JURNAL NUANSA AKADEMIK
Jurnal Pembangunan Masyarakat
(p)ISSN: 1858-2826; (e)ISSN: 2747-0954
Vol. 7 No. 2, Desember 2022, p. 171 - 186
Sikap Masyarakat Muslim Kota Medan Terhadap Kedudukan
Anak Angkat Ditinjau Dari UU Nomor 23 Tahun 2002,
Kompilasi Hukum Islam Dan Hukum Adat
Adilla Putri1*, Muhammad Faisal Hamdani2, Imam Yazid3
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
*Penulis koreponden, email:
[email protected]
Diterima: 23-03-2022
Disetujui: 26-05-2022
123
Abstrak
Masyarakat muslim kota Medan yang melakukan pengangkatan anak,
menghukumi anak angkat layaknya anak kandung. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui kedudukan anak angkat dalam pandangan Islam, untuk
mengetahui sikap masyarakat Muslim Kota Medan terhadap kedudukan anak
angkat, serta mengetahui analisa sikap masyarakat Muslim Kota Medan
terhadap kedudukan anak angkat ditinjau dari UU No. 23 Tahun 2002,
Kompilasi Hukum Islam dan peraturan yang berlaku. Untuk menjawab
permasalahan-permasalahan tersebut, dilakukan penelitian lapangan (field
research) dengan model analisis penelitian kualitatif yang dianalisis melalui
pendekatan teori hukum nasional, hukum Islam, dan adat. Berdasarkan hasil
penelitian diketahui bahwa sikap masyarakat muslim kota Medan terhadap
kedudukan anak angkat beragam. Ada sebagian masyarakat yang menjadikan
kedudukan anak angkat seperti anak kandung. Tetapi ada juga masayarakat
yang memahami kedudukan anak angkat sehingga tidak menyamakan
kedudukannya seperti anak kandung.
Kata Kunci: Sikap, masyarakat Anak Angkat, Hukum
Abstract
The Muslim community of Medan city, which adopts children, punishes
adopted children like biological children. This study aims to determine the
position of adopted children in the view of Islam, to determine the attitude of
the Muslim community of Medan City towards the work of adopted children,
and to analyze the perspective of the Muslim community of Medan City on
the position of adopted children in terms of Law no. 23 of 2002, Compilation
of Islamic Law and applicable regulations. To answer these problems, field
research was conducted with a qualitative research analysis model, which was
analyzed through national law theory, Islamic law, and adat law. Based on
the study results, it is known that the attitudes of the Muslim community in
the city of Medan to the position of adopted children vary. Some people make
the position of adopted children like biological children. But some people
understand the position of adopted children so that they do not equalize their
position as biological children.
Keywords: Attitude, society, adopted child, Law
© 2022 The Authors, This is an open access article under the CC BY-SA 4.0 license
A. Putri, MF. Hamdani, I. Yazid
Pendahuluan
Salah satu indikator sakinah sebuah keluarga adalah dengan adanya
kehadiran anak (Hidayat dan Imroatun 2017; Nurhayati 2019; Sholihah
2018). Setiap pasangan suami istri pasti mendambakan kehadiran seorang
anak yang lahir dari perkawinan mereka. Keinginan untuk mempunyai anak
adalah naluri manusiawi dan alamiah. Akan tetapi kadang-kadang naluri ini
terbentur pada takdir Ilahi, dimana kehendak mempunyai anak tidak tercapai
(Ningsih 2019).
Keinginan suami istri untuk mendapatkan buah hati adalah keinginan
yang sejalan dengan fitrah kemanusiaan sebagai bapak atau ibu, tidak ada
penghalang dari sisi syar'i bagi keduanya untuk berikhtiar dalam batas-batas
kaidah syariat yang suci, namun terkadang ikhtiar mereka berdua belum
membuahkan hasil, upaya keras mereka dibayangi aroma kegagalan, padahal
harapan akan buah hati sudah sedemikian menggebu, akhirnya muncul
pemikiran untuk menempuh jalan mengangkat anak (Setiaka 2019).
Berbicara persoalan anak angkat, maka erat kaitannya dengan sikap
memperlakukannya. Beberapa kasus pengangkatan anak yang terjadi pada
masyarakat kota Medan dilakukan dengan cara: Menghilangkan status atau
hubungan anak angkat dengan orang tua kandungnya, artinya dengan sengaja
tidak memberitahukan bahwa sebenarnya mereka mengangkat anak tersebut
(berbohong). Ada masyarakat muslim kota Medan yang tanpa merasa
bersalah menambahkan nama suami (ayah angkatnya) di belakang nama
anak angkatnya tersebut dan memasukkan anak tersebut ke dalam Kartu
Keluarga mereka sebagai anak kandung (Suprayudi 2014). Ditemukan juga
ada orang tua angkat mengalihkan nasab anak angkat tersebut dari orang tua
kandungnya ke orang tua angkatnya. Ketika melaksanakan qurban atas nama
anak angkatnya, tidak segan menyebutkan nama anak tersebut bin nama ayah
angkatnya. Kemudian ada ayah angkat yang menjadi wali nikah bagi anak
perempuan angkatnya. Sebenarnya beliau mengetahui itu adalah sebuah
kesalahan. Namun dengan alasan takut menyakiti hati anak angkatnya
tersebut akhirnya beliau membawa anak angkatnya tersebut pergi ke daerah
lain untuk menikahkannya.
