Academia.eduAcademia.edu

HUKUM ADAT

2022, PT. Global Eksekutif Teknologi

Abstract

Peradaban suatu bangsa tentu tidak akan sama antara satu dengan yang lainnya. Antara satu dan yang lain pasti memiliki ciri khas dan keunikan masing-masing, memiliki kekurangan dan kelebihan yang tidak sama. Bukankah tuhan telah mencetak tebal dalam kitab al- Qur’an bahwa manusia di atas persada bumi tercipta dalam keadaan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, tidak lain hanya untuk saling mengenal satu sama lain (li ta’arafu). Adat sebagai ciri suatu bangsa tidak boleh terhempas begitu saja, lalu di tinggalkan esensinya. Peradaban boleh berkembang, namun mengenal adat tidak mengenal waktu. Kemajuan zaman kian pesat, yang tentunya berdampak bagi keberadaan adat untuk selalu menyesuaikan dengan tuntutan zaman, sehingga adat atau kebiasaan tersebut tetap eksis di tengah kemajuan zaman. Negara kita, Indonesia. Merupakan negara hukum yang tidak hanya memiliki sistem hukum berdasar undang-undang tertulis saja. Negeri tercinta, juga punya norma tidak tertulis yang tumbuh, berkembang dan terpelihara di tengah masyarakat yang hal itu dikenal dengan sebutan adat istiadat atau hukum adat. Kajian tentang hukum adat sudah bukan hanya sebatas terapan tetapi sudah masuk lingkup ilmu teori yang kemudian dikenal dengan ilmu hukum adat. Secara praktik hukum adat adalah produk manusia (bydesain), yang terbentuk dari sebuah prilaku yang terus menerus dikerjakan sehingga menjadi kebiasaan pribadi. Jika suatu kebiasaan tersebut dikenal oleh orang lain dan mendapatkan pengakuan sehingga diikuti dan secara continue eksis bersamaan dengan perkembangan zaman dengan pengakuan yang semakin bertambah. Maka kebiasaan yang awalnya dari individu akan menjadi suatu adat di masyarakat. Sehingga dapat di pahami bahwa be;ajar hukum adat merupakan belajar jati diri atau karakter suatu kaum. Karena adat sendiri adalah gambaran prilaku pemeluk atau penganutnya. Untuk mengetahui adat dan hukum adat serta ciri, sifat dan pembidangan serta wilayah hukum adat di Indonesia. Maka penulis sudah menuangkan konsep-konsep hukum adat sebagaimana penjelasan berikutnya.

HUKUM ADAT Moh. Mujibur Rohman Ade Risna Sari Abdul Hamid Nur Syamsiah Muthia Septarina Mahrida Ningrum Ambarsari Iwan Henri Kusnadi Mohsi Mia Amalia HUKUM ADAT Moh. Mujibur Rohman Ade Risna Sari Abdul Hamid Nur Syamsiah Muthia Septarina Mahrida Ningrum Ambarsari Iwan Henri Kusnadi Mohsi Mia Amalia PT GLOBAL EKSEKUTIF TEKNOLOGI HUKUM ADAT Penulis: Moh. Mujibur Rohman Ade Risna Sari Abdul Hamid Nur Syamsiah Muthia Septarina Mahrida Ningrum Ambarsari Iwan Henri Kusnadi Mohsi Mia Amalia ISBN : 978-623-8102-04-4 Editor : Ariyanto,M.Pd Penyunting : Tri Putri Wahyuni, S.Pd Desain Sampul dan Tata Letak : Handri Maika Saputra, S.ST Penerbit : PT GLOBAL EKSEKUTIF TEKNOLOGI Anggota IKAPI No. 033/ SBA/ 2022 Redaksi : Jl. Pasir Sebelah No. 30 RT 002 RW 001 Kelurahan Pasie Nan Tigo Kecamatan Koto Tangah Padang Sumatera Barat Website : www.globaleksekutifteknologi.co.id Email : [email protected] Cetakan pertama, Desember 2022 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. i KATA PENGANTAR Puji Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan Buku Hasil Kolaborasi bertema “Hukum Adat” dengan tepat waktu. Buku kolaborasi ini disusun atas kerjasama antar sesama penulis yang berasal dari berbagai latar belakang profesi dan lintas daerah di seluruh Indonesia. Selain itu, buku kolaborasi dapat menjadi wadah untuk menyatukan berbagai gagasan dan pemikiran dari seorang pakar atau ahli dari seluruh Indonesia dan menjadikan media silaturahmi akademik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman penulis dan penerbit. Ucapan terima kasih juga disampaikan pada keluarga yang telah mendukung dan semua pihak yang terlibat dalam membantu menyelesaikan buku ini. Penulis, Desember 2022 ii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................i DAFTAR ISI ...........................................................................................ii DAFTAR GAMBAR ..............................................................................vi DAFTAR TABEL ...................................................................................vii BAB 1 KONSEPTUALISASI HUKUM ADAT (SEBUAH PENGANTAR)...................................................................1 1.1 Pendahuluan............................................................................................. 1 1.2 Seputar Adat dan Hukum Adat ...................................................... 2 1.2.1 Istilah Adat dan Hukum Adat................................................... 2 1.2.2 Urgensi Belajar Hukum Adat ................................................... 4 1.3 Hukum Adat dalam Panggung Sejarah Hukum Indonesia 5 1.3.1 Histori Hukum Adat Indonesia ............................................... 5 1.3.2 Gerakan Politik Hukum Adat ................................................... 8 1.3.3 Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Hukum Adat di Indonesia ......................................................... 10 1.4 Bentuk dan Sifat Umum Hukum Adat ........................................ 11 1.4.1 Ciri dan Sifat Hukum Adat ......................................................... 11 1.4.2 Corak Hukum Adat di Indonesia ............................................ 13 1.4.3 Pembidangan dan Wilayah Hukum Adat di Indonesia....................................................................................... 14 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 16 BAB 2 HUKUM ADAT SEBAGAI ASPEK KEBUDAYAAN ....17 2.1 Pengertian Hukum Adat .................................................................... 17 2.2 Aspek Hukum Adat ............................................................................... 19 2.3 Sumber Hukum Adat ........................................................................... 19 2.4 Unsur Hukum Adat ............................................................................... 20 2.5 Pengertian Budaya Menurut Para Ahli...................................... 21 2.6 Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis Hukum Adat 24 2.7 Hukum Adat Sebagai Aspek Kebudayaan................................ 26 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 31 BAB 3 SISTEM HUKUM ADAT .......................................................32 3.1 Pendahuluan............................................................................................. 32 3.2 Sistem Hukum Adat. ............................................................................. 37 3.2.1 Ciri-Ciri Khas Hukum Adat di Indonesia. .......................... 37 3.2.2 Sistem Hukum Adat Indonesia. .............................................. 43 iii 3.2.3 Sistem Hukum Pidana Adat Indonesia. .............................. 46 3.2.4 Sisten Hukum Acara Adat Indonesia. .................................. 48 3.3 Penutup ....................................................................................................... 51 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 54 BAB 4 KEKUATAN MATERIL BERLAKUNYA HUKUM ADAT ......................................................................................55 4.1 Pendahuluan............................................................................................. 55 4.2 Sejarah Hukum Adat ............................................................................ 56 4.2.1 Hukum Adat Sebelum Kedatangan Kolonial Belanda56 4.2.2 Hukum Adat Masa Kolonial Belanda ................................... 57 4.2.3 Hukum Adat Pada Masa Penjajahan Jepang.................... 59 4.2.4 Hukum Adat Setelah Kemerdekaan..................................... 60 4.3 Dasar Berlakunya Hukum Adat Di Indonesia........................ 61 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 63 BAB 5 DASAR HUKUM BERLAKUNYA HUKUM ADAT ......64 5.1 Pendahuluan............................................................................................. 64 5.2 Sejarah Singkat Lahirnya Hukum Adat ..................................... 65 5.3 Perkembangan Hukum adat............................................................ 66 5.4 Dasar Berlakunya Hukum Adat ..................................................... 68 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 78 BAB 6 PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM YAN BERHUBUNGAN DENGAN HUKUM ADAT ..............................79 6.1 Pendahuluan............................................................................................. 79 6.2 Pengertian Politik Hukum. ............................................................... 80 6.3 Pengertian Hukum Adat .................................................................... 81 6.4 Kaitan Politik dan Hukum. ................................................................ 82 6.5 Perkembangan Politik Hukum Adat pada masa sebelum Kemerdekaan ..................................................................... 83 6.5.1 Perkembangan Poltik Hukum Adat pada masa Kerajaan di Nusantara. ............................................................... 84 6.5.2 Perkembangan Politik Hukum Adat pada masa Hindia Belanda ................................................................................ 86 6.6 Perkembangan Politik Hukum Adat pada masa Kemerdekaan. ........................................................................................ 88 6.6.1 Perkembangan politik hukum adat setelah kemerdekaan dalam Konstitusi ............................................ 90 iv 6.6.2 Perkembangan politik hukum adat setelah kemerdekaan dalam Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951. ......................................................................... 92 6.6.3 Perkembangan Hukum Adat dalam Yurisprudensi. . 93 6.7 Perkembangan Politik Hukum Adat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi ....................................................................... 96 6.8 Penutup ....................................................................................................... 98 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 100 BAB 7 PENGERTIAN PERSEKUTUAN HUKUM .....................101 7.1 Pendahuluan............................................................................................. 101 7.2 Macam – macam masyarakat Hukum........................................ 103 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 113 BAB 8 HUBUNGAN INDIVIDU DENGAN MASYARAKAT ...114 8.1 Masyarakat Hukum Adat................................................................... 114 8.2 Hubungan Individu dengan Masyarakat .................................. 119 8.3 Kekhususan Hubungan Individu dengan Masyarakat Ditinjau Dari Sisi Nilai-Nilai Dalam Hukum Adat Di Indonesia ............................................................................................ 122 8.4 Kesimpulan................................................................................................ 124 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 125 BAB 9 HUKUM ADAT DAN REALITAS PENGHIDUPAN ....126 9.1 Pendahuluan............................................................................................. 126 9.2 Hukum Adat dan Kehidupan........................................................... 127 9.3 Hukum Adat dan Masyarakat ......................................................... 128 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 133 BAB 10 PENGARUH SOSIAL EKONOMI TERHADAP HUKUM ADAT ......................................................................................135 10.1 Pendahuluan .......................................................................................... 135 10.2 Perubahan Sosial ................................................................................. 137 10.3 Ciri-Ciri Perubahan Sosial .............................................................. 138 10.4 Faktor-Faktor Perubahan Sosial ................................................ 140 10.5 Hukum Adat ........................................................................................... 143 10.6 Konstruksi Hukum Adat ................................................................. 145 10.7 Masyarakat dan Perubahan Sosial ............................................ 146 10.8 Perubahan Sosial Ditengah Perubahan Ekonomi Industri Dalam Mempertahankan Hukum Adat Masyarakat Kabupaten Cianjur ................................................... 147 v DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 154 BIODATA PENULIS vi DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 : Akulturasi Hukum Adat & Agama ........................ 6 Gambar 10.1 : Peta Kecamatan Sukaluyu dan Kecamtan Ciranjang............................................................................. 148 vii DAFTAR GAMBAR Tabel 1.1 : Perbandingan Bentuk Hukum Adat .......................... 13 Tabel 10.1 : Luas Lahan Sawah di Kabupaten Cianjur Tahun 2012-2016 ..................................................... 151 viii BAB 1 KONSEPTUALISASI HUKUM ADAT (SEBUAH PENGANTAR) Oleh Moh. Mujibur Rohman 1.1 Pendahuluan Peradaban suatu bangsa tentu tidak akan sama antara satu dengan yang lainnya. Antara satu dan yang lain pasti memiliki ciri khas dan keunikan masing-masing, memiliki kekurangan dan kelebihan yang tidak sama. Bukankah tuhan telah mencetak tebal dalam kitab alQur’an bahwa manusia di atas persada bumi tercipta dalam keadaan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, tidak lain hanya untuk saling mengenal satu sama lain (li ta’arafu). Adat sebagai ciri suatu bangsa tidak boleh terhempas begitu saja, lalu di tinggalkan esensinya. Peradaban boleh berkembang, namun mengenal adat tidak mengenal waktu. Kemajuan zaman kian pesat, yang tentunya berdampak bagi keberadaan adat untuk selalu menyesuaikan dengan tuntutan zaman, sehingga adat atau kebiasaan tersebut tetap eksis di tengah kemajuan zaman. Negara kita, Indonesia. Merupakan negara hukum yang tidak hanya memiliki sistem hukum berdasar undang-undang tertulis saja. Negeri tercinta, juga punya norma tidak tertulis yang tumbuh, berkembang dan terpelihara di tengah masyarakat yang hal itu dikenal dengan sebutan adat istiadat atau hukum adat. Kajian tentang hukum adat sudah bukan hanya sebatas terapan tetapi sudah masuk lingkup ilmu teori yang kemudian dikenal dengan ilmu hukum adat. Secara praktik hukum adat adalah produk manusia (bydesain), yang terbentuk dari sebuah prilaku yang terus menerus dikerjakan sehingga menjadi kebiasaan pribadi. Jika suatu kebiasaan tersebut dikenal oleh orang lain dan mendapatkan pengakuan sehingga diikuti dan secara continue eksis bersamaan dengan perkembangan zaman dengan pengakuan yang semakin bertambah. Maka kebiasaan yang awalnya dari individu akan menjadi suatu adat di masyarakat. Sehingga dapat di pahami bahwa be;ajar hukum adat merupakan belajar jati diri Moh. Mujibur Rohman 1 atau karakter suatu kaum. Karena adat sendiri adalah gambaran prilaku pemeluk atau penganutnya. Untuk mengetahui adat dan hukum adat serta ciri, sifat dan pembidangan serta wilayah hukum adat di Indonesia. Maka penulis sudah menuangkan konsep-konsep hukum adat sebagaimana penjelasan berikutnya. 