This document summarizes the savanna ecosystem found in Baluran National Park in Indonesia. It covers approximately 40% of the park's total area and provides an important habitat for herbivorous animals. However, the savanna has been threatened by the invasion of the exotic plant species Acacia nilotica, which has reduced the savanna area by about 50%. Illegal grazing has also negatively impacted the savanna quality and wildlife populations. Efforts to restore the ecosystem include preventing further expansion of A. nilotica and illegal grazing, but effective long-term solutions are still being sought.
This document summarizes the savanna ecosystem found in Baluran National Park in Indonesia. It covers approximately 40% of the park's total area and provides an important habitat for herbivorous animals. However, the savanna has been threatened by the invasion of the exotic plant species Acacia nilotica, which has reduced the savanna area by about 50%. Illegal grazing has also negatively impacted the savanna quality and wildlife populations. Efforts to restore the ecosystem include preventing further expansion of A. nilotica and illegal grazing, but effective long-term solutions are still being sought.
This document summarizes the savanna ecosystem found in Baluran National Park in Indonesia. It covers approximately 40% of the park's total area and provides an important habitat for herbivorous animals. However, the savanna has been threatened by the invasion of the exotic plant species Acacia nilotica, which has reduced the savanna area by about 50%. Illegal grazing has also negatively impacted the savanna quality and wildlife populations. Efforts to restore the ecosystem include preventing further expansion of A. nilotica and illegal grazing, but effective long-term solutions are still being sought.
This document summarizes the savanna ecosystem found in Baluran National Park in Indonesia. It covers approximately 40% of the park's total area and provides an important habitat for herbivorous animals. However, the savanna has been threatened by the invasion of the exotic plant species Acacia nilotica, which has reduced the savanna area by about 50%. Illegal grazing has also negatively impacted the savanna quality and wildlife populations. Efforts to restore the ecosystem include preventing further expansion of A. nilotica and illegal grazing, but effective long-term solutions are still being sought.
M. YUSUF SABARNO Balai Taman Nasional Baluran, Jawa Timur
Diterima: 20 Pebruari 2001. Disetujui: 23 Juni 2001
ABSTRACT
One of the biodiversity richness in Indonesia is ecosystem of Baluran National Park savanna. This type of savanna is similar to African savanna that is included in tropical savanna. There are two types of savanna, namely flat and undulating savanna. The savanna ecosystem that covers about 40% of the total area of Baluran National Park has important role on supporting herbivore animals such as wild cattle (Bos javanicus), deer (Cervus timorensis) and wild buffalo (Bubalus bubalis). The variety of grasses and other vegetation provide food for those animals, therefore, the reduction of the reduction of quality and quantity of the savanna would reduce in the population of the herbivores. The savanna in the Baluran National Park is about 10.000 ha, however, due to invasion of Acacia nilotica has resulted in the reduction of the savanna reaching about 50%. Moreover, illegal grassing inside the Park has brought negative impact to the quality of the area and the wild fauna. Overgrazing may influence on the reduction of the population of wild fauna. Pressure to the savanna has a great impact on the balance and preservation of whole ecosystem in Baluran. Efforts have been made in order to restore the Baluran ecosystem such as preventing the expansion of A. nilotica as well as preventing illegal grazing. The Baluran National Park is still looking for the most effective and efficient way of preserving savanna ecosystem in Baluran. 2001 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keywords: Baluran National Park, savanna, Acacia nilotica.
