- Tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status
praoperasi (pemeriksaan tambahan dan atau/terapi diperlukan)
- Pemilihan jenis anestesi dan penjelasan persetujuan operasi (informed
consent) kepada pasien.
- Pemberian obat-obatan premedikasi sehingga dapat mengurangi dosis obat
induksi3.
Kunjungan preoperatif dapat melihat kelainan yang berhubungan dengan
anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensatio
cordis. Selain itu dapat mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter
anestesi bisa menentukan cara anestesi dan plihan obat yang tepat pada pasien.
Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa menghindarkan kejadian salah
identitas dan salah operasi. Evaluasi preoperasi meliputi history taking (AMPLE),
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, EKG, USG,
foto thorax, dll. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan
kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin
dalam inform consent3.
2.1.1.1 History Taking
History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi
terhadap makanan, obat-obatan dan suhu, alergi (manifestasi dispneu atau skin

2
rash) harus dibedakan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal).
Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat
pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat
dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa
menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem
organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang
belum terdiagnosis.
2.1.1.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain.
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya
meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respiratory rate, suhu) dan
pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan system musculoskeletal.
Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi regional sehingga
bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi
geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi.
Kesesuaian masker untuk anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada
pasien dengan abnormalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek
antara dagu dengan tulang hyoid), incisivus bawah yang besar, makroglosia,
Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae
servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk
dilakukan intubasi trakeal.
Skoring Mallampati:
- Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan
- Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula
- Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula
- Hanya terlihat palatum durum

3
Gambar 2.1. Kriteria Mallampati

Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena
efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan.
Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya
ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA
secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena
underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap
komplikasi perioperatif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak
sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam
perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring4.
Tabel 2.1 Klasifikasi ASA
Kelas I Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.
Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi
aktivitas sehari-hari.
Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.
Kelas IV Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan maupun
tanpa operasi.
Kelas V Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tapi tetap dilakukan
operasi sebagai upaya resusitasi.
Kelas VI Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan diambil
untuk tujuan donor
E Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I – VI diatas.

4
2.1.1.3 Pemeriksaan Penunjang
Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung pada umur
pasien, ada tidaknya kondisi co-morbid saat ini, sama seperti dasar dan luas dari
prosedur bedah yang direncanakan.
Tabel 2.2 Pemeriksaan Tambahan yang Dibutuhkan
Pemeriksaan rutin Indikasi
Urinalisis Pada semua pasien (periksa konsentrasi
glukosa darah jika glukosa urine positif)
FBC Pada semua wanita: pria > 40 tahun; semua
bedah mayor
Ureum, Creatinin, Elektrolit Bedah mayor
ECG Umur > 50 tahun
Foto Torak Umur > 60 tahun
Tes fungsi hati (Liver Function Bedah mayor pada pasien umur > 50 tahun.
Test)

Tabel 2.3 Beberapa pemeriksaan preanestesi berserta indikasinya:


No Test Indikasi
1 Darah Lengkap Anemia dan penyakit hematologik lainnya
Penyakit ginjal
Pasien yang menjalani kemoterapi
2 Ureum, creatinin dan Penyakit ginjal
konsentrasi elektrolit Penyakit metabolik misalnya; diabetes mellitus
Nutrisi abnormal
Riwayat diare, muntah
Obat-obatan yang merubah keseimbangan
elektrolit atau menunjukkan efek toksik dari
adanya abnormalitas elektrolit seperti digitalik,
diuretic, antihipertensi, kortikosteroid,
hipoglikemik agent.
3 Konsentrasi glukosa Diabetes Mellitus
darah Penyakit hati yang berat

5
4 Elektrokardiografi Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru
kronik
Diabetes Mellitus
5 Chest X-ray Penyakit respirasi
Penyakit kardiovaskuler
6 Arterial blood gases Pasien sepsis
Penyakit paru
Pasien dengan kesulitan respirasi
Pasien obesitas
Pasien yang akan thorakotomi
7 Test fungsi paru Pasien yang akan operasi thorakotomi
Penyakit paru sedang sampai berat seperti
COPD, bronchiectasis
8 Skreen koagulasi Penyakit hematologic
Penyakit hati yang berat
Koagulopati
Terapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral
(warfarin) atau heparin
9 Test fungsi hati Penyakit hepatobilier
Riwayat penyahgunaan alcohol
Tumor dengan metastase ke hepar
10 Tes fungsi thyroid Bedah thyroid
Riwayat penyakit thyroid
Curiga abnormalitas endokrin seperti tumor
pituitary

Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak dari
yang 1 minggu (FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1
bulan (ECG), sampai 6 bulan (chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam
keadaan berikut;
- Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah

6
- Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium untuk
hipokalemia, terapi insulin untuk hiperglikemia, dialysis untuk pasien
dengan gagal ginjal, produk darah untuk koreksi koagulopati.

2.1.1.4 Informed Consent


Hal penting lainnya pada kunjungan preoperasi adalah inform consent.
Inform consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi
dokter bila ada tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien
mendapatkan informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan
resikonya.

