23jipi 2005 PDF
23jipi 2005 PDF
23jipi 2005 PDF
23 - 34 23
KANDUNGAN AMONIUM DAN KALIUM TANAH DAN
SERAPANNYA SERTA HASIL PADI AKIBAT PERBEDAAN
PENGOLAHAN TANAH YANG DIPUPUK NITROGEN DAN KALIUM
PADA TANAH SAWAH
SOIL AMMONIUM AND POTASSIUM CONTENTS AND THEIR UPTAKE AS WELL AS
YIELD OF LOWLAND RICE AS AFFECTED BY TILLAGE SYSTEM AND APPLICATION
OF NITROGEN AND POTASSIUM FERTILIZERS
Soni Isnaini
Jurusan Agronomi, STIPER Dharma Wacana, Lampung
[email protected]
ABSTRACT
Tillage system can influence organic matter, nitrogen (N), and potassium (K) in the soil solution. Ammonium
(N-NH
4
+
) buffer capacity is influenced by K
+
in the soil solution. The objective of this study was to determine
the content of N-NH
4
+
and K exchangeable (K-ex.) and its uptake as well as yield of rice (Oryza sativa L.) in the
lowland rice fields under intensive/conventional tillage (CT) and no-tillage (NT) with application of nitrogen
(N) and potassium (K) fertilizers. The experiment was conducted during rainy season 1999/2000 (8
th
growth
season) in Kedaloman village, Talangpadang, Tanggamus, Lampung Province. The study was part of long-term
research established since dry season 1996. The experiment was set up in a completely randomized block design
with three replications. There were three treatments allocated in a factorial arrangement, i.e. (1) tillage system
(CT and NT); (2) K fertilizer (without K and 49.8 kg ha
-1
K); and (3) N fertilizer (46, 115, and 184 kg ha
-1
N).
Results of the study showed that N-NH
4
+
content and K uptake was affected by the interaction of tillage system,
N and K fertilizers. When 49.8 kg ha
-1
K was supplied, application of 184 kg ha
-1
N produced higher N-NH
4
+
content and K uptake than 46 kg ha
-1
N on both CT and NT. K-ex. and N uptakes on NT was 18% and 9%
higher than those on CT, respectively. Application of nitrogen at 184 kg ha
-1
N had the highest effect on K-ex.,
N uptake, and yield of rice. Application of 49.8 kg K ha
-1
produced K-ex.12% higher than without K. In
conclusion the N-NH
4
+
, K-ex., N and K uptake, and yield of rice were strongly determined by N fertilizer rather
than the tillage system or K application.
Key words: ammonium, lowland, nitrogen, potassium, rice, tillage
ABSTRAK
Penelitian lapangan dilakukan pada musim hujan (MH) 1999/2000 yang bertujuan untuk mengukur kandungan
dan serapan ammonium (N-NH
4
+
) dan kalium (K) dapat dipertukarkan (K-dd) tanah serta hasil padi (Oryza
sativa L.) pada tanah sawah yang diolah secara intensif (OTI) dan tanpa olah tanah (TOT) yang dipupuk N dan
K. Lahan percobaan terletak di desa Kedalaman, kecamatan Talangpadang, kabuapten Tanggamus Lampung
yang merupakan lokasi penelitian jangka panjang penerapan teknik pengolahan tanah sawah yang ditanami padi
secara monokultur yang telah berlangsung selama 7 musim tanam dimulai MK 1996. Percobaan berpola faktorial
yang disusun dalam rancangan acak kelompok (RAK). Perlakuan yang diuji terdiri atas tiga faktor perlakuan,
yaitu (1) sistem olah tanah (OTI dan TOT), (2) pemupukan K (tanpa K dan 49.8 kg ha
-1
K), dan (3) pemupukan
N (46, 115, 184 kg ha
-1
N). Kombinasi perlakuan diulang tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
interaksi antara ketiga faktor perlakuan berpengaruh terhadap kandungan N-NH
4
+
dan serapan K. Pemupukan
184 kg ha
-1
N menghasilkan kandungan N-NH
4
+
dan serapan K lebih tinggi daripada 46 kg ha
-1
N pada kedua
sistem olah tanah, jika pupuk 49.8 kg ha
-1
K diaplikasikan. Kalium -dd dan serapan N yang dihasilkan TOT
lebih tinggi 18% dan 9% daripada OTI. Pemupukan 184 kg ha
-1
N menghasilkan K-dd, serapan N, dan hasil
gabah lebih tinggi masing-masing 39%, 75%, dan 33% daripada 46 kg ha
-1
N, secara berurutan. Pemupukan
49.8 kg ha
-1
K menghasilkan K-dd lebih tinggi 12% daripada tanpa K. Disimpulkan bahwa N-NH
4
+
, K-dd,
serapan N dan K serta hasil gabah sangat ditentukan oleh pemupukan N daripada perlakuan pengolahan tanah
dan pemupukan K.
Kata kunci: amonium, kalium, nitrogen, olah tanah, padi, tanah sawah
Isnaini, S JIPI 24
PENDAHULUAN
Pengolahan tanah pada pertanaman padi
sawah selama ini diikuti dengan pengolahan tanah
yang intensif, yaitu pelumpuran. Pelumpuran akan
menekan pertumbuhan gulma, membuat
perakaran tanaman padi mudah berkembang, dan
mudah melakukan sistem pindah-tanam (De Datta,
1981). Ternyata pelumpuran juga berakibat
terhadap kondisi tanah menjadi lebih reduktif,
memerlukan air dan tenaga kerja cukup besar,
pembajakan menyebabkan partikel tanah dan hara
hanyut mengikuti aliran air dan sejalan dengan itu
dekomposisi bahan organik akan lebih lambat
(Sharma and De Datta, 1985
b
).
Pada jenis tanah-tanah tertentu budidaya
tanaman padi di sawah sebenarnya tidak mutlak
memerlukan pengolahan tanah sebab ketersediaan
air lahan sawah sudah dapat membantu proses
pelumpuran. Untuk tujuan tersebut, penelitian dan
pengembangan budidaya tanpa olah tanah (TOT)
pada padi sawah perlu dilakukan. Dengan sistem
TOT, di samping tanah dan air dapat dilestarikan,
energi, biaya, dan waktu juga dapat dihemat.
Bahkan, jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan
dapat ditekan dan pendapatan petani dapat
ditingkatkan (Isnaini dan Hermawan, 1998).
Tanpa olah tanah adalah cara persiapan tanah
untuk budidaya tanaman dengan tanpa
mengganggu tanah. Tanah dibiarkan seperti apa
adanya, kecuali tempat bertanam atau tempat
benih ditugalkan sedangkan gulma dan tunas-tunas
sisa pertanaman musim sebelumnya dikendalikan
dengan herbisida (Dickey et al., 1992).
