Savana Taman Nasional Baluran

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 6

B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X

Volume 3, Nomor 1 Januari 2002


Halaman: 207-212


Savana Taman Nasional Baluran

Baluran Nasional Park Savanna


M. YUSUF SABARNO
Balai Taman Nasional Baluran, Jawa Timur

Diterima: 20 Pebruari 2001. Disetujui: 23 Juni 2001



ABSTRACT

One of the biodiversity richness in Indonesia is ecosystem of Baluran National Park savanna. This type of savanna is
similar to African savanna that is included in tropical savanna. There are two types of savanna, namely flat and
undulating savanna. The savanna ecosystem that covers about 40% of the total area of Baluran National Park has
important role on supporting herbivore animals such as wild cattle (Bos javanicus), deer (Cervus timorensis) and wild
buffalo (Bubalus bubalis). The variety of grasses and other vegetation provide food for those animals, therefore, the
reduction of the reduction of quality and quantity of the savanna would reduce in the population of the herbivores. The
savanna in the Baluran National Park is about 10.000 ha, however, due to invasion of Acacia nilotica has resulted in
the reduction of the savanna reaching about 50%. Moreover, illegal grassing inside the Park has brought negative
impact to the quality of the area and the wild fauna. Overgrazing may influence on the reduction of the population of
wild fauna. Pressure to the savanna has a great impact on the balance and preservation of whole ecosystem in
Baluran. Efforts have been made in order to restore the Baluran ecosystem such as preventing the expansion of A.
nilotica as well as preventing illegal grazing. The Baluran National Park is still looking for the most effective and
efficient way of preserving savanna ecosystem in Baluran.
2001 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Keywords: Baluran National Park, savanna, Acacia nilotica.


