Ahok

lengser tahun 1998. Selama Soeharto menjabat sebagai Presiden RI opini masyarakat tidak diperbolehkan. Masyarakat menjadi kaum minoritas tidak boleh menyampaikan opini mereka dalam bentuk apapun. Bahkan media juga hanya diperbolehkan menampilkan opini dan isu yang positif mengenai Pemerintahan Soeharto dan 'Koleganya ". Lengsernya Orde baru ini karena bungkam masyarakat saat itu sudah tidak terbendung lagi, sehingga adanya kekuatan yang mendorong untuk menucul kepermukaan dan era Demokrasi dimulai. Demokrasi membawa dampak yang luar biasa dalam kehidupan rakyat Indonesia. Aspirasi tidak terkekang lagi, media massa memiliki fungsi ganda. Tidak hanya sebagai penyalur informasi tetapi sekaligus sebagai " watch dog " atau dengan kata lain sebagai pengawas terhadap kinerja pemerintah. Masyarakat bebas mengomentari kebijakan dan kinerja pemerintah, bahkan aksi protes dengan cara demonstrasi sudah marak dan sepertinya menjadi hal yang lazim di Indonesia. Salah satu bentuk kebebasan berpendapat adalah dengan pemilihan Kepala Daerah hingga Kepala Negara. Pilkada DKI Jakarta 2017 ini menyita perhatian public. Tidak hanya masyarakat Jakarta saja yang mengikuti uforia ini. Media massa nasional sangat intens memberitakan mengenai Pilkada DKI Jakata 2017 ini. Sangat jelas ketika siaran langsung Debat Cagub dan Cawagub DKI Jakarta ini menunjukkan Media yang Jawa Sentris. Kacamata Spiral Keheningan Dalam Ilmu Komunikasi, Fenomena gerakan 1000 lilin untuk Ahok ini dapat dilihat dari kacamata teori spiral keheningan. Elisabeth Neouman, sang pencetus teori ini memberikan gambaran bahwa individu memiliki opini tentang berbagai isu. Akan tetapi, ketakutan akan terisolasi menentukan apakah individu itu akan mengekspresikan opini-opininya secara umum.

Public relations politik memiliki orientasi pada pengumpulan dukungan sebanyak-banyaknya terhadap khalayak melalui berbagai saluran baik informal maupun formal. Tim public relations Ahok-Djarot melakukan strategi komunikasi politik dan manajemen organisasi dengan baik. Meski diterpa isu penistaan agama, nyatanya koalisi partai politik, relawan, dan simpatisan tetap solid. Artinya, basis pendukung Ahok-Djarot bekerja dengan baik. Di sisi lain, peran media sosial sangat masif mempengaruhi opini pubilk khususnya bagi pemilih anak muda. Berdasarkan wawancara Ketua Divisi Media Martin Manurung mengatakan media sosial digunakan untuk klarifikasi serangan kampanye hitam. Debat Pilgub DKI Jakarta pertama, kedua, dan ketiga, Ahok-Djarot tampil dengan impresif dan mampu menjawab persoalan di Jakarta. Momentum debat itu kemudian meningkatkan citra sekaligus elektabilitas. Sehingga bagi pemilih rasional beralih ke pasangan Ahok-Djarot.

(Indonesian)
Skripsi ini membahas tentang pengkategorisasian para pelaku hate speech di Facebook terkait dengan Basuki Tjahaya Purnama Alias Ahok yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan analisis deskriptif. Hasil penelitian menyebutkan bahwa meskipun Ahok adalah objek dari hate speech ini, namun namun yang menjadi target paling banyak justru masyarakat umum yang mendukung Ahok, atau masyarakat umum yang
menolak Ahok. Oleh karena itu penelitian ini menyarankan agar pihak pemerintah dan media sosial saling bekerjasama untuk mengkaji hate speech di Facebook secara lebih mendalam, terutama berkaitan dengan identitas asli pelaku hate speech. Hal ini jika diharapkan dapat memberikan petunjuk terkait dengan siapa identitas pelaku, sehingga pihak penegak hukum dapat melakukan penindakan secepatnya,
dan kasus hate speech di Facebook dapat berkurang secara signifikan.