Sanchez (1973
a,b
) menyimpulkan bahwa
walaupun pelumpuran dalam pengolahan tanah
sempurna mengurangi kehilangan air dan hara
akibat perkolasi, tetapi belum ditemukan bukti-
bukti bahwa pelumpuran memperbaiki
pengambilan unsur hara oleh tanaman padi, dan
kebutuhan air untuk pelumpuran juga cukup besar,
yaitu 25%. Sejalan dengan hasil penelitian
Sanchez (1973
a
) di atas, Sharma and De Datta
(1985
a
,
b
) dan Isnaini (1996) memperoleh hasil
yang serupa. Penemuan di atas mempunyai akibat
bahwa pelumpuran itu tidak relevan dalam
memberikan keuntungan untuk menciptakan
pengolahan tanah yang lembut, mengurangi
kehilangan hara dan air, dan mengendalikan
gulma. Untuk itu, perlu dicari cara pengolahan
tanah yang lain yang dapat memproduksi hasil
padi yang sama dengan cara pengolahan tanah
konvensional (pelumpuran). Mungkin teknologi
sistem TOT cocok untuk diterapkan. Bahkan
Munir (1997) menyimpulkan bahwa sistem
budidaya padi tidak lagi harus pada tanah
tergenang dan berlumpur.
Pengendalian gulma dengan herbisida
tentunya dapat menambah bahan organik tanah
yang berasal dari tunggul dan turiang padi yang
mati. Pada lahan sawah TOT, mulsa yang berasal
dari tunggul, turiang, dan gulma yang telah
dikendalikan dengan herbisida bermanfaat sebagai
sumber bahan organik (Isnaini, 1996). Salah satu
faktor yang mempengaruhi dekomposisi bahan
organik adalah keberadaan nitrogen (N) yang
tersedia bagi tanaman dan jasad renik. Pemberian
N dan bahan organik secara bersama-sama
diharapkan dapat meningkatkan N tersedia tanah.
Menurut Kumuzawa (1984), imobilisasi dan
mineralisasi N diregulasi dengan menambahkan
bahan organik dan N secara bersamaan, sehingga
penyerapan N oleh tanaman akan meningkat,
diharapkan hasil bijipun meningkat pula.
Pada prinsipnya pengolahan tanah dapat
mempengaruhi jumlah bahan organik dan N tanah.
Begitu pula, K di dalam larutan tanah akan
terpengaruhi di samping proses penjerapan oleh
mineral liat. Ion amonium (N-NH
4
+
) dan ion
kalium (K
+
) hasil dekomposisi bahan organik dan
pemupukan urea dan KCl dapat dijerap oleh
mineral liat. Beberapa penelitian tentang
hubungan antara pengolahan tanah maupun
akumulasi bahan organik dan karakteristik
pertukaran N-NH
4
+
dan atau K
+
sudah banyak
dilakukan, khususnya pada lahan kering daerah
subtropis (Lumbanraja and Evangelou, 1994),
sedangkan pada lahan basah (sawah) masih sangat
jarang dilakukan, di antaranya telah dilakukan oleh
Pasricha (1976), Pasricha and Singh (1977), dan
Lumbanraja et al. (1997). Informasi tentang
perilaku K
+
di dalam tanah sawah, baik yang
berasal dari pupuk maupun bahan organik, dan
mineral tanah dalam hubungannya dengan
Kandungan ammonium dan kalium tanah sawah JIPI 25
keberadaan ion N-NH
4
+
dari urea dan bahan
organik serta hubungannya dengan pengolahan
tanah sawah tropis belum tersedia.
Penerapan tanpa olah tanah sawah dengan
karakteristik tanah yang berbeda, terutama
kandungan bahan organiknya, masih jarang
dilakukan. Sejalan dengan itu, informasi yang
tersedia juga sedikit. Atas dasar itu, perlu
dilakukan penelitian yang mempelajari
pengolahan tanah sawah dan pemupukan terutama
N dan K hubungannya dengan kandungan hara
tanah dan hasil padi. Tujuan penelitian untuk
mempelajari kandungan N-NH
4
+
, K-dd dan
serapan hara N dan K serta hasil padi pada dua
cara pengolahan tanah sawah yang dipupuk N dan
K.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di desa Kedaloman,
kecamatan Talangpadang, kabupaten Tanggamus
( 60 km dari kota Bandar Lampung) pada jenis
tanah Inceptisols (Isnaini, 2001) pada ketinggian
500-600 m dari muka laut dengan curah hujan
termasuk golongan iklim B (basah). Lahan tempat
penelitian merupakan lokasi penelitian jangka
panjang penerapan teknik pengolahan tanah sawah
yang ditanami padi secara monokultur yang telah
berlangsung selama 7 musim tanam (MT) sejak
MK 1996, sedangkan penelitian ini sendiri
dilakukan pada MT ke-8 pada MH 1999/2000.
Penetapan kandungan hara dalam tanah dan
tanaman dilakukan di laboratorium Balitbio
Tanaman Pangan Bogor.
Bahan yang digunakan terdiri atas pupuk urea
prill (460 g kg
-1
N) dan KCl (498 g kg
-1
K) sebagai
perlakuan, SP-36 (158 g kg
-1
P) 100 kg ha
-1
,
herbisida berbahan aktif (b.a.) isopropilamina
glyfosat 240 g L
-1
(Polaris 240 AS), benih padi
IR64 dan insektisida karbofuran 30 g kg
- 1
(Curater 3 G) bahan-bahan untuk menganalisis
tanaman di laboratorium. Alat-alat pengolahan
tanah yang digunakan disesuaikan dengan
kebiasaan petani setempat, dan alat semprot yang
digunakan bertipe T.
Percobaan berpola faktorial yang disusun
dalam rancangan acak kelompok (RAK).
Perlakuan yang diuji terdiri atas tiga faktor
perlakuan, yaitu (1) sistem olah tanah (t) adalah t
1
= OTI (intensif/konvensional; cara petani) dan t
2
= TOT, (2) pemupukan K (k) dengan dua tingkat
dosis, yaitu k
0
= tanpa KCl dan k
1
= 49.8 kg ha
-1
K (setara 100 kg ha
-1
KCl), dan (3) pemupukan N
(n) dengan tiga tingkat dosis, yaitu n
1
= 46 kg ha
-
1
N, n
2
= 115 kg ha
-1
N, dan n
3
= 184 kg ha
-1
N
(setara 100, 250, dan 400 kg ha
-1
urea). Kombinasi
perlakuan diulang tiga kali sehingga seluruhnya
terdapat (2x2x3)3 = 36 satuan percobaan.
Sehari setelah tanah digenangi diambil
contoh tanah beserta airnya dari semua kombinasi
perlakuan secara komposit dari tiga ulangan untuk
menetapkan beberapa sifat kimia, yaitu pH-air, C-
organik (metode Kurmis), N-total (metode
Kjeldahl), nisbah C:N, untuk menetapkan N-NH
4
+
(1 N KCl), P-tersedia (Bray I), sedangkan metode
ekstraksi 1 N NH
4
C
2
H
4
O
2
pH 7,0 digunakan untuk
menetapkan K-dd, Ca-dd, Mg-dd, dan Na-dd, Fe
dan Mn (metode DTPA), dan KTK (metode
perkolasi).
