Case Final THT
Case Final THT
Case Final THT
Rhinitis Alergi
Pembimbing:
dr. Matius Sp.THT
Disusun oleh:
Nadiah binti Baharum Shah
112016196
I. IDENTITAS
Diambil secara autoanamnesis pada hari Jumat, 8 Desember 2017 pukul 9.30 WIB
Pasien datang ke Poli RSUD Cengkareng dengan keluhan bersin-bersin terus menerus
sejak 4 hari yang lalu. Setiap bersin dapat mencapai 4-5 kali. Setiap hari sering pasien
merasakan ingus keluar encer dan banyak hampir setiap pagi namun boleh juga bersin dan
ingus didapatkan pada waktu yang tidak menentu. Bersin meningkat apabila di tempat
dingin. Hidungnya juga terasa gatal sehingga pasien sering menggosok-gosok hidung.
Kadangkala pasien merasa hidungnya sering tersumbat sehingga susa bernafas. Keluhan pada
pasien tidak mengganggu aktivitas, karena pasien masih dapat bekerja pada siang hari.
Keluhan tidak disertai dengan demam, batuk, nyeri tenggorok, nyeri kepala dan penurunan
fungsi pendengaran. Pasien pernah mengalami keluhan hal yang sama sebelumnya 2 bulan
yang lalu dan pernah juga beberapa kali dalam tahun ini.
Hipertensi (-)
Kolesterol (-)
Gastritis (-)
Hipertensi (-)
Alergi (-)
Status Presens
Tanda Vital
Tekanan darah : 110/60 mmHg
Nadi : 92 x / menit
Frekuensi nafas : 20 x / menit
Suhu : 36,5o C
Status Lokalis
Tenggorok
Bibir : trismus
Lidah : Simetris, Spasme (-), Fasikulasi (-), Kotor (-), Stomatitis (-),
Tonsil : Membesar (-), Ukuran Tonsil T1-T1, Hiperemis (-), Detritus (-), Granulasi
Telinga
Mastoid Nyeri Tekan (-), Masa (-), Nyeri Tekan (-), Masa (-),
Abses (-), fistula (-) Abses (-), fistula (-)
Pre-aurikula Nyeri Tekan (-), Masa (-), Nyeri Tekan (-), Masa (-),
Abses (-), fistula (-), Abses (-), fistula (-),
Retro-aurikula Nyeri Tekan (-), Masa (-), Nyeri Tekan (-), Masa (-),
Abses (-), fistula (-), Abses (-), fistula (-),
Aurikula Nyeri Tekan (-), Masa (-), Nyeri Tekan (-), Masa (-),
Abses (-), fistula (-), nyeri Abses (-), fistula (-), nyeri
tarik aurikula (-) tarik aurikula (-)
Kanalis Eksternus Benda asing (-), sekret (-), Benda asing (-), sekret (-),
serumen (-), darah (-), lessi (- serumen (-), darah (-), lessi (-
), massa (-), edem (-) ), massa (-), edem (-)
Hidung
Kanan Kiri
Leher Anterior pembesaran tiroid (-), deviasi pembesaran tiroid (-), deviasi
trakhea (-) trakhea (-)
V. RESUME
Pasien datang ke Poli RSUD Cengkareng dengan keluhan bersin-bersin terus menerus
sejak 4 hari yang lalu. Setiap bersin dapat mencapai 4-5 kali. Setiap hari sering
pasien merasakan ingus keluar encer dan banyak hampir setiap pagi namun boleh juga
bersin dan ingus didapatkan pada waktu yang tidak menentu. Bersin meningkat
apabila di tempat dingin. Hidungnya juga terasa gatal sehingga pasien sering
menggosok-gosok hidung. Kadangkala pasien merasa hidungnya sering tersumbat
sehingga susa bernafas. Keluhan pada pasien tidak mengganggu aktivitas, karena
pasien masih dapat bekerja pada siang hari. Keluhan tidak disertai dengan demam,
batuk, nyeri tenggorok, nyeri kepala dan penurunan fungsi pendengaran. Pasien
pernah mengalami keluhan hal yang sama sebelumnya 2 bulan yang lalu dan pernah
juga beberapa kali dalam tahun ini.
