Case Report Melita Aditya Sari 12-058

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 51

CASE REPORT

DEMAM TIFOID

Pembimbing :

dr. Alfred Siahaan, Sp.A

Disusun oleh :

Melita Aditya Sari

1261050058

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

PERIODE 11 DESEMBER – 24 FEBRUARI 2018

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas semua

karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report dengan

judul Demam Tifoid sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan stase

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak pada Program Pendidikan Profesi Dokter Fakultas

Kedokteran Universitas Kristen Indonesia.

Penulisan Case Report ini dapat terselesaikan dengan baik atas dorongan dan

bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, dari lubuk hati yang

terdalam penulis ingin memberikan penghargaan dan rasa terimakasih kepada

dr. Alfred Siahaan, SpA selaku dokter pembimbing. Penulis sampaikan rasa hormat

dan terimakasih yang tak terhingga atas bimbingan, ilmu pengetahuan dan motivasi

yang telah diberikan kepada penulis.

Akhir kata penulis berharap Case Report ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Penulis menyadari bahwa Case Report ini masih jauh dari sempurna, baik dalam

penulisan maupun penyajian informasinya. Untuk itu penulis mohon maaf segala

kekurangan yang ada. Kritik dan saran sangat penulis harapkan sebagai masukan yang

berharga untuk bisa menjadikan Case Report ini lebih baik.

Jakarta, 12 Januari 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………..……………….... i

DAFTAR ISI …………………………………………..………………………….. ii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang …………………………..……………….…………. 1

1.2 Tujuan ……………………...…………………..……………..…….. 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Demam Tifoid ……………….…………………..………… 3

2.2 Epidemiologi Demam Tifoid …………….……………..…...……… 3

2.3 Etiologi Demam Tifoid …………………...…………..…..…..…….. 5

2.4 Patogenesis Demam Tifoid ……….………………..………………. 7

2.5 Manifestasi Klinis Demam Tifoid ………………….……….………. 10

2.6 Penegakan Diagnosis Demam Tifoid ………...………………...…... 12

2.7 Penatalaksanaan Demam Tifoid ……………...………………….… 18

2.8 Komplikasi Demam Tifoid ………………………….……………… 21

2.9 Prognosis Demam Tifoid ………………………….…………..……. 23

BAB 3 STATUS PASIEN …..……...…………………………………….……. 25

BAB 4 ANALISA KASUS …..……...…………………………………….…… 39

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam tifoid (demam enterik) merupakan masalah kesehatan yang penting.1

Saat ini, diperkirakan terdapat lebih dari 26 juta kasus dengan kultur darah positif

demam enterik setiap tahunnya dengan angka kematian 1%.2 WHO melaporkan

bahwa sekitar 21 juta kasus dan lebih dari 600.000 kematian setiap tahunnya

akibat demam tifoid terjadi di seluruh dunia dan 90% dari angka kematian

tersebut terdapat di negara-negara Asia.3

Prevalensi demam tifoid cukup tinggi di negara-negara tropis terutama negara

berkembang. Berdasarkan studi epidemiologis yang dilakukan oleh WHO pada

441.435 sampel di 5 negara Asia, yaitu: Pakistan, India, Indonesia, Vietnam dan

Cina, didapatkan adanya perbedaan yang cukup signifikan. Insiden demam tifoid

lebih tinggi di negara-negara Asia Selatan (Pakistan dan India) dibandingkan

dengan negara-negara di Asia Timur (Indonesia, Vietnam, Cina). Selain itu,

WHO juga mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam

tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka

kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya.3 Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan

Dasar (RISKESDAS) tahun 2007, angka prevalensi demam tifoid di Indonesia

adalah 1.6%.4
Dalam menegakan diagnosis demam tifoid tidak hanya dengan melihat

manifestasi klinis dan pemeriksaan fisik saja namun juga harus didukung dengan

pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan serologi dan kultur. Ketepatan

diagnosis, perawatan dan pengobatan demam tifoid dapat mencegah timbulnya

komplikasi yang dapat menurunkan angka mortalitas.5

1.2 Tujuan

Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui dan memahami penegakan

diagnosis dan tatalaksana pada Demam Tifoid.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1.3 Definisi Demam Tifoid 5

Demam tifoid disebut juga sebagai demam enterik. Penyakit ini merupakan suatu

infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi.

Penyakit ini ditandai oleh ditandai dengan panas berkepanjangan, di topang

dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endothelial atau endocardial dan

invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati,

limpa, kelenjar limfe usus dan Payer’s patch.

Terdapat terminologi lain yang erat kaitannya yaitu demam paratifoid. Demam

tifoid dan demam paratifoid merupakan penyakit infeksi usus halus. Demam

paratifoid secara patologik maupun klinis sama dengan demam tifoid namun pada

umumnya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella

enteridis. Terdapat 3 bioserotipe Salmonella enteriditis, yaitu bioserotipe

Salmonella paratyphi A, Salmoenlla paratyphi B (Salmonella Schotsmulleri),

Salmonella paratyphi C (Salmonella Hirschfeldii).

1.4 Epidemiologi Demam Tifoid 6

Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa dengan

ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik yang sampai saat ini
belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang. Secara keseluruhan,

demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6 juta kasus dengan 216.500

kematian pada tahun 2000. Insidens demam tifoid tinggi (>100 kasus per 100.000

populasi per tahun) dicatat di Asia Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan

kemungkinan Afrika Selatan; yang tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000

populasi per tahun) di Asia lainnya, Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali

Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk rendah (<10 kasus per 100.000

populasi per tahun) di bagian dunia lainnya.

Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan reservoir

untuk Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama berhari-

hari di air tanah, air kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan dalam telur

yang sudah terkontaminasi atau tiram yang dibekukan. Pada daerah endemik,

infeksi paling banyak terjadi pada musim kemarau atau permulaan musim hujan.