1.2 Seputar Adat dan Hukum Adat 1.2.1 Istilah Adat dan Hukum Adat Kata “adat” bukan sesuatu yang asing dalam benak kehidupan sehari-hari. Kata tersebut sering didengar entah dalam ranah ilmiah atau ranah perkumpulan sosial. Kata adat sendiri merupakan bahasa serapan yang di adopsi dari bahasa non-Indonesia, tepatnya bahasa Arab. Kata “adat” (‫ )عادة‬dalam bahasa Arab memiliki makna kebiasaan atau hal yang dibiasakan (Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, 2004). Sedang dalam arti etimologi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah aturan atau perbuatan lazim (kebiasaan masif) yang memang dikerjakan sejak dahulu hingga sekarang (Departemen Pendidikan Nasional, 2008). Meski secara nasional kata adat sudah baku dalam keseharian. Namun, penggunaan kata adat dibeberapa daerah Indonesia masih terkontaminasi bahasa masing-masing. Seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur yang menggunakan istilah “ngadat”, Minangkabau menyebutnya dengan “adat hukum”, sedangkan di Batak di kenal dengan “basa” atau “bicara” (Sudiyat, 2000). Jadi secara etimologi adat merupakan kebiasaan. Sedangkan pengertian adat secara istilah atau terminologi ialah kebiasaan atau tingkah laku seseorang yang secara continue (terus menerus) dilakukan dengan cara tertentu dan diikuti oleh orang lain dalam rentang waktu yang cukup lama (Soetoto, dkk, 2021). Definisi lain dikemukakan oleh Kusumadi bahwa adat merupakan perilaku masyarakat yang diadatkan (ada pengakuan masyarakat) (Soetoto, dkk, 2021). Berdasar pengertian ini dapat di pahami bahwa adat merupakan sebuah sikap masyakat dalam mempertahankan budi luhur budayanya yang ada pada lingkungan masing-masing. Perlu kesadaran setiap individu dan kelompok dalam melestarikan sebuah adat. Berdasar definisi di atas, dapat dipahami bahwa sebuah perbuatan atau kebiasaan bisa dikategorikan sebagai adat jika memenuhi unsur-unsur (Yulia, 2016); 1) berupa tingkah laku sesorang Moh. Mujibur Rohman 2 atau kelompok, 2) continue (berkelanjutan), 3) ada dimensi waktu, dan 4) diikuti orang lain (ada pengakuan). Berangkat dari hal yang demikian, tentu timbul pertanyaan, apa perbedaan antara adat dan hukum adat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebelumnya perlu diketahui bahwa hukum sendiri diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis, salah satunya ditinjau dari segi wujudnya ada yang hukum tertulis ada hukum tidak tertulis. Hukum tertulis merupakan hukum yang tertuang kedalam bentuk catatan resmi (legal/law in book) yang bersifat kaku, tegas serta terjamin akan kepastian dalam memberi sanksi. Seperti undang-undang 1945, Perda dan hukum tertulis lainnnya. Sedangkan hukum tidak tertulis atau unwriten law ialah norma yang masih ada di tengah masyarakat atas dasar keyakinan tertentu, sal satu contohnya adalah hukum adat (Hartono, 1991). Dari sini sudah tampak perbedaanya, bahwa “hukum adat” adalah bagian dari sistem hukum, sedang “adat” lebih pada realitas kehidupan masyarakat. Secara spesifik pengertian hukum adat sendiri adalah kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dibukukan/ tidak terkodifikasi dengan aturan yang bersifat memaksa serta mempunyai sanksi atau akibat hukum, pendapat ini dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (Yulia, 2016). Pendapat lain dikemukakan oleh Soepomo bahwa hukum adat merupakan aturan kehidupan masyarakat yang tidak tertulis (unwriten law) oleh pihak berwajib, namun tetap patuhi serta berkeyakinan bahwa aturan tersebut mempunyai kekuatan hukum (Wignjodipoero, 1983). Pakar hukum adat, Van Vollenhoven menyebutkan bahwa hukum adat hukum asli dan tidak bersumber pada perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah HindiaBelanda (Soepomo, 1993). Dari beberapa pengertian ini, sudah bisa di tebak perbedaan antara adat dan hukum adat. Secara gamblang hukum adat merupakan bangunan sistem hukum yang tidak tertulis yang dipercaya dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan adat lebih pada sebuah kebiasaan atau prilaku adat istiadat (tidak tersistem). Oleh karenanya Van Vollenhoven mengungkapkan bahwa sebuah adat atau kebiasaan bisa berimplikasi menjadi hukum (adat) bila kebiasaan tersebut dianggap patut dan mengikat para penduduk/masyarakat sehingga perlu dipertahankan oleh kepala adat. Selain itu Vollenhoven juga menyatakan bahwa tidak semua adat dapat Moh. Mujibur Rohman 3 dikategrikan hukum adat, hanya adat yang memiliki sanksi yang bisa terdefinisi sebagai hukum adat (Warjiyati, 2020). berikut sebagian pendapat para sarjana terkait perbedaan adat dan hukum adat (Ragawino, 2008): a. Ter Haar, adat (kebiasaan) akan menjadi sebuah hukum (adat) bila ada suatu pengakuan atau legalitas dari kepala adat. b. Van Dijk, Hukum adat bersumber dari alat-alat perlengkapan masyarakat baik tertulis atau tidak. Sedang adat bersumber dari masyarakat sendiri dan tidak tertulis. c. Pospisil, pembeda hukum adat dengan adat ditinjau dari atribtatribut; 1) otoriti (keputusan ketua adat), 2) intention of universal Application (berjangka panjang), 3) obligasi (rumusan hak dan kewajiban), 4) adanya Sanksi, 5) sakralitas. Secara global hukum adat memiliki unsur yang tidak dimiliki oleh unsur hukum adat: 1) tidak terkodifikasi (unwriten law), 2) tidak sistematis/tidak teratur (tanpa bab, pasal dan tanpa penjelasan), 3) tidak dalam bentuk kitab/perundang-undangan, 4) tanpa konsideran (pertimbangan). Berdasar hal ini sudah dapat dilihat bagaimana bentuk hukum adat dan pembeda antara hukum adat dengan adat (kebiasaan). 1.2.2 Urgensi Belajar Hukum Adat Sebagai hukum yang mewarnai peradaban bangsa Indonesia, septutnya dan penting untuk mempelajari adanya hukum adat. Berikut urgensi serta manfaat dari pentingnya mempelajari hukum adat (Warjiyati, 2020): a. Agar paham budaya hukum yang tumbuh di bumi Indonesia. b. Untuk mengetahui perkembangan hukum yang terjadi di tengah masyarakat, utamanya pergeseran serta relevansi praktik hukum sesuai perkembangan zaman. c. Menelaah lebih jauh tentang keseragaman hukum adat dalam setiap ras, kelompok, atau suku, sehingga bisa diangkat ke dalam hukum Nasional. d. Tujuan utama belajar hukum adat adalah melestarikan hukum yang lahir dari kepribadian bangsa Indonesia agar tetap dikenal oleh generasi bangsa. Moh. Mujibur Rohman 4 Diharapkan dengan kenal, tahu serta faham hukum adat bisa mampu menjadikan hukum adat sebagai patokan atau tolak ukur kesadaran dalam mempelajari hukum yang digunakan oleh masyarakat penganutnya. 1.3 Hukum Adat dalam Panggung Sejarah Hukum Indonesia 1.3.1 Histori Hukum Adat Indonesia Berbicara sejarah tentunya pembahasan tidak akan lari dari latar waktu (kapan?), tempat (dimana?) dan pelaku atau aktor (siapa?). Nama hukum adat sendiri merupakan istilah lampau yang disadur dari istilah bahasa belanda berupa “adatrechts” yang merupakan bahan perbincangan cendikia dikala itu sebagai ilmu pengetahuan (Yulia, 2016). Ungkapan “adatrechts” sebenarnya diambil dari buku karya Snouck Hurgronje yang berjudul De Atjehers tahun 1983 yang mengungkapkan bahwa “adats die rechts gevolgen hebben” (dikatakan hukum adat bila berimplikasi hukum). Istilah adatrechts sebenarnya tidak secara spesifik kepada hukum adat, namun diperuntukkan kepada sistem pengendalian sosial (social control) yang mengikat pada kehidupan masyarakat Indonesia (Soetoto, dkk, 2021). Dari Istilah tersebut kemudian secara ilmiah berkembang menjadi nama hukum adat di Indonesia (dulu Hindia-Belanda). Jika melacak jauh histori hukum adat di Indonesia, sebenarnya hukum adat sejak awal secara praktik sudah di kenal pada zaman praHindu dengan sebutan adat istiadat. Karena hukum adat adalah hukum yang melekat dalam kehidupan sosial masyarakat, sehingga perbuatan yang dilakukan tidak dikatan hukum adat melainkan sebagai adat istiadat, yakni adat-adat Melayu Polinesia. Kemudian seiring datangnya agama Budha, Islam, Kristen, Katolik dan Konghucu, pergolakan budaya dan agama tidak bisa di elakkan lagi. Sehingga hukum adat yang melekat kepada masyarakat lama kelamaan mengalami akulturasi antara kehidupan sosial pra-Hindu (adat) dengan aturan yang dibawa oleh masing-masing agama (Soetoto, dkk, 2021). Setelah mengalami akulturasi antara budaya dan agama, Van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar hukum adat Indonesia mendefinisikan bahwa hukum adat atau yang dikenal dengan hukum pribumi ialah hukum asli dan tidak bersumber pada perundang- Moh. Mujibur Rohman 5 undangan yang dibuat oleh pemerintah Hindia-Belanda. Artinya hukum ini murni lahir akibat gerak sosial serta kepercayaan masyarakat sebagai objek hukum. Van Vollenhoven menggambarkan peta konsep akulturasi antara hukum adat dengan agama: Hukum tidak tertulis (Unwriten law) Produk Penduduk (by desain) Hukum Adat Agama (Inlandsrecht) (Religion) Ketentuan hukum (Taklifi) Hukum tertulis (Law in book) Gambar 1.1 : Akulturasi Hukum Adat & Agama (Sumber: Ragawino dalam Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia) Setelah akulturasi agama (yang diakui) di Indonesia dengan hukum adat, sejarah terus berlanjut. Fase perkembangan sejarah hukum adat terbagi ke dalam dua fase (Jamaluddin, 2015): pertama fase sebelum kemerdaan (jajahan Belanda) yang terbagi kedalam lima zaman: a. Zaman Daendels (1808-1811), keberadaan hukum adat berada di bawah pengaruh hukum eropa. Artinya hukum eropa tidak akan mengalami perubahan akibatnya. b. Zaman Raffles (1811-1816), gubernur jenderal dari Inggris mengadakan penelitian tentang aturan yang hidup di masyarakat yang kemudian berhasil mengkodifikasi regulation for the more effectual administration of justicein the provencial court of jawa yang berisi tentang Residen sebagai kepala hakim, susunan pengadilan, dan acuan mengadili bagi Bupati’s Court dan Residen. c. Zaman komisi jenderal (1816-1819), hukum adat tidak ada perubahan dan tidak diusik keberadaanya (sesuai zaman sebelumnya). d. Zaman Van den Bosch, pada zaman ini pemberlakuan waris sudah menggunakan sistem Islam dan hak tanah masih campuran antara Bramein dan Islam. Moh. Mujibur Rohman 6 e. Zaman Chr. Baud, adanya banyak perhatian terhadap hukum adat. Seperti, perlindungan terhadap hak ulayat. Selain itu secara akademis banyak mahasiswa Indonesia mulai menulis hukum adat. Kedua, fase setelah kemerdekaan. Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, adanya hukum adat semakin legal diakui dalam catatan hukum Indonesia. Legalisasi hukum adat tersebut bisa dilihat dalam pasal 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi “segala badan negara dan peraturan yang masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar”. Selain itu tahun 1949, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) juga melegalkan hukum adat tentang adanya hakim adat dan hakim agama (pasal 144 ayat 1), adanya pengadilan adat dan hukum adat sebagai dasar hukuman (pasal 146 ayat 1), berikutnya pada tahun 1950 adanya legalitas hukum adat sebagai dasar hukuman yang termuat dalam Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950). Perkembangan selanjutnya pada tahun 1960, adanya pengakuan budi hukum adat melalui Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No. II/MPRS/1960. Pada tahun yang sama, UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 oleh pemerintah saat itu diberlakukan berdasarkan azas hukum adat dan pada pasal 188 ayat (2) amandemen ke-dua UUD 1945 menjadi dasar pengakuan hukum adat dalam konstitusi negara Indonesia. Selain hal tersebut, sejarah hukum adat berlanjut hingga hari ini. Tidak hanya sebagai aturan baku berupa muatan undang-undang, tetapi hukum adat juga menjadi kajian menarik dalam ranah akademik. Sebagai bukti adanya hukum adat di Indonesia. Ada sebagian bukti bahwa sebelum adanya para penjajah datang ke Indonesia, hukum adat sudah dikenal, seperti zaman Hindu (1000) raja Dharmawangsa dari Jawa Timur memiliki kitab adat bernama Civacasana, Gajah Mada (1331-1364) membuat kitab yang disebut kitab Gajah Mada, Kanaka (1413-1430) patih Maja Pahit membuat kitab adat Adigama. Selain bukti-bukti tersebut, di beberapa daerah juga ditemukan kitab-kitab sebagai pijakan dalam keseharian masyarakat tersebut. Seperti kitab undang-undang Jambi, kitab undang-undang Simbur Cahaya yang berisi aturan tanah di dataran tinggi Palembang, undang-undang nan dua puluh yang berisi adat delik di Minangkabau, ruhur parsaoran yang Moh. Mujibur Rohman 7 berisikan aturan kehidupan sosial masyarakat Batak di Tapanuli dan beberapa aturan lainnya (Pide, 2014). 