Data yang dikumpulkan terdiri atas : N-NH
4
+
metode ekstraksi 1 N KCl dan K-dd metode 1 N
NH
4
C
2
H
4
O
2
pH 7,0. Serapan hara (g rumpun
-1
)
dalam tanaman padi yang meliputi hara N dan K
ditetapkan dengan rumus: status hara (g kg
-1
) x
bobot kering tanaman (kg rumpun
-1
). Hasil padi
yang diambil dari petakan panen berukuran 1 x 2
m
2
yang dipanen saat 102 hst. Pengamatan
dilakukan pada saat primordium bunga atau 42
hst untuk melihat kadar hara dalam tanah dan
tanaman padi. Contoh tanaman yang diambil
sebanyak empat rumpun untuk tiap satuan
percobaan yang ditentukan secara acak di luar
petakan panen. Cara pengambilan contoh tanah
dilakukan secara diagonal terstruktur dari lima titik
pengamatan; disatukan dan diambil lebih kurang
1.0 kg beserta air sawahnya.
Data yang terkumpul dianalisis ragam
multivariat untuk kelompok data: (1) kandungan
N-NH
4
+
dan K-dd dan (2) serapan N dan K,
sedangkan hasil gabah dianalisis ragam univariat.
Sebelum kuadrat tengah galat masing-masing data
digunakan sebagai penduga tak-bias, terlebih
dahulu diuji dengan uji Bartlett untuk menguji
kehomogenan ragam tiap perlakuan dan diuji
Isnaini, S JIPI 26
ketak-aditifan antara lingkungan dan perlakuan
yang dikenalkan Tuckey (Steel and Torrie, 1980).
Untuk membandingkan perbedaan antara nilai
tengah perlakuan dilakukan uji Beda Nyata
Terkecil (BNT) pada taraf 5%.
Untuk cara TOT, gulma dan turiang
disemprot dengan herbisida glyfosat dengan
volume semprot 500 L ha
-1
larutan; seminggu
setelah penyemprotan tanah digenangi selama 21
hari. Untuk OTI, tanah dicangkul sekali lalu
digenangi satu minggu, dicangkul sekali lagi, lalu
digaru dan tanah digenangi 14 hari dan lahan siap
ditanami bibit padi.
Bibit padi IR64 ditanam di antara dua
tunggul padi untuk cara tanpa olah tanah,
sedangkan pada olah tanah sempurna ditanamkan
dengan jarak 22.5 cm x 22.5 cm (kira-kira 19.750
rumpun ha
-1
) sebanyak 3-4 batang tiap lubang
tanam; yang dipelihara 3 batang saja (penjarangan
dilakukan saat 15 hst). Pupuk urea prill diberikan
secara bertahap sesuai dengan perlakuan, yaitu 1/
3 bagian saat tanam, 1/3 bagian saat 21 hst, dan
sisanya saat primordium bunga. Pupuk SP-36
seluruhnya diberikan saat tanam bersamaan 1/2
dosis pupuk KCl, sedangkan 1/2 dosis KCl sisanya
diberikan saat 21 hst. Pemberian pupuk urea, SP-
36, dan KCl secara disebar rata. Pemeliharaan
dilakukan secara intensif, karbofuran 30 g kg
- 1
diberikan saat tanam dan saat primordium bunga.
Pengendalian gulma dilakukan sesaat setelah
kepadatan gulma diamati 21 hst dengan
menggunakan metil metsulfuron 200 g kg
-1
.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kepadatan gulma dan turiang padi yang
merupakan sumber bahan organik sebelum
pengolahan tanah dilakukan memperlihatkan
bahwa turiang padi tumbuh secara merata di setiap
petak percobaan. Pada petakan percobaan, jenis
gulma yang tumbuh sebanyak 24 spesies,
Echinochloa colonum merupakan gulma dari
golongan berdaun kecil yang mendominasi
petakan percobaan pada posisi pertama sebesar
75%, kedua Nasturtium mantanum (33%), ketiga
Ageratum conyzoides dan Digitaria ciliaris (25%)
lalu diikuti oleh spesies gulma lainnya.
Lapisan olah pada kedalaman 0-20 cm
menunjukkan bahwa tanah sawah Fragiaquepts
Aeric mempunyai pH antara 5.83-6.62 (agak
masam). Penggenangan menyebabkan nilai pH
meningkat mendekati netral hingga saat 42 hsd
(hari setelah digenangi) atau 21 hst, setelah itu
menurun sedikit saat 63 hsd (42 hst). Nilai-nilai
berikut adalah kisaran hasil analisis hara tanah dari
semua kombinasi perlakuan: kandungan C-
organik berkisar 12.4-14.7 g kg
-1
, N tanah total
1.2-1.6 g kg
-1
, nisbah C:N 8.2-13.8, KTK 14.87-
17.75 cmol
c
kg
-1
, K-dd 0.23-0.35 cmol
c
kg
-1
, Mg-
dd 4.71-5.64 cmol
c
kg
-1
, N-NH
4
+
61.1-204.5 mg
kg
-1
, P-tersedia 3.3-6.3 mg kg
-1
, Fe 38.43-69.02
mg kg
-1
, dan Mn 7.96-42.04 mg kg
-1
. Perlakuan
TOT selama 7 MT memberikan N total dan Mg-
dd lebih tinggi daripada OTI. Hal ini mungkin
karena bahan organik yang berada di atas tanah
permukaan yang langsung bersentuhan dengan
pupuk lebih mudah terdekomposisi.
Kandungan N-NH
4
+
tanah
Kandungan N-NH
4
+
tanah pada dua cara olah
tanah sawah dengan pemupukan N bervariasi
dosis, tanpa dan dipupuk K disajikan dalam Tabel
1. Kandungan N-NH
4
+
tanah sawah yang diolah
intensif, baik tanpa maupun dengan K pada
pemupukan 46 dan 115 kg ha
-1
N peningkatannya
belum berbeda secara statistika, tetapi pada 184
kg ha
-1
N yang dipupuk K meningkatkan N-NH
4
+
tanah 39.63% daripada tanpa K. Pada TOT,
variasi kandungan N-NH
4
+
tanah memiliki pola
yang sama dengan OTI.
Kandungan ammonium dan kalium tanah sawah JIPI 27
Tabel 1. Kandungan N-NH
4
+
tanah sawah yang diolah intensif dan tanpa olah tanah yang dipupuk N
bervariasi dosis dan K
Berdasarkan analisis ragam, TxKxN teruji nyata. Angka-angka yang ditandai dengan huruf yang sama (kecil arah kolom,
besar arah baris) tidak berbeda menurut uji BNT 0.05 = 3.86; KK = 19.42%.