Dosis yang infeksius adalah 103-106 organisme yang tertelan secara oral. Infeksi

dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh feses.

Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia

3-19 tahun.1 Selain itu, demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah

tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid,

tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk

makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah.
Berikut ini gambar mengenai insidens demam tifoid dan usia rata-rata pasien dari

studi mengenai demam tifoid di 5 negara Asia, yang salah satunya adalah

Indonesia.

Gambar 2.1 Rentang Insidens Demam Tifoid dan Usia Pasien di Beberapa

Negara Asia

1.5 Etiologi Demam Tifoid 7

Penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhi, sedangkan demam paratifoid

disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan

Salmonella paratyphi C. Salmonella typhi memberikan manifestasi klinis yang

lebih berat sehingga dapat menyebabkan gangguan neuropsikiatri dibandingkan

dengan Salmonella paratyphi.

Salmonella diklasifikasikan dalam tiga spesies utama, yaitu sebagai berikut.

1. Salmonella typhi (satu serotipe)


2. Salmonella cholerasuis (satu serotipe)

3. Salmonella enteritidis (lebih dari 1500 serotipe)

Penentuan serotipe ini berdasarkan reaktivitas antigen O dan antigen H bifasik.

Bakteri dengan antigenik berbeda dimasukkan ke dalam serotipe dari Salmonella

paratyphi enteriditis.

Bakteri ini merupakan bakteri Gram negatif, bentuk batang, dan tidak berspora.

Ukuran bervariasi berkisar 1 – 3.5µm x 0.5 – 0.8µm. Sebagian besar spesies dapat

bergerak aktif dengan flagel peritrika. Bakteri tumbuh pada suasana aerob dan

anaerob fakultatif pada suhu 15-41˚C (suhu optimum 37.5˚C)

dan pH pertumbuhan 6 – 8.
Gambar 2.2. Struktur antigenik Salmonellae

Salmonella Typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu sebagai berikut.

1. Antigen O (antigen somatik), terletak pada lapisan luar tubuh kuman.

Bagian ini mempunyai struktur lipopolisakarida atau disebut juga

endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak

tahan terhadap formaldehid.

2. Antigen H (antigen flagela), terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari

kuman. Antigen ini mempunyai struktur protein dan tahan terhadap

formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.

3. Antigen Vi, terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat

melindungi kuman terhadap fagositosis.

Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan

menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang disebut aglutinin.

1.6 Patogenesis Demam Tifoid 8, 9

Masuknya kuman Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi ke dalam tubuh

manusia terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi kuman.

Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam

usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa

(IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel usus dan
selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan

difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan

berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum

distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.

Gambar 2.2 Patogenesis Demam Tifoid

Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag

ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang

asimptomatik) kemudian menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh

terutama hati dan limpa. Dengan periode waktu yang bervariasi antara 1-3
minggu, kuman bermultiplikasi di organ-organ ini kemudian meninggalkan

makrofag dan kemudian berkembang biak di luar makrofag dan selanjutnya

masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua

kalinya dengan disertai tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.

Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan bersama

cairan empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara intermiten.

Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam

sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, oleh karena

makrofag telah teraktivasi sebelumnya maka saat fagositosis kuman Salmonella

terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi (IL-1, IL-6, IL-8, TNF-β, INF,

GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi

sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas

vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.


Gambar 2.3 Patogenesis Demam Tifoid

Di dalam plak Peyeri, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan reaksi

hiperplasia jaringan dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat.

Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak

Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel

mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat

berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan

perforasi usus.

1.7 Manifestasi Klinis Demam Tifoid 10


Pada anak, masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari.

Manifestasi klinis demam tifoid ini sangat bervariasi. Pada minggu pertama,

ditemukan keluhan yang serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya

yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi

atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Karakteristik

demamnya adalah step ladder temperature chart dimana demam yang meningkat

secara perlahan-lahan berpola seperti anak tangga dengan suhu yang semakin

meningkat dari hari ke hari, lebih tinggi pada sore dan malam hari dibandingkan

pada pagi hari.

Gambar 2.5 Step Ladder Temperature Chart

Pada minggu kedua, gejala klinis menjadi semakin berkembang jelas, berupa

demam bertahan pada suhu 39-40°C, bradikardia relatif dimana setiap

peningkatan 1o C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit,

kemudian didapatkan pula lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung
lidah merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan

mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Selain itu, pasien

juga dapat menunjukkan gejala klinis rose spot, suatu ruam makolopapular yang

berwarna seperti salmon, pucat, dengan ukuran 1-5 mm, sering dijumpai pada

daerah abdomen, thoraks, dan ekstremitas. Ruam ini muncul pada hari ke 7-10

dan bertahan selama 2-5 hari. Hal ini disebabkan oleh karena emboli bakteri pada

dermis.

Pada minggu ketiga, pasien dapat menunjukkan manifestasi klinis berupa demam

persisten, peningkatan toksemia, anoreksia, penurunan berat badan, distensi

abdomen, BAB berbau busuk dan berwarna hijau – kuning. Selain itu, juga dapat

terjadi perforasi usus dan peritonitis. Hal ini disebabkan oleh nekrosis di patch

Peyer.

Pada minggu keempat, demam turun perlahan, kecuali apabila terjadi fokus

infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap.

1.8 Penegakan Diagnosis pada Demam Tifoid

Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang

diperkuat oleh pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium penunjang.

Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai

metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha

penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.


Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik pada demam tifoid dapat ditemukan

bradikardi relatif, coated tongue, nyeri tekan ulu hati, hipertimpani, organomegali

(hepatomegali dan/atau splenomegali), dan rose spot.

Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid

dibagi dalam empat kelompok, yaitu :

(1) Pemeriksaan darah tepi 5

Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit

normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan

trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke

kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis.

