Digital 20355100 S Belinda Rahmadara

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 103

UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANGTUA DAN PERAN-


PERAN DALAM PERILAKU BULLYING PADA SISWA SEKOLAH
DASAR

(The Relationship Between Parenting Style and The Roles in Bullying


Behavior among Students of Elementary School)

SKRIPSI

BELINDA RAHMADARA

0806344401

FAKULTAS PSIKOLOGI

PROGRAM STUDI SARJANA REGULER

DEPOK

JULI, 2012

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANGTUA DAN PERAN-


PERAN DALAM PERILAKU BULLYING PADA SISWA SEKOLAH
DASAR

(The Relationship Between Parenting Style and The Roles in Bullying


Behavior among Students of Elementary School)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

BELINDA RAHMADARA

0806344401

FAKULTAS PSIKOLOGI

PROGRAM STUDI SARJANA REGULER

DEPOK

JULI, 2012
Universitas Indonesia | viii

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Universitas Indonesia | ix

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Universitas Indonesia | x

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Universitas Indonesia | xi

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang Maha Kuasa atas segala
karunia dan hidayah yang diberikan sehingga saya diberi kesempatan untuk
menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan bertujuan untuk memenuhi
salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
dari awal perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini, sangat sulit bagi saya untuk dapat
menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan terima kasih
kepada:

1. Kedua orangtua saya dan adik saya tercinta, yang selalu memberikan dukungan
baik moril maupun materiil yang tak terhingga.
2. Dra. Ratna Djuwita, Dipl. Psych sebagai pembimbing skripsi saya yang telah
meluangkan waktu dan daya upaya untuk membimbing saya dan teman-teman di
payung penelitian Bullying sehingga skripsi ini bisa terselesaikan.
3. Imelda Dian Ika Oriza, S.Psi, M.Psi. sebagai pembimbing akademis saya yang
memberikan arahan dan dukungan kepada saya selama perkuliahan di Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.
4. Dosen penguji, yaitu Dra. Sri Fatmawati Mashoedi, M.Si. dan Widayatri Sekka
Udaranti, M.Si yang telah banyak memberikan arahan dan masukan terhadap
skripsi ini.
5. Bapak Gagan Hartana, sebagai expert judgement alat ukur pola asuh orangtua
yang telah saya modifikasi. Terima kasih banyak atas arahan dan masukan
terhadap cara perhitungan statistik data penelitian skripsi saya ini.
6. Teman-teman payung (Dewi dan Anton) yang saling membantu satu sama lain
sehingga skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.
7. Sahabat saya dari SMA sampai di perkuliahan, Sifa Fauzia dari Fakultas
Kesehatan Masyarakat UI, yang telah bersedia meluangkan waktunya, baik itu
sekedar mendengarkan curhatan saya ataupun untuk mengajari saya pengolahan
data statistik.
8. Para responden penelitian dan pihak-pihak sekolah yang membantu dalam
menyelesaikan skripsi ini.
9. Seluruh sahabat-sahabat dan teman-teman Psikologi UI angkatan 2008
(Psikomplit) yang memberikan suasana kekeluargaan dan pengalaman yang
berharga selama perkuliahan.
10. Para senior di Fakultas Psikologi yang telah banyak membantu peneliti jika
mendapat kesulitan. Serta para junior, yang senantiasa menyemangati peneliti
hingga akhirnya bisa merampungkan skripsi ini.

Universitas Indonesia | xii

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


11. Bigbang, 2NE1, YG Family, dan seluruh artis-artis Korea yang lagu-lagunya
menemani peneliti selama mengerjakan laporan penelitian ini. Juga drama dan
acara-acara TV Korea yang telah memberikan hiburan tersendiri untuk peneliti
ditengah hiruk-pikuk pengerjaan skripsi ini.
12. Seluruh petugas perpustakaan dan petugas sub-bagian akademik fakultas,
khususnya Mbak Yana, yang telah banyak membantu peneliti dalam mengurus
administrasi selama masa pengerjaan skripsi ini.

Skripsi ini dibuat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampun saya, tapi
tidak menutup kemungkinan jika terdapat kekurangan di dalamnya. Jika ada hal-hal
yang ingin ditanyakan atau didiskusikan lebih lanjut, bisa menghubungi
[email protected]. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih dan berharap Allah
SWT berkenan membalas segala kebaikan kepada semua pihak yang telah membantu
dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan.

Depok, 5 Juli 2012

Belinda Rahmadara

Universitas Indonesia | xiii

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Universitas Indonesia | xiv

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


ABSTRAK

Nama : Belinda Rahmadara


Program Studi : Psikologi
Judul : Hubungan antara Pola Asuh Orangtua dan Peran-Peran
dalam Perilaku Bullying Pada Siswa Sekolah Dasar

Tujuan penelitian ini untuk melihat ada tidaknya hubungan antara pola asuh orangtua
dengan peran-peran dalam perilaku bullying pada siswa sekolah dasar. Penelitian ini
merupakan ex post facto field study. Partisipan penelitian ini terdiri dari 132 siswa kelas
5 dan 6 dari empat SD Negeri di daerah Jakarta dan Bekasi. Adapun pola asuh orangtua
dibedakan menjadi tipologi yang dibuat Baumrind (1980 dalam Martin & Colbert,
1997) yakni authoritarian, authoritative, permissive dan uninvolved. Sementara peran-
peran dalam perilaku bullying adalah peran sebagai pelaku, bystander, defender, dan
korban. Hasil uji Pearson Chi Square yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan
adanya hubungan yang tidak signifikan antara pola asuh orangtua dengan peran-peran
dalam perilaku bullying pada taraf signifikansi 0.05. Dengan demikian, anak yang
memiliki orangtua dengan pola asuh berbeda tidak menjamin ia akan memiliki peran
yang berbeda pula dalam perilaku bullying di sekolahnya.

Kata Kunci:
Pola Asuh Orangtua, Bullying, Bully, Bystander, Defender, Victim.

Universitas Indonesia | xv

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


ABSTRACT

Name : Belinda Rahmadara


Program of Study : Psychology
Title : The Correlation between Parenting Style and The Roles in
Bullying Behavior among Elementary Students.

This research was conducted to find the correlation between parenting style and the
roles in bullying behavior among elementary students, and how much each parenting
style contributes to the roles in bullying behavior. This study is an ex post facto field
study. Participants of this study consisted of 132 students in grade 5 and 6 of the four
primary schools in Jakarta and Jakarta. The foster parents can be divided into patterns
created Baumrind typology (1980 in Martin & Colbert, 1997) which is authoritarian,
authoritative, permissive and uninvolved. While roles in bullying behavior is the role of
a bully, bystander, defender, and the victim. Pearson Chi-Square test results obtained in
this study showed no significant relationship between parent and parenting roles in
bullying behavior at the 0.05 level. Thus, children who have parents with different
parenting does not guarantee it will have different role in bullying behavior at school.

Keyword:
Parenting Style, Bullying, Bully, Bystander, Defender, Victim.

Universitas Indonesia | xvi

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................... vii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS


AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ........................................... viii
ABSTRAK ............................................................................................................. ix
ABSTRACT ........................................................................................................... x
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xv
DAFTAR GRAFIK............................................................................................ xvii
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................... xviii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1


I.1 Latar Belakang............................................................................................... 1
I.2 Masalah Penelitian......................................................................................... 5
I.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 5
I.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 5
I.5 Sistematika penulisan .................................................................................... 6

BAB II LANDASAN TEORI ................................................................................ 7


II.1 Anak Sekolah Dasar ........................................................................................ 7
II.1.1 Batasan Anak Sekolah Dasar .................................................................... 7
II.1.2 Karakteristik Anak Sekolah Dasar ............................................................ 7
II.2 Pola Asuh Orangtua....................................................................................... 10
II.3 Bullying ......................................................................................................... 15
II.3.1 Pengertian Umum Tentang Bullying ................................................ 16
II.3.2 Peran-peran dalam Perilaku Bullying ............................................... 17
II.3.2.1 Pelaku (Bullies) ............................................................................. 19
II.3.2.2 Korban (Victims) ........................................................................... 21
II.3.2.3 Penonton (Bystanders) .................................................................. 23
..............................................................................................................
II.3.2.4 Penentang (Defender).................................................................... 24
II.3.3 Dampak Bullying ..................................................................................... 24
II.3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bullying ........................................... 25
II.4 Beberapa Penelitian Mengenai Pola Asuh dan Perilaku Bullying ................. 28

Universitas Indonesia | xvii

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Universitas Indonesia | xviii

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


BAB III METODE PENELITIAN..................................................................... 30
III.1 Masalah Penelitian ....................................................................................... 30
III.1.1 Masalah Konseptual ............................................................................... 30
III.1.2 Masalah Operasional.............................................................................. 30
III.2 Hipotesis Penelitian...................................................................................... 30
III.3 Populasi Penelitian ....................................................................................... 31
III.4 Karakteristik Responden Penelitian ............................................................. 31
III.5 Jumlah Responden Penelitian ...................................................................... 32
III.6 Teknik Pengambilan Sampel ....................................................................... 32
III.7 Variabel Penelitian ....................................................................................... 32
III.3.1 Variabel Pertama: Pola Asuh Orangtua ................................................. 32
III.3.2 Variabel Kedua: Peran-peran dalam Perilaku Bullying ......................... 33
III.8 Desain Penelitian.......................................................................................... 34
III.9 Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian ................................. 35
III.9.1 Alat Ukur Pola Asuh Orangtua ....................................................... 35
III.9.2 Alat Ukur Peran-peran dalam Bullying ........................................... 37
III.10 Uji Validitas dan Reliabilitas Intrumen Penelitian .................................... 38
III.10.1 Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Pola
Asuh Orangtua ........................................................................................... 40
III.10.2 Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Peran-peran
dalam Perilaku Bullying ............................................................................. 41
III.11 Data Demografis ........................................................................................ 43
III.12 Prosedur Penelitian ................................................................................... 44
III.12.1 Tahap Persiapan ................................................................................... 45
III.12.2 Tahap Pelaksanaan ............................................................................... 45
III.13 Metode Pengujian Hipotesis ...................................................................... 45

BAB IV HASIL DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN ............................... 46


IV.1 Gambaran Umum Responden ...................................................................... 46
IV.1.1 Gambaran Demografis Penyebaran Responden Penelitian ................... 46
IV.1.2 Gambaran Umum Pola Asuh Orangtua ................................................. 50
IV.1.3 Gambaran Peran-peran dalam Perilaku Bullying................................... 51
IV.2 Hasil dan Analisis Hasil Permasalahan Utama Penelitian ........................... 53
IV.3 Hasil dan Analisis Hasil Tambahan Penelitian ............................................ 55
IV.3.1 Gambaran Pola Asuh Orangtua Berdasarkan Data Demografis
Responden ........................................................................................ 55
IV.3.2 Gambaran Peran-peran dalam Perilaku Bullying Data
Demografis Responden ...................................................................... 60
IV.3.3 Hubungan antara Pola Asuh Orangtua dengan Peran-peran dalam
Perilaku Bullying Berdasarkan Data Demografis ............................. 61
Universitas Indonesia | xix

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ........................................... 62
V.1 Kesimpulan ................................................................................................... 62
V.2 Diskusi........................................................................................................... 63
V.3. Keterbatasan dan Saran Penelitian ............................................................... 64

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 65


LAMPIRAN ......................................................................................................... 71

Universitas Indonesia | xx

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tabel Penggolongan Pola Asuh Orangtua ................................................ 12


Tabel 3.1 Pemetaan Item Alat Ukur Pola Asuh Orangtua ........................................ 36
Tabel 3.2 Pemetaan Item Alat Ukur Peran-peran dalam Perilaku Bullying ................ 38
Tabel 3.3 Pemetaan Item Alat Ukur Pola Asuh Orangtua Setelah Uji Coba .............. 41
Tabel 3.4 Pemetaan Item Alat Ukur Peran-peran dalam Perilaku Bullying Setelah Uji
Coba..................................................................................................... 42
Tabel 4.1 Gambaran Demografis Partisipan Penelitian ...................................... 46
Tabel 4.2 Gambaran Ayah Responden Penelitian .............................................. 47
Tabel 4.3 Gambaran Ibu Responden Penelitian.................................................. 48
Tabel 4.4 Tabel Tipe Pola Asuh Pola Asuh Orangtua ……………………………51
Tabel 4.5 Tabel Peran-peran dalam Perilaku Bullying…………………………………52
Tabel 4.6 Tabulasi Silang Pola Asuh Orangtua dengan Peran-peran dalam Perilaku
Bullying di Kalangan Pelajar Sekolah Dasar…………………..…………53
Tabel 4.7 Uji Chi-Square Pola Asuh Orangtua dengan Peran-Peran dalam Perilaku
Bullying di Kalangan Pelajar Sekolah Dasar……………………………… 54
Tabel 4.8 Tabulasi Silang Pola Asuh Orangtua dengan Data Jenis Kelamin dan
Usia...................................................................................................... 55
Tabel 4.9 Tabulasi Silang Pola Asuh Orangtua dengan Pendidikan Ayah ..................... 56
Tabel 4.10 Tabulasi Silang Pola Asuh Orangtua dengan Pekerjaan Ayah ..................... 57
Tabel 4.11 Tabulasi Silang Pola Asuh Orangtua dengan Pendidikan Ibu ...................... 58
Tabel 4.12 Tabulasi Silang Pola Asuh Orangtua dengan Pekerjaan Ibu ........................ 59
Tabel 4.13 Tabulasi Silang Peran-peran dalam Bullying dengan Data Jenis Kelamin
dan Usia……………………………………………………………….60

Universitas Indonesia | xxi

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


DAFTAR GAMBAR DAN GRAFIK

Gambar 2.1 Bagan Dinamika Penelitian…………………………………….......20


Grafik 4.1 Frekuensi Tipe Pola Asuh Orangtua Responden .............................. 51
Grafik 4.2 Frekuensi Peran-peran dalam Perilaku Bullying Responden ........... 52

Universitas Indonesia | xxii

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A (Hasil Uji Coba Alat Ukur) .......................................................... 71


A.1 Uji reliabilitas dan Validitas Alat Ukur Pola Asuh Orangtua ....................... 71
A.2 Uji Reliabilitas dan Validitas Alat Ukur Peran-peran dalam Perilaku Bullying
72
LAMPIRAN B (Hasil Utama Penelitian) .............................................................. 73
B.1 Hasil Tabulasi Silang Pola Asuh Orangtua dengan Peran-peran dalam
Perilaku Bullying……………………………………………………..…75
B.2 Hasil Uji Chi-Square Pola Asuh Orangtua dengan Peran-peran dalam
Perilaku Bullying………………………………………………...……..76
LAMPIRAN C (Hasil Tambahan Penelitian) ........................................................ 77
C.1 Gambaran Pola Asuh Orangtua Ditinjau dari Jenis Kelamin .................. 77
C.2 Gambaran Pola Asuh Orangtua Ditinjau dari Usia……………………..77
C.3 Gambaran Pola Asuh Orangtua Ditinjau dari Pendidikan Ayah….........78
C.4 Gambaran Pola Asuh Orangtua Ditinjau dari Pekerjaan Ayah…………78
C.5 Gambaran Pola Asuh Orangtua Ditinjau dari Pendidikan Ibu…….........79
C.6 Gambaran Pola Asuh Orangtua Ditinjau dari Pekerjaan Ibu…………...79
C.7 Gambaran Peran-peran dalam Perilaku Bullying Ditinjau dari Jenis
Kelamin .......................................................................................................... 81
C.10 Gambaran Peran-peran dalam Perilaku Bullying Ditinjau dari Usia ..... 81
LAMPIRAN D (Kuesioner Field) ......................................................................... 82

Universitas Indonesia | xxiii

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah


Selama ini kita sudah sering membaca, mendengar, atau menyaksikan
cerita dan berita tentang kekerasan/intimidasi terhadap anak yang terjadi di
sekolah yang dilakukan oleh teman-temannya sendiri. Di seluruh dunia, kekerasan
yang biasa dikenal dengan istilah bullying tersebut umumnya memakan korban
siswa sekolah dasar dan sekolah menengah. Perkiraan tingkat bullying dan korban
pada anak usia sekolah dasar berkisar dari 15% menjadi 25% di Australia,
Austria, Inggris, Finlandia, Jerman, Norwegia, dan Amerika Serikat (Lindenberg,
Oldehinkel, Ormel, Veenstra, Verhulst, & Winter, 2005). Sebuah survei oleh
Federasi Asosiasi Guru Korea dan surat kabar Chosun Ilbo mengatakan 4,1%
anak sekolah mengatakan bahwa mereka telah diintimidasi, dengan beberapa
siswa yang putus asa bahkan hingga melakukan tindakan bunuh diri (Park, 2012).
Sama dengan yang terjadi di Korea Selatan, di Indonesia salah satu alasan
utama terjadinya kasus bunuh diri pada anak disebabkan oleh bullying (―Bullying
in schools a worry in Indonesia”: Jakarta Globe, 2011). Menurut Yayasan Semai
Jiwa Amini (SEJIWA), sebuah yayasan anti-bullying non-pemerintah,
mengatakan bunuh diri menjadi tren yang mengkhawatirkan di negara kita di
mana pada tahun 2001-2005 sebanyak 30 anak usia 6 tahun sampai 15 tahun,
pernah melakukan atau mencoba bunuh diri. Tahun 2010, Komisi Nasional
Indonesia untuk perlindungan anak mencatat 2.339 kasus kekerasan fisik,
psikologis dan seksual terhadap anak, dimana 300 adalah untuk intimidasi.
Angka tersebut, bagaimanapun, adalah penurunan yang signifikan dari 525
kasus pada tahun 2008 dan 498 kasus tahun 2009. Namun begitu, menurut Diena
Haryana dari Yayasan (SEJIWA) (―Bullying in schools a worry in Indonesia”, 25
Juni 2011) bahwa kasus bullying banyak yang tidak dilaporkan karena sebagian
korban cenderung untuk menutupi kasus yang mereka alami untuk diri sendiri
Salah satu kasus bullying di Indonesia yang pernah dimuat di berbagai media
massa adalah kasus Fifi Kusrini, seorang siswi yang berusia 13 tahun, yang bunuh
diri dengan menggantung dirinya karena teman-temannya sering mengejek
pekerjaan ayahnya yang seorang penjual bubur (Arief Rahman, 2005). Kasus ini

Universitas Indonesia | 1

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


ibarat puncak gunung es, karena kasus bullying yang terjadi sebenarnya jauh lebih
banyak daripada yang sempat dipublikasikan di media massa. Masih banyak lagi
kasus bullying di sekolah yang belum terungkap (Bullying, 2006).
Bullying di sekolah sendiri menurut Olweus (1993) dalam bukunya yang
berjudul Bullying at School yaitu, tindakan negatif yang ditujukan pada orang lain
secara sengaja dan berulang kali serta ditandai dengan persepsi tidak adanya
keseimbangan kekuatan antara pelaku dengan korban. Olweus menambahkan
bahwa ada delapan peran di dalam perilaku bullying, yaitu pelaku (bully),
pengikut (antek), pendukung, pendukung pasif, penonton lepas (bystander), orang
yang mungkin membela (possible defenders), pembela (defender), dan korban
(victim). Dalam penelitian kali ini, peneliti hanya mengambil 4 peran utama yang
terdapat dalam bullying, yaitu pelaku, korban, bystander, dan defender. Pelaku
adalah subyek yang berinisiatif memulai bullying dan mendorong orang lain agar
ikut serta dalam melakukan aksinya tersebut. Bystander adalah subyek yang tidak
melakukan apa-apa meskipun mengetahui adanya peristiwa bullying, Defender
adalah subyek yang membela korban. Sementara korban adalah subyek yang
menjadi sasaran bullying.
Menurut Sullivan (2000), banyak alasan yang dapat menyebabkan
seseorang menjadi pelaku bullying. Seseorang dapat menjadi pelaku bullying
karena keluarga, kejadian di dalam kehidupan, pengaruh peer group, iklim sosial
di sekolah, karakteristik personal, maupun kombinasi antara faktor-faktor tersebut.
Hal tersebut juga didukung oleh hasil penelitian di Australia yang dilakukan oleh
Ahmed dan Braithwaite (2004) yang menyatakan bahwa keluarga, sekolah,
kepribadian, serta emosi, secara bersamaan dapat menjadi pemicu untuk tingkah
laku bullying. Hasil lebih lanjut dari penelitian itu menunjukkan bahwa sekolah
dan keluarga merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam menentukan
keterlibatan seseorang pada perilaku bullying. Bahkan, Sullivan (2000) juga
menambahkan bahwa diantara faktor-faktor yang menyebabkan bullying atau
agresi, bentuk tertentu dari pengasuhan dan masalah keluarga adalah faktor
terpenting. Berdasarkan hal tersebut, peneliti akan memfokuskan penelitian
mengenai bagaimana keluarga dapat berpengaruh terhadap perilaku anak.