1.3.2 Gerakan Politik Hukum Adat Lahirnya hukum adat tidak lepas dari pengaruh faktor politik dan struktur sosial kolonial penjajah dikala itu. Adanya hukum adat yang semakin berkembang tidak lain akibat adanya desakan politik hukum yang ingin menjarah dan memaksa penduduk rakyat Indonesia agar tunduk di bawah produk hukum-hukum kolonial Belanda. Tidak hanya Sumber Daya Alam (SDA) seperti rempah, tanaman dan tambang lainnya yang mereka jajah, tetapi sektor tatanan kenegaraan mereka bangun dengan menundukkan kepercayaan-kepercayaan sosial masyarakat bawah, dengan mengatakan bahwa hukum adat sama sekali tidak memenuhi tuntutan abad modern dan menganggap akan tertingggal oleh kemajuan zaman (Soetoto, dkk, 2021). Pergerakan awal politik hukum adat dimulai saat pemerintahan Hindia-Belanda mau melakukan ekspansi dengan misi menegakkan hukum eropa atau hukum kolonial Belanda menjadi hukum positif dibeberapa negara jajahannya melalui asa konkordansi, termasuk di Indonesia (namanya Hindia-Belanda kala itu) (Soetoto, dkk, 2021). Menegakkan hukum kolonial Belanda di bumi Indonesia saat itu tidak lepas dari kepentingan politik dan demi lancarnya kepentingan ekonomi yang lebih separuh Indonesia dikuasainya selama tiga abad lebih. Semua berawal ketika Heren 17 yang merupakan salah seorang pejabat di negara Belanda mengeluarkan ultimatum perintah kepada setiap jenderal disetiap negara jajahan agar menerapkan hukum Belanda (Soetoto, dkk, 2021). Transisi jabatan dalam pemerintahan Belanda mengalami perubahan, kepemerintahan diganti oleh De Carventer dengan misi yang sama (pemberlakuan hukum Belanda), hingga pada tahun 1625 mengadakan penelitian dengan menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa di Indonesia terdapat suatu hukum yang hidup di masyarakat (hukum adat) (Jamaluddin, 2015). Adanya hukum adat yang hidup pada masyarakat Indonesia, tentu menjadi penghambat Belanda dalam menerapkan hukum Eropa. Beberapa cara dilakukan, Wichers (presiden mahkamah agung) bermaksud ingin mengganti hukum adat privat dengan kodifikasi hukum barat, namun usaha ini tidak berhasil. Sekitar tahun 1870 melalui Van de Putte (menteri jajahan Belanda) demi kepentingan Moh. Mujibur Rohman 8 agraris ingin menerapkan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa di Indonesia, namun gagal. Tahun 1900 seorang menteri jajahan Belanda menghendaki kodifikasi lokal sebagai hukum adat dengan mendahulukan daerah-daerah yang memeluk agama Kristen, namun tidak terlaksana. Tahun 1904 pemerintah Belanda menghendaki agar penduduk asli tundduk pada unifikasi hukum Barat, sehingga membuat wacana penggantian hukum adat dengan hukum Eropa, lagi-lagi usaha ini gagal karena ada amandemen Van Idsinga. Pada tahun 1914 pemerintah Belanda dengan tegas langsung mengumumkan rencana KUHPerdata bagi seluruh penduduk Indonesia, namun di tentang oleh Van Vollenhoven (gagal). Tahun 1920-1923 seorang departemen justitie di Jakarta bernama Cowan mengangkat kembali adanya KUHPerdata namun tetap gagal (Soetoto, dkk, 2021). Sebenarnya, dalam catatan sejarah ada empat macam kodifikasi hukum adat yang sempat dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda (Soetoto, dkk, 2021): a. Adanya “mogharrar” yang mengatur hukum pidana adat. Hal ini untuk keperluan lanrad (pengadilan) di Serang, tahun 1750. b. Tahun 1759 Van Clost Wijk mengeluarkan kitab “compedium” yaitu semacam pegangan/iktisar mengenai Bumi Putera yang digunakan di lingkungan keraton Bone dan Goa. Kodivikasi ini dikenal dengan compedium Van Clost Wijk. c. Compedium freizer yang berisi tentang aturan hukum Islam yang berkaitan dengan nikah, talak, dan warisan. d. Salah seorang bernama Hasselaer berhasil mengumpulkan buku-buku hukum untuk para hakim di Cirebon yang kemudian dikenal dengan papakem Cirebon. Berdasarkan kajian di atas, politik hukum adat sebenarnya bisa di terima dengan baik sejak awal, dengan menampilkan kodifikasi hukum adat bukan malah mengganti hukum adat dengan unifikasi hukum Barat. Dari kegagalan di atas semua karena mereka mau mengganti hukum asli (adat) dengan hukum Eropa atau barat. Moh. Mujibur Rohman 9 1.3.3 Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Hukum Adat di Indonesia Perdaban keilmuan semakin maju dan pesat, begitu pulan dengan hukum adat. Berikut beberapa faktor yang menjadi pengaruh atas perkembangan hukum adat di Indonesia (Ragawino, 2008): a. Agama Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat kepedulian beragama yang tinggi. Islam di Indonesia mendominasi hampir seluruh penduduk dan menjadi umat muslim terbesar di dunia. Tidak hanya Islam, agama-agama lain pun juga diakui di Indonesia. Ada sekitar enam agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia, yaitu Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik dan Konghucu. Sebagaimana pada penjelasan sebelumnya, bahwa akulturasi agama juga berperan dalam kemajuan dan pesatnya hukum adat. Sebagai salah satu contoh, agama Hindu yang masuk ke Indonesia abad ke 8 membawa pengaruh kepada masyarat Bali utamanya, sehingga hal itu berdampak pada sistem pemerintahan raja dan pembagian kasta. Contoh lain adalah agama Islam yang masuk abad 14 salah satu pengaruh besarnya adalah dalam hukum perkawinan, waris dan wakaf yang memiliki kekuatan dominan bagi pemeluknya, utamanya bagi penduduk seperti pulau Jawa, Madura dan Aceh. Selain itu agama Kristen yang pengaruhnya hampir menyamai Islam dalam bidang hukum keluarga. b. Magis dan Animisme Magis dan Animisme merupakan suatu hal yang berhubungan dengan metafisik. Magis merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kekuatan gaib, perdukunan dan semangsanya. Sedangkan animisme merupakan faham yang menyatakan bahwa alam dan materi di dalamnya memiliki roh atau jiwa (Partanto & Barry, 2001). Keduanya sangat besar pengaruhnya, seperti adanya upacara-upacara adat masyarakat pada hal-hal yang ghaib, rokat (bahasa Madura) dan percaya terhadap orang sakti. Kepercayaan animisme ada dua yaitu fanatisme terhadap benda-benda antik (batu akik, keris dan lainnya) dan spiritisme atau percaya pada roh-roh leluhur yang Moh. Mujibur Rohman 10 baik dan jahat sepert adanya roh Nyai Roro Kidul (pantai selatan Jawa) dan Nyai Belorong (penunggu pantai utara Jawa). c. Kekuasaan yang Lebih Tinggi Faktor kekuasaan yang lebih tinggi di sini adalah adanya kekuasaan raja-raja, kepala kuria, nagari dan lain-lain. Faktor yang berpengaruh adalah kebijakan kerajaan yang terkadang bertentangan dengan hukum adat yang ada pada masyarakat suatu daerah kekuasaan. Karena sejatinya tidak semua pemegang kekuasaan memiliki niat baik dalam memimpin. d. Kekuasaan Asing Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa Indonesia adalah negara jajahan yang baru merdeka pada tahun 1945. Kekuasaan asing yang dimaksud seperti penjajah Belanda yang memang sangat berpengaruh dalam perkembangan hukum adat di Indonesia terlebih mereka yang memiliki sifat individualisme sebagai ciri dari pemikiran baratnya. 1.4 Bentuk dan Sifat Umum Hukum Adat 1.4.1 Ciri dan Sifat Hukum Adat Ciri dan sifat merupakan suatu pembeda dengan lainnya. Adanya ciri menjadi inisial tersendiri agar sesuatu bisa dikenal, begitu pula dengan sifat. Koesnoe memberi pengertian bahwa ciri dan sifat dalam pembahasan ini diartikan sebagai tanda-tanda dan sesuatu yang dapat memberikan petunjuk sehingga menjadi pembeda dari yang lain. Berikut ciri-ciri hukum adat (Sudiyat, 2000): a. Umumnya berupa hukum yang tidak tertulis (unwriten law); Hukum adat sejatinya tercipta dalam lingkup sosial kemasyarakatan yang sudah menjadi bagaian penting dalam kehidupan (mendarah). Artinya adanya hukum adat merupakan cita rasa yang dimiliki suatu masyarakat dalam menunaikannya tanpa aturan tertulis. b. Norma hukum adat tertuang dalam petuah-petuah yang memuat asas-asas prikehidupan dalam masyarakat; Sejatinya hukum adat bertujuan menjadi pedoman dalam bersosial masyarakat, oleh karenanya pedoman tersebut yang kemudian disebut asas. c. Asas-asas dirumuskan dalam bentuk pepatah-petitih, seloka, cerita-cerita dan perumpamaan; dari dua ciri sebelumnya Moh. Mujibur Rohman 11 menjukkan bahwa hukum adat tidak tertulis dan menjadi pedoman. Sehingga agar mudah diingat dalam mengajarkan dan pengerjaanya, dibuatlah hukum tersebut berbentuk pepatahpetitih, seloka, cerita-cerita dan perumpamaan. d. Kepala adat sanagat mungkin untuk ikut campur dalam segala hal; karena hukum adat hanya memiliki asa-asa saja, maka tidak sembarang orang bisa mengimplementasikan asas-asas tersebut kedalam pemahamn sendiri, dalam hal ini kepala adat memiliki peran dalam menafsirkan isi dari asas-asas yang kurang dipahami. e. Unsur keyakinan seperti agama tidak bisa dipisahkan; dalam setiap hukum adat yang berlaku, seperti dalam pelaksanaan perkawinan tentu unsur agama tidak akan ditinggalkan selama bisa melebur dengan unsur lainnya (selain agama). f. Faktor pamrih sukar dilepas dari faktor tidak pamrih; dalam kehidupan bermasyarakat balas budi atau pamrih biasa sering rentan terjadi dan hukum adat tidak bisa lepas dari hal tersebut. Adapun yang dinamakan sifat oleh Koesnoe ialah kegiatankegiatan yang menentukan kepribagian sesuatu. Sifat yang dimiliki hukum adat adalah (Sudiyat, 2000): a. Tradisiona; setiap ketentuan yang terdapat pada hukum adat pastinya sudah lampau dan berlaku secara cuntinue (berkelanjutan). b. Pamor Keramat; unsur hukum adat yang terdiri dari kepercayaan atau keyakinan akan mempunyai ketentuan hukum yang bersifat pamor. c. Luwes; masyarakat dalam hukum adat akan menyesuaikan dengan zamannya masing-masing, dengan sifat yang luwes hukum adaat akan mudah menyesuaiakn diri pada permintaan masyarakat. d. Dinamis; adat dalam perkembangannya sejalan, seiring dan seirama dengan perkembangan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan ciri-ciri dan sifat yang dimiliki hukum adat, sejatinya hukum adat akan mudah diterima di setiap kalangan serta akan mudah terkontaminasi dengan perkembangan zaman. Moh. Mujibur Rohman 12 1.4.2 Corak Hukum Adat di Indonesia Hukum adat yang merupakan hukum tradisional yang lahir dari masyarakat Indonesia, hal ini menunjukkan bahwa hukum adat secara keseluruhan merupakan kultur budaya masyarakat tempat hukum adat berlaku. Artinya kandungan hukum adat yang ada di Indonesia menggambar kejiwaan dari para pelakunya. Sebelum menggambarkan corak hukum adat. Alangkah lebih tepatnya jika mengetahui perdapat para pakar tentang bentuk hukum adat di Indonesia: Tabel 1.1 : Perbandingan Bentuk Hukum Adat No Nama Pendapat 1 Soepomo 1. Komunal; erat hubungan dan kebersamaan; 2. Magis-religius; pemikiran bersifat mistis dan kepercayaan pada hal yang metafisik; 3. Konkrit; penataan pemikiran yang konkrit; 4. Visual; praktik hukum dilakukan tidak dengan kasat mata. Holleman 1. Commun; kebutuhan individu selalu seimbang dengan kebutuhan umum; 2. Concreta; tujuan hukum adat harus jelas; 3. Constant; setiap pekerjaan hukum ditunaikan secara kontan. 4. Magisch; perbuatan hukum adat memuat hal ghaib. 2 Sumber: Erwin Owan Hermansyah dalam Buku Ajar Hukum Adat Berdasar pendapat di atas, corak hukum adat yang ada di Indonesia dapat di jabarkan sebagai berikut: a. Religius-Magis; dalam kehidupan keseharian sering dijumpai adanya ritual-ritual yang berbau mistis. Jiwa manusia memiliki keterkaitan pada hal-hal ghaib tersendiri, terkadang mereka melakukan ritual-ritual tertentu dalam melakukan hal-hal yang dianggap sakral, seperti praktik rokat, meletakkan sesajen ditempat-tempat yang dinilai memiliki kekuatan mistis atau Moh. Mujibur Rohman 13 b. c. d. e. benda-benda mistis. Religius-magis merupakan suatu bentuk kesatuan batin antara kesatuan dunia lahir dan kesatuan dunia ghaib. Komunal/Kemasyarakatan; kehidupan masyarakat hukum adat rentan dalam keadaan berkelompok (kesatuan utuh) sebagai perwujudan mahluk sosial. Dalam kehidupan komunal kepentingan bersama didahulukan di atas kepentingan pribadi. Kata komunal memiliki banyak penafsiran makna seperti keterikatan hubungan, hak subyektif berfungsi sosial, mengutamakan kepentingan bersama, gotong royong dan saling menghormati. Demokrasi; secara sosial masyarakat adat hidup komunal, dengan demikian segala bentuk permasalahan juga dilakukan secara musyawarah atau demokrasi tidak bertindak secara sendiri-sendri, kecuali dalam hal yang memang sangat rahasia. Kontan/Tunai; pemindahan hal dan kewajiban harus dilakukan secara kontan atau tunai. Seperti dalam praktik jual-beli barang, perkawinan secara jujur, hak atas tanah, adopsi anak dan sebagainya. Tujuannya adalah menjaga keseimbangan hidup dalam bersosial, agar tidak ada kesalah pahaman. Konkrit; setiap perbuatan atau keinginan dalam melakukan perbuatan hukum dinyatakan dengan benda-benda konkrit (nampak). Tidak ada janji yang dibayar janji, semua harus ada tindak nyata, sebagaimana ungkapan take and give (ada uang ada barang). 1.4.3 Pembidangan dan Wilayah Hukum Adat di Indonesia Ada banyak variasi pendapat terkait pembidangan hukm adat. Setiap tokoh mengemukakan masing-masing pendapat, sehingga antara satu dengan lainnya mempunyai tugas sama-sama saling menyempurnakan. Perbedaan ini mungkin terjadi akibat tata letak daerah penganut hukum adat yang berbeda-beda sehingga kebutuhan pembidangan[pun juga berbeda. Berikut beberapa pendapat terkait variasi pembidangan hukum adat: a. Van Vollenhoven menyatakan bahwa pembidangan hukum adat meliputi; 1) bentuk masyarakat, 2) tentang pribadi, 3) pemerintahan dan peradilan, 4) hukum keluarga, 5) hukum Moh. Mujibur Rohman 14 b. c. d. e. perkawinan, 6) hukum waris, 7) hukum tanah, 8) hukum hutang piutang, 9) hukum delik, dan 10) sistem sanksi (Yulia, 2016). Soepomo membagi pembidangan hukum adat pada; 1) hukum keluarga, 2) hukum perkawinan, 3) hukum waris, 4) hukum tanah, 5) hukum hutang piutang, dan 6) hukum pelanggaran (Soepomo, 1993). Ter Har mengklasifikasikan hukum adat ke dalam bidang; 1) tata masyarakat, 2) hak atas tanah, 3) transaksi tanah, 4) transaksi dimana tanah tersangkut, 5) hukum hutang piutang, 6) lembaga/yayasan, 7) hukum pribadi, 8) hukum keluarga, 9) hukum perkawinan, 10) hukum delik, 11) pengaruh lamapau waktu (Yulia, 2016). Surojo Wignjodipuro membagi hukum adat ke dalam bidang; 1) tata susunan rakyat Indonesia; 2) hukum perorangan, 3) hukum kekeluargaan, 4) hukum perkawinan, 5) hukum harta perkawinan, 6) hukum adat waris, 7) hukum tanah, 8) hukum hutang piutang, 9) hukum adat delik (Wignjodipoero, 1983). Imam Sudiyat membidangkan hukum adat pada; 1) hukum tanah, 2) transaksi tanah, 3) transaksi yang bersangkutan dengan tanah, 4) hukum perutangan, 5) status badan pribadi, 6) hukum kekerabatan, 7) hukum perkawinan, 8) hukum waris, 9) hukum delik adat (Sudiyat, 2000). Adapun wilayah-wilayah hukum adat di Indonesia menurut pakar hukum adat Indonesia, Van Vollenhoven. Terbagi ke dalam 23 lingkungan adat, yaitu (Yulia, 2016): 1. Aceh 13. Toraja 2. Gayo dan Batak 14. Bugis/Makassar 3. Nias dan sekitarnya 15. Maluku Utara 4. Minangkabau 16. Maluku Ambon 5. Mentawai 17. Maluku Tenggara 6. Sumatera Selatan 18. Papua 7. Enggano 19. Nusa Tenggara dan Timor 8. Melayu 20. Bali dan Lombok 9. Bangka dan Belitung 21. Jawa dan Madura (Pesisiran) 10. Kalimantan (Dayak) 22. Jawa Mataraman 11. Sangihe-Talaud 23. Jawa Barat (Sunda). 12. Gorontalo Moh. Mujibur Rohman 15 DAFTAR PUSTAKA Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Hartono, Sunaryati. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung: Alumni. Jamaluddin. 2015. Hukum Adat di Indonesia; dalam Dimensi Sejarah dan Perkembangannya. Banda Aceh: GEI. Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah. 2004. Mu’jam al-Washit. Mesir: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah. Partanto, Pius & Barry, M. Dahlan. 2001. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola Compugrafick. Pide, Suritaman Mustari. 2014. Hukum Adat Dahulu, Kini dan Akan Datang. Jakarta: Prenada. Ragawino, Bewa. 2008. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia. Bandung: Uneversitas Padjadjaran. Soepomo. 1993. Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramitha Soetoto, Erwin Owan Hermansyah, dkk. 2021. Buku ajar Hukum Adat. Malang: Madza Media. Sudiyat, Iman. 2000. Asas-Asas Hukum Adat (Bekal Pengantar). Yogyakarta: Liberty. Warjiyati, Sri. 2020. Ilmu Hukum Adat. Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel. Wignjodipoero, Soerojo. 1983. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung. Yulia. 