172
Jurnal Nuansa Akademik: Jurnal Pembangunan Masyarakat Vol. 7 No. 2, Desember 2022
Sikap Masyarakat Muslim Kota Medan Terhadap Kedudukan Anak Angkat
Ditinjau Dari UU Nomor 23 Tahun 2002, Kompilasi Hukum Islam Dan Hukum Adat
Peneliti juga menemukan kasus di masyarakat ada anak angkat yang
berjenis kelamin perempuan, yang diangkat sejak kecil oleh orang tua
angkatnya. Setelah remaja orang tuanya memberitahu bahwa dia adalah anak
angkat. Karena anak tersebut disekolahkan di sekolah berbasis agama oleh
orang tuanya, maka dia pun mengerti bahwa menutup aurat adalah sebuah
kewajiban bagi seorang muslimah. Akhirnya dia memutuskan untuk menutup
aurat, termasuk ketika di dalam rumah jika bertemu dengan ayah angkatnya.
Karena dia memahami bahwa ayah angkatnya bukan mahram bagi dirinya
sehingga dia tidak boleh menampakkan aurat kepada ayah angkatnya
tersebut. Kemudian melihat hal tersebut orang tuanya melarang dirinya untuk
menggunakan kerudung di dalam rumah dengan alasan “untuk apa memakai
kerudung dihadapan orang tua”.Kasus ini menunjukkan bahwa orang tua
angkat tersebut menganggap anak angkatnya adalah mahram baginya.
Fakta-fakta yang penulis temukan di lapangan—sebagaimana yang
telah penulis paparkan di atas—tidak sesuai dengan ketentuan UU, KHI dan
peraturan yang berlaku lainnya termasuk hokum adat, yaitu tidak mengenal
pengangkatan anak dalam arti menjadi anak kandung secara mutlak.
Kekeliruan-kekeliruan di atas hanya potret kecil dari banyaknya masyarakat
kurang memahami makna dan kedudukan anak angkat yang sebenarnya
dalam Islam. Penyimpangan ini terjadi dikarenakan pengetahuan mereka
yang dangkal terhadap aturan agama Islam atau dikarenakan ketidakpedulian
mereka terhadap aturan tersebut sehingga berbuat semena-mena.
Persoalan anak angkat merupakan bahasan yang penting, karena pada
hakikatnya mengangkat anak bertujuan untuk memberikan perlindungan
kepada anak agar bisa tumbuh kembang dengan baik di masa mendatang.
Namun di sisi lain ternyata telah banyak terjadi di masyarakat bahwa
pengangkatan anak dapat memutuskan hubungan hukum dengan orang tua
kandungnya dan bahkan panggilan terhadap anak angkat dinasabkan kepada
orang tua angkat.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti merasa penting untuk
meneliti bagaimana sebenarnya persoalan anak angkat di mata masyarakat,
yaitu pemahaman masyakat masih keliru sehingga berimplikasi terhadap hak
Jurnal Nuansa Akademik: Jurnal Pembangunan Masyarakat Vol. 7 No. 2, Desember 2022
173
A. Putri, MF. Hamdani, I. Yazid
dan kewajiban anak angkat tersebut, penelitian ini menarik untuk dikaji
karena mengkompilasikan Hukum Islam dengan Adat istiadat di kota medan.
Metode
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum empiris atau
lapangan (Nurhayati, Ifrani, dan Said 2021). Dalam hal ini sumber informasi
penelitian diperoleh dari keluarga Muslim kota Medan yang melakukan
pengangkatan anak sejumlah lima koresponden dengan teknik pengumpulan
data menggunakan; wawancara, observasi, focus group discussion dan
dokumentasi. Adapun model analisis penelitian yang digunakan dalam
pembahasan ini adalah model analisis penelitian kualitatif yaitu suatu
pendekatan yang tidak dilakukan dengan menggunakan rumus-rumus dan
simbol statistik (Sugiyono 2012).
Jenis penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk
meneliti kondisi objek alamiah di mana peneliti adalah instrumen kunci
(Anggito dan Setiawan 2018). Penelitian kualitatif sering juga disebut dengan
penelitian natural atau penelitian studi kasus. Adapun dasar menggunakan
penelitian kualitatif ini karena tesis ini berkaitan dengan fakta lapangan
langsung yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Selain
dari itu landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum
tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian.
Hasil dan Pembahasan
Relasi UU Nomor 23 Tahun 2002, Kompilasi Hukum Islam Dan hokum
Adat
Salah satu corak hukum Islam Indonesia adalah akomodatif dengan
budaya lokal. Seperti ketentuan tentang harta bersama dan saling mewarisi
antara anak angkat dan orang tua angkat yang tertuang dalam KHI
(Muthmainnah dan Santoso 2019; Nasution 2019). Kedua ketentuan hukum
yang diadopsi dari hukum adat ini merupakan hasil ijtihad ulama Indonesia.
Karena memang persoalan keduanya tidak ditemukan dalam fikih. Kreasi
inovatif ulama Indonesia ini, selain merupakan bentuk manifestasi dari
174
Jurnal Nuansa Akademik: Jurnal Pembangunan Masyarakat Vol. 7 No. 2, Desember 2022
Sikap Masyarakat Muslim Kota Medan Terhadap Kedudukan Anak Angkat
Ditinjau Dari UU Nomor 23 Tahun 2002, Kompilasi Hukum Islam Dan Hukum Adat
karakteristik hukum Islam yang bersifat dinamis dan kreatif, juga merupakan
identitas Islam Indonesia dalam bidang hokum (Firdaus et al. 2020).