2.1.2 Masukan Oral


Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama
pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua
pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan
dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.
Tabel 2.4 Fasting Guideline Pre-operatif (American Society of
Anesthesiologist, 2011)5
Usia pasien Intake oral Lama puasa (jam) ∑ puasa yg diberikan
< 6 bln Clear fluid 2 20 cc/kg
Breast milk 3
Formula milk 4
6 bln – 5 thn Clear fluid 2 10 cc/kg
Formula milk 4
Solid 6
>5 thn Clear fluid 2 10 cc/kg
Solid 6
Adult, op. Clear fuid 2
pagi Solid Puasa mulai jam
12 mlm
Adult, op. Clear fluid 2

7
siang Solid Puasa mulai jam 8
pagi

2.1.3 Terapi Cairan


Terapi cairan preoperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya,
kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya
intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya
pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang
terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat
diperkirakan dari tabel dibawah:
Tabel 2.5 Kebutuhan Maintenance Normal (Morgan, 2006)6
Berat Badan Jumlah
10kg pertama 4 mL/kg/jam
10kg berikutnya + 2 mL/kg/jam
Tiap kg di atas 20kg + 1 mL/kg/jam

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami
deficit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan
kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.

2.1.4 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia
diantaranya:
- Meredakan kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi anesthesia
- Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
- Meminimalkan jumlah obat anestetik
- Mengurangi mual muntah pasca bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi reflek yang membahayakan

8
Tabel 2.6 Obat-Obat Yang Dapat Digunakan Untuk Premedikasi
No. Jenis Obat Dosis (Dewasa)
1 Sedatif:
Diazepam 5-10 mg
Difenhidramin 1 mg/kgBB
Promethazin 1 mg/kgBB
Midazolam 0,1-0,2 mg/kgBB
2 Analgetik Opiat
Petidin 1-2 mg/kgBB
Morfin 0,1-0,2 mg/kgBB
Fentanil 1-2 µg/kgBB
Analgetik non opiate Disesuaikan
3 Antikholinergik:
Sulfas atropine 0,1 mg/kgBB
4 Antiemetik:
Ondansetron 4-8 mg (iv) dewasa
Metoklopramid 10 mg (iv) dewasa
5 Profilaksis aspirasi
Cimetidin Dosis disesuaikan
Ranitidine
Antasid

Pemberian premedikasi dapat diberikan secara (a) suntikan intramuskuler,


diberikan 30-45 menit sebelum induksi anestesia. (b) suntikan intravena diberikan
5-10 menit sebelum induksi anestesia. Komposisi dan dosis obat premedikasi
yang akan diberikan kepada pasien serta cara pemberiannya disesuaikan dengan
masalah yang dijumpai pada pasien7.

2.1.5 Persiapan Di Kamar Operasi


Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
- Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
- Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
- Alat-alat resusitasi (STATICS)

9
- Obat-obat anestesia yang diperlukan.
- Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
- Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
- Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
- Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya;
“Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”.
- Kartu catatan medic anestesia
- Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.

Tabel 2.7 Komponen STATICS


S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan >5 tahun dengan balloon (cuffed).
A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah
saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan
napas.
T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang
mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea
mudah dimasukkan.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

2.2 Pemilihan Teknik Anestesi


Secara umum, pemilihan teknik anestesi harus selalu memprioritaskan
keamanan dan kenyamanan pasien. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan
dalam hal ini adalah:

10
1. Usia pasien
Pada bayi dan anak paling baik dilakukan teknik general anestesi. Pada
pasien dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipemukaan dapat dilakukan
teknik anestesi lokal atau umum.
2. Status fisik pasien
a. Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Penting untuk mengetahui
apakah pasien pernah menjalani suatu pembedahan dan anestesi. Apakah
ada komplikasi anestesi dan paska pembedahan yang dialami saat itu.
Pertanyaa mengenai riwayat penyakit terutama diarahkan pada ada
tidaknya gejala penyakit kardiorespirasi, kebiasaan merokok, meminum
alkohol, dan obat-obatan. Harus menajadi suatu perhatian saat pasien
memakai obat pelumpuh otot nondepolarisasi bila didapati atau dicurigai
adanya penyakit neuromuskular, antaralain poliomielitis dan miastenia
gravis. Sebaiknya tindakan anestesi regional dicegah untuk pasien dengan
neuropati diabetes karena mungkin dapat memperburuk gejala yang telah
ada.
b. Gangguan fungsi kardiorespirasi berat. Sedapat mungkin hindari
penggunaan anestesi umum dan sebaiknya dilakukan dengan anestesi lokal
atau regional.
c. Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi, dan/atau dengan gangguan
jiwa sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.
d. Pasien obesitas. Bila disertai leher pendek atau besar atau sering timbul
gangguan sumbatan jalan nafas, sebaiknya dipilih teknik anestesi regional,
spinal, atau anestesi umum ndotrakeal.
3. Posisi pembedahan
Posisi seperti miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesi
umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan. Demikian juga
dengan pembedahan yang berlangsung lama.
4. Keterampilan dan kebutuhan dokter bedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan
kebutuhan dokter bedah, antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi
perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin untuk bedah
plastik, dna lain-lain.

