Tatalaksana Anestesi Untuk Appendiktomi Pada Pasien Appendisitis
Tatalaksana Anestesi Untuk Appendiktomi Pada Pasien Appendisitis
Tatalaksana Anestesi Untuk Appendiktomi Pada Pasien Appendisitis
Oleh :
Idha Fitriyani, S.Ked
130610019
Preseptor :
dr. Fachrurrazy, Sp. An, M.Kes, KIC
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
rash) harus dibedakan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal).
Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat
pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat
dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa
menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem
organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang
belum terdiagnosis.
2.1.1.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain.
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya
meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respiratory rate, suhu) dan
pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan system musculoskeletal.
Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi regional sehingga
bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi
geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi.
Kesesuaian masker untuk anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada
pasien dengan abnormalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek
antara dagu dengan tulang hyoid), incisivus bawah yang besar, makroglosia,
Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae
servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk
dilakukan intubasi trakeal.
Skoring Mallampati:
- Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan
- Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula
- Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula
- Hanya terlihat palatum durum
3
Gambar 2.1. Kriteria Mallampati
Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena
efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan.
Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya
ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA
secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena
underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap
komplikasi perioperatif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak
sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam
perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring4.
Tabel 2.1 Klasifikasi ASA
Kelas I Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.
Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi
aktivitas sehari-hari.
Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.
Kelas IV Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan maupun
tanpa operasi.
Kelas V Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tapi tetap dilakukan
operasi sebagai upaya resusitasi.
Kelas VI Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan diambil
untuk tujuan donor
E Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I – VI diatas.
4
2.1.1.3 Pemeriksaan Penunjang
Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung pada umur
pasien, ada tidaknya kondisi co-morbid saat ini, sama seperti dasar dan luas dari
prosedur bedah yang direncanakan.
Tabel 2.2 Pemeriksaan Tambahan yang Dibutuhkan
Pemeriksaan rutin Indikasi
Urinalisis Pada semua pasien (periksa konsentrasi
glukosa darah jika glukosa urine positif)
FBC Pada semua wanita: pria > 40 tahun; semua
bedah mayor
Ureum, Creatinin, Elektrolit Bedah mayor
ECG Umur > 50 tahun
Foto Torak Umur > 60 tahun
Tes fungsi hati (Liver Function Bedah mayor pada pasien umur > 50 tahun.
Test)
5
4 Elektrokardiografi Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru
kronik
Diabetes Mellitus
5 Chest X-ray Penyakit respirasi
Penyakit kardiovaskuler
6 Arterial blood gases Pasien sepsis
Penyakit paru
Pasien dengan kesulitan respirasi
Pasien obesitas
Pasien yang akan thorakotomi
7 Test fungsi paru Pasien yang akan operasi thorakotomi
Penyakit paru sedang sampai berat seperti
COPD, bronchiectasis
8 Skreen koagulasi Penyakit hematologic
Penyakit hati yang berat
Koagulopati
Terapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral
(warfarin) atau heparin
9 Test fungsi hati Penyakit hepatobilier
Riwayat penyahgunaan alcohol
Tumor dengan metastase ke hepar
10 Tes fungsi thyroid Bedah thyroid
Riwayat penyakit thyroid
Curiga abnormalitas endokrin seperti tumor
pituitary
Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak dari
yang 1 minggu (FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1
bulan (ECG), sampai 6 bulan (chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam
keadaan berikut;
- Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah
6
- Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium untuk
hipokalemia, terapi insulin untuk hiperglikemia, dialysis untuk pasien
dengan gagal ginjal, produk darah untuk koreksi koagulopati.
7
siang Solid Puasa mulai jam 8
pagi
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami
deficit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan
kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.
2.1.4 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia
diantaranya:
- Meredakan kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi anesthesia
- Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
- Meminimalkan jumlah obat anestetik
- Mengurangi mual muntah pasca bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi reflek yang membahayakan
8
Tabel 2.6 Obat-Obat Yang Dapat Digunakan Untuk Premedikasi
No. Jenis Obat Dosis (Dewasa)
1 Sedatif:
Diazepam 5-10 mg
Difenhidramin 1 mg/kgBB
Promethazin 1 mg/kgBB
Midazolam 0,1-0,2 mg/kgBB
2 Analgetik Opiat
Petidin 1-2 mg/kgBB
Morfin 0,1-0,2 mg/kgBB
Fentanil 1-2 µg/kgBB
Analgetik non opiate Disesuaikan
3 Antikholinergik:
Sulfas atropine 0,1 mg/kgBB
4 Antiemetik:
Ondansetron 4-8 mg (iv) dewasa
Metoklopramid 10 mg (iv) dewasa
5 Profilaksis aspirasi
Cimetidin Dosis disesuaikan
Ranitidine
Antasid
9
- Obat-obat anestesia yang diperlukan.
- Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
- Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
- Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
- Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya;
“Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”.
- Kartu catatan medic anestesia
- Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.
10
1. Usia pasien
Pada bayi dan anak paling baik dilakukan teknik general anestesi. Pada
pasien dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipemukaan dapat dilakukan
teknik anestesi lokal atau umum.
2. Status fisik pasien
a. Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Penting untuk mengetahui
apakah pasien pernah menjalani suatu pembedahan dan anestesi. Apakah
ada komplikasi anestesi dan paska pembedahan yang dialami saat itu.
Pertanyaa mengenai riwayat penyakit terutama diarahkan pada ada
tidaknya gejala penyakit kardiorespirasi, kebiasaan merokok, meminum
alkohol, dan obat-obatan. Harus menajadi suatu perhatian saat pasien
memakai obat pelumpuh otot nondepolarisasi bila didapati atau dicurigai
adanya penyakit neuromuskular, antaralain poliomielitis dan miastenia
gravis. Sebaiknya tindakan anestesi regional dicegah untuk pasien dengan
neuropati diabetes karena mungkin dapat memperburuk gejala yang telah
ada.
b. Gangguan fungsi kardiorespirasi berat. Sedapat mungkin hindari
penggunaan anestesi umum dan sebaiknya dilakukan dengan anestesi lokal
atau regional.
c. Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi, dan/atau dengan gangguan
jiwa sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.
d. Pasien obesitas. Bila disertai leher pendek atau besar atau sering timbul
gangguan sumbatan jalan nafas, sebaiknya dipilih teknik anestesi regional,
spinal, atau anestesi umum ndotrakeal.
3. Posisi pembedahan
Posisi seperti miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesi
umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan. Demikian juga
dengan pembedahan yang berlangsung lama.
4. Keterampilan dan kebutuhan dokter bedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan
kebutuhan dokter bedah, antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi
perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin untuk bedah
plastik, dna lain-lain.
11
5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi
Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesiologi sangat
menentukan pilihan-pilihan teknik anestesi. Sebaiknya tidak melakukan teknik
anestesi tertentu bila belum ada pengalaman dan keterampilan.
6. Keinginan pasien
Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan
dipertimbangkan bila keadaan pasien memang memungkinkan dan tidak
membahayakan keberhasilan operasi.
7. Bahaya kebakaran dan ledakan
Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah
pilihan utama pada pembedahan dengan memakai alat elektrokauter.
8. Pendidikan
Di kamar bedah rumah sakit pendidikan, operasi mungkin dapat berjalan lama
karena sering terjadi percakapan instruktor dengan residen, mahasiswa, atau
perawat. Oleh sebab itu, sebaiknya pilihan adalah anestesi umum atau bila dengan
anestesi spinal atau regioal perlu diberikan sedasi yang cukup3.
12
radix ganglion posterior dan sebagian medula spinalis yang akan menyebabkan
hilangnya aktivitas sensoris, motoris dan otonom3.
13
Bradikardia
Hipoventilasi
Trauma pembuluh darah
Trauma saraf
Mual muntah
Gangguan pendengaran
Blok spinal tinggi, atau spinal total
Nyeri tempat suntikan
Nyeri punggung
Komplikasi Pasca Tindakan Nyeri kepala karena kebocoran likuor
Retensio urine
Meningitis
Persiapan untuk anestesi spinal pada dasarnya sama dengan persiapan pada
anestesi umum. Adapun yang perlu diperhatikan adalah adanya informed consent
dari pasien, pemeriksaan fisik (lebih diperhatikan terhadap kemungkinan kelainan
spesifik seperti kelainan tulang belakang, kondisi pasien yang gemuk sehingga
sulit identifikasi prosesus spinosus, dan lainnya), serta pemeriksaan laboratorium
anjuran seperti hemoglobin, hematokrit, PT, dan PTT.
Peralatan yag diperlukan dalam anestesi spinal ini terdiri atas peralatan
monitor seperti tekanan darah, nadi, pulse oxymetri, dan EKG; peralatan
resusitasi/anestesi umum; serta jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo
runcing, Quincke-Babcock) atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point,
Whitecare).
Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau
posisi tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan
posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
14
Gambar 2.2 Posisi anestesi spinal
15
mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat
dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi
sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi blokade saraf pada pemberian
anestesi spinal. Faktor tersebut antara lain barisitas, posisi pasien selama dan
sesaat setelah injeksi, serta dosis obat. Pada umumnya makin tinggi dosis dan
posisi injeksi, maka level anestesi akan semakin tinggi. Oleh karena itu pada
posisi supine head down, cairan hiperbarik akan menyebar ke arah kepala dan
cairan hipobarik menyebar ke kaudal dan sebaliknya pada posisi head up.