(English)
This Thesis discussing the categorization of hate speech’s perpetrators on Facebook related to Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) who is an ex Jakarta Governor. This research is a qualitative research with descriptive analysis. The results showed that even if Ahok is the subject of the hate speech, but most of the victims are people who support or against Ahok. Thus, this research suggest the government to cooperate with social media (Facebook) to research and reviewing hate speech more deeply. Hopefully this research will give clues about who is the perpetrator’s real identity, so that law enforcers could action as soon as possible, and hate speech on Facebook will reduced significantly.

Jakarta -Aksi Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ) menolak Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta dinilai melanggar tata aturan demokrasi di Indonesia. GMJ yang terdiri atas 90 ormas antara lain FPI ini juga dinilai dalam aksinya malah mengedepankan unsur SARA yang amat berbahaya bagi persatuan Indonesia.

AHOK VS DPRD DKI = DEMOKRASI KONSTITUSIONAL VS DEMOKRASI LIBERAL

DPRD DKI menuding Ahok telah melakukan INKOSTITUSIONAL, berikut 8 alasan DPRD DKI melakukan HAK ANGKET:
"1. Alasan yang pertama adalah penyusunan
RAPBD 2015 yang disusun gubernur tidak
berdasarkan musyawarah rencana
pembangunan (musrenbang) dari tingkat kelurahan sampai provinsi. Ini bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1) dan (2), Pasal 19 ayat (1) dan (2), serta Pasal 20 ayat (1), (2), dan (3) PP No. 8/2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Rencana Pembangunan Daerah.

2. Alasan kedua, RAPBD 2015 tidak sesuai data
di Badan Perencanaan dan Pembangunan
Daerah (Bappeda), melainkan dari Tim 20
yang berasal dari Surabaya. Ini bertentangan
dengan Pasal 14 ayat (1) dan (2) PP No. 8/2008.

3. Yang ketiga, RAPBD 2015 hasil Tim 20 tidak
diperkenankan dibahas DPRD DKI. Ini bertentangan dengan Pasal 101 ayat (1)
Perppu No. 2/2014 tentang Perubahan atas
UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.

4. Alasan keempat adalah Gubernur disebut
mengabaikan hak DPRD, khususnya menyangkut penganggaran. Ini melanggar Pasal 316 ayat (1) dan (2) UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

5. Yang kelima, Gubernur melarang usul Badan
Anggaran (Banggar) DPRD. Ini bertentangan
dengan Pasal 20 ayat (2) dan (3) UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara.

6. Alasan keenam, RAPBD 2015 masih bersifat program dan oleh gubernur tidak
diperkenankan secara terinci sampai dengan
unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan
jenis belanja. Ini bertolak belakang dengan Pasal 20 ayat (5) UU No. 17/2003.

7. Yang ketujuh, Gubernur sering menyampaikan hal-
hal yang secara etika tidak dapat dibenarkan
sebagai kepala daerah. Ini sesuai Pasal 67 ayat (1) huruf d UU No. 23/2014.

8. Alasan terakhir, kebijakan eksekutif terkait pembatasan kendaraan bermotor roda dua di beberapa wilayah Jakarta. Ini tak sesuai Pasal 76 ayat (1) huruf b UU No. 23/2014."
Sumber:
www.lensaindonesia.com/…/ini-delapan-alasan-dprd-jakarta-aj…

Alasan Ahok kenapa ia melakukan yang dituding DPRD, sederhana saja bahwa APBD yang diajukan olehnya adalah:
1. Untuk memangkas DANA SILUMAN yang kerap diajukan oleh OKNUM DPRD & OKNUM SKPD dari tahun ke tahun di DKI.