PENDAHULUAN
Kekayaan dan keanekaragaman hayati Indonesia sangat melimpah, sehingga tidak mengherankan apabila negeri ini disebut sebagai negara dengan kekayaan biodiversitas terbesar di dunia, setelah Brasil. Salah satunya adalah ekosistem savana di Taman Nasional (TN) Baluran. Keadaan iklim dan geografi tempat ini mendukung terbentuknya savana yang dapat dikatakan sebagai replika dari savana-savana di Afrika. Savana merupakan padang rumput dan semak yang terpencar di antara rerumputan, serta merupakan daerah peralihan antara hutan dan padang rumput. Di beberapa daerah yang tidak begitu kering, savana mungkin terjadi karena keadaan tanah dan atau kebakaran yang berulang. Menurut Mackinnon (1991, dalam Gunaryadi dkk., 1996), kawasan savana pada umumnya kurang terancam oleh eksploitasi ekonomi dibandingkan hutan hujan, meskipun demikian savana kadang-kadang mendapat tekanan berupa penggembalaan ternak dan penggunaan pertanian lainnya. Savana Baluran sebagai salah satu ciri khas dan identitas TN Baluran mempunyai arti sangat penting yang apabila kelestariannya terganggu akan berpengaruh terhadap ekosistem-ekosistem lainnya. Oleh karena itu setiap tekanan atau gangguan terhadap kelestarian ekosistem ini harus ditangani secara sungguh-sungguh. Salah satu gangguan yang cukup mengkhawatirkan dan merupakan ancaman terbesar bagi kelestarian ekosistem ini adalah semakin luasnya invasi Acacia nilotica, yang semula didatangkan dari Afrika sebagai tumbuhan penyekat kebakaran. Kecepatan tumbuh dan penyebaran tanaman BI ODI VERSI TAS Vol. 3, No. 1, Januari 2002, hal. 207-212 208 eksotik ini telah mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas savana Baluran, serta merubah pola perilaku satwa liar herbivora yang salah satu komponen habitatnya adalah padang rumput atau savana. Rumput sebagai sumber pakan utama satwa tersebut tergeser keberadaannya oleh A. nilotica, sehingga satwa mencari alternatif pakan lain, salah satunya daun dan biji A. nilotica. Akan tetapi sebagai sumber pakan utama, rumput tetap tidak tergantikan. Selain invasi A. nilotica, hal lain yang merupakan tantangan pelestarian savana TN Baluran adalah tingginya intensitas penggembalaan liar di kawasan taman nasional. Walaupun hal ini telah berlangsung lama, akan tetapi dampak dari kegiatan ini banyak mempengaruhi ekosistem savana. Berbagai upaya telah dilakukan dalam pemberantasan A. nilotica dan mencegah penggembalaan liar di dalam kawasan, tetapi hingga saat ini belum berhasil optimal. Keterlibatan pihak-pihak lain yang mempunyai perhatian besar terhadap permasalahan lingkungan dan keanekaragaman hayati, sangat diperlukan untuk merumuskan upaya yang tepat dan efektif dalam penyelesaian masalah tersebut. Kelestarian suatu ekosistem tergantung kepada pengelolanya, karena keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari sistem alam, dimana manusia diberi kemampuan mengelola alam ini. Begitu juga dengan pengelolaan TN Baluran, kebijakan pihak pengelola akan mempengaruhi ekosistem alami di kawasan ini. TN Baluran terletak di Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Secara geografis terletak antara 7 o 45- 7 o 15 LS, serta antara 114 o 18-114 o 27 BT, sebelah timur laut Pulau Jawa. Sebelah utara berbatasan dengan Selat Madura, sebelah barat berbatasan dengan Sungai Bajulmati, sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali dan sebelah barat laut berbatasan dengan Sungai Klokoran. Kawasan konservasi sumber daya alam tersebut pada mulanya dikenal sebagai suaka margasatwa, kemudian ditetapkan secara definitif sebagai taman nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No: 096/Kpts-II/1984 tanggal 12 Mei 1984. Secara geologi TN Baluran memiliki dua jenis tanah, yaitu tanah pegunungan dan