11
5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi
Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesiologi sangat
menentukan pilihan-pilihan teknik anestesi. Sebaiknya tidak melakukan teknik
anestesi tertentu bila belum ada pengalaman dan keterampilan.
6. Keinginan pasien
Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan
dipertimbangkan bila keadaan pasien memang memungkinkan dan tidak
membahayakan keberhasilan operasi.
7. Bahaya kebakaran dan ledakan
Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah
pilihan utama pada pembedahan dengan memakai alat elektrokauter.
8. Pendidikan
Di kamar bedah rumah sakit pendidikan, operasi mungkin dapat berjalan lama
karena sering terjadi percakapan instruktor dengan residen, mahasiswa, atau
perawat. Oleh sebab itu, sebaiknya pilihan adalah anestesi umum atau bila dengan
anestesi spinal atau regioal perlu diberikan sedasi yang cukup3.

Anastesi Regional dengan Sub-arachnoid Block


Sejak anestesi spinal / Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan oleh
August Bier (1898) pada praktis klinis, teknik ini telah digunakan dengan luas
untuk menyediakan anestesi, terutama untuk operasi pada daerah bawah
umbilikus. Kelebihan utama teknik ini adalah kemudahan dalam tindakan,
peralatan yang minimal, memiliki efek minimal pada biokimia darah, menjaga
level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan
menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia
yang minimal8.
Anestesi regional meliputi 2 cara yaitu blok sentral yang meliputi blok
spinal, epidural, dan kaudal. Yang kedua adalah blok perifer seperti blok pleksus
brachialis, aksiler, anestesi regional intravena, dan lainnya. Anestesi spinal adalah
pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal
diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid. Terjadi blok saraf yang reversibel pada radix anterior dan posterior,

12
radix ganglion posterior dan sebagian medula spinalis yang akan menyebabkan
hilangnya aktivitas sensoris, motoris dan otonom3.

Tabel 2.8 Indikasi, Kontraindikasi, dan Komplikasi Analgesia Spinal


Indikasi/Kontraindikasi/Komplikasi Keterangan
Transurethral prostatectomy (blok pada T10
diperlukan karena terdapat inervasi pada
buli buli kencing)
Hysterectomy
Caesarean section (T6)
Indikasi Evakuasi alat KB yang tertinggal
Semua prosedur yang melibatkan
ekstrimitas bagian bawah seperti
arthroplasty
Prosedur yang melibatkan pelvis dan
perianal
Pasien menolak
Deformitas pada lokasi injeksi
Hipovolemia berat
Indikasi Kontra Absolut Sedang dalam terapi antikoagulan
Cardiac ouput yang terbatas; seperti
stenosis aorta
Peningkatan tekana intrakranial.
Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia)
Infeksi sekitar tempat penyuntikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Indikasi Kontra Relatif
Bedah lama
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronis
Komplikasi Tindakan Hipotensi berat

13
Bradikardia
Hipoventilasi
Trauma pembuluh darah
Trauma saraf
Mual muntah
Gangguan pendengaran
Blok spinal tinggi, atau spinal total
Nyeri tempat suntikan
Nyeri punggung
Komplikasi Pasca Tindakan Nyeri kepala karena kebocoran likuor
Retensio urine
Meningitis

Persiapan untuk anestesi spinal pada dasarnya sama dengan persiapan pada
anestesi umum. Adapun yang perlu diperhatikan adalah adanya informed consent
dari pasien, pemeriksaan fisik (lebih diperhatikan terhadap kemungkinan kelainan
spesifik seperti kelainan tulang belakang, kondisi pasien yang gemuk sehingga
sulit identifikasi prosesus spinosus, dan lainnya), serta pemeriksaan laboratorium
anjuran seperti hemoglobin, hematokrit, PT, dan PTT.
Peralatan yag diperlukan dalam anestesi spinal ini terdiri atas peralatan
monitor seperti tekanan darah, nadi, pulse oxymetri, dan EKG; peralatan
resusitasi/anestesi umum; serta jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo
runcing, Quincke-Babcock) atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point,
Whitecare).
Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau
posisi tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan
posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.

Berikut teknik anesthesia spinal dengan blok subarachnoid:


1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus laterl.
Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang spinosus
mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

14
Gambar 2.2 Posisi anestesi spinal

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan


tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukannya,
misalnya L2-3, L3-4, atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau di atasnya
berisiko trauma medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal sebesar 22 G,
23 G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27
G atau 29 G, dianjurkan menggunakan introducer (penuntun jarum), yaitu
jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2
cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang,

15
mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat
dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi
sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.

Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi blokade saraf pada pemberian
anestesi spinal. Faktor tersebut antara lain barisitas, posisi pasien selama dan
sesaat setelah injeksi, serta dosis obat. Pada umumnya makin tinggi dosis dan
posisi injeksi, maka level anestesi akan semakin tinggi. Oleh karena itu pada
posisi supine head down, cairan hiperbarik akan menyebar ke arah kepala dan
cairan hipobarik menyebar ke kaudal dan sebaliknya pada posisi head up.
Sementara pada posisi lateral, cairan spinal hiperbarik akan berefek pada bagian
yang lebih rendah dan cairan hipobarik akan mencapai daerah yang lebih tinggi6.
Obat yang sering digunakan pada anestesi spinal ini adalah bupivacaine
hiperbarik dan tetrakain. Toksisitas bupivacain lebih rendah dibandingkan
lidocain. Walaupun onset kerja bupivacain lebih lama (10-15 menit) dibandingkan
lidocain (5-10 menit) tetapi durasi kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam)
dibandingkan lidocain (1-2 jam). Penggunaan lidocain harus diperhatikan karena
seringkali menyebabkan transient neurological symptoms (TNS) dan cauda equine
sindrom. Namun ada ahli yang menyatakan penggunaan lidokain ini aman pada
anestesi spinal dengan dosis terbatas 60 mg dan diencerkan 2.5%. Oleh karena itu
penggunaan bupivacaine lebih aman dan lebih efektif6.

2.3 Durante Operasi dan Monitoring


Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular
weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga
mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer
besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian
besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan
dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler6.
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.
Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan
hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik

16
air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut
cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan
jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum
digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan
sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium
serum 130 mEq / L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit
pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling
fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi
biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah
volume darah yang hilang6.
Titik transfusi dapat ditentukan saat preoperasi dari hematokrit dan
estimated blood volume (EBV). Pasien dengan hematokrit normal biasanya
ditransfusi hanya apabila kehilangan lebih dari 10-20% dari volume darah. Waktu
yang tepat untuk transfusi ditentukan oleh kondisi pasien dan prosedur operasi
yang dilakukan.
Jumlah kehilangan darah yang dibutuhkan untuk menurunkan hematokrit
ke 30% dihitung seperti berikut:
1. Estimate Blood Volume
Pada orang dewasa, EBV dapat dihitung rata-rata 70 cc/kgBB. Tetapi ada
sumber yang menyebutkan bahwa EBV pria dihitung dengan 75 cc/kgBB
dan wanita 65 cc/kgBB.
2. Estimate the red blood cell volume (RBCV) pada RBCV pre operasi
3. Perkiraan RBCV pada heatokrit 30% (RBCV30%), menunjukkan volume
darah normal telah dicapai.
4. Menghitung kehilangan sel darah merah jika hematokrit ≤ 30% dengan
cara RBCVlost = RBCVpreop – RBCV30%.
5. Kehilangan darah yang terjadi = RBCVlost x 3.

Kehilangan cairan tambahan diperhitungkan sesuai dengan jenis operasi apakah


ringan, sedang atau berat6.

17
Tabel 2.9 Kebutuhan cairan berdasarkan derajat trauma
Derajat Trauma Kebutuhan cairan tambahan
Ringan (herniorrhaphy) 0-2 ml/kg
Sedang (cholecystectomy) 2-4 ml/kg
Berat (bowel resection) 4-8 ml/kg

Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang
dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam
mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard monitoring
intraoperatif yang diadopsi dari ASA, yaitu Standard Basic Anesthetic
Monitoring.
Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada
kondisi emergensi, appropriate life support harus diutamakan. Standar ini
ditujukan hanya tentang monitoring anestesi dasar, yang merupakan salah satu
komponen perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim
(1) beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan (2)
penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi
perkembangan klinis selanjutnya.
Standard I
Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama
general anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan
anestesi.
Standard II
Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan
temperature pasien harus dievalusi terus menerus.
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah:
1. Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter
2. Heart rate, nadi, dan kualitasnya
3. Warna membran mukosa, dan capillary refill time
4. Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek
5. palpebra)
6. Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
7. Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

18
2.4 Manajemen Anestesi Post Operasi
2.4.1 Recovery dari Regional Anastesi
Pasien yang dilakukan regional anestesi, lebih mudah mengalami recovery
dibandingkan dengan general anestesi. Hal ini dikarenakan pasien dalam posisi
sadar, sehingga komplikasi yang terkait airway, breathing, dan circulation lebih
minimal. Meskipun demikian, tetap harus dilakukan pemeriksaan tekanan darah,
nadi, dan frekuensi nafas sampai pasien benar-benar stabil. Fungsi neuromuskuler
harus dinilai misalnya mengangkat kepala. Monitoring tambahan berupa penilaian
nyeri (skala deskriptif atau numerik), ada atau tidak mual atau muntah, input dan
output cairan termasuk produksi urin, drainase, dan perdarahan.