Fakta-fakta di atas didukung oleh hubungan
antara pemupukan N dengan cara pengolahan
tanah maupun pupuk K. Isnaini (2001) telah
menghitung akibat pemupukan K dan N yang
dilakukan secara bersama-sama mempunyai
pengaruh yang baik dalam menyediakan N tanah
dengan r = 0.90*, terutama dalam budidaya padi
sawah TOT. Kandungan N-NH
4
+
tanah semakin
meningkat dengan adanya tambahan dari pupuk
N dan pemupukan K. Menurut Fenn et al. (1982
b
),
K
+
yang berasal dari pemupukan K mampu
menurunkan kehilangan NH
3
.
Lebih lanjut Isnaini (2001) menyatakan
bahwa kandungan N bahan organik yang
diharapkan dapat menyumbangkan N ke dalam
tanah yang berasal dari gulma dan turiang padi
mempunyai peranan yang kecil. Hal ini diduga
berkaitan sifat N itu sendiri yang mudah hilang
dari sistem budidaya, terutama pada budidaya padi
sawah, baik yang menguap maupun melalui
mekanisme denitrifikasi. Di pihak lain ternyata
persentase penurunan bobot bahan organik yang
didekomposisikan mempunyai pengaruh yang
nyata terhadap kandungan N-NH
4
+
, artinya dalam
jangka panjang bahan organik dapat menyediakan
N tanah.
Hubungan antara parameter tanah dengan N-
NH
4
+
ternyata dari enam variabel tanah yang
dilihat hubungannya hanya dua variabel saja yang
memberikan pengaruh nyata, pertama K-dd dan
kedua N tanah total (Tabel 2). Fakta yang pertama
di atas sejalan dengan hasil penelitian Opuwaribo
and Odu (1975) pada beberapa profil tanah di
Nigeria, N-NH
4
+
yang terjerap secara positif dan
nyata berkorelasi dengan persentase liat dan K-
dd.
Hal itu disebabkan penjerapan N-NH
4
+
dan
K
+
prosesnya serupa (Dibb and Thompson, 1985).
Pada temuan yang kedua, Smith and Stanford
(1971) mendapatkan fakta yang sama bahwa
kandungan N tanah total berkorelasi nyata dengan
ketersediaan N tanah. Di pihak lain Dalal (1977)
menyatakan bahwa kandungan N-NH
4
+
tanah tidak
nyata berkorelasi dengan C-organik.
Kapasitas tukar katuion tidak berkorelasi
nyata dengan kandungan N-NH
4
+
(Tabel 2). Fakta
dalam penelitian ini bertolak belakang dengan
laporan Fenn et al. (1982
a
) yang menunjukkan
bahwa KTK berpengaruh terhadap kandungan N-
NH
4
+
tanah.
Perbedaan ini mungkin berkaitan dengan
jenis mineral liat yang terdapat dalam tanah yang
dipelajari. Mineral liat yang terdapat pada tanah
tempat penelitian ini adalah haloisit (tipe 1:1),
sedangkan studi yang dilakukan peneliti di luar
negeri umumnya mempunyai tipe 2:1
Isnaini, S JIPI 28
Tabel 2. Nilai koefisien korelasi (r) dan koefisien regresi () antara parameter tanah dengan N-NH
4
+
* nyata pada taraf 5% (n = 12) (r = 0.59); tn = tidak nyata
Tabel 3. Kandungan K-dd
1)
tanah sawah, serapan N, dan hasil gabah kering giling (GKG) yang diolah sem-
purna dan tanpa olah tanah yang dipupuk N bervariasi dosis dan K
Data ditransformasi (X)
1/2
;
Berdasarkan analisis ragam, TxKxN tidak teruji nyata, hanya T atau K dan N teruji nyata.
Angka-angka yang ditandai dengan huruf yang sama (arah kolom tiap perlakuan) tidak berbeda menurut uji BNT 0.05
Kandungan K-dd tanah
Kandungan K-dd tanah pada dua cara olah
tanah sawah dengan pemupukan N bervariasi
dosis, tanpa dan dipupuk K disajikan dalam Tabel
3. Pemupukan 184 kg ha
-1
N menghasilkan
kandungan K-dd tanah lebih besar dibandingkan
46 dan 115 kg ha
-1
N (Tabel 3). Dari transformasi
linear menunjukkan bahwa pemupukan >150 kg
ha
-1
N merupakan batas kritis bagi perbedaan
kandungan K-dd (hasil perhitungan). Kation N-
NH
4
+
dari pupuk urea merupakan bentuk N yang
dominan pada tanah sawah yang mampu mengusir
ion K
+
dari kompleks jerapan.
Pupuk urea selain menyumbang N tersedia
dalam bentuk N-NH
4
+
, juga menambah N tanah
total sebagai N cadangan. Isnaini (2001) telah
menghitung bahwa terdapat hubungan yang
positip antara kandungan N tanah total dan N-
NH
4
+
terhadap K-dd tanah dengan koefisien
korelasi (r) masing-masing sebesar r
N-total
= 0.81*
dan r
N-NH4+
= 0.89*. Terlihat bahwa kandungan
N-NH
4
+
lebih bermakna daripada N tanah total
dalam penyediaan K-dd. Dalam praktek sehari-
hari, para petani menggunakan pupuk N (urea)
dalam jumlah yang cukup tinggi, bahkan
kebanyakan petani belum menggunakan pupuk K
dalam usaha taninya. Hasil percobaan ini sejalan
dengan temuan Barbayiannis et al. (1996) dan
Lumbanraja (1994) bahwa N-NH
4
+
lebih mampu
menukar K
+
dari fase jerapan.
Pemupukan 49.8 kg ha
-1
K memberikan
kandungan K-dd lebih tinggi 12% daripada tanpa
K. Jika dibandingkan dengan hasil analisis awal
K-dd (0.23-0.35 cmol
c
kg
-1
atau rata-rata 0.29
cmol
c
kg
-1
) terjadi kenaikan kandungan K-dd
hingga saat pengamatan 42 hst. Hasil temuan ini
mempunyai efek yang menguntungkan bagi
kesuburan tanah maupun terhadap pertumbuhan
padi. Beberapa peneliti sebelumnya telah
mengungkapkan hasil yang sama dengan temuan
ini. Wanasuria et al. (1981) menyatakan bahwa
Kandungan ammonium dan kalium tanah sawah JIPI 29
pemupukan 60 kg ha
-1
K meningkatkan K tanah
dari sekitar 20 mg kg
-1
pada tanpa K menjadi
sekitar 30 mg kg
-1
pada tanah liat, sedangkan pada
tanah lempung liat berpasir peningkatan itu
sedikit, yaitu sekitar 23 mg kg
-1
. Pemupukan K
dapat meningkatkan K-dd tanah, di pihak lain
pemupukan NP tanpa K menyebabkan terkurasnya
K-dd tanah, terbukti dari kandungan K-dd pada
pemupukan NP lebih rendah daripada kontrol
(Mariam, 1998). Hal ini dimungkinkan, karena
pemakaian hara yang tidak berimbang terutama
penggunaan N dan P yang semakin meningkat
akan menguras hara K tanah.