2016. Buku Ajar Hukum Adat. Lhokseumawe: Unimal Press. Moh. Mujibur Rohman 16 BAB 2 HUKUM ADAT SEBAGAI ASPEK KEBUDAYAAN Oleh Ade Risna Sari 2.1 Pengertian Hukum Adat Sampai saat ini, di negara Indonesia masih banyak masyarakat yang memakai hukum adat dalam kehidupan sehari-hari. Sejauh ini, hukum adat diterima sebagai hukum yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Adapun eksistensi hukum adat dilindungi oleh negara melalui pasal 18 B ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sejauh masih hidup dan sesuai dengan pertumbuhan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” (Warjiyati, 2022). Haq, 2022 merangkumkan pengertian atau definisi hukum adat menurut para ahli. diantaranya yaitu : 1. Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku dalam masyarakat yang mana di satu sisi memiliki sanksi sehingga disebut sebagai hukum dan sisi lain dalam kondisi tidak terkodifikasi sehingga diistilahkan sebagai adat. (Van Vollenhoven). 2. Hukum adat adalah keseluruhan kebijakan yang berasal dari ketetapan para fungsionaris hukum yang memiliki wibawa dan pengaruh dan dalam pelaksanaannya berlaku spontanitas dan dipatuhi dengan sepenuh hati. Para fungsionaris hukum yang dimaksud merupakan pejabat yang berkuasa dalam kelompok sosial, seperti kepala adat, tokoh agama, pejabat desa, dan lainnya. (Ter Haar). 3. Hukum adat adalah sebagai hukum yang mandiri karena norma-norma hukum yang ada merupakan norma hidup yang diikuti dengan sanksi dan ditaati oleh masyarakat maupun badan atau lembaga terkait. Oleh karenanya maka Ade Risna Sari 17 4. 5. 6. 7. 8. keberadaannya tidak tergantung pada persoalan siapa pemberi legitimasi atas keberlakuan norma-norma tersebut. (F.D. Holleman). Hukum adat adalah peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh penguasa, namun tetap dihormati dan dipatuhi oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturanperaturan tersebut berlaku sebagai hukum. (J.H.P. Bellefroid). Hukum adat adalah hukum adat adalah hukum non-statutair. yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil adalah hukum Islam. Selain melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan yang ia memutuskan perkara. Di samping itu, hukum adat adalah sebutan lain dari hukum tidak tertulis di dalam peraturan legislatif. Hukum adat berurat akar pada kebudayaan yang tradisional. Hukum adat merupakan hukum yang hidup sebagai kompensasi di badan-badan negara, hukum yang timbul karena putusan hakim, dan hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan dalam pergaulan manusia. Dengan kata lain, hukum adat merupakan persamaan dari hukum tidak tertulis dalam peraturan legislatif (unstatutory law), dan hukum yang muncul karena putusan hakim (judge law), serta hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dikukuhkan di dalam pergaulan hidup masyarakat baik di kota maupun di desa. (R. Soepomo). Hukum adat adalah hukum yang tidak berasal pada peraturanperaturan. Hukum adat sebagai rangkaian norma yang mengatur pertautan kepentingan. Norma tersebut menjadi suatu hukum yang membedakan kewajiban dan larangan, seperti orang wajib membayar utang dan dilarang mencuri. (Djojodigoeno). Hukum adat adalah kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan dan pembenaran umum dalam masyarakat. Terdapat konsistensi antara hukum adat dan kesusilaan. (Hazairin). Hukum adat adalah himpunan adat yang umumnya tidak dibukukan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, serta mempunyai sanksi sehingga memiliki akibat hukum. (Soekanto). Ade Risna Sari 18 2.2 Aspek Hukum Adat Melansir dari berandahukum.com, 2020 bahwa aspek-aspek hukum adat sebagai berikut : 1. Ada faktor kekerabatan (kinship factor) & faktor ikatan tempat tinggal atau wilayah (region bonding factor) 2. Adanya pengaruh yang menentukan dari sistem sosial/kemasyarakat yang dapat dikembalikan 3. Fungsi utama hukum adat yaitu untuk menyerasikan hak dan kewajiban pribadi dengan hak dan kewajiban umum serta alam semesta. 4. Sistem hukum adat merupakan refleksi yang konkrit dari harapan masyarakat yang didasarkan pada sistem nilai-nilai yang berlaku. 5. Sistem hukum adat merupakan sistem yang tidak tertulis (unwritten system). 6. Adanya harmoni internal dan eksternal, sanksi negatif hanyalah merupakan upaya untuk mencapai tujuan tersebut. 7. Hukum adat berorientasi pada kedudukan seseorang didalam hukum adjektif/ hukum acaranya. 8. Cara pemikiran yang digunakan bersifat induktif, walaupun terdapat unsur-unsur yang umum (common elements) sifatnya bagi masyarakat hukum adat tersebut. 9. Cita-cita tentang kedaulatan tidak diformulasikan sebagai suatu yang secara mutlak harus dipatuhi tapi lebih diwujudkan dalam konsepsi tentang dunia yang nyata dimana manusia dan alam merupakan satu kesatuan yang bulat dan menyeluruh. 2.3 Sumber Hukum Adat Rosdalina, 2017 mengatakan bahwa sumber hukum adat terbagi ke dalam tiga bentuk, yaitu: 1. Sumber pengenal (source identifier) Sumber pengenal hukum adat adalah apa yang benar-benar terlaksana di dalam pergaulan hukum di masyarakat yang bersangkutan, baik tingkah laku yang sekali atau berulang kali dilakukan. 2. Sumber isi (content source) Sumber isi hukum adat adalah kesadaran hukum yang hidup di masyarakat adat. Ade Risna Sari 19 3. Sumber pengikat (binder source) Sumber pengikat hukum adat adalah rasa malu yang muncul karena berfungsinya sistem nilai dalam masyarakat adat yang bersangkutan. Kekuatan mengikat hukum adat adalah kesadaran hukum anggota masyarakat adat yang bersangkutan. Koesnoe dalam (news.detik.com, 2022) menyebutkan bahwa sumber hukum adat bersumber dari berbagai hal, diantaranya sebagai berikut : 1. Adat istiadat atau kebiasaan (custom) yang merupakan tradisi rakyat 2. Kebudayaan tradisional rakyat (Volks traditionele cultuur) 3. Kaidah dari kebudayaan asli Indonesia (Indonesische cultuur) 4. Perasaan keadilan (feeling of justice) yang hidup dalam masyarakat 5. Pepatah adat (traditional proverb) 6. Yurisprudensi adat (Customary jurisprudence) 7. Dokumen-dokumen yang ada pada saat itu, dimana dokumendokumen tersebut lahirlah ketentuan-ketentuan hokum. 8. Kitab-kitab hukum yang pernah diterbitkan oleh raja-raja (the law books ever published by kings) 9. Doktrin (doctrine) tentang hukum adat 10. Hasil-hasil penelitian (research results) tentang hukum adat 11. Nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat (values that live and develop in society) 2.4 Unsur Hukum Adat Menurut Koesnoe dalam (news.detik.com, 2022) mengatakan bahwa hukum adat yang berlaku di tanah air tidak diketahui secara pasti awal mulanya, akan tetapi jika dibandingkan dengan hukum barat dan hukum Islam, dilihat dari usianya maka dapat diduga bahwa hukum adat adalah hukum yang tertua dibanding hukum yang lain. Adapun hukum adat yang berlaku di masyarakat memiliki beberapa unsur yaitu: 1. Adanya tingkah laku yang terus menerus (persistent behaviour) dijalankan oleh masyarakat Ade Risna Sari 20 2. Adanya tingkah laku yang koheren dan sistematis (coherent and systematic behaviour) 3. Adanya tingkah laku yang bernilai sakral (sacred behaviour) 4. Adanya ketentuan kepala adat (customary chief provisions) 5. Adanya akibat hukum (vanwege de wet) 6. Peraturan yang tidak tertulis (unwritten law) 7. Peraturan yang ditaati dan dijalankan (obeyed and implemented rules) di dalam masyarakat Unsur hukum adat memiliki unsur-unsur tertentu. diantaranya yaitu : 1. Unsur Material (material element) Unsur material merupakan kebiasaan atau tingkah laku yang tetap diulang-ulang atau sebuah rangkaian perbuatan yang sama. 2. Unsur Intelektual (intellectual element) Unsur intelektual merupakan kebiasaan atau tingkah laku yang harus dilakukan karena ada keyakinan bahwa kebiasaan atau tingkah laku tersebut dilakukan secara objektif. (nasional.kompas.com, 2022) Melansir dari news.detik.com, 2022, Kluckhohn menguraikan tentang kebudayaan. Kebudayaan itu terdiri dari 7 (tujuh) unsur, yaitu: 1. Peralatan dan perlengkapan (equipment or supplies) hidup manusia; 2. Mata pencaharian hidup dan system-sistem ekonomi (livelihoods and economic systems); 3. Sistem kemasyarakatan (social system); 4. Bahasa (language); 5. Kesenian (art); 6. Sistem pengetahuan (knowledge system); 7. Religi (religion). 2.5 Pengertian Budaya Menurut Para Ahli Melansir dari Liputan6.com, 2019 bahwasanya kata budaya sendiri berasal dari bahasa sansekerta yaitu budhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi dengan arti budi atau akal. Ade Risna Sari 21 Selanjutnya dalam bahasa Inggris kata budaya dikenal dengan culture yang berasal dari bahasa latin yaitu colore yang berarti mengatur, mengolah atau mengerjakan. Istilah culture sendiri juga digunakan dalam bahasa Indonesia dengan kata serapan yaitu kultur. Kemudian, budaya dikaitkan dengan bagian dari budi dan akal manusia. Budaya merupakan pola atau cara hidup yang terus berkembang oleh sekumpulan orang dan dilanjutkan pada generasi berikutnya. Beberapa ahli telah mendeskripsikan arti budaya menurut pemahaman dan disiplin ilmu mereka masing-masing. Pengertian budaya menurut para ahli ini dijadikan acuan bagi banyak orang yang ingin mempelajari serta mendalami lebih lanjut mengenai kebudayaan. Pengertian budaya menurut para ahli dapat mempermudah kita untuk memahami arti budaya dan dapat mendefinisikannya sesuai dengan pemahaman kita sendiri. Berukut beberapa pengertian budaya menurut para ahli barat dan para ahli Indonesia, yang mana para ahli ini adalah pakar sosiolog, antropolog, maupun psikolog. Pendapat mereka tersebut adalah sebagai berikut : 1. Budaya merupakan sesuatu yang kompleks yang mencakup pengetahuan kepercayaan, adat istiadat, kesenian, moral, hukum dan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. (E.B. Taylor). 2. Budaya adalah semua rancangan hidup yang diciptakan secara historis baik secara eksplisit, implisit, rasional, irasional, dan non rasional, yang ada pada waktu tertentu sebagai pedoman atau petunjuk potensial dalam perilaku manusia. (Clyde Kluckhohn dan William Henderson Kelly). 3. Budaya adalah ilmu yang mempelajari berbagi pola atau model manusia untuk hidup seperti pola hidup sehari-hari dalam masyarakat. Pola dan model ini meliputi semua aspek interaksi sosial manusia. Budaya adalah prosedur atau mekanisme adaptasi utama umat manusia. (Louise Damen). 4. Budaya adalah perancangan atau pemrograman kolektif pikiran yang membedakan atau menyeleksi anggota dari satu kategori orang dari yang lain. (Geert Hofstede). Ade Risna Sari 22 5. Budaya adalah bentuk atau susunan perilaku yang dipelajari dan hasil perilaku yang elemen komponennya dibagi dan dipengaruhi serta ditularkan oleh anggota masyarakat tertentu. (Ralph Linton). 6. Kebudayaan adalah segala bentuk ungkapan atau ekspresi dari kehidupan batin masyarakat. Sedangkan peradaban adalah perwujudan atau manifestasi kemajuan teknologi dan pola material kehidupannya. (Eduard Spranger). 7. Budaya sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganik, dimana kebudayaan diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya sehingga kebudayaan itu akan tetap hidup terus menerus secara berkesinambungan dalam masyarakat meskipun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat tersebut datang silih berganti. (Melville Jean Herskovits). 8. Budaya adalah seperangkat peraturan dan norma yang dipegang atau dipunyai bersama oleh para anggota masyarakat. Apabila dilaksanakan oleh para anggotanya akan membuahkan perilaku yang dipandang pantas atau layak dan dapat diterima oleh semua masyarakat. (William H. Haviland) 9. Kebudayaan sebagai semua hasil karya atau ciptaan, sikap, rasa dan cipta masyarakat. (Selo Soemardjan dan Soelaeman Somardi) 10. Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang mana jika diadakan oleh para anggotanya akan menghasilkan perilaku yang dipandang pantas atau layak dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat. (William H. Haviland). 11. Budaya sebagai sebuah sistem gagasan atau ide dan rasa. Kebudayaan merupakan sebuah tindakan serta karya yang dihasilkan oleh manusia yang di dalam kehidupan dalam bermasyarakat. Budaya berasal dari kata budaya yang dalam bahasa Inggris yaitu colere yang kemudian menjadi culture yang didefinisikan sebagai segala daya dan kegiatan atau aktifitas manusia untuk mengolah atau mengadaptasi dan mengubah atau memperbaiki serta memperbaharui alam. (Koentjaraningrat). 12. Budaya sebagai sesuatu yang meliputi semua yang diperoleh dan dipelajari serta dikaji oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Ade Risna Sari 23 13. Kebudayaan sebagai segala sesuatu hasil kerja jiwa manusia dalam arti yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya. (Mangunsarkoro). 14. Kebudayaan sebagai buah budi manusia yang merupakan hasil pergulatan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat yaitu alam dan zaman. Hal itu merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk memecahkan berbagai rintangan dan kesulitan guna meraih keselamatan dan kebahagiaan. (Ki Hajar Dewantara). 