Cholifah dan Wahyuningsih, Pembentukan Mata Uang Tunggal …
152
Pembentukan Mata Uang Tunggal Kawasan ASEAN
(The Establishment Single Currency of ASEAN Region)
Nurul Cholifah, Diah Wahyuningsih*
Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Trunojoyo Madura
Jl. Raya Telang PO BOX 2 Kamal, Bangkalan, Madura
E-mail:
[email protected]
Abstrak
Integrasi keuangan merupakan langkah terakhir yang bisa dilakukan untuk mencapai integrasi ekonomi. Satu syarat yang harus
dipenuhi sebelum adanya penerapan integrasi keuangan adalah dengan adanya kriteria area mata uang optimal (OCA). Tujuan
penelitian ini: 1) untuk mengetahui adanya kedekatan mata uang atas perubahan nilai tukar bilateral sebagai pendukung dalam
kemungkinan pembentukan mata uang tunggal kawasan ASEAN, 2) menganalisis mata uang jangkar pilihan yang memiliki
pengaruh positif (apresiasi) terhadap mata uang lokal kawasan ASEAN sebagai mata uang tunggal kawasan. Penelitian ini
menggunakan data tahunan real output, ukuran rasio GDP, perdagangan bilateral, perbedaan komposisi perdagangan dan nilai
tukar sepanjang periode 1995-2018. Metode analisis yang digunakan adalah uji data panel. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa mata uang negara ASEAN belum memiliki kedekatan pembentukan mata uang tunggal kawasan di kawasan ASEAN.
Sedangkan untuk menentukan mata uang jangkar yang sesuai digunakan sebagai mata uang bersama yaitu SGD (Dollar
Singapura) secara empiris memberikan pengaruh positif (apresiasi) di kawasan ASEAN dibandingkan RMB, JPY, Euro, atau
USD. Oleh karena itu SGD dapat diusulkan sebagai mata uang jangkar untuk negara ASEAN.
Kata Kunci: indeks OCA, mata uang jangkar, mata uang tunggal.
Abstract
Financial integration is the last step that can be done to achieve economic integration. One condition that must be met before
the implementation of financial integration is the existence of the optimal currency area (OCA) criteria. The purpose of this
study: 1) to find out the closeness of the currency to changes in the bilateral exchange rate as a supporter in the possibility of
forming a single currency in the ASEAN region, 2) to analyze the chosen anchor currency which has a positive influence
(appreciation) on the local currency of the ASEAN region as a currency single money region. This study uses annual real
output data, size of GDP ratio, bilateral trade, differences in the composition of trade, and the exchange rate throughout of
1995-2018 period. The analytical method used is panel data test. The results showed that the currencies of ASEAN countries
did not yet have the closeness of forming a single currency in the ASEAN region. Meanwhile, to determine the appropriate
anchor currency to be used as a shared currency, namely SGD (Singapore Dollar) empirically has a positive influence
(appreciation) in the ASEAN region compared to RMB, JPY, Euro, or USD. Therefore SGD can be proposed as an anchor
currency for ASEAN countries.
Keywords: OCA index, anchor currency, single currency.
Pendahuluan
Sampai pada dua dasawarsa terakhir, kebijakan nilai tukar di
negara-negara ASEAN, akan terus dijadikan lahan observasi
kritis oleh para peneliti. Kajian kritis tersebut diantaranya,
mengenai kepedulian tentang negara-negara ini dalam
mendapatkan keunggulan kompetitif melalui depresiasi mata
uang mereka; implikasi rezim nilai tukar pada implementasi
kebijakan moneter; dan pandangan mengenai mata uang
(Euro) yang merupakan suatu cerminan dari adanya struktur
kekuatan ekonomi global (Henning, 2012).
Salah satu negara yang telah berpengalaman dalam
membentuk mata uang tunggal yaitu negara di wilayah Eropa
Union. Diberlakukannya mata uang Euro secara resmi pada 1
Januari 2002, telah menandai tahap akhir dari persatuan
moneter Uni Eropa (UE). Economic and Monetary Union
(EMU) yang secara historis belum pernah terjadi
sebelumnya, termasuk kriteria konvergensi ekonomi secara
ketat, dan tidak diimbangi di tingkat Uni Eropa (UE),
sehingga pemerintah menerapkan kebijakan fiskal pan-EU
(Crowley, 2015).
Dalam perjanjian Maastricht, memuat adanya keputusan
mengenai penggunaan mata uang Euro sebagai mata uang
tunggal di wilayah Uni Eropa. Perkembangan mata uang
Euro sebagai mata uang tunggal kawasan dapat bertahan
dengan baik, dan mampu menduduki peringkat mata uang
nomor dua di dunia. Serta menjadi pilihan alternatif ketika
mata uang Dollar dalam keadaan tidak stabil. Dengan adanya
keberhasilan mata uang Euro menjadi mata uang tunggal di
Eropa, menjadikan motivasi bagi negara-negara kerjasama di
wilayah kawasan lain, dalam upaya pembentukan mata uang
tunggal kawasan khususnya di wilayah ASEAN.