Kandungan K-dd pada kedua cara
pengolahan tanah meningkat dibandingkan saat
awal percobaan, justru peningkatan lebih tinggi
pada TOT daripada OTI. Dengan kata lain, TOT
lebih mampu menyediakan K-dd daripada OTI
selama percobaan ini dilaksanakan. Hal ini
ditunjang oleh kandungan K bahan organik pada
TOT lebih tinggi daripada OTI (Isnaini, 2001).
Menurut Malavolta (1985), K yang terdapat dalam
bahan organik sebagai residu tanaman sangat
mempengaruhi efisiensi penggunaan pemupukan
K. Pendapat yang sama telah dikemukakan oleh
Oh (1984).
Menurut Malavolta (1985), kapasitas tukar
kation dan pH mempengaruhi kandungan K-dd
tanah. Sejalan dengan pendapat di atas, temuan
pada penelitian ini mengungkapkan bahwa KTK
berpengaruh nyata, tetapi tidak demikian halnya
peubah pH tanah (Isnaini, 2001). Pada tanah
sawah yang digenangi, pH bukanlah faktor
pembatas yang penting bagi pertumbuhan padi
karena nilai pH tetap berada di sekitar nilai 6-7
bagi kebanyakan tanah sawah. Kandungan bahan
organik memberikan koefisien korelasi yang lebih
besar dari KTK, tetapi dengan slope yang sama.
Temuan ini dapat dijelaskan bahwa KTK tanah
sangat ditentukan oleh bahan organik, karena
bahan organik itu sendiri memiliki nilai KTK
tertentu. Fakta yang ditemukan oleh Luna-Orea
et al. (1996) menunjukkan bahwa hara K
merupakan hara yang mudah sekali dibebaskan
dari dekomposisi bahan organik menurut sekuens
K>P>N>Mg>Ca.
Serapan N
Serapan N oleh padi sawah pada dua cara
olah tanah sawah dengan pemupukan N bervariasi
dosis, tanpa dan dipupuk K disajikan dalam Tabel
3. Pemupukan 184 kg ha
-1
N menghasilkan
serapan N lebih besar dibandingkan 46 dan 115
kg ha
-1
N (Tabel 3). Peningkatan serapan N ini
berhubungan erat dengan bobot biomassa dengan
koefisien korelasi (r) = 0.97* dan kandungan N
tanaman padi (r=0.94*). Hasil perhitungan
memperlihatkan bahwa kandungan N tanaman
lebih menentukan kenaikan serapan N dengan nilai
koefisien regresi = 0.08, atau dengan kata lain
setiap peningkatan 0.08 g kg
-1
kandungan N
tanaman, maka serapan N meningkat 1 g rumpun
-
1
. Menurut Yoshida (1981), total kandungan hara
dalam tanaman padi dipengaruhi oleh kandungan
hara di dalam bahan kering dan bobot bahan
kering.
Pemupukan 184 kg ha
-1
N meningkatkan
serapan N oleh tanaman padi sebesar 75.44% dan
25% masing-masing dibandingkan 46 dan 115 kg
ha
-1
N. Hal ini disebabkan N yang diangkut selama
fase pertumbuhannya melalui aliran massa, difusi,
dan intersepsi akar menuju limbung
diakumulasikan dalam jerami (pupus) (data tidak
ditampilkan). Dengan meningkatnya kandungan
N, maka fotosintat yang dihasilkan semakin besar,
sejalan dengan itu diharapkan hasil padi juga
meningkat. Yoshida (1981) menyebutkan bahwa
sintesis N-protein yang meningkat dapat memacu
pertumbuhan dan hasil tanaman. Fakta yang
ditemukan dari hasil penelitian Mariam (1998)
menyebutkan bahwa serapan N oleh tanaman padi
meningkat dengan semakin meningkatnya dosis
N.
Serapan N pada pemupukan 49.8 kg ha
-1
K
mempunyai nilai yang sama dibandingkan tanpa
K. Peningkatan serapan N lebih banyak
ditentukan oleh bobot pupus tanaman daripada
kandungan hara N itu sendiri dalam tanaman padi,
yaitu 35.42 vs. 38.02 g rumpun
-1
dan 20.97 vs.
21.37 g kg
-1
secara berurutan untuk tanpa K dan
pemupukan K. Temuan yang serupa telah
dikemukakan Isnaini (1999), selanjutnya Mariam
Isnaini, S JIPI 30
(1998) menyatakan bahwa serapan N pada jerami
MT ke-4 perlakuan NP lebih rendah 20.17%
daripada NPK.
Pada tanah sawah yang diolah intensif
memberikan serapan N yang sama besarnya
dengan TOT. Hal ini didukung oleh data bobot
pupus dan bobot akar tidak berbeda pada kedua
cara olah tanah, begitu pula kandungan hara N
pupus pada TOT sedikit lebih besar daripada OTI,
yaitu sekitar 4%. Pola yang serupa ditemukan
pada akar tanaman padi. Perbedaan yang kecil
inilah yang diduga menyebabkan serapan N
bernilai sama antara OTI dan TOT. Dalam laporan
sebelumnya, Sharma and De Datta (1985b)
mengungkapkan bahwa serapan N tidak nyata
dipengaruhi oleh perbedaan cara pengolahan tanah
sawah.
Serapan K
Serapan K pada dua cara olah tanah sawah
dengan pemupukan N bervariasi dosis, tanpa dan
dipupuk K disajikan dalam Tabel 4. Pada tanaman
padi yang ditanam dengan OTI meningkatkan
serapan K 25.86% pada pemupukan 115 kg ha
-1
N dan dengan K dibandingkan tanpa K.
Sedangkan pada TOT, serapan K bervariasi secara
homogen akibat pemupukan K maupun tanpa K
yang diaplikasi dengan pupuk N berbagai dosis.
Serapan K pada 184 kg ha
-1
N peningkatannya
nyata dibandingkan 46 kg ha
-1
N pada kedua cara
olah tanah yang dipupuk K maupun tanpa K.
Hara K yang dapat diambil oleh padi sangat
ditentukan oleh kandungan K tanah, yaitu K-dd
(Tabel 4). Kalium-dd meningkat dengan semakin
tinggi dosis pemupukan N yang diaplikasikan.