PENDAHULUAN

Kekayaan dan keanekaragaman hayati
Indonesia sangat melimpah, sehingga tidak
mengherankan apabila negeri ini disebut
sebagai negara dengan kekayaan
biodiversitas terbesar di dunia, setelah Brasil.
Salah satunya adalah ekosistem savana di
Taman Nasional (TN) Baluran. Keadaan iklim
dan geografi tempat ini mendukung
terbentuknya savana yang dapat dikatakan
sebagai replika dari savana-savana di Afrika.
Savana merupakan padang rumput dan
semak yang terpencar di antara rerumputan,
serta merupakan daerah peralihan antara
hutan dan padang rumput. Di beberapa
daerah yang tidak begitu kering, savana
mungkin terjadi karena keadaan tanah dan
atau kebakaran yang berulang. Menurut
Mackinnon (1991, dalam Gunaryadi dkk.,
1996), kawasan savana pada umumnya
kurang terancam oleh eksploitasi ekonomi
dibandingkan hutan hujan, meskipun demikian
savana kadang-kadang mendapat tekanan
berupa penggembalaan ternak dan
penggunaan pertanian lainnya.
Savana Baluran sebagai salah satu ciri
khas dan identitas TN Baluran mempunyai arti
sangat penting yang apabila kelestariannya
terganggu akan berpengaruh terhadap
ekosistem-ekosistem lainnya. Oleh karena itu
setiap tekanan atau gangguan terhadap
kelestarian ekosistem ini harus ditangani
secara sungguh-sungguh. Salah satu
gangguan yang cukup mengkhawatirkan dan
merupakan ancaman terbesar bagi kelestarian
ekosistem ini adalah semakin luasnya invasi
Acacia nilotica, yang semula didatangkan dari
Afrika sebagai tumbuhan penyekat kebakaran.
Kecepatan tumbuh dan penyebaran tanaman
BI ODI VERSI TAS Vol. 3, No. 1, Januari 2002, hal. 207-212 208
eksotik ini telah mengakibatkan penurunan
kualitas dan kuantitas savana Baluran, serta
merubah pola perilaku satwa liar herbivora
yang salah satu komponen habitatnya adalah
padang rumput atau savana. Rumput sebagai
sumber pakan utama satwa tersebut tergeser
keberadaannya oleh A. nilotica, sehingga
satwa mencari alternatif pakan lain, salah
satunya daun dan biji A. nilotica. Akan tetapi
sebagai sumber pakan utama, rumput tetap
tidak tergantikan.
Selain invasi A. nilotica, hal lain yang
merupakan tantangan pelestarian savana TN
Baluran adalah tingginya intensitas
penggembalaan liar di kawasan taman
nasional. Walaupun hal ini telah berlangsung
lama, akan tetapi dampak dari kegiatan ini
banyak mempengaruhi ekosistem savana.
Berbagai upaya telah dilakukan dalam
pemberantasan A. nilotica dan mencegah
penggembalaan liar di dalam kawasan, tetapi
hingga saat ini belum berhasil optimal.
Keterlibatan pihak-pihak lain yang mempunyai
perhatian besar terhadap permasalahan
lingkungan dan keanekaragaman hayati,
sangat diperlukan untuk merumuskan upaya
yang tepat dan efektif dalam penyelesaian
masalah tersebut. Kelestarian suatu ekosistem
tergantung kepada pengelolanya, karena
keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan
dari sistem alam, dimana manusia diberi
kemampuan mengelola alam ini. Begitu juga
dengan pengelolaan TN Baluran, kebijakan
pihak pengelola akan mempengaruhi
ekosistem alami di kawasan ini.
TN Baluran terletak di Kecamatan
Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa
Timur. Secara geografis terletak antara 7
o
45-
7
o
15 LS, serta antara 114
o
18-114
o
27 BT,
sebelah timur laut Pulau Jawa. Sebelah utara
berbatasan dengan Selat Madura, sebelah
barat berbatasan dengan Sungai Bajulmati,
sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali
dan sebelah barat laut berbatasan dengan
Sungai Klokoran. Kawasan konservasi sumber
daya alam tersebut pada mulanya dikenal
sebagai suaka margasatwa, kemudian
ditetapkan secara definitif sebagai taman
nasional berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan No: 096/Kpts-II/1984 tanggal 12
Mei 1984.
Secara geologi TN Baluran memiliki dua
jenis tanah, yaitu tanah pegunungan dan
tanah dasar laut. Tanah pengunungan terdiri
dari tanah vulkanik dengan kondisi tanah
berbatu-batu dan lereng gunung yang tinggi
dan curam, sampai tanah aluvial yang dalam
di dataran rendah. Tanah dasar laut terbatas
di dataran pasir sepanjang hutan mangrove.
Tanah hitam meliputi kira-kira setengah luas
dataran rendah, ditumbuhi rumput savana.
Tanah ini membentuk daerah subur, kaya
mineral tetapi miskin bahan organik, dengan