2.5.2 Kriteria Discharge dari PACU


Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU berdasarkan
criteria discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah Aldrete Score.
Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan di-discharge ke Intensive Care
Unit (ICU) atau ke ruangan biasa.
Tabel 2.10 Aldrete Skor9
Obyek Kriteria Nilai
Aktivitas Mampu menggerakkan 4 ekstremitas 2
Mampu menggerakkan 2 ekstremitas 1
Tidak mampu menggerakkan ekstremitas 0
Respirasi Mampu nafas dalam dan batuk 2
Sesak atau pernafasan terbatas 1
Henti nafas 0
Tekanan darah Berubah sampai 20 % dari pra bedah 2
Berubah 20-50% dari pra bedah 1
Berubah > 50% dari pra bedah 0
Kesadaran Sadar baik dan orientasi baik 2
Sadar setelah dipanggil 1
Tak ada tanggapan terhadap rangsang 0
Warna kulit Kemerahan 2

19
Pucat agak suram 1
Sianosis 0
Nilai Total

Idealnya, pasien di-discharge bila total skor 10 atau minimal 9, tanpa ada nilai 0
pada kriteria penilaian objektif.

2.5.3 Kunjungan Post-Operatif


Evaluasi post operatif harus dilakukan dalam 24–48 jam setelah operasi dan
dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini harus meliputi review dari
rekam medis, anamnesa terkair perasaan atau keluhan subjektif post operasi, dan
pemeriksaan fisik serta penunjang, termasuk pemeriksaan kemungkinan
komplikasi seperti muntah, nyeri tenggorokan, kerusakan gigi, cidera saraf, cidera
okular, pneumonia, atau perubahan status mental. Bila diperlukan, harus
dilakukan terapi atau konsultasi lebih lanjut10.

20
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Nama : Tn. Musliadi
Usia : 20 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Geulanggang Baro Lapang
Agama : Islam
Suku : Aceh
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Mahasiswa
Status Pernikahan : Belum menikah
Tanggal MRS : 17 Juli 2018
No. RM : 10.31.00
Berat Badan : 57 kg
Tinggi Badan : 168 cm

3.2 Pre-Operasi
3.2.1 Anamnesa Kunjungan Pre-Operasi (22 Mei 2015 )
A (Alergy): tidak ada riwayat alergi terhadap obat-obatan, alergi makanan,
maupun asma.
M (Medication): tidak sedang menjalani pengobatan apapun.
P (Past Medical History): tidak didapatkan riwayat hipertensi, diabetes mellitus,
mengorok saat tidur, kejang, nyeri dada, keterbatasan aktifitas akibat sesak dan
tidak ada gangguan pada aktifitas sehari-hari. Pasien memiliki riwayat BAB tidak
lancar, frekuensi 1x dalam 3-7 hari. Riwayat anastesi dan anastesi sebelumnya
belum ada. Operasi ini merupakan pengalaman pertama pasien mengalami
pembedahan anastesi. Merokok (+), konsumsi minuman beralkohol (-). Keadaan
psikis: kesan tenang.
L (Last Meal): pasien terakhir makan pukul 01.00 WIB
E (Elicit History): pasien mengeluh nyeri perut di tengah sejak 3 hari. Nyeri perut
kemudian terasa juga di perut bagian kanan dan kiri. Pasien mengeluhkan perut

21
sakit jika digunakan berjalan. Pasien juga mengeluhkan tidak BAB sejak 3 hari
yang lalu dan demam yang dirasakan 1 minggu yang lalu. BAK dalam batas
normal.

3.2.2 Pemeriksaan Fisik Pre-Operasi


 B1-Breathing
- Airway paten, nafas spontan, RR 20 kali/menit
- Paru: suara paru vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
 B2-Blood
- Akral hangat, merah, dan kering.
- Nadi 88 kali/menit, regular, dan kuat.
- TD 130/80 mmHg, JVP tidak meningkat, ictus kordis tidak terlihat.
 B3-Brain
- Compos mentis, GCS E4V5M6, pupil bulat isokor Ø 3mm / 3mm, refleks
cahaya +/+.
 B4-Bladder
- BAK (dalam batas normal).
 B5-Bowel
- Bising usus (+) menurun, nyeri tekan (+) McBurney
 B6-Bone/Body
- Mobilitas (+), edema -/-, sianosis -/-, skoliosis (-), lordosis (-), hemiparesis
(-), distrofi otot (-), motorik dan sensorik normal.