Perbedaan serapan K di atas lebih banyak
ditentukan oleh efek interaksi orde satu antara
pemupukan K dan N. Ditinjau dari cara
pengolahan tanah, TOT memberikan pengaruh
yang menguntungkan jika pemupukan K dan N
secara bersama-sama diberikan daripada OTI. Hal
ini dapat dijelaskan bahwa serapan N dapat
memacu penyerapan K, karena N dan K dalam
tanaman padi dibutuhkan dalam reaksi fisiologi
dan biokimia dengan meningkatnya laju
fotosintesis. Laporan Potash & Phosphate
Institute (1989) mengungkapkan bahwa dengan
pemupukan 90 kg ha
-1
N maka hasil padi lebih
tinggi daripada 30 kg ha
-1
N pada pemupukan K
berkisar dari 24.9-74.7 kg ha
-1
K. Dalam
penelitian ini, secara visual tanaman padi yang
menerima pemupukan N tinggi dan dipupuk K
memperlihatkan pertumbuhan yang kokoh dan
semua tanaman padi tidak mengalami rebah.
Menurut De Datta (1981), K memperkuat
perakaran sehingga padi sawah lebih tahan rebah
akibat pemupukan N takaran tinggi.
Tabel 4. Serapan K oleh padi pada tanah sawah yang diolah intensif dan tanpa olah tanah yang dipupuk N
bervariasi dosis dan K
Berdasarkan analisis ragam, TxKxN teruji nyata. Angka-angka yang ditandai dengan huruf yang sama (kecil arah kolom
untuk setiap pemupukan K, besar arah baris untuk setiap dosis N) tidak berbeda menurut uji BNT 0.05 = 0.10; KK =
10.25%
Kandungan ammonium dan kalium tanah sawah JIPI 31
Menurut Malavolta (1985), K-dd dapat
merupakan ion K yang diambil dari larutan tanah
dan berada dalam kesetimbangan dinamis dengan
ion K dalam larutan tanah. Kalium -dd merupakan
cadangan K yang berfungsi memperbaharui
konsentrasi K larutan. Tabel 3 menunjukkan
bahwa kandungan K-dd tanah nilainya lebih dari
0.2 cmol
c
kg
-1
. Menurut Quijano (1996), K-dd
tanah sekitar 0.2 cmol
c
kg
-1
merupakan nilai yang
cukup untuk mendukung pertumbuhan padi yang
sehat.
Hasil gabah kering giling
Pemupukan 184 kg ha
-1
N menghasilkan hasil
gabah kering giling (GKG) lebih tinggi daripada
46 kg ha
-1
N (Tabel 3). Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa ketidak-berbedaan efek
interaksi orde dua dan orde satu pada peubah hasil
GKG tidak sejalan dengan peubah-peubah
terdahulu terutama pada studi dekomposisi bahan
organik dan kadar hara dalam tanah, yaitu C-
organik, N-total, nisbah C:N, dan N-NH
4
+
serta
KTK, sedangkan serapan hara K dan Mg berbeda
nyata, kecuali N yang tidak berbeda nyata (Isnaini,
2001). Fakta yang terakhir disebutkan diduga
yang menyebabkan efek interaksi pada hasil GKG
tidak nyata.
Hasil analisis regresi dengan teknik langkah
mundur antara serapan hara N, K, dan Mg (data
serapan Mg tidak ditampilkan) dengan hasil GKG
menunjukkan nilai R
2
= 0.75* dengan mengikuti
persamaan: GKG = 0.285 + 0.053N 0.067K +
0.008Mg. Kehadiran K menurunkan hasil GKG,
sedangkan N dan Mg meningkatkan hasil GKG.
Setelah peubah serapan K dikeluarkan dari
persamaan ternyata R
2
menurun sedikit menjadi
0.74, dengan persamaan: GKG = 0.257 + 0.009N
+ 0.008Mg. Artinya N dan Mg dalam budidaya
padi sangat penting peranannya terutama pada
fotosintesis, karena N dan Mg adalah bagian
integral dari klorofil tanaman. Selain C, H, dan
O, hara yang terdapat dalam klorofil baik klorofil
a maupun klorofil b adalah N dan Mg (Olson and
Kurtz, 1982). Fungsi klorofil sebagai dapur bagi
tanaman berperan baik, karena didukung oleh
faktor iklim salah satunya adalah curah hujan,
terlihat bahwa saat penelitian dilaksanakan hujan
yang turun sangat jarang. Hal ini sering sekali
berkaitan erat dengan keadaan atmosfer yang lebih
cerah, sehingga radiasi surya yang sampai ke daun
akan maksimal.
Hasil GKG dengan teknik TOT lebih tinggi
10.94% dibandingkan OTI, tetapi belum nyata
secara statistik (Tabel 3). Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa penerapan pengolahan tanah
yang berbeda antara OTI dan TOT memberikan
hasil yang belum konsisten, terutama terhadap
hasil GKG. Pada penelitian jangka panjang,
Isnaini (2001) melaporkan bahwa hasil GKG
selama 8 MT hanya pada MT ke-1, ke-2, dan ke-
5 saja perbedaan antar-sistem olah tanah nyata.
Sistem TOT memproduksi hasil GKG lebih tinggi
dibandingkan OTI. Beberapa peneliti telah
melaporkan bahwa perbedaan cara pengolahan
tanah sawah akan menyebabkan perbedaan hasil
gabah (Sharma, 1994; Sharma and De Datta,
1985a). Perbedaan-perbedaan itu didukung oleh
sifat-sifat tanah, musim dan teknis penelitian
lainnya.
Hasil GKG yang dipupuk K dan tanpa K
hanya berbeda 4.5% yang tidak nyata secara
statistik (Tabel 3). Ketidak-berbedaan itu
diakibatkan oleh komponen hasil padi yang tidak
berbeda antara perlakuan pemupukan K (Isnaini,
2001), di pihak lain ternyata kandungan K-dd
tanah yang cukup tersedia bagi tanaman (K-dd
sedang), yaitu rata-rata 0.36 cmol
c
kg
-1
(Tabel 3).
Menurut Vilela and Ritchey (1985), pada tanah
tropis yang terlapuk lanjut dengan kisaran K-dd
antara 0.15-0.45 cmol
c
kg
-1
cukup untuk
mendukung pertumbuhan tanaman untuk
berproduksi dengan baik.
Untuk melihat neraca K dalam tanah dapat
berpedoman pada perbandingan serapan K oleh
padi saat pertumbuhan maksimum (42 hst) (Tabel
4), secara rata-rata pada tanpa K sebesar 0.55 g
rumpun
-1
dan pada pemupukan 49.8 kg ha
-1
K
sebesar 0.60 g rumpun
-1
. Berarti serapan K sebesar
109 dan 119 kg K ha
-1
dengan anggapan populasi
tanaman padi sekitar 197.500 rumpun ha
-1
. Hasil
perhitungan menghasilkan bahwa efisiensi serapan
K hanya mendekati 10%, artinya hanya 10% K
yang diberikan dapat diserap oleh padi selama
Isnaini, S JIPI 32
42 hst. Lebih lanjut Dobermann et al. (1996)
mengemukakan bahwa efisiensi agronomi K
(EA
K
) dapat dihitung dengan rumus: EA
K
= (Y
NPK
Y
NP
)/pupuk K yang diberikan (Y = hasil GKG;
semua satuan kg ha
-1
). EA
K
= (6900 6600) kg
ha
-1
)/49.8 kg ha
-1
= 6.02, artinya setiap kita
memupuk 1 kg ha
-1
K akan dihasilkan 6.02 kg
hasil GKG.