tanah dasar laut. Tanah pengunungan terdiri dari tanah vulkanik dengan kondisi tanah berbatu-batu dan lereng gunung yang tinggi dan curam, sampai tanah aluvial yang dalam di dataran rendah. Tanah dasar laut terbatas di dataran pasir sepanjang hutan mangrove. Tanah hitam meliputi kira-kira setengah luas dataran rendah, ditumbuhi rumput savana. Tanah ini membentuk daerah subur, kaya mineral tetapi miskin bahan organik, dengan kondisi fisik yang kurang baik dan porous. Savana merupakan ekosistem yang kurang stabil, keseimbangannya tergantung iklim, api, penggunaan oleh margasatwa dan lain-lain. Untuk melestarikan ekosistem savana diperlukan kegiatan manipulatif seperti pembakaran terkendali, pengaturan populasi satwa, penebangan vegetasi dan lain-lain. Pada proses pembakaran, api sering membinasakan tumbuhan berkayu, tumbuhan dikotil dan palma lain, tanpa menimbulkan kerusakan berarti pada rimpang rerumputan di bawah tanah. Hal ini berbeda dengan kondisi hutan hujan pada umumnya yang menghendaki sesedikit mungkin campur tangan manusia untuk menjaga klimaks ekologi dan memungkinkan berlangsungnya regenerasi. Topografi TN Baluran dapat dibagi dalam kategori: datar dengan ketinggian 0-124 m dpl, bergelombang dengan ketinggian 125-900 m dpl, dan terjal pada ketinggian lebih dari 900 m dpl. Pada garis pantai di Mesigit, Balanan dan Montor terdapat hamparan batu karang yang terjal. Adapun ekosistem savana TN Baluran sendiri, secara topografi dibedakan menjadi savana datar (flat savanna) dengan tanah endapan (aluvial) dan savana datar sampai bergelombang (undulating savanna) dengan tanah berwarna hitam dan berbatu (Wind dan Amir, 1977). Sebelum invasi A. nilotica luas savana datar kira-kira 1.500-2.000 ha di bagian tenggara, yaitu savana Bekol, Semiang dan sekitarnya. Di bagian lain, savana datar sampai bergelombang mencakup daerah seluas kira-kira 8000 ha, yaitu; savana Balanan, Kramat, Talpat, Labuhan Merak, Air Tawar, Karangtekok dan sekitarnya. Pada umumnya savana mengalami masa kekeringan lebih panjang dari pada hutan. Savana Baluran mempunyai jenis tanah aluvial yang kadar liatnya tinggi, sifat fisik tanah sangat porous, tidak mampu menyimpan air, mempunyai kembang susut tinggi dan merekah pada musim kemarau. Tanah ini memiliki kandungan mineral tinggi tetapi miskin bahan organik. SABARNO Savana Taman Nasional Baluran 209 Salah satu adaptasi khas vegetasi savana adalah banyaknya pohon dan semak berduri. Hal ini diasumsikan untuk mengurangi eksploitasi dari herbivora. Savana di Indonesia, termasuk yang terdapat di TN Baluran, sama tipenya dengan savana di Afrika, yaitu tipe savana tropika yang produksi hijauannya melimpah di musim penghujan dan berkurang pada musim kemarau. Berdasarkan interpretasi hasil foto udara, savana di TN Baluran pada mulanya memiliki luas yang sempit dan terpisah-pisah. Kebakaran hutan menyebabkan luas areal savana terus bertambah. Salah satu upaya untuk membatasi bertambah luasnya savana akibat kebakaran dilakukan dengan mengintroduksi tanaman A. nilotica, yang dapat dijadikan sekat bakar. Akan tetapi, introduksi tanaman eksotik ini menimbulkan masalah baru dalam pengelolaan TN Baluran (Gunaryadi, 1996) Jenis-jenis vegetasi yang dapat dijumpai di savana Baluran dan melimpah di beberapa lokasi antara lain: lamuran putih (Dichantium caricosum) melimpah di savana Bekol, Kramat, Labuhan Merak dan Gentong/ Karangtekok; Eulalia amaura dan Bothriocloa modesta melimpah di savana Semiang. Alang-alang (Imperata cylindrica) melimpah di savana Dadap, sedangkan Bothriochloa modesta dan luluwan (Setaria palmifolia) melimpah di savana Paleran. Selain jenis rumput dan herba, di savana datar dijumpai pula tumbuhan berhabitus pohon antara lain pilang (Acacia leucophloea), kesambi (Schleichera oleosa), bidara (Ziziphus rotundifolia) dan A. nilotica. Savana bergelombang didominasi oleh rumput lamuran putih (Dichantium caricosum), gajah-gajahan (Schlerachne punctata) atau padi-padian (Sorgum nitidus). Habitus rumput di savana bergelombang cenderung lebih tinggi dibandingkan rumput di savana datar. Sedangkan jenis fauna yang memanfaatkan savana sebagai salah satu habitatnya yaitu banteng (Bos javanicus), rusa (Cervus timorensis), kerbau liar (Bubalus bubalis), kijang (Muntiacus muntjak), ajak (Cuon alpinus), merak (Pavo muticus), dan beberapa jenis burung lain. Padang penggembalaan mempunyai peranan penting bagi kelestarian satwa banteng, karena berfungsi sebagai sumber pakan, tempat makan, tempat istirahat di bawah pohon (shelter) sambil melakukan kegiatan ruminansia, serta sebagai tempat perkawinan dan membesarkan anak. PERMASALAHAN DAN UPAYA PEMECAHANNYA
Kegiatan pelestarian TN Baluran meliputi upaya mempertahankan keanekaragaman hayati baik flora, fauna maupun ekosistemnya. Salah satu kegiatan prioritas adalah menjaga kelestarian ekosistem savana. Savana di TN Baluran pada awalnya termasuk padang rumput alami, yang diduga merupakan klimaks karena api. Api sebagai salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas padang rumput, mempunyai peranan yang menguntungkan dan merugikan. Kebakaran memungkinkan rumput-rumput pakan satwa lebih tersebar dan lebih produktif. Api juga mengontrol biji-biji tumbuhan berkayu yaitu dengan memusnahkan dan menghambat pertumbuhannya, sehingga vegetasi rumput bebas dari pengaruh naungan dan persaingan dengan vegetasi lain. Kebakaran di kawasan TN Baluran dapat terjadi secara alami atau disengaja. Kebakaran yang disengaja dilakukan oleh masyarakat dengan berbagai tujuan, antara lain untuk membuka ladang, menggiring ternak, mengalihkan perhatian petugas dan lain-lain. Selama kurun waktu Mei 1999 hingga September 2000, kebakaran di Savana Baluran meliputi areal seluas sekitar 659 ha. Hal ini berlangsung selama dua periode musim kemarau (bulan-bulan kering), yaitu bulan Mei-September 1999 dan bulan Mei- September 2000 (Tabel 1.). Kebakaran tersebut sebagian besar terjadi di kawasan Savana Baluran bagian utara dan merupakan kebakaran yang disengaja. Hal ini dimungkinkan karena banyak aktivitas masyarakat di daerah Labuhan Merak yang mencari hasil hutan, dan para penggembala ternak yang masuk ke dalam kawasan. Mereka banyak melakukan kegiatan yang mengunakan api (memasak, merokok dan lain-lain) sehingga secara langsung atau tidak langsung menimbulkan kebakaran, khususnya di musim kemarau. Kualitas suatu padang rumput dapat diketahui dari beberapa parameter, antara lain produktivitas dan daya dukung padang rumput tersebut. Pengamatan di lapangan menunjukkan produktivitas dan daya dukung padang rumput di TN Baluran terhadap kebutuhan pakan satwa menurun. Menurut Alikodra (1979), produktivitas suatu kawasan merupakan modal yang secara ekonomis B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 3, Nomor 1 Januari 2002 Halaman: 207-212 Tabel 1. Laporan kejadian kebakaran daerah Savana di TN. Baluran.
No Waktu Lokasi Luas (Ha) 1. Mei 1999 Labuhan Merak 110 Lempuyang 60 2. Juni 1999 Labuhan Merak 173 3. Juli 1999 Pondok Jaran 36,5 4. Agustus 1999 Labuhan Merak 17 5. Mei 2000 Demang-Lempuyang 2 Cungking, Jeding, Secang, Duluk-Labuhan Merak 78 6. Juni 2000 Batu Numpuk-Pondok Jaran 10 Lempuyang-Balanan 1,5 7. Juli 2000 Gembilina-Pondok Jaran 8 Alas Malang, Curah Widuri-Labuah Merak 21 Lemah Abang, Watu Numpuk-Pondok Jaran 31 8. Agustus 2000 Kandang Laju, Alas Malang, Cungking, Gentong-Labuah Merak 81 Watu Numpuk, Lemah Abang-Pondok Jaran 27 Balanan 1 9. September 2000 Plalangan-Perengan 2 JUMLAH 659 Sumber: Anonim (1999-2000).