Terjadinya krisis keuangan yang melanda wilayah Asia pada
tahun 1997 - 1998 berdampak pada hampir seluruh negara di
wilayah Asia Timur pada bulan Juli 1997 yang menimbulkan
adanya
kepanikan, hingga perekonomian di dunia
mengalami keruntuhan yang diakibatkan karena adanya
penularan keuangan. Adanya krisis tahun 1997-1998 di Asia
membuat banyak negara terkena dampak yang sangat
signifikan, diantaranya mengenai nilai mata uang di sebagian
wilayah Jepang dan Asia Tenggara menurun, bursa saham
dan nilai aset lainnya jatuh, serta hutang kepada swasta juga
* Corresponding author
e-Journal Ekonomi Bisnis dan Akuntansi, 2020, Volume VII (2) : 152-158
ISSN : 2355-4665
Cholifah dan Wahyuningsih, Pembentukan Mata Uang Tunggal …
mengalami kenaikan secara drastis (Friskandini, 2016).
Selain itu, Siswanto dalam Friskandini (2016) mengatakan
bahwa dalam kurun waktu 10 tahun, pertumbuhan ekonomi
negara ASEAN-5 setiap tahunnya tumbuh rata-rata mencapai
8%. Namun, setelah adanya krisis yang terjadi, pertumbuhan
ekonomi di wilayah ASEAN mengalami penurunan dan
mengakibatkan adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi
(Wiranata Kusuma et al., 2013).
Gambar 1. Pergerakan Nilai Tukar Negara ASEAN (USD)
Gambar 2. Pertumbuhan Ekonomi Negara ASEAN (USD)
Sebelum adanya krisis, hanya sebagian kecil negara yang
menginginkan adanya pembentukan mata uang tunggal
kawasan. Namun, setelah terjadinya krisis tahun 1997-1998
di kawasan Asia, beberapa negara di wilayah Asia butuhkan
struktur kerja baru untuk membentuk kerja sama pada bidang
keuangan dan integrasi moneter (Mohseni & Azali, 2014).
Satu syarat yang harus di penuhi sebelum adanya penerapan
integrasi keuangan adalah dengan adanya kriteria area mata
uang optimal (OCA). Dari sudut pandang kerjasama
ekonomi, OCA merupakan tahapan tertinggi dari proses
integrasi (Achsani & Partisiwi, 2010).
Salah satu kriteria area mata uang optimal (OCA) yang
sangat penting adalah adanya pergerakan yang sama pada
nilai tukar negara-negara yang ingin membentuk mata uang
tunggal. Kemungkinan dari pembentukan mata uang tunggal
juga memiliki ketergantungan dengan beberapa faktor
ekonomi, serta untuk memenuhi kriteria pembentukan
optimum currency area. Hal tersebut dilakukan untuk
memberikan jaminan bahwa integrasi keuangan dapat
memberikan keuntungan yang lebih besar, jika dibandingkan
dengan biaya yang ditanggung oleh negara kawasan ataupun
negara yang secara individu, bergabung dalam integrasi
keuangan tersebut. Selain itu dapat mengurangi adanya
dampak ekonomi yang terjadi setelah adanya pembentukan
mata uang tunggal kawasan (Friskandini, 2016).
153
Langkah selanjutnya yang dapat ditempuh untuk dapat
membentuk mata uang tunggal kawasan adalah dengan
adanya penetapan mata uang jangkar. Mata uang jangkar
(anchor currency) merupakan sebutan untuk mata uang yang
menjadi pilihan untuk negara yang memakai system kurs,
untuk dapat meningkatkan nilai tukar mata uang domestik.
Mata uang jangkar yang biasanya dipakai merupakan jenis
mata uang kuat dunia yang peredarannya dapat diterima oleh
khalayak luas (Alvarado, 2014).
Beragam penelitian telah berkembang dan berusaha untuk
mengidentifikasi berbagai permasalahan terkait dengan
pembentukan mata uang tunggal kawasan. Penelitian (Ahn et
al., 2006) menyatakan bahwa negara ASEAN-5, Hongkong,
Korea Selatan, Taiwan dan Jepang bisa membentuk currency
area pada saat keadaan makroekonomi mengalami
ketidakstabilan untuk membentuk kawasan mata uang
tunggal. Selain itu, menurut Salvator dalam Friskandini,
(2016) pembentukan mata uang tunggal bisa mengurangi
terjadinya ketidak- pastian rezim flexible exchange rate,
memberikan dorongan adanya keahlian dalam produksi,
investasi diantara negara anggota, dan aliran perdagangan.
Sementara itu, Alvarado (2014), Kawai dan Pontines (2014)
mampu menjelaskan bahwa pembentukan mata uang tunggal
kawasan tak hanya melihat respon guncangan, akan tetapi
melalui pergerakan nilai tukar yang sama dengan pengaruh
siklus bisnis dari perubahan output yang terlihat, ukuran
ekonomi suatu negara, hubungan perdagangan dan komposisi
ekspor.