VIII. PENATALAKSANAAN
1. Non medikamentosa
Hindari allergen
Edukasi untuk menghindari paparan asap rokok
Mandi dengan air hangat
Menggunakan masker terutama saat berkendaraan atau saat membersihkan
rumah
2. Medikamentosa:
Antihistamin : Loratadine 1 x 10 mg
Dekongestan : Sistemik : Pseudoephedrine 2 x 60 mg
Kortikosteroid : Azelastine nasal spray
IX. Prognosis
Ad Vitam : bonam
Ad functionam : bonam
Ad sanationam : bonam
TINJAUAN PUSTAKA
RHINITIS ALERGI
1.0 Pendahuluan
Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek “rhin/rhino” (hidung) dan “itis” (radang).
Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang selaput lendir (membran
mukosa) hidung. Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau
kronik. Rhinitis akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi
virus atau bakteri. Selain itu, rhinitis akut dapat juga timbul sebagai reaksi sekunder akibat
iritasi lokal atau trauma. Penyakit ini seringkali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Yang termasuk ke dalam rhinitis akut diantaranya adalah rhinitis simpleks, rhinitis influenza,
dan rhinitis bakteri akut supuratif.1,2
Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Pembagian rhinitis
kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rhinitis kronis yang
disebabkan oleh peradangan dapat kita temukan pada rhinitis hipertrofi, rhinitis sika (sicca),
dan rhinitis spesifik (difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa, dan jamur). Rhinitis kronis yang tidak
disebabkan oleh peradangan dapat kita jumpai pada rhinitis alergi, rhinitis vasomotor, dan
rhinitis medikamentosa.1,2
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila
dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa
pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago ala mayor dan tepi anterior kartilago septum.2,3
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian
dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior,
disebut vetibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4
buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung
ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah
lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila, dan krista nasalis os
palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.
Septum dilapisi oleh mukosa hidung. 2
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah
konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya
rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius
dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid
anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. 2
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis
merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa =
saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga
hidung dibentuk oleh os sfenoid. 2
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang
dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk
KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger
nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi
dan drenase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior
dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan
patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait. 2
2.3.2 Etiologi
Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara
genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Peran lingkungan dalam dalam rhinitis
alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon
imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi. Adapun alergen yang biasa
dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk bersama udara pernapasan yaitu debu rumah,
tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain.4,5
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:4
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama udara pernapasan, misalnya tungau debu rumah,
kecoa, serpihan epitel kulit binatang (anjing dan kucing), rerumputan (bermuda grass),
serta jamur (Aspergillus, Alternaria).
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi,
telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, misalnya penisilin dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, misalnya bahan perhiasan dan kosmetik.
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran sehingga
memberi gejala campuran misalnya tungau debu rumah yang menimbulkan gejala asma
bronkial dan rhinitis alergi.4
2.3.2 Klasifikasi
Rhinitis alergi menurut guideline ARIA (2001). Berdasarkan lamanya terjadi gejala:3,5
1. Intermiten.
Seorang pasien dengan rhinitis alergi intermiten menunjukkan gejala kurang dari empat
hari per minggu atau kurang dari empat minggu.
2. Persisten.
Pasien dengan rhinitis alergi persisten menunjukkan gejala yang lebih dari empat hari per
minggu atau selama lebih dari empat minggu.
Berdasarkan keparahan dan kualitas hidup:2-4
1. Ringan.
Seorang pasien dengan diagnosis gejala ringan yaitu jika gejala- gejalanya tidak
mempengaruhi tidur, kegiatan sehari-hari, pekerjaan, sekolah, olahraga atau bersantai.
