MUSHAF JOURNAL : Jurnal Ilmu Al Quran dan Hadis
Vol. 1 No. 1 Desember 2021, page 119-130
e-ISSN: 2809-3712
GURU DAN MURID DALAM PERSEKTIF AL QUR’AN
DAN HADITS
Iskandar Yusuf
Mahasiswa Program Doktor Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda
Corressponding author email:
[email protected]
Iskandar
Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda
Email:
[email protected]
Abstract
Teachers in the perspective of Islamic education are people who are responsible
for the development of all potential students. If we look functionally the word
teacher can be interpreted as a giver or distributor of knowledge, skills. A
teacher has a sense of responsibility towards his duties as a teacher. As said by
Imam Ghazali that "the task of educators is to perfect, clean, perfect and bring
the human heart to Taqarrub to Allah SWT. While students are creatures who
are in the process of development and growth according to their respective
natures, where they really need consistent guidance and direction towards the
optimal point of their natural abilities. Based on this understanding, students
can be characterized as people who are in need of knowledge or knowledge,
guidance and direction.
Keywords: Teachers, Students, Qur’an, Hadith.
Abstrak
Guru dalam persepektif pendidikan islam adalah orang-orang yang bertanggung
jawab terhadap perkembangan seluruh potensi peseta didik. Kalau kita melihat
secara fungsional kata guru dapat di artikan sebagai pemberi atau pen yalur
pengetahuan, keterampilan. Seorang guru mempunyai rasa tanggung jawab
terhadap tugas-tugasnya sebagai seorang guru. Seperti yang dikatakan oleh
Imam Ghazali bahwa” tugas pendidik adalah menyempurnakan, membersihkan,
menyempurnakan serta membawa hati manusia untuk Taqarrub kepada Allah
SWT. Sedangkan murid adalah makhluk yang berada dalam proses
perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing, dimana
mereka sangat memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju
kearah titik optimal kemampuan fitrahnya. Berdasarkan pengertian ini, maka
119
120
anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan
atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.
Kata Kunci: Guru, Murid, Alquran, Hadis.
Pendahuluan
Pendidikan adalah kegiatan yang melibatkan setidaknya 2 individu yang
saling berkaitan dan berinteraksi satu dengan lainnya yang kita kenal dengan
sebutan guru dan murid. Keduanya adalah satu kesatuan yang tidak dapat
terpisahkan karena merupakan unsur utama dalam pendidikan, yang secara
“mengesankan” keduanya bisa berkedudukan pada dua posisi yang berbeda
secara bersamaan dalam proses pendidikan, yaitu sebagai subyek sekaligus
obyek pendidikan.
Dikutip dari Abudin Nata, pengertian guru adalah orang yang mendidik.
Pengertian ini memberikan kesan bahwa guru adalah orang yang melakukan
kegiatan dalam bidang mendidik. Secara khusus guru dalam persepektif
pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan seluruh potensi murid. Kalau kita melihat secara fungsional kata
guru dapat di artikan sebagai pemberi atau penyalur pengetahuan, keterampilan.
Dari istilah-istilah sinonim di atas, kata guru secara fungsional menunjukan
kepada seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan,
keterampilan, pendidikan, pengalaman, dan sebagainya, bisa siapa saja dan
dimana saja. Secara luas dalam keluarga adalah orang tua, guru jika itu disekolah,
di kampus disebut dosen, di pesantren disebut murabbi atau kyai dan lain
sebagainya.
Artikel ini akan berupaya membahas konsep guru dan murid dipandang
dari perspektif al quran dan hadits. . Kerangka yang dipakai untuk menganalisis
tema ini adalah kajian tematik dengan mendasarkan pembahasan pada dalil al
quran dan hadits dalam memahami makna kata dan esensi dari konsep guru dan
murid itu sendiri. Adapun pembahasan yang akan diangkat adalah pengertian
guru dan murid dari perspektif al quran dan hadits, tugas dan tanggung jawab
guru dan hakekat dari murid serta kode etik murid.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Guru Dalam Perspektif Al-Qur’an
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru diartikan sebagai orang
yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Definisi ini
cakupan maknanya sangat luas, mengajar apa saja bisa disebut guru, sehingga
ada sebutan guru ngaji, guru silat, guru olah raga, dan guru lainnya. Dalam dunia
pendidikan, sebutan guru dikenal sebagai pendidik dalam jabatan. Pendidik
jabatan yang dikenal banyak orang adalah guru, sehingga banyak pihak
mengidentikkan pendidik dengan guru. Sebenarnya banyak spesialisasi pendidik
121
baik dalam arti teoritisi maupun praktisi yang pendidik tapi bukan
guru.(Muhadjir, 2000).