2. Ahok telah menggunakan TEKHNOLOGI IT 'e-budgeting' sebagai JURInya.

3. Efisiensi APBD.
Sumber:
A. m.detik.com/…/ahok-bongkar-siasat-oknum-dprd-masukkan-dana-…

B. m.detik.com/…/3-serangan-balik-ahok-ke-dprd-ungkap-dana-sil…

C. m.cnnindonesia.com/…/ahok-ada-dana-fiktif-rp-121-triliun-d…/

Analisa:
Bila dicermati, DPRD DKI yang merasa DILANGKAHI oleh Ahok, mencoba menggunakan HAK ANGKET guna MENJERAT LANGKAH INKONSTITUSIONAL YANG DILAKUKAN OLEH AHOK. HAK ANGKET ini dilakukan tanpa HAK INTERPELASI, yaitu HAK DPRD untuk memanggil Ahok menanyakan alasan ia melakukan hal tersebut. Hak Interpelasi adalah sebuah proses MUSYAWARAH MUFAKAT yang merupakan implementasi dari DEMOKRASI PANCASILA. Anehnya DPRD DKI tidak menggunakan HAK INTERPELASI ini, namun langsung berbondong-bondong melakukan HAK ANGKET nya. HAK ANGKET YANG TANPA DIDAHULUI HAK INTERPELASI oleh DPRD DKI, jelas patut diduga bahwa OKNUM DPRD sedang melakukan PRAKTEK POLITIK DEMOKRASI LIBERAL!

Ahok tidak kalah bermain, ia mempercayai ada TEKHNOLOGI IT yang akan bisa ia jadikan BARANG BUKTI di MUKA HUKUM. Dan ia meyakini bahwa Indonesia bukan hanya Negara Demokrasi, dimana SUARA MAYORITAS DI ATAS SEGALA-GALANYA. Namun ia meyakini bahwa Indonesia adalah Negara DEMOKRASI KONSTITUSIONAL, yakni Negara Demokrasi yang berdasarkan Hukum atau Negara Hukum Nan Demokratis.
Negara Demokratis yang berdasarkan Hukum bermakna bahwa Bentuk Demokrasi apapun di negeri ini mestilah diuji oleh HUKUM SEBAGAI JURI nya.
Negara Hukum Nan Demokratis bisa bermakna bahwa semua Penegak Hukum seperti POLRI, KPK & KEJAKSAAN berkewajiban untuk secara demokratis melakukan tindakan hukum atas KEJAHATAN sekalipun itu atas nama DEMOKRASI kepada DPRD DKI untuk tuduhan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang).

KESIMPULAN:
Sepertinya Ahok sedang mengajak seluruh warga DKI khususnya dan Rakyat Indonesia umumnya untuk MENEGAKKAN DEMOKRASI KONSTITUSIONAL SEKALIPUN HARUS MELAWAN SEMUA PARPOL YANG ADA DI NEGERI INI yang telah melakukan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) secara SISTEMIK & BERJAMA'AH anggota DPRD DKI.

Yang ingin MENEGAKKAN DEMOKRASI KONSTITUSIONAL BERSAMA AHOK, SILAHKAN BUBUHKAN JEMPOLNYA, SEBARKAN THREAD INI DAN BERSIAP UNTUK MELAKUKAN 'PESTA RAKYAT' DI SELURUH JALAN IBUKOTA JAKARTA....

MERDEKA!
Jatinegara, 27 Februari 2015.
Dodi Ilham,
SekJend Badan Pekerja Pelaksana Agenda Rakyat.

Basuki tjahaja purnama alias Ahok adalah satu-satunya non muslim pertama di indonesia yang digelari Santri kehormatan dan digelari Sunan kalijodo. Karomahnya tak tertandingi. Sudah terdakwa tak kunjung dibui. Meski didemonstrasi jutaan massa GNPF-MUI

oleh: Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FHUI 2015 dan Departemen Pengabdian Masyarakat BEM FHUI 2015 Urgensi Identitas Bagi Warga Negara Indonesia Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 6, dikatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi dimana saja ia berada. Belakangan ini terdapat kesalahpemahaman yang memandang urusan akte kelahiran dan KTP hanyalah urusan teknis administrasi kependudukan. Padahal sesungguhnya hal itu adalah pelaksanaan dari hak asasi manusia. Tanpa identitas sebagai warga Negara, seseorang tidak dapat berpartisipasi penuh dalam masyarakat. Tanpa identitas, seseorang tidak berhak mendapatkan hak pilih atau mempunyai jabatan publik serta tidak bisa memperoleh akses terhadap berbagai pelayanan publik dan memilih tempat tinggal.