kondisi fisik yang kurang baik dan porous.
Savana merupakan ekosistem yang kurang
stabil, keseimbangannya tergantung iklim, api,
penggunaan oleh margasatwa dan lain-lain.
Untuk melestarikan ekosistem savana
diperlukan kegiatan manipulatif seperti
pembakaran terkendali, pengaturan populasi
satwa, penebangan vegetasi dan lain-lain.
Pada proses pembakaran, api sering
membinasakan tumbuhan berkayu, tumbuhan
dikotil dan palma lain, tanpa menimbulkan
kerusakan berarti pada rimpang rerumputan di
bawah tanah. Hal ini berbeda dengan kondisi
hutan hujan pada umumnya yang
menghendaki sesedikit mungkin campur
tangan manusia untuk menjaga klimaks
ekologi dan memungkinkan berlangsungnya
regenerasi.
Topografi TN Baluran dapat dibagi dalam
kategori: datar dengan ketinggian 0-124 m dpl,
bergelombang dengan ketinggian 125-900 m
dpl, dan terjal pada ketinggian lebih dari 900 m
dpl. Pada garis pantai di Mesigit, Balanan dan
Montor terdapat hamparan batu karang yang
terjal. Adapun ekosistem savana TN Baluran
sendiri, secara topografi dibedakan menjadi
savana datar (flat savanna) dengan tanah
endapan (aluvial) dan savana datar sampai
bergelombang (undulating savanna) dengan
tanah berwarna hitam dan berbatu (Wind dan
Amir, 1977). Sebelum invasi A. nilotica luas
savana datar kira-kira 1.500-2.000 ha di
bagian tenggara, yaitu savana Bekol, Semiang
dan sekitarnya. Di bagian lain, savana datar
sampai bergelombang mencakup daerah
seluas kira-kira 8000 ha, yaitu; savana
Balanan, Kramat, Talpat, Labuhan Merak, Air
Tawar, Karangtekok dan sekitarnya.
Pada umumnya savana mengalami masa
kekeringan lebih panjang dari pada hutan.
Savana Baluran mempunyai jenis tanah
aluvial yang kadar liatnya tinggi, sifat fisik
tanah sangat porous, tidak mampu
menyimpan air, mempunyai kembang susut
tinggi dan merekah pada musim kemarau.
Tanah ini memiliki kandungan mineral tinggi
tetapi miskin bahan organik.
SABARNO Savana Taman Nasional Baluran 209
Salah satu adaptasi khas vegetasi savana
adalah banyaknya pohon dan semak berduri.
Hal ini diasumsikan untuk mengurangi
eksploitasi dari herbivora. Savana di
Indonesia, termasuk yang terdapat di TN
Baluran, sama tipenya dengan savana di
Afrika, yaitu tipe savana tropika yang produksi
hijauannya melimpah di musim penghujan dan
berkurang pada musim kemarau.
Berdasarkan interpretasi hasil foto udara,
savana di TN Baluran pada mulanya memiliki
luas yang sempit dan terpisah-pisah.
Kebakaran hutan menyebabkan luas areal
savana terus bertambah. Salah satu upaya
untuk membatasi bertambah luasnya savana
akibat kebakaran dilakukan dengan
mengintroduksi tanaman A. nilotica, yang
dapat dijadikan sekat bakar. Akan tetapi,
introduksi tanaman eksotik ini menimbulkan
masalah baru dalam pengelolaan TN Baluran
(Gunaryadi, 1996)
Jenis-jenis vegetasi yang dapat dijumpai di
savana Baluran dan melimpah di beberapa
lokasi antara lain: lamuran putih (Dichantium
caricosum) melimpah di savana Bekol, Kramat,
Labuhan Merak dan Gentong/ Karangtekok;
Eulalia amaura dan Bothriocloa modesta
melimpah di savana Semiang. Alang-alang
(Imperata cylindrica) melimpah di savana
Dadap, sedangkan Bothriochloa modesta dan
luluwan (Setaria palmifolia) melimpah di savana
Paleran. Selain jenis rumput dan herba, di
savana datar dijumpai pula tumbuhan
berhabitus pohon antara lain pilang (Acacia
leucophloea), kesambi (Schleichera oleosa),
bidara (Ziziphus rotundifolia) dan A. nilotica.
Savana bergelombang didominasi oleh
rumput lamuran putih (Dichantium caricosum),
gajah-gajahan (Schlerachne punctata) atau
padi-padian (Sorgum nitidus). Habitus rumput
di savana bergelombang cenderung lebih
tinggi dibandingkan rumput di savana datar.
Sedangkan jenis fauna yang memanfaatkan
savana sebagai salah satu habitatnya yaitu
banteng (Bos javanicus), rusa (Cervus
timorensis), kerbau liar (Bubalus bubalis),
kijang (Muntiacus muntjak), ajak (Cuon
alpinus), merak (Pavo muticus), dan beberapa
jenis burung lain. Padang penggembalaan
mempunyai peranan penting bagi kelestarian
satwa banteng, karena berfungsi sebagai
sumber pakan, tempat makan, tempat istirahat
di bawah pohon (shelter) sambil melakukan
kegiatan ruminansia, serta sebagai tempat
perkawinan dan membesarkan anak.
PERMASALAHAN DAN UPAYA
PEMECAHANNYA