Dalam konteks pendidikan Islam, guru adalah semua pihak yang
berusaha memperbaiki orang lain secara Islami. Mereka ini bisa orang tua (ayahibu), paman, kakak, tetangga, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan masyarakat
luas. Khusus orang tua, Islam memberikan perhatian penting terhadap
keduanya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya, serta sebagai
peletak fondasi yang kokoh bagi pendidikan anak-anaknya di masa depan.
Banyak dalil naqli yang menunjukkan hal ini, misalnya sabda Rasulullah SAW :
َ َ َ َّ َ
ُّ آد ُم َح َّد َث َنا ْاب ُن َأب ذ ْئب َع ْن
َّ الز ْهر ِّي َع ْن َأب َس َل َم َة ْبن َع ْب ِد
الر ْح َم ِن َع ْن
حدثنا
ِ
ِي
ٍ
ِي
ِ
ِ
ُ ْ َ ُّ ُ َ ه ُ َ َ ْ َ َ ه
َ ُ َ ْ َ َ َ َ ه ُ َ ْ ُ َ َ َ َ َّ ُّ َ ه
َُ
ود ُيولد
ل
و
م
ل
ك
م
ل
س
و
ه
ي
ل
ع
اَّلل
َّل
ض اَّلل عنه قال قال الن ِ يب ص
ِ
ٍ
أ ِ يب هريرة ر ِ ي
َ َ ِّ َ ُ ْ َ َ ِّ َ ُ ُ َ َ َ َ َ ْ ْ َ َ
عَّل ال ِفطرِة فأبواه يهودا ِن ِه أو ين
ِّص ِان ِه أ ْو ُي َم ِّج َس ِان ِه
Telah menceritakan kepada kami (Adam) telah menceritakan kepada kami (Ibnu
Abu Dza'bi) dari (Az Zuhriy) dari (Abu Salamah bin 'Abdurrahman) dari (Abu
Hurairah Radliallahu 'anhu) berkata; Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda:
"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah. Kemudian kedua orang tuanyalah
yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi.”
Ada beberapa istilah dalam bahasa Arab yang biasa dipakai sebagai
sebutan bagi para guru, yaitu murabi, mu’allim, muadadib, mudarris,
muzakki, dan ustadz. Istilah-istilah ini, dalam penggunaannya, memiliki
makna tertentu.
Tugas dan Tanggung Jawab Guru dalam Perspektif Al-Qur’an
Dalam Islam, Guru memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat
penting dalam proses pendidikan, karena berhasil dan tidaknya pendidikan
tersebut yang menjadi salah satu faktor penentunya adalah guru. Walaupun
perkembangan teknologi sangat pesat yang memudahkan akses dalam mencari
dan mendapatkan informasi tentang sebuah ilmu, namun keberadaan guru
untuk memperjelas konsep dan pemikiran dari seseorang yang tertulis dalam
buku ataupun tulisan-tulisan ilmiah tetap menjadi sebuah keniscayaan yang
harus ada agar informasi yang diterima tidak disalahartikan.