(2) Pemeriksaan Serologis 11

a) Uji Widal

Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap bakteri

Salmonella typhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara

antigen bakteri Salmonella typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin.

Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella

yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Uji ini dilakukan untuk

menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam

tifoid. Akibat adanya infeksi oleh Salmonella typhi maka penderita

membuat antibodi (aglutinin), yaitu sebagai berikut.


1. Aglutinin O  karena rangsangan antigen O yang berasal dari

tubuh bakteri.

2. Aglutinin H  karena rangsangan antigen H yang berasal dari

flagella bakteri.

3. Aglutinin Vi  karena rangsangan antigen Vi yang berasal

dari simpai bakteri.

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan

untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar

kemungkinan menderita demam tifoid.

Pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan 1-2 minggu kemudian

sehingga kenaikan 4 kali, terutama aglutinin O memiliki nilai diagnostik

yang penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin O yang positif dapat

berbeda dari >1/80 sampai >1/320 antar laboratorium tergantung

endemisitas demam tifoid di masyarakat setempat dengan catatan 8

bulan terakhir tidak mendapat vaksinasi atau baru sembuh dari demam

tifoid.

Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,

kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu

keempat, dan tetap tinggi selama beberap minggu. Pada fase akut, mula

– mula timbul aglutinin O kemudian diikuti aglutinin H. pada penderitsa


yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4 – 6 bulan,

sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 – 12 bulan. Oleh

karena itu uji widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan

kesembuhan penyakit.

b) Uji Tubex

Tubex® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh

IDL Biotech, Broma, Sweden. Uji ini sangat cepat, hanya membutuhkan

waktu 5-10 menit, sederhana dan akurat. Uji ini mendeteksi serum

antibodi IgM terhadap antigen O9 LPS yang sangat spesifik terhadap

bakteri Salmonella Typhi. Pada orang yang sehat normalnya tidak

memiliki IgM anti-O9 LPS.


Gambar 2.5. Prinsip dari tes Tubex®. Bagian atas, hasil negatif;

bagian bawah, hasil positif.

Uji Tubex® merupakan uji yang subjektif dan semikuantitatif dengan

cara membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan Tubex®

color scale yang tersedia. Range dari color scale adalah dari nilai 0 (warna

paling merah) hingga nilai 10 (warna paling biru). Adapun interpretasi

hasil tes Tubex® adalah sebagai berikut.

 < 2  nilai negatif (tidak ada indikasi demam tifoid).

 3  inconclusive score, pemeriksaan ulang.

 4-5  positif lemah.


 > 6  nilai positif (indikasi kuat demam tifoid).

Nilai Tubex® yang menunjukan nilai positif disertai dengan tanda dan gejala

klinis yang sesuai dengan gejala demam tifoid, merupakan indikasi demam

tifoid yang sangat kuat.

(3) Pemeriksaan Bakteriologis dengan Isolasi dan Biakan Kuman 5, 10

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri

Salmonella Typhi dalam biakan dari darah, urine, feses dan sumsum tulang.

Bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada

awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif

tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa

faktor, seperti :

 Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan

kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam

media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif.

 Jumlah darah yang diambil terlalu sedikit (diperlukan kurang lebih

10 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa

negatif.

 Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi

dalam darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga

biakan darah dapat negatif.


 Waktu pengambilan darah yang dilakukan setelah minggu pertama,

pada saat aglutinin semakin meningkat.

Media pembiakan yang direkomendasikan untuk Salmonella Typhi adalah

media empedu dari sapi. Media ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena

hanya Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi yang dapat tumbuh pada

media tersebut.

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada

perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 70-

90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50%

pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita

yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah

dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.

Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%)

hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urin positif

setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode yang

mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan

menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk

penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah

negatif sebelumnya. Namun prosedur ini sangat invasif sehingga tidak dipakai

dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang

cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi

terutama pada anak.

1.9 Penatalaksanaan pada Demam Tifoid

Penatalaksanaan demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar, yaitu

tatalaksana umum berupa terapi suportif dan tatalaksana khusus berupa

pemberian antibiotik sebagai pengobatan kausal. Tatalaksana demam tifoid

bukan hanya tatalaksana yang ditujukan kepada penderita penyakit tersebut,

namun juga ditujukan kepada penderita karier salmonella typhi, pencegahan pada

anak berupa pemberian imunisasi tifoid dan profilaksis bagi traveller dari daerah

non endemik ke daerah yang endemik demam tifoid.11

Tatalaksana umum berupa tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat

penting dalam menangani demam tifoid selain tatalaksana khusus berupa

pemberian antibiotik. Pemberian rehidrasi oral ataupun parenteral, penggunaan

antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi darah bila ada indikasi,

merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup seorang anak

penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak lebih ringan dibanding

orang dewasa, karena itu 90 % pasien demam tifoid anak tanpa komplikasi, tidak

perlu dirawat di rumah sakit dan dengan pengobatan oral serta istirahat baring di

rumah sudah cukup untuk mengembalikan kondisi anak menjadi sehat dari

penyakit tersebut.11
Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak di

negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya.