2.6 Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis Hukum Adat Landasan filosofis dari hukum adat adalah nilai-nilai dan sifat hukum adat itu sangat menyerupai dan bahkan sudah terkandung di dalam butir-butir Pancasila. Sebagai contoh yaitu religio magis, gotong royong (mutual cooperation), musyawarah mufakat dan keadilan (deliberation, consensus and justice). Semua unsur-unsur tersebut secara nyata menegaskan bahwa arwah hukum adat dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang hendak diatur dalam sistem hukum di Indonesia, dengan kata lain Pancasila merupakan kristalisasi dari hukum adat. Hukum adat jika dipandang dari segi wujud kebudayaan maka hukum adat termasuk dalam kebudayaan yang berwujud sebagai kompleks dari ide atau gagasan yang berfungsi untuk mengarahkan dan mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh sebab itu maka hukum adat merupakan aspek dalam kehidupan masyarakat sebagai kebudayaan bangsa Indonesia (Indonesian culture). Hukum adat merupakan hukum tradisional masyarakat yang merupakan perwujudan dari suatu kebutuhan hidup yang nyata serta merupakan salah satu cara pandangan hidup yang secara keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku. Oleh karena itu maka setiap riset mengenai hukum adat selalu berangkat dari pertanyaan bagaimana memahami cara hidup dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang merupakan refleksi dari cara berpikir (the way of thinking) dan struktur kejiwaan (psychological structure) bangsa Indonesia. Hukum adat adalah sebagai aspek kehidupan dan budaya bangsa Indonesia karena struktur kejiwaan (psychological structure) dan cara berpikir (mindset) bangsa Indonesia tercermin lewat hukum adat itu sendiri. Hukum yang berlaku Ade Risna Sari 24 pada setiap masyarakat tumbuh dan berkembang bersamaan dengan kebudayaan suatu masyarakat karena hukum itu merupakan salah satu aspek dari kebudayaan suatu masyarakat. Kebudayaan adalah usaha dan hasil manusia menyesuaikan dirinya dengan alam sekelilingnya. Kebudayaan setiap masyarakat mempunyai corak, sifat dan struktur yang khas (distinctive style, nature and structure), oleh sebab itu maka hukum yang berlaku pada masing-masing masyarakat juga mempunyai corak, sifat dan struktur masing- masing. Di mana ada masyarakat di situ ada hukum (ubi societas ibi ius,) termasuk juga hukum adat. Manusia tidak akan dapat hidup dalam masyarakat tanpa adanya koridor- koridor norma yang jelas. Dibutuhkan suatu norma hukum yang jelas untuk mengatur kehidupan manusia dengan sifat yang fleksibel. Sistem hukum adat itu senantiasa tumbuh, berkembang dan dipertahankan oleh masyarakat adat Indonesia karena lahir dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup (way of life) dan pandangan hidup (views of life), yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat di mana tempat hukum adat itu berlaku. Landasan sosiologis berlakunya hukum adat ditunjukkan dalam sejarah setelah Indonesia dijajah Belanda dan akhirnya merdeka. yang menjadi unsur utama seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah masyarakat pribumi, walaupun sifat asli (indigenous) sudah hilang namun hukum adat mereka mengikuti subjeknya, sehingga sampai saat ini masyarakat Indonesia dalam pergaulan dan kehidupannya seharihari membutuhkan hukum adat sebagai hukum yang hidup (the living law) dan secara konkrit menjelaskan landasan sosiologis tersebut. Landasan yuridis berlakunya hukum adat di Indonesia bisa dilihat dari sistem yang dianut oleh negara tersebut. Hukum didalam suatu negara berbentuk sebuah tatanan. Sistem tersebut merupakan suatu kesatuan utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lainnya. Dalam sistem hukum nasional, wujud atau bentuk hukum yang ada dapat dibedakan menjadi hukum tertulis, yaitu hukum yang tertuang dalam perundang-undangan dan yang tidak tertulis, yaitu adat dan kebiasaan. Ada pula yang membedakan menjadi hukum yang benar-benar berlaku sebagai hukum yang hidup (the living law) dan hukum yang diberlakukan namun tidak berlaku sebagai hukum yang hidup (the living law). Sebagai contoh, hukum yang Ade Risna Sari 25 diberlakukan adalah hukum tertulis yaitu dengan cara diundangkan dalam lembaran Negara. Hukum tertulis dibuat ada yang berlaku sebagai hukum yang hidup (the living law) tetapi ada juga yang tidak berlaku sebagai hukum yang hidup (the living law) karena tidak ditaati atau dilaksanakan oleh rakyat. 2.7 Hukum Adat Sebagai Aspek Kebudayaan Hukum adat sebagai aspek kebudayaan ialah hukum adat yang ditinjau dari perspektif nilai, norma sosial dan ilmu pengetahuan serta keseluruhan tatanan sosial keagamaan yang diperoleh seseorang dengan keberadaannya sebagai anggota masyarakat. Melansir dari 123dok.com bahwa bilamana kita melakukan riset mengenai hukum adat maka kita mesti berupaya mendalami kaidah hidup serta falsafah bangsa Indonesia. Kaidah hidup dan falsafah bangsa merupakan perenungan dari cara berpikir (mindset) serta struktur kebatinan serta intelektual bangsa Indonesia. Dari hal ini dapat dipahami bahwa hukum adat sebagai aspek kehidupan serta aspek kebudayaan bangsa Indonesia, di mana berkaitan dengan struktur kebatinan (mystic structure) dan intelektual serta cara berpikir (mindset) bangsa Indonesia itu sendiri. Adapun cara berpikir (mindset) masyarakat Indonesia menurut Soepomo bahwasanya dapat dilihat dari aspek struktur kejiwaaan dan cara berpikir masyarakat Indonesia dalam mewujudkan corak-corak atau pola tertentu dalam hukum adat, yaitu : 1. Memiliki sifat kebersamaan (togetherness). 2. Memiliki corak magis-religius (magical-religious pattern) 3. Memiliki pemikiran penataan serba konkrit (all-concrete arrangement thinking) 4. Memiliki sifat visual (visual properties) Manusia dalam pandangan hukum adat merupakan makhluk yang terikat dalam kemasyarakatan yang memiliki hubungan yang sangat erat, memiliki rasa kebersamaan, memiliki corak yang magis religious, memiliki rasa keingintahuan yang mendetil terhadap suatu permasalahan yang berhubungan dengan aspek kehidupan di dalam masyarakat Indonesia. Misalnya dalam hubungan yang terjadi karena Ade Risna Sari 26 perkawinan antar dua suku yang bersifat eksogami, perhubungan jual beli, perjanjian mengenai tanah dan lainnya. (journal.ui.ac.id, 2022). Melansir dari ejournal.unhi.ac.id, 2020 dikatakan bahwa keberagaman budaya dan latar belakang masyarakat Indonesia menciptakan suatu perkumpulan adat di mana masyarakatnya hidup dengan kebiasaan-kebiasaan tertentu yang berlaku di wilayah masingmasing. Perkumpulan adat tersebut disebut sebagai masyarakat adat. Masyarakat adat tunduk kepada aturan-aturan yang tidak tertulis yang disebut sebagai hukum adat. Walaupun hukum adat tidak terkodifikasi, namun hukum adat sampai saat ini tetap hidup dan tumbuh bersama masyarakat adatnya (living law). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dengan jelas mengatur mengenai pengakuan dan eksistensi masyarakat adat. Pasal 18 b, pasal 28 i ayat 3 dan pasal 32 ayat 1 dan 2, menandakan bahwa walaupun telah melewati proses legitimasi oleh pemerintah, namun tidak mengubah kekuatan maupun pengaruh hukum adat itu untuk tetap diakui oleh masyarakat. Sifat fleksibel dari hukum adat yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat hukum adatnya itulah yang menjadikan hukum adat dapat mengambil tindakan menghukum atau mengadili masyarakat adatnya tanpa adanya hukum tertulis dari pemerintah. Walaupun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa “Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”. Indonesia adalah negara yang pluralisme, yang mana masyarakatnya terdiri dari bermacam-macam suku serta adat istiadat. Dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, masyarakat hukum adat telah menerjemahkan kebiasaan mereka menjadi hukum adat yang umumnya mempunyai bentuk peraturan yang tidak tertulis (unwritten rules). Hukum tersebut hidup (living law) dan dipatuhi oleh masyarakat hukum adat dan telah banyak bukti nyata yang menunjukkan bahwa masyarakat hukum adat lebih mematuhi hukum adatnya dari pada peraturan perundangan-undangan yang dibuat oleh pemerintah (government legislation). Dalam Undang-Undang Dasar 1945 memaklumatkan dan mengakui eksistensi hukum adat didalam tatanan sistem hukum di Indonesia yaitu tertuang dalam pasal 18 B ayat 2 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat Ade Risna Sari 27 hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diatur dalam Undang-Undang”. Melansir dari detiknews.com, 2022 bahwa tepuk tepung tawar merupakan tradisi raja-raja Melayu yang tak hilang digerus zaman. Tradisi tepuk tepung tawar ini merupakan adat kebiasan masyarakat Melayu yang ada di Indonesia. Seperti di daerah Riau, apabila Jemaah haji akan berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji. Tradisi tepuk tepung tawar ini diperuntukkan bagi jemaah haji yang tinggal di Sumatera terutama etnis Melayu. Tradisi tepuk tepung tawar bagi masyarakat Riau tidak boleh terlewatkan. Tradisi ini dilaksanakan saat melepas keberangkatan jemaah ke tanah suci. TEouk tepung tawar ini sebagai bentuk ucapan syukur kepada Allah SWT seraya melantunkan doa-doa. Tradisi tepuk tepung tawar menjadi agenda penting bagi masyarakat Melayu di Riau. Tradisi itu masih ada dan tetap dilestarikan sebagai wujud syukur dari raja-raja terdahulu hingga sekarang tetap dilanjutkan masyarakat yang ada di Riau. Di dalam masyarakat Melayu di daerah lain di Indonesia, memandang tradisi tepung tawar adalah wajib dilaksanakan. Tepuk tepung tawar biasanya dilaksanakan pada saat acara pernikahan, khitanan, aqiqah, pengukuhan adat, naik haji hingga menempati rumah baru. Tepuk tepung tawar maknanya adalah memberikan doa selamat. Pada zaman kerajaan Melayu dulu, apabila ada raja-raja yang baru naik tahta wajib ditepungtawari, dan tradisi ini tetap dilaksanakan sampai sekarang di beberapa daerah yang masih ada kerajaannya seperti di kesultanan Qadriyah Pontianak, Kesultanan Sambas, Kesultanan Matan Ketapang, Kesultanan Tayan Sanggau, dan di beberapa daerah di nusantara yang masih ada kesultanannya. Tepuk tepung tawar dilakukan oleh tokohtokoh adat dan kerabat dekat. tidak terkecuali pejabat atau pimpinan dari adat Melayu itu sendiri. Pelaksanaan tepung tawar sendiri tercatat ada sejumlah bahan yang wajib ada. Bahan itu mulai dari beras kunyit, beras putih, beras bertih, air wangi dan bunga rampai. Adapun lima bahan itu wajib ada. Namun sekarang untuk air wangi itu banyak diganti dengan bedak, tujuannya agar baju dari pengantin atau yang ditepungtawari tidak kotor dan basah. Adapun kelima bahan tersebut memiliki makna khusus. Beras kunyit sebagai simbol dari adat Melayu yang kental berwarna kuning sekaligus agar diberi kemurahan rezeki. Adapun beras putih mengandung makna kesucian. Selanjutnya beras Ade Risna Sari 28 bertih bermakna kemakmuran. Bunga rampai juga bermakna kemakmuran. Air wangi bermakna penyejuk hati orang yang ditepungtawari. Makna arti lima dalam bahan itu disamakan dengan 5 waktu salat. Semua ada maknanya masing-masing. Prosesi tepuk tepung tawar dilakukan dengan mengambil daun untuk percikan. Daun itu diikat dan dicelupkan ke bahan-bahan yang sudah disiapkan untuk dipercikkan ke tangan yang ditepung tawari. Selanjutnya orang yang melakukan tepuk tepung tawar mengambil beras kunyit, beras putih, beras bertih dan bunga rampai untuk ditaburkan pada orang yang sedang menjalani prosesi adat sambil membaca sholawat nabi. Setelah selesai, penepuk tepung tawar mengatur sembah dengan mengangkat tangan. Adapun jumlah orang yang ditunjuk untuk penepuk tepung tawar jumlahnya harus ganjil. Selanjutnya, melansir dari infosumbar.net, 2022 bahwa ada suatu tradisi dalam masyarakat Minangkabau namanya turun mandi. Turun mandi merupakan salah satu tradisi yang hingga saat ini masih dilaksanakan di Minangkabau atas kelahiran anak dalam sebuah keluarga. Tradisi turun mandi ini sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas kelahiran anak. Hal ini merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Pelaksanaan turun mandi ini dapat kita jumpai di nagari Saniang Baka Kecamatan X Koto Singkarak Kabupaten Solok Sumatera Barat. Pelaksanaan tradisi adat turun mandi biasanya dilakukan satu minggu setelah kelahiran anak. Dalam pelaksanaannya tradisi adat turun mandi dapat dilaksanakan secara sederhana dalam lingkungan keluarga terdekat saja. Bacilok merupakan pelaksanaan tradisi adat turun mandi yang hanya dalam lingkungan keluarga bako, dan anak pisang dan tidak melibatkan orang lain. Jadi hanya dilakukan secara kecil-kecilan saja dan tidak ada mengundang tetangga. Meskipun dilaksanakan secara kecil kecilan atau bacilok saio yang hanya melibatkan keluarga terdekat, turun mandi dapat dilakukan dengan mengundang orang lain yang disebut denga baralek turun mandi. Berbeda dengan bacilok saio, pada baralek turun mandi tidak hanya melibatkan bako dan anak pisang, akan tetapi ninik mamak dan masyarakat sepersukuan dilibatkan dalam turun mandi ini. Anak pisang (anak daro) adalah anak dari sauadra laki-laki ibu sedangkan induak bako adalah saudara perempuan dari ayah anak pisang. Walaupun demikian, dalam tata cara pelaksanaan turun mandi tetap sama. Adapun perbedaannya hanya besar atau kecil acara atau Ade Risna Sari 29 beraleknya. Pelaksanaan turun mandi diantaranya adalah iduak bako atau keluarga dari pihak ayah satu hari sebelum pelaksanaan turun mandi, pihak bako akan mengantarkan alat turun mandi seperti beras pulut, seekor ayam, pisang, kelapa yang akan ditanam oleh anak pisang dan kain panjang. Barang-barang tersebut akan diantarkan bersamasama ke rumah keluarga yang akan melaksanakan turun mandi. Biasanya turun mandi ini dilaksanakan setelah shalat zhuhur. Pihak bako berkewajibkan menyiapkan alat-alat untuk anak pisangnya turun mandi. Dan biasanya barang yang sudah disediakan tersebut akan diantarkan ke rumah anak pisang satu hari sebelum acara turun mandi dilaksanakan. Selanjutnya, dalam pelaksanaan turun mandi pada pagi harinya anak tersebut akan dibawa ke halaman rumah untuk dimandikan oleh bako. Kemudian, setelah selesai anak akan dibedong menggunakan kain panjang. Biasanya jika anaknya perempuan maka saat itu akan dipakaikan anting. Kemudian pada siang harinya akan ada sambah andai yang dilakukan oleh kaum lakilaki. Selain itu, pelaksanaan turun mandi biasanya juga dilaksanakan dengan aqiqah dengan memotong kambing. Kambing yang dijadikan aqiqah biasanya akan dimasak lebih dahulu dan dapat dihidangkan saat aqiqah. Kemudian ada pula yang dibungkus dan diserahkan kepada undangan yang telah datang. Nilai-nilai yang terkandungt dalam tradisi turun mandi di kenegarian Selayo dan nagari Saniang Baka Kecamatan X Koto Singkarak Kabupaten Solok Sumatera Barat ini antara lain adalah memperkenalkan anak dengan lingkungan alam sekitarnya; setelah anak besar nanti diharapkan dapat menjadi penerang bagi masyarakat, agama, dan bangsanya,; diharapkan anak menjadi pemberani dalam menegakan kebenaran; diharapkan anak dapat menjadi orang yang sukses, sukses dari segi ekonomi, pendidikan dan kemapanan dari segala bidang; diharapkan anak dapat menjadi orang yang mandiri, tidak bergantung kepada orang lain; serta menjadi orang yang tidak pelit dan suka memberi serta dermawan. Meskipun zaman terus bergulir, namun budaya pelaksanaan tradisi turun mandi ini tetap eksis di dalam masyarakat, sebab dalam tataran pikiran dan keyakinan masyarakat Minangkabau upacara turun mandi ini tetap harus dilestarikan dan dipertahankan eksistensinya. Ade Risna Sari 30 DAFTAR PUSTAKA Haq, Hilman Syahrial. 2020. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Klaten: Lakeisha. Rosdalina. 2017. Buku Ajar Hukum Adat. Yogyakarta: Deepublish. Soekanto, Soerjono. 2016. Hukum Adat Indonesia. Depok : Raja Grafisindo Persada. Utomo, Laksanto. 