Abstract The representation of minority ethnic communities is an acute issue in many countries in East and Southeast Asia. In Muslim-majority Indonesia, the rise of Jakarta’s governor, Basuki Tjahaja Purnama, nicknamed “Ahok”, was a surprising phenomenon given his ethnic and religious minority status as a Christian of Chinese descent. Even more surprising was his initial success as a politician despite a controversial style of communication that appears to contrast with prevailing cultural norms. We argue that the reason for Ahok’s unlikely rise to prominence lay in his ability to reshape the political narrative by shifting the focus of “Indonesian-ness” away from ethnic or religious identity to moral values based on transparency and integrity. Ethnicity and identity remain powerful forces in Indonesian politics, but we argue that Ahok has established a charismatic relationship with followers by positioning himself in opposition to some of the more pressing concerns in contemporary Indonesia.

kecaman dari sebagian politisi, sejarahwan, dan budayawan. Keputusan Ahok tersebut dipersoalkan dengan mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya (UUCB 11/2010). Sebagian orang melihat bahwa keputusan itu tidak memenuhi syarat penetapan berdasarkan kriteria cagar budaya, Pasal 5 UUCB 11/2010:"Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria: a). berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih; b). mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun; c). memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan d). memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa."Huruf a dan b di atas adalah soal identifikasi awal cagar budaya yang bisa dilakukan oleh masyarakat umumnya; huruf c sebagai kriteria kelayakan obyek cagar budaya. Dalam kasus Makam Mbah Priuk, para ahli lintas bidang yang tergabung di Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) akan mengkaji secara mendalam nilai-nilai yang terkandung di balik obyek tersebut. Sedangkan huruf d, ditentukan dan/atau sejalan dengan hasil kajian TACB pada huruf c. Nilai penting makam, biasanya dikaitkan dengan sejarah tokoh yang dimakamkan. Kecuali makam-makam Prasejarah atau makam yang terkait dengan penanda masa tertentu seperti makam tua di Barus atau makam tua Menak Koncar di Lumajang, tidak diketahui siapa sosok yang dimakamkan, tetapi melalui bukti-bukti arkeologi yang ditemukan di sekitar makam menandakan masa waktu dan peradaban tertentu, maka makam tersebut layak dipertahankan keberadaannya. Pada kasus makam Mbah Priuk, Sejarahwan dan TACB tampaknya hanya memiliki sedikit informasi tentang sosok Mbah Priuk, tidak didukung bukti sejarah (tulisan) maupun bukti arkeologi yang kuat. Jika merujuk Pasal 5, Makam Mbah Priuk belum layak ditetapkan sebagai cagar budaya. Namun, apabila kemudian hari ditemukan bukti-bukti sejarah atau arkeologi yang kuat, maka makam Mbah Priuk layak ditetapkan sebagai cagar budaya. Kajian

The representation of minority ethnic communities is an acute issue in many countries in East and Southeast Asia. In Muslim-majority Indonesia, the rise of Jakarta’s governor, Basuki Tjahaja Purnama, nicknamed “Ahok”, was a surprising phenomenon given his ethnic and religious minority status as a Christian of Chinese descent. Even more surprising was his initial success as a politician despite a controversial style of communication that appears to contrast with prevailing cultural norms. We argue that the reason for Ahok’s unlikely rise to prominence lay in his ability to reshape the political narrative by shifting the focus of “Indonesian-ness” away from ethnic or religious identity to moral values based on transparency and integrity. Ethnicity and identity remain powerful forces in Indonesian politics, but we argue that Ahok has established a charismatic relationship with followers by positioning himself in opposition to some of the more pressing concerns in contemporary Indonesia.