Secara umum, tugas pendidik dalam perspektif pendidikan Islami
mengacu kepada tiga hal berikut :
Pertama, Guru adalah orang yang bertugas melanjutkan tugas-tugas para
Nabi dan Rasul. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah
ayat 151 :
122
َ َك َم ٓا َا ْر َس ْل َنا ف ْي ُك ْم َر ُس ْو اًل ِّم ْن ُك ْم َي ْت ُل ْوا َع َل ْي ُك ْم ٰا ٰيت َنا َو ُي َز ِّك ْي ُك ْم َو ُي َع ِّل ُم ُك ُم ْالك ٰت
ب
ِ
ِ
ِ
َ ْ ْ
َ َ ُ ُ َ َ
ُ ِّ
َوال ِحك َمة َو ُي َعل ُمك ْم َّما ل ْم تك ْون ْوا ت ْعل ُم ْون
Artinya : Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul
(Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan ayat-ayat Kami,
menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Qur'an) dan Hikmah
(Sunnah), serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui. “
Q.S. Ali ‘Imran ayat 164 :
ا
ْ َ ْ ْ ُ ْ َ َ ُ َ َ ْ َ َّ ه
َ
ُْ
ٰ
ُ َْ
َ
ي ِاذ َب َعث ِف ْي ِه ْم َر ُس ْوًل ِّم ْن انف ِس ِه ْم َيتل ْوا َعل ْي ِه ْم ا ٰي ِت ٖه
لقد من اَّلل عَّل المؤ ِم ِن
ْ ف َض ٰلل ُّمب
َ َو ُي َز ِّك ْيه ْم َو ُي َع ِّل ُم ُه ُم ْالك ٰت
ْ ِ ب َو ْال ِح ْك َم ََۚة َوا ْن َك ُان ْوا ِم ْن َق ْب ُل َل
ي
ِ
ِ
ِ
ِ
ٍ
ن
ي
Artinya : “Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman
ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari
kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya,
menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur'an) dan
Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang
nyata.”
Q.S. al- Jumu‘ah ayat 2 :
ِّ
ِّ
َ
ُْ
ٰ
َ ََ ْ ُ َ ه
ُْ
ْ ا
َ ّ اْل ِّم
ي َر ُس ْوًل ِّمن ُه ْم َيتل ْوا َعل ْي ِه ْم ا ٰي ِت ٖه َو ُي َزك ْي ِه ْم َو ُي َعل ُم ُه ُم
ٖ هو ال ِذي بعث ِف
ْ ٰ َ َ ْ ْ َ َ َ ْ َ ُ ْ ْ َ ْ ُ َ ْ َ ٰ ُّ ْ ن
ي
ال ِكتب وال ِحكمة وِان كانوا ِمن قبل ل ِ يف ضل ٍل م ِب ن
Artinya : “Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari
kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya,
menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah
(Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
Ketiga ayat ini menjelaskan bahwa Allah sebagai Maha Pendidik
mengurus para Nabi dan Rasul untuk tiga tugas. Pertama, membacakan ayatayat Allah kepada manusia. Kedua, mengajarkan hikmah kepada manusia.
Ketiga, mengajarkan ilmu kepada manusia. Karena itu, tugas guru adalah
melanjutkan tugas-tugas para Nabi dan Rasul yaitu mendidik murid dalam hal
ayat-ayat Allah, hikmah dan ilmu.
Kedua, Guru bertugas mengantarkan murid untuk mencapai tujuan
hidupnya yaitu : Bersyahadah kepada Allah Swt (Q.S. al- A’raf ayat 172),
Menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah yang senantiasa beribadah kepadaNya (Q.S. al-Dzariyat 53), Mengemban tugasnya sebagai khalifah Allah Swt. di
bumi (Q.S. al- Baqarah ayat 30), Guru bertugas untuk meneruskan tugas para
123
ulama sebagai penyampai pesan-pesan agama kepada muridnya, pemutus
masalah muridnya secara bijaksana, menyuruh kepada kebaikan, mencegah dari
keburukan (Q.S. ali Imran : 104).
Berdasarkan kepada asal kata guru dalam al quran, maka tanggung jawab
seorang guru dapat dipilah menjadi beberapa bagian; Pertama, Tanggung jawab
guru yang harus dilakukan sebagai murabbī yaitu: (a) Memelihara aspek jasmani
dan ruhani murid agar tetap terus berkembang, (b) Pendidik memiliki
wewenang penuh dalam mengemban amanahnya sebagai pendidik bagi murid,
(c) Mengembangkan sifat
profesionalisme pendidik agar tugasnya sebagai
pendidik dapat dijalankan secara optimal, (d) Bertanggung jawab mengemban
amanah dari Allah SWT untuk membentuk manusia pengabdi kepada Allah
SWT dan khalifah di muka bumi, (e) Harus memahami aspek psikologi murid
agar dapat memilih materi pendidikan yang cocok untuk diberikan kepada
murid, (f) Bertanggung jawab menumbuhkembangkan potensi murid, (g)
Mengembangkan dan menanamkan sifat al-rububiyyat dalam dirinya, dan
selanjutnya menanamkannya kepada murid, (h) Menguasai konsep dan
penerapan manajemen kelas dan menciptakan suasana belajar yang dinamis,
dialogis, dan menyenangkan.