Sementara pada posisi lateral, cairan spinal hiperbarik akan berefek pada bagian
yang lebih rendah dan cairan hipobarik akan mencapai daerah yang lebih tinggi6.
Obat yang sering digunakan pada anestesi spinal ini adalah bupivacaine
hiperbarik dan tetrakain. Toksisitas bupivacain lebih rendah dibandingkan
lidocain. Walaupun onset kerja bupivacain lebih lama (10-15 menit) dibandingkan
lidocain (5-10 menit) tetapi durasi kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam)
dibandingkan lidocain (1-2 jam). Penggunaan lidocain harus diperhatikan karena
seringkali menyebabkan transient neurological symptoms (TNS) dan cauda equine
sindrom. Namun ada ahli yang menyatakan penggunaan lidokain ini aman pada
anestesi spinal dengan dosis terbatas 60 mg dan diencerkan 2.5%. Oleh karena itu
penggunaan bupivacaine lebih aman dan lebih efektif6.
16
air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut
cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan
jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum
digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan
sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium
serum 130 mEq / L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit
pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling
fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi
biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah
volume darah yang hilang6.
Titik transfusi dapat ditentukan saat preoperasi dari hematokrit dan
estimated blood volume (EBV). Pasien dengan hematokrit normal biasanya
ditransfusi hanya apabila kehilangan lebih dari 10-20% dari volume darah. Waktu
yang tepat untuk transfusi ditentukan oleh kondisi pasien dan prosedur operasi
yang dilakukan.
Jumlah kehilangan darah yang dibutuhkan untuk menurunkan hematokrit
ke 30% dihitung seperti berikut:
1. Estimate Blood Volume
Pada orang dewasa, EBV dapat dihitung rata-rata 70 cc/kgBB. Tetapi ada
sumber yang menyebutkan bahwa EBV pria dihitung dengan 75 cc/kgBB
dan wanita 65 cc/kgBB.
2. Estimate the red blood cell volume (RBCV) pada RBCV pre operasi
3. Perkiraan RBCV pada heatokrit 30% (RBCV30%), menunjukkan volume
darah normal telah dicapai.
4. Menghitung kehilangan sel darah merah jika hematokrit ≤ 30% dengan
cara RBCVlost = RBCVpreop – RBCV30%.
5. Kehilangan darah yang terjadi = RBCVlost x 3.
17
Tabel 2.9 Kebutuhan cairan berdasarkan derajat trauma
Derajat Trauma Kebutuhan cairan tambahan
Ringan (herniorrhaphy) 0-2 ml/kg
Sedang (cholecystectomy) 2-4 ml/kg
Berat (bowel resection) 4-8 ml/kg
Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang
dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam
mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard monitoring
intraoperatif yang diadopsi dari ASA, yaitu Standard Basic Anesthetic
Monitoring.
Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada
kondisi emergensi, appropriate life support harus diutamakan. Standar ini
ditujukan hanya tentang monitoring anestesi dasar, yang merupakan salah satu
komponen perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim
(1) beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan (2)
penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi
perkembangan klinis selanjutnya.
Standard I
Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama
general anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan
anestesi.
Standard II
Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan
temperature pasien harus dievalusi terus menerus.
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah:
1. Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter
2. Heart rate, nadi, dan kualitasnya
3. Warna membran mukosa, dan capillary refill time
4. Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek
5. palpebra)
6. Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
7. Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.
18
2.4 Manajemen Anestesi Post Operasi
2.4.1 Recovery dari Regional Anastesi
Pasien yang dilakukan regional anestesi, lebih mudah mengalami recovery
dibandingkan dengan general anestesi. Hal ini dikarenakan pasien dalam posisi
sadar, sehingga komplikasi yang terkait airway, breathing, dan circulation lebih
minimal. Meskipun demikian, tetap harus dilakukan pemeriksaan tekanan darah,
nadi, dan frekuensi nafas sampai pasien benar-benar stabil. Fungsi neuromuskuler
harus dinilai misalnya mengangkat kepala. Monitoring tambahan berupa penilaian
nyeri (skala deskriptif atau numerik), ada atau tidak mual atau muntah, input dan
output cairan termasuk produksi urin, drainase, dan perdarahan.
19
Pucat agak suram 1
Sianosis 0
Nilai Total
Idealnya, pasien di-discharge bila total skor 10 atau minimal 9, tanpa ada nilai 0
pada kriteria penilaian objektif.
