Tugas Mata Kuliah Pengelolaan Biomasa: Dosen Pengampu: Lulu Nurdini, ST., MT
Tugas Mata Kuliah Pengelolaan Biomasa: Dosen Pengampu: Lulu Nurdini, ST., MT
Tugas Mata Kuliah Pengelolaan Biomasa: Dosen Pengampu: Lulu Nurdini, ST., MT
PENGELOLAAN BIOMASA
Disusun oleh :
Ghaida Qonita Fajri (2311141023)
A. Shale Gas
Shale gas adalah gas yang diperoleh dari serpihan batuan shale atau tempat
terbentuknya gas bumi. Shale merupakan batuan sedimen klastik berbutir halus
yang tersusun atas campuran antara mineral lempung dan fragmen kecil dari
mineral lain seperti kuarsa, dolomit, dan kalsit. Shale dikarakterisasi sebagai
laminasi tipis yang sejajar dengan lapisan batuan. Gas ini pertama kali diekstraksi
di Fredonia, pada tahun 1821. Namun produksi gas shale untuk industri baru
dimulai pada tahun 1970-an. Ketika itu Amerika Serikat mulai mengalami
penurunan cadangan gas konvensional, yang memaksa negara itu untuk melakukan
riset dan pengembangan baru. Tetapi dari serangkaian uji coba, pengeboran shale
gas pada era 1980 tersebut masih kurang ekonomis. Baru pada tahun 1988, Mitchell
Energy menemukan teknologi slick-water fracturing yang ekonomis. Terdapat dua
macam teknik pengeboran untuk shale gas, yakni melalui pengeboran horisontal
atau hydraulic fracturing. Teknik ini juga yang membedakan shale gas dengan gas
alam konvensional. Letak sumber cadangan gasnya yang menjadi dasar teknik
pengeboran yang digunakan.
1
Sebagai sumber energi, shale gas juga mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Sebagai sumber energi, shale gas dianggap lebih bersih daripada batubara yang
dianggap sebagai sumber energi paling kotor. Shale gas juga dianggap mampu
menurunkan biaya produksi karena kemungkinan produksi shale gas akan memicu
penurunan harga gas alam secara signifikan. Produksi shale gas yang besar juga
akan membantu meningkatkan ketahanan energi dan membantu mengurangi
ketergantungan terhadap energi fosil yang mahal yaitu minyak bumi dan batubara.
Namun di satu sisi shale gas juga memiliki kekurangan. Meski dianggap lebih
bersih daripada batubara, shale gas masih memiliki emisi karbon yang signifikan
bila dibandingkan dengan sumber energi terbarukan lainnya. Proses fracking untuk
memperoleh shale gas juga masih dianggap sebagian pihak membahayakan
lingkungan khususnya karena memerlukan air dengan jumlah yang besar serta
penggunaan bahan-bahan kimia yang berpotensi mencemari lingkungan.
B. Shale Oil
Serpih minyak (oil shale) adalah kelompok batuan sedimen klastik halus yang
mengandung material organik (kerogen) yang dapat menghasilkan sejumlah cairan
serupa minyak ketika diekstraksi. Secara litologi maupun kimia, sebenarnya tidak
2
ada definisi yang jelas tentang serpih minyak. Sebagai batasan, serpih minyak dapat
terdiri dari beragam kelompok batuan seperti serpih kaya organik, napal, dolomit,
batulempung karbonan, mudstone dan batubara sapropelik (cannel coal). Setiap
batuan yang menghasilkan minyak (shale oil) dalam jumlah komersial melalui
pirolisis dapat dianggap sebagai serpih minyak, yaitu berkisar antara 4-50% berat
batuan atau sekitar 100- 200 l/ton batuan. Beberapa literatur memberikan batasan
yang lebih rendah antara 25-40 l/ton batuan.
Oil shale seringkali disebut dengan batu yang bisa terbakar seperti halnya batu
bara. Hydrocarbon yang terkandung di dalam oil shale ini berbentuk padat sehingga
tidak bisa langsung diekstrak seperti halnya crude oil konvensional. Oil shale butuh
ditambang, dipanaskan, dan hydrocarbon yang didapat harus diolah lagi agar
menghasilkan shale oil. Shale oil merupakan bahan bakar fossil yang terbentuk dari
sisa-sisa algae, spores, plants, pollen dan berbagai organisme lain yang hidup pada
jutaan tahun lalu.
Serpih minyak memiliki keragaman dalam hal komposisi yang tergantung
kepada lingkungan pengendapannya. Secara umum komponen pembentuk serpih
minyak terdiri dari material organik dan anorganik. Material anorganik atau mineral
dalam serpih minyak merupakan komponen terbesar dan lebih dominan dibanding
dalam batubara. Pada dasarnya, kelompok mineral yang terdapat dalam batubara
juga dapat ditemukan dalam serpih minyak.