Kegiatan pelestarian TN Baluran meliputi
upaya mempertahankan keanekaragaman
hayati baik flora, fauna maupun ekosistemnya.
Salah satu kegiatan prioritas adalah menjaga
kelestarian ekosistem savana. Savana di TN
Baluran pada awalnya termasuk padang
rumput alami, yang diduga merupakan klimaks
karena api. Api sebagai salah satu faktor
penting yang berpengaruh terhadap kuantitas
dan kualitas padang rumput, mempunyai
peranan yang menguntungkan dan merugikan.
Kebakaran memungkinkan rumput-rumput
pakan satwa lebih tersebar dan lebih produktif.
Api juga mengontrol biji-biji tumbuhan berkayu
yaitu dengan memusnahkan dan menghambat
pertumbuhannya, sehingga vegetasi rumput
bebas dari pengaruh naungan dan persaingan
dengan vegetasi lain.
Kebakaran di kawasan TN Baluran dapat
terjadi secara alami atau disengaja.
Kebakaran yang disengaja dilakukan oleh
masyarakat dengan berbagai tujuan, antara
lain untuk membuka ladang, menggiring
ternak, mengalihkan perhatian petugas dan
lain-lain. Selama kurun waktu Mei 1999 hingga
September 2000, kebakaran di Savana
Baluran meliputi areal seluas sekitar 659 ha.
Hal ini berlangsung selama dua periode
musim kemarau (bulan-bulan kering), yaitu
bulan Mei-September 1999 dan bulan Mei-
September 2000 (Tabel 1.).
Kebakaran tersebut sebagian besar terjadi
di kawasan Savana Baluran bagian utara dan
merupakan kebakaran yang disengaja. Hal ini
dimungkinkan karena banyak aktivitas
masyarakat di daerah Labuhan Merak yang
mencari hasil hutan, dan para penggembala
ternak yang masuk ke dalam kawasan.
Mereka banyak melakukan kegiatan yang
mengunakan api (memasak, merokok dan
lain-lain) sehingga secara langsung atau tidak
langsung menimbulkan kebakaran, khususnya
di musim kemarau.
Kualitas suatu padang rumput dapat
diketahui dari beberapa parameter, antara lain
produktivitas dan daya dukung padang rumput
tersebut. Pengamatan di lapangan
menunjukkan produktivitas dan daya dukung
padang rumput di TN Baluran terhadap
kebutuhan pakan satwa menurun. Menurut
Alikodra (1979), produktivitas suatu kawasan
merupakan modal yang secara ekonomis
B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X
Volume 3, Nomor 1 Januari 2002
Halaman: 207-212
Tabel 1. Laporan kejadian kebakaran daerah Savana di TN. Baluran.