Berdasarkan ketiga faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi pengobatan

demam tifoid pada anak, terutama di negara berkembang. Kloramfenikol

mempunyai beberapa kelebihan sebagai obat demam tifoid yaitu efikasinya yang

baik (demam turun rata-rata hari ke 4-5 setelah pengobatan dimulai), mudah

didapat dan harganya yang murah. Namun Kloramfenikol mempunyai

kekurangan, yaitu menyebabkan efek samping berupa anemia aplastik akibat

supresi sumsum tulang, menyebabkan agranulositosis, menginduksi terjadinya

leukemia dan menyebabkan Gray baby syndrome. Adapun kelemahan lain obat

ini adalah tingginya angka relaps bila diberikan sebagai terapi demam tifoid dan

tidak bisa digunakan untuk mengobati karier Salmonella typhi.11

Pemberian obat sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson 100mg/kg/hari di

bagi dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 gram / hari) selama 5 – 7 hari atau

sefotaksim 150 – 200 mg/kg/ hari dibagi dalam 3 – 4 dosis efektif pada isolat

yang rentan terhadap obat kloramfenikol dan obat antibiotik untuk demam tifoid

lainnya. Strain yang resisten umumnya rentan terhadap obat sefalosporin generasi

ini. Bahkan untuk beberapa kasus yang resisten terhadap fluorokuinolon, obat

seftriakson dianggap masih sensitif dan membawa hasil yang baik bila digunakan

sebagai terapi alternatif, bersama-sama dengan azitromisin dan sefiksim.5, 11


Akhir – akhir ini sefiksim oral 10 – 15 mg / kg / hari selama 10 hari dapat

diberikan sebagai alternatif, terutama apabila jumlah leukosit < 2000/µ atau

dijumpai resistensi terhadap Salmonella typhi.5

Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan makanan dan

minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan terutama menyangkut

kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih

sehari-hari. Strategi pencegahan ini menjadi penting seiring dengan munculnya

kasus resistensi.6

Selain strategi di atas, dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para

pendatang dari negara maju ke daerah yang endemik demam tifoid. Vaksin-

vaksin yang sudah ada yaitu sebagai berikut.6

 Vaksin Vi Polysaccharide

Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan

dinjeksikan secara subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif

selama 3 tahun dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3

tahun. Vaksin ini memberikan efikasi perlindungan sebesar 70-

80%.

 Vaksin Ty21a

Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang

diberikan pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang
masing-masing diselang 2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari sebelum dan

sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan memberikan efi

kasi perlindungan 67-82%.

 Vaksin Vi-conjugate

Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan

memberikan efikasi perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah

vaksinasi. Efikasi vaksin ini menetap selama 46 bulan dengan efi kasi

perlindungan sebesar 89%.

1.10 Komplikasi Demam Tifoid 5

Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3% sedangkan perdarahan

usus terjadi 1-10% dari kasus demam tifoid pada anak. Penyulit ini biasanya

terjadi pada minggu ke-3 saat sakit, namun pernah pula dilaporkan terjadi pada

minggu pertama. Komplikasi didahului dengan penurunan suhu, tekanan darah,

dan peningkatan frekuensi nadi. Perforasi usus halus ditandai dengan nyeri

abdomen lokal pada kuadran bawah akan tetapi dilaporkan nyeri juga yang

menyelubung. Kemudian akan diikuti dengan muntah, nyeri pada perabaan

abdomen, defance muskular, hilangnya keredupan hepar dan tanda- tanda

peritonitis yang lain. Beberapa kasus perforasi usus halus mempunyai manifestasi

klinis yang tidak jelas.


Ada pula kasus yang dilaporkan dengan komplikasi neuropsikiatri. Sebagian

besar bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi,

stupor bahkan koma. Beberapa penulis mengaitkan antara manifestasi klinis

dengan prognosis buruk. Penyakit neurologi lainnya adalah trombosis serebral,

afasia, ataksia serebral akut, tuli, mielitis transversal, neuritis perifer maupun

kranial, meningitis, ensefalomielitis, sindrom Guillain-Barre. Dari berbagai

penyulit neurologik yang terjadi, jarang dilaporkan gejala sisa yang permanen

(sekuele).

Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan

ST-T pada EKG, syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada

jantung. Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid

dengan munculnya peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok. Tidak

hanya itu, pada penderita demam tifoid juga dapat dijumpai ikterus dengan atau

tanpa disertai kenaikan kadar transaminase maupun kolesistitis akut. Kolesistitis

kronik yang terjadi kepada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat

dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman (karier).

Kebanyakan kasus dari demam tifoid diketahui mengeluarkan bakteri Salmonella

typhi melalui urin disaat sakit ataupun sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis juga

dapat merupakan penyulit dari demam tifoid. Proteinuria transein sering

dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal

ginjal maupun sindrom nenfrotik mempunyai prognosis yang buruk. Pada demam
tifoid, pneumonia termasuk sering dijumpai sebagai penyulitnya. Keadaan ini

dapat timbul karena adanya kuman Salmonella typhi, akan tetapi seringkali juga

sebagai akibat dari infeksi sekunder oleh kuman lain. Penyulit lain yang dapat

juga dijumpai adalah trombositopenia, koagulasi intravaskular diseminata,

hemolytic uremic syndrome (HUS), fokal infeksi pada beberapa lokasi sebagai

akibat bakteremia seperti infeksi pada tulang, otak, hati, limpa, otot, kelenjar

ludah dan persendian.

Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik,

sekarang sudah jarang ditemukan. Jika relaps terjadi, maka demam akan muncul

kembali dua minggu setelah penghentian antibiotik. Namun, relaps juga pernah

dilaporkan muncul pada saat stadium konvalesens, dimana pasien tidak

mengalami demam namun gejala lainnya masih tampak dan masih dalam

pengobatan antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan jika dibandingkan

dengan gejala tifoid sebelumnya dan juga lebih singkat.

1.11 Prognosis Demam Tifoid5

Prognosis pasien demam tifoid tergantung pada ketepatan terapi, keadaan

kesehatan sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan

terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Sedangkan di negara

berkembang, angka mortalitasnya >10%, hal ini dikarenakan keterlambatan

diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi


gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia

dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

Relaps dapat timbul beberapa kali. individu yang mengeluarkan S.Typhi

≥3 bulan setelah infeksi umumnya akan menjadi karier kronis. Risiko untuk

menjadi karier pada anak- anak terbilang rendah dan dapat meningkat sesuai usia.

Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Bila

dibandingkan dengan populasi umum, terjadinya insidens penyakit traktus

biliaris pada karier kronis terbilang lebih tinggi.