Pada konteks penelitian ini anjuran pengangkatan (pemeliharaan) anak
dalam Alquran dapat diketahui bahwa mengangkat anak yang dibolehkan
dalam Islam adalah dalam pengertian asuhan dan pendidikan. Seseorang
mengangkat anak yatim yang terlantar lalu menjadikannya sebagai anak
angkat dan diasuh atas dasar kasih sayang, memberikan perhatian dan
pendidikan. Ia diasuh, diberi sandang pangan, dididik dan diperlakukan
seperti anak sendiri namun tetap tanpa menisbatkan anak terhadap dirinya
dan tidak pula mengukuhkan status hukum anak kandung padanya maka
perbuatan seperti itu termasuk perbuatan yang sangat terpuji dalam Islam dan
orang yang melakukannya akan mendapat pahala di surga.Anak terlantar
senasib dengan anak yatim. Anak tersebut lebih tepatnya disebut dengan ibnu
sabil dimana Islam memerintahkan untuk menyantuni mereka.
Islam sudah mengenal pengangkatan anak sejak zaman Rasulullah
Muhammad Saw karena Rasulullah juga mengangkat seorang anak, Zaid bin
Haristah. Ketentuan pengangkatan anak dalam Islam, nasab (keturunan
karena pertalian darah) tidak boleh dihilangkan. Nasab anak angkat tetaplah
mengacu pada ayah kandungnya. Zaid tidak disebut atau dipanggil dengan
Zain bin Muhammad, tetapi Zaid bin Haristah. Jadi, anak angkat dalam
Islam tetaplah dinisbatkan kepada ayah kandungnya.
Tinjauan Normatif tentang Sikap Masyarakat Muslim Kota Medan Terhadap
Kedudukan Anak
Pada dasarnya, Undang-undang No 23 Tahun 2002 bukan merupakan
regulasi tentang anak angkat, tetapi merupakan regulasi tentang perlindungan
anak. Namun walaupun UU No 23 Tahun 2002 bukan mengatur anak angkat
secara khusus (Nasution 2019), tetapi terdapat definisi anak angkat di
dalamnya. Maka oleh karenanya, berdasarkan itulah peneliti melihat apakah
sikap masyarakat muslim kota Medan yang melakukan pengangkatan anak
telah memenuhi definisi yang dimaksud dalam UU tersebut atau tidak
(Bahroni et al. 2019).
Jurnal Nuansa Akademik: Jurnal Pembangunan Masyarakat Vol. 7 No. 2, Desember 2022
175
A. Putri, MF. Hamdani, I. Yazid
Sedangkan Kompilasi Hukum Islam merupakan salah satu sumber
rujukan yang digunakan oleh umat Islam dalam mengambil hukum
(Abdullah 1994). Di dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat aturan tentang
anak angkat (Al Fahmi et al. 2017). Pengertian anak angkat dalam Kompilasi
Hukum Islam memang ada ditemukan tetapi dalam skala kecil. Meskipun
demikian, disebabkan Kompilasi Hukum Islam adalah sebuah ketentuan
hukum yang dibuat berdasarkan hukum Islam, maka sumber-sumber lainnya
yang termasuk kedalam kajian hukum Islam dapat dijadikan sandaran
hukum, dimana terdapat pengertian tentang anak angkat khususnya dalam
kajian Kompilasi Hukum Islam.
Adapun peraturan yang berlaku maksudnya adalah Peraturan
Pemerintah No 54 Tahun 2007 dan perundang-undangan lain yang terkait
dengan pengangkatan anak, misalnya UU No 4 Tahun 1979 tentang
kesejahteraan anak (Darmayasa, Dewi, dan Widyantara 2020). Kedua
peraturan tersebut memang bukan aturan khusus tentang anak angkat. Tetapi
di dalamnya membahas anak angkat dalam berbagai perspektif.
Sebagaimana yang telah peneliti uraikan pada bab sebelumnya bahwa
sebagian masyarakat muslim Kota Medan, yang diwakili oleh tiga kecamatan
Medan Denai, Medan Amplas dan Medan Kota sebagai sampel, telah
menyikapi kedudukan anak angkat dengan beragam. Ada satu bentuk sikap
masyarakat muslim kota Medan terhadap anak angkat yang dihukumi sebagai
anak kandung. Diantaranya adalah: Merubah nasab anak angkat kepada
orang tua angkatnya
Sikap ini dilakukan oleh Gali dan istri, masyarakat kecamatan Medan
Denai. Sikap Gali yang demikian merupakan pelanggaran terhadap definisi
anak angkat yang dijelaskan dalam pasal 1 point (9) UU No 23 Tahun 2002
yang menyebutkan “Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari
lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak
tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan
putusan atau penetapan pengadilan.
176
Jurnal Nuansa Akademik: Jurnal Pembangunan Masyarakat Vol. 7 No. 2, Desember 2022
Sikap Masyarakat Muslim Kota Medan Terhadap Kedudukan Anak Angkat
Ditinjau Dari UU Nomor 23 Tahun 2002, Kompilasi Hukum Islam Dan Hukum Adat
Pengaturan pengangkatan anak dalam UU No 23 Tahun 2002
mengatur hal-hal yang bersifat mendasar dan prinsip dalam pengangkatan
anak dengan memperhatikan hukum agama (Saleh 2014). Hal-hal bersifat
mendasar dan prinsip itu antara lain “pengangkatan anak harus seagama dan
tidak memutuskan hubungan darah anaka angkat dengan orang tua
kandungnya.” Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam juga menyebutkan bahwa
“anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya
sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari
orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan
putusan
pengadilan”(Wulandari 2018).