Penelitian ini menggunakan teori Optimum Currency Area
yang dikemukakan oleh beberapa tokoh seperti Mundel
(1961), Kinnon (1963), dan juga Kennen. Serta teori
keuntungan dan biaya dari adanya pembentukan mata uang
tunggal oleh Mongelli (2002).
Adapun tujuan dari penelitian ini diantaranya adalah untuk
mengetahui adanya kedekatan mata uang pada perubahan
nilai tukar bilateral serta menganalisis mata uang jangkar
yang memiliki pengaruh positif (apresiasi) terhadap mata
uang lokal kawasan ASEAN sebagai mata uang tunggal.
Metode
Jenis dan Sumber Data
Menggunakan data sekunder tahunan dari 10 negara anggota
ASEAN yaitu Malaysia, Indonesia, Philipina, Thailand, Laos,
Singapura, Vietnam, Kamboja, Brunei Darussalam, dan
Myanmar. Data pada penelitian ini bersumber dari Bank
Indonesia, Worldbank, International Monetary Fund (IMF),
International Financial Statistic serta Comtrade. Data yang
digunakan yaitu data real output, perdagangan bilateral,
perbedaan komposisi perdagangan, data nilai tukar dan
ukuran rasio GDP. Data di mulai dari tahun 1995-2018.
Menggunakan dua macam uji yaitu uji OLS dan uji regresi
menggunakan data panel. Indeks OCA digunakan untuk
melihat adanya pergerakan yang sama pada nilai tukar
bilateral antar negara angota ASEAN. Sedangkan untuk mata
uang alternatif pilihan kawasan (Eropa Euro, JPY, RMB,
USD, dan Singapura Dollar) digunakan untuk melihat adanya
respon (apresiasi) pada mata uang kawasan (ASEAN), yang
kemudian dapat diusulkan sebagaimata uang tunggal
kawasan ASEAN.
e-Journal Ekonomi Bisnis dan Akuntansi, 2020, Volume VII (2) : 152-158
ISSN : 2355-4665
Cholifah dan Wahyuningsih, Pembentukan Mata Uang Tunggal …
Metode Analisis
Menggunakan model data panel statis untuk mengetahui
kemungkinan pembentukan mata uang tunggal kawasan
dengan menggunakan alat bantu eviews 9. Menurut
Widarjono dalam Prasanti et al. (2015) gabungan antara data
cross section dan data time series dinamakan data panel.
Selain itu, penelitian ini menggunakan analisis data panel
karena ingin melihat kemungkinan dari adanya pembentukan
mata uang tunggal kawasan, serta pilihan mata uang jangkar
sebagai alternatif mata uang pilihan yang bisa digunakan.
Dalam penelitian ini menggunakan model yang diadopsi oleh
Bayoumi dan Eichengreen (1997) melalui nilai indeks dalam
uji pembentukan Optimum Currency Area. OCA indeks
merupakan nilai prediksi dari variabilitas nilai tukar. Variabel
nilai tukar diukur menggunakan standar deviasi dari
perubahan dalam bentuk logaritma nilai tukar bilateral antara
negara i dengan negara j. Apabila Nilai OCA Indeks
menunjukkan nilai yang semakin rendah maka keuntungan
dalam membentuk currency union akan semakin meningkat
jika dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan.
Model penentuan nilai indeks dalam uji pembentukan
Optimum Currency Area sebagai berikut:
SD ( e)ij =α + β 1 SD ( ∆Y i− ∆Y j ) + β 2 TRADE ij + β 3 SIZE.ij + β 4 DISSIM ij +ε X
........(1)
Dimana SD (e)ij adalah standar deviasi dari perubahan
sistem logaritma nilai tukar antara negara i dengan negara ;
SD ( ∆Y i − ∆Y j ) adalah standar deviasi dari perbedaan
logaritma output riil antara negara i dengan negara j;
adalah rata-rata dari rasio ekspor bilateral
TRADE ij
terhadap GDP domestik antara negara i dengan negara j;
SIZE.ij adalah rata-rata logaritma GDP antara negara i
dengan negara j; DISSIM ij adalah jumlah dari perbedaan
absolut dalam perdagangan pangsa dari agrikultur, mineral,
dan manufaktur pada total barang yang di perdagangkan
antara negara i dan negara j; α dan β adalah parameter
regresi, ε X merupakan error term.
Dalam penentuan mata uang jangkar yang dapat digunakan
sebagai mata uang tunggal alternatif kawasan dapat dilakukan
dengan menggunakan regresi OLS.
Model regresi mata uang jangkar:
∆ log
x
Euro
+ β ∆ log (
( NZD
)=α + β ∆log ( USD
NZD )
NZD )
+ β 3 ∆log
0
(
)
1
2
(
)
(
)
RMB
JPY
SGD
+ β 4 ∆log
+ β 5 ∆ log
+ε X ..
NZD
NZD
NZD
..........(2)
Dimana x merupakan mata uang lokal kawasan negara
anggota ASEAN. USD adalah US Dollar. Euro merupakan
mata uang Eropa Union Euro. RMB merupakan mata uang
China. Yen merupakan mata uang negara Jepang, dan SGD
merupakan Singapura Dollar. ∆e merupakan logaritma
nilai tukar, ε X merupakan error term, dan α merupakan
parameter regesi.