No Waktu Lokasi Luas (Ha)
1. Mei 1999 Labuhan Merak 110
Lempuyang 60
2. Juni 1999 Labuhan Merak 173
3. Juli 1999 Pondok Jaran 36,5
4. Agustus 1999 Labuhan Merak 17
5. Mei 2000 Demang-Lempuyang 2
Cungking, Jeding, Secang, Duluk-Labuhan Merak 78
6. Juni 2000 Batu Numpuk-Pondok Jaran 10
Lempuyang-Balanan 1,5
7. Juli 2000 Gembilina-Pondok Jaran 8
Alas Malang, Curah Widuri-Labuah Merak 21
Lemah Abang, Watu Numpuk-Pondok Jaran 31
8. Agustus 2000 Kandang Laju, Alas Malang, Cungking, Gentong-Labuah Merak 81
Watu Numpuk, Lemah Abang-Pondok Jaran 27
Balanan 1
9. September 2000 Plalangan-Perengan 2
JUMLAH 659
Sumber: Anonim (1999-2000).


menguntungkan untuk mengembangkan
populasi suatu satwa sampai pada tingkat
tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi
kualitas produktivitas padang rumput yaitu
suksesi, persaingan, jenis rumput, pengaruh
musim dan overgrazing. Sedangkan daya
dukung yang optimal menunjukkan suatu
keseimbangan antara produksi rumput pada
periode tertentu dengan jumlah satwa yang
merumput. Oleh karena itu suatu kawasan
mempunyai daya dukung rendah apabila
jumlah satwa yang merumput lebih tinggi dari
pada nilai daya dukung optimal.
Pengamatan Utomo (1997) di padang
rumput Bekol seluas 75 ha dengan membuat
petak-petak contoh 1m x 1m, sejumlah 10
buah secara acak, dengan selang
pemotongan 40 hari, serta dengan perlakuan
pemagaran dan tanpa pemagaran, diperoleh
bahwa produktivitas padang rumput tersebut
sebesar 13.700 gr/ha/hari. Daya dukung
padang rumput dapat ditentukan dari selisih
rata-rata plot yang dipagar dan yang tidak
dipagar, yaitu 33,2 gr/m
2
atau 8,9 kg/ha/hari.
Hal ini didasarkan asumsi bahwa hijauan
segar yang dikonsumsi satwa setiap hari
adalah 8,9 kg/ha. Menurut Syarif (1974, dalam
Riyawati, 1999) kebutuhan rusa per hari
adalah 10% berat tubuh, yaitu rata-rata 5,5
kg/hari/ekor, maka savana Bekol seluas 75 ha
hanya mampu mendukung kurang lebih 114
ekor rusa dewasa. Sehingga padang
penggembalaan Bekol sudah tidak
mendukung kehidupan satwa secara optimal,
mengingat dalam sensus ditemukan kurang
lebih 192 ekor rusa di dalamnya. Studi kasus
di atas menunjukkan bahwa savana di TN
Baluran tidak lagi optimum dalam mendukung
kehidupan satwa liar yang ada, sehingga
kelestariannya semakin terancam dan
dimungkinkan populasinya semakin menurun.
Pepohonan yang tumbuh di savana
dicirikan oleh pohon-pohon berkayu yang
tahan api. Jika intensitas kebakaraan tinggi,
maka akhir dari vegetasi klimaks karena api
adalah padang rumput. Sebaliknya, apabila
kebakaran jarang terjadi, maka jenis vegetasi
pioner, termasuk A. nilotica akan dominan. Hal
ini terjadi di sebagian besar savana datar
seperti Bekol, Kramat dan sekitarnya, dimana
invasi A. nilotica menguasai daerah tersebut
akibat kecilnya kontrol api. Selama periode
Mei 1999 hingga September 2000, tidak
dijumpai kebakaran di savana-savana tersebut
yang merupakan lokasi awal penanaman A.
nilotica sebagai tanaman sekat bakar.
Invasi tanaman eksotik, A. nilotica, terhadap
savana di TN Baluran mengakibatkan penurunan
luas savana, sehingga mengakibatkan perubahan
komposisi, struktur dan produktivitas
B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X
Volume 3, Nomor 1 Januari 2002
Halaman: 207-212

Tabel 2. Kegiatan pemberantasan A. nilotica di TN. Baluran.

No Periode Metode Keterangan
1 1985 kimiawi Skala penelitian Puslitbang
2 1996 kimiawi Percobaan PT. Mitra Buana Mukti
3 1989-1991 mekanis Pencabutan dan penebangan
4 1991-1993 mekanis Pencabutan dengan katrol
5 1993-1999 mekanis Pembongkaran dgn buldoser dan pencabutan seedling
6 2000 mekanis Penebangan dan pembakaran tonggak
Sumber: Anonim (1999).