Tabel 3 memperlihatkan bahwa pada tanpa
K kandungan sebesar K-dd 0.34 cmol
c
kg
-1
setara
dengan 265.2 kg ha
-1
K. Hal ini berarti di dalam
tanah masih tersisa sekitar 156.2 kg ha
-1
K, karena
yang diserap padi hanya sebesar109 kg ha
-1
K
dengan anggapan kehilangan K tidak terjadi.
Sedangkan pada petakan yang dipupuk 49.8 kg
ha
-1
K dengan kandungan K-dd 0.38 cmol
c
kg
-1
,
berarti terjadi akumulasi sebesar 296.4 + 49.8 kg
ha
-1
K = 346.2 kg ha
-1
K dengan neraca yang positif
sebesar 227.2 kg ha
-1
K (yang diserap padi 119
kg ha
-1
K); sumbangan dari air irigasi belum
dipertimbangkan.
Jika selama 1 MT diserap 115 kg ha
-1
K
berarti pada petakan tanpa K pada pertanaman MT
selanjutnya tidak perlu dipupuk K, sedangkan
petakan yang dipupuk K dapat mencapai 2 MT.
Temuan ini bertolak belakang dengan pernyataan
Doberman et al. (1996) bahwa neraca K pada
berbagai lokasi penelitian di Asia diperoleh neraca
negatif dengan rata-rata tiap musim tanamnya 34-
63 kg ha
-1
K pada pemupukan tanpa K (kontrol,
N, dan NP) yang diamati saat panen. Perbedaan
hasil penelitian ini, berkaitan dengan sumber air
irigasi yang mengandung 3.37 mg kg
-1
K suatu
nilai yang cukup tinggi, karena tanaman padi
selama 1 MT menggunakan air sekitar 1000 L.
KESIMPULAN
Terdapat interaksi antara pengolahan tanah,
pemupukan N dan K dalam mempengaruhi
kandungan N-NH
4
+
dan serapan K. Pemupukan
184 kg ha
-1
N menghasilkan kandungan N-NH
4
+
dan serapan K lebih tinggi daripada 46 kg ha
-1
N
pada kedua sistem olah tanah, jika pupuk 49.8 kg
ha
-1
K diaplikasikan. Kalium -dd dan serapan N
yang dihasilkan TOT lebih tinggi 18% dan 9%
daripada OTI. Pemupukan 184 kg ha
-1
N
menghasilkan K-dd, serapan N, dan hasil gabah
lebih tinggi masing-masing 39%, 75%, dan 33%
daripada 46 kg ha
-1
N, secara berurutan.
Pemupukan 49.8 kg ha
-1
K menghasilkan K-dd
lebih tinggi 12% daripada tanpa K. Disimpulkan
bahwa pemupukan N sangat menentukan
kandungan N-NH
4
+
dan K-dd tanah, serapan N
dan K serta hasil gabah oleh dibandingkan
perlakuan pengolahan tanah sawah dan
pemupukan K.
Praktek TOT pada budidaya padi sawah
hingga musim tanam ke-8 belum menghambat
pertumbuhan dan perkembangan padi, bahkan
beberapa sifat tanah lebih baik pengaruhnya
daripada OTI. Dalam usaha untuk menerapkan
praktek TOT perlu memperhatikan ketersediaan
air irigasi dan sifat-sifat tanah.
Pemakaian pupuk K di kecamatan
Talangpadang belum dibutuhkan seperti yang
dilakukan oleh petani selama ini, karena
kandungan K tanah yang cukup, baik berasal dari
pelapukan maupun air irigasi. Bahkan, pemakaian
bahan organik seperti jerami merupakan cara yang
baik untuk menjaga kesuburan tanah baik fisika
maupun kimia. Di pihak lain, ternyata pemupukan
N yang menghasilkan N-NH
4
+
mampu
menyediakan K bagi tanaman, terutama padi
sawah.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih yang sangat mendalam kepada
Prof. Ir. H. Sulya Djaka Sutami, M.Sc., Ph.D.,
Dr. Ir. H. E. Hidayat Salim, M.S., dan Prof. Ir. H.
Muhajir Utomo, M.Sc., Ph.D. yang telah menelaah
Disertasi dan membimbing penulis selama
menempuh program Doktor di PPs UNPAD
Bandung.
DAFTAR PUSTAKA
Barbayiannis, N., V.P. Evangelou, and V.C.
Keramidas. 1996. Potassium-ammonium-
calcium quantity-intensity studies in the
binary and ternary modes in two soils of
micaceous mineralogy of Northern Greece.
Soil Sci. 161(10): 716-724.
Kandungan ammonium dan kalium tanah sawah JIPI 33
Dalal, R.C. 1977. Fixed ammonium and carbon-
nitrogen ratios of some Trinidad soils. Soil
Sci. 124(6): 323-327.
De Datta, S.K. 1981. Principles and practices of
rice production. John Wiley & Sons, Inc.
New York.
Dibb, D.W., and W.R. Thompson, Jr. 1985.
Interaction of potassium with other nutrients.
p. 515-558. In R.D. Munson (ed.). Potassium
in agriculture. ASA, CSSA, dan SSSA.
Madison, WI.
Dickey, E.C., J.C. Siemens, P.J. Jasa, V.L.
Hofman, and D.D. Shelton. 1992. Tillage
system definition. p. 5-7. In Conservation
tillage systems and management: crop residue
management with no-till, ridge-till, mulch-till.
1
st
ed. MWPS-45. Iowa State University,
Ames, IA.
Doberman, A., P.C. Sta. Cruz, and K.G. Cassman.
1996. Fertilizers, nutrient balance, and soil
nutrient-supplying power in intensive,
irrigated rice systems. I. Potassium uptake
and K balance. In Training sourcebook.
Strategic Research in Integral Nutrient
Management Course (SRINM). Philippines,
18 March-26 April 1996. IRRI. Los Baos,
Laguna, Philippines. 16 p.
Fenn, L.B., J.E. Matocha, and E. Wu. 1982a. Soil
cation exchange capacity effects on ammonia
loss from surface-applied urea in the presence
of soluble calcium. Soil Sci. Soc. Am. J. 46:
78-81
Fenn, L.B., J.E. Matocha, and E. Wu. 1982b.
Subtitution of ammonium and potassium for
added calcium in reduction of ammonia loss
from surface applied urea. Soil Sci. Soc. Am.