Kawai dan Pontines (2014) menyebutkan bahwa
digunakannya mata uang Dollar New Zealand (NZD) sebagai
154
penyebut karena mata uang ini terbuka tanpa adanya control
nilai tukar serta control kapita dan bergerak mengambang
bebas dari ekonomi kecil. Oleh karena itu, dapat menjadi
pertimbangan untuk mengukur mata uang Asia khususnya
wilayah ASEAN yang di teliti pada penelitian kali ini.
Estimasi model regresi data panel dapat dilakukan dengan
menggunakan 3 pendekatan yaitu Common Effect Model
(CEM), Fixed Effect Model (FEM), Random Effect Model
(REM).
Teknik estimasi model regresi data panel yang paling
sederhana adalah dengan menggunakan CEM. Dalam
estimasinya dilakukan menggunakan OLS. Modelnya dapat
dinyatakan sebagai berikut:
y it =α+ xit β + μ it ..............................(3)
i = 1,2,..., N ; t = 1,2,..., T
Gujarati (2003) mengungkapkan bahwa cara untuk melihat
adanya heterogenitas unit cross section pada model regresi
data panel dalam pendekatan Fixed Effect Model, yaitu
dengan membiarkan adanya nilai intersep yang berbeda-beda
dalam setiap data cross section, namun masih menggunakan
asumsi slope konstan. Persamaan FEM:
y it =α 1+ xit β + μ it ..........................(4)
i = 1,2,..., N ; t = 1,2,..., T
Adanya perbedaan intersep dari masing-masing individu
ditunjukkan melalui indeks i pada intersep ( α1 ).
Setiap unit cross section nya mempunyai perbedaan intersep,
hal tersebut merupakan asumsi dari pendekatan Random
Effect Model (REM). α1 merupakan variabel acak dengan
mean
α0 . Sehingga intersep dapat ditulis sebagai
α1 =α0 +ε i , dengan ε i merupakan error random yang
2
mempunyai mean nol dan varian σ ε . Persamaan REM
dapat dinyatakan sebagai berikut:
y it =α 0 +x it β +w it .........................(5)
i = 1,2,..., N ; t = 1,2,..., T
Dengan
εi
merupakan komponen
w it =ε i + μ it ,
errorcross section, dan
μit
adalah error secara
menyeluruh yang merupakan kombinasi cross section dan
time series.
Untuk pemilihan model terbaik yang dapat digunakan,
terdapat beberapa langkah pengujian antara lain:
Uji Chow, dilakukan untuk memilih model estimasi terbaik
antara CEM dan FEM, dengan H0 : α1 = α 2 =
α3 = ... = α N (model CEM); H1 : minimal ada satu
α1 ≠ α N (model FEM).
Statistik uji Chow dinyatakan pada persamaan berikut
(Greene, 2008):
F=
( SSE CEM −SSE FEM )/( N −1)
................(6)
SSE FEM /( NT − N −k )
Dimana SSE CEM adalah sum square error model CEM;
SSEFEM adalah sum square error model FEM; N adalah
banyak unit cross section; T banyak unit time series; k
merupakan banyaknya parameter yang di estimasi.
e-Journal Ekonomi Bisnis dan Akuntansi, 2020, Volume VII (2) : 152-158
ISSN : 2355-4665
Cholifah dan Wahyuningsih, Pembentukan Mata Uang Tunggal …
1. Uji Hausman, dilakukan jika hasil uji Chow yang sesuai
adalah FEM. Uji hausman dilakukan untuk memilih model
estimasi terbaik antara model FEM atau model REM. Dengan
H0 : Corr (Xit, μit ) = 0 (model REM); H1 : Corr (Xit,
μ it ) ≠ 0 (model FEM).
155
2.Hasil Analisis Mata Uang Jangkar
Tabel 2. Hasil Estimasi Mata Uang Jangkar
Statistik uji Hausman pada persamaan berikut (Greene,
2008):
W = [ β ∧FEM − β ∧REM ] Ψ ∧−1 [ β∧FEM − β ∧ REM ] (7)
Dengan � = Var [ β ∧ FEM ] – Var [ β ∧ REM ] taraf
signifikan sebesar α, maka diambil keputusan menolak 0 jika
2
W ≥
dengan k adalah banyaknya variabel
X (k ; a)
independen.
2. Uji LM digunakan untuk menguji apakah terdapat
heterokedastisitas pada FEM antar kelompok individu cross
2
section. Dengan H0 : σ i = 0 (FEM memiliki struktur
2
homokedastik); H1 :
σ i ≠ 0 (FEM memiliki struktur
heterokedastik).
Sumber: Hasil olah data eviews 9, 2020
Statistik uji :
Keterangan: Tanda (*) menunjukkan hasil yang signifikan.
Pembahasan
...... (8)
2
H0 ditolak jika LM > X (N – 1,α) atau рvalue < α, artinya
model FEM memiliki struktur yang heteroskedastik sehingga
untuk mengatasi harus diestimasi dengan metode cross
section weighted.