BAB 3

STATUS PASIEN

3.1 Identitas Pasien

Nama : An. CN

Jenis Kelamin : Perempuan

Tanggal Lahir : 27 April 2013

Usia : 4 Tahun 7 Bulan

Pekerjaan : Pelajar

Agama : Islam

Alamat : Jl. Kali Pasir

Identitas Orang Tua Pasien

Ayah

Nama : Tn. MR Agama : Islam

Tanggal Lahir : 05 Mei 1986 Pendidikan : SMA

Suku Bangsa : Betawi Pekerjaan : Tukang Ojek

Alamat : Jl. Kali Pasir Penghasilan : 1.5 Juta / Bulan

Ibu

Nama : Ny. M Agama : Islam

Tanggal Lahir : 25 Juni 1994 Pendidikan : SMA

Suku Bangsa : Betawi Pekerjaan : IRT

Alamat : Jl. Kali Pasir Penghasilan : 1 Juta / Bulan


3.2 Anamnesa

Dilakukan alloanamesis dengan Ny. M pada tanggal 13 Desember 2017

Keluhan Utama : Demam

Keluhan Tambahan : Mual, muntah, perut kembung, dan tidak BAB

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RS PGI Cikini diantar oleh ibunya dengan keluhan

demam sejak 8 hari SMRS. Ibu pasien mengatakan anaknya demam tinggi

terutama pada sore dan malam hari. Namun, pada pagi hari demamnya turun

dan anaknya dapat beraktivitas kembali. Keluhan mual dan muntah > 4 kali

berisi makanan juga dirasakan oleh pasien. Selain itu, keluhan perut kembung

dan tidak BAB sejak 2 hari SMRS juga dirasakan oleh pasien. Nafsu makan

berkurang dan pasien tampak lemas. Keluhan mimisan, gusi berdarah, dan

bercak merah pada kulit disangkal. Riwayat sakit kuning dan keluhan BAK

seperti teh serta BAB dempul juga disangkal. Keluhan seperti ini baru pertama

kali dialami oleh pasien. Pasien sudah berobat ke puskesmas dan diberikan

obat penurun demam namun tidak ada perbaikan.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga

Dalam keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan yang sama.
Riwayat Alergi

Disangkal oleh pasien.

Riwayat Kebiasaan Pribadi

 Pasien memiliki kebiasaan jajan sembarangan di sekolahnya.

 Pasien tidak selalu mencuci tangannya sebelum makan dan sehabis

melakukan aktivitas fisik.

 Ibu pasien mengatakan bahwa dirinya lebih sering membeli masakan

matang untuk dikonsumsi sehari-hari dibandingkan memasak sendiri.

Riwayat Kehamilan

Perawatan Antenatal

 Trimester I  1 kali per bulan di PKM Menteng

 Trimester II  1 kali per bulan di PKM Menteng

 Trimester III  2 kali per bulan di PKM Menteng

Penyakit Kehamilan : Disangkal oleh ibu pasien

Riwayat Kelahiran

 Cara Persalinan : Partus Spontan

 Tempat Lahir : Rumah bersalin

 Penolong Persalinan : Bidan

 Masa Gestasi : Cukup Bulan

 Penyulit : Disangkal oleh ibu pasien


 Berat Badan Lahir : 3200 Gram

 Panjang Badan : 48 cm

 Lingkar Kepala : Ibu pasien tidak ingat

 Nilai APGAR : Ibu pasien tidak tahu  Lahir normal,

langsung menangis, sianosis (-)

 Kelainan bawaan : Tidak ada

Pertumbuhan dan Perkembangan

 Pertumbuhan gigi pertama : 8 bulan

 Gangguan perkembangan mental : Tidak ada

 Psikomotor

 Tengkurap : 5 bulan

 Duduk : 7 bulan

 Berdiri : 10 bulan

 Berjalan : 15 bulan

 Berbicara : 13 bulan

 Membaca / Menulis : 4 tahun


Riwayat Imunisasi

VAKSIN DASAR (UMUR)


BCG 1 Bulan
DPT/DT 2 Bulan 3 Bulan 4 Bulan
POLIO 0 Bulan 2 Bulan 3 & 4 Bulan
CAMPAK 9 Bulan - -
HEPATITIS B 0 Bulan 2 Bulan 3 & 4 Bulan
MMR -
TIPA - - -

Kesan : Imunisasi sesuai Jadwal Imunisasi IDAI

Riwayat Makanan

 0-6 Bulan

ASI Eksklusif diberikan setiap 2-3 jam selama 15 menit dalam sehari

 6-9 Bulan

Susu formula diberikan sebanyak 90-120 cc sehari sebanyak 3 kali.

Selain itu, juga diberikan bubur saring dengan lauk daging ayam / hati

aya / ikan / telur serta wortel dan bayam yang dihaluskan diberikan

sebanyak 3 kali sehari (1/3 mangkuk dewasa) serta buah pisang / papaya

sebanyak 2 kali sehari.

 12 Bulan - sekarang

Susu formula diberikan sebanyak 120-180 cc sehari sebanyak 3 – 4 kali

sehari serta diberikan nasi tim dengan lauk daging ayam / hati ayam /
ikan / telur serta sayuran yang bervariasi diberikan sebanyak 3 kali

sehari.

Kesan : pola makan sesuai dengan pertambahan usia kualitas dan

kuantitas makanan cukup.