J. 46: 771-776.
Isnaini, S. 1999. Pemupukan nitrogen dan kalium
pada dua cara pengolahan tanah sawah:
Pengaruhnya terhadap kadar nitrogen, fosfat,
dan kalium tanah serta serapannya. p. 81-93.
In Pros. Seminar Nasional Sumber Daya
Tanah, Iklim, dan Pupuk. Buku II. Bogor,
6-8 Desember 1999. Puslittannak,
Balibangtan, Deptan.
Isnaini, S. 2001. Dekomposisi bahan organik,
nisbah Q/I kalium, kandungan hara N dan K
tanah serta serapannya oleh padi (Oryza
sativa L.) akibat pengolahan tanah yang
dipupuk kalium dan nitrogen pada tanah
sawah. Disertasi. Program Pascasarjana
Universitas Padjadjaran. (Tidak dipu-
blikasikan)
Isnaini, S. 1996. Kandungan C-organik, N-NH
4
+
,
N-NO
3
-
, tanah, bobot kering tanaman, serapan
N, dan hasil padi (Oryza sativa L.) akibat
penerapan sistem olah tanah dan pemupukan
N pada tanah sawah. Tesis Magister
Pertanian. Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran. Bandung. (Tidak dipubli-
kasikan)
Isnaini, S., dan W. Hermawan. 1998. Budidaya
padi sawah dengan sistem tanpa olah tanah
di Kedaloman, Talangpadang, Lampung,
1996-1998. p. 480-484. In Z. Irfan et al.
(eds.). Pros. Seminar Nasional VI BDP OTK.
Padang, 24-25 Maret 1998. HIGI.
Kumuzawa, K. 1984. Beneficial effects of
organic matter on rice growth and yield in
Japan. p 431-444. In Organic matter and
rice. IRRI. Los Baos, Laguna, Philippines.
Lumbanraja, J. 1994. Perilaku pertukaran kalium
dalam larutan tanah: Pengaruh ion amonium.
J. Pen. Peng. Wil. Lahan Kering 13: 1-13.
Lumbanraja, J., M. Utomo, dan M. Zahir. 1997.
Perilaku jerapan kalium pada tiga sistem olah
tanah sawah dengan pemupukan urea prill dan
tablet. J. Tanah Trop. 3(5): 29-38.
Lumbanraja, J., and V.P. Evangelou. 1994.
Adsorption-desorption of potassium and
ammonium at low cation concentrations in
three Kentucky subsoil. Soil Sci. 157: 269-
278.
Luna-Orea, P., M.G. Wagger, and M.L. Gumpertz.
1996. Decomposition and nutrient release
dynamics of two tropical legume cover crops.
Agron. J. 88: 758-764.
Malavolta, E. 1985. Potassium status of tropical
and subtropical region soils. p. 163-200. In
R.D. Munson (ed.). Potassium in agriculture.
ASA, CSSA, dan SSSA. Madison, WI.
Isnaini, S JIPI 34
Mariam, S. 1998. Kandungan beberapa unsur hara
tanah sawah, serapan hara, dan hasil dua
genotipe padi (Oryza sativa L.) akibat
pemupukan N, P, dan K selama empat musim
tanam pada Typic Kanhaplaquults
Sukamandi. Disertasi. Program Pascasarjana
Universitas Padjadjaran, Bandung. (Tidak
dipublikasikan)
Munir, M. 1997. Dinamika sifat-sifat tanah sawah
dan pengaruhnya terhadap kesuburan tanah.
Pidato Ilmiah dalam rangka Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Ilmu Tanah pada Fakultas
Pertanian Universitas Brawidjaja, Malang,
25 Oktober 1997.
Oh, W.K. 1984. Effect of organic matter on rice
production. p. 477- 488. In Organic matter
and rice. IRRI. Los Baos, Laguna,
Philippines.
Olson, R.A., and L.T. Kurtz. 1982. Crop nitrogen
requirements, utilization, and fertilization. p.
567-604. In F.J. Stevenson (ed.). Nitrogen
in agricultural soils. ASA, CSSA, dan SSSA.
Madison, WI.
Opuwaribo, E., and C.T.I. Odu. 1975. Fixed
ammonium in Nigerian soils II: Relationship
between native fixed ammonium and some
soil characteristics. J. Soil Sci. 26(4): 350-
357.
Pasricha, N.S. 1976. Exchange equilibria of
ammonium in some paddy soils. Soil Sci.
121(5): 267-271.
Pasricha, N.S., and T. Singh. 1977. Ammonium
exchange equilibria in the submerged soils
and forms of ammonium which are not water-
soluble but are available to lowland paddy.
Soil Sci. 124(2): 90-94.
Potash & Phosphate Institute of Canada. 1989.
Potash, its need and use in modern
agriculture. Diterjemahkan oleh M.
Ismunadji. Balittan Pangan, Bogor.
Quijano, C. 1996. Micronutrients in rice soil. In
Training sourcebook. Strategic Research in
Integral Nutrient Management Course
(SRINM). Philippines, 18 March-26 April
1996. IRRI. Los Baos, Laguna, Philippines.
20 p.
Sanchez, P.A. 1973a. Puddling tropical rice soils:
1. Growth and nutritional aspects. Soil Sci.
115(2): 149-158.
Sanchez, P.A. 1973b. Puddling tropical rice soils:
2. Effects of water losses. Soil Sci. 115(4):
303-308.
Sharma, A.R. 1994. Effect of tillage, weed-
control practices and nitrogen fertilization on
performance of rice (Oryza sativa) under
intermediate deep-water condition. Indian J.
Agric. Sci. 64(12): 829-835. (Abstract)
Sharma, P.K., and S.K. De Datta. 1985a. Effects
of puddling on soil physical properties and
processes. p. 217-234. In Soil physics and
rice. IRRI. Los Baos, Laguna, Philippines.
Sharma, P.K., and S.K. De Datta. 1985b.
Puddling influence on soil, rice development,
and yield. Soil Sci. Soc. Am. J. 49: 1451-
1457.
Smith, S.J., and G. Stanford. 1971. Evaluation
of a chemical index of soil nitrogen
availability. Soil Sci. 111: 228-232.
Steel, R.G.D., and J.H. Torrie. 1980. Principles
and Procedures of Statistics. McGraw-Hill,
Inc.New York.
Vilela, L., and K.D. Ritchey. 1985. Potassium in
intensive cropping systems on highly
weathered soils. p. 1155-1175. In R.D.
Munson (ed.). Potassium in agriculture.
ASA, CSSA, dan SSSA. Madison, WI.
Wanasuria, S., S.K. De Datta, and K. Mengel.
1981. Use of the electroultrafiltration (EUF)
tecqnique to study the potassium dynamics
of wetland soils and potassium uptake by rice.
Soil Sci. Plant Nutr. 27(2): 137-149.
Yoshida, S. 1981. Fundamental of rice crop
science. IRRI. Los Baos, Laguna,
Philliphines.