Hasil dan Pembahasan
Hasil
1. Hasil Analisis Indeks Optimum Currency Area
Tabel 1. Hasil Estimasi Persamaan Indeks OCA
Indeks Optimum Currency Area (OCA)
Indeks Optimum Currency Area (OCA) digunakan untuk
memberikan nilai pada perubahan standart deviasi logaritma
nilai tukar dari dua negara secara berpasangan (nilai tukar
bilateral). Menurut Bangake, 2007 dalam Friskandini (2016)
perubahan mata uang membuat adanya dampak positif
terhadap perbedaan struktur ekspor dan siklus bisnis. Hal
tersebut sesuai dengan syarat terbentuknya OCA, bahwa
siklus bisnis merupakan hal yang penting. Apabila kawasan
tersebut mempunyai persamaan pada siklus bisnis, maka
dapat membentuk mata uang tunggal kawasan, karena negara
tersebut
mempunyai
persamaan
kebijakan
dalam
penyelesaian masalah ketidakseimbangan.
Dari hasil uji regresi data panel di dapatkan model terbaik
yaitu dengan menggunakan model FEM. Hal tersebut dapat
dilihat dari hasi uji chow, tingkat prob. cross section chisquare nya 0.02 atau < tingkat kesalahan 0.05 maka H1
diterima, maka metode yang tepat untuk digunakan adalah
FEM. Begitu juga pada hasil uji hausman, prob. cross section
random nya 0.000 atau < tingkat kesalahan 0.05, maka H1
diterima jadi model yang tepat digunakan pada penelitian ini
menggunakan model FEM.
Sumber: Hasil olah data eviews 9, 2020
Keterangan: Tanda (*) menunjukkan hasil yang signifikan.
Tabel 1 menunjukkan hasil estimasi dari persamaan Indeks
Optimum Currency Area (OCA) yang dibangun oleh
Bayoumi dan Eichengreen (1997). Hasil estimasi
menunjukkan bahwa indeks OCA negara ASEAN dapat
diaplikasikan pada tingkat signifikasi F0.05 dengan variabel
bebas merespon pengaruhnya sebesar 72% terhadap variabel
dependen. Pada hasil uji F diperoleh hasil bahwa F - hitung
sebesar 22.39 lebih besar jika dibandingkan dengan F-tabel
2.37 dengan tingkat probabilitas sebesar 0.042 atau kurang
dari tingkat kesalahan 0.05. Bisa disimpulkan bahwa secara
e-Journal Ekonomi Bisnis dan Akuntansi, 2020, Volume VII (2) : 152-158
ISSN : 2355-4665
Cholifah dan Wahyuningsih, Pembentukan Mata Uang Tunggal …
simultan variabel SD (
∆Y i − ∆Y j ),
TRADE ,
berpengaruh terhadap SD(eij).
SIZE. ,
DISSIM
Sedangkan pada uji-t terdapat satu variabel yang mempunyai
pengaruh signifikan yaitu variabel SIZE.
Jumlah periode pada penelitian ini yaitu terdapat 24 periode
penelitian yang di mulai dari tahun 1995-2018. Untuk jumlah
observasi yang digunakan yaitu ada sebanyak 1080, jumlah
observasi yang di dapatkan dihitung dari jumlah data dua
negara berpasangan (i,j) yaitu ada sebanyak 45 pasang
negraa yang kemudian dikalikan dengan jumlah periode
penelitian sebanyak 24.
Nilai α sebesar -0.729049 pada hasil regresi menunjukkan
hasil negatif, yang berarti terdapat penurunan guncangan
asimetrik pada kawasan ASEAN. Hal ini mendukung temuan
oleh Bayoumi dan Eichengreen (1997) dan Friskandini
(2016) yang menyatakan bahwa pada masing-masing
kawasan penelitiannya menunjukkan adanya penurunan
guncangan asimetrik. Namun hal tersebut berbeda dengan
teori Bayoumi dan Eichengreen (1997) bahwa salah satu cara
untuk dapat mendukung pembentukan mata uang tunggal
kawasan dapat di capai dengan menaikkan guncagan simetris.
Variabel SD ( ∆ Y i − ∆ Y j ) dengan koefisien -0.0063 dan
tingkat prob. 0.35 78. Variabel SD ( ∆Y i − ∆Y j ) tidak
berpengaruh terhadap variabel SD(eij). Nilai negatif pada
hasil estimasi menunjukkan bahwa negara ASEAN
mempunyai siklus bisnis yang kecil. Adanya perbedaan
kebijakan moneter pada setiap negara anggota ASEAN yang
merupakan salah satu faktor untuk mendukung rendahnya
siklus bisnis di wilayah ASEAN. Menurut Lestari (2011)
peningkatan perdagangan bukan merupakan syarat mutlak
untuk bisa menjamin adanya keselarasan siklus bisnis juga
dapat dipengaruhi dengan adanya koordinasi kebijakan
moneter. Friskandini (2016) mengatakan bahwa adanya
siklus bisnis yang berkaitan dapat memberikan keuntungan
bagi ASEAN dalam membentuk mata uang tunggal kawasan.