Dari uraian di atas maka dapatlah kita tarik sebuah kesimpulan bahwa
pengangkatan anak hanyalah sebuah pengalihan pengasuhan dari orang tua
kandung kepada orang tua angkatnya, meliputi biaya pendidikan dan
keseluruhan kebutuhan anak tersebut sebagaimana yang didapat oleh anak
pada umumnya. Hal ini sekaligus menjadi dalil bahwa keluarga yang
melakukan pengangkatan anak tidak dibenarkan menjadikan anak angkat
sebagai anak kandung dari segi status di masyarakat, catatan negara dan
dalam urusan agama. Sementara itu, jika dari segi kasih sayang, perhatian
dan fasilitas yang diberikan kepada anak angkat boleh disamakan seperti
memberikan kasih sayang dan fasilitas kepada anak kandung, bahkan itu
menjadi suatu hal yang dianjurkan karena kita termasuk berbuat baik kepada
sesama manusia.
Pasal 4 PP No. 54 Tahun 2007 juga menyebutkan bahwa:
“Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang
diangkat
dengan orang tua kandungnya.” Sehingga dapat disimpulkan
bahwa pengangkatan anak tidak menyebabkan berpindahnya nasab, dan
sikap masyarakat yang menjadikan nama anak angkatnya bin nama ayah
angkatnya seperti yang dilakukan oleh Gali dan istrinya adalah kebiasaan
orang-orang pada zaman Jahiliyah dan termasuk kebiasaan yang berkembang
pada hukum adat. Sikap yang demikian bertentangan dengan UU No 23
Tahun 2002, Kompilasi Hukum Islam dan peraturan yang berlaku.
Jurnal Nuansa Akademik: Jurnal Pembangunan Masyarakat Vol. 7 No. 2, Desember 2022
177
A. Putri, MF. Hamdani, I. Yazid
Pengangkatan anak pada sebagian masyarakat muslim kota Medan
dalam pelaksanaannya masih memakai tata cara yang terdapat dalam hukum
adat di kota medan, namun dalam hal status anak angkat dan orang tua
angkat mereka lebih mirip kepada status yang terjadi pada masa jahiliyah dan
adopsi dalam hukum perdata sebagaimana diatur dalam Stbld 1917 No 129
tepatnya dalam Pasal 11 yang isinya adalah : “Mengenai nama keluarga
orang yang mengangkat anak, nama-nama juga menjadi nama dari anak yang
diangkat” Pasal 12 menyatakan :“Menyamakan seorang anak angkat dengan
anak yang sah dari perkawinan orang yang mengangkat”
Pasal 14 menyebutkan:“Suatu pengangkatan anak berakibat putusnya
hubungan hukum antara anak yang diangkat dengan orang tuanya sendiri,
kecuali: Mengenai larangan kawin yang berdasarkan atas suatu tali keluarga,
Mengenai
peraturan hukum pidana yang berdasarkan tali keluarga,
Mengenai perhitungan biaya perkara di muka hakim dan penyanderaan,
Mengenai pembuktian dengan seorang saksi, Mengenai bertindak sebagai
saksi.”
Hemat peneliti, secara rinci makna pasal-pasal tersebut diatas adalah:
Pasal 11 menyatakan bahwa anak angkat berhak menggunakan nama orang
tua angkatnya didalam namanya. Jika nama orang tua angkatnya
menggunakan kata “Mahendra” di belakang namanya, maka anak angkat
dibolehkan menggunakan kata “Mahendra” dibelakang namanya sebagai
bentuk pengakuan bahwa anak angkat tersebut merupakan anggota keluarga
Bapak Mahendra.
Pasal 12 menyatakan bahwa anak angkat mempunyai kedudukan dan
status yang sama dengan anak kandung yang sah dari perkawinan yang sah
tanpa dibedakan hak dan kewajibannya. Konsekuensinya adalah bahwa anak
angkat bernasab kepada orang tua angkatnya, berhak mendapatkan harta
warisan dari orang tua angkatnya, ayah angkat bisa menjadi wali nikah anak
angkatnya dan sebagainya.
Pasal 14 menyatakan bahwa pengangkatan anak menyebabkan
putusnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua
kandungnya. Namun walaupun demikian tidak semua hubungan hukum
178
Jurnal Nuansa Akademik: Jurnal Pembangunan Masyarakat Vol. 7 No. 2, Desember 2022
Sikap Masyarakat Muslim Kota Medan Terhadap Kedudukan Anak Angkat
Ditinjau Dari UU Nomor 23 Tahun 2002, Kompilasi Hukum Islam Dan Hukum Adat
antara anak angkat dengan orang tua kandungnya yang menjadi putus. Ada
beberapa hal yang masih berlaku antara anak angkat dengan orang tua
kandungnya, diantaranya yaitu perkawinan. Walaupun seorang anak sudah
diangkat oleh keluarga lain, maka anak tersebut tetap dilarang menikah
dengan orang tua kandungnya disebabkan adanya tali keluarga, selain itu
anak tersebut juga masih bisa menjadi saksi bagi orang tua kandunya, dan
lain sebagainya.