Universitas Indonesia | 2

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Sebagaimana diketahui, lingkungan rumah seringkali dianggap sebagai institusi
sosialiasi utama bagi anak (Ahmed & Braithwaite, 2004). Orangtua adalah orang
yang membantu semua hal yang berhubungan dengan pertumbuhan anak,
termasuk memelihara, melindungi, dan memberikan arahan sejak awal kehidupan
dan seterusnya (Brooks, 2008). Anak yang belum mengenal apa-apa mulai
dikenalkan pada dunia luar dan moral yang dianut keluarga oleh orangtua. Anak
yang mendapatkan pengasuhan dengan rasa sayang dan juga keterlibatan yang
tinggi dari orangtua akan tumbuh menjadi anak yang memiliki kontrol diri yang
baik, percaya diri, eksploratif, dan juga kompeten (Baumrind, 1967 dalam Mabe,
2005).
Secara umum, terdapat empat pola asuh yang biasanya dimiliki oleh
orangtua. Pola asuh tersebut pertama kali disusun oleh Baumrind (1980 dalam
Martin & Colbert, 1997) yang didasarkan pada dua dimensi yaitu
responsiveness/warmth (kehangatan) dan demandingness/control (kontrol),
sehingga menghasilkan tiga jenis pola asuh (Papalia, Olds, & Feldman, 2007).
Ketiga pola asuh tersebut adalah authoritarian, permissive, dan authoritative.
Dalam Martin & Colbert (1997) ketiga pola asuh tersebut dilengkapi dengan pola
asuh uninvolved (mengabaikan).
Pola asuh authoritarian akan terbentuk jika orangtua memiliki kontrol
yang tinggi, namun rendah pada dimensi kehangatan. Pola asuh permissive
dibentuk oleh kehangatan yang tinggi dipadukan dengan kontrol yang rendah.
Orangtua authoritative akan terbentuk jika orangtua memberikan kehangatan yang
tinggi untuk anak mereka dan diikuti dengan kontrol yang tinggi. Terakhir, pola
asuh uninvolved terjadi jika orangtua sama-sama rendah di kedua dimensi
tersebut.
Beberapa penelitian mengindikasikan adanya hubungan antara pola asuh
dengan bullying. Espelage, Bosworth, dan Simon (2000, dalam Ahmed &
Braithwaite, 2004) menyatakan bahwa anak yang melakukan bullying terhadap
teman sebayanya kebanyakan datang dari keluarga dengan pola asuh
authoritarian, yang didominasi dengan karakteristik kekerasan dan hukuman.
Pernyataan tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Ahmed dan Braithwaite
(2004) yang menunjukkan bahwa orangtua dari pelaku bullying lebih sering

Universitas Indonesia | 3

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


menggunakan pola asuh authoritarian dibandingkan dengan orangtua dari korban
dan bukan pelaku/bukan korban. Rican, Klicperova, dan Koucka (1993, dalam
Ahmed & Braithwaite, 2004) menemukan bahwa anak yang menerima orangtua
mereka sebagai orangtua yang authoritative, khususnya mendukung kebebasan
serta otonomi, akan lebih sedikit terlibat di dalam tingkah laku bullying.
Dari penelitian (Patterson, DeBaryshe, & Ramsey, 1989 dalam Martin & Colbert,
1997) diketahui bahwa, bullying dan perilaku agresif pada anak bukan hanya
disebabkan oleh pola asuh authoritarian, karena selain pola asuh authoritarian,
anak dengan pola asuh orangtua yang uninvolved memiliki kecenderungan terlibat
di dalam kenakalan remaja dan bertingkah laku antisosial juga. Hasil penelitian
yang dilakukan Rigby (1994, dalam Sullivan, 2000) memperoleh kesimpulan
bahwa ketika komunikasi tidak terjalin dengan baik, anak memiliki
kecenderungan untuk terlibat di dalam bullying, anak memiliki kecenderungan
untuk terlibat di dalam bullying, baik sebagai pelaku maupun sebagai korban. Hal
ini menunjukkan bahwa tidak adanya kontrol bukan berarti akan membuat anak
terbebas dari perilaku bullying. Tidak adanya kontrol di dalam pola asuh ini yang
diikuti juga rendahnya kasih sayang membuat anak seringkali merasa tidak
diperhatikan dan akibatnya anak terjerumus ke dalam perilaku bullying.
Penjelasan di atas mengantarkan bahwa peran orangtua semakin signifikan
terhadap perilaku bullying anak di sekolah. Namun, memang penelitian mengenai
peran orangtua terhadap keterlibatan anak dalam perilaku bullying masih kurang
diadakan di Indonesia. Selain itu, penelitian-penelitian yang sudah ada baik di luar
negeri ataupun di Indonesia umumnya tidak secara spesifik meneliti pola asuh
orangtua manakah yang dominan digunakan pada peran-peran dalam perilaku
bullying pada anak di sekolahnya. Kemudian, kekurangan dari penelitian yang
sudah ada sebelumnya, salah satu contohnya adalah penelitian yang dilakukan
oleh Ahmed & Braithwaite (2004), peneliti dalam penelitian tersebut menentukan
responden sebagai pelaku atau korban bullying hanya berdasarkan asumsi peneliti
sendiri tanpa ada informasi tambahan dari pihak lain.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti pola
asuh orangtua yang secara spesifik menghubungkannya dengan peran-peran
dalam perilaku bullying. Sampel penelitian ini dikhususkan untuk murid kelas 5

Universitas Indonesia | 4

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


dan 6 di Sekolah Dasar (SD) yang diketahui perannya sebagai pelaku, bystander,
defender, victim melalui informasi guru Bimbingan Konseling (BK) di sekolah
masing-masing. Pengambilan sampel pada anak SD karena menurut Boulton dan
Smith (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009) usia SD atau usia kanak-kanak
madya adalah waktu utama untuk terjadinya bullying. Adapun siswa kelas 5 dan 6
SD dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa mereka masih berada dalam tahap
perkembangan kanak-kanak madya dan diasumsikan telah memiliki kemampuan
berbahasa, mempersepsi, dan konsentrasi yang cukup baik karena mereka telah
berada pada tingkatan yang tinggi di sekolah.

I.2. Masalah Penelitian


Berdasarkan uraian yang telah disampaikan di atas, dapat dilihat bahwa
masalah yang diangkat untuk penelitian ini adalah: ―Apakah terdapat hubungan
antara pola asuh orangtua dengan peran-peran dalam perilaku bullying pada siswa
sekolah dasar?‖.

I.3. Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui ada-tidaknya hubungan antara
pola asuh orangtua dengan peran-peran dalam perilaku bullying pada siswa
sekolah dasar.

I.4. Manfaat Penelitian


I.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur psikologi
sosial mengenai peran-peran dalam perilaku bullying, dimana masih jarang
ditemukannya studi tentang bullying di kalangan anak sekolah dasar yang
dikaitkan dengan pola asuh di Indonesia.

I.4.2 Manfaat Praktis


Manfaat dari penelitian ini yaitu,
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para
orangtua, bahwa pola asuh memainkan peran penting dalam

Universitas Indonesia | 5

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


perkembangan anak, dari kecil hingga remaja, bahkan dewasa. Oleh
karena itu, para orangtua diharapkan dapat menampilkan pola asuh yang
sesuai dalam mendidik anak-anaknya.
2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan dasar untuk
perencanaan program intervensi terhadap tingkah laku bullying, yaitu
dengan melibatkan peran orangtua sebagai significant other yang paling
berperan dalam perkembangan anak.

I.5 Sistematika Penelitian


Penelitian ini terdiri dari lima bagian, yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka,
metode penelitian, hasil dan analisis data penelitian, dan terakhir kesimpulan,
diskusi, dan saran.
Bab I, Pendahuluan, berisi uraian tentang latar belakang, permasalahan, tujuan,
manfaat dan sistematika penelitian laporan penelitian yang terkait dengan pola
asuh orangtua dengan peran-peran dalam perilaku bullying
Bab II, Tinjauan Kepustakaan, berisi kerangka teoritis yang mendasari penelitian
yang dilakukan. Di dalamnya terdapat landasan teori mengenai: anak sekolah
dasar, pola asuh orangtua, peran-peran dalam perilaku bullying, dan beberapa
penelitian mengenai pola asuh yang berkaitan dengan bullying, serta dinamikanya.
Bab III, Metode Penelitian, berisi uraian tentang karakteristik responden
penelitian, alat pengumpul data, prosedur yang dilaksanakan dalam pengumpulan
data serta metode yang digunakan untuk menganalisis data.
Bab IV, Hasil dan Interpretasi Hasil. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai
gambaran umum dari partisipan dan hasil penelitian beserta interpretasi dari
temuan yang didapatkan.
Bab V, Kesimpulan, Diskusi, dan Saran, merupakan bagian kesimpulan dari
penelitian yang telah dilakukan, diskusi mengenai hasil penelitian yang telah
didapat, serta saran yang dapat diterapkan dalam penelitian selanjutnya dan
kehidupan sehari-hari.

Universitas Indonesia | 6

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

II. 1. Anak Sekolah Dasar


II. 1. 1. Batasan Anak Sekolah Dasar
Anak Sekolah Dasar (SD) diperkirakan berusia antara 6 sampai 13
tahun (Sukadji, 2000). Sementara Papalia, Olds, dan Feldman (2009)
mengatakan bahwa anak usia 6 sampai 11 tahun berada pada masa kanak-
kanak madya. Dengan begitu, sebagian besar anak SD berada pada tahap
perkembangan kanak-kanak madya.

II. 1. 2. Karakteristik Anak Sekolah Dasar


Menurut Hawadi (2005), usia Sekolah Dasar dapat disebut sebagai
gang age karena anak banyak menghabiskan waktunya di luar rumah
bersama teman sebayanya. Anak kelas 5 dan 6 SD biasanya sudah
membentuk kelompok teman sebaya. Meskipun begitu, rumah dan orang-
orang yang tinggal di rumah seorang anak tetaplah merupakan bagian
penting dalam kehidupan anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Begitu
pula dengan orangtua. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ketika
anak menginjak usia SD, orangtua paling bertanggungjawab dalam
mengatur tugas-tugas keluarga, seperti mengatur kapan anak mengerjakan
tugas sekolah dan mandi (Brooks, 2008).
Pada masa kanak-kanak madya, anak berada dalam tahap
perkembangan kognitif konkret operasional (Piaget, dalam Papalia, Olds, &
Feldman, 2009). Anak dapat berpikir secara lebih logis daripada
sebelumnya karena mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek dari
situasi. Meskipun demikian, persepsi anak masih banyak dipengaruhi oleh
apa yang ditangkap oleh indera mereka, apa yang mereka lihat dan dengar
(Joewono & Puspasari, 2005). Lebih lanjut, Livesle Joewono dan Puspasari
(2005) mengatakan bahwa usia 8 tahun merupakan periode kritis dalam
kemampuan mempersepsi manusia. Anak mulai dapat menyebutkan orang

Universitas Indonesia | 7

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


lain secara lebih jelas dan lengkap, termasuk faktor internal dan
karakteristik psikologisnya, karena perkembangan kemampuan menganalisa
dan mensitesis informasi yang semakin baik (Joewono & Puspasari, 2005).
Selain itu, mulai usia delapan tahun, egosentrisme anak juga sudah mulai
berkurang, sehingga mereka dapat mempertimbangkan beberapa aspek
situasi ke dalam masalah yang mereka hadapi.
Menurut Piaget (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009) anak usia 7
atau 8 sampai 10 atau 11 tahun, sehubungan dengan tahap konkret
operasional, menunjukkan ciri-ciri meningkatnya fleksibilitas dan beberapa
derajat dari otonomi berdasarkan penghormatan dan kerjasama yang mutual.
Saat anak berinteraksi dengan lebih banyak orang dan mulai berhubungan
dengan lebih banyak sudut pandang, mereka mulai menghilangkan ide
tentang sebuah standar mengenai benar dan salah yang tunggal dan absolut
serta mengembangkan pemahaman mengenai keadilan berdasarkan
perlakuan yang sama bagi setiap orang. Karena mereka dapat membuat
penilaian moral yang lebih halus, seperti mempertimbangkan maksud atau
niat di balik tingkah laku seseorang.
Kemampuan berbahasa anak juga berkembang pada masa kanak-
kanak madya (Joewono & Puspasari, 2005). Anak-anak usia kanak-kanak
madya lebih baik dalam memahami dan menginterpretasikan komunikasi
lisan dan tulisan serta dalam membuat diri mereka dimengerti (Papalia,
Olds, & Feldman, 2009). Mereka dapat berbahasa secara aktif (menjawab
pertanyaan, mendeskripsikan sesuatu atau seseorang, menceritakan
pengalaman) maupun pasif (mendengarkan orang berbicara, menangkap
pertanyaan yang diajukan). Selain itu, pada masa kanak-kanak madya, anak
mampu mempertahankan perhatian dalam rentang waktu cukup lama
(Joewono & Puspasari).
Ditinjau dari teori perkembangan psikososial Erikson, anak yang
berusia kanak-kanak madya sedang mengalami tahap perkembangan
psikososial keempat, yakni industry versus inferiority (Papalia, Olds, &
Feldman, 2009). Pada tahap ini, anak harus mempelajari keterampilan-
keterampilan produktif yang dituntut oleh budaya mereka, misalnya

Universitas Indonesia | 8

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


membaca, menulis, berhitung, dan menggunakan komputer. Keterampilan
lain yang juga harus dipelajari anak dalam mengerjakan pekerjaan rumah
tangga (Bigner, 1994), serta keterampilan sosial seperti berteman,
berpartisipasi dengan baik di kelompok, dan berkomunikasi secara efektif
dengan orang dewasa (Martin & Colbert, 1997). Pengalaman akan
keberhasilan memberikan anak perasaan industry atau kompeten, sedangkan
pengalaman akan kegagalan memberikan perasaan inferior (Miller, 1993).
Perasaan industry mencakup sikap positif terhadap tugas dan tanggung
jawab, serta penguasaan keterampilan mental dan sosial dasar yang dirasa
penting untuk keberfungsian yang efektif di masyarakat. Perasaan inferior
adalah sikap yang dirasakan terus menerus mengenai ketidakberhargaan diri
(Bigner, 1994). Anak yang merasa inferior sering gagal mempelajari
keterampilan yang baik untuk berpartisipasi secara sosial dengan anak-anak
lain.
Papalia, Olds, & Feldman (2009) mengatakan bahwa usia kanak-
kanak madya adalah waktu utama untuk terjadinya bullying. Selama masa
kanak-kanak madya, anak-anak menjadi lebih menyadari kekuatan kata-kata
yang dapat melukai orang lain (Sheras, 2002). Anak laki-laki lebih memilih
menggunakan julukan, celaan, dan ancaman, sedangkan anak perempuan
lebih sering menggunakan label negatif dan menyebarkan rumor untuk
mengucilkan siswa lain dan menunjukkan kekuatan mereka. Oleh karena
anak-anak usia 9 sampai 14 tahun umumnya sadar secara penuh akan kata-
kata yang dapat melukai orang lain, tindakan mereka merupakan bullying
yang sebenarnya (Sheras, 2002). Pada masa kanak-kanak madya, anak
perempuan, khususnya, menjadi lebih memahami cara
menyingkirkan/mengucilkan kelompok lain (Sheras, 2002). Pada masa ini
terjadi yang sangat menyakitkan ketika dipersepsi atau mempersepsi
seseorang sebagai orang yang ―berbeda‖ dapat menghancurkan
kesejahteraan emosional anak. Pengucilan yang sering terjadi bersamaan
dengan bullying tidak hanya memperburuk hubungan pertemanan, interaksi
sosial, dan kebersamaan anak dengan teman-temannya, tetapi juga

Universitas Indonesia | 9

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


menyebabkan mereka merasa tidak menarik dan tidak kompeten sehingga
memiliki prestasi akademis yang buruk (Sullivan, 2001).

II.2. Pola Asuh Orangtua


Menurut Brooks (2008), pola asuh orangtua adalah sebuah proses yang
melibatkan aksi dan interaksi antara orangtua dan anak, dan dalam proses ini
kedua belah pihak berubah satu sama lain, dan hal ini berlangsung hingga anak-
anak berkembang menjadi dewasa. Proses interaksi yang dimaksud yaitu
melibatkan proses melahirkan, melindungi, memelihara, dan mengarahkan anak.
Seluruh proses tersebut pada akhirnya bertujuan untuk menjamin kelangsungan
hidup dan perkembangan seorang anak dari kecil hingga dewasa (Brooks, 2008).
Banyak ahli yang mengungkapkan sudut pandangnya mengenai
pengasuhan. Salah satu tokoh yang terkenal berkaitan dengan pola asuh adalah
Baumrind (1961, dalam Brooks, 2008). Beliau adalah salah satu peneliti yang
memprakarsai penelitian mengenai pola asuh orangtua. Penelitiannya yang
melibatkan para ahli dimulai pada tahun 1961 (Brooks, 2008). Tujuannya adalah
untuk melihat hubungan antara pola pengasuhan yang berbeda dan kompetensi
sosial yang berbeda dan kompetensi sosial yang dimiliki oleh anak (Brooks,
2008).
Baumrind (1961, dalam Brooks, 2008) melakukan wawancara yang sangat
lama, observasi di rumah dan di sekolah, di dalam berbagai macam situasi di
laboratorium, saat sedang sendirian, dan saat diajari oleh ibu, serta di rumah saat
sebelum makan malam hingga menjelang tidur. Ia juga melakukan tes yang
terstandar terhadap 134 anak-anak prasekolah serta orangtuanya. Berdasarkan
proses tersebut, beliau menyatakan bahwa orangtua mengembangkan gaya
interaksi dengan anak mereka berdasarkan dua dimensi, yaitu: parental
warmth/responsiveness dan parental control/demandingness (Erikson, 1963;
Maccoby & Martin, 1983 dalam Martin & Colbert, 1997). Berikut ini adalah
penjelasan mengenai kedua dimensi tersebut.
a. Parental warmth/responsiveness
Dimensi ini juga dikenal dengan istilah dimensi emosional (Hetherington
& Parke, 1999). Dimensi ini merujuk pada bagaimana penerimaan, kesediaan

Universitas Indonesia | 10

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


mendengarkan, atau afeksi yang dimiliki oleh orangtua, sebagai lawan dari
penolakan, pemisahan diri, dan sikap bermusuhan (Martin & Colbert, 1997).
Orangtua dengan parental warmth yang tinggi akan lebih banyak tersenyum,
mendukung anaknya, dan mencoba melihat sesuatu dari perspektif anak.
Sebaliknya, orangtua yang rendah pada dimensi ini akan selalu mencela
tingkah laku anaknya, memberikan hukuman, dan tidak memperdulikan
anaknya, serta terkadang menunjukakkan ketidaksentifan terhadap kebutuhan
anak.
Kehangatan orangtua adalah hal yang penting di dalam proses sosialisasi
yang dilakukan anak (Baumrind, 1991a, Maccoby & Martin, 1983 dalam
Hetherington & Parke, 1999). Kehangatan dan pengasuhan berhubungan
dengan tanggung jawab orangtua terhadap kebutuhan anak. Cinta orangtua
akan membuat anak merasa nyaman, menghilangkan kecemasan, dan
membangun rasa aman dan harga diri mereka. Anak dengan orangtua yang
seperti itu akan lebih mudah belajar dan menerima standar yang ditetapkan
oleh orangtua dibandingkan dengan anak dari orangtua yang penuh penolakan
(Crokckenberg & Litman, 1990 dalam Hetherington & Parke, 1999).
Ketegangan dan kecemasan yang tinggi pada anak berhubungan dengan sikap
orangtua yang menunjukkan permusuhan dan melakukan hukuman fisik
dengan frekuensi yang tinggi. Hal ini akan menyebabkan anak kesulitan
untuk mempelajari batasan-batasan sosial yang diajarkan oleh orangtua.
b. Parental control/demandingness
Dimensi ini merujuk pada penegakan standar dan harapan yang tinggi
untuk anak di dalam sebuah pengawasan (Martin & Colbert, 1997). Orangtua
yang menggunakan parental control yang tinggi akan membuat tuntutan-
tuntutan terhadap anak dan secara ketat mengawasi tingkah laku mereka untuk
memastikan bahwa mereka mematuhi peraturan-peraturan-peraturan yang
sudah dibuat. Sebaliknya, orangtua yang rendah pada dimensi ini akan sangat
sedikit memberikan tuntutan kepada anak dan lebih toleran, serta kurang
membatasi, memberikan kebebasan kepada anak dengan hanya memberikan
sedikit arahan.

Universitas Indonesia | 11

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Tujuan dari sosialisasi adalah agar anak dapat meregulasi tingkah laku
mereka. Meskipun sosialisasi melibatkan orangtua dan anak, namun orangtua
biasanya memiliki kontrol yang lebih dibanding dengan anak dalam sebuah
interaksi. Jika orangtua tidak ikut campur, maka keluarga tidak akan berfungsi
dengan semestinya (Baumrind, 1991a, 1993 dalam Hetherington & Parke,
1999). Disiplin yang konsisten dari orangtua, penggunaan jumlah tekanan
yang minimum sangat berguna dalam mengubah tingkah laku anak,
mendorong anak untuk memandang tanggung jawab mereka sebagai hal yang
harus dilakukan dengan kesadaran sendiri, dan juga anak akan lebih mudah
bekerja sama dengan menginternalisasi standar yang ditetapkan oleh orangtua
(Crockenberg & Litman; Holden, 1997 dalam Hetherington & Parke, 1999).