3.2.3 Pemeriksaan Penunjang Pre-Operasi


Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan tanggal 18 Juli 2018
Nilai Satuan Nilai Rujukan Kesan
Darah Lengkap
Hemoglobin 12.70 g/dL 11.4-15.1 Normal
106/mm
Eritrosit 4.82 3
4.0 – 5.0 Normal

Leukosit 6.64 103/mm 4,7-11,3 Normal

22
3

Hematokrit 37.80 % 38 – 42 Normal


103/mm
Trombosit 164 3
142 – 424 Normal

MCV 78.40 fL 80 – 93 Normal


MCH 26.80 Pg 27 – 31 Normal
MCHC 34.10 gr% 32 – 36 Normal
RDW 14.00 % 11,5 - 14,5 Normal
Faal Hemostasis
PPT 11.4 Detik 11.8 Normal
INR 0.98
APTT 26.4 Detik 28.2 Normal
Elektrolit Serum
Natrium (Na) 138 Mmol/L 136 – 145 Normal
Kalium (K) 3.51 Mmol/L 3.5 – 5.0 Normal
Klorida (Cl) 108 Mmol/L 98 – 106 Normal

3.2.4 Planning
 Tanggal dilakukan anestesi : 19 Juli 2018
 Jenis anastesi : Regional Anastesia-Subarachnoid Block
 Jenis pembedahan : Appendiktomi

3.2.5 Persiapan Pre-Operasi


 Surat persetujuan operasi dan anastesi
 Puasa mulai jam 01.00 WIB
 IVFD RL 1500 cc
 Premedikasi: Inj. Ceftriaxone 1 g
3.3 Durante Operasi
 Lama operasi : 12.30-13.45
 Lama anastesi : 12.00-02.00
 Medikasi :
- Inj. Midazolam 2,5 mg

23
 Langkah Tindakan Anastesi:
Persiapan:
1. Menyiapkan meja operasi dan asesorisnya
2. Menyiapkan mesin dan alat anestesi
3. Menyiapkan komponen STATICS:
a. Scope: stetoskop, laringoskop
b. Tubes: ETT cuffed sized 7,0 kink fix
c. Airway: orotracheal airway
d. Tape: plester untuk fiksasi
e. Introducer: untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan
f. Connector: penyambung antara pipa dana alat anestesi
g. Suction: memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction
4. Menyiapkan obat-obat anastesia yang diperlukan.
5. Menyiapkan obat-obat resusitasi: adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat, dan lain-lainnya.
6. Menyiapkan tiang infuse, plester, dan lain-lainnya.
7. Memasang monitor, saturasi O2, tekanan darah, nadi.
Teknik Anastesi:
1. Menyiapkan pasien di atas meja operasi dengan posisi duduk dan
membungkuk.
2. Menentukan tempat tusukan dari perpotongan garis yang menghubungkan
kedua krista iliaka dengan tulang punggung, yaitu L4 atau L4-L5.
3. Mensterilkan tempat tusukan.
4. Dilakukan penyuntikan jarum spinal 27G di tempat penusukan pada
bidang medial dengan sudut 10-30% terhadap bidang horizontal kearah
cranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum supraspinosum,
ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, lapisan durameter, dan
lapisan subarachnoid. Stilet kemudian dicabut, sehingga cairan
serebrospinal akan keluar. Obat anastetik (Bupivacaine 2,5 mg/mL) yang
telah disiapkan disuntikkan ke dalam ruang subarachnoid.
5. Tempat penyuntikkan ditutup dengan plester.

24
6. Menempatkan kembali pasien dalam posisi supine dan pasien ditanya
apakah kedua tungkai mengalami parastesi dan sulit untuk digerakkan dan
ditanyakan apa ada keluhan mual-muntah, nyeri kepala, dan sesak.
7. Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas normal.
 Monitoring
o Pernafasan: O2 nasal canule
o Cairan Masuk:
- Pre operasi : RL 1500cc
- Durante operasi : NS 450cc
- Cairan Keluar:
- Durante operasi :
- Perdarahan: Kassa 100 cc
- Urin: 100 cc
o Estimate Blood Volume: 2925 cc
o Allowed Blood Loss: 1082 cc
o Maintenance: 85 cc/jam

3.4 Laporan Anastesi Post-Operasi


3.4.1 Laporan Anastesi Post-Operasi di Post Anesthesi Care Unit (PACU) (19
Juli 2018)
Pasien masuk pukul 14.00
Keluhan: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (+)
Pemeriksaan fisik:
- B1: airway paten, nafas spontan, RR 18x/menit
- B2: akral hangat, kering, kemerahan, N:90x/menit, TD 110/80 mmHg,
- B3: GCS E4V5M6,
- B4: terpasang kateter 18F, urine warna kuning jernih (+), produksi urin
100 cc.
- B5: bising usus (+), luka operasi bersih.
- B6: mobilitas (-)
Aldrete score: 10  pasien dapat dipindahkan ke ruangan.
Terapi Pasca Bedah:
- O2 nasal canul 2 lpm

25
- Infus RL/NS 20gtt/i
- Antibiotika: sesuai TS bedah
- Inj. Ranitidin 2x50 mg
- Inj. Ketorolac 3x30 mg
- Bila mual/muntah: kepala dimiringkan, head down, k/p di suction, Inj.
Ondansentron 4 mg
- Bila kesakitan: Inj. Tramadol 100 mg
- Minum makan: bila tidak ada mual/muntah