Penjelasan isi Stbld 1917 No 129 tersebut sangat tidak sesuai dengan
regulasi tentang anak angkat yaitu UU No. 23 Tahun 2002, Kompilasi
Hukum Islam dan adat yang berlaku. Tetapi pada kenyataannya itulah yang
dilakukan oleh sebagian masyarakat muslim Kota Medan. Oleh karena itu,
sikap masyarakat muslim kota Medan yang telah menghukumi anak angkat
sama dengan anak kandung seperti merubah nasab, menyembunyikan
identitas, menyamakan batasan aurat, menjadi wali nikah dan memberi
warisan telah melanggar ketentuan UU No. 23 Tahun 2002, Kompilasi
Hukum Islam dan peraturan yang berlaku.
Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Sikap Masyarakat Muslim Kota Medan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti menemukan
beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya sikap masyarakat muslim kota
Medan yang melakukan pelanggaran hukum. Faktor-faktor tersebut dapat
dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
Minimnya kesadaran hukum masyarakat.
Hukum diartikan sebagai suatu kontrol sosial dan berhubungan
dengan pembentukan dan pemeliharaan aturan-aturan sosial (Putra et al.
2015). Analisa ini berpijak pada kemampuan hukum untuk mengontrol
perilaku-perilaku manusia dan menciptakan suatu kesesuian di dalam
perilaku-perilaku tersebut. Sering disebutkan bahwa salah satu dari
karakteristik hukum yang membedakannya dari aturan-aturan yang bersifat
normatif adalah adanya mekanisme kontrol yaitu yang disebut sebagai sanksi.
Hukum berfungsi untuk menciptakan aturan-aturan sosial dan sanksi
digunakan sebagai alat untuk mengontrol mereka yang menyimpang dan juga
Jurnal Nuansa Akademik: Jurnal Pembangunan Masyarakat Vol. 7 No. 2, Desember 2022
179
A. Putri, MF. Hamdani, I. Yazid
digunakan untuk menakutnakuti agar orang tetap patuh pada aturan-aturan
sosial yang sudah ditentukan
Kemungkinan ada orang-orang yang tunduk kepada hukum bukannya
karena takut melainkan ada alasan-alasan lain. Sebagaimana yang dikutip
Rien G. Kartasapoetra bahwa Soerjono Soekanto dalam “Kegunaan Sosiologi
Hukum Bagi Kalangan Hukum” menyatakan bahwa faktor-faktor penyebab
para anggota masyarakat mematuhi hukum adalah kepentingan-kepentingan
para anggota masyarakat yang terlindungi oleh hukum.
Complience atau pemenuhan keinginan, orang akan patuh pada hukum
karena didasarkan pada harapan akan suatu imbalan atau sebagai usaha
untuk menghindarkan diri dari sanksi yang akan dijatuhkan manakala kaidah
hukum itu dilanggar. Identification atau identifikasi, dalam hal ini seseorang
mematuhi hukum karena identifikasi, pematuhan akan kaidah hukum itu
bukan nilai yang sesungguhnya dari kaidah tersebut melainkan karena
keinginannya untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya dengan
para anggota masyarakat lainnya yang sekelompok atau segolongan, atau
dengan para pemimpin kelompok atau dengan para pejabat hukum.
Internalization atau internalisasi, bahwa kepatuhan manusia/anggota
masyarakat kepada hukum karena kaidah-kaidah hukum tersebut ternyata
sesuai dengan nilainilai yang menjadi pegangan sebagian terbesar para
anggota masyarakat. Kepatuhan para anggota masyarakat terhadap hukum
atas dasar alasan-alasan yang mendalam, yaitu adanya penjiwaan, kesadaran
dalam diri mereka masing-masing.
Dari ketiga poin tersebut di atas, menarik untuk dicermati penyebab
kepatuhan masyarakat terhadap hukum atas dasar penjiwaan dan kesadaran
dalam diri masyarakat tersebut masing-masing. Mengenai kesadaran hukum
selalu saja menarik untuk dikaji sebab pengaturan oleh UU No 23 Tahun
2002 dan KHI yang mengatur masyarakat khususnya pasal 171 huruf h dan
Pasal 209 tentang wasiat wajibah terhadap anak angkat tidak selamanya
diketahui, diakui, dihargai dan ditaati oleh masyarakat.
Menurut Mahadi bahwa faktor utama penyebab timbulnya gejala tidak
sadar hukum ini adalah karena hukum menurut masyarakat tidak selamanya
180
Jurnal Nuansa Akademik: Jurnal Pembangunan Masyarakat Vol. 7 No. 2, Desember 2022
Sikap Masyarakat Muslim Kota Medan Terhadap Kedudukan Anak Angkat
Ditinjau Dari UU Nomor 23 Tahun 2002, Kompilasi Hukum Islam Dan Hukum Adat
dirasakan adil dan bahkan terkadang apa yang ada di luar hukum terdapat
keadilan (Sasnifa 2018). Sedangkan menurut Sacipto Raharjo bahwa faktor
penyebab munculnya gejala orang tidak sadar hukum tersebut adalah karena
dalam kehidupan sehari-hari senantiasa djumpai persaingan antara norma
hukum dengan proses sosial di luar hukum.