Meskipun parental warmth/responsiveness dan parental


control/demandingness adalah karakteristik yang berbeda, namun kedua dimensi
tersebut dapat memberikan kombinasi antara yang satu dengan yang lain.
Terdapat empat kombinasi yang mungkin terjadi, yaitu sama-sama tinggi di kedua
dimensi, sama-sama rendah di kedua, atau dua kombinasi dari yang satu tinggi
dan satu rendah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.1 Tabel Penggolongan Pola Asuh Orangtua


Controling/Demanding Uncontrolling/Undemanding
Warmth/Responsive AUTHORITATIVE PERMISSIVE PARENT
PARENT
Aloof/Unresponsive AUTHORITARIAN UNINVOLVED PARENT
PARENT

Berikut adalah penjelasan mengenai keempat pola asuh tersebut.


a. Authoritative Parenting (Pola asuh otoratif)
Orangtua yang tinggi pada dimensi kontrol dan tinggi pula pada
aspek kehangatan akan menjadi orangtua yang authoritative (Martin &
Colbert, 1997). Orangtua yang authoritative menyediakan baik kasih
sayang maupun tuntutan (Baumrind, 1961 dalam Sullivan, 1997). Mereka

Universitas Indonesia | 12

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


membuat standar yang jelas dan diikuti dengan alasan yang jelas, serta
terdapat batasan-batasan yang harus dipatuhi. Mereka percaya bahwa
mereka memiliki kemampuan untuk mengarahkan anak-anak mereka,
namun juga menghormati kebebasan anak-anak mereka untuk mengambil
keputusan, menentukan minat, opini, serta menentukan kepribadian yang
sesuai (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).
Anak dengan orangtua authoritative memiliki kecenderungan
untuk kompeten secara sosial, enerjik, mudah bergaul, dan memiliki rasa
ingin tahu. Hubungan yang tercipta adalah saling menghormati, tetapi
dengan tetap menuntut tingkah laku yang baik, menetapkan standar, serta
memberikan hukuman jika diperlukan. Intinya, hubungan yang tercipta
adalah hubungan yang saling mendukung antara orangtua dan anak
(Papalia, Olds, & Feldman, 2007).

b. Permissive Parenting (Pola asuh permisif)


Orangtua yang menunjukkan kehangatan yang tinggi tetapi rendah
pada aspek kontrol disebut orangtua yang permissive (Martin & Colbert,
1997) atau orangtua yang memanjakan (Steinberg, 1999). Orangtua pada
jenis ini umumnya tidak mengontrol dan tidak memberikan hukuman,
mereka mengizinkan anak untuk bertingkah laku sesuai dengan keinginan
anak tersebut. Mereka memberikan kebebasan sebebas mungkin kepada
anak untuk memonitor kegiatan mereka sendiri (Slavin, 1997; Papalia,
Olds, Feldman, 2007). Mereka memberikan kasih sayang, tetapi
menghindari untuk memberikan tuntutan pada anak. Masalah yang timbul
adalah terlalu banyaknya kebebasan yang diberikan mengakibatkan
dampak yang tidak baik bagi perkembangan anak.
Mereka tetap membuat kebijakan-kebijakan, namun jarang
memberikan hukuman (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Oleh karena itu,
disiplin yang tercipta menjadi lemah. Mereka memiliki tuntutan
kedewasaan yang rendah karena mereka merasa diri mereka ada untuk
membantu anak-anak mereka, tetapi tidak bertanggung jawab untuk
membentuk bagaimana anak mereka. Hubungan yang tercipta adalah

Universitas Indonesia | 13

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


kehangatan, tidak ada kontrol, dan tidak ketergantungan. Tingkah laku
yang biasanya muncul pada anak adalah impulsif dan agresif.

c. Authoritarian Parenting (Pola asuh otoriter)


Pola yang ketiga adalah pola authoritarian. Pola ini muncul ketika
orangtua memiliki kontrol yang tinggi, tetapi rendah pada aspek
kehangatan (Martin & Colbert, 1997). Orangtua authoritarian sangat
mementingkan kepatuhan anak terhadap mereka (Slavin, 1997; Papalia,
Olds, Feldman, 2007). Orangtua tipe ini tidak mendukung adanya unsur
memberi dan menerima, dan ia percaya bahwa anak harus menerima
otoritas orangtua tanpa ada pertanyaan dari anak, serta memiliki
kecenderungan untuk menjadi kasar. Mereka mencoba untuk membuat
anak mereka sangat mematuhi peraturan yang telah dibuat dan
memberikan hukuman jika aturan tersebut dilanggar. Oleh karena itu, kata-
kata orangtua adalah sebuah hukum, tidak dapat dipertanyakan, dan
perilaku yang salah akan mendapatkan hukuman yang keras.
Mereka seringkali menolak untuk bekerja sama dengan anak
mereka dan tidak responsif terhadap hak-hak dan kebutuhan anak. Rasa
hangat yang terbentuk pada hubungan anak dengan orangtua pada gaya
pengasuhan ini lebih rendah dibandingkan dengan gaya pengasuhan
lainnya (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Orangtua yang authoritarian
terlihat memisahkan diri dari anak. Anak yang secara rutin mendapatkan
perlakuan dengan cara authoritarian akan cenderung menjadi anak yang
moody, tidak bahagia, penuh rasa takut, menarik diri dari lingkungan
sekitar, tidak spontan dan lekas marah.

d. Uninvolved Parenting (Pola Asuh yang Mengabaikan)


Meskipun dalam studi yang dilakukan oleh Baumrind tidak
dijelaskan mengenai pola asuh dengan karakteristik rendah di kedua
dimensi, namun penelitian-penelitian selanjutnya mulai menjelaskan tentang
pola tersebut. Pola asuh yang mengabaikan (uninvolved) dipercayai adalah
pola asuh yang paling buruk (Martin & Colbert, 1997). Pola asuh ini

Universitas Indonesia | 14

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


ditambahkan bersama tiga pola asuh yang lainnya sehingga didapatkan
empat kombinasi.
Orangtua uninvolved atau disebut juga indifferent (Steinberg, 1999),
tidak memiliki waktu dan tenaga untuk anak karena masalah pribadi dan
juga stress (Maccoby & Martin, 1983, dalam Martin & Colbert, 1997). Jika
perlu, mereka meminimalisasi waktu dan tenaga yang harus disediakan
untuk berinteraksi dengan anak mereka (Steinberg, 1999). Mereka hanya
sedikit mengetahui aktivitas dan keberadaan anak mereka, hanya
menunjukkan sedikit ketertarikan terhadap pengalaman, jarang
berkomunikasi dengan anak, dan jarang mempertimbangkan pendapat anak
dalam mengambil keputusan.
Pendekatan yang digunakan untuk orangtua uninvolved tidak
berpusat pada apa yang baik untuk anak, melainkan hanya berpusat pada
keinginan dan kepentingan orangtua (Steinberg, 1999; Hetherington &
Parke, 1999). Oleh karena itu, pesan yang akan tertangkap oleh anak adalah
bahwa orangtua mereka tidak peduli dan mengabaikan kepentingan anak.
Pesan tersebut akan menghasilkan anak yang mudah marah dan
menunjukkan sikap bermusuhan. Anak dengan pola asuh ini cenderung
kurang memiliki keterampilan sosial dan buruk secara akademis. Penelitian
membuktikan bahwa anak dengan orangtua yang uninvolved memiliki
kecenderungan terlibat dalam kenakalan remaja dan bertingkah laku
antisosial (Patterson, DeBaryshe & Ramsey, 1989 dalam Martin & Colbert,
1997).

II. 3. Bullying
Selama kurun waktu lima tahun terakhir, fenomena bullying telah menarik
perhatian berbagai kalangan di Indonesia. Berbagai studi tentang bullying yang
memfokuskan tentang fenomena bullying di sekolah pun mulai dilakukan. Untuk
itu, pada subbab ini akan dijelaskan mengenai definisi bullying. Selanjutnya, akan
dijelaskan mengenai dan efek dari tindakan bullying secara umum.

Universitas Indonesia | 15

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


II. 3. 1. Pengertian Umum tentang Bullying
Berdasarkan studi literatur, cukup banyak ditemukan definisi
mengenai bullying. Baron dan Bryne (2008) menjelaskan bullying sebagai
pola tingkah laku dimana individu yang dipilih sebagai target untuk menjadi
korban perilaku agresi secara berulang-ulang yang dilakukan oleh suatu
orang lainnya atau lebih. Papalia, Olds, dan Feldman (2009) menyatakan
bahwa bullying adalah perilaku agresif yang disengaja dan berulang untuk
menyerang target atau korban, yang biasanya adalah orang yang lemah,
mudah diejek dan tidak bisa membela diri. Menurut Olweus (1993) dalam
bukunya yang berjudul Bullying at School, bullying dalam sekolah terjadi
berulang kali, sepanjang waktu tertentu yang mengarah ke tindakan negatif
dan melibatkan satu atau beberapa siswa.
Berdasarkan definisi yang diajukan oleh Olweus (1993), dapat dilihat
bahwa terdapat tiga hal yang terlibat di dalam bullying, yaitu tindakan
negatif, berulang dan terjadi sepanjang waktu tertentu, serta melibatkan satu
atau beberapa siswa. Tindakan negatif merujuk pada tindakan yang
bertujuan untuk menyakiti orang lain, baik secara verbal, non verbal
maupun fisik. Contoh dari verbal adalah ejekan, contoh non verbal adalah
memasang wajah sinis, sedangkan contoh fisik adalah pemukulan. Aspek
yang kedua adalah berulang-ulang. Aspek ini dapat dilihat setelah Masa
Orientasi Sekolah (MOS) berlalu pun ada seorang anak yang masih sering
dibawa kabur ke tempat-tempat yang tidak diketahui oleh seniornya,
misalnya. Aspek yang terakhir adalah melibatkan satu atau beberapa siswa,
yang artinya bullying bisa dilakukan oleh seorang siswa maupun oleh
sekelompok siswa kepada seorang siswa maupun sekelompok siswa.
Selain ketika aspek di atas, ada satu lagi yang ditekankan oleh Olweus
(1993), menurutnya, bullying baru terjadi jika terdapat ketidakseimbangan
kekuatan (Olweus, 1993). Hal tersebut juga didukung oleh (Smokowski &
Kopasz, 2005, hal.101), yang menyatakan bahwa secara tipikal adanya
ketidakseimbangan kekuasaan yang terjadi antara pelaku dan korban,
dimana pelaku lebih berkuasa, baik secara fisik ataupun psikologis. Hal
tersebut didukung oleh hasil penelitian yang menyatakan bahwa para pelaku

Universitas Indonesia | 16

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


biasanya memiliki pola reaksi yang agresif yang juga diikuti oleh kekuatan
fisik sedangkan para korban biasanya pencemas dan memiliki pola reaksi
submisif (Olweus, 1993). Hal serupa juga diajukan oleh Sullivan, Cleary,
dan Sullivan (2005), menurutnya di dalam bullying terdapat tindakan
negatif dan seringkali agresif atau manipulatif yang dilakukan oleh satu atau
sekelompok orang terhadap orang lain atau sekelompok orang lain yang
menjadi korban dalam kurun waktu tertentu dan biasanya terdapat
ketidakseimbangan kekuasaan antara kedua belah pihak
Berdasarkan definisi-definisi yang telah disebutkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa suatu perbuatan termasuk perilaku bullying jika perilaku
tersebut ditandai dengan adanya ketidakseimbangan kekuasaan yang
dilakukan oleh satu orang atau lebih secara sistematis, terencana terhadap
satu orang, atau lebih dengan tujuan untuk menyakiti orang lain secara
berulang selama periode waktu tertentu. Ketidakseimbangan kekuatan ini
dapat berupa kekuatan fisik, namun biasanya berupa perbedaan dalam hal
kekuatan sosial atau status. Perilaku tersebut menimbulkan dampak fisik
dan atau psikologis serta dipersepsikan akan berulang dan dirasakan
mengancam oleh korban.
Perilaku bullying ini dapat hadir dalam berbagai bentuk mulai dari
bentuk fisik, non-fisik, sampai perusakan terhadap properti orang lain
(Sullivan, Cleary, & Sullivan, 2005). Perilaku bullying ini terdiri dari dua
bentuk, yaitu perilaku bullying yang dilakukan secara langsung kepada
korban atau disebut direct bullying dan perilaku bullying yang tidak
dilakukan secara langsung kepada korban atau indirect bullying. Umumnya,
perilaku bullying yang tidak langsung ini sifatnya lebih memanipulasi
hubungan sosial (Duffy, 2004). Selanjutnya, Sullivan, Cleary, dan Sullivan
(2005) mengategorikan bentuk perilaku bullying secara lebih spesifik
menjadi:
Physical Bullying. Bentuk ini adalah bentuk yang paling terlihat
dan berupa kontak fisik langsung seperti mendorong, memukul,
menendang, meninju, mencakar, menjambak, mencubit, serta
berbagai serangan fisik lainnya. Termasuk juga tindakan merusak

Universitas Indonesia | 17

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


properti orang lain seperti, merobek baju, merusak buku,
merusak, dan atau mencuri barang-barang orang lain.
Verbal Bullying. Termasuk di antaranya tindakan mengancam,
mengejek, mengganggu, memberi julukan yang tidak pantas,
mengintimidasi seseorang dengan kata-kata kasar, menghina, dan
lain sebagainya.
Relational Bullying. Termasuk dengan sengaja mendiamkan
seseorang, tidak menghiraukan keberadaan seseorang,
mengucilkan, menyebarkan gosip negatif, atau memfitnah.
Dengan kata lain, semua perilaku yang bersifat memanipulasi atau
merusak hubungan dengan orang lain termasuk ke dalam
relational bullying.

II. 3. 2 Peran-peran dalam Perilaku Bullying


Sullivan et al. (2004) menyatakan bahwa bullying bukan hanya
merupakan hubungan antara dua pihak (one-on-one relationship), namun
lebih merupakan suatu hubungan segitiga. Dalam bullying, terdapat tiga
peran utama. Peran yang dimaksud disini merupakan salah satu cara
kelompok untuk membentuk tingkah laku dan pikiran anggota kelompok
yang memegang peran tersebut (Baron & Byrne, 2008). Melalui perannya
seseorang dapat mengetahui apa yang menjadi tugas (secara
formal/informal) dan tanggung jawabnya di dalam kelompok. Ketiga peran
utama tersebut menurut Sullivan et al. (2004) yaitu pelaku (bullies), korban
(victims), dan penonton (bystanders). Sejalan dengan itu, Kowalski, Limber,
& Agatston (2008) juga menyatakan bahwa terdapat tiga pihak yang terlibat
dalam perilaku bullying¸ yaitu pelaku, korban, dan bystander.
Sementara Olweus (1993), mendeskripsikan delapan macam peran dari
tiga peran utama tersebut sebagai sebuah kontinum yang disebutnya sebagai
The Bullying Circle, antara lain:
1. Anak yang memulai bullying.
2. Pengikut atau antek, yang secara aktif berpartisipasi dalam bullying namun
bukan sebagai orang yang memulainya.

Universitas Indonesia | 18

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


3. Pendukung, yang secara terbuka mendukung (misalnya menertawai atau
mengajak orang-orang lain untuk menonton bullying) namun tidak
berperan secara aktif dalam bullying.
4. Pendukung pasif, yang menikmati terjadinya bullying namun tidak
memberikan dukungan secara terbuka.
5. Penonton lepas (disenganged onlookers), yaitu mereka yang tidak terlibat
maupun merasa bertanggung jawab untuk berusaha menghentikan
bullying.
6. Orang yang mungkin membela (possible defenders), yang tidak menyukai
bullying dan berpikir mereka harus melakukan sesuatu, namun mereka
tidak melakukan sesuatu.
7. Pembela, yang tidak menyukai bullying dan berusaha menolong orang
yang di-bully.
8. Anak yang di-bully.
Peran-peran tersebut tidak bersifat statis, melainkan dapat berubah
dari satu situasi ke situasi lainnya (Kowalski et al., 2008). Dalam suatu situasi,
seorang siswa bisa saja merupakan pendukung pasif yang menyaksikan
bullying yang melibatkan siswa satu sekolahnya yang tidak ia kenal, namun
dalam situasi lain ia membela temannya yang di-bully. Sementara itu, dalam
suatu situasi, seorang siswa bisa saja menjadi korban bullying, namun sorenya,
siswa yang sama tersebut mengejek siswa lain yang lebih muda di bis
jemputan. Hal ini menunjukkan bahwa satu orang dapat menjalankan lebih
dari satu peran dalam bullying.
Dalam penelitian kali ini, peneliti mengambil 4 peran utama dari 8
peran yang ada dalam perilaku bullying yang telah disebutkan oleh Olweus
(1993). Berikut ini akan dijelaskan mengenai masing-masing peran-peran
utama yang terdapat dalam bullying, yaitu pelaku, korban, bystander, dan
defender.

II.3.2.1. Pelaku (Bullies)


Pelaku (bullies) dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu pelaku pintar
(the clever bully), pelaku yang tidak terlaku pintar (the not-so-clever bully),

Universitas Indonesia | 19

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


dan the bully/victim (Sullivan, et al., 2004). The clever bully biasanya
merupakan mereka yang pandai menyamarkan perilakunya. Mereka
umumnya merupakan orang populer baik secara akademis dan sosial, dan
memiliki kemampuan untuk mengatur orang-orang di sekelilingnya untuk
melaksanakan perintahnya. Karakteristik utama dari pelaku jenis ini adalah
mereka tidak dapat menempatkan dirinya di posisi korban (kurang mampu
berempati atau tidak mempedulikan perasaan orang lain).
The not-so-clever bully biasanya merupakan orang yang berpikiran
jahat dan memiliki pandangan negatif terhadap dunia (Sullivan, et al.,
2004). Pelaku jenis ini biasanya gagal dalam sekolah dan melampiaskan
kemarahannya kepada orang-orang yang dianggapnya lemah. Akan tetapi,
kemarahan dan perilaku bullying yang dilakukannya biasanya merupakan
pelampiasan dari rendah self-esteem dan self-confidence yang dimilikinya.
Berbeda dengan jenis pelaku sebelumnya yang dapat berkembang dewasa
dengan mudah dan berubah seiring dengan kenaikan kelas di sekolah, jenis
pelaku ini biasanya memiliki sedikit teman, tidak berkembang, kehilang
popularitas, tertinggal, dan cenderung dikeluarkan dari sekolah (Sullivan et
al., 2004).
The bully/victim adalah pelaku bullying dalam suatu situasi dan
merupakan korban dalam situasi lain (Sullivan et al., 2004). Mereka
biasanya mem-bully teman yang lebih kecil atau lebih muda, namun
menjadi korban oleh teman sebayanya atau yang lebih tua. Terkadang,
mereka merupakan pelaku ketika di sekolah dan merupakan korban ketika di
rumah. Dengan kata lain, the bully/victim ini memiliki kecenderungan untuk
membalas dendam.
Olweus (1993) mengatakan bahwa pelaku bullying memiliki satu atau
lebih dari karakteristik berikut:
Memiliki kepribadian dominan dan suka menyatakan
keinginannya dengan paksaan
Memiliki sifat pemarah, impulsif, dan mudah frustasi
Lebih memiliki sikap positif terhadap kekerasan dibandingkan
anak-anak lain

Universitas Indonesia | 20

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Memiliki kesulitan dalam menaati peraturan
Tampak kuat dan menunjukkan empati yang kurang terhadap
korban bullying
Sering berhubungan dengan orang dewasa dengan cara yang
agresif
Pandai mengeluarkan diri dari situasi-situasi sulit
Terlibat dalam agresi proaktif (menggunakan agresi untuk
meraih tujuannya) dan agresi reaktif (reaksi defensif ketika
terprovokasi; Kowalski et al., 2008).

II.3.2.2. Korban (Victims)


Korban bullying adalah target dari tindakan bullying yang dilakukan
oleh pelaku. Terkait dengan penelitian ini yang secara khusus menyoroti
korban bullying, maka berikut ini akan dijelaskan karakteristik korban
bullying. Menurut Olweus (dalam Duffy, 2004), korban bullying adalah
individu yang kurang populer dibandingkan kelompok pelaku bullying
maupun kelompok yang tidak terlibat dalam bullying. Secara fisik, biasanya
korban memiliki tubuh yang lemah, terlihat rapuh, dan berpostur lebih kecil
jika dibandingkan dengan bullying sehingga korban terlihat tidak bisa
melindungi diri mereka sendiri (McNamara & McNamara dalam
Smokowski dan Kopasz, 2005). Hal ini menyebabkan korban mengalami
kecemasan, takut terluka dan memiliki sikap yang negatif terhadap
kekerasan (Smokowski & Kopasz, 2005). Keadaan fisik yang kurang
sempurna atau berbeda dari orang lain juga memperbesar kemungkinan
seseorang menjadi korban (Duffy, 2004). Misalnya, siswa yang memiliki
masalah berat badan (siswa yang gemuk atau yang sangat kurus), siswa
yang gaya berpakaiannya terlalu unik, atau siswa yang memiliki cacat fisik
berkemungkinan besar menjadi korban bullying.
Smokowski & Kopasz (2005) menyatakan bahwa korban bullying
biasanya diliputi oleh berbagai penghayatan kognitif yang negatif terhadap
diri sendiri, seperti perasaan gagal, tidak menarik, tidak berharga lemah, dan
berbagai penghayatan negatif lainnya yang menyebabkan mereka sering

Universitas Indonesia | 21

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


menyalahkan diri sendiri atas tindakan bullying yang terjadi pada mereka.
Selain itu, korban biasanya merasa ikut bertanggung jawab atas tindakan
bullying yang terjadi pada diri mereka karena adanya rasa ketidakberdayaan
untuk menghentikan tindakan bullying tersebut.
Setiap orang yang terlihat lemah dan tidak memiliki kelompok yang
dapat mendukung, misalnya kelompok teman sebaya, pada umumnya dapat
menjadi korban bullying (Sullivan, Cleary, & Sullivan, 2005). Hubungan
yang kurang akrab dengan teman sebaya merupakan pertanda seseorang
rentan menjadi korban bullying (Duffy, 2004). Pada umumnya, korban
mengalami penolakan dari teman sebaya, hanya memiliki sedikit teman atau
tidak memiliki teman sama sekali, dan sering terlihat seorang diri (Olweus,
1993). Smokowski & Kopasz (2005) mengemukakan bahwa korban
biasanya memiliki masalah penyesuaian secara sosial dan emosional, yang
menyebabkan mereka kesulitan bergaul, kurang memiliki hubungan baik
dengan teman sebaya, dan sering merasa kesepian.
Olweus (1993) menguraikan karakteristik korban bullying yang terjadi
di sekolah.
Tanda-tanda primer antara lain:
1. Sering kali diejek, dihina, diintimidasi, didorong, ditampar,
diancam, dipermalukan diperintah, dan didominasi oleh siswa
lainnya.
2. Sering dijadikan sebagai bahan tertawa di depan umum dengan
cara yang tidak menyenangkan.
3. Terlibat dalam suatu perkelahian tidak seimbang yang
menyebabkan korban tidak berdaya dan melarikan diri atau
menangis.
4. Adanya buku, uang atau barang lainnya yang diambil atau
dihancurkan oleh siswa lain.
5. Ditemukannya luka, memar, goresan atau pakaian yang robek dan
rusak yang tidak dapat dijelaskan secara logis oleh siswa tersebut
setelah pulang dari sekolahnya.

Universitas Indonesia | 22

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Tanda-tanda sekunder antara lain:
1. Sering terlihat sendirian, tertutup atau introverted, tidak terlalu
populer pada kalangan siswa, biasanya tidak memiliki sahabat
dekat, dan tidak berada dalam suatu kelompok bersama siswa lain
pada saat istirahat sekolah.
2. Korban merupakan pilihan terakhir dalam pemilihan suatu
kompetisi olah raga di sekolahnya.
3. Korban cenderung untuk lebih dekat dengan guru atau orang lain
yang lebih tua pada waktu istirahat sekolah dibandingkan dengan
teman-temannya.
4. Mempunyai kesulitan dalam berkomunikasi di dalam kelas,
pendiam, memberikan ekspresi cemas, dan sering merasa tidak
aman.
5. Seringkali tampak sedih, stress, tidak senang, dan murung jika
berada di sekolah.
6. Adanya penurunan prestasi secara tiba-tiba dalam bidang akademik
di sekolah.

II.3.2.3 Penonton (Bystander)


The bystanders, menurut Sullivan et al. (2004), memegang peran-
peran penting dalam keberlangsungan perilaku bullying. Maksudnya,
partisipasi bystanders dapat menghentikan perilaku bullying atau bahkan
membuat perilaku tersebut terus terjadi.
Sullivan et al. (2004) membagi peran-peran bystanders menjadi
empat, yaitu the sidekick, the reinforcers, the outsiders, dan the defenders.
The sidekicks merupakan orang terdekat dengan bully atau biasa disebut
sebagai ―antek‖, sementara the reinforcers adalah orang terdekat nomor dua
bully dengan melakukan tindakan yang mendukung bullying. The outsiders
adalah mereka yang berusaha bersikap netral, namun karena itu mereka
menjadi tampak memaafkan perilaku bullying yang disaksikannya dan
menjadi kebal. The defenders merupakan mereka berani keluar dari peran-
peran bystander dan secara aktif membela korban dan melawan bully.