rumput pakan satwa, serta penurunan daya
dukung savana terhadap penyediaan pakan
bagi satwa. Hal ini berpengaruh terhadap
dinamika populasi dan pola perilaku satwa
yang hidupnya membutuhkan savana,
khususnya banteng dan rusa. Pertumbuhan A.
nilotica, yang cepat disebabkan sifat biologi
tanaman tersebut yang tahan api dan
kekeringan, serta cepatnya penyebaran biji. Di
TN Baluran, dalam 100 gram kotoran kerbau
liar dijumpai 45 + 26 biji A. nilotica, pada
banteng terdapat 62 + 42 biji dan pada rusa
terdapat 11 + 9 biji. Hal ini menunjukkan
tingginya tingkat penyebaran biji A. nilotica
oleh satwa mamalia. Selain itu, penyebaran
biji dapat pula melalui injakan kaki satwa
terhadap biji-biji yang jatuh.
Upaya penanggulangan invasi A.nilotica
telah banyak dilakukan, baik dengan cara
mekanis maupun kimia. Pertimbangan yang
diambil dalam pemberantasan A. nilotica,
selain aspek ekologi juga aspek ekonomi,
karena kegiatan yang dilakukan di suatu
kawasan pelestarian (taman nasional)
berbeda dengan kegiatan lain di luar.
Menurut hasil evaluasi, kegiatan
pemberantasan A. nilotica yang pernah
dilakukan secara kimiawi kurang efektif dan
efisien. Metode ini membutuhkan biaya yang
besar dalam pengadaan bahan kimia dan
tidak signifikan dengan luas areal serta
kerapatan tegakan yang harus dimusnahkan
(Anonim,1999).
Pemberantasan secara mekanis dengan
penebangan/pemotongan belum berhasil
optimal. Bahkan memicu pertumbuhan biji-biji
yang dorman dan regenerasi vegetatif dari
tonggak yang tertinggal (trubusan), dimana
satu tonggak dapat tumbuh 5-6 batang/cabang
baru (Anonim, 1999). Begitu juga dengan cara
pengkatrolan, karena membutuhkan waktu
yang lama sehingga tidak efisien. Sedangkan
dengan cara pembongkaran dengan buldoser,
dianggap cukup efektif, akan tetapi dampak
pembalakan/lahan bekas pembongkaran
tonggak berpengaruh terhadap perubahan
struktur tanah. Kegiatan yang dilakukan saat
ini yaitu penebangan dan pembakaran
tonggak, diikuti dengan pencabutan seedling.
Kegiatan ini membutuhkan tenaga kerja yang
banyak, kontinuitas dan pengawasan yang
cermat.
Pemberantasan A. nilotica pada saat ini
baru dapat dilaksanakan dengan kecepatan
rata-rata pembongkaran seluas 62,3 ha per
tahun. Sehingga perkiraan waktu yang
diperlukan untuk membersihkan seluruh
savana dari invasi tanaman eksotik ini adalah
73 tahun, dengan asumsi areal yang
dibersihkan tidak terinvasi kembali oleh A.
nilotica (Anonim, 1999).
Permasalahan lain yang mengancam
kelestarian savana TN Baluran adalah
meningkatnya intensitas penggembalaan liar
oleh masyarakat sekitar kawasan. Kegiatan ini
banyak ditemukan terutama di kawasan taman
nasional bagian utara. Penggembalaan ini
telah dilakukan masyarakat secara turun
temurun dan dari waktu ke waktu jumlah
ternak yang digembalakan semakin banyak.
Menurut Nugroho et.al. (1991, dalam Hafis,
1992), setiap hari ditemukan + 1600 ekor sapi
dan + 400 ekor domba/kambing digembalakan
secara liar di kawasan Baluran bagian utara.
Padahal daya dukung savana diduga di bawah
jumlah ternak yang digembalakan, sehingga
terjadi overgrazing area yang keras dan
mengancam kelestarian ekosistem savana
tersebut.
Menurut Alikodra (1980) dan Anonim
(1986, dalam Hafis, 1992) pengaruh negatif
meningkatnya penggembalaan liar di TN
BI ODI VERSI TAS Vol. 3, No. 1, Januari 2002, hal. 207-212 212
Baluran antara lain berupa: persaingan
mendapatkan rumput antara satwa liar
herbivora dengan ternak, tanah menjadi padat
akibat injakan kaki ternak, kemungkinan
penularan penyakit terhadap satwa liar serta
merubah komposisi rumput di areal
penggembalaan menjadi vegetasi yang tidak
disukai oleh ternak maupun satwa liar
sehingga ternak akan mencari pakan di
tempat lain dan berakibat meluasnya areal
penggembalaan.
Banyak usaha yang telah dilakukan dalam
mencegah masuknya penggembalaan liar di
kawasan, yaitu dengan penyuluhan,
pemberian bibit rumput pakan ternak untuk
dibudidayakan dan lain-lain, tetapi hasilnya
tidak signifikan. Walaupun dampak
penggembalaan liar tidak begitu nyata, akan
tetapi lambat laun kondisi kawasan yang
seharusnya dijaga kelestarian dan keasliannya
akan mengalami perubahan fungsi dan
ekosistem.