20
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : Tn. Musliadi
Usia : 20 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Geulanggang Baro Lapang
Agama : Islam
Suku : Aceh
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Mahasiswa
Status Pernikahan : Belum menikah
Tanggal MRS : 17 Juli 2018
No. RM : 10.31.00
Berat Badan : 57 kg
Tinggi Badan : 168 cm
3.2 Pre-Operasi
3.2.1 Anamnesa Kunjungan Pre-Operasi (22 Mei 2015 )
A (Alergy): tidak ada riwayat alergi terhadap obat-obatan, alergi makanan,
maupun asma.
M (Medication): tidak sedang menjalani pengobatan apapun.
P (Past Medical History): tidak didapatkan riwayat hipertensi, diabetes mellitus,
mengorok saat tidur, kejang, nyeri dada, keterbatasan aktifitas akibat sesak dan
tidak ada gangguan pada aktifitas sehari-hari. Pasien memiliki riwayat BAB tidak
lancar, frekuensi 1x dalam 3-7 hari. Riwayat anastesi dan anastesi sebelumnya
belum ada. Operasi ini merupakan pengalaman pertama pasien mengalami
pembedahan anastesi. Merokok (+), konsumsi minuman beralkohol (-). Keadaan
psikis: kesan tenang.
L (Last Meal): pasien terakhir makan pukul 01.00 WIB
E (Elicit History): pasien mengeluh nyeri perut di tengah sejak 3 hari. Nyeri perut
kemudian terasa juga di perut bagian kanan dan kiri. Pasien mengeluhkan perut
21
sakit jika digunakan berjalan. Pasien juga mengeluhkan tidak BAB sejak 3 hari
yang lalu dan demam yang dirasakan 1 minggu yang lalu. BAK dalam batas
normal.
22
3
3.2.4 Planning
Tanggal dilakukan anestesi : 19 Juli 2018
Jenis anastesi : Regional Anastesia-Subarachnoid Block
Jenis pembedahan : Appendiktomi
23
Langkah Tindakan Anastesi:
Persiapan:
1. Menyiapkan meja operasi dan asesorisnya
2. Menyiapkan mesin dan alat anestesi
3. Menyiapkan komponen STATICS:
a. Scope: stetoskop, laringoskop
b. Tubes: ETT cuffed sized 7,0 kink fix
c. Airway: orotracheal airway
d. Tape: plester untuk fiksasi
e. Introducer: untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan
f. Connector: penyambung antara pipa dana alat anestesi
g. Suction: memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction
4. Menyiapkan obat-obat anastesia yang diperlukan.
5. Menyiapkan obat-obat resusitasi: adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat, dan lain-lainnya.
6. Menyiapkan tiang infuse, plester, dan lain-lainnya.
7. Memasang monitor, saturasi O2, tekanan darah, nadi.
Teknik Anastesi:
1. Menyiapkan pasien di atas meja operasi dengan posisi duduk dan
membungkuk.
2. Menentukan tempat tusukan dari perpotongan garis yang menghubungkan
kedua krista iliaka dengan tulang punggung, yaitu L4 atau L4-L5.
3. Mensterilkan tempat tusukan.
4. Dilakukan penyuntikan jarum spinal 27G di tempat penusukan pada
bidang medial dengan sudut 10-30% terhadap bidang horizontal kearah
cranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum supraspinosum,
ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, lapisan durameter, dan
lapisan subarachnoid. Stilet kemudian dicabut, sehingga cairan
serebrospinal akan keluar. Obat anastetik (Bupivacaine 2,5 mg/mL) yang
telah disiapkan disuntikkan ke dalam ruang subarachnoid.
5. Tempat penyuntikkan ditutup dengan plester.
24
6. Menempatkan kembali pasien dalam posisi supine dan pasien ditanya
apakah kedua tungkai mengalami parastesi dan sulit untuk digerakkan dan
ditanyakan apa ada keluhan mual-muntah, nyeri kepala, dan sesak.
7. Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas normal.
Monitoring
o Pernafasan: O2 nasal canule
o Cairan Masuk:
- Pre operasi : RL 1500cc
- Durante operasi : NS 450cc
- Cairan Keluar:
- Durante operasi :
- Perdarahan: Kassa 100 cc
- Urin: 100 cc
o Estimate Blood Volume: 2925 cc
o Allowed Blood Loss: 1082 cc
o Maintenance: 85 cc/jam
25
- Infus RL/NS 20gtt/i
- Antibiotika: sesuai TS bedah
- Inj. Ranitidin 2x50 mg
- Inj. Ketorolac 3x30 mg
- Bila mual/muntah: kepala dimiringkan, head down, k/p di suction, Inj.