2016. Hukum Adat. Depok : Raja Grafisindo Persada. Warjiyati, Sri. 2020. Ilmu Hukum Adat. Sleman : Deepublish. https://berandahukum.com/a/aspek-aspek-hukum-adat http://journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/view/10442/67546203 https://ejournal.unhi.ac.id/index.php/hkb/article/view/1086 https://123dok.com/document/ makalah-hukum-adat-sebagaikebudayaan.html https://nasional.kompas.com/read/2022/06/19/03200011/pengerti an-hukum-adat-menurut-para-ahli https://www.detik.com/sumut/budaya/d-6113932/tepuk-tepungtawar-tradisi-raja-raja-melayu-yang-tak-hilang-digerus-zaman https://nasional.kompas.com/read/2022/06/09/03000081/hukumadat-pengertian-sumber-dan-unsur https://www.liputan6.com/citizen6/read/3868276/pengertianbudaya-menurut-para-ahli-jangan-keliru-memaknainya https://www.detik.com/sumut/budaya/d-6110073/tekad-tuo-silekminang-bangkitkan-tradisi-minangkabau https://infosumbar.net/berita/berita-sumbar/tradisi-turun-mandi-diminangkabau-sebagai-bentuk-syukur-atas-kelahiran-anakdalam-keluarga/ Ade Risna Sari 31 BAB 3 SISTEM HUKUM ADAT Oleh Abdul Hamid 3.1 Pendahuluan Peradaban dan kebudayaan manusia selalu tumbuh dan berkembang secara alamiah dari waktu ke waktu menurut massanya. Semakin maju pergaulan manusia dengan lingkungannya maka semakin cepat pula peradaban dan kebudayaan manusia berkembang dan berubah dari sifat asalnya. Idealnya setiap sistem hukum itu dinamis dan memiliki daya untuk beradaptasi dengan berbagai perubahan dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, hukum adat misalnya sebagai salah satu sistem hukum sudah selayaknya bersifat terbuka bukan bersifat tertutup dimana sifatnya tidak selesai dan tidak dapat selesai karena sistem itu menjadi dasar semua keputusan dan menimbulkan suatu yang baru pada sistemnya sendiri (Paul Scholten, 1993, 103). Sistem merupakan perangkat struktur yang secara teratus saling berhubungan sehingga membentuk totalitas. Susunan yang teratur berdasarkan pandangan, teori, asas dan sebagainya (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005, 1076). Sistem hukum dimaknai sebagai konstruksi teoritis dimana didalamnya terdapat norma-norma atau kaidah hukum dihubungkan secara akal dan berkelanjutan menjadi kesatuan secara utuh (D.H.M. Meuwissen, 1994, 20). Sistem hukum adalah ketentuan-ketentuan hukum dan putusan-putusan hukum yang berlaku dalam masyarakat tertentu dan saling berhubungan satu sama lain (J.J.H. Bruggink, 1999, 139). Kata adat berarti aturan (perbuatan) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala, atau cara (kelakuan) yang sudah menjadi kebiasaan, wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi satu sistem (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005, 7). Hukum adat merupakan ketentuan kebiasaan manusia dalam bergaul di Abdul Hamid 32 masyarakat (Hilman Hadikusuma, 2003, 1). Hukum adat berasal dari Bahasa Arab “huk’m” jamaknya “ahkam “ berarti suruhan atau ketentuan, dan “adah” atau adat berarti kebiasaan, yaitu sikap atau perilaku masyarakat yang selalu terjadi. Hukum adat adalah hukum kebiasaan. Di Eropa hukum adat dan hukum kebiasaan mempunyai arti sama dan tidak berbeda, yaitu gewoonte recht yaitu adat atau kebiasaan yang bersifat hukum yang berhadapan dengan hukum perundangan (wettenrecht). Tetapi menurut sejarah perundang di Indonesia, antara istilah hukum adat dengan hukum kebiasaan berbeda. Hukum adat adalah hukum kebiasaan di luar perundangan, sedangkan hukum kebiasaan adalah kebiasaan yang dibenarkan dan diakui di dalam perundangan (Hilman Hadikusuma, 2003, 8). Dengan demikian, sistem hukum adat dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan dari rangkaian nilai-nilai atau norma-norma masyarakat bersifat tidak tertulis, berlaku dalam suatu masyarakat tertentu sejak lama, dipatuhi dan dilaksanakan secara turun temurun sehingga menjadi kebiasan dalam pergaulan hidup sehari-hari, dan pelanggaran terhadap kebiasaan tersebut dianggap sebagai pelanggaran adat dan pelakunya mendapatkan balasan tertentu dari pemuka masyarakat adat. Hukum adat dalam arti kebiasaan sudah ada sejak masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda di Aceh Darussalam pada tahun 1607 sampai tahun 1636, yaitu adanya kitab hukum Makuta Alam dan kitab Hukum Safinatul Hukkam Fi Takhlisil Khassam (bahtera bagi semua hakim untuk menyelesaikan semua orang yang berkesumat) ditulis Jalaluddin bin Syeh Muhammad Kamaluddin, anak Kadhi Baginda Katib Negeri TYrussan atas perintah Sultan Alaiddin Jihan Syah (1781-1795), dalam pembukaannya menyatakan dalam memeriksa perkara hakim harus memperhatikan hukum syarak, hukum adat, adat dan resam (Hilman Hadikusuma, 2003, 9). Istilah hukum adat tersebut, dicatat kembali peneliti Belanda Snouck Hurgronye ketika melakukan penelitian di aceh pada tahun 1891-1892, menggunakan istilah Belanda Adatrechts (Hukum Adat) untuk membedakan hukum kebiasaan dengan hukum adat yang mempunyai sanksi hukum (Snouck Hurgronye, 1893, 357). Sejak saat itulah istilah hukum adat sering digunakan Abdul Hamid 33 dan menjadi terkenal, terlebih lagi dijadikan kajian dalam ilmu pengetahuan hukum adat oleh Van Hollenhoven (Hilman Hadikusuma, 2003, 9). Dengan demikian, walaupun antara hukum adat dengan hukum kebiasaan berbeda tetapi perbedaan dan batas keduanya tidak jelas dan tidak dapat dijelaskan. Sebagian pendapat untuk membedakannya berdasarkan tolak ukur ada atau tidaknya sanksi (hukuman), apabila ada ancaman berupa sanksi maka disebut hukum adat, apabila tidak ada ancaman sanksi maka hukum kebiasaan. Tetapi pendapat tersebut, tidak selalu benar karena ada pelanggaran terhadap hukum kebiasaan juga diancam dengan hukuman. Penurut penulis, antara hukum adat dengan hukum kebiasaan tidak ada perbedaan dan tidak perlu diperdebatkan karena keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat dibedakan. Perbedaannya hanya terletak pada penyebutan istilah yang digunakan berdasarkan kecocokan dan selera saja. Hukum kebiasaan diakui dan dibenarkan dalam perundangan Belanda, antara lain: 1. Tentang sewa menyewa, Pasal 1571 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan, apabila sewa dibuat secara lisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan akan berakhir setelah satu pihak memberitahukan kepada pihak lain dan menyatakan akan mengakhiri sewanya, dengan memberikan jeda waktu menurut kebiasaan setempat. 2. Tentang sewa rumah dan perabot rumah, Pasal 1583 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan perbaikan-perbaikan kecil yang sehari-hari digunakan oleh penyewa, jika tidak diperjanjikan maka dianggap sebagai perbaikan seperti perbaikan lemari-lemari toko, kunci jendela, kunci-kunci dalam, kaca jendela, baik di dalam atau di luar rumah, dan semua yang sejenis, menurut kebiasaan setempat, maka perbaikan tersebut menjadi tanggung jawab pemilik sewa, apabila berbaikan itu dilakukan oleh penyewa dalam keadaan terpaksa karena rusak. 3. Tentang sewa rumah dan perabot rumah, Pasal 1585 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan sewa mebel perlengkapan sebuah rumah, tempat kediaman, Abdul Hamid 34 toko atau ruangan lainnya seluruhnya, harus dianggap telah dibuat untuk waktunya sebagaimana selalu disewakan menurut kebiasaan setempat. 4. Tentang sewa rumah dan perabot rumah, Pasal 1586 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan penyewaan kamar-kamar yang dilengkapi dengan mebel dianggap telah disewakan pemiliknya atas pembayaran sejumlah baik tahunan, bulanan, atau harian, selalu disewakan menurut kebiasaan setempat. 5. Tentang kewajiban majikan, Pasal 1602 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan majikan diwajibkan membayar upah kepada buruh pada waktu yang telah ditentukan. Sistem hukum adat merupakan awal adanya sistem hukum modern saat ini. Sejarah perkembangan hukum hukum modern apabila ditelusuri sebenarnya merupakan perkembangan yang tidak pernah berhenti dari suatu perkembangan sejarah masa lalu. Sistem hukum modern asal muasalnya dari hukum adat sendiri. Kebenaran sejarah manusia tidak dapat dipungkiri dari waktu ke waktu telah melahirkan sistem hukum modern dan sedikt demi sedikit sistem hukum adat mulai memudar karena tidak dapat bertahan secara murni. Perubahan sistem hukum adat sangat dipengaruhi sekali oleh perubahan prilaku manusia itu sendiri (Soetandyo Wignyosoebroto, 2004, 129) Sistem hukum di Indonesia secara struktural ada persamaan dengan sistem hukum ketika masa penjajahan. Tetapi sistem hukum mendapatkan masukan budaya asli bangsa Indonesia yaitu hukum adat. Hukum adat bangsa Indonesia berbeda dengan hukum tertulis. Hukum adat lebih sensitif dan terpengaruh sistem hukum lain (Daniel S.Lev, 1990, 1). Sejak dahulu sudah ada ide untuk mengusung hukum adat sebagi pilar dari sistem hukum nasional, karena hakikatnya hukum adat dipandang dapat mewakili identitas dan corak Indonesia sesungguhnya. Tetapi hal tersebut tidaklah mudah untuk dilaksanakan dengan alasan hukum adat dipandang sebagai suatu kecenderungan negatif dan primitif ketika berhadapan dengan pemikiran hukum modern. Pandangan demikian menyebabkan Abdul Hamid 35 pembuat undang-undang bersikap mendua terhadap hukum adat. Di satu sisi hukum adat berarti suatu yang primiti, dan walaupun berlaku juga bagi masyarakt elite Indonesia dan memandang hukum adat sebagai sesuatu yang khusus bagi rakyat tetapi tidak perlu diberikan perhatian istimewa. Di sisi lain hukum adat adalah ciri khas masyarakat dan bangsa Indonesia, bagi yang berpikiran nasionalis mempunyai makna penting (Daniel S.Lev, 1990, 81). Norma-norma hukum adat sangat bermacam jenisnya tergantung lingkungan masyarakat hukum adat dimana normanorma hukum adat berlaku. Norma-norma hukum adat satu daerah dengan norma-norma hukum adat lainnya cenderung berbedabeda. Hal ini terjadi karena pergaulan sehari-hari dan keadaan lingkungan masyarakat hukum adat mempengaruhi dan melahirkan norma-norma tersebut. Tetapi walaupun demikian inti dari norma-norma hukum adat tersebut sama. Misalnya, dalam masyarakat hukum adat sangat kental dan kuat kekerabatan, kekeluargaan, dan musyawarah dalam menyelesaikan masalah di lingkungan masyarakat hukum adat. Adat istiadat demikian sudah diadopsi dan menjadi salah satu norma dalam setiap pembentukan hukum nasional di Indonesia, membedakan budaya barat dengan asas individualisme dan liberalisme. Hukum positif di Indonesia yang ada sekarang ini walaupun masih banyak peninggalan penjajahan tetapi sudah difilter sedemikian rupa dan disesuaikan dengan corak dan sifat masyarakat dan bangsa Indonesia. Normanorma yang bertentangan dengan corak dan budaya masyarakat dan bangsa Indonesia dinyatakan tidak berlaku. Hukum positi nasional lebih mengedepankan asas kekeluargaan dan musyawarah dalam menyelesaikan semua masalah termasuk masalah hukum. Upaya hukum sedapat mungkin dihindari terlebih dahulu, upaya musyawarah kekeluargaan lebih diutamakan, setelah gagal maka upaya hukum ditempuh sebagai alternatif terakhir (ultimum remedium). Abdul Hamid 36 3.2 Sistem Hukum Adat. 3.2.1 Ciri-Ciri Khas Hukum Adat di Indonesia. Bangsa Indonesia kaya dengan beranekaragam kebudayaan, setiap daerah memiliki kebudayaan dengan ciri-ciri sendiri dan khusus. Aneka ragam kebudayaan inilah yang melahirkan hukum adat. Hukum adat Indonesia memiliki ciri seperti tradisional, keagamaan, kebersamaan, nyata, dan dapat dilihat. 1. Ciri khas tradisional. Kebudayaan nenek moyang bangsa Indonesia sejak dahulu hingga sekarang tetap dijunjung dengan baik, turun temurun dijaga dan dipelihara serta dilestarikan oleh generasinya. Kehidupan masyarakat tradisional dengan segala prilaku dan pergaulannya yang masih sederhana melahirkan ciri tradisional seperti yang ada sekarang ini. Ciri masyarakat tradisional hanya dapat ditemukan pada daerah dimana kehidupan masyarakatnya masih alami dan cenderung belum disentuh kemajuan teknologi dan kebudayaan modern. Hukum adat daerah Batak yang menarik garis keturunan dari pihak bapak (laki-laki) tetap dipertahankan hingga kini. Hubungan kekerabatan patrilenial dalihan na tolu (bertungku tiga), yaitu hubungan antara marga hula-hula dengan tubu (dongan sebutuha) dan boru. Kekerabatan ini tidak memperbolehkan perkawinan antara laki-laki dengan wanita dalam satu marga atau keturunan. Apabila marga Tobing menjadi hula-hula maka laki-laki dan wanita marga tobing tidak boleh kawin. Apabila marga Hutajulu meminang wanita marga tobing maka marga Hutajulu yang merupakan marga dengan Tubu menjadi marga Boru dari Hutajulu. Apabila wanita marga Hutajulu menikah dengan laki-laki marga Sianipar maka marga Sianipar menjadi Boru dari Hutajulu, dan Hutajulu merupakan Hula-hula dari Sianipar. Hal inilah yang dinamakan tiga tungku antara satu dengan lainnya (Hilman Hadikusuma, 2003, 33). Hukum adat daerah Lampung, masalah kewarisan dikenal sistem mayorat lelaki. Dimana anak lelaki tertua menguasai semua harta warisan dengan kewajiban mengurus semua adikadiknya hingga dewasa dan mandiri. Harta warisan tidak dibagi dan sebagai harta keluarga bersama, semua untuk kepentingan Abdul Hamid 37 bersama dan mekanismenya diatur oleh anak laki-laki tertua, sebagai pengganti orang tua. Contoh di daerah Tulangbawang sampai sekarang ini, ada Nuwow Balak atau Lamban Gedung yaitu bangunan rumah panggung besar tempat kedudukan anak laki-laki tertua, dan Tanoh Menyanak yaitu tanah keluarga berisi kebun buah-buahan atau danau tempat penangkapan ikan bersama (Hilman Hadikusuma, 2003, 35). 2. Ciri khas keagamaan. Masyarakat di Indonesia secara umum percaya dan meyakini adanya kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diwujudkan dengan mempercayai kekuatan ghaib, seperti kepercayaan animisme yaitu percaya terhadap benda-benda mati dan dipercaya berjiwa, kepercayaan dinamisme yaitu percaya terhadap benda-benda bergerak. Kekuatan sakral yang dimiliki benda-benda itu menurut kepercayaan adalah Tuhan atau Dewa. Karena itu dalam memulai aktifitasnya selalu berharap keberkahan dari pemilik kekuasaan. Hukum Adat di Indonesia cenderung diwarnai dan sudah terbalut ajaran agama atau kepercayaan baru, seperti agama Hindu, Budha, Kristen, Islam dan lain sebagainya. Norma-norma adat menyatu dengan norma agama melahirkan hukum adat berciri khas keagamaan. Padahal bukan ajaran agama yang sebenarnya, tetapi dianggap sebagai ajaran agama oleh sebagian yang mempercayainya. Contohnya Hukum adat berciri khas keagamaan pada suku Banjar “Pelangkahan” pernikahan wanita mendahului kakak wanitanya, maka adik wajib memberikan uang atau barang pelangkahan kepada kakaknya, semisal adik wanita mendapatkan sepasang baju maka si kakak juga mendapatkan baju sepasang. Pendeknya semua yang didapat si adik maka si kakak wajib mendapatkan hal yang sama. Apabila hal ini dilanggar maka melanggar pemantangan dan pemali. Akibatnya menurut kepercayaan akan menimbulkan masalah keluarga adik nantinya dan si kakak akan menjadi bujang lapuk (perawan tua). Di Bali penganut agama Hindu terbesar di Indonesia, mempunyai hukum adat berciri khas agama Hindu yang berbeda dengan penganut agama Hindu di India. Di Banten juga berlaku hukum adat yang Abdul Hamid 38 berciri khas keagaman, misalnya tidak dibolehkan menjual padi yang buahnya masih hijau, atau menjual buah-buahan yang masih dalam bentuk bunga atau belum tua. Ciri khas keagamaan dari hukum adat Indonesia demikian itu, tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, menyatakan, yaitu atas berkat rahmat Allah Tuhan Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan menyatakan kemerdekaannya (Hilman Hadikusuma, 2003, 34-35) 3. Ciri khas kebersamaan. Hukum adat di Indonesia berciri khas kebersamaan karena dalam kesehariannya lebih banyak mengedepankan kepentingan bersama, mengesampingkan kepentingan pribadi. Semua kegiatan kemasyarakatan dilakukan secara musyawarah kekeluargaan, dengan cara gotong royong (kerja bakti). Ciri khas hukum adat ini sekarang sudah menjadi hal biasa ditemui di masyarakat pedesaan dan perkotaan. Walaupun budaya ini sudah semakin memudar dan redup, mulai terkikis dengan budaya modern yang bersifat individualisme. Ciri khas kebersamaan dapat terlihat di masyarakat pedesaan di Jawa misalnya, ketika ada salah satu warga masyarakat, maka warga masyarakat lainnya akan segera membantu dengan segala daya dan kemampuan seadanya guna meringakan beban keluarga yang ditinggalkan. Pepatah Jawa “dudu sanak dudu dulur ning yen mati melu kilangan” (saudara bukan keluarga bukan tetapi jika ada kematian juga merasakan kehilangan). Bentuk kebersamaannya, ibu-ibu membawa beras, gula, kelapa, dan lainnya sedangkan bapak-bapak menyumbangkan tenaga guna mendirikan tenda dan menggali tanah kuburan. Ciri khas kebersamaan hukum adat Indonesia demikian itu, tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 33 menyatakan, yaitu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan (Hilman Hadikusuma, 2003, 35). 