Dari penjelasan dapat diungkapkan bahwa kesadaran hukum itu
meliputi faktor pengetahuan, sikap, keyakinan, pengetahuan, pengenalan,
perasaan perlu atau tidaknya sebuah hukum, kemampuan baik secara
ekonomis maupun psikologis. Sehingga dengan memperhatikan indikatorindikator tersebut secara otomatis dapat diketahui tingkat kesadaran hukum
seseorang. Oleh sebab itu UU No 23 Tahun 2002 dan KHI tentangsikap
masyarakat terhadap anak angkat haruslah membumi di dalam masyarakat,
yaitu
disadari
keberadaannya,
diketahui
serta
diamalkan
sehingga
eksistensinya bukan hanya sebagai alat pemaksa. Namun hukum juga harus
menjadi hukum yang ideal yang memiliki unsur sebagai berikut: Gerechtigheit,
atau unsur keadilan. Zackmaessegheit, atau kemanfaatan, Sicherheit, atau unsur
kepastian.
Apabila hukum telah memiliki unsur-unsur di atas maka keberadaan
hukum sangat berarti dalam masyarakat sehingga masyarakat memiliki
kesadaran untuk selalu patuh pada hukum-hukum yang telah di tentukan.
Sanusi mengemukakan bahwa kesadaran hukum dalam arti yang sempit
adalah potensi atau daya masyarakat yang berisi: Persepsi, pengenalan,
pengetahuan,
pengertian
tentang
hukum
termasuk
konsekwensi-
konsekwensinya. Harapan kepercayaan bahwa hukum dapat memberi suatu
kegunaan, perlindungan serta jaminan dengan kepastian dan rasa keadilan.
Perasaan perlu dan butuh akan jasa-jasa hukum oleh karenanya ia bersedia
menghormatinya. Perasaan khawatir akan takut melanggar hukum, karena
jika melanggar, maka sanksi-sanksinya dapat dipaksakan. Orientasi,
perhatian, kesanggupan, keamanan, baik sifat dan kesediaan serta keberanian
mentaati hukum, hak dan kewajiban karena kebenaran. Keadilan serta
kepastian hukum demi kepentingan umum. Selanjutnya menurut Soerjono
Soekanto bahwa indikator-indikator kesadaran hukum meliputi hal-hal
Jurnal Nuansa Akademik: Jurnal Pembangunan Masyarakat Vol. 7 No. 2, Desember 2022
181
A. Putri, MF. Hamdani, I. Yazid
sebagai berikut: Pengetahuan hukum, Pemahaman hukum, Sikap hukum
(dan) perilaku hukum, Kepuasan terhadap hukum.
Dari pemaparan di atas, maka menurut penulis bahwa agak sukar
untuk memahami kesadaran hukum terhadap masyarakat karena hal tersebut
merupakan sesuatu yang abstrak. Demikian pula untuk melihat kesadaran
hukum terhadap masyarakat yang terbiasa berpedoman pada adat kebiasaan
dan norma-norma yang telah lama mereka jalani dan aturan itulah yang
menurut mereka paling relevan untuk dilaksanakan, sementara kemungkinan
adat adat kebiasaan dan norma-norma tersebut kadang-kadang dianggap dan
dipandang tidak sesuai atau tidak relevan lagi dengan konsep yang ada dalam
UU dan KHI terkait hak dan kewajiban anak angkat.
Jika dikaitkan dengan keadaan yang terjadi di Kota Medan, peneliti
mengklasifikasikannya menjadi: Terhadap kasus menyembunyikan identitas
anak angkat dari masyarakat, mereka melakukan dengan sengaja demi harga
diri dan nama baik keluarga. Terhadap kasus menghilangkan nasab anak
angkat dengan orang tua kandungnya, masyarakat lebih mementingkan
perasaan dari pada logika hukum.
Sedangkan terhadap kasus menyamakan aurat anak perempuan
kandung dengan anak perempuan angkat, disebabkan ketidaktahuan mereka
terhadap aturan hukum Islam tentang aturan batasan aurat yang benar.
Kemudian untuk kasus pemberian harta warisan kepada anak angkat,
masyarakat belum mengetahui produk hukum yang terdapat di dalam KHI
pasal 209 tentang wasiat wajibah terhadap anak angkat, hal tersebut
merupakan sesuatu yang baru bagi mereka, dan mereka tidak mengenali dan
memahami aturan-aturan yang terdapat dalam pasal 209 KHI tersebut.
Sementara untuk kasus ayah angkat menjadi wali nikah, masyarakat lebih
kepada mengingkari hukum dengan alasan khawatir membuat anak
angkatnya sedih.
Hal seperti ini terjadi disebabkan karena pengetahuan hukum,
pemahaman hukum dan kesadaran yang kurang menjadi perhatian di dalam
masyarakat. Hal tersebut terjadi kemungkinan disebabkan oleh kurangnya
182
Jurnal Nuansa Akademik: Jurnal Pembangunan Masyarakat Vol. 7 No. 2, Desember 2022
Sikap Masyarakat Muslim Kota Medan Terhadap Kedudukan Anak Angkat
Ditinjau Dari UU Nomor 23 Tahun 2002, Kompilasi Hukum Islam Dan Hukum Adat
sosialisasi suatu hukum baru terhadap masyarakat tidak begitu diperhatikan
oleh pemerintah.
Pemahaman hukum,
Pemahaman
hukum dan kesadaran hukum yang kurang tersebut
menyebabkan sebagian masyarakat muslim kota Medan melakukan
pelanggaran terhadap hokum. Diantaranya UU No 23 Tahun 2002,
Kompilasi Hukum Islam dan hokum adat yang berlaku.