26
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Preoperatif
4.1.1 Penilaian Preoperatif
4.1.1.1 History Taking
Berdasarkan history taking dengan metode AMPLE pada kunjungan
preoperative, didapatkan bahwa tidak ada riwayat alergi terhadap obat-obatan,
alergi makanan, maupun penyakit asma. Pasien tidak sedang menjalani
pengobatan apapun. Pasien tidak didapatkan riwayat hipertensi, diabetes mellitus,
mengorok saat tidur, kejang, nyeri dada, keterbatasan aktifitas akibat sesak dan
tidak ada gangguan pada aktifitas sehari-hari. Pasien memiliki riwayat BAB tidak
lancar, frekuensi 1x dalam 3-7 hari. Riwayat anastesi sebelumnya tidak ada.
Operasi ini merupakan pengalaman pertama pasien mengalami pembedahan
anastesi. Pasien merokok, tidak konsumsi minuman beralkohol. Pasien terakhir
makan pukul 01.00 WIB dan sedang berpuasa.

4.1.1.2 Pemeriksaan Fisik


 B1 – Breathing
Pada breathing, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi tidak
ditemukan dan dalam batas normal.
 B2 – Blood
Pada blood, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi tidak
ditemukan. Lain-lain dalam blood dalam batas normal; TD normal, perfusi
baik, tidak didapatkan kelainan anatomis dan fungsional dari sistem
sirkulasi.
 B3 – Brain
Dalam batas normal.
 B4 – Bladder
BAK dengan kateter, produksi urin ditampung +40 cc/jam ~ +0.88
cc/kgBB/ jam, kuning jernih. Berdasarkan rata-rata produksi urin yang
dapat diperiksa, didapatkan bahwa jumlah dan kejernihan produksi urin
dalam batas normal.

27
 B5 – Bowel
Pada bowel, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi tidak
ditemukan.
 B6 – Bone/Body
Dalam batas normal.
4.1.1.3 Pemeriksaan Penunjang
Luas cakupan pemeriksaan preanestesi telah sesuai dengan keadaan dan
kebuthan pasien, kondisi co-morbid saat ini, dan prosedur bedah yang
direncanakan.
Hasil pemeriksaan masih dianggap valid sesuai periode waktu untuk
masing-masing jenis pemeriksaan tambahan. Dapat disimpulkan hasil
pemeriksaan dalam batas normal.
4.1.1.4 Kesimpulan Penilaian Preoperatif
Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
pasien tidak menderita penyakit sistemik, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari,
sehingga diklasifikasikan dengan ASA-1 - dengan apendisitis akut.
4.1.2 Masukan Oral
Untuk meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke jalan nafas selama
anestesi, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi seperti pasien ini telah
menjalani puasa selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Lama puasa
pada pasien ini telah sesuai dengan Fasting Guideline Pre-operatif - American
Society of Anesthesiologist yakni konsumsi cairan maksimal 2 jam preoperasi,
makanan rendah lemak 6 jam preoperasi, dan makanan tinggi lemak 8 jam
preoperasi, dimana pasien terakhir makan dan minum Pkl. 01.00 WIB.
4.1.3 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:
- Meredakan kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi anestesi
- Mengontrol nyeri post operasi
- Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
- Meminimalkan jumlah obat anestesi
- Mengurangi mual muntah pasca operasi

28
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi resiko aspirasi isi lambung
Pada pasien ini diberikan 4 jam sebelum operasi, dengan obat premedikasi
berupa inj. Ranitidine 50 mg. Ranitidine diberikan untuk profilaksis dari PONV
(post operatif nausea vomiting). Pemilihan ranitidin dikarenakan obat ini
mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2 sehingga dapat mengurangi produksi
asam lambung yang nantinya dapat mengurangi risiko pnemonia aspirasi.

4.2 Manajemen Anastesi Durante Operasi


4.2.1 Pemilihan Teknik Anastesi
Pada pasien ini dilakukan regional anestesi. Pemilihan anestesi regional
sebagai teknik anestesi pada pasien ini berdasarkan pertimbangan bahwa pasien
akan menjalani operasi appendiktomi sehingga pasien memerlukan blockade pada
regio abdomen bawah untuk mempermudah operator dalam melakukan operasi.
Teknik ini umumnya sederhana, cukup efektif, dan mudah digunakan.
Teknik anestesi regional pada pasien ini dengan menggunakan jarum 27 G
dan dibantu dengan introducer (penuntun jarum). Setelah introduser disuntikkan
sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian jarum spinal berikut
mandrinnya dimasukkan ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang,
mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor. Setelah terjadi barbotage, yaitu
keluarnya cairan serebrospinal tanpa disertai keluarnya darah, maka pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Pada pasien ini diberikan obat anestesi bupivacain dikarenakan toksisitas
bupivacain lebih rendah dibandingkan lidocain. Walaupun onset kerja bupivacain
lebih lama (10-15 menit) dibandingkan lidocain (5-10 menit) tetapi durasi
kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam) dibandingkan lidocain (1-2 jam).
Selain itu diberikan morphine (fentanyl) 0,1 mg dengan tujuan untuk
memperpanjang waktu kerja obat anestesi dan sebagai analgetik. Meskipun
demikian, perlu diwaspadai efek samping hipotensi akibat pemakaian obat ini.