4. Ciri khas nyata (konkrit) dan terlihat (visual). Hukum adat Indonesia berciri khas konkrit artinya jelas, tunai, nyata dan berwujud, sedangkan visual berarti dapat dilihat, terlihat Abdul Hamid 39 langsung, terbuka, tidak ditutup-tutupi, dan tidak tersembunyi. Dalam transaksi jual beli secara barter yaitu tukar menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dilakukan secara konkrit dan visual, serah terima barang atau uang harus jelas seperti ijab kabul dalam pernikahan. Tetapi jika tidak konkrit maka dinamakan hutang. Dalam jual beli tanah misalnya, apabila pembeli hanya memberi uang panjer (uang tanda jadi) maka penjual tidak boleh menjual tanahnya kepada siapapun tanpa sepengetahuan pemberi panjer tersebut. Begitu pula dalam hal pernikahan ada adat Paningset maka bagi seorang wanita yang sudah menerima paningset dari laki-laki yang akan mengawininya, tidak boleh lagi dilamar laki-laki lain. Hal serupa sesuai juga dengan hukum Islam, dengan istilah tunangan, dimana wanita yang sudah dipinang dan bertunangan tidak boleh dilamar atau menerima pinangan dari laki-laki lain (Hilman Hadikusuma, 2003, 36). Di Kalimantan ada hukum adat yang berlaku dalam kepemilikan lahan di hutan, apabila ada tanda atau bekas pernah digarap maka orang lain tidak boleh mengarapnya lagi, karena lahan itu sudah ada yang punya, dan menurut tradisi lading berpindah-pindah akan diulangi lagi pada masa-masa berikutnya. 5. Ciri khas terbuka dan sederhana. Hukum adat Indonesia berciri khas terbuka berarti dapat menerima masuknya norma-norma lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma hukum adat yang telah ada. Sehingga sekarang ini dapat diperhatikan hukum adat dapat beradaptasi dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan modern. Hukum adat yang ada sudah adaptif dengan tehnologi modern. Ciri khas sederhana berarti tidak rumit, simple, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan dilaksanakan hanya berdasarkan saling mempercayai. Keterbukaan hukum adat dapat dilihat dari pengaruh agama Islam misalnya, dalam hal kewarisan ada pembagian harta warisan dengan bagian “sepikul segendong” berarti bagian ahli waris lakilaki 2 (dua) bagian dan bagian ahli waris wanita 1 (satu) bagian. Dalan tradisi agama Hindu misalnya ada “kawin anggau” apabila suami meninggal maka isteri boleh mengawini saudara laki-laki suami (Hilman Hadikusuma, 2003, 36) atau dalam hukum adat Abdul Hamid 40 suku Banjar “Turun Ranjang” apabila isteri meninggal dunia maka suami dapat mengawini adik atau kakak isteri. Kesederhanaan hukum adat dapat diperhatikan dalam praktik jual beli, perjanjian bagi hasil, gadai sewa menyewa, hutang piutang, dan perkawinan tidak dilakukan secara tertulis. Semua didasarkan atas saling percaya mempercayai. Penyelesaian masalah apabila salah satu melanggar kesepakatan lisan juga diselesaikan secara sederhana dengan cara musyawarah kekeluargaan, tidak perlu penyelesaian melalui pengadilan sebagaimana hukum modern. 6. Ciri khas dinamis dan adaptif. Hukum adat bersiat dinamis berarti dapat mengikuti perubahan dan perkembangan serta kemajuan ilmu pengetahuan, tehnologi. dan budaya modern. Hukum adat yang ada sekarang ini sudah tidak asli sebagaimana asalnya. Misalnya saja dahulu dalam transaksi masyarakat hanya didasarkan saling percaya saja, tetapi kini masyarakat hukum adat sudah menggunakan surat menyurat walaupun hanya di bawah tangan. Hal ini terjadi karena semakin lunturnya nilai kepercayaan masyarakat, penyebabnya karena banyak masyarakat adat yang tertipu. Dahulu ada masyarakat adat yang melarang perkawinan beda suku atau beda kampong karena alasan sudah menjadi tradisi nenek moyang. Tetapi seiring dengan luasnya pergaulan masyarakat, maka larangan hukum adat tersebut sudah tidak berlaku lagi. Sekarang ini perkawinan beda suku sudah menjdi hal biasa. Orang Lampung kawin dengan orang Jawa, orang Banjar kawin dengan orang Jawa, orang Dayak kawin dengan orang Dayak. 7. Ciri khas tidak dikodifikasi. Hukum adat secara umum tidak dibukukan dalam bentuk tulisan. Berbeda dengan hukum modern selalu dibuatkan sebuah kitab undang-undang atau buku. Hukum adat tidak dikodiikasi, karena hukum adat berlaku hanya untuk masyarakat hukum adatnya saja. Wilayah hukum berlakunya hukum adat sempit, dan tidak dapat diberlakukan kepada masyarakat hukum adat lain. Hukum adat berlaku bagi masyarakat hukum adat lain apabila masyarakat hukum adat lain itu melanggar hukum adat dimana hukum adat itu berlaku. Abdul Hamid 41 Artinya hukum adat berlaku hanya sebatas wilayah hukum masyarakat hukum adat itu berada. Hukum adat Dayak hanya berlaku di wilayah masyarkat hukum Dayak, tidak berlaku bagi masyarakat hukum Dayak. Tetapi apabila ada orang yang berasal dari luar masyarakat hukum Dayak menghina masyarakat hukum Dayak,maka hukum Dayak dapat diterapkan kepada orang di luar masyarakat hukum Dayak. Misalnya seperti kasus Dedi Mulyadi yang melontarkan pernyataan yang menghina ibu kota baru “Kalimantan tempat jin dan kuntilanak buang anak” yang memicu reaksi dan mengecam serta menuntut secara hukum oleh masyarakat Kalimantan. Harga diri suku Dayak tersinggung dengan pernyataan itu, dan harga diri hukum adat harus ditegakkan seperti yang disampaikan anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRRI) Ary Egahni pada tanggal 27 Januari 2022. Hukum adat tidak mungkin dapat dikodifikasi karena nilainilai hukum adat sangat luas dan tidak dapat didefinisikan dengan kata atau kalimat. Hukum adat hidup dan berkembang karena tradisi turun temurun, diakui dan ditaati oleh masyarakat hukum adat itu sendiri. Begitu pula hukum adat akan hilang keampuhannya karena masyarakat hukum adatnya sudah tidak mentaati dan meninggalkan nilai-nilai hukum adat dan memilih nilai-nilai hukum modern. 8. Ciri khas musyawarah mufakat. Musyawaran mufakat meruapan salah satu ciri kekhasan hukum adat Indonesia dan menjadi pedoman bangsa dan negara Indonesia hingga kini. Sila keempat Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” merupakan salah satu nilai hukum adat masyarakat hukum adat yang ada sejak jaman dahulu, diakui dan dijadikan pedoman dan dasar bagi bangsa dan negara Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Musyawarah dan mufakat sebagai salah satu ciri khas hukum adat tersebut, dijadikan nilai dasar dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Abdul Hamid 42 Semua masalah diselesaikan terlebih dahulu dengan melalui musyawarah mufakat yaitu merukunkan dan mendamaikan kedua belah pihak dilakukan tokoh masyarakat adat. Apabila tidak berhasil maka tokoh masyarakat adat mengambil tindakan atau putusan hukum adat. Sekarang ini juga berlaku yang demikian, tetapi putusan tokoh masyarakat adat yang diambil diteruskan kembali dan diserahkan penyelesaiannya diserahkan kepada penegak hukum untuk diselesaikan berdasarkan hukum negara. Karena masyarakat hukum adat Indonesia adalah rakyat dan bangsa Indonesia dan tergabung dalam negara Republik Indonesia. Dengan demikian, pembentukan negara Indonesia sejak awal oleh pendiri negara didasari atas musyawarah mufakat dari berbagai unsur tokoh masyarakat Bhineka Tunggal Ika. 3.2.2 Sistem Hukum Adat Indonesia. Beberapa ciri khas hukum adat Indonesia tersebut secara subtansi merupakan konsep dasar pembentukan hukum positif di Indonesia. Hukum adat berasal dari hukum kebiasaan dan hukum Islam. Setelah diberi muatan ideologis, hukum adat berurat dan berakar dari kebudayaan tradisional, hukum yang hidup dan menjelma dalam perasaan hukum nyata dari rakyat (Soepomo, 1982, 7). Hukum adat apakah masih merupakan salah satu sumber hukum yang valid dalam sistem hukum Indonesia, tentu saja hal ini menjadi isu yang harus ditanggapi dan realita eksistensi hukum adat menimbulkan ketegangan kebijakan untuk mewujudkan unifikasi hukum di Indonesia. Menurut Daniel. S, nilai atau kaidah hukum adat dalam berbagai kasus yang diajukan ke meja hukum tidak lulus dalam uji kepatutan dan rasa keadilan karena disisihkan nilai dan kaidah hukum yang bersifat universal. Misalnya kasus kedudukan wanita atau janda dalam hukum kewarisan, hukum positif lebih mengedepankan asas emansipasi wanita dengan isu menyetaraan gender dengan menghapus kaidah hukum adat yang diskriminatif (Kurnia, Titon Slamet, 2016, 70). Konsep negara hukum sebagai sistem hukum sendiri dapat dipandang dari sudut ilmu hukum. Dimana masing-masing negara dibatasi yurisdiksi dibatasi berdasarkan territorial maka sistem Abdul Hamid 43 hukum suatu negara ditentukan batas-batasnya secara territorial mengikuti asas dalam hukum internasional, yaitu par in parem non habat jurisdictionem. Sedangkan konsep negara hukum dipandang dari sudut relativitas budaya menempatkan hukum sebagai sub konsep budaya. Tidak ada satupun sistem budaya sama antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya (Hans Kelsen, 1961, 181). Contohnya, sistem budaya Barat lebih cenderung individualis dan budaya Timur lebih cenderung komunitarian. Perbedaan budaya tersebut merupakan salah satu alasan penolakan bagi pemberlakuan peraturan perundang-undangan di Indonesia, karena bertentangan dengan kaidah dan nilai budaya bangsa Indonesia. Sistem hukum merupakan susunan teratur dan tertib dari semua unsur nilai atau kaidah hukum. Semua saling berhubungan satu dengan lainnya dan tidak dapat dipisahkan dan sebagai satu kesatuan yang utuh. Sistem hukum berarti susunan yang bergerak secara dinamis mengikuti perkembangan jaman untuk melaksanakan fungsi hukum itu sendiri. Eksistensi hukum di masyarakat adalah untuk mengatur dan menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat secara keseluruhan. Sistem hukum adat berbeda dengan sistem hukum di dunia lainnya seperti sistem hukum Civil Law atau Eropa Continental dan sistem hukum Islam atau sistem hukum lainnya. Hukum adat sistem hukumnya sangat sederhana bahkan kebanyakan tidak sismatis. Sistim hukum adat hamper serupa dengan sistem hukum Aglo Saxon Inggeris atau Common Law. Hukum adat tidak mengenal hukum publik dan hukum privat. Hukum adat tidak membedakan hukum kebendaan dan hukum perorangan. Hukum adat tidak membedakan hukum perdata dan hukum pidana (Hilman Hadikusuma, 2003, 39). Sistem hukum adat bahan hukumnya adalah hukum Indonesia asli. Sedangkan hukum di Inggeris bahan hukumnya berasal dari hukum Romawi Kuno yang sudah mengalami reception in comlexa (Djojodigoeno, 1976, 30). 1. Sistem Hukum Adat Indonesia Menyamakan antara Hukum Publik dan Hukum Privat. Sistem hukum yang berlaku dalam hukum adat, semua masalah apapun diposisikan dan didudukan dalam pengertian kepentingan bersama. Masalah kejahatan pencurian misalnya, Abdul Hamid 44 tidak dianggap sebagai masalah umum saja tetapi juga masalah keluarga dan pribadi. Karena masalah pencurian tidak hanya merugikan kepentingan umum semata tetapi juga menyangkut kerugian keluarga, kerabat dan pribadi. Menurut Hukum adat untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat menjadi tanggung jawan semua masyarakat adat bukan hanya petugas atau penegak hukum saja. Begitu pula dengan masalah pertanahan, apabila pemerintah mencabut atau mengambil hak tanah masyarakat hukum adat, maka pemerintah harus memberikan ganti rugi kepada masyarakat hukum adat atau kepada pemiliknya. Hak kepemilikan atas tanah masyarakat hukum adat atau perorangan diakui dalam hukum pertanahan nasional yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Hukum Agraria. Hukum adat tidak memisahkan hukum berdasarkan kepentingan dan siapa yang mempertahankan kepentingan itu. Dengan demikian, berakibat tidak ada kepenmtingan umum dan kepentingan khusus. Hal ini berbeda dengan hukum modern yang membedakan hukum publik sebagaimana hukum perdata, yang mengatur kepentingan umum seperti hukum ketatanegaraan, mengatur tugas-tugas kenegaraan dan pemerintahan serta hubungan hukum antara negara dan pemerintah dengan rakyatnya. Pembagian hukum modern tersebut berasal dari hukum Romawi Kuno, dimana hukum publik dipertahankan dan dilaksanakan negara, sedangkan hukum privat dipertahankan dan dilaksanakan perorangan (Hilman Hadukusuma, 2003, 40). 2. Sistem Hukum Adat Indonesia Menyamakan antara Hukum Kebendaan dan Hukum Perorangan. Sistem hukum adat Indonesia tidak membedakan hukum berdasarkan hak kebendaan dan hak perorangan. Hak kebendaan dimaksud adalah hak-hak kebendaan yang berlaku atas orang perorangan, sedangkan hak perorangan adalah hak seorang untuk menuntut orang lain agar berbuat atau tidak berbuat terhadap hak-haknya.Hak kebendaan menurut hukum positif di Indonesia, seseorang yang memiliki suatu hak Abdul Hamid 45 kebendaan maka seorang itu mempunyai hak mutlak atas bendaitu baik bergerak atau tidak bergerak, mutlak disini dalam pengertian berhak melakukan perbuatan hukum apapun tanpa harus mendapatkan persetujuan dari pihak lainnya. Berbeda dengan sistem hukum adat, hak mutlak itu tidak ada dalam hukum kebendaan, karena hak kebendaan yang dimilkinya tidak bersifat mutlak sebagai hak pribadi. Karenanya pemilik tidak dapat berbuat sesuatu atas kebendaan itu seorang diri sebelum mendapatkan persetujuan dari keluarga dan kekerabatannya agar tindakannya tidak dianggap sebagai perbuatan tercela, sesuai dengan ciri khas hukum adat yaitu dimusyawarahkan terlebih dahulu (Hilman Hadikusuma, 2003, 40). 3. Sistem Hukum Adat Indonesia Menyamakan antara Hukum Perdata dan Hukum Pidana. Sistem hukum adat tidak membedakan kejahatan atau pelanggaran hukum perdata atau pidana. Keduanya diselesaikan secara sekaligus dan bersamaan. Berbeda dengan hukum modern membedakan hukum pidana dengan hukum perdata dan hukum lainnya secara terpisah. Pelanggaran atau kejahatan pidana diselesaikan secara hukum pidana dan pelanggaran terhadap hukum perdata diselesaikan secara hukum perdata secara terpisah. Sistem hukum adat lebih mengedepankan dan mengutamakan penyelesaian secara sederhana dan seinbang, dimana terhadap seorang yang melakukan pelanggaran atau kejahatan dalam hukum pidana dan hukum perdata diputuskan secara bersamaan dan dipulihkan secara bersamaan pula. Hukumannya adalah menyelasaikan masalah hukum perdata dengan mengembalikan hak orang yang dirugikan dan memberikan denda adat kepada yang bersalah (Hilnan Hadikusuma, 2003, 42). 