3.3 Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Composmentis

Tanda-Tanda Vital

Tekanan Darah : 90 / 60 mmHg

Frekuensi Denyut Nadi : 96 kali / menit, regular, kuat angkat, isi cukup

Frekuensi Pernapasan : 24 kali / menit, pernapasan abdominal, regular

Suhu : 38.9 C

Data-Data Antopometri

Berat Badan : 13.5 kg

Tinggi Badan : 102 cm

Lingkar Lengan Atas : 13.5 cm

BB/U : 13.5 / 16 X 100 % = 84.37 %  BB Normal

TB/U : 102 / 101 X 100 % = 100.09 %  TB Normal

BB/TB : 13.5 / 15.5 X 100 % = 87.09 %  Gizi Baik


Kesan  Status Gizi Baik Menurut WHO (Terletak diantara -1 SD & -2SD)

Kepala : Normocephali, pertumbuhan rambut merata, rambut tidak

mudah dicabut, rambut berwarna hitam

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Mata cekung (-/-)

Telinga : Liang telinga lapang, membran timpani intak (+/+), serumen

(+/+)

Hidung : Simetris, septum deviasi (-), konka eutrofi, sekret (-)


Mulut :

Bibir : Mukosa bibir kering (-), hiperemis (-), sianosis (-)

Gigi-geligi : Gigi berlubang (-), karies (-)

Lidah : Coated tongue (+)

Faring : Hiperemis (-)

Tonsil : T1-T1, hiperemis (-/-)

Paru :

Inspeksi : Pergerakan dinding thoraks simetris kanan dan kiri, Retraksi

sela iga (-)

Palpasi : Vokal fremitus tidak megeras, simetris kanan dan kiri

Perkusi : Sonor – Sonor

Auskultasi : BND vesikuler (+/+), wheezing (-/-), Ronkhi (-/-)

Jantung :

Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Pulsasi iktus kordis teraba di ICS 5 linea midclavicula

sinistra

Perkusi : Batas jantung kanan terletak pada ICS IV linea parasternalis

dextra. Batas jantung kiri terletak pada ICS V linea

midclavicula sinistra

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)


Abdomen :

Inspeksi : Perut tampak datar

Auskultasi : Bising usus (+), 6 kali per menit

Perkusi : Timpani, nyeri ketuk (-)

Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)

Ekstremitas : Superior  CRT < 2 detik, akral hangat, edema (-/-)

Inferior  CRT < 2 detik, akral hangat, edema (-/-)

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Darah Perifer Lengkap

Hemoglobin 11.0 g/dl 10.7 – 14.7 g/dl

Hematokrit 31 % 37 - 43 %

Trombosit 232.000 / ul 150.000 – 450.000 / ul

Leukosit 4.100 / ul 5.000 – 10.000 / ul

Eritrosit 4.46 juta / ul 4 – 4. 5 juta / ul

Hitung Jenis
Basofil 0% 0–1%
Eosinofil 0% 1–3%
Neutrofil Batang 1% 2–6%
Neutrofil Segmen 63 % 50 – 70 %
Limfosit 34 % 20 – 40 %
Monosit 2% 2–8%

Pemeriksaan Serologi
WIDAL NILAI RUJUKAN

S. Typhi O (+) 1/320 Negatif


S. Paratyphi AO (+) 1/160 Negatif
S. Paratyphi BO Negatif Negatif
S. Paratyphi CO Negatif Negatif
S. Typhi O Negatif Negatif
S. Paratyphi AO Negatif Negatif
S. Paratyphi BO Negatif Negatif
S. Paratyphi CO Negatif Negatif

3.5 Resume

Seorang pasien berusia 4 tahun datang dengan keluhan demam sejak 8 hari

SMRS. Ibu pasien mengatakan anaknya demam tinggi terutama pada sore dan

malam hari. Namun, pada pagi hari demamnya turun dan anaknya dapat

beraktivitas kembali. Keluhan mual dan muntah > 4 kali berisi makanan juga

dirasakan oleh pasien. Selain itu, keluhan perut kembung dan tidak BAB sejak

2 hari SMRS juga dirasakan oleh pasien. Nafsu makan berkurang dan pasien
tampak lemas. Keluhan seperti ini baru pertama kali dialami oleh pasien.

Pasien sudah berobat ke puskesmas dan diberikan obat penurun demam namun

tidak ada perbaikan.

Dari pemeriksaan fisik diperoleh keadaan umum tampak sakit sedang,

kesadaran komposmentis, tekanan darah 90/60 mmHg, frekuensi denyut nadi

96 kali per menit (regular, kuat angkat, isi cukup), frekuensi pernapasan 24 kali

per menit (regular), suhu 38.9º C. Pada pemeriksaan mulut, tampak coated

tongue (+) pada lidah. Pada pemeriksaan abdomen terdapat nyeri tekan regio

epigastrium dan hipertimpani.

Pada pasien telah dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah

lengkap dan pemeriksaan serologi (tes widal). Dari hasil pemeriksaan darah

lengkap diperoleh hematokrit 31 % dan leukosit 4100 / ul. Berdasarkan hasil

pemeriksaan serologi diperoleh titer S. typhi O (+) 1/320 dan S.paratyphi AO

(+) 1/160.

3.6 Diagnosis Kerja : Demam Tifoid

Diagnosis Banding :

1. Morbili

2. Pneumonia

3.7 Penatalaksanaan

 Kebutuhan kalori : 90 kcal / kgBB / hari  Diet Lunak, 1250 kalori / hari
 Kebutuhan cairan : 1175 ml / hari  IVFD RL 16 tpm ( Makro )

 Ceftriaxone 350 mg setiap 12 jam (IV)

 Ranitidine 50 mg setiap 8 jam (IV)

 Paracetamol 180 mg setiap 8 jam (PO)

 Edukasi

 Mengkonsumsi makanan dalam mencukupi kebutuhan gizi

 Mengkonsumsi obat dengan teratur sesuai anjuran dokter

 Menjaga kebersihan makanan yang dikonsumsi

 Mencuci tangan sebelum makan dan sehabis beraktivitas

 Istirahat yang cukup yaitu 8 – 10 jam per hari

3.8 Prognosis

Ad Vitam : Ad Bonam

Ad Functionam : Ad Bonam

Ad Sanationam : Ad Bonam
Follow Up (14 Desember 2017)