Ondansentron 4 mg
- Bila kesakitan: Inj. Tramadol 100 mg
- Minum makan: bila tidak ada mual/muntah
26
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Preoperatif
4.1.1 Penilaian Preoperatif
4.1.1.1 History Taking
Berdasarkan history taking dengan metode AMPLE pada kunjungan
preoperative, didapatkan bahwa tidak ada riwayat alergi terhadap obat-obatan,
alergi makanan, maupun penyakit asma. Pasien tidak sedang menjalani
pengobatan apapun. Pasien tidak didapatkan riwayat hipertensi, diabetes mellitus,
mengorok saat tidur, kejang, nyeri dada, keterbatasan aktifitas akibat sesak dan
tidak ada gangguan pada aktifitas sehari-hari. Pasien memiliki riwayat BAB tidak
lancar, frekuensi 1x dalam 3-7 hari. Riwayat anastesi sebelumnya tidak ada.
Operasi ini merupakan pengalaman pertama pasien mengalami pembedahan
anastesi. Pasien merokok, tidak konsumsi minuman beralkohol. Pasien terakhir
makan pukul 01.00 WIB dan sedang berpuasa.
27
B5 – Bowel
Pada bowel, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi tidak
ditemukan.
B6 – Bone/Body
Dalam batas normal.
4.1.1.3 Pemeriksaan Penunjang
Luas cakupan pemeriksaan preanestesi telah sesuai dengan keadaan dan
kebuthan pasien, kondisi co-morbid saat ini, dan prosedur bedah yang
direncanakan.
Hasil pemeriksaan masih dianggap valid sesuai periode waktu untuk
masing-masing jenis pemeriksaan tambahan. Dapat disimpulkan hasil
pemeriksaan dalam batas normal.
4.1.1.4 Kesimpulan Penilaian Preoperatif
Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
pasien tidak menderita penyakit sistemik, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari,
sehingga diklasifikasikan dengan ASA-1 - dengan apendisitis akut.
4.1.2 Masukan Oral
Untuk meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke jalan nafas selama
anestesi, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi seperti pasien ini telah
menjalani puasa selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Lama puasa
pada pasien ini telah sesuai dengan Fasting Guideline Pre-operatif - American
Society of Anesthesiologist yakni konsumsi cairan maksimal 2 jam preoperasi,
makanan rendah lemak 6 jam preoperasi, dan makanan tinggi lemak 8 jam
preoperasi, dimana pasien terakhir makan dan minum Pkl. 01.00 WIB.
4.1.3 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:
- Meredakan kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi anestesi
- Mengontrol nyeri post operasi
- Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
- Meminimalkan jumlah obat anestesi
- Mengurangi mual muntah pasca operasi
28
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi resiko aspirasi isi lambung
Pada pasien ini diberikan 4 jam sebelum operasi, dengan obat premedikasi
berupa inj. Ranitidine 50 mg. Ranitidine diberikan untuk profilaksis dari PONV
(post operatif nausea vomiting). Pemilihan ranitidin dikarenakan obat ini
mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2 sehingga dapat mengurangi produksi
asam lambung yang nantinya dapat mengurangi risiko pnemonia aspirasi.
29
4.2.2 Terapi Cairan Durante Operasi
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular
weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga
mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer
besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian
besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan
dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler6.
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.
Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan
hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik
air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut
cairan jenis replacement6.
Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan
darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual
memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon
ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap
100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap
tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah, namun pada operasi
pasien ini tidak dilakukan. Pada pasien ini jumlah darah yang hilang didapatkan
dari kassa 100 cc.
4.2.3 Monitoring
Pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen peaien tidak pernah <95%,
tekanan darah pasien dalam batas normal berkisar (S: 110-120, D: 70-80), nadi
antara 60-80x/menit. RR: 14-18x/menit.
30
4.3.2 Kriteria Discharge dari PACU
Satu jam setelah operasi dan anestesi berakhir pasien dievaluasi sebelum
dikeluarkan dari PACU berdasarkan criteria Aldrete Score. Pada pasien ini
didapatkan:
Obyek Kriteria Nilai
Aktivitas Mampu menggerakkan 4 ekstremitas 2
Respirasi Mampu nafas dalam dan batuk 2
Tekanan darah Berubah sampai 20 % dari pra bedah 2
Kesadaran Sadar baik dan orientasi baik 2
Warna kulit Kemerahan 2
Nilai Total 10
31
BAB V
PENUTUP
32
DAFTAR PUSTAKA
33