Variabel TRADE dengan koefisien -0.0024 dan tingkat prob.
0.4825. Variabel TRADE tidak berpengaruh terhadap SD(e ij).
Beragamnya kondisi perekonomian di negara ASEAN
membuat adanya spesialisai keunggulan komparatif di
masing-masing negara, hal tersebut dilakukan bertujuan
untuk efisiensi produksi. Apabila terdapat dua negara
melakukan spesialisasi pada saat produksi suatu barang, serta
memiliki keunggulan produktivitas, maka kedua negara
tersebut akan mendapatkan keuntungan dari perdagangan
yang telah disepakati. Karena adanya ketergantungan dan
keberagaman sumber daya satu sama lain membuat negara
ASEAN memilih adanya spesialisasi terhadap keunggulan
komparatifnya. Adapun terdapat nilai negatif pada hubungan
perdagangan menurut Krugman dalam Spanikova, 2006
dalam Friskandini (2016) melalui “The Krugman
specialization hypothesis” bahwa hubungan perdagangan
akan menurunkan derajat konvergensi dan siklus bisnis
nasional, menyebabkan negara lebih memilih spesialisasi
terhadap keunggulan komparatifnya dan meningkatkan biaya
integrasi moneter.
Variabel SIZE dengan koefisien 0.6961 dan tingkat prob.
0.0120. Variabel TRADE berpengaruh positif dan signifikan
terhadap SD(eij). Yang berarti bahwa ketika SIZE mengalami
kenaikan sebesar satu satuan, maka SD(eij) akan mengalami
156
kenaikan sebesar 0.69 satuan. Hasil ini mendukung penelitian
yang dilakukan oleh Alvarado (2014) mengenai besarnya
ukuran ekonomi (SIZE) di wilayah ASEAN. Menurut
Spanikova, 2006 dalam Friskandini (2016) SIZE yang
bernilai positif menggambarkan besarnya ukuran ekonomi
suatu negara. Ukuran ekonomi yang besar akan
mengakibatkan perubahan nilai tukar yang lebih besar.
Begitu juga sebaliknya, negara atau suatu kawasan memiliki
ukuran ekonomi yang lebih kecil (bernilai negatif) dapat
menerima keuntungan yang lebih besar dari sistem
pembayaran dan sistem penyimpanan dari mata uang tunggal
kawasan.
Variabel DISSIM dengan koefisien -0.0044 dan tingkat prob.
0.0793. Variabel DISSIM tidak berpengaruh terhadap SD(e ij).
Hasil temuan penelitian ini mendukung hasil temuan
Alvarado (2014) yang menyatakan bahwa variabel DISSIM
pada kawasan ASEAN tidak memiliki pangaruh terhadap
variabel SD(eij). Menurut Alvarado (2014) nilai negatif pada
hasil estimasi menunjukkan bahwa negara ASEAN memiliki
struktur perdagangan asimetrik atau struktur produksinya
berbeda serta memiliki korelasi siklus bisnis yang kecil.
Melalui perhitungan indeks OCA Bayoumi dan Eichengreen
(1996) negara ASEAN dianggap masih belum siap untuk
dapat membentuk mata uang tunggal kawasan. Hal tersebut
terjadi karena negara-negara anggota ASEAN belum
memiliki kedekatan mata uang, serta hubungan perdagangan
internasional. Seperti hal nya yang dikatakan oleh Frankel
dan Rose, 1996 dalam Alvarado (2014) suatu negara dapat
bergabung dengan kawasan mata uang tunggal jika negara
tersebut memiliki kedekatan mata uang, memiliki hubungan
internasional, memiliki kedekatan perdagangan, serta
perubahan outputnya menunjukkan adanya siklus bisnis yang
sinkron.
Perubahan output memiliki kaitan dengan siklus bisnis,
ukuran ekonomi masing-masing negara, perbedaan struktur
perdagangan,
serta
hubungan
perdagangan,
yang
menunjukkan bahwa negara ASEAN belum siap untuk
membentuk mata uang tunggal kawasan. Hal ini terjadi
karena siklus bisnis di wilayah ASEAN masih belum
menunjukkan adanya pergerakan yang simetris, adanya
perbedaan struktur produksi dan spesialisasi keunggulan
komparatif pada perdagangan di wilayah ASEAN membuat
siklus bisnis menjadi kecil. Tingginya ukuran ekonomi di
wilayah ASEAN juga dapat menyebabkan adanya perubahan
mata uang yang semakin besar. Oleh karena itu, negara
ASEAN dinyatakan belum
siap untuk menerapkan
pembentukan mata uang tunggal kawasan.