PENUTUP

Savana Baluran merupakan bentuk
ekosistem yang khas, meliputi hampir 40 %
wilayah TN Baluran. Kawasan ini merupakan
pusat kehidupan berbagai jenis satwa liar,
khususnya mamalia besar yang dilindungi
serta mempunyai panorama alam yang sangat
unik dan indah, sehingga merupakan aset
ekoturisme dan sangat penting bagi kegiatan
penelitian dan pendidikan.
Kawasan Savana Baluran sebagian besar
telah terinvasi oleh A. nilotica, sehingga perlu
perhatian khusus agar dapat dikembalikan
menjadi ekosistem savana seperti aslinya.
Oleh karena itu upaya pemberantasan A.
nilotica harus dilakukan terus-menerus dengan
percepatan lebih tinggi dari sebelumnya.
Kegiatan ini meliputi penebangan pohon A.
nilotica, yang diikuti pencabutan/pembersihan
seedling tanaman di lokasi bekas penebangan
secara kontinyu, untuk menyakinkan bahwa
tanaman tersebut tidak tumbuh lagi. Apabila
kegiatan tersebut tidak dilaksanakan,
kelestarian ekosistem savana akan sulit
dipertahankan.
Penggembalaan liar yang tidak terkendali
juga berdampak pada kelestarian savana
Baluran. Apabila tidak segera ditangani
dengan serius, akan mengubah Savana
Baluran menjadi padang penggembalaan
ternak domestik. Salah satu akibatnya satwa
liar akan terusir, karena persaingan dengan
ternak dan aktivitas manusia/penggembala
yang masuk ke dalam kawasan. Menurut
penelitian Wind dan Amir (1977), pada tahun
1977 penyebaran satwa banteng masih
meliputi kawasan Baluran bagian utara, akan
tetapi dari hasil sensus mamalia besar pada
tahun 2000, tidak ditemukan lagi kelompok
satwa banteng di daerah tersebut, karena
adanya penggembalaan liar yang intensif.
Permasalahan-permasalahan di atas perlu
segera ditangani dan menjadi perhatian
segenap pihak secara serius. Apabila
diabaikan maka sangat dimungkinkan dalam
waktu yang relatif singkat Savana Baluran
akan tinggal cerita.


DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H.S. 1979. Dasar-dasar Pembinaan
Margasatwa. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
Anonim. 1999. Rencana Kegiatan Pemusnahan Acacia
nilotica tahun 2000/2001 di Kawasan Taman
Nasional Baluran Banyuwangi. Banyuwangi: TN
Baluran.
Anonim. 1999-2000. Laporan Bulanan Kebakaran Hutan
di TN Baluran. Banyuwangi: TN Baluran.
Utomo, B. 1997. Studi Produktivitas Savana Bekol
Taman Nasional Baluran Jawa Timur. Skripsi.
Jakarta: FMIPA UI.
Gunaryadi, D. 1996. Pengamatan Populasi Cervus
timorensis di Savana Bekol Taman Nasional
Baluran Jawa Timur. Disertasi.Yogyakarta: Fakultas
Pasca Sarjana UGM
Hafis, J. 1992. Telaah Beberapa Faktor Penyebab
Penggembalaan Liar di Taman Nasional Baluran
Utara Jawa Timur. Tesis. Yogyakarta: Fakultas
Pasca Sarjana UGM.
Riyawati. 1999. Studi Jenis Pakan Rumput Rusa Timor
(Cervus timorensis) di Savana Bekol Balai Taman
Nasional Baluran Banyuwangi Jawa Timur. Skripsi.
Malang: Institut Pertanian Malang.
Wind, J. and H. Amir. 1977. Proposed Baluran National
Park Management Plan 1978/1979 1982/1983.
Prepared for the Directorat of Nature Conservation,
Directorat General of Forestry, Republic of Indonesia.
Nature Conservation and Wildlife Management
Project of the Food and Agriculture Organisation of
the United Nations.

You might also like