Kedua, Tanggung jawab guru yang harus dilakukan sebagai Muallim
yaitu; (a) Mu’allim memiliki kedudukan utama di antara manusia, keutamaan
tersebut seperti sebagai pewaris para Nabi, kemudian Allah dan para malaikatNya bersalawat kepada pendidik (mu’allim), dan medapatkan pahala yang terus
mengalir selama ilmu yang diajarkan oleh mu’allim diamalkan oleh umat
manusia, (b) Bertugas mencerahkan kehidupan umat dari kebodohan, (c)
Mengajarkan dan mengamalkan ilmu kepada umat, (d) Meluruskan pemimpin
apabila salah, dan memberikan masukan bagi pengelolaan pemerintahan, (f)
Memiliki sifat ikhlas dalam mengajarkan ilmunya, tidak pemarah, tidak
melakukan kekerasan fisik dalam mendidik, dan menunaikan amanahnya secara
sempurna.
Ketiga, Tanggung jawab guru yang harus dilakukan sebagai Mu’addib
yaitu; (a) Bertanggung jawab terhadap bimbingan dan pendidikan murid agar
berperilaku, berbudi pekerti, dan beradab serta sopan santun sesuai dengan
ketentuan umum yang berlaku di masyarakat, (b) Seorang muaddib wajib
mencontoh Rasulullah Muhammad SAW dalam pendidikan konsep ta’dib
karena al-Qur`an dan Hadits adalah sumber utama bagi muaddib dan akhlak
Rasulullah SAW adalah al-Qur`an, (c) Muaddib harus menjadi contoh dan
teladan bagi muridnya, (d) Seorang muaddib berkewajiban untuk mengamalkan
adab dan tingkah laku yang terpuji terlebih dahulu sebelum mengajarkan kepada
murid.
Keempat, Tanggung jawab guru yang harus dilakukan sebagai Mudarris
yaitu; (a) Harus memiliki profesionalitas tinggi dalam mengembangkan potensi
muridnya, (b) Mudarris mampu menciptakan suasana belajar yang kondusif dan
harmonis, (b) Menciptakan kerjasama di antara murid untuk memperdalam ilmu
124
pengetahuan, (c) Mengelola dan memilih materi ajar dan mengajarkannya
dengan baik kepada murid, (d) Mudarris harus mampu menelaah al-Qur`an
karena di dalamnya banyak mengandung nilai-nilai pendidikan.
Keempat, Tanggung jawab guru yang harus dilakukan sebagai Mursyid
yaitu; (a) Harus memiliki kejernihan berpikir dan kedewasaan berpikir, (b)
Memelihara dirinya dari perbuatan buruk dan senantiasa menghiasi diri dengan
perbuatan terpuji (c) Membimbing murid agar memiliki kejernihan berpikir,
kedewasaan berpikir, dan kesadaran dalam beramal.
Murid Dalam Perspektif Al-Qur’an
Kata murid berasal dari bahasa Arab, yaitu ’arada, yu’ridu, iraadatan,
muriidan yang berarti orang yang menginginkan. Kata ini sendiri terdapat
sebanyak 148 kali, yang terdiri dari kata benda sebanyak 6 kali, dipakai kata kerja
sebanyak 142 kali dalam al quran. Diantaranya adalah Kata ‘arada dalam surat
Yaasiin ayat 82 yang berarti menghendaki :
ُ ْ َ ۖ َ َ َ ٓ َ ٗٓ َ ٓ َّ
ُ ُ َ ُ َٗ
ِان َما ا ْم ُر ٗه ِاذا ا َراد ش ْي ًٔـا ان َّيق ْو َل له ك ْن ف َيك ْون
Artinya: “Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya
berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu”.