Universitas Indonesia | 23

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


II.3.2.4 Penentang (Defender)
Olweus (1993) menjelaskan bahwa defender of bullying adalah orang
yang tidak menyukai bullying dan berusaha menolong orang yang di-bully.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Salmivalli et al. (1996), defender of
the victim, adalah pihak yang cenderung membela korban bullying ketika
mereka mengetahui adanya peristiwa tersebut. Contoh perilakunya adalah
menganjurkan korban untuk tidak peduli terhadap bully, mengadukan
perilaku bullying kepada orang dewasa di sekitarnya, mengancam bully
untuk diadukan kepada guru, mengatakan kepada orang-orang disekitar
bahwa tidak ada gunanya untuk bergabung dengan bully, mengatakan
kepada orang lain bahwa bullying adalah tindakan bodoh, menenangkan
korban, menyerang bully untuk membela korban, membalaskan dendam
korban, meneriakkan nama bully untuk membela korban, meminta orang-
orang disekitar untuk menghentikan bullying, bersama korban pada saat
istirahat, mengatakan kepada guru tentang bullying, membesarkan hati
korban untuk mau mengatakan kepada guru.

II. 3. 3 Dampak Bullying


Setiap tindakan kekerasan, apapun bentuknya, baik fisik maupun verbal,
akan menimbulkan kerugian bagi korbannya. Para peneliti menjelaskan bahwa
bullying yang terjadi di sekolah merupakan suatu bentuk perilaku kekerasan antar-
pelajar yang mempunyai dampak negatif bagi korbannya, baik secara fisik
maupun psikologis. Secara umum, dampak dari tindakan bullying ini dapat
dikelompokkan ke dalam empat kategori (Rigby, 2003), yaitu:
Psychological well-being yang rendah. Termasuk di antaranya pandangan
mengenai keadaaan yang secara umum tidak menyenangkan dan distressing,
seperti perasaan tidak bahagia secara umum, self-esteem rendah, dan
perasaan marah dan sedih.
Penyesuaian sosial yang buruk. Termasuk adanya perasaan benci terhadap
lingkungan sosial seseorang, mengekspresikan ketidaksenangan terhadap
sekolah, merasa kesepian, merasa terisolasi, dan sering membolos.

Universitas Indonesia | 24

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Psychological distress. Kategori ini lebih serius dibandingkan dua kategori
sebelumnya, termasuk di antaranya adalah tingkat kecemasan yang tinggi,
depresi dan pikiran-pikiran untuk bunuh diri.
Physical unwellness. Adanya tanda-tanda yang jelas mengenai masalah fisik
dan dapat dikenali melalui diagnosis medis sebagai penyakit. Simtom
psikosomatis termasuk di dalam kategori ini.

Sebuah penelitian mengindikasikan bahwa dampak negatif bullying dapat


menimbulkan efek jangka panjang bagi korbannya. Siswa dan siswi korban
bullying pada tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, melaporkan
bahwa mereka di bully kembali beberapa tahun kemudian (Olweus, 1993).
Kemudian, pelajar yang sering menjadi korban bullying akan mempunyai tingkat
kecemasan dan depresi yang tinggi, serta memiliki self-esteem yang rendah pada
masa dewasa muda, walaupun dalam usia tersebut korban tidak pernah di bully,
dilecehkan ataupun dikucilkan. Terlebih lagi, korban yang kondisinya sudah
kronis akan bermasalah kesehatan mentalnya seperti schizophrenia atau
melakukan bunuh diri (Limber dkk., 1998, dalam Harris & Petrie, 2002).

II.3.4 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Bullying


Berdasarkan studi literatur, ditemukan bahwa terdapat faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap perilaku bullying. Secara garis besar, terdapat lima faktor,
yaitu:
a. Kontribusi anak
Maksud dari kontribusi anak adalah hal-hal yang terdapat di dalam
diri anak yang dapat mempengaruhi tingkah lakunya (Pearce, 2002). Jenis
kelamin dan temperamen merupakan contoh dari kontribusi anak.
Penelitian Maccoby dan Jaklin (1974 dalam Pearce, 2002) menunjukkan
bahwa baik manusia maupun binatang yang berjenis kelamin laki-
laki/jantan lebih agresif dibandingkan dengan perempuan/betina. Olweus
(1993) menyatakan bahwa pelaku memiliki kebutuhan untuk menguasai
dan mendominasi, mereka terlihat menjadi ―pengontrol‖ dan butuh untuk

Universitas Indonesia | 25

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


menundukkan orang lain. Namun, faktor kontribusi anak ini tidak banyak
berperan-peran dan berperan-peran tidak langsung (Olweus, 1993).
b. Keluarga
Diantara faktor-faktor yang menyebabkan bullying atau agresi,
kondisi anak yang memprihatinkan dan bentuk tertentu dari pengasuhan
dan masalah keluarga adalah faktor penting (Pearce, 2002). Oleh karena
itu, dapat diterima jika sekolah dengan tingkat bullying yang tinggi, relatif
memiliki jumlah anak yang banyak mengalami ―pengasuhan yang kurang
memuaskan‖ dan mengalami banyak masalah keluarga. Kurang puasnya
pengasuhan yang dirasakan anak terjadi akibat ia merasa hanya sedikit
mendapatkan cinta, perhatian, dan pengawasan, dan pengasuh anak tidak
memberikan batasan yang jelas tentang tingkah laku yang dilarang.
Masalah keluarga dapat berupa pertengkaran diantara orangtua, perceraian,
penyakit psikiatris, penyalahgunaan alkohol, dan sebagainya.
c. Teman sebaya
Lowenstein (2002) yang menyatakan bahwa konformitas terhadap
peer merupakan peran-peran sentral di dalam proses pembentukan
bullying. Hal tersebut juga didukung oleh Sullivan (2000) yang
menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat menyebabkan seseorang
menjadi pelaku bullying adalah pengaruh teman sebaya.
d. Media
Penelitian internasional mengindikasikan bahwa anak dan remaja
yang melihat kekerasan yang ada di TV, video, dan film seringkali
menjadi agresif dan memiliki empati yang lebih rendah pada korban
agresifitas (Olweus, 1993). Hal tersebut didukung oleh Pearce (2002) yang
menyatakan bahwa bagi beberapa anak menonton TV dapat memancing
agresifitas mereka. Berdasarkan hasil tersebut juga dapat disimpulkan
bahwa media dapat meningkatkan jumlah bullying yang terjadi.
e. Pengaruh sekolah
Sekolah juga memegang peran-peran an penting dalam membentuk
anak menjadi pelaku bullying (Pearce, 2002). Beberapa penelitian
mengindikasikan bahwa terdapat beberapa karakteristik yang ada di sekolah

Universitas Indonesia | 26

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


yang berpengaruh terhadap kecenderungan untuk menjadi pelaku.
Karakteristiknya adalah moral yang rendah pada staf-stafnya, tingkat
pergantian guru cukup tinggi, standar tingkah lakunya tidak jelas, metode
disiplin tidak konsisten, organisasinya buruk, pengawasan tidak ketat, dan
kurang mengawasi anak sebagai individu (Pearce, 2002).

II.4. Beberapa Penelitian mengenai Pola Asuh Orangtua dengan Perilaku


Bullying
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
bullying dengan keluarga (Sullivan, 2000). Papalia, Olds, & Feldman (2009)
mengatakan bahwa usia SD atau usia kanak-kanak madya adalah waktu utama
untuk terjadinya bullying. Bullying adalah pola tingkah laku satu orang atau lebih
yang memilih seorang individu sebagai target dari agresi yang berulang dan target
(korban) biasanya memiliki kekuatan yang lebih sedikit dibandingkan pelaku
bullying (Baron & Bryne, 2004). Sullivan (2000) menyatakan bahwa pelaku
bullying di sekolah adalah korban bullying di rumah. Bahkan, Sullivan (2000)
juga menambahkan bahwa diantara faktor-faktor yang menyebabkan bullying atau
agresi, bentuk tertentu dari pengasuhan dan masalah keluarga adalah faktor
terpenting.
Hal tersebut didukung oleh Brooks (2008) yang melakukan penelitian di
Oregon Social Learning Centre. Penelitian bertujuan untuk membantu keluarga
yang memiliki anak-anak yang agresif, dimana anak tersebut sering membantah
perintah orangtuanya di rumah dan sering mengejek dan menjadi pelaku bullying
di sekolah. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat pola
interaksi di dalam sebuah keluarga yang dapat mengarahkan tingkah laku agresif
pada anak. Hal tersebut juga didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa perilaku bullying datang dari keluarga yang orangtuanya memilih
menerapkan disiplin dengan kekuatan fisik, terkadang menunjukkan sikap
bermusuhan dan penolakan, kemampuan mengatasi masalah buruk, dan permisif
terhadap tingkah laku agresif yang dilakukan anak (Lindenberg, Oldehinkel,
Ormel, Veenstra, Verhulst, & Winter, 2005).

Universitas Indonesia | 27

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Bullying di sekolah berhubungan dengan buruknya fungsi psikososial
keluarga, dan hal ini terjadi pada laki-laki maupun pada perempuan (Sullivan,
2000). Hasil penelitian yang dilakukan Rigby (1994, dalam Sullivan, 2000)
memperoleh kesimpulan bahwa ketika komunikasi tidak terjalin dengan baik,
anak memiliki kecenderungan untuk terlibat di dalam bullying, anak memiliki
kecenderungan untuk terlibat di dalam bullying, baik sebagai pelaku maupun
sebagai korban. Selain itu, pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang
kurang memberikan kasih sayang terhadap anaknya (Perren & Rainer, 2005).
Demikian pula dengan keluarga yang tidak mengawasi dan tidak memberikan
batasan pada anak. Keluarga tersebut akan memiliki kecenderungan untuk
menghasilkan anak dengan keterampilan sosial yang buruk, yang bertindak
semaunya serta bertingkah laku antisosial (Sullivan, 2000). Penggunaan hukuman
fisik terhadap anak juga dapat menyebabkan perilaku bullying pada anak (Perren
& Rainer, 2005; Loweinstein, 2002).
Pola asuh permissive dapat mengarahkan anak melakukan tindak bullying; yaitu
ketika orangtua gagal menegakkan batasan yang jelas bagi tingkah laku anak
(Sheras, 2002). Penelitian menunjukkan bahwa pendekatan yang paling baik
bukan authoritarian dan permissive, melainkan pola asuh authoritative (Sheras,
2002). Orangtua dengan pola asuh seperti itu akan menciptakan lingkungan rumah
yang hangat, partisipasi dan keterlibatan diantara anggota keluarga, serta
melibatkan derajat pengawasan tertentu terhadap aktivitas anak dan menetapkan
batasan tingkah laku yang dapat diterima. Artinya, diperlukan keseimbangan
antara kehangatan dan kontrol untuk menghindari perilaku bullying pada anak.

II.5 Dinamika Penelitian


Menurut teori social learning dari Bandura (1986, dalam Ahmed &
Braithwaite, 2004), menjelaskan bagaimana tingkah laku agresif pada orangtua
dapat diterima sebagai model pada anak-anak yang melakukan perilaku bullying.
Adanya modelling tersebut juga didukung penjelasan bahwa otak manusia
dilengkapi dengan ―syaraf cermin‖, yang terdapat pada beberapa area otak
(Brooks, 2008). Ketika seorang individu melihat tindakan orang lain, syaraf
cermin di otak akan bekerja dengan cara yang sama dengan syaraf yang ada pada

Universitas Indonesia | 28

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


otak individu yang melakukan tindakan tersebut. Keberadaan syaraf cermin ini
mempengaruhi proses pengasuhan. Hal-hal yang diobservasi oleh anak akan
terekam di tingkatan neurologis. Tingkah laku orangtua akan menjadi model di
dalam otak anak tersebut. Anak akan mengikuti apa yang mereka lihat, baik itu
tingkah laku positif maupun negatif. Oleh karena itu, pola asuh tertentu yang
diterapkan oleh orangtua akan menghasilkan anak dengan karakteristik tertentu
pula.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa tingkah laku tertentu
yang dilakukan oleh orangtua dalam memperlakukan anaknya dapat menyebabkan
perilaku bullying pada anak. Hal ini sejalan dengan empat faktor yang ada di
rumah yang dinyatakan Sheras (2002) sebagai hal yang sering mendorong
terjadinya tingkah laku bullying, yaitu: kurangnya kehangatan yang diberikan oleh
orangtua, sikap permissive dan toleran terhadap tingkah laku kasar yang dilakukan
anak, penggunaan hukuman fisik, dan ledakan emosional ketika mendisiplinkan
anak, serta gaya pengasuhan yang tidak sesuai dengan temperamen alamiah anak
(Pearce, 2002). Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada bagan 2.1, yang
menggambarkan rangkaian terjadinya peran-peran dalam perilaku bullying terkait
dengan pola asuh orangtua, berikut ini:

Cara orangtua Teori social learning : Anak


mengasuh anaknya akan mengikuti apa yang
mereka lihat, baik itu tingkah
laku positif maupun negatif

Sebagai pelaku, Anak memiliki Akan


bystander, peran tertentu menghasilkan
defender, atau dalam perilaku anak dengan
korban dalam bullying karakteristik
bullying tertentu pula

Bagan 2.1 Bagan Dinamika Penelitian.

Universitas Indonesia | 29

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


BAB III
METODE PENELITIAN

Pada bab tiga ini akan diuraikan tentang perumusan masalah, populasi dan
sampel penelitian, variabel penelitian, desain penelitian, instrumen penelitian, data
demografis, dan diakhiri dengan prosedur penelitian.

III.1. Masalah Penelitian


III.1.1 Masalah Konseptual
1. Apakah terdapat hubungan antara pola asuh orangtua dengan peran-
peran dalam perilaku bullying pada siswa sekolah dasar?
2. Berapa besar sumbangan masing-masing tipe pola asuh orangtua
terhadap peran-peran dalam perilaku bullying pada siswa sekolah
dasar?
III.1.2 Masalah Operasional
1. Apakah terdapat korelasi antara skor total pola asuh orangtua dari alat
ukur pola asuh orangtua dengan skor total peran-peran dalam perilaku
bullying dari alat ukur peran-peran dalam perilaku bullying pada siswa
sekolah dasar?
2. Berapa besar nilai persentase masing-masing tipe pola asuh orangtua
dengan peran-peran dalam perilaku bullying pada perhitungan Chi-
Square?

III.2. Hipotesis
III.2.1 Hipotesis Alternatif (Ha)
Hipotesis alternatif (Ha) pada penelitan ini adalah terdapat hubungan
antara pola asuh orangtua dengan peran-peran dalam perilaku bullying.

III.2.2 Hipotesis Nol (Ho)


Hipotesis nol (Ho) pada penelitian ini adalah tidak terdapat hubungan
antara pola asuh orangtua dengan peran-peran dalam perilaku bullying.

Universitas Indonesia | 30

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


III.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Dalam penelitian ini populasi yang diteliti adalah pelajar SD. Hal ini
berdasarkan data yang diperoleh menyatakan bahwa bullying di kalangan pelajar
SD sedang marak terjadi. Populasi penelitian ini berjumlah sangat besar sehingga
tidak mungkin bagi peneliti untuk melakukan pengambilan data pada seluruh
individu dalam populasi tersebut, oleh karena itu dibutuhkan pengambilan sampel.
Sampel yang dipilih oleh peneliti adalah siswa-siswi SD di Jakarta dan sekitarnya.
Alasan pemilihan lokasi sampel penelitian ini adalah karena banyak kasus
bullying yang terekam oleh media mulai marak terjadi beberapa sekolah dasar di
daerah-daerah tersebut (“Stop Bullying: Bullying Makin Marak‖: Metrotvnews,
2011).

III.4. Karakteristik Responden


Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat ada tidaknya hubungan antara
pola asuh orangtua dengan perilaku bullying pada siswa SD. Oleh karena itu,
responden dalam penelitian ini adalah pelajar SD di Jakarta yang memiliki kriteria
sebagai berikut:
1. Siswa kelas lima atau enam SD dengan rentang usia 10 sampai 12 tahun
pada saat penelitian berlangsung. Hal ini dilakukan karena siswa kelas
lima atau kelas enam yang telah lama menjadi senior (kakak kelas) dan
memiliki yunior (adik kelas). Oleh karena perilaku bullying seringkali
dilakukan oleh senior yang ingin unjuk kuasa terhadap yunior, maka yang
dipilih bukan siswa kelas satu yang belum memiliki yunior (adik kelas).
2. Memiliki ayah dan ibu kandung yang masih hidup, serta tinggal satu
rumah dengan orangtua saat penelitian berlangsung. Hal ini berhubungan
dengan kuesioner pola asuh orangtua yang akan diisi oleh subyek.
3. Berperan sebagai pelaku, korban, bystander, dan defender dalam perilaku
bullying. Informasi peran-peran dari tiap responden diperoleh peneliti dari
wali kelas dan guru BK, dimana peneliti terlebih dahulu memberikan
penjelasan singkat mengenai tiap-tiap peran bullying kepada wali kelas
dan beberapa guru BK.

Universitas Indonesia | 31

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


III.5. Jumlah Responden
Para ahli statistik setuju bahwa semakin banyak sampel penelitian maka
semakin akurat hasil penelitian (estimasi hasil penelitian pada populasi). Menurut
Guilford dan Fruchter (1978), untuk mendapatkan persebaran skor yang
mendekati penyebaran normal, jumlah responden yang dibutuhkan minimal 30
orang. Meskipun demikian, tetap diusahakan untuk menyebarkan kuesioner
sebanyak mungkin agar semakin mendekati populasi, dan sampel bisa
merepresentasikan populasi yang dituju. Jumlah responden yang direncanakan
dalam penelitian ini sebanyak 120 orang.

III.6. Teknik Pengambilan Sampel


Populasi dalam penelitian ini adalah pelajar sekolah dasar (SD). Populasi
tersebut sangat besar dan banyak sehingga tidak mungkin meneliti seluruh
populasi pelajar SD mengingat keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya. Oleh
karena itu, peneliti melakukan pengambilan sampel. Metode pengambilan sampel
yang digunakan dalam penelitian ini yakni accidental sampling. Adapun teknik
pengambilan sampel berdasarkan ketersediaan dan kebersediaan responden untuk
menjadi responden (Guilford & Frutcher, 1978). Artinya, kuesioner diberikan
kepada responden yang sesuai dengan karakteristik penelitian dan bersedia
mengikuti penelitian ini.

III.7. Variabel Penelitian


Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pola asuh
orangtua terhadap peran-peran dalam perilaku bullying. Berikut ini adalah
penjelasan singkat mengenai variabel-variabel tersebut:

III.7.1. Variabel 1: Pola Asuh Orangtua


- Definisi Konseptual
Definisi konseptual dari variabel pola asuh orangtua adalah serangkaian
proses interaksi antara orangtua dan anak, yang melibatkan proses melahirkan,
melindungi, memelihara, dan mengarahkan anak, yang bertujuan untuk

Universitas Indonesia | 32

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan seorang anak dari kecil
hingga dewasa.

- Definisi Operasional
Definisi operasional dari variabel ini adalah kombinasi dari skor dimensi
kehangatan dan dimensi kontrol (pengendalian) yang diperoleh dari skala pola
asuh orangtua. Teori yang digunakan untuk skala ini adalah teori pola asuh
yang dikemukakan oleh Baumrind yang telah disempurnakan oleh Maccoby
dan Marin (1983, dalam Martin dan Colbert, 1997). Dua dimensi tersebut,
kehangatan dan kontrol, membentuk empat pola asuh yaitu authoritative,
permissive, authoritarian, dan uninvolved. Pola permissive memiliki skor
yang tinggi pada dimensi kehangatan namun memiliki skor yang rendah pada
dimensi kontrol. Pola authoritarian memiliki skor tinggi pada dimensi kontrol
namun skor rendah dalam aspek kehangatan. Pola authoritative memiliki skor
tinggi dalam dua dimensi tersebut. Terakhir, pola uninvolved memiliki skor
rendah dalam kedua aspek tersebut. Skor tinggi merupakan skor di atas rata-
rata sampel penelitian per dimensi. Skor rendah merupakan skor dibawah rata-
rata per dimensi.

III.7.2. Variabel 2: Peran-peran dalam Perilaku Bullying


- Definisi Konseptual
Definisi konseptual dari variabel perilaku bullying adalah perilaku
agresif yang dilakukan berulang-ulang dalam jangka waktu tertentu dan secara
sistematis, baik secara mental maupun fisik, yang dilakukan oleh individu atau
sekelompok orang yang memiliki kekuasaan terhadap individu atau
sekelompok orang yang tidak mampu membela diri, dengan tujuan untuk
menyakiti. Dalam penelitian ini akan diteliti beberapa peran yang terdapat
dalam perilaku bullying. Peran-peran tersebut adalah: bully yaitu subyek yang
berinisiatif memulai bullying dan mendorong orang lain agar ikut serta dalam
melakukan aksinya tersebut, bystander yaitu subyek yang tidak melakukan
apa-apa meskipun mengetahui adanya peristiwa bullying, defender of the

Universitas Indonesia | 33

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


victim yaitu subyek yang membela victim, dan victim yaitu subyek yang
menjadi korban bullying (Salmivalli et al., 1996).

- Definisi Operasional
Peran-peran dalam perilaku bullying ini diberlakukan sebagai skala
nominal karena juga merupakan atribut dari murid-murid tersebut. Atribut
merupakan variabel kualitatif, oleh karena itu skala yang dipakai adalah skala
nominal (Kerlinger, F. N., 1982). Namun, ketika pengukuran dilakukan untuk
memasukkan murid ke dalam berbagai kategori peran-peran, skala yang
diberlakukan adalah interval. Hal ini dilakukan atas pertimbangan bahwa
dalam mengukur kecenderungan peran-peran seseorang dalam perilaku
bullying dalam jumlah sampel yang besar, peneliti harus mengukur secara
kuantitatif dengan menggunakan skala tipe Likert.

III.8. Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dimana data dikumpulkan
dan diperlihatkan dalam bentuk angka, sebagai skor rata-rata untuk beberapa
kelompok yang berbeda pada beberapa tugas (Goodwin, 2005). Penelitian ini
termasuk dalam jenis penelitian non-eksperimental yaitu penelitian yang bertujuan
untuk melakukan pengamatan dan berusaha menjelaskan hal-hal yang menjadi
penyebabnya (Kumar, 1996). Selain ini, pada penelitian ini tidak terdapat
manipulasi terhadap variabel penelitian dan dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara dua variabel (Seniati, Yulianto & Setiadi, 2005). Penelitian ini
menggunakan desain field studies, dimana variabel bebas tidak dimanipulasi
karena merupakan sesuatu yang sudah terjadi (Kerlinger & Lee, 2000). Dalam
penelitian ini, tidak dilakukan manipulasi pada variabel penelitian. Variabel
penelitian tidak dapat dikontrol secara langsung karena merupakan variabel yang
sudah ada sebelum penelitian dilakukan. Dalam hal ini, variabel penelitian yang
dimaksud adalah pola asuh orangtua dan peran-peran dalam perilaku bullying
siswa.
Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara kepada dua atau tiga responden
setelah penelitian berlangsung. Responden yang dipilih untuk diwawancarai

Universitas Indonesia | 34

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


adalah mereka yang memiliki nilai ekstrim. Tujuan wawancara ini adalah untuk
menggali lebih dalam pola asuh yang diterapkan orangtua mereka dan bagaimana
hal itu bisa mempengaruhi peran mereka dalam bullying.