Subjective Objective Assessment Planning


Demam (-), Keadaan Umum : Tampak Sakit sedang Demam Diet Lunak
perut kembung, Tifoid CIV RL 16 tpm
Kesadaran : Compos Mentis
mual (+), (Makro)
muntah (-) Tekanan Darah : 90 / 60 mmHg Ceftriaxone
HR : 116 x/menit, reguler, kuat angkat 1 gram / 24 jam (IV)
RR : 22 x/menit
Paracetamol syrup
Suhu : 36.4 °C
120 mg / 6 jam
Mata : CA -/-, SI -/- (PO)

Leher : KGB tidak teraba membesar

Thoraks
I : Pergerakan dinding thoraks simteris
P : Vokal fremitus simetris
P : Sonor-sonor
A: Bunyi nafas dasar vesikuler, Rh -/- Wh -/-
Bunyi jantung I & II regular, murmur (-), gallop
(-)

Abdomen
I : Perut tampak datar
A : BU (+) 6 x/menit
P : Hipertimpani, Nyeri ketuk (-)
P : Supel, Nyeri tekan (-)

Ekstremitas
Superior : CRT < 2 detik, Edema (-), Akral Hangat
Inferior : CRT < 2 detik, Edema (-), Akral Hangat
Follow Up (15 Desember 2017)

Subjective Objective Assessment Planning


Demam (-), Keadaan Umum : Tampak Sakit sedang Demam Diet Lunak
Tifoid CIV RL 16 tpm
BAB (-) sejak
Kesadaran : Compos Mentis
4 hari, nafsu (Makro)
Tekanan Darah : 90 / 70 mmHg Ceftriaxone
makan
HR : 100 x/menit, reguler, kuat angkat 1 gram / 24 jam (IV)
membaik RR : 21 x/menit
Paracetamol syrup
Suhu : 36.5 °C
120 mg / 6 jam
Mata : CA -/-, SI -/- (PO)

Leher : KGB tidak teraba membesar

Mata : CA -/-, SI -/-

Leher : KGB tidak teraba membesar

Thoraks
I : Pergerakan dinding thoraks simteris
P : Vokal fremitus simetris
P : Sonor-sonor
A: Bunyi nafas dasar vesikuler, Rh -/- Wh -/-
Bunyi jantung I & II regular, murmur (-), gallop
(-)

Abdomen
I : Perut tampak datar
A : BU (+) 6 x/menit
P : Hipertimpani, Nyeri ketuk (-)
P : Supel, Nyeri tekan (-)

Ekstremitas
Superior : CRT < 2 detik, Edema (-), Akral Hangat
Inferior : CRT < 2 detik, Edema (-), Akral Hangat
BAB 4

ANALISA KASUS

Seorang anak perempuan berusia 4 tahun 7 bulan datang ke IGD RS

PGI Cikini diantar oleh ibunya dengan keluhan demam sejak 8 hari SMRS. Ibu

pasien mengatakan anaknya demam tinggi terutama pada sore dan malam hari.

Namun, pada pagi hari demamnya turun dan anaknya dapat beraktivitas

kembali. Keluhan mual dan muntah > 4 kali berisi makanan juga dirasakan oleh

pasien. Selain itu, keluhan perut kembung dan tidak BAB sejak 2 hari SMRS

juga dirasakan oleh pasien. Nafsu makan berkurang dan pasien tampak lemas.

Keluhan mimisan, gusi berdarah, dan bercak merah pada kulit disangkal.

Riwayat sakit kuning dan keluhan BAK seperti teh serta BAB dempul juga

disangkal. Keluhan seperti ini baru pertama kali dialami oleh pasien. Pasien

sudah berobat ke puskesmas dan diberikan obat penurun demam namun tidak

ada perbaikan.

Kemudian, dari hasil pemeriksaan fisik diperoleh keadaan umum

tampak sakit sedang, kesadaran komposmentis, tekanan darah 90/60 mmHg,

frekuensi denyut nadi 96 kali per menit (regular, kuat angkat, isi cukup),

frekuensi pernapasan 24 kali per menit (regular), suhu 38.9º C. Pada

pemeriksaan mulut, tampak coated tongue (+) pada lidah. Pada pemeriksaan

abdomen terdapat hipertimpani. Berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang


diperoleh hematokrit 31% , leukosit 4100/ul dan pada hasil pemeriksaan

serologi diperoleh titer S. typhi O (+) 1/320 dan S.paratyphi AO (+) 1/160.

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang maka

dapat ditegakan diagnosis bahwa pasien mengalami Demam Tifoid. Hal ini

sesuai dengan teori mengenai manifestasi klinis, pemeriksaan fisik, dan

penunjang pada demam tifoid.

 Berdasarkan hasil anamnesis diperoleh demam > 7 hari, demam naik

secara bertahap, demam lebih tinggi terutama pada sore dan malam hari,

mual-muntah, perut kembung, konstipasi, serta anak tampak lemas. Hal

ini sesuai dengan teori mengenai manifestasi klinis pada demam tifoid.

Adapun patofisiologi manifestasi klinis pada anak tersebut adalah sebagai

berikut.

 Demam lebih dari 7 (tujuh) hari

Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang

biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan kembali ke dalam

lumen usus secara intermiten. Sebagian kuman dikeluarkan

melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah

menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, oleh karena

makrofag telah teraktivasi sebelumnya maka saat fagositosis

kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi

(IL-1, IL-6, IL-8, TNF-β, INF, GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya


akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti

demam.

 Demam lebih tinggi pada sore dan malam hari

Hal ini terjadi dikarenakan metabolisme tubuh dalam pengaturan

suhu tubuh. Suhu tubuh diatur oleh Hipotalamus pada Nucleus

Supra Kiasmatikus (SCN) dimana sinyal tersebut akan

dihantarkan ke set point tubuh yang akan menstimulasi

hipotalamus.