Al Ahdzab ayat 17 :
َ ا
ُ َ َ َ ْۤ
ُ َ َ ْ ُ ْ َ ْ َ ه ْ َ ْ ُ ُ ْ ِّ َ ه
اَّلل ِان ا َراد ِبك ْم ُس ْو ًءا ا ْو ا َراد ِبك ْم َر ْح َمة َۗوًل
ِ قل من ذا ال ِذي يع ِصمكم من
َ َ
ه
َُ َ ْ ُ َ
ُْ ْ
اَّلل َو ِل ًّيا َّوًل ن ِص ْ ًيا
ِ ي ِجدون له ْم ِّمن دو ِن
Artinya : “Katakanlah, “Siapakah yang dapat melindungi kamu dari (ketentuan)
Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk
dirimu?” Mereka itu tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong selain
Allah.”
Al Jiin ayat 10 : ن
ً َ
َْ
َ َ َ
ْ ش ُارْي َد ب َم
ْ اْل
ٌّ ََ َّو َا َّنا ًَل َن ْدر ْٓٗي َا
ض ا ْم ا َراد ِب ِه ْم َ ُّرب ُه ْم َرشدا
ر
ف
ن
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
Artinya : “Dan sesungguhnya kami (jin) tidak mengetahui (adanya penjagaan itu)
apakah keburukan yang dikehendaki orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka
menghendaki kebaikan baginya.”
Kata yuri’du dalam surat al Baqarah ayat 185 yang berarti dikehendaki :
ُ ُير ْي ُد ه
َ ْ ْس َو ًَل ُير ْي ُد ب ُك ُم ْال ُع
َ ْ اَّلل ب ُك ُم ْال ُي
ْس
ِ
ِ ِ
ِ
125
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.”
Dari beberapa pengertian berdasarkan al quran tersebut, maka para ahli
pendidikan kemudian menyimpulkan pengertian murid baik secara bahasa
maupun secara istilah.
Secara etimologi, murid berarti “orang yang menghendaki”. Sedangkan
menurut arti terminologi, murid adalah pencari hakikat di bawah bimbingan dan
arahan seorang pembimbing spiritual (mursyid). Sedangkan thalib secara bahasa
berarti orang yang mencari, sedangkan menurut istilah tasawuf adalah
penempuh jalan spiritual, dimana ia berusaha keras menempuh dirinya untuk
mencapai derajat sufi. Penyebutan murid ini juga dipakai untuk menyebut murid
pada sekolah tingkat dasar dan menengah, sementara untuk perguruan tinggi
lazimnya disebut dengan mahasiswa.
Murid adalah amanat bagi para gurunya. Jika ia dibiasakan untuk
melakukan kebaikan, niscaya ia akan tumbuh menjadi orang yang baik,
selanjutnya memperoleh kebahagiaan dunia dan akhiratlah kedua orang tuanya
dan juga setiap mu’alim dan murabbi yang menangani pendidikan dan
pengajarannya. Sebaliknya, jika murid dibiasakan melakukan hal-hal yang buruk
dan ditelantarkan tanpa pendidikan dan pengajaran seperti hewan ternak yang
dilepaskan beitu saja dengan bebasnya, niscaya dia akan menjadi seorang yang
celaka dan binasa.
Hakikat Murid
Dalam pandangan pendidikan Islam, untuk mengetahui hakikat murid,
tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan pembahasan tentang hakikat
manusia, karena manusia hasil dari suatu proses pendidikan.
Menurut konsep ajaran Islam manusia pada hakikatnya, adalah makhluk
ciptaan Allah yang secara biologis diciptakan melalui proses pertumbuhan dan
perkembangan yang berlangsung secara evolutif, yaitu melalui proses yang
bertahap. Sebagai makhluk ciptaan, manusia memiliki bentuk yang lebih baik,
lebih indah dan lebih sempurna dibandingkan makhluk lain ciptaan Allah,
hingga manusia dinilai sebagai makhluk lebih mulia, sisi lain manusia merupakan
makhluk yang mampu mendidik, dapat dididik, karena manusia dianugerahi
sejumlah potensi yang dapat dikembangkan. Itulah antara lain gambaran tentang
pandangan Islam mengenai hakikat manusia, yang dijadikan acuan pandangan
mengenai hakikat murid dalam pendidikan Islam. Murid dalam pendidikan
Islam harus memperoleh perlakuan yang selaras dengan hakikat yang
disandangnya sebagai makhluk Allah. Dengan demikian, sistem pendidikan
Islam murid tidak hanya sebatas pada obyek pendidikan, melainkan pula
sekaligus sebagai subyek pendidikan.