Dangkalnya pemahaman agama masyarakat tentang persoalan anak angkat
Masyarakat kota Medan khususnya wilayah penelitian yang dipilih
dalam penelitian ini yaitu Medan Denai, Medan Kota dan Medan Amplas
adalah masyarakat muslim yang menganut Islam Sunni dengan Mazhab
Syafi’i. Hal ini diketahui dari pelaksanaan ibadah yang dilakukan masyarakat
setempat mengarah pada fikih Syafi’i.
Namun sayangnya, mayoritas masyarakat muslim bermazhab Syafi’i
di ketiga kota Medan khususnya ketiga kecamatan tersebut cenderung lebih
fokus pada urusan ibadah mahdhah saja. Seperti sholat, puasa, zakat, haji.
Sementara untuk urusan ibadah ghairu mahdhah cenderung memihak pada
kebiasaan orang tua dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat.
Sehingga untuk urusan seperti kedudukan anak angkat ini masyarakat lebih
mengikuti “kata orang”, dan akhirnya yang terjadi adalah masyarakat
mempunyai pandangan anak angkat sama saja dengan anak kandung,
terutama untuk keluarga yang tidak dikaruniai anak dalam pernikahannya.
Aturan agama, dalam hal ini fiqih klasik dan Kompilasi Hukum Islam,
masyarakat
tidak
terlalu
mempedulikannya.
Bahkan
ketika
ditanya
bagaimana aturan Islam tentang anak angkat mereka tidak banyak
mengetahui. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya:
Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat
Hemat penulis rendahnya tingkat pendidikan masyarakat menjadi
salah satu sebab dangkalnya pemahaman agama masyarakat. Karena ratarata masyarakat yang melakukan pelanggaran terhadap UU No 23 Tahun
2002, Kompilasi Hukum Islam dan peraturan yang berlaku sebagaimana yang
telah peneliti temukan di masyarakat hanya tamat SMP dan SMA umum.
Jurnal Nuansa Akademik: Jurnal Pembangunan Masyarakat Vol. 7 No. 2, Desember 2022
183
A. Putri, MF. Hamdani, I. Yazid
Walaupun ada juga yang sarjana namun pendidikan mereka hanya sedikit
yang berbasis agama. Selain itu hasil didikan orang tua yang kurang faham
terhadap hukum dan agama kepada anak-anaknya, juga berdampak pada
rendahnya pengetahuan masyarakat.
Faktor lainnya ialah Sikap apatis masyarakat yang tinggi. Sikap apatis
juga menjadi sebab dangkalnya pemahaman agama masyarakat. Ada
masyarakat yang mengetahui sedikit ilmu agama, tetapi enggan menggali lagi
keilmuwannya. Ada masyarakat yang sama sekali tidak mengetahui hukum
suatu perkara, kemudian juga tidak berusaha untuk mencaritahunya.
Masyarakat
juga
disibukkan
terhadap
pekerjaannya.
Terlalu
disibukkan dengan bekerja dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan
keluarga juga menjadi faktor yang mendukung dangkalnya pemahaman
agama masyarakat. Pekerjaan yang cenderung banyak dapat menyita waktu
dan fokus untuk melakukan hal lainnya. Hal inilah yang mengakibatkan
masyarakat tidak memiliki waktu untuk belajar agama, membaca buku,
mendengarkan pengajian di masjid, mushalla atau surau, bertanya tentang
suatu hukum kepada ahlinya, apalagi memahami al-Quran dan hadist.
Para Muballigh sangat jarang menyampaikan materi dakwah tentang
anak angkat. Pada umumnya para dai hanya menyampaikan materi terkait
akhlak dan fikih ibadah. Kalau pun ada tentang hukum suatu perkara seperti
persoalan anak angkat ini, maka bentuknya berupa pertanyaan dari
masyarakat.
Pengingkaran terhadap hokum. Sebagian masyarakat muslim kota
Medan yang peneliti wawancarai mengetahui hukum dan aturan tentang
anak angkat. Tetapi mereka mengingkari hukum tersebut dengan berbagai
alasan. Antara lain; Sikap egois yang tinggi dan sifat gengsi. Mayoritas alasan
pengangkatan anak yang terjadi di tengah-tengah masyarakat adalah karena
tidak memiliki keturunan. Hemat peneliti hal tersebut menjadi suatu
kehormatan dan harga diri yang berbentuk privasi. Oleh karena itu untuk
menjaga privasi tersebut maka terjadilah pengingkaran hukum.
Penutup
184
Jurnal Nuansa Akademik: Jurnal Pembangunan Masyarakat Vol. 7 No. 2, Desember 2022
Sikap Masyarakat Muslim Kota Medan Terhadap Kedudukan Anak Angkat
Ditinjau Dari UU Nomor 23 Tahun 2002, Kompilasi Hukum Islam Dan Hukum Adat
Analisa sikap masyarakat Muslim Kota Medan terhadap kedudukan
anak angkat ditinjau dari UU No. 23 Tahun 2002 dan Kompilasi Hukum
Islam dan peraturan yang berlaku adalah baik UU No 23 Tahun 2002
maupun KHI serta PP No 54 Tahun 2007 memandang bahwa sikap sebagian
masyarakat muslim kota Medan telah melanggar aturan hukum negara dan
agama. Namun bagi yang sudah memahami bahwa anak angkat tidak sama
dengan anak kandung maka inilah yang sesuai dengan aturan UU No 23
Tahun 2002, Kompilasi Hukum Islam dan peraturan yang berlaku, dan sikap
seperti inilah yang harus dicontoh oleh masyarakat yang melakukan
pengangkatan anak dimana pun berada.