III.9. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuesioner, yang digunakan untuk mengukur pola asuh orangtua dan peran-peran
dalam perilaku bullying. Selain itu, teknik ini juga dipilih dengan
mempertimbangkan efisiensi waktu penelitian. Alat ukur yang digunakan pada
penelitian ini berupa kuesioner yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama
merupakan kuesioner untuk mengetahui pola asuh orangtua dan yang kuesioner
kedua untuk mengetahui peran-peran responden dalam perilaku bullying. Selain
itu, kuesioner juga dilengkapi dengan data demografis yang digunakan untuk
memastikan bahwa responden yang mengisi kuesioner sudah sesuai dengan
kriteria atau tidak.

III.9.1. Alat Ukur Pola Asuh Orangtua


Untuk mengukur pola asuh orangtua, digunakan alat ukur yang
dimodifikasi dari alat ukur Gaya Pengasuhan Mashoedi (2003) dalam
tesisnya yang berjudul Kaitan Antara Pengasuhan dengan Gaya Atribusi
Mahasiswa dalam Prestasi Akademik yang berdasarkan teori pola asuh
Baumrind (1980) dan Martin & Colbert (1997). Modifikasi yang dilakukan
berupa penggantian kata-kata, bentuk skala, dan rentang pilihan yang
dipersempit agar lebih mudah dimengerti oleh anak usia SD sebagai
responden penelitian. Alat ukur ini dibuat berdasarkan 2 buah dimensi pola
asuh, yaitu dimensi demandingness (pengendalian) dan responsiveness
(penerimaan). Martin dan Colbert (1997) menyebut istilah ―kehangatan‖
(warmth) sebagai nama lain dari responsiveness serta ―pengendalian‖
(control) sebagai nama lain dari demandingness. Selanjutnya di dalam
penelitian ini digunakan istilah ―kehangatan‖ dan ―pengendalian‖ untuk
menyebut kedua dimensi tersebut.

Universitas Indonesia | 35

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Setiap dimensi akan diwakilkan oleh 20 item, sehingga total item yang
ada sebanyak 40 item. Dari 40 buah item ini, responden akan diminta untuk
menentukan pilihan seberapa sering mereka menerima perlakuan dari
orangtuanya. Untuk dimensi pengendalian terdiri dari 20 item, yaitu item
nomor: 1, 2, 5, 6, 9, 10, 13, 14, 17, 18, 21, 22, 25, 26, 29, 30, 33, 34, 37, 38.
Sedangkan untuk dimensi penerimaan juga terdiri dari 20 item, yaitu item
nomor: 3, 4, 7, 8, 11, 12, 15, 16, 19, 20, 23, 24, 27, 28, 31, 35, 36, 39, 40.
Item bernomor ganjil merupakan item positif (favorable) dan item bernomor
genap merupakan item negatif (unfavorable). Skala yang digunakan terdiri
dari 4 skala yaitu dari tidak pernah yang diberi skor 1, jarang dengan skor 2,
pernah dengan skor 3, selalu yang diberi skor 4. Penjelasan mengenai item
yang mewakili perdimensi serta item negatif yang penyekorannya akan
dibalik nantinya, tercantum pada tabel berikut:

Tabel 3.1 Pemetaan Item Alat Ukur Pola Asuh Orangtua


Dimensi Indikator Item Jumlah
1. Kontrol - Penegakan standar dan 1, 9, 13, 17, 22, 25, 8
aturan dengan keras 33, 38
- Mengawasi tingkah laku 2, 6, 14, 18, 21, 26, 8
dengan ketat 30, 37
- Kepatuhan tanpa 5, 10, 29, 34
pertanyaan atau 4
menentang

2. - Responsif terhadap hak- 3, 4, 11, 12, 28 5


Kehangatan hak dan kebutuhan anak
- Membantu anak dalam 7, 8, 15, 19, 20, 27, 7
segala hal 31
- Memberikan afeksi 16, 23, 24, 32, 35,
36, 39, 40 8

Responden yang memiliki skor tinggi dalam dimensi kehangatan maupun


dimensi kontrol digolongkan sebagai responden yang memiliki orangtua dengan
pola asuh authoritative, sedangkan responden yang memiliki skor rendah dalam
dimensi kehangatan maupun dimensi pengendalian digolongkan sebagai
responden dengan orangtua yang melaksanakan pola asuh uninvolved. Responden
yang memiliki skor tinggi dalam dimensi kehangatan namun skornya rendah

Universitas Indonesia | 36

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


dalam dimensi pengendalian digolongkan sebagai responden yang memiliki
orangtua yang melaksanakan pola asuh permissive, sedangkan responden yang
memiliki skor rendah dalam dimensi kehangatan dan skor tinggi dalam dimensi
pengendalian digolongkan sebagai responden yang memiliki orangtua dengan
pola asuh authoritarian.
Salah satu contoh item pada Dimensi Kontrol pada indikator Penegakan
Standar dan Aturan dengan Keras yaitu: ―Saya merasa orangtua menerapkan
disiplin belajar yang ketat pada saya‖. Sementara itu contoh item pada Dimensi
Kehangatan pada indikator Responsif terhadap Hak-hak dan Kebutuhan Anak
yaitu: ―Menurut saya orangtua memahami kebutuhan-kebutuhan saya‖. Kemudian
responden memberikan skor dari skala 1 -4 (tidak pernah sampai selalu) untuk
setiap item.

III.9.2. Alat Ukur Peran-peran dalam Perilaku Bullying


Alat ukur untuk skala peran-peran dalam perilaku bullying psikologis ini
dikembangkan dari skala peran-peran yang telah digunakan oleh Salmivalli et al.
(1996) berdasarkan teori peran-peran dalam perilaku bullying Olweus (1993).
Pada skala peran-peran yang digunakan oleh Salmivalli et al. (1996) tersebut
terdapat empat bagian skala yang mewakili peran-peran yang berbeda, yaitu:
bully, bystander, defender, dan victim, Setiap peran-peran memiliki jumlah item
yang sama yaitu sebanyak 7 buah.
Alat yang dikembangkan peneliti memiliki jumlah item yang lebih sedikit
dan lebih merata dibandingkan dengan item-item pada alat ukur skala peran-peran
yang digunakan oleh Salmivalli et al. (1996). Jumlah keseluruhan item yang
dikembangkan peneliti adalah 28 dengan 7 item untuk tiap peran-peran . Selain
itu, bentuk item pun berubah dari pernyataan singkat kepada soal cerita. Hal ini
dilakukan penelitian karena mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: (1) karena
bentuk pernyataan singkat pada Salmivalli et al. (1996) langsung mencakup istilah
bullying seperti: ―Berinisiatif memulai bullying‖ atau sering menjadi korban
bullying‖, maka sulit untuk menerapkan hal yang sama di Indonesia mengingat
subyek belum familiar dengan istilah bullying (2) peneliti tidak mendapatkan
istilah dalam Bahasa Indonesia yang tepat dalam menggantikan istilah bullying

Universitas Indonesia | 37

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


tanpa mereduksi keutuhan arti kata bullying itu sendiri (3) soal cerita diharapkan
dapat menyajikan bullying secara tidak langsung – yaitu secara kasuistik — di
mana soal cerita menampung berbagai dimensi dalam bullying khususnya yang
bersifat psikologis (4) menurut Patton (1990), soal cerita berfungsi untuk
menggali tentang reaksi subyek pada kasus situasional sehingga reaksi subyek
tersebut tidak bisa digeneralisir pada situasi lain. Oleh karena bullying bersifat
situasional, maka soal cerita dianggap tepat untuk menggali reaksi subyek.
Soal cerita yang ada di alat ukur ini merupakan gambaran kasus bullying
yang bersifat psikologis di mana subyek diminta untuk memposisikan diri seolah-
olah ia ada dalam situasi tersebut. Setelah itu, soal cerita disusul dengan
pernyataan respon subyek terhadap kasus yang disajikan dalam soal cerita
tersebut. Subyek dapat menilai sejauh mana pernyataan yang tertulis mewakili
dirinya.

Tabel 3.2. Pemetaan Item Alat Ukur Peran-peran dalam Perilaku Bullying

Peran Bullying dan Indikator Nomer item


1. Bully:
―Berinisiatif memulai bullying‖ 1, 2, 6
―Mencari cara-cara baru untuk melakukan 4
bullying‖ 3, 5, 7
―Membuat orang lain bergabung dalam
bullying‖
2. Onlooker/Bystander:
―Frekuensi kehadiran dalam kejadian 9, 11, 14
bullying‖ 8, 10, 12, 13
―Perilaku yang ditunjukkan ketika
menghadiri kejadian bullying‖
3. Defender:
―Perilaku terhadap victim‖ 17, 19, 27
―Perilaku terhadap bully‖ 28
―Perilaku terhadap murid-murid lain‖ 15, 16
―Meminta pertolongan pihak ketiga‖ 18
4. Victim :
―Perilaku tidak bersemangat mengikuti 20, 21, 25, 26
kegiatan di sekolah‖
―Perilaku diam dan pasrah saja di 23, 24
sekolah‖ 22
―Perilaku melawan pelaku‖

Universitas Indonesia | 38

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Responden yang memiliki skor tinggi pada skala pelaku dibandingkan 3
skala yang lain digolongkan sebagai responden yang memiliki peran sebagai
pelaku dalam perilaku bullying. Sedangkan responden yang memiliki skor tinggi
pada skala bystander dibandingkan 3 skala yang lain digolongkan sebagai
responden yang memiliki peran sebagai bystander dalam perilaku bullying.
Responden yang memiliki skor tinggi pada skala defender dibandingkan 3 skala
yang lain digolongkan sebagai responden yang memiliki peran sebagai defender
dalam perilaku bullying. Sedangkan responden yang memiliki skor tinggi pada
skala korban dibandingkan 3 skala yang lain digolongkan sebagai responden yang
memiliki peran sebagai korban dalam perilaku bullying.

III.10 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian


Alat ukur dalam penelitian ini telah melalui uji validitas dan reliabilitas.
Validitas dari sebuah tes menunjukkan apa yang diukur oleh sebuah tes dan
seberapa baik alat ukur oleh sebuah tes dan seberapa baik alat ukur tersebut dapat
mengukur apa yang diukur (Anastasi & Urbina, 1997). Uji validitas kedua alat
ukur dalam penelitian (alat ukur pola asuh dan alat ukur peran-peran bullying)
menggunakan metode validitas kriteria (criterion validity), dengan kriteria yang
digunakan adalah metode kelompok kontras. Dalam hal ini peneliti
membandingkan antara individu yang diasuh memiliki tingkat kehangatan dan
kontrol yang tinggi dan yang rendah (untuk alat ukur pola asuh orangtua) dan
individu yang pernah menjadi pelaku, korban, bystander, dan defender bullying
(untuk alat ukur peran-peran bullying). Pada uji coba alat ukur pola asuh orangtua,
responden yang terlibat alat ukur adalah 12 orang, dimana 3 orang diasumsikan
memiliki tingkat kehangatan tinggi, 3 orang diasumsikan memiliki tingkat
kehangatan rendah, 3 orang memiliki tingkat kontrol tinggi dan 3 orang
diasumsikan memiliki tingkat kontrol rendah. Sementara untuk uji coba alat ukur
peran-peran dalam perilaku bullying, responden yang terlibat juga 12 orang,
dimana 3 orang diasumsikan memiliki peran-peran sebagai korban, 3 orang
diasumsikan sebagai pelaku, 3 orang diasumsikan sering menjadi defender dan 3
orang yang diasumsikan sebagai bystander dalam perilaku bullying. Asumsi ini

Universitas Indonesia | 39

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


didasarkan pada informasi wali kelas dan guru-guru mata pelajaran yang dianggap
paling dekat dengan responden.
Setelah melakukan pengambilan data dari para responden uji coba,
dilakukan beberapa perhitungan dengan menggunakan SPSS. Validitas item
dilakukan dengan cara mengkorelasikan setiap item dalam alat ukur ini dengan
kriteria pola asuh orangtua untuk alat ukur pola asuh orangtua dan kriteria peran-
peran bullying untuk alat ukur peran-peran bullying. Dasar uji validitas yang
digunakan adalah sesuai dengan yang dikemukakan Kaplan dan Saccuzzo (2005)
bahwa nilai koefisien validitas antara 0,3 – 0,4 sudah dapat dikatakan tinggi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa item dengan koefisien validitas di atas
0,3 dapat secara akurat membedakan individu-individu dengan intensitas yang
tinggi dan rendah pada atribut yang diukur. Setelah mendapatkan koefisien
validitas item lalu dilakukan pemilihan item yang valid. Dari hasil uji validitas
item, ditemukan 21 item yang harus dieliminasi pada alat ukur pola asuh orangtua
dan 8 item yang harus dieliminasi pada alat ukur peran-peran dalam perilaku
bullying karena memiliki indeks korelasi dengan kriteria yang kurang dari 0,3.
Dengan demikian item yang dapat digunakan dalam penelitian hanya 19 item
untuk alat ukur pola asuh orangtua dan 20 item untuk alat ukur peran-peran dalam
perilaku bullying.
Menurut Anastasi & Urbina (1997), reliabilitas merujuk pada konsistensi
skor yang dicapai oleh orang yang sama ketika diuji ulang menggunakan tes yang
sama pada kesempatan yang berbeda, atau dengan seperangkat item ekuivalen
yang berbeda, atau dalam kondisi pengujian yang berbeda. Uji reliabilitas pada
kedua alat ukur dalam penelitian ini (pola asuh orangtua dan peran-peran dalam
perilaku bullying) dilakukan melalui metode Alpha Cronbach. Dari hasil uji
validitas item, masih ditemukan item yang jika dieliminasi akan menaikkan
koefisien reliabilitas alat ukur, sehingga item tersebut sebaiknya dieliminasi.
Penjelasan mengenai eliminasi item dari hasil uji coba akan dijelaskan berikutnya.

III.10.1 Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Pola Asuh Orangtua
Berdasarkan tahap uji coba, didapatkan dua koefisien Alpha, yaitu sesuai
dengan jumlah dimensi yang menyusun alat ukur tersebut. Koefisien Alpha untuk

Universitas Indonesia | 40

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


dimensi kontrol adalah 0,736 dan untuk dimensi kehangatan adalah 0,789. Kedua
dimensi ini mempunyai reliabilitas yang baik karena memiliki koefisien Alpha
lebih dari 0,7 (Kaplan dan Saccuzzo, 1997). Hal ini menunjukkan bahwa item-
item dalam setiap dimensi pada alat ukur ini homogeny dan konsisten mengukur
hal yang sama.
Dilihat dari tabel corrected item-total correlation, dimensi kehangatan
koefisiennya berkisar antara -0,834 – 0,697 dan dimensi kontrol koefisiennya
berkisar antara -1,00 – 0,984. Berdasarkan koefisien-koefisien tersebut, terdapat
21 item yang perlu dihilangkan karena memiliki nilai kurang dari 0,3. Item-item
tersebut adalah item 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, 18, 19, 20, 22, 24, 26, 28, 30, 32, 34,
36, 38, 40. Setelah dilakukan eliminasi item, peneliti kemudian menghitung
kembali reliabilitas masing-masing dimensi dari alat ukur pola asuh orangtua.
Nilai koefisien alpha untuk dimensi kontrol meningkat dari 0,736 menjadi 0,812,
sedangkan untuk dimensi kehangatan meningkat dari 0,789 menjadi 0,853.
Sementara untuk uji validitas alat ukur pola asuh orangtua, untuk dimensi
kontrol yang telah memiliki 10 item yang memiliki nilai koefisien Alpha di atas
0,3 nilai signifikansinya, yaitu 0,918. Sedangkan, untuk dimensi kehangatan yang
telah memiliki 9 item dengan nilai koefisien Alpha di atas 0,3 nilai
signifikansinya, yaitu 0,840. Dengan demikian, jumlah total item yang digunakan
dalam penelitian adalah sebanyak 19 item dengan perincian sebagai berikut:

Tabel 3.3 Pemetaan Item Alat Ukur Pola Asuh Orangtua Setelah Uji Coba
Dimensi Indikator Item Jumlah
1. Kontrol - Penegakan standar dan 1, 9, 13, 17, 25, 33 6
aturan dengan keras
- Mengawasi tingkah laku 21, 37 2
dengan ketat
- Kepatuhan tanpa pertanyaan
atau menentang 5, 29 2

2. - Responsif terhadap hak-hak 3, 11 2


Kehangatan dan kebutuhan anak
- Membantu anak dalam 7, 15, 27, 31 4
segala hal
- Memberikan afeksi 23, 35, 39 3

Keterangan: semua item yang digunakan dalam penelitian adalah item favorable

Universitas Indonesia | 41

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


III.10.2 Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Peran-peran dalam Perilaku
Bullying
Alat ukur ini disusun berdasarkan empat peran-peran dalam perilaku
bullying yaitu: pelaku, korban, bystander, dan defender bullying. Untuk item
pelaku (bully) memiliki corrected item-total correlation yang berkisar dari
koefisien 0,204 – 0,728. Untuk item bystander memiliki corrected item-total
correlation yang berkisar dari koefisien -0,707 – 0,687. Untuk item defender
memiliki corrected item-total correlation yang berkisar dari koefisien 0,557 –
0,901. Untuk item korban (victim) memiliki corrected item-total correlation yang
berkisar dari koefisien -0,186 – 0,970.
Berdasarkan koefisien-koefisien tersebut, terdapat 8 item yang perlu
dihilangkan karena memiliki nilai kurang dari 0,3. Item-item tersebut adalah item
2, 7, 9, 10, 14, 20, 21, 22. Setelah dilakukan eliminasi item, peneliti kemudian
menghitung kembali reliabilitas masing-masing dimensi dari alat ukur peran-
peran dalam perilaku bullying. Nilai koefisien alpha untuk peran-peran sebagai
pelaku adalah 0,755. Nilai koefisien alpha untuk peran-peran sebagai bystander
adalah 0,731. Nilai koefisien alpha untuk peran-peran sebagai defender adalah
0,792. Nilai koefisien alpha untuk peran-peran sebagai pelaku adalah 0,813.
Sementara untuk uji validitas alat ukur peran-peran dalam perilaku
bullying, untuk peran-peran pelaku yang telah memiliki 5 item yang memiliki
nilai koefisien Alpha di atas 0,3 nilai signifikansinya, yaitu 0,840. Sedangkan,
untuk peran-peran bystander yang telah memiliki 4 item dengan nilai koefisien
Alpha di atas 0,3 nilai signifikansinya, yaitu 0,689. Untuk peran-peran defender
yang telah memiliki 7 item (semua item dipakai, tidak ada yang dieliminasi) nilai
signifikansinya, yaitu 0,843. Terakhir, untuk peran-peran korban yang telah
memiliki 4 item dengan nilai signifikansinya sebesar 0,922. Dengan demikian,
jumlah total item yang digunakan dalam penelitian adalah sebanyak 20 item
dengan perincian sebagai berikut:

Universitas Indonesia | 42

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Tabel 3.4 Pemetaan Item Alat Ukur Peran-peran dalam Perilaku Bullying
Setelah Uji Coba
Peran Bullying dan Indikator Nomer Item Total Item
1. Bully: 5
―Berinisiatif memulai bullying‖ 1, 6
―Mencari cara-cara baru untuk 4
melakukan bullying‖ 3, 5
―Membuat orang lain bergabung
dalam bullying‖
2. Onlooker/Bystander: 4
―Frekuensi kehadiran dalam 11
kejadian bullying‖ 8, 12, 13
―Perilaku yang ditunjukkan
ketika menghadiri kejadian
bullying‖
3. Defender: 7
―Perilaku terhadap victim‖ 17, 19, 27
―Perilaku terhadap bully‖ 28
―Perilaku terhadap murid-murid 15, 16
lain‖ 18
―Meminta pertolongan pihak
ketiga‖
4. Victim : 4
―Perilaku tidak bersemangat 25, 26
mengikuti kegiatan di sekolah‖
―Perilaku diam dan pasrah saja 23, 24
di sekolah‖ -
―Perilaku melawan pelaku‖

III.11. Data Demografis


Data demografis yang melengkapi kuesioner peran-peran dalam perilaku bullying
adalah:
a. Nama responden
b. Usia, data ini diperlukan untuk melihat persebaran responden berdasarkan
usia.
c. Jenis Kelamin, data ini diperlukan untuk melihat persebaran responden
berdasarkan jenis kelamin.
d. Kelas, data ini diperlukan untuk melihat persebaran responden berdasarkan
kelas

Universitas Indonesia | 43

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


e. Agama, data ini diperlukan untuk melihat persebaran responden
berdasarkan agama

Sedangkan untuk kuesioner pola asuh orangtua data demografis yang


dicantumkan adalah:
a. Nama responden
b. Usia, data ini diperlukan untuk melihat persebaran responden berdasarkan
usia serta melihat apakah usia mempengaruhi pola asuh orangtua kepada
anak.
c. Jenis Kelamin, data ini diperlukan untuk melihat persebaran responden
berdasarkan jenis kelamin.
d. Kelas, data ini diperlukan untuk melihat persebaran responden berdasarkan
kelas
e. Agama, data ini diperlukan untuk melihat persebaran responden
berdasarkan agama
f. Pendidikan Ayah, data ini diperlukan untuk melihat persebaran responden
berdasarkan pendidikan terakhir serta melihat apakah hal tersebut
mempengaruhi pola asuh orangtua.
g. Pekerjaan Ayah, data ini diperlukan untuk melihat persebaran responden
berdasarkan pekerjaan dan lamanya orangtua berada di kantor serta melihat
apakah hal tersebut mempengaruhi pola asuh orangtua
h. Pendidikan Ibu, data ini diperlukan untuk melihat persebaran responden
berdasarkan pendidikan terakhir serta melihat apakah hal tersebut
mempengaruhi pola asuh orangtua.
i. Pekerjaan Ibu, data ini diperlukan untuk melihat persebaran responden
berdasarkan pekerjaan dan lamanya orangtua berada di kantor serta melihat
apakah hal tersebut mempengaruhi pola asuh orangtua.