Unsur organik yang terdapat dalam serpih minyak terdiri dari kerogen dan
bitumen. Kerogen merupakan bagian material organik dalam serpih minyak yang
tidak dapat larut dalam pelarut organik biasa dan tersusun oleh partikel-partikel
yang dinamakan maseral. Maseral analog dengan mineral dalam batuan dan
merupakan bahan organik dalam kerogen.
Serpih minyak terbentuk dari sisa-sisa alga, spora, polen, dan komponen
tumbuhan tinggi, yang berkembang dalam suatu ekosistem perairan yang tenang,
misalnya di lingkungan danau, laguna atau laut tertutup. Kondisi lingkungan yang
dibutuhkan untuk dapat membentuk endapan serpih minyak yaitu, adanya produksi
material organik yang melimpah, kondisi anaerobik selama masa awal
pembentukan, dan rendahnya tingkat organisme pembusuk.
3
Perbedaan mendasar antara Shale oil dan oil shale adalah pada
pengertiannya. Shale oil mengacu pada hidrokarbon yang terperangkap dalam
formasi yang tidak terlalu berpori (formasi batuan shale). Sedangkan oil shale
mengacu pada batuan yang mengandung potongan kerogen padat, prekursor
pembentuk minyak.
4
D. Teknologi Pengambilan Shale Gas dan Shale Oil
1. Shale Oil Proses
Ekstraksi Konvensional
Batuan shale ditambang, dihancurkan, dan dipanaskan ke temperatur
tinggi (500 - 932 derajat Fahrenheit) sehingga kerogen akan terurai menjadi
molekul yang lebih kecil. Kemudian, kerogen yang telah dipanaskan
melalui proses distilasi bertingkat.
In-Situ Pyrolysis
Pemanasan kerogen juga dapat dilakukan dari dalam permukaan bumi
atau yang seringkali dikenal dengan nama in-situ pyrolysis. Kerogen oil
shale ini harus dipanaskan dengan suhu antara 650˚F dan 700˚F. Selain itu,
proses surface retorting juga dibutuhkan yaitu pemanasan dengan
menggunakan rentang suhu antara 900˚F sampai 950˚F. Pyrolisis akan
mempercepat proses yang terjadi secara alami untuk menghasilkan minyak
dan gas. Selain itu, proses pyrolisis juga merupakan proses distilasi tingkat
menengah, yakni memisahkan kerosene (minyak tanah) dan diesel fuel
5
(minyak solar). Proses pengilangan lebih lanjut memungkinkan oil shale
diubah ke hidrokarbon yang lebih ringan seperti gasoline (bensin). Pyrolisis
merupakan reaksi dekomposisi thermal irreversible / searah dari material
organik dengan temperatur tinggi dan adanya oksigen. Reaksi ini mencakup
perubahan komposisi kimia dan fase fisika secara bersamaan.
Proses konversi oil shale secara in-situ memakan waktu sekitar dua
sampai enam tahun untuk memanaskan batuan. Tiga proyek utama dari
konversi in-situ sekarang ini adalah, Shell's In-Situ Conversion Process,
American Oil Shale, Total's in-situ rubbilizing approach dan ExxonMobil's
Electrofrac Process. Gambar di bawah ini adalah contoh gambar teknologi
in-situ pyrolysis dari Shell.
6
well. Bahan inilah yang menjadi elemen pemanas di dalam sumur. Sumur-
sumur pemanas diletakkan secara paralel dengan sumur horizontal yang
memotong well-well horizontal utama. Ini memungkinkan muatan
elektrikal berlawanan dapat diaplikasikan di kedua ujung well.
2. Shale Gas
Fracking
Fracking adalah salah satu teknik yang dikembangkan untuk mendapatkan
sisa-sisa minyak bumi yang terdapat pada sumur-sumur produksi, terutama
pada sumur minyak tua. Metode ini cukup efektif untuk meningkatkan jumlah
produksi sumur minyak maupun sumur gas. Tujuan utama penerapan fracking
yaitu untuk memperoleh shale gas maupun oil shale.
7
Menurut Jesse Jenkins bahwa operasi fracking dilakukan dengan cara
memompakan jutaan galon air, pasir dan bahan kimia (asam sitrat, benzena dan
formaldehida) kedalam perut bumi. Semua material tersebut dipompakan
melalui lubang sumur yang telah dibor horizontal kedalam formasi shale rock
dengan menggunakan tekanan hingga 15.000 pon per inci persegi. Liquid yang
diinjeksikan akan menyebabkan ekstraksi di dalam sumur dan akan melepaskan
gas dan minyak dari celah/pori batuan sehingga minyak dan gas tersebut dapat
diproduksi atau diangkut ke atas permukan.
8
4. Meningkatkan ketahanan energi dan membantu mengurangi
ketergantungan terhadap energi fosil yang mahal.
5. Membentuk lapangan pekerjaan baru.