Pembahasan dengan fokus kajian di atas juga bermaksud memancing,
menstimulasi, dan mendorong diskusi dan riset lebih jauh lagi. Dorongan ini
cukup beralasan mengingat potensi besar keberadaan hukum Islam nusantara
dalam menjawab tantangan global, terutama dalam melahirkan hukum islam
dan undang-undang serta adat istiadat. Pada akhirnya, kompilasi hukum ini
menjadi rujukan dalam menempatkan kedudukan anak angkat.
Daftar Pustaka
Abdullah, Abdul Gani. 1994. Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia. Gema Insani.
Anggito, Albi, dan Johan Setiawan. 2018. Metodologi penelitian kualitatif. CV
Jejak (Jejak Publisher).
Bahroni, Achmad, Ariella Gitta Sari, Satriyani Cahyo Widayati, dan Hery
Sulistyo. 2019. “Dispensasi Kawin Dalam Tinjauan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Juncto Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Anak.” Transparansi Hukum 2(2).
Darmayasa, I. Wayan Edy, Anak Agung Sagung Laksmi Dewi, dan I. Made
Minggu Widyantara. 2020. “Perlindungan Hukum terhadap Anak di
Bawah Umur sebagai Pengemis.” Jurnal Interpretasi Hukum 1(2):104–9.
Al Fahmi, Mifa, Hasballah Thaib, Hashim Purba, dan Rosnidar Sembiring.
2017. “Warisan anak angkat menurut hukum adat dan kompilasi hukum
Islam.” USU Law Journal 5(1):164962.
Firdaus, Ahmad Juneidi, Lola Astari, dan Firda Mustikasari. 2020. “Various
Methods of Establishing Contemporary Islamic Law.” Ulumuddin: Jurnal
Ilmu-ilmu Keislaman 10(1):39–58.
Hidayat, Fattah, dan Imroatun Imroatun. 2017. “Keluarga Berencana Dan
Pengasuhan Anak Usia Dini Di Indonesia Perspektif Psikologi.” Hal.
164–71 in Book Two International Conference Proceeding: Konsepsi dan
Implementasi Pendidikan Islam Anak Usia Dini, diedit oleh A. dkk.
Jurnal Nuansa Akademik: Jurnal Pembangunan Masyarakat Vol. 7 No. 2, Desember 2022
185
A. Putri, MF. Hamdani, I. Yazid
Pontianak: IAIN Pontianak.
Muthmainnah, Muthmainnah, dan F. Setiawan Santoso. 2019. “Akibat
Hukum Harta Bersama Perkawinan Dalam Pewarisan Di Indonesia
Analisis Komparatif Hukum Islam Dan Hukum Adat.” Ulumuddin:
Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman 9(1):81–96.
Nasution, Adawiyah. 2019. “Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.”
Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum 6(1):14–26.
Ningsih, Gita Murdia. 2019. “Konsep melestarikan keutuhan rumah tangga:
studi kasus pasangan suami istri yang mandul di Desa Rumbuk
Kecamatan Sakra Kabupaten Lombok Timur.”
Nurhayati, Ria. 2019. “Membangun Budaya Literasi Anak Usia Dini dalam
Keluarga.” Nuansa Akademik: Jurnal Pembangunan Masyarakat 4(1):79–88.
doi: 10.47200/JNAJPM.V4I1.918.
Nurhayati, Yati, Ifrani Ifrani, dan M. Yasir Said. 2021. “Metodologi
Normatif Dan Empiris Dalam Perspektif Ilmu Hukum.” Jurnal Penegakan
Hukum Indonesia 2(1):1–20.
Putra, Hamidansyah Putra, Edy Ikhsan, Hasim Purba, dan Hasballah Thaib.
2015. “Perlindungan Hukum Terhadap Pelaksanaan Pengangkatan Anak
Ditinjau dari Hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.” USU Law Journal 3(2):68–77.
Saleh, Derry Adrian. 2014. “HAK ANAK ANGKAT PADA
MASYARAKAT
BATAK
TOBA
DALAM
PEWARISAN
DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN
2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.”
Sasnifa, Pidayan. 2018. “Implementasi dari Perkawinan Yang Tidak
Dicatatkan Terhadap Perlindungan Hukum Anak Ditinjau Dari
Uundang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 Pelaksanaanya Di Kecamatan Tanah Kampung Kota
Sungai Penuh.” Islamika: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman 18(01):39–53.
Setiaka, Dhanang. 2019. “HAK-HAK ANAK ANGKAT MENURUT FIQH
DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI).”
Sholihah, Hani. 2018. “Perbandingan Hak-hak Anak menurut UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Hukum
Islam.” al-Afkar, Journal For Islamic Studies 1(2, July):88–112.
Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Suprayudi, Mitra. 2014. “Analisis Hukum Terhadap Tabanni (Pengangkatan
Anak) Menurut Fikih Islam Dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.” Premise Law Journal 2:14009.
Wulandari, Andi Sri Rezky. 2018. “Studi Komparatif Pembagian Harta
Warisan Terhadap Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan
Hukum Perdata.” Jurnal Cahaya Keadilan 5(2):1–21.
186
Jurnal Nuansa Akademik: Jurnal Pembangunan Masyarakat Vol. 7 No. 2, Desember 2022