2. Sedang sampai berat.
Seorang pasien dengan diagnosis gejala rhinitis alergi sedang sampai berat adalah jika
penyakitnya berdampak terhadap gejala tidur, kegiatan sehari-hari, kerja, sekolah,
olahraga atau bersantai, serta jika ada gejala merepotkan. pasien dengan rhinitis alergi
yang berlangsung selama enam minggu dengan gejala mengganggu aktivitas normal akan
dapat didiagnosis dengan moderat sampai parah dan persisten.
2.3.4 Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit infalamsi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan tahap provokasi / reaksi alergi. Reasi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung
sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau
Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.2
Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen presenting cell/APC) akan menangkap allergen
yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek
peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL
1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2.2
Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 3, IL 4 dan IL
13 dapa diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga limfosit B menjadi
aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). Ig di sirkulasi darah akan masuk ke
jaringan dan diikat oleh reseptor iG E di permukaan sel mastosit atau basophil (sel mediator)
sehingga ke dua sel menjadi aktif. Proses ini disebut sesnsitisasi yang menghasilkan sel
mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersentisisasi terpapar dengan allergen
yang ssma, maka kedua rantai IgE akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basophil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamine. Selain histamine juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4
(LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai
sitokin, IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte macrophage colony stimulating factor) dll.
Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).2
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamine juga akan menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).2
Pada RAFC, sel matosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinophil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai di
sini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada
RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti esoinofil,
limfosit, netrofil, basophil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti
IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GMCSF) dan ICAM 1
pada secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif hidung adalah akibat peranan eosinophil
dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophlic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain factor spesifik (allergen), iritasi oleh factor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan
kelembaban udara yang tinggi.2
2.3.5 Diagnosis
a. Anamnesis
Dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit alergi dalam keluarga. Perlu ditanya
gejala spesifik; pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya,
identifikasi faktor predisposisi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan
pekerjaan. Gejala rhinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat
kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya
lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC (Reaksi Alergi
Fase Cepat) dan kadang-kadang pada RAFL (Reaksi Alergi Fase Lambat) sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Rhinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering
kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung
tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.2,5
b. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat disertai adanya
sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada
anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis
vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu
sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan.
Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang
disebut sebagai allergic crease. Mulut sering terbuka, sehingga akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan
edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti
gambaran peta (geographic tongue).3-5
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Sitologi Hidung
Apabila pada pemeriksaan sitologi sekret hidung didapatkan lebih dari 10% eosinofil
maka dapat diindikasikan rhinitis alergi. Namun kadangkala adanya eosinofil dalam sekret
hidung dapat dijumpai pada non-rhinitis alergi. Eosinofil tidak dapat ditemukan pada
penderita yang mengalami perbaikan, infeksi, dan mendapat terapi kortikosteroid fokal atau
sistemik.3-5
IgE Total
IgE total dianggap meningkat bila lebih dari 100-159 kU/I, ini dapat terjadi pada
penderita alergi atau pada penderita dengan infestasi parasit dan 50% penderita rhinitis alergi
musiman (RAS) kadar IgEnya normal, jadi pemeriksaan igE total terbatas manfaatnya.3-5
Tes Kulit
Tes kulit terhadap suatu alergen diindikasikan untuk memberikan bukti adanya dasar
alergi pada gejala penderita, untuk mengkonfirmasi penyebab keluhan yang dicurigai atau
untuk melihat derajat sensitifitas untuk alergi terrtentu. Tes kulit ini lebih disukai karena
sederhana, cepat, mudah, relatif murah, dan sensitifitas tinggi. Pada saat pemeriksaan kulit,
harus dikerjakan dengan teknik yang benar untuk mendapatkan hasil yang akurat. Intepretasi
hasil tes kulit yang tepat perlu pengetahuan, aeroallergen apa yang penting secara lokal dan
klinis penting memungkinkan adanya reaksi silang.2,4
Tes kulit melibatkan perkenalan yang dikendalikan alergen dan zat kontrol ke dalam
kulit. Test Percutaneous adalah jenis yang paling umum yang di uji pada kulit dan lebih
disukai dalam primer care karena nyaman, aman, dan luas, dapat diterima. Kadang-kadang
test intradermal digunakan (kebanyakan oleh peneliti dan subspesialis alergi), adalah lebih
sensitif tetapi kurang spesifik daripada tes percutaneous. Tidak jelas metode mana lebih
unggul, namun terdapat peningkatan kekhawatiran keamanan menggunakan tes kulit
intradermal.2,4
Rhinitis alergi memiliki respon immediate atau respon delayed. Tes kulit (Skin test)
dapat ditimbulkan dari kedua respon tersebut. Namun tujuan utama skin test adalah untuk
mendeteksi langsung respon alergi yang ditimbulkan oleh pelepasan sel mast atau basofil
mediator spesifik IgE yang mana menyebabkan reaksi setelah 15 menit. Pada respon delayed
terjadi empat sampai delapan jam setelah terpapar alergen tersensitiasasi dan kurang berguna
dalam diagnos klinis2,4.