Dalam perspektif falsafah pendidikan Islami, semua makhluk pada
dasarnya adalah murid. Sebab, dalam Islam, sebagai murabbi, mu‟allim, atau
126
muaddib, Allah Swt pada hakikatnya adalah pendidik bagi seluruh makhluk
ciptaan-Nya. Dialah yang mencipta dan memelihara seluruh makhluk.
Pemeliharaan Allah Swt mencakup sekaligus kependidikan-Nya, baik dalam arti
tarbiyah, ta‟alim, maupun ta‟adib. Karenanya, dalam perspektif falsafah
pendidikan Islam, murid itu mencakup seluruh makhluk Allah Swt, seperti
malaikat, jin, manusia, tumbuhan, hewan, dan sebagainya. (al-rasyidin, 2008).
Ada dua murid yang diperbincangkan dalam ayat ini, yaitu malaikat dan
Nabi Adam. Pendidiknya adalah Allah; Dia mengajarkan malaikat dan juga
Adam. Malaikat diberikan hak berbicara mengenai apa yang akan Allah Lakukan
yaitu penciptaan manusia sebagai kholifah di muka bumi. Dan Nabi adam
sebagai murid tidak hanya menerima transfer ilmu, tanpa usaha dari Allah.
Tetapi Allah memberikan daya kepadnya, berua indra, akal dan atau qolbu,
sehingga membuat Adam aktif dan memperoleh ilmu mengungguli malaikat;
malaikat tidak menguasai ilmu yang di kuasai Adam.
Dalam perspektif falsafah pendidikan Islami, pada hakikatnya semua
manusia adalah murid. Sebab, pada hakikatnya, semua manusia adalah makhluk
yang senantiasa berada dalam proses perkembangan menuju kesempurnaan,
atau suatu tingkatan yang dipandang sempurna, dan proses itu berlangsung
sepanjang hayat. (yusuf, 2013).
Dalam buku Filsafat pendidikan Islam yang ditulis oleh Hasan
Basri,dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, hakikat murid terdiri dari
beberapa macam, diantaranya; Pertama, Murid adalah darah daging sendiri,
orang tua adalah pendidik bagi anak-anaknya maka semua keturunannya
menjadi anak didiknya di dalam keluarga. Kedua, Murid adalah semua anak yang
berada di bawah bimbingan pendidik di lembaga pendidikan formal maupun
non formal, seperti disekolah, pondok pesantren, tempat pelatihan, sekolah
keterampilan, tempat pengajian anak-anak seperti TPA, majelis taklim, dan
sejenis, bahwa peserta pengajian di masyarakat yang dilaksanakan seminggu
sekali atau sebulan sekali, semuanya orang-orang yang menimba ilmu yang dapat
dipandang sebagai anak didik. Ketiga, Murid secara khusus adalah orang –orang
yang belajar di lembaga pendidikan tertentu yang menerima bimbingan,
pengarahan, nasihat, pembelajaran dan berbagai hal yang berkaitan dengan
proses kependidikan.
Tugas dan Tanggungjawab Murid
Tujuan dari setiap proses pembelajaran adalah menta‟lim, mentarbiyah,
atau menta‟dibkan al-„ilm ke dalam diri setiap peserta didik. Al-„ilm yang
akan dita‟-lim, ditarbiyah, atau dita‟dibkan tersebut adalah al-haqq, yaitu semua
kebenaran yang datang dan bersumber dari Allah Swt, baik yang didatangkanNya melalui Nabi dan Rasul, (al- ayah al-quraniyah), maupun yang
dihamparkan-Nya pada seluruh alam semesta, termasuk diri manusia itu sendiri
(al-ayah al-kauniyah). Al-„ilm tersebut merupakan penunjuk jalan bagi murid
untuk mengenali dan meneguhkan kembali syahadah primordialnya terhadap
127
Allah Swt sehingga ia mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan
keserharian. Karenanya, dalam konteks ini, tugas utama setiap murid adalah
mempelajari al-„ilm dan mempraktikkan atau mengamalkannya sepanjang
kehidupan. (al-rasyidin, 2008).