Pada uji asumsi klasik dari estimasi data panel hanya
dilakukan dua uji, yaitu heteroskedastisitas dan
multikolinieritas. Hasil uji multikolinieritas, dengan melihat
nilai korelasi antar variabel. Nilai korelasi antar variabel
bebas menunjukkan kurang dari 0.8 maka dapat disimpulkan
bahwa
model
fixed
effect
tidak
mengandung
multikolinearitas. Pada hasil uji heteroskedastisitas
probabilitas pada masing-masing variabel bebas serta
probabilitas F-statistiknya menunjukkan hasil yang tidak
signifikan atau lebih dari tingkat kesalahan (0.05) maka, pada
hasil uji heteroskedastisitas model fixed effect yang dipakai
pada penelitian ini tidak mengandung heteroskedastisitas.
e-Journal Ekonomi Bisnis dan Akuntansi, 2020, Volume VII (2) : 152-158
ISSN : 2355-4665
Cholifah dan Wahyuningsih, Pembentukan Mata Uang Tunggal …
Pemilihan Mata Uang Jangkar
Pemilihan mata uang jangkar dilakukan sebagai kelanjutan
dari adanya kemungkinan pembentukan mata uang tunggal
kawasan. Sebuah negara kawasan di sarankan mematok mata
uang mereka ke dalam satu mata uang yang sama, dan
memiliki pengaruh (apresiasi) di wilayah tersebut. Adanya
krisis di wilayah Asia dan berimbas pada hampir seluruh
negara di dunia membuat kredibilitas sistem nilai tukar tetap
unilateral di negara ASEAN menurun. Dengan adanya hal
tersebut dapat membuka adanya peluang yang lebih besar
untuk membentuk integrasi moneter atau keuangan yang
bertujuan untuk meningkatkan stabilitas nilai tukar kawasan.
Kusuma et al (2013) menjelaskan bahwa mekanisme nilai
tukar (ERM), telah diadopsi oleh negara Eropa Union, serta
menetapkan mata uang Euro sebagai mata uang jangkar bagi
negara kawasan Eropa Union. Mata uang Euro telah
memberikan bukti bahwa dia mampu bertahan terhadap
hantaman krisis, sejak ditetapkan nya Euro sebagai mata uang
tunggal dari tahun 1999 hingga tahun 2012 pergerakan nilai
tukar Euro terhadap Dollar mengalami kestabilan. Hal
tersebut merupakan bukti dari kesuksesan mata uang Euro
sebagai mata uang yang kuat terhadap adanya krisis serta
mampu menjaga stabilitas ekonomi di kawasan Eropa Union.
Penelitian sebelumnya telah mengadopsi beberapa alternatif
mata uang yang dapat digunakan oleh negara ASEAN
sebagai mata uang jangkar, antara lain: USD, Jepang Yen,
China Renminbi, Eropa Euro, dan adanya tambahan mata
uang Singapura Dollar karena mata uang ini dianggap
memiliki pengaruh yang cukup dominan di wilayah ASEAN.
Pertimbangan menggunakan SGD sebagai alternatif mata
uang jangkar adalah Singapura merupakan negara di wilayah
ASEAN yang tergolong sebagai negara maju, selain itu
perekonomian negara Singapura juga masuk dalam salah satu
kategori paling terbuka di dunia atau income perkapitanya
lebih tinggi jika dibanding negara anggota ASEAN lainnya.
Frankel dan Wei dalam Kawai dan Pontines (2014)
memaparkan sebuah model yang dibuat dengan meregresi
perubahan nilai dari mata uang kawasan terhadap Eropa Euro
(Euro), China Renminbi (RMB), Jepang Yen (JPY), US
Dollar (USD), dan Singapura Dollar (SGD) yang kemudian
di bagi dengan New Zealand Dollar (NZD) terhadap mata
uang lokal kawasan 9 negara anggota ASEAN.
Tabel 2 menunjukkan hasil regresi OLS dari penentuan
pemilihan mata uang jangkar yang di usulkan sebagai mata
uang alternatif kawasan ASEAN terhadap mata uang lokal
kawasan ASEAN. Dari hasil tersebut dapat menunjukkan
mata uang mana yang dapat memberikan adanya pengaruh
(apresiasi) yang kemudian dapat di adopsi sebagai alternatif
mata uang tunggal kawasan ASEAN dengan melihat adanya
respon mata uang lokal terhadap mata uang alternatif
kawasan.
Dapat diketahui bahwa mata uang Singapura Dollar
(SGD) hampir di seluruh negara anggota ASEAN
menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dengan
melihat dari hasil prob. yang menunjukkan angka di
bawah tingkat kesalahan (0.05). Selain mata uang SGD,
terdapat dua mata uang jangkar lain yang juga memiliki
pengaruh yang signifikan di beberapa negara anggota
ASEAN, namun hasil yang menunjukkan signifikan masih
tidak sebanyak mata uang jangkar SGD. Oleh karena itu,
157
dapat diambil kesimpulan dari hasil uji untuk pemilihan
mata uang jangkar, negara ASEAN di sarankan untuk
mematok mata uang mereka ke dalam Singapura Dollar
(SGD).
Simpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari adanya penelitian ini
diantaranya, melalui persamaan indeks OCA negara ASEAN
belum siap membentuk mata uang tunggal kawasan karena
belum terdapat kedekatan nilai tukar bilateral (belum ada
pergerakan yang sama), serta belum adanya siklus bisnis
yang sinkron. Melalui pemilihan dari beberapa mata uang
jangkar yang dapat digunakan sebagai alternatif mata uang
tunggal di wilayah ASEAN, menunjukkan hasil bahwa mata
uang Singapura Dollar (SGD) memberikan dampak yang
cukup signifikan hampir di seluruh mata uang anggota
ASEAN, jika dibandingkan dengan mata uang alternatif
lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila kawasan
ASEAN mematok mata uang mereka ke dalam SGD akan
memberikan dampak apresiasi dan stabilitas pada mata uang
kawasan.
Saran
Adapun keterbatasan dari penelitian ini diantaranya data yang
digunakan pada beberapa negara masih belum lengkap,
metode yang digunakan masih menggunakan model panel
statis, dalam studi mendatang dapat dikembangkan dengan
menggunakan model panel dinamis.
Referensi
Achsani, N. A., & Partisiwi, T. (2010). Testing the feasibility of ASEAN+3
single currency comparing optimum currency area and clustering
approach. International Research Journal of Finance and Economics,
37, 79–84.
Ahn, C., Kim, H. B., & Chang, D. (2006). Is East Asia fit for an optimum
currency area? An assessment of the economic feasibility of a higher
degree of monetary cooperation in East Asia. The Developing
Economies,
44(3),
288–305.
https://doi.org/10.1111/j.17461049.2006.00018.x
Alvarado, S. (2014). Analysis of the optimum currency area for ASEAN and
ASEAN+ 3. Journal of US-China Public Administration, 11(12), 995–
1004. https://doi.org/10.17265/1548-6591/2014.12.005
Bayoumi, T., & Eichengreen, B. (1997). Ever closer to heaven? An
optimum-currency-area index for European countries. European
Economic Review, 41, 761–770. https://doi.org/10.1016/S00142921(97)00035-4
Crowley, P. M. (2015). A single currency for Nafta? North American
Economic
and
Financial
Integration,
10,
153–173.
https://doi.org/10.1016/S1064-4857(04)10009-0
Frankel, J. A., & Rose, A. K. (1996). The endogeneity of the optimum
currency area criteria in East Asia. In NBER Working Paper 5700.
https://doi.org/10.1016/j.econmod.2009.08.004
Friskandini, N. A. (2016). Pembentukan optimum currency area bagi
ASEAN5+3 (Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filiphina,
Jepang, China, dan Korea Selatan). Airlangga.
Greene, W. H. (2008). Econometric analysis (fifth). Pearson Education, Inc.,
Upper Saddle River, New Jersey, 07458.
Gujarati, D. N. (2003). Basic econometrics (Fourth). Mc Graw Hill.
Henning, C. R. (2012). Choice and coercion in East Asian exchange rate
regimes.
https://doi.org/10.4324/9780203797495
Kawai, M., & Pontines, V. (2014). The Renminbi and exchange rate regimes
in East Asia. In ADBI Working Paper Series (Issue 484).
https://doi.org/10.1007/9780815726128
Kundera, J. (2012). The theory of an ‘optimum currency area.’ Wroclaw
Review of Law, Administration & Economics, 2, 1–28.
https://doi.org/10.2478/wrlae-2013-0007
Lestari, E. P. (2011). Intensitas perdagangan dan keselarasan siklus bisnis di
e-Journal Ekonomi Bisnis dan Akuntansi, 2020, Volume VII (2) : 152-158
ISSN : 2355-4665
Cholifah dan Wahyuningsih, Pembentukan Mata Uang Tunggal …
ASEAN-4 dan Uni Eropa. Ekonomi Pembangunan, 12(2), 163–186.
McKinnon, R. I. (1963). Optimum currency areas. The American Economic
Review, 53(4), 717–725. https://doi.org/10.4135/9781412952613.n368
Mohseni, R. M., & Azali, M. (2014). Monetary integration and optimum
currency area in ASEAN+3: What we need for a new framework?
International Journal of Economics and Financial Issues, 4(2), 277–
285.
Mongelli, F. P. (2002). “New” views on the optimum currency area theory:
What is EMU telling us? In European Central Bank Working Paper
Series.
158
Mundell, R. A. (1961). A theory of optimum currency areas. The American
Economic Review, 51(4), 657–665.
Prasanti, T. A., Wuryandari, T., & Rusgiyono, A. (2015). Aplikasi regresi
data panel untuk pemodelan tingkat pengangguran terbuka
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Gaussian, 4(3), 687–696.
Wiranata Kusuma, D. B., Abud Ashif, S. M., Harahap, A. M., & Omarsyah,
M. A. (2013). The role of Asean Exchange Rate Unit (AERU) for
Asean-5 monetary integration: an optimum currency area criteria.
Buletin
Ekonomi
Moneter
Dan
Perbankan,
1–30.
https://doi.org/10.21098/bemp.v15i3.68.
e-Journal Ekonomi Bisnis dan Akuntansi, 2020, Volume VII (2) : 152-158
ISSN : 2355-4665