Tes kulit (skin-test) alergi dilakukan dengan uji tusukan yaitu dengan menempatkan
setetes larutan uji pada kulit dan menusuk melalui drop dengan alat yang tajam, atau melalui
uji intracutaneous (intradermal) dimana sejumlah kecil larutan uji disuntikkan ke dalam kulit.
Menurut literature uji tusukan lebih disukai untuk pengujian awal, karena lebih murah, lebih
cepat, kurang nyaman, dan kepekaan klinisnya lebih baik daripada uji intrakutaneus.2,4
Tes Provokasi
Tes provokasi hidung dengan alergen sangat bermanfaat pada penelitian, namun
potensi terjadinya serangan alergi, sehingga tidak dilakukan untuk pemeriksaan rutin. Dalam
tes provokasi hidung mukosa hidung dipaparkan dengan alergen atau bahan iritan dan
kemudian reaksi dipantau. Provokasi adalah alat yang berguna dalam pekerjaan penelitian
dan dalam kasus untuk verifikasi diagnosis alergi dibutuhkan. Dalam pekerjaan klinis,
mayoritas pengujian provokasi dilakukan dengan alergen. Selain itu digunakan untuk menilai
reaktivitas non-spesifik pada hidung dan reaksi yang telah diinduksi dengan beberapa zat
kimia dan juga dengan rangsangan fisik.1,4
Ada beberapa teknik provokasi hidung yaitu dengan agen larut yang ditetes kedalam
hidung, dengan disemprot atau dinebul ke dalam hidung (diuapkan) atau rongga hidung
dicuci dengan larutan uji untuk aplikasi topikal dapat dilakukan dengan kertas disk.1,4
Hasil dari provokasi dapat dinilai dengan pengamatan berupa bersin, discharge
hidung dan pembengkakkan mukosa dengan rhinoscopy. Sensasi sekresi hidung subjek,
gatal-gatal dan kongesti pada semiquantitative skor atau skala analog visual. Menghitung
bersin merupakan cara yang sederhana untuk menilai respon iritasi.1,4
Metode lain yang sederhana adalah dengan mengukur volume sekresi yang timbul,
dikumpulkan dengan membiarkan menetes ke dalam saluran dengan mengisap.
Ditimbang disaputangan, sekresi ke disk kertas preweighed dan reweighed. Perbedaan bobot
mencerminkan jumlah sekresi dikumpulkan dalam jangka waktu yang tetap. Rinomanometri
diterima secara luas sebagai metode objektif yang akurat sebagai respon dalam mengukur
perubahan dalam saluran napas hidung resistensi (NAR).1,4
Immunoassay
Pemeriksaan rasioallergo test (RAST) dan enzyme link immune sorbent test (ELISA),
untuk memeriksa pelepasan mediator selama reaksi alergi dengan mengukur mediator/enzim
yang dilepaskan dalam darah.2,3
Test alergen antibody spesifik IgE radioallergosorbent testing (RAST]) adalah
bermanfaat pada primary care, jika tes perkutaneus tidak praktis misalnya, masalah dengan
penyimpanan reagen, keahlian, frekuensi penggunaan, staf pelatihan) atau jika pasien
menjalani pengobatan yang terganggu dengan adanya test pada kulit (skin test) misalnya,
antidepresan trisiklik, antihistamin. RAST sangat spesifik namun umumnya tidak sensitif
seperti skin test.2,3
RAST berguna untuk mengidentifikasi alergen umum (misalnya, bulu hewan
peliharaan, tungau debu, serbuk sari), tetapi kurang berguna dalam mengidentifikasi
makanan, racun, atau alergi obat. Tes alergi pada anak-anak memiliki tantangan tersendiri.