Berkenaan dengan tugas utama yang harus dilakukan murid ini,
Rasulullah saw melalui salah satu hadis menegaskan : menuntut ilmu merupakan
kewajiban bagi setiap muslim dan muslimat. Proses menuntut atau mempelajari
al-„ilm itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti membaca, baik yang
tersurat maupun yang tersirat, mengeksplorasi, meneliti, dan mencermati
fenomena diri, alam semesta, dan sejarah umat manusial berkontemplasi,
berpikir, atau menalar, berdialog, berdiskusi atau bermusyarah, mencontoh atau
meneladani, mendengarkan nasehat, bimbingan, pengajaran dan peringatan,
memetik „ibrah atau hikmah, melatih atau membiasakan diri, dan masih banyak
lagi aktivitas belajar lainnya yang harus dilakukan setiap murid untuk meraih alilm dan mengamalkannya dalam kehidupan. (al-rasyidin, 2008).
Seluruh aktivitas pembelajaran sebagaimana dipaparkan di atas wajib
ditempuh atau dilakukan murid dalam proses belajar atau menuntut al-„ilm.
Karenanya, murid tidak boleh mencukupkan aktivitas belajarnya pada suatu
aktivitas saja. Dalam berbagai surah, alquran senantiasa menyeru manusia untuk
berpikir, mengingat, membaca, mengambil pelajaran, memetik hikmah.
Bereksplorasi, bertadabbur, dan sebagainya. Semua itu dimaksudkan agar murid
mengembangkan potensi jismiyah dan ruhiyahnya sehingga mampu
diberdayakan dalam rangka aktualisasi diri sebagai makhluk yang bersyahadah
kepada Allah Swt, beribadah secara tulus ikhlas hanya kepada-Nya, dan menjadi
khalifah atau pemimpin dan pemakmur kehidupan dibumi.
Berkenaan dengan tanggung jawab, dalam perspektif falsafah pendidikan
Islami, tanggung jawab utama murid adalah memelihara agar semua potensi
yang dianugerahkan Allah Swt kepadanya dapat diberdayakan sebagaimana
mestinya. Dimensi jismiyah wajib dipelihara, agar secara fisikal murid mampu
melakukan aktivitas belajar, meskipun harus melakukan rihlah ke berbagai
tempat. Demikian pula, dimensi ruhiyah juga wajib dipelihara, agar bisa
difungsikan sebagai energi atau kekuatan untuk melakukan aktivitas belajar.
Ketika murid tidak mampu memelihara dimensi jismiyah dan ruhiyahnya, maka
energi, daya, atau kemampuan membelajarkan diri akan terganggu, bahkan bisa
menjadi tidak mampu. Karenanya, sebagaimana juga dikemukakan Nata, agar
tetap mampu melakukan aktivitas belajar, setiap murid memerlukan kesiapan
fisik prima, akal yang sehat, pikiran yang jernih, dan jiwa yang tenang. Untuk itu,
perlu adanya upaya pemeliharaan dan perawatan secara sungguh-sungguh semua
potensi yang bisa digunakan untuk belajar atau menuntut ilmu pengetahuan. (alrasyidin, 2008).
128
Kode Etik Murid
Sebelum dikemukakan tentang kode etik murid, terlebih dahulu perlu
dipahami definisi murid dalam pendidikan Islam. Selain pendidik, komponen
lainnya yang melakukan proses pendidikan adalah murid. Dalam paradigma
pendidikan Islam, murid merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki
sejumlah potensi dasar (fitrah) yang perlu dikembangkan. Murid merupakan
“Raw Material” (bahan mentah) dalam proses transformasi dalam pendidikan.
Murid adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri
melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis
pendidikan tertentu.
Murid sebagai komponen yang tidak dapat terlepas dari sistem
pendidikan sehingga dapat dikatakan bahwa murid merupakan obyek
pendidikan tersebut. Secara sederhana pendidik dapat didefinisikan sebagai anak
yang belum memiliki kedewasaan dan memerlukan orang lain untuk
mendidiknya sehingga menjadi individu yang dewasa, memiliki jiwa spiritual,
aktifitas dan kreatifitas sendiri. (mujib, 2006).
Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan Islam pendidik hendaknya
memahami potensi, dimensi dan kebutuhan murid. Demikian pula murid
hendaknya dituntut memiliki dan menanamkan sifat-sifat yang baik dalam diri
dan kepribadiannya. Imam al-Gazali merumuskan sebelas kode etik yang harus
dimiliki oleh murid yaitu: Pertama, Belajar dengan nilai ibadah dalam rangka
taqarrub kepada Allah SWT. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari murid
dituntut untuk menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang
tercelah dan mengisi dengan akhlak yang terpuji. Kedua, Mengurangi
kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi. Artinya belajar tak
semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi belajar ingin berjihad
melawan kebodohan demi tercapainya derajat kemanusiaan yang tinggi baik
dihadapan manusia dan Allah SWT. Ketiga, Bersikap tawadhu (rendah hati)
dengan cara menanggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan
pendidikannya sekalipun ia cerdas. Keempat, Menjaga pikiran dan pertentangan
yang timbul dari berbagai aliran, sehingga ia terfokus dan dapat memperoleh
satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar. Kelima, Mempelajari
ilmu yang terpuji, baik ilmu umum maupun ilmu agama. Keenam, Belajar
dengan bertahap dan berjenjang. Ketujuh, Belajar ilmu sampai tuntas untuk
kemudian beralih pada ilmu yang lainnya. Kedelapan, Memahami nilai-nilai
ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari. Kesembilan, Memprioritaskan
ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi. Kesepuluh, Mengenal nilai-nilai
pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan yaitu ilmu yang dapat membahagiakan
serta memberi keselamatan dunia akhirat. Kesebelas, Harus tunduk dan patuh
pada nasehat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit terhadap dokternya,
mengikuti segala prosedur dan metode mazhab yang dianjurkan pendidik pada
umumnya.
129
Uraian kode etik murid tersebut adalah bertujuan sebagai standar
tingkah laku yang dapat dijadikan pedoman bagi murid dalam belajar, disisi lain
berkaitan pula dengan etika murid dalam hubungannya dengan sesama murid.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa.guru adalah
orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Secara khusus guru
dalam persepektif pendidikan islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab
terhadap perkembangan seluruh potensi peseta didik. Kalau kita melihat secara
fungsional kata guru dapat di artikan sebagai pemberi atau penyalur
pengetahuan, keterampilan.
Seorang guru mempunyai rasa tanggung jawab terhadap tugas-tugasnya
sebagai seorang guru. Seperti yang dikatakan oleh Imam Ghazali bahwa” tugas
pendidik adalah menyempurnakan, membersihkan, menyempurnakan serta
membawa hati manusia untuk Taqarrub kepada Allah SWT.
Sedangkan murid adalah makhluk yang berada dalam proses
perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing, dimana
mereka sangat memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju
kearah titik optimal kemampuan fitrahnya. Berdasarkan pengertian ini, maka
anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan
atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.
Daftar Pustaka
Aẓīm, Ali Abd, al-Ma’rifah fī al-Qur’ān, Cairo: Maṭba’ah Amiriyah, 1973.
Abdullah, M. Amin, Islamic Studies di perguruan tinggi: Pendekatan integratifinterkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet 3, 2012.
Al Rasyidin & Ja’far, Filsafat ilmu dalam tradisi Islam, Medan: Perdana Publishing,
2015.
Asfahani, al-Raghib, Mu’jam Mufradāt li Alfāẓ al-Qur’ān, Kairo: Dār al-Kitāb alGhazālī, tth.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo, Cet 12, 2013. Ghulsyani,
Mahdi, Filsafat Sains menurut al-Quran,Bandung:Mizan,1999. Hitti, Philip K.,
The Arabs: A Short History, Bandung: Mizan, 1970.
Humaidi, Paradigma Sains integratif Al-Farabi: Pendasaran Filosofis bagi Relasi Sains,
Filsafat dan Agama, Jakarta: Sadra Press, 2015.
Husaini, Adian, et. al, Filsafat Ilmu perspektif Barat dan Islam, Depok: Gema Insani,
Cet 5, 2014.
Kementerian Agama RI.Al Quran dan Tafsirnya. Jakarta: Kementerian Agama
RI, 2011. Nata, Abuddin, Sejarah sosial intelektual Islam dan institusi
pendidikannya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Alquran jilid 2, Jakarta: Lentera Hati, 2010.
130
Shihab, M. Quraish, Menabur pesan Ilahi; Alquran dan dinamika kehidupan
Masyarakat, Jakarta: Lentera Hati, 2006.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu: Sebuah pengantar populer,Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, Cet 24,2013.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Pengetahuan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015.