29
4.2.2 Terapi Cairan Durante Operasi
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular
weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga
mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer
besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian
besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan
dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler6.
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.
Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan
hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik
air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut
cairan jenis replacement6.
Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan
darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual
memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon
ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap
100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap
tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah, namun pada operasi
pasien ini tidak dilakukan. Pada pasien ini jumlah darah yang hilang didapatkan
dari kassa 100 cc.

4.2.3 Monitoring
Pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen peaien tidak pernah <95%,
tekanan darah pasien dalam batas normal berkisar (S: 110-120, D: 70-80), nadi
antara 60-80x/menit. RR: 14-18x/menit.

4.3 Manajemen Anastesi Post Operasi


4.3.1 Recovery dari Regional Anastesi
Pada pasien ini, rencana operasi berjalan sesuai rencana dari pukul 22.30 - 23.30.
Dengan berjalannya operasi sesuai rencana maka recovery pada pasien ini juga
cepat karena pasien menggunakan teknik anestesi regional.

30
4.3.2 Kriteria Discharge dari PACU
Satu jam setelah operasi dan anestesi berakhir pasien dievaluasi sebelum
dikeluarkan dari PACU berdasarkan criteria Aldrete Score. Pada pasien ini
didapatkan:
Obyek Kriteria Nilai
Aktivitas Mampu menggerakkan 4 ekstremitas 2
Respirasi Mampu nafas dalam dan batuk 2
Tekanan darah Berubah sampai 20 % dari pra bedah 2
Kesadaran Sadar baik dan orientasi baik 2
Warna kulit Kemerahan 2
Nilai Total 10

Dengan nilai total aldrete score pasien kemudian dipindahkan ke ruang


rawat inap dengan rencana monitoring yang dilakukan sudah benar dan sesuai
kebutuhan pasien.

4.3.3 Kunjungan Postoperatif


Evaluasi post operatif dilakukan dalam 24 setelah operasi dan telah dicatat
dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini meliputi review dari rekam medis,
anamnesa terkait perasaan atau keluhan subjektif post operasi, dan pemeriksaan
fisik serta penunjang berupa pemeriksaan darah lengkap post operasi. Pada
kunjungan postoperatif pasien ini dari anamnesa tidak didapatkan keluhan dan
pada pemeriksaan fisik dan penunjang secara keseluruhan dalam batas normal.
Terapi PONV dan management nyeri dilakukan dengan baik.

31
BAB V
PENUTUP

Pasien adalah laki-laki usia 20 tahun dengan apendisitis akut, yang


dilakukan operasi apendiktomi pada tanggal 19 Juli 2018. Tindakan anestesi yang
dilakukan adalah anestesi regional dengan blok subarachnoid. Hal ini dipilih
karena keadaan pasien sesuai dengan indikasi anestesi regional.
Evaluasi pre operasi pada pasien dalam batas normal. Tidak ditemukan
kelainan lain yang menjadi kontraindikasi dilakukannya anestesi regional.
Selama durante operasi, tidak terjadi komplikasi. Kondisi pasien relatif
stabil sampai operasi selesai.
Evaluasi post operatif dilakukan pemantauan terhadap pasien, dan tidak
didapatkan keluhan. Selama di PACU (Post Anesthesy Care Unit) pasien cukup
stabil dengan Aldrete Score bernilai 10 dan tidak terdapat score 0, sehingga pasien
dapat dipindahkan ke ruang rawat biasa (Ruang Jeumpa Bedah Pria).

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Cole MA, Maldonado N. Emergency Medicine Practice: Evidence-Based


Management of Suspected Appendicitis In The Emergency Department Vol.13
Number 10. 2011:1-32
2. Humes DJ, Simpson J, Acute Appendicitis. BMJ. 2006;333;530-534
3. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FKUI
4. Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C.
2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott Williams
& Wilkins.
5. American Society of Anesthesiologist. 2011. Practice Guidelines for
Preoperative Fasting and The Use of Pharmacologic Agents to Reduce
Aspiration: Application to Healthy Patients Undergoing Elective Procedures:
An Updated Report by The American Society of Anesthesiologists Committee
on Standards and Practice parameters. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
6. Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Clinical Anesthesiology.
4th Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
7. Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener JP, Young WL. 2009. Miller’s
Anesthesia 7th ed. US : Elsevier
8. Universitas Sumatera Utara (USU). 2011. Anestesi Spinal.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22847/4/Chapter%20II.pdf.
Diakses pada 10 April 2013 pk.19.00
9. Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg
1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited. J
Clin Anesth 1995;7:89.
10. Dunn, Peter F., Theodore A. Alston, Keith H. Baker, J. Kenneth Davison, Jean
Kwo, dan Carl Rosow. 2007. Clinical Anesthesia Procedures of The
Massachusets General Hospital 7th edition. USA: Lippincott Williams &
Wilkins.

33

You might also like