menguntungkan untuk mengembangkan populasi suatu satwa sampai pada tingkat tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas produktivitas padang rumput yaitu suksesi, persaingan, jenis rumput, pengaruh musim dan overgrazing. Sedangkan daya dukung yang optimal menunjukkan suatu keseimbangan antara produksi rumput pada periode tertentu dengan jumlah satwa yang merumput. Oleh karena itu suatu kawasan mempunyai daya dukung rendah apabila jumlah satwa yang merumput lebih tinggi dari pada nilai daya dukung optimal. Pengamatan Utomo (1997) di padang rumput Bekol seluas 75 ha dengan membuat petak-petak contoh 1m x 1m, sejumlah 10 buah secara acak, dengan selang pemotongan 40 hari, serta dengan perlakuan pemagaran dan tanpa pemagaran, diperoleh bahwa produktivitas padang rumput tersebut sebesar 13.700 gr/ha/hari. Daya dukung padang rumput dapat ditentukan dari selisih rata-rata plot yang dipagar dan yang tidak dipagar, yaitu 33,2 gr/m 2 atau 8,9 kg/ha/hari. Hal ini didasarkan asumsi bahwa hijauan segar yang dikonsumsi satwa setiap hari adalah 8,9 kg/ha. Menurut Syarif (1974, dalam Riyawati, 1999) kebutuhan rusa per hari adalah 10% berat tubuh, yaitu rata-rata 5,5 kg/hari/ekor, maka savana Bekol seluas 75 ha hanya mampu mendukung kurang lebih 114 ekor rusa dewasa. Sehingga padang penggembalaan Bekol sudah tidak mendukung kehidupan satwa secara optimal, mengingat dalam sensus ditemukan kurang lebih 192 ekor rusa di dalamnya. Studi kasus di atas menunjukkan bahwa savana di TN Baluran tidak lagi optimum dalam mendukung kehidupan satwa liar yang ada, sehingga kelestariannya semakin terancam dan dimungkinkan populasinya semakin menurun. Pepohonan yang tumbuh di savana dicirikan oleh pohon-pohon berkayu yang tahan api. Jika intensitas kebakaraan tinggi, maka akhir dari vegetasi klimaks karena api adalah padang rumput. Sebaliknya, apabila kebakaran jarang terjadi, maka jenis vegetasi pioner, termasuk A. nilotica akan dominan. Hal ini terjadi di sebagian besar savana datar seperti Bekol, Kramat dan sekitarnya, dimana invasi A. nilotica menguasai daerah tersebut akibat kecilnya kontrol api. Selama periode Mei 1999 hingga September 2000, tidak dijumpai kebakaran di savana-savana tersebut yang merupakan lokasi awal penanaman A. nilotica sebagai tanaman sekat bakar. Invasi tanaman eksotik, A. nilotica, terhadap savana di TN Baluran mengakibatkan penurunan luas savana, sehingga mengakibatkan perubahan komposisi, struktur dan produktivitas B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 3, Nomor 1 Januari 2002 Halaman: 207-212
Tabel 2. Kegiatan pemberantasan A. nilotica di TN. Baluran.
No Periode Metode Keterangan 1 1985 kimiawi Skala penelitian Puslitbang 2 1996 kimiawi Percobaan PT. Mitra Buana Mukti 3 1989-1991 mekanis Pencabutan dan penebangan 4 1991-1993 mekanis Pencabutan dengan katrol 5 1993-1999 mekanis Pembongkaran dgn buldoser dan pencabutan seedling 6 2000 mekanis Penebangan dan pembakaran tonggak Sumber: Anonim (1999).