III.12 Prosedur Penelitian


III.11.1 Tahap Persiapan
Sebelum melakukan penelitian, berikut ini adalah tahap-tahap persiapan
yang dilakukan oleh peneliti:

Universitas Indonesia | 44

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


1. Melakukan studi literatur mengenai peran-peran dalam perilaku
bullying,
2. Mencari variabel yang akan dihubungkan dengan peran-peran dalam
perilaku bullying,
3. Melakukan studi literatur mengenai variabel lain, yaitu pola asuh
orangtua,
4. Mengkaji dimensi-dimensi dari kedua variabel kemudian
menerjemahkannya menjadi indikator,
5. Menyusun alat ukur dalam bentuk kuesioner,
6. Melakukan uji coba alat ukur kemudian mengukur validitas serta
reliabilitasnya,
7. Melakukan revisi terhadap item yang ada dalam kuesioner sesuai
dengan hasil pengujian validitas dan reliabilitas.
8. Menyebar kuesioner agar mendapatkan responden sesuai dengan
target.

III.11.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian


Pengambilan data dilaksanakan pada tanggal 24 April – 2 Mei 2012 di
empat SD yang berada di daerah Jakarta dan Bekasi. Pengambilan data di SD
yang pertama dilakukan tanggal 24 April 2012, di SD yang kedua dilakukan
tanggal 30 April 2012 dimana peneliti dibantu oleh asisten peneliti agar
mempercepat proses pengambilan data, dan di SD yang ketiga dan keempat
tanggal 2 Mei 2012. Pengambilan data dilakukan di dalam kelas yang telah
ditentukan oleh pihak sekolah. Sebelum kuesioner disebarkan, terlebih dahulu
dijelaskan gambaran umum penelitian dan bagaimana cara pengisiannya. Setelah
dipastikan semua subyek mengerti, peneliti menyebarkan kuesioner tersebut ke
sejumlah siswa yang berada di kelas tersebut.
Jumlah kuesioner yang disebarkan adalah sebanyak 137 buah, namun yang
mungkin diproses hanya 132 buah. Sebanyak 5 buah kuesioner dieliminasi oleh
peneliti karena ketidaklengkapan responden pada pengisian item pada alat ukur
yang diberikan.

Universitas Indonesia | 45

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


III.13 Metode Pengujian Hipotesis
Setelah semua data terkumpul, peneliti melakukan perhitungan statistik
untuk menjawab pertanyaan penelitian. Perhitungan statistik yang dilakukan oleh
peneliti menggunakan SPSS. Teknik-teknik statistik yang digunakan adalah:
1. Statistik Deskriptif
Dengan metode deskriptif, akan dijelaskan mengenai rata-rata, standar
deviasi, skor maksimum, skor minimum, serta modus dari skor yang didapatkan
oleh responden dalam penelitian ini baik dari variabel pola asuh orangtua, maupun
pada variabel peran-peran dalam perilaku bullying dan juga untuk
mendeskripsikan data demografis pada responden penelitian.
2. Korelasi
Seluruh data yang ada pada kedua alat ukur diolah dengan bantuan
software SPSS for Windows. Teknik statistik yang digunakan dalam mengolah
data berupa skor untuk alat ukur pola asuh orangtua dan peran-peran dalam
perilaku bullying adalah dengan Pearson Correlation. Peneliti menggunakan
perhitungan korelasi Pearson untuk mengetahui hubungan antara variabel 1 secara
dengan variabel 2. Sementara untuk melihat masing-masing hubungan jenis-jenis
pola asuh orangtua dengan masing-masing peran dalam bullying, data yang ada
berupa kategori dan memiliki frekuensi, maka uji hipotesis dilakukan melalui
perhitungan chi-square (Guilford & Frutcher, 1978). Sementara itu, perhitungan
partial correlation digunakan untuk analisis tambahan.

Universitas Indonesia | 46

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


BAB IV
HASIL DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN

Pada bab ini, peneliti akan menguraikan mengenai hasil yang diperoleh
dari pengambilan data serta pengolahan data yang dilakukan secara statistik. Hasil
yang akan diuraikan dalam penelitian ini adalah gambaran umum responden
penelitian, hasil utama penelitian, dan hasil tambahan penelitian.

IV.1 Gambaran Umum Penelitian


Gambaran umum responden menggambarkan keadaan demografis
penyebaran responden penelitian, gambaran pola asuh orangtua dan gambaran
peran-peran dalam perilaku bullying pada responden penelitian.

IV.1.1 Gambaran Demografis Penyebaran Responden Penelitian


Gambaran demografis penyebaran responden diperoleh melalui data diri
atau identitas responden yang terletak di halaman awal pada kuesioner penelitian.
Hasil gambaran demografis yang akan dideskripsikan dari data diri yaitu jenis
kelamin, usia, kelas, agama, pendidikan ayah, pekerjaan ayah, pendidikan ibu, dan
pekerjaan ibu. Hasil perhitungan distribusi frekuensi dari gambaran demografis
tersebut dapat dilihat dalam tabel 4.1.

Tabel 4.1 Gambaran Demografis Responden Penelitian


Karakteristik Responden Data Responden Frekuensi Persentase (%)

Jenis Kelamin Laki-Laki 66 50


Perempuan 66 50
Total 132 100
Usia 10 66 50
11 55 41.7
12 11 8.3
Total 132 100

Universitas Indonesia | 47

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Tabel 4.1 Gambaran Demografis Responden Penelitian (Lanjutan)
Karakteristik Responden Data Responden Frekuensi Persentase (%)

Kelas 5 112 84.8


6 20 15.2
Total 132 100
Agama Islam 73 55.3
Kristen 54 40.9
Lain-lain 5 3.8

Total 132 100

Berdasarkan data dari tabel 4.1, dapat diketahui bahwa berdasarkan jenis
kelamin, 50% responden adalah laki-laki dan 50% responden lainnya adalah
perempuan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel-tabel dibawah ini.
Sementara untuk rentang usia responden 50% berusia 10 tahun, 41,7% berusia 11
tahun, dan 8,3%berusia 12 tahun. Kemudian untuk penyebaran tingkatan kelas
responden diperoleh data sebanyak 84,8% yang mengisi kuesioner merupakan
siswa kelas 5 SD, 15,2% merupakan siswa kelas 6 SD. Sementara untuk
penyebaran agama responden penelitian ini diketahui bahwa responden beragama
Islam sebanyak 55,6%, beragama Kristen (Protestan dan Katolik) sebanyak 40,6%
dan beragama Hindu dan Buddha (lain-lain) sebanyak 3,8%.

Universitas Indonesia | 48

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Tabel 4.2 Gambaran Demografis Ayah Responden Penelitian
Karakteristik Ayah Persentase
Data Ayah Responden Frekuensi
Responden Penelitian (%)
Pendidikan Ayah SMP 3 2.3
SMA/SMK 22 16.7
D3 5 3.8
S1 57 43.2
S2 14 10.6
S3 1 0.8
Tidak tahu 30 22.7
Total 132 100
Pekerjaan Ayah ABRI/Polisi/PNS 12 9.1
Pemuka Agama 2 1.5
Pegawai Swasta 59 44.7
Pegawai BUMN 4 3.0
Pensiunan 2 1.5
Profesi 9 6.8
Wiraswasta 36 27.3
Tidak tahu 8 6.1
Total 132 100

Berdasarkan data dari tabel 4.2, dapat diketahui bahwa berdasarkan


pendidikan ayah responden yang mengisi kuesioner adalah responden yang
mempunyai ayah lulusan SMP sebanyak 2,3%, mempunyai ayah lulusan
SMA/SMK sebanyak 16,7%, mempunyai ayah lulusan D3 sebanyak 3,8%,
mempunyai ayah lulusan S1 sebanyak 43,2%, mempunyai ayah lulusan S2
sebanyak 10,6%, mempunyai ayah lulusan S3 sebanyak 0,8%, dan sebanyak
22,7% menjawab tidak tahu. Sementara untuk gambaran pekerjaan ayah,
responden yang memiliki ayah yang bekerja sebagai ABRI/Polisi/PNS sebanyak
9,1%, yanh merupakan pemuka agama sebanyak 1,5%, bekerja sebagai pegawai
swasta sebanyak 44,7%, merupakan pegawai BUMN sebanyak 3%, merupakan
pensiunan sebanyak 1,5%, bekerja sebagai tenaga profesi
(dokter/guru/arsitek/desainer) sebanyak 6,8%, bekerja sebagai wiraswasta
sebanyak 27,3%, dan sebanyak 6,1% tidak tahu.

Universitas Indonesia | 49

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Tabel 4.3 Gambaran Demografis Ibu Responden Penelitian
Karakteristik Ibu
Data Ibu Responden Frekuensi Persentase (%)
Responden Penelitian
Pendidikan Ibu SMP 4 3.0
SMA/SMK 30 22.7
D1 1 0.8
D3 14 10.6
S1 40 30.3
S2 10 7.6
Tidak tahu 33 25.0
Total 132 100
Pekerjaan Ibu ABRI/Polisi/PNS 7 5.3
Ibu Rumah Tangga 86 65.2
Pegawai Swasta 12 9.1
Profesi 11 8.3
Wiraswasta 13 9.8
Tidak tahu 3 2.3

Total 132 100

Berdasarkan data dari tabel 4.3, dapat diketahui bahwa berdasarkan


pendidikan ibu responden yang mengisi kuesioner sebanyak 3% mempunyai ibu
lulusan SMP, 22,7% lulusan SMA/SMK, 0,8% mempunyai ibu lulusan D1, 10,6%
mempunyai ibu lulusan D3, 30,3% mempunyai ibu lulusan S1, 7,6% mempunyai
ibu lulusan S2, dan sebanyak 25% responden tidak tahu. Untuk gambaran
pekerjaan ibu responden yang mengisi kuesioner adalah 5,3% ibu responden
bekerja sebagai ABRI/Polisi/PNS, 65,2% merupakan ibu rumah tangga, 9,1%
bekerja sebagai pegawai swasta, 8,3% bekerja sebagai tenaga profesi
(dokter/guru/arsitek/desainer), 9,8% bekerja sebagai wiraswasta, dan sebanyak
2,3% responden tidak tahu.

Universitas Indonesia | 50

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


IV.1.2 Gambaran Umum Pola Asuh Orangtua
Gambaran pola asuh orangtua menggambarkan pembagian skor responden
pada alat ukur pola asuh orangtua ke dalam tipe pola asuh yang ada. Pembagian
jawaban responden menjadi 4 tipe pola asuh orangtua ini menggunakan norma
Standar Score masing-masing dimensi pola asuh, yaitu dimensi hangat dan
kontrol.
Berikut adalah grafik dan tabel pembagian tipe pola asuh orangtua responden:

Grafik 4.1 Frekuensi Tipe Pola Asuh Orangtua Responden

Tabel 4.4 Tabel Tipe Pola Asuh Pola Asuh Orangtua

Pola Asuh Frekuensi Persentase


Orangtua Responden

Authoritarian 32 24,5%
Authoritative 39 29,5%
Permissive 38 28,8%
Uninvolved 23 17,4%

Berdasarkan grafik 4.2 dan tabel 4.4, dapat dilihat bahwa dari total
responden penelitian, 24,2% yang memiliki pola asuh authoritarian 29,5% yang
memiliki pola asuh authoritative, 28,8% memiliki pola asuh permissive, dan
17,4% memiliki pola asuh uninvolved.

Universitas Indonesia | 51

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


IV.1.3 Gambaran Umum Peran-peran dalam Perilaku Bullying
Gambaran peran-peran dalam perilaku bullying menggambarkan
pembagian skor responden pada alat ukur peran-peran dalam perilaku bullying ke
dalam peran-peran yang ada. Pembagian jawaban responden menjadi 4 peran
menggunakan norma Standar Score dari skor masing-masing peran-peran dalam
perilaku bullying pada kuesioner.

Berikut adalah gambaran peran-peran dalam perilaku bullying pada


responden penelitian ini:

Grafik 4.2 Frekuensi Skor Peran-peran dalam Perilaku Bullying

Tabel 4.5 Tabel Peran-peran dalam Perilaku Bullying

Peran Frekuensi Persentase


Bullying Responden

Bully 30 22,7%
Bystander 35 26,5%
Defender 37 28%
Victim 30 22,7%

Universitas Indonesia | 52

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Dalam grafik 4.2, dapat dilihat gambaran tipe peran-peran dalam perilaku
bullying pada responden penelitian ini. Diketahui jumlah responden yang
memiliki peran-peran sebagai bully sebanyak 22,7%, bystander sebanyak 26,5%,
defender sebanyak 28% dan yang berperan-peran sebagai victim sebanyak 22,7%.

IV.2 Hasil dan Analisis Hasil Permasalahan Utama Penelitian


Dalam bagian ini akan dijelaskan hubungan antara pola asuh orangtua
dengan masing-masing peran-peran dalam perilaku bullying. Perhitungan korelasi
antara keduanya dilakukan dengan teknik pearson correlation melalui uji chi-
square cross tabulation. Berikut ini hasil perhitungan korelasi antara pola asuh
orangtua dengan peran-peran dalam perilaku bullying:

Tabel 4.6 Tabulasi Silang Pola Asuh Orangtua dengan Peran-peran dalam Perilaku
Bullying di Kalangan Pelajar Sekolah Dasar
Peran-peran Pola Asuh Orangtua Total
dalam
Authori- Authorita- Permi- Unin-
Perilaku
tarian tive ssive volved
Bullying
Bully 11 7 (23,3%) 8 4 30
(36,7%) (26,7%) (13,3%)
Bystander 10 12 6 7 35
(28,6%) (34,3%) (17,1%) (20%)
Defender 4 13 15 5 37
(10,8%) (35,1%) (40,5%) (13,5%)
Victim 7 7 9 7 30
(23,3%) (23,3%) (30%) (23,3%)
Total 32 39 38 23 132

Dari tabel 4.6, dapat diketahui pola asuh yang diterapkan oleh orangtua
responden berdasarkan masing-masing peran-peran dalam perilaku bullying pada
responden penelitian. Dilihat pola asuh yang diterapkan oleh orangtua, dari total
132 responden sebanyak 32 responden diantaranya mengaku diasuh secara

Universitas Indonesia | 53

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


authoritarian¸ 39 responden diasuh secara authoritative, 38 responden diasuh
secara permissive, dan 23 responden diasuh secara uninvolved. Sementara dari
segi peran-peran dalam perilaku bullying, ada 30 responden yang memiliki peran
sebagai bully, 35 responden memiliki peran sebagai bystander, 37 responden
memiliki peran sebagai defender, dan 30 responden memiliki peran sebagai
victim.
Sementara itu sebanyak 11 responden (36,7%) pelaku (bully) diasuh secara
authoritarian oleh orangtuanya, 7 responden (23,3%) menjawab diasuh secara
authoritative, 8 responden (26,7%) diasuh secara permissive dan 4 orang (13,3%)
menjawab secara uninvolved. Sementara itu sebanyak 10 responden (28,6%)
penonton (bystander) dalam penelitian diasuh secara secara authoritatrian oleh
orangtuanya, sebanyak 12 responden (34,3%) diasuh secara authoritative, 6
responden (17,1%) secara permissive, dan 7 responden (20%) secara uninvolved.
Kemudian sebanyak 4 responden (10%) penentang (defender) dalam penelitian
diasuh secara secara authoritatrian oleh orangtuanya, sebanyak 13 responden
(35,1%) diasuh secara authoritative, 15 (40,5%) secara permissive, dan 5
responden (13,5%) secara uninvolved. Terakhir yaitu peran-peran sebagai korban,
sebanyak 7 responden (23,3%) diasuh secara secara authoritatrian oleh
orangtuanya, 7 responden lainnya (23,3%) diasuh secara authoritative, 9
responden (30%) secara permissive, dan 7 responden (23,3%) secara uninvolved.
Untuk mengetahui hubungan pola asuh orangtua dengan peran-peran
dalam peran-peran perilaku bullying maka dilakukan perhitungan statistik Chi-
square, seperti yang terlihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.7 Uji Chi-Square Pola Asuh Orangtua dengan Peran-Peran dalam
Perilaku Bullying di Kalangan Pelajar Sekolah Dasar
Nilai Chi-Square Df
11,219 9

Berdasarkan tabel 4.7, nilai chi-square yang didapatkan adalah 11,219,


sedangkan nilai chi-square pada tabel (df = 9) adalah 16, 92 (los 0,05) dan 21,67
(los 0,01). Dengan demikian nilai chi-square yang didapat lebih kecil daripada

Universitas Indonesia | 54

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


nilai pada tabel yang berarti hipotesis nol diterima. Hal itu berarti tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara pola asuh orangtua dengan peran-peran
dalam perilaku bullying di pelajar sekolah dasar.

IV.3 Hasil dan Analisis Hasil Tambahan


Selain menghitung korelasi antara skor mengenai pola asuh orangtua dan
peran-peran dalam perilaku bullying, terdapat hasil analisis tambahan yang
berkaitan dengan penelitian. Pada data demografis, ditemukan hal-hal menarik
yang terkait dengan penelitian ini sehingga dilakukan analisis tambahan. Analisis
tambahan pada penelitian ini adalah:

IV.3.1 Gambaran Pola Asuh Orangtua Responden Berdasarkan Data


Demografis

Tabel 4.8 Tabulasi Silang Pola Asuh Orangtua dengan Data Jenis Kelamin dan Usia
Freku- Jenis Kelamin Usia
Pola ensi Laki- Perem- 10 11 12
Asuh (Persent laki puan
Orangtua ase)

Authori 32 15 17 18 11 3
tarian (24,5%) (46.9%) (53.1%) (56.3%) (34.4%) (9.4%)
Author 39 21 18 21 16 2
itative (29,5%) (53.8%) (46.2%) (53.8%) (41.0%) (5.1%)
Permi 38 18 20 16 18 4
ssive (28,8%) (47.4%) (52.6%) (42.1%) (47.4%) (10.5%)
Uninvol 23 12 11 11 10 2
ved (17,4%) (52.2%) (47.8%) (47.8%) (43.5%) (8.7%)

Berdasarkan tabel 4.8, diketahui bahwa para responden yang memiliki


orangtua dengan pola asuh authoritarian lebih banyak dimiliki oleh para
responden perempuan dengan persentase 53,1%, sedangkan para responden
46,9%. Sementara untuk pola asuh authoritative, lebih banyak dimiliki para
responden laki-laki yaitu sebanyak 53,8%, sedangkan perempuan 46,2%. Untuk
pola asuh permissive, para responden perempuan memiliki persentase lebih besar
yaitu 52,6% daripada para responden laki-laki yaitu 47,8%. Kemudian, untuk pola

Universitas Indonesia | 55

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


asuh uninvolved, para responden laki-laki memiliki persentase lebih besar yaitu
52,2% daripada para responden perempuan yaitu 47,8%.
Berdasarkan rentang usia, para responden yang diasuh secara
authoritarian paling banyak dimiliki oleh para responden yang berusia 10 tahun
yaitu sebesar 56,3%, disusul para responden yang berusia 11 tahun 34,4% sisanya,
yaitu sebanyak 9,4% dimiliki para responden yang berusia 12 tahun. Untuk pola
asuh authoritative paling banyak juga terdapat pada para responden yang berusia
10 tahun yaitu 53,8%, sementara yang berusia 11 tahun sebanyak 41% dan yang
berusia 12 tahun 5,1%. Untuk pola asuh permissive paling banyak berada pada
para responden yang berusia 10 tahun yaitu sebanyak 42,1%, sedangkan yang
berusia 11 tahun yaitu sebanyak 47,4%, dan yang berusia 12 tahun 10,5%.
Terakhir untuk pola asuh uninvolved sebanyak 47,8% ada pada responden berusia
10 dan 43,5% pada para responden berusia 11 tahun, sementara sisanya 6,7%
berada pada para responden berusia 12 tahun.

Tabel 4.9 Tabulasi Silang Pola Asuh Orangtua dengan Pendidikan Ayah
Pola Frekue Pendidikan Ayah
Asuh nsi SMP
Orangt (Persen
ua tase) Tidak SMA/
tahu D3 S1 S2 S3 SMK
Authori 24,5% 25.0% .0% 46.9% 12.5% 3.1 12.5% .0%
tarian %
Authori 29,5% 17.9% .0% 48.7% 12.8% .0% 17.9% 2.6%
tative
Permiss 28,8% 21.1% 10.5% 42.1% 10.5% .0% 15.8% .0%
ive
Uninvol 17,4% 30.4% 4.3% 30.4% 4.3% .0% 21.7% 8.7%
ved

Berdasarkan tabel 4.9 diketahui, para responden yang diasuh secara


authoritarian memiliki ayah dengan pendidikan terakhir S1 sebanyak 46,9%,
sedangkan S2 dan SMA/SMK memiliki angka yang sama sebanyak 12,5%, dan
S3 sebanyak 3,1%, dan yang tidak tahu sebanyak 25%. Untuk pola asuh
authoritative dimiliki para responden sebanyak 48,7% dengan pendidikan ayah
S1, 12,8% dengan pendidikan ayah S2, 17,9% dimiliki oleh responden yang
memiliki ayah lulusan SMA/SMK, 2,6% dimiliki oleh lulusan SMP, dan yang

Universitas Indonesia | 56

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


tidak tahu sebanyak 17,9%. Untuk pola asuh permissive, paling banyak terdapat
pada para responden yang memiliki ayah lulusan S1 sebanyak 42,1%, sementara
yang lulusan S2 sebanyak 10,5%, sebanyak 15,8% dari lulusan SMA/SMK, 10,5
dari lulusan D3, dan sebanyak 21,1% tidak tahu. Terakhir, untuk pola asuh
uninvolved sebanyak 30,4% dijawab oleh para responden dengan ayah lulusan S1
dan angka yang sama untuk menjawab tidak tahu, sebanyak 4,3% dimiliki oleh
ayah lulusan D3 dan S2 dan yang lulusan SMP sebanyak 8,7%.

