Hidup Mati Quotes

Quotes tagged as "hidup-mati" Showing 1-2 of 2
Titon Rahmawan
“Ia merasa dirinya sebagai raja yang ingin menaklukkan nafsunya sendiri. Menelisik setiap susunan bidak bidak yang berdiri di hadapannya. Algoritma rumit yang menimbang setiap langkah yang terlintas dalam benak seorang Grandmaster. Adakah sebuah varian istimewa yang bisa mewakili siasat yang ingin ia mainkan? Menentukan strategi pembukaan yang akan memastikan sebuah kemenangan berada di dalam genggaman tangannya. Menetapkan langkah, apakah ia mesti maju menyerang atau justru mundur bertahan?

Pertaruhan martabat memaksanya berpikir keras, kemana pion pion hitam itu harus beranjak? Demi menegakkan wibawa yang menyerupai sebuah batu penjuru. Hasrat yang menunggu pintu gerbang terbuka untuk membuka jalan menuju kastilnya sendiri. Istana nan megah dengan halaman luas berupa taman yang tertata indah persis seperti di dalam mimpi Raja Nushirvan.

Demikianlah ia melihat Xiangqi terlahir di China, berkelana ke India sebagai Chaturanga dan lalu hijrah ke Persia sebagai Shatranj. Petak petak hitam putih di atas papan yang kemudian menjelma menjadi lingkaran ouroboros. Bala tentara Maharaja Gupta mulai bergerak serentak melewati setiap tatahan batu dan undak undakan tangga melewati lebih dari lima belas abad perjalanan waktu yang tak tahu kapan bakal berhenti.

Ialah titisan Sang Chandragupta, memberi aba aba kepada segenap prajuritnya dengan suara lantang. Langkah kakinya tegap dan mantap. Walau tidak seperti dulu, ia masih sanggup tegak berdiri, melihat dirinya sendiri di dalam pantulan cermin. Anggun dan memesona seperti seekor kuda bangsawan. Elok seperti Akhal Teke dan rupawan bagai Friesian. Dengan tubuh yang liat, kaki yang kuat, mata yang ekspresif dengan lengan berotot dan kejantanan yang tak ingin ia sembunyikan di balik benteng pikiran seekor gajah yang keras kepala dan keangkuhan hati seorang menteri yang bersikeras ingin diakui.

Itulah sebab mengapa ia tak akan pernah mengibarkan bendera putih. Walau ia tahu, setiap langkah punya arti untuk menang atau ditaklukkan. Ia tak akan menyerah tanpa melakukan perlawanan. Pada sisa waktu yang berdetak kian lambat dan perlahan memojokkan dirinya hingga sudut terjauh dari pertahanan papan caturnya sendiri.

Setiap petak hitam putih adalah pertaruhan antara hidup dan mati. Jengkal tanah yang mesti ia bela mati matian. Sepenuhnya tahu, di atas permukaan papan yang seakan tenang dan hening itu, ada pertempuran dahsyat dan berdarah darah. Perang yang telanjur mengubur semua ingatan atas waktu yang seolah tak pernah berubah.

Masih seperti dulu. Waktu yang masih bisa menertawakan kenaifannya akan dunia. Waktu yang mengajarkannya memahami absurditas hidup. Waktu yang secara ironis justru ingin menghancurkannya. Memaksa ia mencermati setiap langkah melewati  jebakan tarian tango sang ratu yang akan mengantarkannya menjemput ajal. Maut yang setia mengintai di setiap sudut dan tak akan pernah berhenti memaksanya untuk menyerah.”
Titon Rahmawan

Titon Rahmawan
“Ia adalah seorang pemburu yang tidak ingin bersembunyi di balik kecurigaan orang lain. Akan tetapi, ia tak ingin dihakimi oleh apa yang orang tidak pahami tentang dirinya. Ketika nilai dan moral bertumpang tindih dengan akal sehat dan naluri kejantanan seorang laki laki.

Bagaimana ia bisa menghindar dari rayuan Calypso? Godaan hasrat adalah sulur sulur pikiran yang merambat di dinding yang retak. Dari lobang di tembok itulah ia terlahir sebagai telur. Embrio pusat pembuktian ontologis manusia. Kerasnya kehidupan yang kemudian memaksa dirinya harus berjuang. Bersusah payah tumbuh dalam sebuah kontradiksi. Berusaha eksis sebagai pemangsa. Predator yang merangkak di tanah mengincar sasaran. Melihat dirinya sendiri sebagai seekor Scylla yang siap menerkam.

Ia adalah seorang pemburu dengan tatapan mematikan dan siap menguji keberanian. Mengintai mangsa, mengarahkan senapan berlaras dua simbol dari identitas dan idealitas yang bisa meledak sewaktu waktu. Namun kebimbangan memaksa ia berlari di antara pohon pohon yang menyembunyikan bayang bayangnya dari kejaran rasa jeri dan kecemasannya sendiri.

Hantu moralitas dan norma yang masih ingin ia perdebatkan keberadaannya. Karena baginya, manusia bisa bertindak lebih keji dari seekor ular. Makhluk menjijikkan dengan mulut yang mampu menelan apa saja dan lidah tak bertulang yang sanggup menyemburkan racun berbisa mematikan.

Baginya, hasrat adalah benih yang mesti ditanam agar ia tumbuh. Akan tetapi ia adalah biji buah diospyros. Buah para dewa yang memabukkan dan tak bisa  disingkirkan dari perdu yang telanjur menyemak dalam benaknya. Ada masa di mana hidup harus merasai kesenangan dan kedamaian lebih dari permainan hidup dan mati. Lebih dari sekedar petualangan demi menemukan makna kebenaran sejati. Kemenangan sudah menjadi obsesi yang menguasai pikiran semua orang, sebagaimana dulu sebuah kuda kayu raksasa menaklukkan kota Troya.

Begitulah, ia adalah titisan Odisseus yang malang, yang dikutuk karena tak mengindahkan keberadaan para dewa. Bagaimana ia menerima dirinya sendiri sebagai seekor kuda liar yang tak ingin dikendalikan oleh siapa pun. Tetapi nafsu adalah juga ibarat ular berbisa yang bisa mematuk ekornya sendiri. Dan ia tahu, senapan bukan cuma senjata yang bisa mematikan seekor buruan. Di tangan seorang pemburu ia bisa membunuh monster bermata satu. 

Hutan itu adalah tempat perlindungan para peri. Hasrat purba yang tak terjamah oleh topeng kemunafikan. Ia rumit seperti labirin dan ia tak mewakili keindahan taman taman surgawi. Ia keramat. Sanctuary yang memiliki pesonanya sendiri yang tak terjabarkan dalam ungkapan yang sederhana. Sebuah godaan kecil, nyanyian Sirens yang mematikan. Ia tak ingin tersesat di dalam rimba yang gelap gulita itu.

Tapi ada rasa lapar dan haus yang tak mampu ia tolak. Rasa pahit yang pekat berasa mencekik lehernya. Seperti ramuan Circe yang mengubah orang menjadi babi. Ia telah meninggalkan rumahnya di Itacha demi menaklukkan hasrat di dalam dirinya sendiri. Dan demi kerinduan abadi atas kesadaran diri sebagai manusia leta, ia rela dikutuk. Pergi jauh mengembara dan siap mati demi nilai yang ia perjuangkan.”
Titon Rahmawan