rumput pakan satwa, serta penurunan daya dukung savana terhadap penyediaan pakan bagi satwa. Hal ini berpengaruh terhadap dinamika populasi dan pola perilaku satwa yang hidupnya membutuhkan savana, khususnya banteng dan rusa. Pertumbuhan A. nilotica, yang cepat disebabkan sifat biologi tanaman tersebut yang tahan api dan kekeringan, serta cepatnya penyebaran biji. Di TN Baluran, dalam 100 gram kotoran kerbau liar dijumpai 45 + 26 biji A. nilotica, pada banteng terdapat 62 + 42 biji dan pada rusa terdapat 11 + 9 biji. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat penyebaran biji A. nilotica oleh satwa mamalia. Selain itu, penyebaran biji dapat pula melalui injakan kaki satwa terhadap biji-biji yang jatuh. Upaya penanggulangan invasi A.nilotica telah banyak dilakukan, baik dengan cara mekanis maupun kimia. Pertimbangan yang diambil dalam pemberantasan A. nilotica, selain aspek ekologi juga aspek ekonomi, karena kegiatan yang dilakukan di suatu kawasan pelestarian (taman nasional) berbeda dengan kegiatan lain di luar. Menurut hasil evaluasi, kegiatan pemberantasan A. nilotica yang pernah dilakukan secara kimiawi kurang efektif dan efisien. Metode ini membutuhkan biaya yang besar dalam pengadaan bahan kimia dan tidak signifikan dengan luas areal serta kerapatan tegakan yang harus dimusnahkan (Anonim,1999). Pemberantasan secara mekanis dengan penebangan/pemotongan belum berhasil optimal. Bahkan memicu pertumbuhan biji-biji yang dorman dan regenerasi vegetatif dari tonggak yang tertinggal (trubusan), dimana satu tonggak dapat tumbuh 5-6 batang/cabang baru (Anonim, 1999). Begitu juga dengan cara pengkatrolan, karena membutuhkan waktu yang lama sehingga tidak efisien. Sedangkan dengan cara pembongkaran dengan buldoser, dianggap cukup efektif, akan tetapi dampak pembalakan/lahan bekas pembongkaran tonggak berpengaruh terhadap perubahan struktur tanah. Kegiatan yang dilakukan saat ini yaitu penebangan dan pembakaran tonggak, diikuti dengan pencabutan seedling. Kegiatan ini membutuhkan tenaga kerja yang banyak, kontinuitas dan pengawasan yang cermat. Pemberantasan A. nilotica pada saat ini baru dapat dilaksanakan dengan kecepatan rata-rata pembongkaran seluas 62,3 ha per tahun. Sehingga perkiraan waktu yang diperlukan untuk membersihkan seluruh savana dari invasi tanaman eksotik ini adalah 73 tahun, dengan asumsi areal yang dibersihkan tidak terinvasi kembali oleh A. nilotica (Anonim, 1999). Permasalahan lain yang mengancam kelestarian savana TN Baluran adalah meningkatnya intensitas penggembalaan liar oleh masyarakat sekitar kawasan. Kegiatan ini banyak ditemukan terutama di kawasan taman nasional bagian utara. Penggembalaan ini telah dilakukan masyarakat secara turun temurun dan dari waktu ke waktu jumlah ternak yang digembalakan semakin banyak. Menurut Nugroho et.al. (1991, dalam Hafis, 1992), setiap hari ditemukan + 1600 ekor sapi dan + 400 ekor domba/kambing digembalakan secara liar di kawasan Baluran bagian utara. Padahal daya dukung savana diduga di bawah jumlah ternak yang digembalakan, sehingga terjadi overgrazing area yang keras dan mengancam kelestarian ekosistem savana tersebut. Menurut Alikodra (1980) dan Anonim (1986, dalam Hafis, 1992) pengaruh negatif meningkatnya penggembalaan liar di TN BI ODI VERSI TAS Vol. 3, No. 1, Januari 2002, hal. 207-212 212 Baluran antara lain berupa: persaingan mendapatkan rumput antara satwa liar herbivora dengan ternak, tanah menjadi padat akibat injakan kaki ternak, kemungkinan penularan penyakit terhadap satwa liar serta merubah komposisi rumput di areal penggembalaan menjadi vegetasi yang tidak disukai oleh ternak maupun satwa liar sehingga ternak akan mencari pakan di tempat lain dan berakibat meluasnya areal penggembalaan. Banyak usaha yang telah dilakukan dalam mencegah masuknya penggembalaan liar di kawasan, yaitu dengan penyuluhan, pemberian bibit rumput pakan ternak untuk dibudidayakan dan lain-lain, tetapi hasilnya tidak signifikan. Walaupun dampak penggembalaan liar tidak begitu nyata, akan tetapi lambat laun kondisi kawasan yang seharusnya dijaga kelestarian dan keasliannya akan mengalami perubahan fungsi dan ekosistem.