Tabel 4.10 Tabulasi Silang Pola Asuh Orangtua dengan Pekerjaan Ayah
Pola Fre- Pekerjaan Ayah
Asuh kuensi Pemu Wira
Orang (perse Tida ABRI/ ka Peg Peg Pen Pro swast
Tua ntase) k Polisi/ Aga Swa BU siun fe- a
tahu PNS ma sta MN an si
Authorit 24,5% 6.3% 6.3% .0% 50.0 3.1 .0% 6.3 28.1
arian % % % %
Authorit 29,5% .0% 7.7% 5.1% 41.0 2.6 .0% 12. 30.8
ative % % 8% %
Permi- 28,8% 13.2 10.5% .0% 39.5 2.6 5.3 5.3 23.7
ssive % % % % % %
Uninvol 17,4% 4.3% 13.0% .0% 52.2 4.3 .0% .0% 26.1
ved % % %

Berdasarkan tabel 4.10 diketahui, para responden yang diasuh secara


authoritarian memiliki ayah dengan pekerjaan terbanyak sebagai Pegawai Swasta
yaitu sebanyak 50,0%, kemudian sebagai wiraswasta sebanyak 28,1%.
Sedangkan sebagai ABRI/Polisi/PNS sebanyak 6,3%, sebagai Pegawai BUMN
sebanyak 3,1% dan sebagai Profesi sebanyak 6,3%. Untuk pola asuh authoritative
memiliki ayah dengan pekerjaan terbanyak juga sebagai Pegawai Swasta
sebanyak 41% dan disusul dengan ayah berprofesi sebagai wiraswasta sebanyak
30,8%. Yang lainnya berprofesi sebagai ABRI/Polisi/PNS sebanyak 7,7%, yang
berprofesi sebagai Pemuka agama sebanyak 5,1%, berprofesi sebagai pegawai
BUMN sebanyak 2,6%% dan profesi lainnya sebanyak 12.8%. Untuk para
responden yang diasuh secara permissive memiliki ayah dengan pekerjaan
terbanyak sebagai Pegawai Swasta yaitu sebanyak 39,5%, kemudian sebagai
wiraswasta sebanyak 23,7%, sedangkan sebagai ABRI/Polisi/PNS sebanyak
10,5%, sebagai Pegawai BUMN sebanyak 2,6%, sebagai Pensiun sebanyak 5,3%

Universitas Indonesia | 57

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


dan yang bekerja sebagai Profesi sebanyak 5.3%. Untuk para responden yang
diasuh secara uninvolved memiliki ayah dengan pekerjaan terbanyak sebagai
Pegawai Swasta yaitu sebanyak 52,2%, kemudian sebagai wiraswasta sebanyak
26,1%. Sedangkan sebagai ABRI/Polisi/PNS sebanyak 13,0%, sebagai Pegawai
BUMN sebanyak 4,3%.

Tabel 4.11 Tabulasi Silang Pola Asuh Orangtua dengan Pendidikan Ibu
Pola Frekuen Pendidikan Ibu
Asuh si SM SMP
Orangtu (Persen A/
a tase) Tidak SM
tahu D1 D3 S1 S2 K
Authorit 24,5% 28.1% .0% 12.5 25.0% 15.6 18.8 .0%
arian % % %
Authorit 29,5% 17.9% .0% 10.3 46.2% 5.1 17.9 2.6%
ative % % %
Permissi 28,8% 21.1% .0% 15.8 23.7% 5.3 31.6 2.6%
ve % % %
Uninvolv 17,4% 39.1% 4.3% .0% 21.7% 4.3 21.7 8.7%
ed % %

Berdasarkan tabel 4.11 diketahui, para responden yang diasuh secara


authoritarian memiliki ibu dengan pendidikan terakhir S1 sebanyak 25%, S2
sebanyak 15,6% dan SMA/SMK sebanyak 18,8%, dan yang tidak tahu sebanyak
28,1%. Untuk pola asuh authoritative dimiliki para responden sebanyak 46,2%
dengan pendidikan ibu S1, 5,1% dengan pendidikan ibu S2, 17,9% dimiliki oleh
responden yang memiliki ibu lulusan SMA/SMK, 2,6% dimiliki oleh ibu lulusan
SMP, dan yang tidak tahu sebanyak 17,9%. Untuk pola asuh permissive, paling
banyak terdapat pada para responden yang memiliki ibu lulusan S1 sebanyak
23,7%, sementara yang lulusan S2 sebanyak 5,3%, sebanyak 31,6% dari ibu
lulusan SMA/SMK, 15,8% dari ibu lulusan D3, dan sebanyak 2,6% dari lulusan
SMP. Sementara yang tidak tahu sebanyak 21,1%. Terakhir, untuk pola asuh
uninvolved sebanyak 21,7% dijawab oleh para responden dengan ibu lulusan S1
dan SMA/SMK. Sedangkan lulusan ibu berpendidikan S2 dan D1 memiliki angka
yang sama yaitu sebanyak 4,3%, yang lulusan SMP sebanyak 8,7% dan sebanyak
39,1% menjawab tidak tahu.

Universitas Indonesia | 58

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Universitas Indonesia | 59

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Tabel 4.12 Tabulasi Silang Pola Asuh Orangtua dengan Pekerjaan Ibu
Pola Freku- Pekerjaan Ibu
Asuh ensi
Orang (Persen- ABRI/ Ibu Pegaw Wira
Tua tase) Tidak Polisi/ Rumah ai Profe swasta
tahu PNS Tangga Swasta si
Authorit 24,5% 6.3% 3.1% 59.4% 9.4% 9.4% 12.5%
arian
Authorit 29,5% .0% 10.3% 61.5% 7.7% 15.4% 5.1%
ative
Permissi 28,8% 2.6% 2.6% 71.1% 10.5% 2.6% 10.5%
ve
Uninvol 17,4% .0% 4.3% 69.6% 8.7% 4.3% 13.0%
Ved

Berdasarkan tabel 4.12 diketahui, para responden yang diasuh secara


authoritarian memiliki ibu dengan pekerjaan terbanyak sebagai Ibu Rumah
Tangga sebanyak 59,4%, sementara pekerjaan ibu sebagai Pegawai Swasta dan
Profesi memiliki angka yang sama yaitu sebanyak 9,4%, kemudian sebagai
wiraswasta sebanyak 12,5%. Sedangkan sebagai ABRI/Polisi/PNS sebanyak
3,1%, dan responden yang menjawab tidak tahu sebanyak 6,3%. Untuk pola asuh
authoritative memiliki ibu dengan pekerjaan terbanyak juga sebagai Ibu Rumah
Tangga sebanyak 61,5%, ibu yang pegawai swasta sebanyak 7,7%, ibu yang
memiliki profesi lain sebanyak 15,4%, sebagai wiraswasta sebanyak 5,1%. Yang
lainnya berprofesi sebagai ABRI/Polisi/PNS sebanyak 10,3%. Untuk para
responden yang diasuh secara permissive memiliki ibu dengan pekerjaan
terbanyak sebagai Ibu Rumah Tangga yaitu sebanyak 71,1%, kemudian
pekerjaan ibu sebagai Pegawai Swasta sebanyak 10,5%. Sedangkan pekerjaan ibu
sebagai ABRI/Polisi/PNS dan Profesi lain memiliki angka yang sama yaitu
sebanyak 2,6%, sedangkan pekerjaan ibu sebagai Wiraswasta sebanyak 10,5, dan
responden yang tidak tahu pekerjaan ibu menjawab 2,6%. Yang terakhir para
responden yang diasuh secara uninvolned memiliki ibu dengan pekerjaan
terbanyak sebagai Ibu Rumah Tangga yaitu sebanyak 69,6%, kemudian sebagai
pegawai swasta sebanyak 8,7%. Sedangkan sebagai ABRI/Polisi/PNS dan Profesi
lain memiliki angka yang sama yaitu sebanyak 4,3%, dan sebagai Wiraswasta
sebanyak 13,0%.

Universitas Indonesia | 60

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


IV.3.2 Gambaran Peran-peran dalam Perilaku Bullying Responden
Berdasarkan Data Demografis

Tabel 4.13 Tabulasi Silang Peran-peran dalam Bullying dengan Data


Jenis Kelamin dan Usia
Peran Frekuensi Jenis Kelamin Usia
Bullying (Persentase) Laki- Perempuan 10 11 12
laki
Bully 30 (22,7%) 17 13 16 13 1
(56.7%) (43.3%) (53.3%) (43.3%) (3.3%)
Bystander 37 (26,5%) 15 20 19 13 3
(42.9%) (57.1%) (54.3%) (37.1%) (8.6%)
Defender 38 (28%) 17 20 17 15 5
(45.9%) (54.1%) (45.9%) (40.5%) (13.5
%)
Victim 30 (22,7%) 17 13 14 14 2
(56.7%) (43.3%) (46.7%) (46.7%) (6.7%)

Berdasarkan tabel 4.13, diketahui bahwa para responden yang berperan


sebagai bully lebih banyak dimiliki oleh para responden laki-laki dengan
persentase 56,7%, sedangkan para responden perempuan sebanyak 46,9%.
Sementara untuk peran bystander, lebih banyak dimiliki para responden
perempuan yaitu sebanyak 57,1%, sedangkan para responden laki-laki 42,9%.
Untuk peran defender, para responden perempuan memiliki persentase lebih besar
yaitu 54,1% daripada para responden laki-laki yaitu 45,9% Kemudian, untuk
peran victim, para responden laki-laki memiliki persentase lebih besar yaitu 56,7%
daripada para responden perempuan yaitu 43,3%.
Sementara itu berdasarkan rentang usia, para responden berperan sebagai
bully paling banyak berada pada para responden yang berusia 10 tahun yaitu
sebesar 53,3%, disusul para responden yang berusia 11 tahun 43,3% dan sisanya,
yaitu sebanyak 3,3% dimiliki para responden yang berusia 12 tahun. Untuk peran
bystander paling banyak juga terdapat pada para responden yang berusia 10 tahun
yaitu 54,3%, sementara yang berusia 11 tahun sebanyak 37,1% dan yang berusia
12 tahun 8,6%. Untuk peran defender paling banyak berada pada para responden
yang berusia 10 tahun yaitu sebanyak 45,9%, sedangkan yang berusia 11 tahun
yaitu sebanyak 40,5%, dan yang berusia 12 tahun 13,5%. Terakhir untuk peran

Universitas Indonesia | 61

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


victim, sebanyak 46,7% ada pada para responden berusia 10 dan 11 tahun,
sementara sisanya 6,7% berada pada para responden berusia 12 tahun.

IV.3.3 Hubungan antara Pola Asuh Orangtua dengan Peran-peran dalam


Perilaku Bullying Berdasarkan Data Demografis
Perhitungan korelasi parsial dilakukan untuk melihat hubungan antara pola
asuh dengan peran-peran dalam perilaku bullying berdasarkan data demografis.
Berdasarkan jenis kelamin, pada responden dengan jenis kelamin laki-laki-laki
(n=66) dan perempuan (n=66) tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara
pola asuh orangtua dengan jenis kelamin. Kemudian, pada responden berdasarkan
usia juga tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara pola asuh dengan peran-
peran dalam perilaku bullying, baik pada kelompok usia 10 (n=66), kelompok usia
11 (n=55), kelompok 12 (n=11). Pada responden, tidak ditemukan pula hubungan
yang signifikan antara pola asuh dengan peran-peran dalam perilaku bullying
berdasarkan kelompok kelas 5 (n=112) dan kelompok kelas 6 (n=20). Hasil yang
sama juga ditemukan berdasarkan kelompok agama, tidak ditemukan hubungan
yang signifikan antara pola asuh dengan peran-peran dalam perilaku bullying pada
responden yang beragama Islam (n=73), beragama Kristen (n=54), dan beragama
Lain-lain (n=5).
Kemudian peneliti juga mencoba perhitungan korelasi parsial antara pola
asuh orangtua dengan peran-peran dalam perilaku bullying berdasarkan
pendidikan terakhir ayah dan ibu responden, dan juga berdasarkan pekerjaan ayah
dan ibu responden. Namun, tidak terdapat korelasi yang signifikan antara pola
asuh orangtua dengan peran-peran dalam perilaku bullying pada responden yang
ayah dan ibunya memiliki pendidikan dan pekerjaan tertentu. Seluruh hasil
perhitungan korelasi parsial yang dilakukan menggunakan SPSS for Windows
dapat dilihat pada bagian lampiran.

Universitas Indonesia | 62

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


BAB V

Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bab ini merupakan rangkuman dari hasil penelitian yang memuat


kesimpulan, diskusi, dan saran. Bab ini dimulai dengan kesimpulan mengenai
hasil penelitian, dilanjutkan dengan diskusi, dan diakhiri saran yang dapat menjadi
bahan pertimbangan penelitian berikutnya.

V.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa secara umum
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh orangtua dengan peran-
peran dalam perilaku bullying. Berdasarkan peran-peran dalam perilaku bullying,
pola asuh yang paling banyak diterapkan oleh pelaku adalah pola asuh
authoritarian. Sementara untuk peran bystander, pola asuh yang dominan
diterapkan orangtua adalah authoritative. Sedangkan untuk peran defender dan
korban, pola asuh yang diterapkan adalah sama, yaitu permissive.

V.2. Diskusi
Hasil penelitian menunjukkan hipotesis null (Ho) yang menyatakan bahwa
tidak ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan peran-
peran dalam perilaku dalam bullying pada pelajar sekolah dasar diterima. Tidak
terbukti bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh orangtua
dengan peran-peran dalam perilaku dalam bullying. Hasil ini diperoleh bisa jadi
karena kurang banyaknya jumlah responden penelitian. Jumlah responden yang
sedikit bisa saja mempengaruhi nilai uji chi-square dan jumlah tiap sel pada
tabulasi silang.
Selain itu, hasil penelitian tersebut bisa berarti peran seseorang dalam
perilaku bullying tidak terlalu dipengaruhi oleh pengasuhan yang diberikan oleh
orangtuanya, ada faktor lain yang lebih menentukan peran seorang siswa dalam
bullying. Beberapa faktor yang menjadi kemungkinan menentukan peran
seseorang di dalam bullying selain pengasuhan orangtua antara lain kontribusi

Universitas Indonesia | 63

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


anak (jenis kelamin dan temperamen pribadi, dan pengalaman pribadi responden),
media (TV, video, film, dan internet), dan pengaruh sekolah (moral staf sekolah
yang rendah, tingkat pergantian guru cukup tinggi, standar tingkah lakunya tidak
jelas, metode disiplin tidak konsisten, organisasinya buruk, pengawasan tidak
ketat, dan kurang mengawasi anak sebagai individu). Berdasarkan follow-up
interview yang dilakukan peneliti ke beberapa responden setelah hasil penelitian
diketahui bahwa, sebagian besar responden yang melakukan bully mengaku
mendapat ide untuk mengejek atau memukul terhadap temannya yang lain dari
acara televisi yang ditontonnya. Tidak adanya kontrol terhadap berbagai faktor
tersebut menyebabkan sulit untuk menentukan dengan pasti, faktor-faktor mana
saja yang ikut berkontribusi terhadap peran-peran bullying responden yang ada
dalam hasil penelitian ini.
Selain itu dalam Sullivan, Cleary, dan Sullivan (2005) juga menyebutkan
bahwa pada umumnya siswa sekolah dasar memiliki peran dalam bullying yang
masih belum stabil karena mereka masih mencari identitas peranan mereka dalam
bullying. Hal ini karena perilaku bullying biasanya baru dimulai pada tingkatan
sekolah dasar. Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Sullivan, Cleary, dan
Sullivan (2005), hasil penelitian yang diperoleh ini mungkin saja tidak signifikan
karena identitas peran bullying pada responden penelitian ini belum cukup kuat,
sehingga masih sulit diketahui secara pasti.
Selain itu, dalam penelitian ini, jenis kelamin anak tidak mempengaruhi
pola asuh yang diterapkan oleh orangtua. Hal ini tidak sejalan dengan hasil yang
dikemukakan Martin dan Colbert (1997) yang menyatakan bahwa salah satu
karakteristik anak yang mempengaruhi pola asuh orangtua adalah jenis kelamin.
Hasil tambahan lain mengenai pola asuh orangtua adalah tingkat pendidikan dan
pekerjaan yang dimiliki oleh kedua orangtua tidak berhubungan dengan pola asuh
yang diterapkan. Hasil tersebut tidak mendukung teori yang menyatakan bahwa
pengetahuan yang dimiliki oleh orangtua akan mempengaruhi pola asuh yang
diterapkannya (Martin dan Colbert, 1997). Artinya dalam penelitian ini, pilihan
orangtua dalam menggunakan pola asuh tertentu tidak ditentukan oleh tingkat
pendidikan terakhirnya dan jenis pekerjaannya.

Universitas Indonesia | 64

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Hubungan yang tidak signifikan terdapat pada hubungan antara usia
dengan perilaku bullying. Hal tersebut menunjukkan perubahan tingkatan usia
tidak mempengaruhi skor bullying seseorang. Hasil tersebut tidak mendukung
teori yang menyatakan bahwa anak dengan usia yang lebih tua cenderung
melakukan bullying dibandingkan dengan anak yang lebih muda (Olweus, 1993).
Hasil itu mungkin terjadi karena usia yang digunakan jaraknya tidak jauh berbeda
antara satu dengan yang lainnya, yaitu 10, 11, dan 12 tahun dan sama-sama
tergolong usia kanak-kanak madya.
Hasil tambahan terakhir adalah mengenai hubungan peran-peran dalam
perilaku bullying dengan tingkat pendidikan orangtua, yaitu ayah dan ibu. Pada
kedua orangtua, ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan pada
kelompok responden yang memiliki orangtua berpendidikan SMP, SMA/SMK,
D1, D3, S1, S2, dan S3 dengan peran anak dalam perilaku bullying. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan orangtua tidak
berpengaruh terhadap perolehan skor perilaku bullying pada responden dalam
penelitian ini. Hal serupa juga terjadi pada bila peran-peran dalam perilaku
bullying dihubungkan dengan pekerjaan orangtua. Tidak ada hubungan yang
signifikan antara peran-peran dalam perilaku bullying dengan pekerjaan orangtua.
Dengan demikian tidak hanya pendidikan orangtua yang tidak berpengaruh, tetapi
pekerjaan orangtua juga tidak berpengaruh terhadap perolehan skor perilaku
bullying pada responden dalam penelitian ini. Sampai saat ini, belum ditemukan
teori yang dapat menjelaskan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Hal ini menarik
untuk dikaji untuk lebih lanjut pada penelitian selanjutnya.

V.3. Keterbatasan dan Saran Penelitian


Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang dapat menjadi bahan
pertimbangan untuk penelitian selanjutnya, antara lain:
1. Kuesioner hanya disebarkan di empat SD yang berdekatan, yang dapat
diakses peneliti (accidental sampling) sehingga kuesioner tersebar hanya
di daerah Jakarta Selatan dan Bekasi saja. Hal tersebut menyebabkan hasil
penelitian tidak dapat digeneralisir secara luas. Untuk itu, dalam penelitian
selanjutnya sebaiknya jumlah sampel penelitian diperbanyak dan lebih

Universitas Indonesia | 65

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


tersebar dalam melakukan pengambilan data. Misalnya saja melakukan
dua SD di setiap daerah di Jakarta (Utara, Timur, Pusat, Barat, dan
Selatan) dan daerah sekitarnya, dengan masing-masing SD hanya
melibatkan dua sampai tiga kelas saja. Hal tersebut bisa membuat
responden lebih heterogen dan lebih mewakili populasi Jakarta.
2. Metode pengambilan data dilakukan secara klasikal, yaitu di dalam satu
kelas yang terdiri dari 30 – 40 anak, hanya diawasi oleh satu orang saja.
Hal tersebut menimbulkan responden kurang tertib dan lebih sulit dipantau
jika ada responden yang kurang memahami isi kuesioner. Oleh karena itu
dalam penelitian selanjutnya, sebaiknya dalam pengambilan data
sebaiknya melibatkan setidaknya dua pengawas dalam satu kelas. Hal
tersebut dapat mengantisipasi adanya data-data yang tidak terisi oleh
responden sehingga jumlah kuesioner yang terbuang tidak banyak.
3. Pada penelitian ini tidak dilihat kuantitas interaksi antara orangtua dengan
anak. Padahal mungkin saja hal tersebut lebih berpengaruh terhadap
perilaku bullying yang dilakukan para pelajar SD. Alangkah lebih baik jika
pada penelitian pola asuh orangtua selanjutnya juga mengukur kuantitas
interaksi orangtua dan anak, misalnya saja dengan melihat berapa lama
waktu yang dihabiskan antara orangtua dengan anak dalam satu minggu.
Selain itu juga pada penelitian selanjutnya juga dapat melibatkan respon
orangtua dalam mengukur pola asuh yang diterapkan orangtua terhadap
anaknya. Dengan begitu, data mengenai pola asuh tidak hanya merupakan
persepsi anak terhadap orangtuanya saja, melainkan juga diperkuat oleh
keterangan dari orangtuanya langsung. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan cara meminta orangtua untuk mengisi kuesioner mengenai pola
asuh ataupun dengan menggunakan teknik wawancara.
4. Responden yang ikut di dalam penelitian ini sebagian besar adalah siswa-
siswa kelas 5 SD saja. Hal ini karena pada saat pengambilan data, para
siswa kelas 6 SD sedang menghadapi persiapan menjelang Ujian Nasional
(UN) sehingga pihak sekolah tidak mengizinkan untuk melakukan
pengambilan data pada siswa kelas 6. Hanya satu sekolah yang
mengizinkan satu kelasnya untuk diadakan penelitian pada siswa kelas 6.

Universitas Indonesia | 66

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Hal tersebut mengakibatkan penelitian ini tidak mewakili senior yang ada
di SD, yang seharusnya adalah siswa kelas lima dan kelas enam. Untuk
menghindari waktu pelaksanaan yang kurang tepat, lebih baik dilakukan
pencarian informasi sebelumnya dari pihak sekolah tentang jadwal
akademis.
5. Selain saran metodologis, peneliti juga mengajukan beberapa saran praktis
yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu berdasarkan hasil
peneltian ini dapat diketahui bahwa angka bullying di sekolah relatif
tinggi, oleh karenanya para orangtua perlu bekerjasama dengan pihak
sekolah untuk mengawasi tingkah laku anaknya di sekolah seperti
membuat program intervensi bullying yang berjalan secara kontinyu atas
dasar pertimbangan bahwa orangtua dan lingkungan sekolah memiliki
peran penting dalam perkembangan masa depan anak.

Universitas Indonesia | 67

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, E. & Braithwaite, V. (2004). Bullying and victimization: cause for


concern for both families and schools. Social Psychology of Education, 7,
35-54.
Anastasi, A. & Urbina, S. (1997). Psychological Testing (7th ed.). New Jersey:
Prentice Hall.
Arief Rahman: Pola asuh anak harus digebrak. (16 Desember 2005). Diperoleh
23 Mei 2012, dari http://berita.liputan6.com/read/114309/arief-rahman
pola-asuh-anak-harus-digebrak.
Baron, Robert A; Byrne. R. (2008). Social Psychology (12th ed). Boston: Pearson
Education.
Bigner, J. J. (1994). Parent-child relations: An introduction to parenting (4th ed.).
New Jersey: Prentice-Hall.
Brooks, J. (2008). The process of parenting (7th ed). New York: McGraw-Hill.
Bullying: Masalah tersembunyi dalam dunia pendidikan di Indonesia. (5 April
2006). Diperoleh 27 Mei 2012, dari http://sejiwa.org/sejiwa-
programme/workshop-nasional/
Darling, N. (1999). Parenting Styles and Its Correlates. Diperoleh 20 Januari
2012, dari http://ericdigests.org/1999-4/parenting.htm.
Duffy, A. (2004). Bullying in School: A Social Identity Perspective. Disertasi:
Fakultas Psikologi Terapan Universitas Griffith.
Goodwin, C.J. (2005). Research in Psychology: Methods and Design (4th ed).
USA: John Wiley & Sons, Inc.
Guilford, J. P. & Fruchter, B. (1978). Fundamental Statistic In Psychology And
Education (6th ed). Tokyo: McGraw-Hill.
Hawadi, R. A. (2005). Identifikasi keterbakatan intelektual melalui metode non-
tes dengan pendekatan konsep keterbatakan Renzulli. Jakarta: PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Harris, S., & Petrie G. (2002). A study of bullying in the middle school. NASSP
Bulletin, 86 (633), 42-53.