Banyak literatur memberikan rekomendasi berdasarkan bukti untuk test alergi pada anak
dengan berbagai penyakit alergi (misalnya, rhinitis, asma, alergi makanan). Tes
perkutaneus sesuai untuk anak-anak tiga tahun dan lebih tua dan RAST biasanya tepat pada
usia berapa pun. Beberapa literatur merekomendasikan bahwa dasar keputusan melakukan
test oleh sang dokter adalah berdasarkan riwayat klinis, rekomendasi usia dewasa; melakukan
tes hanya bila diperlukan untuk mengubah terapi atau untuk memperjelas diagnosis.2,3
2.3.6 Tatalaksana
Untuk tatalaksana non farmakologi adalah dengan menghindari faktor alergen
merupakan terapi yang pertama kali perlu dilakukan. Menghindari alergen kausal merupakan
dasar pendekatan untuk mencegah munculnya gejala alergi.1,5
Saat memilih terapi farmakologi yang cocok bagi rhinitis alergi, beberapa hal yang
menjadi pertimbangan adalah keadaan penyakit penderita saat itu, gejala yang paling
dominan, umur, gejala saluran pernafasan lain yang ada di penderita serta riwayat, riwayat
pengobatan yang sebelumnya.1,5
Antihistamin
Antihistamin banyak dipilih sebagai terapi lini pertama dan banyak dari tipe
antihistamin bisa dibeli tanpa resep dokter. Obat ini memblokir reseptor H1 menghalangi
terjadinya reaksi histamin seperti mencegah peningkatan permeabilitas vaskuler, mencegah
kontraksi otot polos, meningkatkan produksi mukus dan mencegah pruritus. Oleh karena obat
ini menghilangkan gejala reaksi histamin di kulit, penderita tidak dianjurkan untuk
mengkonsumsinya beberapa hari sebelum dilakukan tes cukit kulit karena hasilnya dapat
menjadi negatif. Pada tes in vitro, mengkonsumsi antihistamin tidak akan berpengaruh pada
hasil tes. Antihistamin sangat efektif pada reaksi alergi fase cepat (RAFC) sehingga dapat
mencegah gejala bersin, rinore, dan pruritus namun kurang berpengaruh pada reaksi alergi
fase lambat (RAFL) contohnya sumbatan hidung (nasal congestion/blockers). Antihistamin
generasi pertama yang banyak bisa dibeli tanpa resep mempunyai efek sedasi sehingga
berpengaruh terhadap penurunan prestasi dan tumpuan penderita Efek samping yang lain
adalah efek antikolinergik yang dapat mengakibatkan mulut kering contohnnya
difenhidramin, hidroksizin, klorfeniramin dan bromfeniramin1,2,5.
Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal mungkin adalah terapi yang paling efektif bagi tiap tingkat
gejala rhinitis alergi. Keberhasilan maksimal timbul pada minggu pertama sampai kedua dari
hari pertama penggunaan. Efektifitasnya tergantung pemakaian yang sering dan keadaan
hidung yang adekuat untuk inhalasi obat. Obat ini turut bekerja pada RAFL sehingga
mencegah terjadinya peningkatan sel inflamasi yang mendadak. Formulasi mutakhir seperti
triamsinolon, budesonid dan flutikason mempunyai ciri absorpsi sistemik yang minimal
dengan hampir tiada efek samping sistemik sehingga aman pada tiap golongan umur
termasuk anak-anak. Efek samping lokal seperti hidung kering dan epistaksis dapat diregulasi
dengan instruksi pemakaian yang benar.1,2,5
Kortikosteroid sistemik
Preparat ini sesuai bagi gejala sangat berat yang menetap. Pemberiannya adalah
melalui intramuskular atau per oral. Jika lewat oral, penurunan dosis secara tapering off
diberikan dalam tiga sampai tujuh hari. Obat ini bertindak terhadap inflamasi justru
menurunkan gejala rhinitis alergi secara signifikan. Namun pada penggunaan jangka panjang
dapat timbul efek samping yang serius seperti penekaan aksis HPA dan efek samping
kortikosteroid sistemik lain yang lazim ditemukan.1,2,5
Dekongestan
Antikolinergik intranasal
Obat ini berpengaruh dalam mengurangi gejala rinore namun tidak gejala lainnya.
Contohnya adalah ipatrium bromida dan obat ini dapat digunakan dengan obat alergi lainnya
terutama bagi penderita dengan rhinitis alergi tipe sepanjang tahun (perennial).3,4
Kromolin intranasal
Preparat ini harus digunakan sebelum munculnya gejala untuk menjadi efektif.
Penggunaannya harus sepanjang paparan terhadap alergen dengan dosis sehingga empat kali
sehari dan cukup aman bagi penderita.2
Inhibitor leukotrien
Obat ini mengatasi kelebihan plasebo dalam menangani rhinitis alergi namun masih
jauh ketinggalan efeknya berbanding antihistamin dan kortikosteroid intranasal.2
Selain itu, boleh juga diberi imunoterapi dimana tujuan terapi ini adalah untuk
meningkatkan ambang batas (threshold) sebelum munculnya gejala pada penderita yang
terpapar pada alergen. Mekanisme kerja terapi imun ini masih belum jelas dimengerti.
Indikasi imunoterapi adalah penggunaan farmakoterapi jangka panjang, terapi farmakologi
yang tidak adekuat dan tidak dapat ditoleransi oleh penderita serta sensitifitas signifikan
terhadap alergen. Sebelum memulai imunoterapi, harus ditentukan alergen yang tepat pada
penderita. Di Amerika Serikat yang biasa dilakukan adalah penyuntikan alergen secara
subkutan yang gradual sehingga timbul reaksi sistemik yang ringan atau reaksi lokal yang
berat. Teknik lain adalah pemberian secara sublingual yang terutama dianuti di Eropa. Teknik
ini lebih aman dan mudah dilakukan sendiri oleh penderita di rumah.3
Untuk operasi, tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25% atau triklor asetat.2
3.0 Kesimpulan
Rhinitis adalah suatu inflamasi (peradangan) pada membran mukosa di hidung.
Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau kronik. Rhinitis akut
adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri.
Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Pembagian rhinitis kronis
berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya.
Rinitis alergi adalah penyakit umum paling banyak diderita dan merupakan inflamasi
mukosa saluran hidung dan sinus yang disebabkan alergi terhadap partikel seperti debu, asap,
tepung di udara.Gejala utama adalah bersin-bersin berulang, dan disertai keluar secret encer
yang banyak, dan hidung gatal. Untuk tatalaksananya adalah hindari kontak dengan alergen
penyebab, sedangkan eliminasi untuk alergen ingestan (alergi makanan). Terapi
medikamentosa termasuklah antihistamin, dekongestan dan kortikosteroid.
DAFTAR PUSTAKA
1. Settipane RA, Lieberman P. Update on nonallergic rhinitis. Annals of Allergy, Asthma &
Immunology 2001; 86; 494-508
2. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 118-122
3. Settipane RA, Lieberman P. Update on nonallergic rhinitis. Annals of Allergy, Asthma &
Immunology 2001; 86; 494-508
4. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2005. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 128-134
5. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 135-136