PENUTUP
Savana Baluran merupakan bentuk ekosistem yang khas, meliputi hampir 40 % wilayah TN Baluran. Kawasan ini merupakan pusat kehidupan berbagai jenis satwa liar, khususnya mamalia besar yang dilindungi serta mempunyai panorama alam yang sangat unik dan indah, sehingga merupakan aset ekoturisme dan sangat penting bagi kegiatan penelitian dan pendidikan. Kawasan Savana Baluran sebagian besar telah terinvasi oleh A. nilotica, sehingga perlu perhatian khusus agar dapat dikembalikan menjadi ekosistem savana seperti aslinya. Oleh karena itu upaya pemberantasan A. nilotica harus dilakukan terus-menerus dengan percepatan lebih tinggi dari sebelumnya. Kegiatan ini meliputi penebangan pohon A. nilotica, yang diikuti pencabutan/pembersihan seedling tanaman di lokasi bekas penebangan secara kontinyu, untuk menyakinkan bahwa tanaman tersebut tidak tumbuh lagi. Apabila kegiatan tersebut tidak dilaksanakan, kelestarian ekosistem savana akan sulit dipertahankan. Penggembalaan liar yang tidak terkendali juga berdampak pada kelestarian savana Baluran. Apabila tidak segera ditangani dengan serius, akan mengubah Savana Baluran menjadi padang penggembalaan ternak domestik. Salah satu akibatnya satwa liar akan terusir, karena persaingan dengan ternak dan aktivitas manusia/penggembala yang masuk ke dalam kawasan. Menurut penelitian Wind dan Amir (1977), pada tahun 1977 penyebaran satwa banteng masih meliputi kawasan Baluran bagian utara, akan tetapi dari hasil sensus mamalia besar pada tahun 2000, tidak ditemukan lagi kelompok satwa banteng di daerah tersebut, karena adanya penggembalaan liar yang intensif. Permasalahan-permasalahan di atas perlu segera ditangani dan menjadi perhatian segenap pihak secara serius. Apabila diabaikan maka sangat dimungkinkan dalam waktu yang relatif singkat Savana Baluran akan tinggal cerita.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H.S. 1979. Dasar-dasar Pembinaan Margasatwa. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Anonim. 1999. Rencana Kegiatan Pemusnahan Acacia nilotica tahun 2000/2001 di Kawasan Taman Nasional Baluran Banyuwangi. Banyuwangi: TN Baluran. Anonim. 1999-2000. Laporan Bulanan Kebakaran Hutan di TN Baluran. Banyuwangi: TN Baluran. Utomo, B. 1997. Studi Produktivitas Savana Bekol Taman Nasional Baluran Jawa Timur. Skripsi. Jakarta: FMIPA UI. Gunaryadi, D. 1996. Pengamatan Populasi Cervus timorensis di Savana Bekol Taman Nasional Baluran Jawa Timur. Disertasi.Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana UGM Hafis, J. 1992. Telaah Beberapa Faktor Penyebab Penggembalaan Liar di Taman Nasional Baluran Utara Jawa Timur. Tesis. Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana UGM. Riyawati. 1999. Studi Jenis Pakan Rumput Rusa Timor (Cervus timorensis) di Savana Bekol Balai Taman Nasional Baluran Banyuwangi Jawa Timur. Skripsi. Malang: Institut Pertanian Malang. Wind, J. and H. Amir. 1977. Proposed Baluran National Park Management Plan 1978/1979 1982/1983. Prepared for the Directorat of Nature Conservation, Directorat General of Forestry, Republic of Indonesia. Nature Conservation and Wildlife Management Project of the Food and Agriculture Organisation of the United Nations.