Universitas Indonesia | 68

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Hetherington, E.M. & Parke, R.D. (1999). Child psychology, a contemporary
viewpoint (5th ed). USA: McGraw-Hill.
Joewono, E. B., & Puspasari, A. (2005). Persepsi anak laki-laki pada masa kanak-
kanak madya terhadap parenting ibu bekerja. Jurnal Psikologi Sosial, 11,
1-11.
Kaplan, R.M. & Saccuzo, D.P. (1997). Psychological Testing, Principle,
Applications, and Issues. (4th ed.). California: Brooks/Cole Publishing
Company.
Kerlinger, F.N. & Lee, H. B. (2000). Foundation of Behavioral Research (4th ed).
Orlando: Harcourt College Publisher.
Kowaski, R.M., Limber, S.P., & Agatston, P.W. (2008). Cyber Bullying: Bullying
in the Digital Age. USA: Blackwell.
Kumar, R. (1996). Research Methodology: A Step-by-step Guide for Beginners.
California: Sage Publication Inc.
Lindenberg, S., Oldenhinkel, A.J., Ormel, J., Veenstra, R., Verhulst, F.C., Winter,
A.F.D. (2005). Bullying and victimization in elementary schools: a
comparison of bullies, victims, bully/victims, and uninvolved
preadolescents. Journal of Developmental Psychology, 41, 672-682.
Lowenstein, L.F. (2002). Bullying: recent research into the causes, diagnosis, and
treatment. Dalam Elliot.M (Eds). Bullying, a practical guide to coping for
school third edition (pp 281-299). London: Pearson Education.
Mabe, G.R. (2005). Parenting style and its relationship to interpretation of the
bible and worship style in college students. Tesis. East Tennessee State
University.
Martin, C.A & Colbert, K.K. (1997). Parenting: a life span perspective. New
York: McGraw-Hill.
Mashoedi, S. F. (2003). Kaitan antara gaya pengasuhan dengan gaya atribusi
mahasiswa dalam prestasi akademik. Tesis. Depok: Program Pascasarjana
Kekhususan Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Miller, P. H. (1993). Theories of Developmental Psychology. (3rd ed.). New York:
W.H. Freeman and Company.

Universitas Indonesia | 69

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Olweus, D. (1993). Bullying at School: What We Know and What We Can Do.
New York: Blackwell.
Olweus, D. (2003). Understanding children’s worlds: Bullying at school. USA:
Blackwell Publishing.
Papalia, D. B., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development (11th
ed.). New York: McGraw Hill.
Patton, M. Q. (1990). Qualitative Evaluation and Research Methods. (2nd ed).
California: Sage Publication, Inc.
Pearce, J. (2002). What can be done about the bully? Dalam Elliot, M. (Eds.).
Bullying, a practical guide to coping for school third edition (pp.74-91).
London: Pearson Education.
Perren, S. & Reiner, H. (2005). Bullying and deliquency adolescence: victims’
and perpetrators; family and peer relation. Swiss Journal of Psychology, 64,
51-64.
Rigby, K. (2003). Consequences of bullying in schools. The Canadian Journal of
Psychiatry, 48, 583–590.
Smokowski, P. R. & Kopasz, K. H. (2005). Bullying in school: An overview of
types, effects, family characteristivs, and intervention strategies. Journal of
Children & School, 27, 101-112.
Steinberg, L. (1999). Adolescence (5th ed.). Boston: McGraw-Hill Companies,
Inc.
Seniati, L., Yulianto, A., & Setiadi, B.N. (2005). Psikologi Eksperimen. Jakarta:
PT. INDEKS.
Sheras, P. (2002). Your child: Bully or victim? Understanding and ending school
yard tyranny. New York: Skylight Press Book.
Soeriaatmadja, W. (2011, Juni 25). Jakarta Globe: Bullying in Schools a Worry in
Indonesia. Diperoleh 22 Februari 2012, dari
http://www.thejakartaglobe.com/home/bullying-in-schools-a-worry-in-
indonesia/449064.
Sullivan, K. (2000). The anti-bullying handbook. New York: Oxford University
Press.

Universitas Indonesia | 70

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Sullivan, K. (2001). The anti-bullying handbook. Auckland: Oxford University
Press.
Sullivan, K., Cleary, M., & Sullivan, G. (2005). Bullying in Secondary Schools.
London: Paul Chapman Publishing.
Unknown. (2012, January 13). Chosun Ilbo. Diperoleh 22 Februari 2012, dari
http://english.chosun.com/site/data/html_dir/2012/01/13/2012011301131.ht
ml.
Unknown. (2011, October 31). Metrotv News. Diperoleh 3 April 2012, dari
http://metrotvnews.com/read/newsprograms/2011/10/31/10527/252/STOP-
BULLYING.
Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA). (2008). Bullying : Mengatasi Kekerasan
di Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak. Jakarta: Grasindo.

Universitas Indonesia | 71

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


LAMPIRAN A
(Hasil Uji Coba Alat Ukur Pola Asuh Orangtua dan Alat Ukur Peran-peran
dalam Perilaku Bullying)

A.1 Uji Reliabilitas dan Validitas Alat Ukur Pola Asuh Orangtua
A.1.1 Hasil uji reliabilitas:
 Reliabilitas item parenting dimensi control:
Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items


.812 10

 Validitas item parenting dimensi control:


Correlations
kontrol control
Control Pearson Correlation 1 .918**

Sig. (2-tailed) .010


N 6 6
**
Control Pearson Correlation .918 1

Sig. (2-tailed) .010


N 6 23
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

 Reliabilitas item parenting dimensi hangat:

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items
.853 9

Universitas Indonesia | 72

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


 Validitas item parenting dimensi hangat:
Correlations

hangat kehangatan
Hangat Pearson Correlation 1 .840*

Sig. (2-tailed) .037


N 6 6
Kehangatan Pearson Correlation .840* 1

Sig. (2-tailed) .037


N 6 23
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

A.2 Uji Reliabilitas dan Validitas Alat Ukur Peran-peran dalam Perilaku
Bullying
 Reliabilitas item Bullying dimensi bully:
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.755 6

 Validitas item Bullying dimensi bully:


Correlations
pelaku bully
Pelaku Pearson Correlation 1 .840*
Sig. (2-tailed) .037
N 18 6
*
Bully Pearson Correlation .840 1
Sig. (2-tailed) .037
N 6 6
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2 tailed).

 Reliabilitas item bystander dimensi bystander:


Reliability Statistics

Universitas Indonesia | 73

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


Cronbach's
Alpha N of Items
.731 5

 Validitas item Bullying dimensi bystander:


Correlations
bystander penonton
bystander Pearson Correlation 1 .689
Sig. (2-tailed) .130
N 6 6
penonton Pearson Correlation .689 1
Sig. (2-tailed) .130
N 6 18

 Reliabilitas item Bullying dimensi defender:


Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.792 8

 Validitas item parenting dimensi hangat:


Correlations
defender pelawan
Defender Pearson Correlation 1 .843*
Sig. (2-tailed) .035
N 6 6
*
Pelawan Pearson Correlation .843 1
Sig. (2-tailed) .035
N 6 18
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-
tailed).

 Reliabilitas item Bullying dimensi victim:


Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.813 5

Universitas Indonesia | 74

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


 Validitas item Bullying dimensi victim:
Correlations
victim korban
Victim Pearson Correlation 1 .922**
Sig. (2-tailed) .009
N 6 6
Korban Pearson Correlation .922** 1
Sig. (2-tailed) .009
N 6 18
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-
tailed).

Universitas Indonesia | 75

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


LAMPIRAN B
(HASIL UTAMA PENELITIAN)

B.1 Hasil Tabulasi Silang Pola Asuh Orangtua dengan Peran-peran dalam
Perilaku Bullying

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total


N Percent N Percent N Percent
tipe bullying * tipe 132 100.0% 0 .0% 132 100.0%
parenting

tipe bullying * tipe parenting Crosstabulation

tipe parenting
authoritaria authoritativ permissiv uninvolve
n e e d Total
tipe bully Count 11 7 8 4 30
bullyin % 36.7% 23.3% 26.7% 13.3% 100.0
g within %
tipe
bullyin
g
bystander Count 10 12 6 7 35
% 28.6% 34.3% 17.1% 20.0% 100.0
within %
tipe
bullyin
g
defender Count 4 13 15 5 37
% 10.8% 35.1% 40.5% 13.5% 100.0
within %
tipe
bullyin
g
victim Count 7 7 9 7 30

Universitas Indonesia | 76

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


% 23.3% 23.3% 30.0% 23.3% 100.0
within %
tipe
bullyin
g
Total Count 32 39 38 23 132
% 24.2% 29.5% 28.8% 17.4% 100.0
within %
tipe
bullyin
g

B.2 Hasil Uji Chi-Square Pola Asuh Orangtua dengan Peran-peran dalam
Perilaku Bullying

Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
a
Pearson Chi-Square 11.219 9 .261
Likelihood Ratio 11.764 9 .227
N of Valid Cases 132
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 5.23.

Risk Estimate
Value
a
Odds Ratio for tipe
bullying (bully /
bystander)
a. Risk Estimate statistics cannot be
computed. They are only computed
for a 2*2 table without empty cells.

Universitas Indonesia | 77

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


LAMPIRAN C
(Hasil Tambahan Penelitian)

C.1 Gambaran Pola Asuh Orangtua Ditinjau dari Jenis Kelamin


Crosstab

Jenis Kelamin

L P Total
tipe parenting authoritarian Count 15 17 32
% within tipe parenting 46.9% 53.1% 100.0%
authoritative Count 21 18 39
% within tipe parenting 53.8% 46.2% 100.0%
permissive Count 18 20 38
% within tipe parenting 47.4% 52.6% 100.0%
uninvolved Count 12 11 23
% within tipe parenting 52.2% 47.8% 100.0%
Total Count 66 66 132
% within tipe parenting 50.0% 50.0% 100.0%

C.2 Gambaran Pola Asuh Orangtua Ditinjau dari Usia

Crosstab

Usia

10 11 12 Total
tipe parenting authoritarian Count 18 11 3 32
% within tipe parenting 56.3% 34.4% 9.4% 100.0%
authoritative Count 21 16 2 39
% within tipe parenting 53.8% 41.0% 5.1% 100.0%
permissive Count 16 18 4 38
% within tipe parenting 42.1% 47.4% 10.5% 100.0%
uninvolved Count 11 10 2 23
% within tipe parenting 47.8% 43.5% 8.7% 100.0%
Total Count 66 55 11 132
% within tipe parenting 50.0% 41.7% 8.3% 100.0%

Universitas Indonesia | 78

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


C.3 Gambaran Pola Asuh Orangtua Ditinjau dari Pendidikan Ayah
Crosstab

Pendidikan Ayah
SMA/S
D3 S1 S2 S3 MK SMP Total
tipe authoritari Count 8 0 15 4 1 4 0 32
parentin an
g % within 25.0% .0% 46.9% 12.5 3.1% 12.5% .0% 100.0%
tipe %
parenting
authoritati Count 7 0 19 5 0 7 1 39
ve
% within 17.9% .0% 48.7% 12.8 .0% 17.9% 2.6% 100.0%
tipe %
parenting
permissiv Count 8 4 16 4 0 6 0 38
e
% within 21.1% 10.5% 42.1% 10.5 .0% 15.8% .0% 100.0%
tipe %
parenting
uninvolve Count 7 1 7 1 0 5 2 23
d
% within 30.4% 4.3% 30.4% 4.3% .0% 21.7% 8.7% 100.0%
tipe
parenting
Total Count 30 5 57 14 1 22 3 132

% within 22.7% 3.8% 43.2% 10.6 .8% 16.7% 2.3% 100.0%


tipe %
parenting

Universitas Indonesia | 79

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


C.4 Gambaran Pola Asuh Orangtua Ditinjau dari Pekerjaan Ayah
Crosstab

Pekerjaan Ayah
Pemu
ABRI ka Peg Pegaw Wira
/Polisi Agam Swast ai Pensi Pro swast
/PNS a a BUMN unan fesi a Total
tipe authoritari Count 2 2 0 16 1 0 2 9 32
parenti an
ng % within 6.3% 6.3% .0% 50.0% 3.1% .0% 6.3% 28.1% 100.0
tipe %
parenting
authoritati Count 0 3 2 16 1 0 5 12 39
ve
% within .0% 7.7% 5.1% 41.0% 2.6% .0% 12.8 30.8% 100.0
tipe % %
parenting
permissiv Count 5 4 0 15 1 2 2 9 38
e
% within 13.2 10.5% .0% 39.5% 2.6% 5.3% 5.3% 23.7% 100.0
tipe % %
parenting
uninvolve Count 1 3 0 12 1 0 0 6 23
d
% within 4.3% 13.0% .0% 52.2% 4.3% .0% .0% 26.1% 100.0
tipe %
parenting
Total Count 8 12 2 59 4 2 9 36 132

% within 6.1% 9.1% 1.5% 44.7% 3.0% 1.5% 6.8% 27.3% 100.0
tipe %
parenting

Universitas Indonesia | 80

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


C.5 Gambaran Pola Asuh Orangtua Ditinjau dari Pendidikan Ibu
Crosstab

Pendidikan Ibu
SMA/
D1 D3 S1 S2 SMK SMP Total
tipe authoritaria Count 9 0 4 8 5 6 0 32
parenting n
% within tipe 28.1% .0% 12.5% 25.0% 15.6% 18.8% .0% 100.0%
parenting
authoritativ Count 7 0 4 18 2 7 1 39
e
% within tipe 17.9% .0% 10.3% 46.2% 5.1% 17.9% 2.6% 100.0%
parenting
permissive Count 8 0 6 9 2 12 1 38
% within tipe 21.1% .0% 15.8% 23.7% 5.3% 31.6% 2.6% 100.0%
parenting
uninvolved Count 9 1 0 5 1 5 2 23
% within tipe 39.1% 4.3% .0% 21.7% 4.3% 21.7% 8.7% 100.0%
parenting
Total Count 33 1 14 40 10 30 4 132

% within tipe 25.0% .8% 10.6% 30.3% 7.6% 22.7% 3.0% 100.0%
parenting

C.6 Gambaran Pola Asuh Orangtua Ditinjau dari Pekerjaan Ibu


Crosstab

Pekerjaan Ibu
ABRI/ Ibu
Polisi Rumah Peg Wira
/PNS Tangga Swasta Profesi swasta Total
tipe authoritaria Count 2 1 19 3 3 4 32
parentin n
g % within 6.3% 3.1% 59.4% 9.4% 9.4% 12.5% 100.0%
tipe
parenting
authoritative Count 0 4 24 3 6 2 39
% within .0% 10.3% 61.5% 7.7% 15.4% 5.1% 100.0%
tipe
parenting
permissive Count 1 1 27 4 1 4 38
% within 2.6% 2.6% 71.1% 10.5% 2.6% 10.5% 100.0%
tipe
parenting
uninvolved Count 0 1 16 2 1 3 23
% within .0% 4.3% 69.6% 8.7% 4.3% 13.0% 100.0%
tipe
parenting
Total Count 3 7 86 12 11 13 132

% within 2.3% 5.3% 65.2% 9.1% 8.3% 9.8% 100.0%


tipe
parenting

Universitas Indonesia | 81

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


C.7 Gambaran Peran-peran dalam Perilaku Bullying Ditinjau dari Jenis
Kelamin

tipe bullying * Jenis Kelamin Crosstabulation

Jenis Kelamin

L P Total

tipe bullying bully Count 17 13 30

% within tipe bullying 56.7% 43.3% 100.0%

bystander Count 15 20 35

% within tipe bullying 42.9% 57.1% 100.0%

defender Count 17 20 37

% within tipe bullying 45.9% 54.1% 100.0%

victim Count 17 13 30

% within tipe bullying 56.7% 43.3% 100.0%

Total Count 66 66 132

% within tipe bullying 50.0% 50.0% 100.0%

C.8 Gambaran Peran-peran dalam Perilaku Bullying Ditinjau dari Usia

tipe bullying * Usia Crosstabulation

Usia

10 11 12 Total

tipe bullying bully Count 16 13 1 30

% within tipe bullying 53.3% 43.3% 3.3% 100.0%

bystander Count 19 13 3 35

% within tipe bullying 54.3% 37.1% 8.6% 100.0%

defender Count 17 15 5 37

% within tipe bullying 45.9% 40.5% 13.5% 100.0%

victim Count 14 14 2 30

% within tipe bullying 46.7% 46.7% 6.7% 100.0%

Total Count 66 55 11 132

% within tipe bullying 50.0% 41.7% 8.3% 100.0%

Universitas Indonesia | 82

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


LAMPIRAN D (KUESIONER FIELD)

KUESIONER
KEHIDUPAN SEHARI-HARI DENGAN
ORANGTUA

Selamat pagi/siang/sore
Saya Belinda, mahasiswa Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia, saat ini sedang melakukan penelitian dalam rangka menyelesaikan
tugas akhir pada program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Untuk memperoleh data yang diperlukan, saya mohon kesediaan kamu untuk
mengisi kuesioner ini. Jawaban dan identitas kamu akan saya jaga
kerahasiaannya dan hanya akan digunakan untuk keperluan penelitian ini.
Atas kesediaan kamu mengisi kuesioner ini, saya mengucapkan banyak terima
kasih.

Data Responden:
Nama :
Jenis Kelamin * : Laki-laki / Perempuan
Usia : tahun
Kelas :
Agama :
Pendidikan Ayah :
Pekerjaan Ayah :
Pendidikan Ibu :
Pekerjaan Ibu :

Universitas Indonesia | 83

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


PETUNJUK PENGISIAN

Berikut ini terdapat sejumlah pernyataan. Pada setiap pernyataan, Kamu


diminta untuk memberikan tanda checklist () pada kolom pilihan jawaban
yang paing sesuai dengan kondisi diri Kamu. Tidak ada jawaban benar dan
salah dalam mengerjakan kuesioner di bawah ini.
Contoh:
Berilah tanda checklist () pada kolom kosong yang paling sesuai dengan
keadaan diri Kamu.
Contoh pengisian:
Pernyataan 1 2 3 4
Orangtua membantu bila 
saya mendapat kesulitan

Contoh apabila ingin mengganti jawaban:


Pernyataan 1 2 3 4
Orangtua membantu bila  
saya mendapat kesulitan
Keterangan:
1 – Tidak Pernah; 2 – Jarang; 3 – Pernah; 4 – Selalu

No Pernyataan 1 2 3 4
Saya merasa orangtua
1 menerapkan disiplin belajar
yang ketat pada saya.
Saya merasa orangtua
2 membiarkan saya melakukan
hal-hal yang ingin saya lakukan.
Menurut saya orangtua
3 memahami kebutuhan-
kebutuhan saya.
Menurut saya orangtua
4
mengabaikan kepentingan saya.

Universitas Indonesia | 84

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


KUESIONER
Pola Pertemanan di Kalangan
Murid SD Kelas 5 dan 6

Selamat pagi/siang/sore/malam

Saya Belinda, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia


berencana untuk mengadakan penelitian tentang “Pola Pertemanan di
Kalangan Murid SD Kelas 5 dan 6”. Untuk itu, saya membutuhkan bantuan
teman-teman untuk mengisi kuesioner yang telah terlampir.
Teman-teman diminta untuk mengisi kuesioner yang terdiri dari
dua puluh delapan soal tentang bagaimana kamu bereaksi dalam situasi
tertentu dalam lingkungan sosial terutama lingkungan sosial sekolah.
Hasil penelitian ini akan dirahasiakan dari pihak sekolah ataupun murid-
murid lainnya dan dipergunakan hanya untuk kepentingan penelitian ini
saja. Atas kesediaan kamu mengisi kuesioner ini, saya mengucapkan banyak
terima kasih

Data Responden:
Nama :
Jenis Kelamin * : Laki-laki / Perempuan
Usia : tahun
Kelas :
Agama :

*) lingkari salah satu

Universitas Indonesia | 85

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012


PETUNJUK PENGISIAN

Baca soal baik-baik, setiap soal dibagi dua, yaitu:


- Bagian pertama  dicetak normal
- Bagian kedua  dicetak miring
Bayangkan kamu ada di dalam situasi pada bagian pertama. Sementara,
bagian kedua adalah reaksi kamu dari situasi pada bagian pertama.
Bila kamu pernah mengalami kejadian yang hampir mirip  ingat kembali
apa yang kamu lakukan pada waktu itu.
Bila kamu belum pernah mengalami kejadian tersebut  bayangkan apa
yang kira-kira kamu lakukan.
Respon jawaban menggambarkan seberapa besar kamu merasa cocok
dengan pernyataan pada bagian kedua (yang dicetak miring).
Pada setiap pernyataan, Kamu diminta untuk memberikan tanda checklist
() pada kolom pilihan jawaban yang paling sesuai dengan kondisi diri
Kamu.
Tidak ada jawaban benar dan salah dalam mengerjakan kuesioner di
bawah ini.

Contoh:
Berilah tanda checklist () pada kolom kosong yang paling sesuai dengan
keadaan diri kamu.

Pernyataan 1 2 3 4 5 6
Pada suatu hari, guru kamu
tidak masuk dan kamu telah
menyelesaikan tugas yang
diperintahkan oleh guru
tersebut. Maka teman-
teman kamu pun mengajak
untuk pergi diam-diam
jajan ke kantin.

Maka kamu pun menuruti


ajakan teman-teman kamu.
Keterangan:
1 – Sangat Tidak Sesuai; 2 – Tidak Sesuai; 3 – Agak Tidak Sesuai; 4 – Agak
Sesuai; 5 – Sesuai; 6 – Sangat Sesuai

INGAT!!
Jawaban yang paling baik adalah jawaban yang paling jujur tentang diri
kamu. Karena soal telah dirancang sedemikian rupa agar dapat mengetahui
adanya ketidakjujuran.

Universitas Indonesia | 86

Hubungan antara..., Belinda Rahmadara, FPsi UI, 2012

You might also like