 Mual muntah dan Perut Kembung

Bakteri Salmonella typhi bermultiplikasi di usus halus sehingga

menyebabkan iritasi pada mukosa usus halus. Hal ini

menyebabkan terjadinya fermentasi sisa makanan oleh bakteri

Salmonella typhi dan flora normal di usus halus sehingga

menghasilkan produksi gas yang berlebihan pada usus halus

sehingga menimbulkan perut kembung. Selain itu, hal ini juga

menyebabkan peningkatan asam lambung sehingga terjadi mual

muntah pada penderita demam tifoid.

 Konstipasi

Infeksi bakteri Salmonella typhi melalui mulut kemudian bakteri

masuk sampai ke usus halus dan bermultiplikasi sehingga

menyebabkan gangguan absorpsi pada usus halus. Hal ini


mengakibatkan penurunan peristaltik usus sehingga terjadi

konstipasi pada pasien.

 Pemeriksaan fisik pada demam tifoid ditemukan

 Bradikardi Relatif

Keadaan dimana peningkatan suhu 1º C tidak diikuti dengan

peningkatan denyut nadi sebanyak 8 kali per menit.

 Coated tongue

Papil lidah terutama terdapat banyak pada dorsum lidah. Pada

permukaan lidah terdapat lapisan pelindung yang disebut dengan

keratin. Dalam keadaan normal, keratin pada permukaan dorsum

lidah dapat mengalami deskuamasi selama fungsi dan keratin

yang mengalami deskuamasi digantikan oleh keratin yang baru.

Namun, karena adanya infeksi oleh bakteri Salmonella typhi

menyebabkan keseimbangan ini menjadi terganggu sehingga

keratin menjadi terakumulasi pada papilla filiformis. Hal ini yang

mengakibatkan terjadinya coated tongue.

 Pemeriksaan laboratorium ditemukan

 Leukopenia
Bakteri Salmonella typhi memiliki evasi fagositik yang baik yaitu

dengan menggagalkan fusi dengan lisosom. Bakteri yang survive

akan bermultiplikasi dan menginfeksi makrofag. Kemudian,

bakteri tersebut ikut terbawa ke nodus limfatikus mesenterium dan

masuk ke dalam aliran darah sehingga menyebabkan bacteremia

primer. Setelah itu, bakteri masuk ke dalam retikuloendotelial

sistem seperti sumsum tulang dan menyebabkan depresi sumsum

tulang  leukopenia.

 Pemeriksaan serologi tes widal dinyatakan positif apabila titer Salmonella

typhi O 1/200 atau kenaikan 4 kali.

 Pada pasien diperoleh hasil pemeriksaan serologi tes widal

Salmonella typhi O (+) 1/320 dan Salmonella paratyphi

Penatalaksanaan kasus pada pasien sudah sesuai dengan teori dimana pada pasien

diberikan antibiotik sefalosporin generasi ketiga dan terapi simptomatik.

 Kebutuhan kalori : 90 kcal / kgBB / hari. Diet Lunak, 1250 kalori / hari

 Kebutuhan cairan : 1175 ml / hari  IVFD RL 16 tpm ( Makro )

 Ceftriaxone 700 mg setiap 12 jam (IV)  Antibiotik.

 Ranitidine 50 mg setiap 8 jam (IV)  Terapi simptomatik.

 Paracetamol 180 mg setiap 8 jam (PO)  Terapi simptomatik.

 Edukasi
 Mengkonsumsi makanan dalam mencukupi kebutuhan gizi

 Mengkonsumsi obat dengan teratur sesuai anjuran dokter

 Menjaga kebersihan makanan yang dikonsumsi

 Mencuci tangan sebelum makan dan sehabis beraktivitas

 Istirahat yang cukup yaitu 8 – 10 jam per hari


DAFTAR PUSTAKA

1. Wasihun, Araya G; Wlekidan, Letemichael N; Gebremariam, Senay A et all.

“Diagnosis and Treatment of Typhoid Fever and Associated Prevailing Drug

Resistance in Northern Ethiopia”. International Journal of Infectious

Diseases.2015(35):96-102.

2. Britto, Carl; Pollard, Andrew J; Voysey Merryn; Blohmke, Christoph J. “An

Appraisal of the Clinical Features of Pediatric Enteric Fever: Systematic

Review and Meta-analysis of the Age-Stratified Disease Occurrence”. Clin

Infect Dis. 2017;64 (11) : 1604–11.

3. WHO Departement Vaccines and Biological. “The organism, the disease and

transmission”. Background document : The Diagnosis, Treatment and

Prevention of Typhoid Fever. Geneva : World Health Organization. 2003:3.

4. DEPKES. “Riset Kesehatan Dasar 2007”. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Diunduh dari

http://www.litbang.depkes. go.id/ bl_riskesdas2007 pada tanggal 08 Januari

2018.

5. Soedarmo, Sumarmo SP; Garna, Herry; Hadinegoro, Sri Rezeki; Satari, Hindra

Irawan. “Demam Tifoid”. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi

Kedua.Jakarta : IDAI. 2015:338-346.

6. RHH Nelwan. “Tatalaksana Terkini Demam Tifoid”.CDK.2012;9(4):247-50.


7. Widodo E. “Demam Tifoid”. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI.2014: 549-558.

8. Brusch, John L. “Typhoid Fever”.Medscape.2018

9. Vala, Snehal; Shah, Urvesh; Ahmad, Syed Amir; Scolnik, Dennis; Glatstein,

Miguel. “Resistance Patterns of Typhoid Fever in Children: A Longitudinal

Community-Based Study”. American Journal of Therapeutics.2016:1151-4.

10. Anagha K, Deepika B, Shahriar R, Sanjeev K. “The Easy and Early Diagnosis

of Typhoid Fever”. JDCR. 2012;4058:2034.

11. Kementerian Kesehatan R.I. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan. “Sistematika Pedoman Pengendalian Penyakit

Demam Tifoid”.2013:30-41.

You might also like