3.2.3 Sistem Hukum Pidana Adat Indonesia. Delik hukum adat adalah perbuatan sepihak dari seseorang atau kelompok orang, mengancam, menyinggung, menganggu keseimbangan dalam kehidupan masyarakat, bersifat material dan Abdul Hamid 46 immaterial terhadap seseorang atau kelompok orang. Perbuatan tersebut menimbulkan reaksi adat yang dapat memulihkan keseimbangan akibat adanya gangguan tersebut. Menurut Soepomo untuk memulihkannya dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya membayar denda adat berupa barang atau uang, mengadakan selamatan, menyembelih hewan (Muhammad, Bushar, 1991, 62). Untuk menemukan unsur delik pidana dalam hukum adat tidak seperti dalam hukum pidana modern yang hukum pidananya tertulis. Unsur delik pidana hukum adat dapat dilihat dari penilaian alam pikiran masyarakat adat berdasarkan nilai-nilai yang selama ini diakui dan dipercaya kebenarannya, apabila bertentangan maka delik hukum pidana adat sudah terpenuhi. Delik hukum pidana adat walaupun tidak tertulis tetapi ada nilainilai universal dan terdapat pula pada nilai-nilai masyarakat hukum di luar masyarkat hukum adat. Misalnya mengambil barang orang lain adalah perbuatan dilarang, membunuh tanpa alasan adalah perbuatan yang dilarang dan lain sebagainya. Hukum adat mengenal delik terberat, yaitu pelanggaran atas keseimbangan antara dunia nyata dan dunia ghaib (Muhammad, Bushar, 1991, 63-64). Delik terberat tersebut, antara lain: 1. Pengkhianatan, yaitu perbuatan yang menentang kehidupan bersama yang selama ini dijaga dan ditaati oleh masyarakat hukum adat. Bentuk hukumannya adalah hukuman mati. 2. Membuka rahasia kehidupan masyarakat hukum adat atau bekerjasama dengan musuh. Pelanggaran ini juga termasuk dalam pengkhianatan. Bentuk hukumannya adalah hukuman mati. Seperti berlaku pada suku Dayak, suku Buru, Suku Timor, beberapa suku di Maluku. 3. Pembakaran. Pelanggaran ini dilakukan terhadap rumah atau lingkungan masyarakat hukum adat bermukim, dan menganggu ketenangan dan keselamatan masyarakat serta menimbulkan ketidakseimbangan alam. Bentuk hukumannya dihukum mati, diusir atau dibuang seumur hidup dari lingkungannya. 4. Menghina kepala suku. Kepala suku adalah simbul masyarakat hukum adat,menghina kepala suku berarti menghina seluruh masyarakat hukum adat. Bentukan hukuman berat atau ringan tergantung bentuk penghinaannya, mengadakan selamatan atau mengadakan perjamuan makan. Abdul Hamid 47 5. Sihir, termasuk perbuatan yang membahayakan bagi kehidupan masyarakat hukum adat. Bentuk hukumannya adalah hukuman mati, dicekik atau ditenggelamkan ke dalam air hingga mati. 6. Melakukan hubungan atau perkawinan terlarang (incest), dibedakan menjadi 4 (empat) yaitu: a. Melakukan perkawinan yang dilarang oleh hukum adat karena pelanggaran eksogami. b. Melakukan perkawinan dengan keluarga sedarah yang terlalu dekat menurut hukum adat. c. Melakukan perkawinan dengan kasta yang berbeda. d. Melakukan hubungan seksual antara orang tua dengan anak. 7. Hamil di luar perkawinan. 8. Melarikan seorang perempuan 9. Zinah. 10. Pembunuhan. 11. Jual beli manusia (budak belian). 12. Pemenggalan kepala. 13. Pelanggaran harta benda, seperti mencuri atau merampok. 3.2.4 Sisten Hukum Acara Adat Indonesia. Pelaksanaan hukum adat diterapkan hakim pada masa Hindia Belanda, hakim sangat jarang menganggap suatu perbuatan hukum adat bertentangan dengan dasar-dasar keadilan. Ada beberapa putusan hakim yang mengesampingan hukum adat seperti: 1. Peraturan hukum Islam, dalam putusan Landrad Surabaya 1819 menyatakan bahwa hibah oleh seorang pada waktu sakit, yang menyebabkan kematiannya adalah batal. Padahal menurut hukum adat pemberian hibah seperti itu dibolehkan. 2. Peraturan hukum Islam, dalam putusan Landrat Bogor 1924 menyatakan bahwa orang bukan Islam tidak berhak mendapatkan warisan dari orang Islam. Padahal menurut hukum adat pemberian warisan seperti itu dibolehkan. 3. Peraturan hukum adat di Mojokerto, Jombang, dan Bangil, dalam putusan Landrat Mojokerto 1918 menyatakan bahwa tanah yang digarap oleh seorang warga setelah beberapa tahun digarap akan dikuasai kembali oleh Desa. Abdul Hamid 48 4. Putusan Landrat Medan 1937 menyatakan bahwa peraturan hukum adat Batak yang mengharuskan anak yang belum cukup umur setelah bapaknya meninggal dunia ditarik dari kekuasaan ibunya dan diserahkan kepada keluarga dari pihak bapak. Peraturan adat Batak tersebut bertentangan dengan dasardasar keadilan umum yang diakui, apabila peraturan tersebut diberlakukan keluarga suku Batak modern, suku Batak yang ada di luar daerah atau di luar suasana tradisional suku Batak. 5. Putusan Landrat Manado 1938 menyatakan bahwa hukum adat suku Minahasa tidak mengenal pertanggungjawaban dari seorang jurangan pemilik kapal laut atas orang-orang bawahannya yang telah melakukan perbuatan melawan hukum sewaktu bekerja. Hal ini bertentangan dengan asas-asas umum keadilan. Berdasarkan hal tersebut, ternyata dalam praktiknya tidak semua nilai-nilai hukum adat diterapkan oleh para hakim, ada nilai-nilai hukum adat yang dikesampingkan karena adanya pertentangan dengan nilai-nilai keadilan yang bersifat universal. Mengapa terjadi demikian, hal ini terjadi karena semua hakim yang ada pada masa Hindia Belanda adalah berasal dari orang Belanda, tidak ada yang berasal dari orang pribumi. Sehingga sangat wajar apabila ada suatu masalah hukum pernyelesaiannya lebih mengedepankan hukum Hindia Belanda, bukan hukum adat setempat. Hakim sering beralasan tidak ada aturan dalam hukum adatnya, melainkan hakim tidak mengetahui hukum adat setempat, hakim tuidak mengetahui sifat dan sistem hukum adat. Akibatnya hakim salah dalam menerapkan hukum adat ketika di persidangan (Muhammad, Bashar, 1991, 94). Kapan suatu nilai-nilai masyarakat hukum adat dapat dikatakan sebagai hukum oleh hakim. Menurut van Hollenhoven, apabila menemukan nilai-nilai adat dan nilai-nilai tersebut dianggap sesuai dan ditaati masyarakatnya serta nilainilai itu oleh masyarakat tetap dipertahankan oleh kepala adat, maka nilai-nilai peraturan adat tersebut menjadi terang dan jelas sehingga bersifat hukum. Menurut ter Haar, hukum adat yang berlaku hanya dapat dilihat dari pelaksanaan para kepala adat baik ketika terjadi pelanggaran atau setelah pelanggaran, Abdul Hamid 49 atau dari penetapan yang dikeluarkan kepada adat. Hal inilah yang dinamakan peraturan hukum yang berlaku. Peraturan adat yang semula tidak tertulis akhirnya mendapatkan sifat hukum pada saat diputuskan. Kekuatan berlakunya hukum adat secara materiil dilihat dan dirasakan dari tebal tipisnya hukum adat itu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakatnya. Hal tergantung beberapa faktor antara lain (Muhammad, Bushar, 1991, 96): 1. Banyak sedikitnya penerapan hukum adat yang sama dalam memberikan rasa aman kepada peraturan hukum yang diterapkan. 2. Bagaimana banyak atau jauh perubahan yang terjadi dalam pergaulan kehidupan masyarakat itu. 3. Apakah hukum adat itu sudah sesuai dengan peraturan yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat. 4. Apakah penerapan hukum adat itu sudah sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Secara umum masyarakat hukum adat dalam menyelesaikan perselisihan menggunakan suatu sistem peradilan adat, dimulai dengan upaya menyelesaikan secara damai, melaksanakan peradilan dengan menetapkan berbagai jenis ancaman hukuman dan bahkan melaksanakan pertarungan atau pertempuran apabila perselisihan tidak dapat didamaikan oleh tokoh-tokoh masyrakat. Hukuman yang dijatuhkan terhadap para pelaku beragam dan tergantung dengan pelanggaran yang dilakukan pelaku sesuai dengan hukum adat masing-masing daerah (Hilman Hadikusuma, 2004, 138). Sistim hukum adat di masyarakat Indonesia sangat beragam dan memiliki ciri-ciri dan nilai-nilai khas yang hampir sama antara hukum adat yang satu dengan hukum yang lain sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu. Sistem hukum kekeluargaan adat, sistem hukum adat kekerabatan, sistem hukum adat lamaran, sistem perkawinan adat, sistem hukum waris adat, sistem hukum pidana adat, sistem hukum adat keperdataan, sistem hukum adat tata negara, dan sistem hukum tanah adat. Semuanya ada dan berlaku dalam masyarakat adat, ciri-ciri dan nilai-nilainya semua nyaris sama. Abdul Hamid 50 Sistem hukum adat yang ada dan berlaku sejak jaman dahulu hingga sekarang nilai-nilainya tetap dipertahankan dan disesuaikan dengan kemajuan jaman dan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Hukum adat masih tetap ada tetapi dalam bentuk yang tidak serupa seperti hukum adat ketiga puluhan atau ratusan tahun silam. Hukum adat sudah merasuki hukum nasional seperti yang ada sekarang ini, bersama-sama dengan nilai-nilai hukum lainnya seperti hukum agama dan barat. Negara Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, maka sistem hukum yang sudah ada yaitu hukum Hindia Belanda tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan nilai-nilai budaya bangsa dan rakyat Indonesia, yaitu hukum adat. Hukum adat yang pada awalnya tidak tertulis dalam sebuah kitab yang berlaku luas, dengan terbentuknya sebuah negara maka hukum adat menjadi salah satu sumber pembentuk hukum yang berlaku secara umum untuk semua warga negara dan dalam bentuk hukum tertulis dan berlaku secara nasional. 3.3 Penutup Eksistensi hukum adat sekarang ini sebenarnya nilainilainya sudah diakomodir dalam label hukum positif. Oleh karena itu, terhadap menyelesaian perselisihan antara warga masyarakat adat atau antar masyarakat adat diselesaikan menurut hukum positif yang berlaku. Prinsifnya negara dengan kekuasaan yang ada dapat memaksakan hukum positif kepada seluruh warga negara tanpa terkecuali masyarakat adat. Tidak ada kekuasaan dan hukum lain dalam suatu negara selain hukum yang sudah ditetapkan. Hukum adat hanyalah sebagai salah satu hukum yang mendukung hukum positif. Hukum adat tidak dapat diberlakukan terhadap seluruh rakyat Indonesia. Hukum adat hanya dapat diberlakukan terhadap masyarakat adat di mana hukum adat itu ada. Hukum adat adalah hukum kearifan lokal. Hukum adat eksistensinya sudah diwakili dalam hukum nasional. Karena itu hukum nasional harus dibentuk sesuai dengan nilai-nilai kearifan hukum adat yang ada di Indonesia. Hukum adat pada dasarnya mengandung nilai-nilai yang bersifat umum. Terhadap nilai hukum adat yang bertentangan Abdul Hamid 51 dengan nilai-nilai kemanusiaan haruslah diabaikan dan dikesampingkan. Negara Republik Indonesia sebagai penganut ideologi kesejahteraan, sudah seharusnya mampu menyelesaikan perselisihan antara negara, pemerintah, pemodal dengan masyarakat adat secara bijak dengan tidak mengabaikan hak-hak yang dimiliki masyarakat adat yang sudah ada sejak dahulu dan secara turun temurun dilestarikan dari generasi ke generasi hingga sekarang ini. Sistem peradilan adat tidak mampu ditegakan ketika berhadapkan dengan sistem hukum negara yang bersifat memaksa semua warga negaranya harus patuh dan tunduk dengan hukum yang berlaku. Hukum adat terasa tidak diindahkan dan diabaikan oleh penegak hukum negara. Dalam konsep negara kesejahteraan, sebenarnya negara tidk hanya sebagai alat kekuasaan saja tetapi juga mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan dan pelayanan untuk kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Negara kesejahteraan secara umum mempunyai ciri-ciri antara lain, mengutamakan hak social dan ekonomi rakyat, hak milik tidak bersifat mutlak, negara tidak hanya sebagai penjaga tetapi harus terlibat langsung dengan usaha-usaha ekonomi, hukum publik lebih mendesak hukum privat, dan negara mengutamakan keadilan sosial. Oleh karena itu, seharusnya negara hukum Indonesia menjalankan roda pemerintahan dan negara dengan menggunakan perangkat hukum yang ada, dan masalah hukum adat dapat diselesaikan dengan menggunakan dan mengedepankan kearipan lokal (Maimunah, Siti, 2012, vi). Konsep dan nilai hukum adat yang bersifat umum dan sudah diakomodir dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia sekarang ini merupakan cerminan bahwa sebenarnya hukum nasional terlahir dan dibentuk dari berbagai nilai-nilai hukum dan budaya asli masyarakat Indonesia yaitu hukum adat. Hukum adat menyelesaikan perselisihan hanya untuk masyarakatnya saja dan terhadap masalah yang ringan dan tidak menimbulkan aspek yang luas sedangkan untuk masalah berat dan menyangkut kepentingan masyarakat luas diselesaikan melalui proses hukum Berdasarkan hukum nasional yang berlaku. Ironis memang, beberapa hak masyarakat hukum adat di Indonesia, berupa hak ulayat atas kekayaan alam yang selama ini Abdul Hamid 52 dijaga dan dipelihara secara terus menerus, mulai tergerus oleh tuntutan jaman, tuntutan ekonomi, sosial, dan kepentingan politik. Hak masyarakat adat harus dipaksa mengalah oleh kepentingan segolongan manusia yang serakah dengan dalil demi kesejahteraan mayarakat banya tetapi dengan mengorbankan hak dan kepentingan masyarakat tertentu yang secara konkrit ada. Akibatnya masyarakat adat dengan segala keunikannya lambat tetapi pasti kelak hanya akan menjadi cerita bagi generasi berikutnya. Eksistensi hukum adat kelak hanya menjadi cerita dicagar-cagar budaya atau taman-taman budaya atau bahkan hanya miniature-miniatur yang hanya merupakan simbol atau kenangan pada masa-masa dimana hukum adat itu dulu pernah ada di negeri yang pernah kaya akan kekayaaan budaya, adat istiadat dan hukum adat dari Sabang sampai Papua, dari Barat sampai Timur. Ciri khas nusantara yang terkenal di mancanegara akan berakhir dengan sendirinya apabila negara, pemerintah dan masyarakat Indonesia tidak melestarikan dan menjaganya secara bersama-sama, dengan tujuan yang sama yaitu untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Abdul Hamid 53 DAFTAR PUSTAKA Aripin Zainal. 2022. Hukum Adat Masyarakat Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah. Jakarta: Balai Pustaka. Bushar Muhammad. 1991. Pokok-Pokok Hukum Adat, Cetakan kelima, Jakarta: Pradnya Paramita. D.H.M. Meuwissen. 1994. “Teori Hukum”, Jurnal Hukum Projustitia, Tahun XII, No. 2, April 1994. Daniel, S Lev, 1990, Hukum dan Politik di Indonbesia, Jakarta: LP3ES. Djojodigoeno. 1976. Kedudukan dan Peranan Hukum Adat Dalam Pembinaan Hukum Nasional, BPHN, Seminar Hukum Adat, Jakarta: Bina Cipta. Hans Kelsen. 1961. General Theory of Law and State, New York: Russel & Russel. Hilman Hadikusuma. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat di Indonesia, Bandung: Mandar Maju. --------------------------. 2004. Pengantar Antropologi Hukum, Bandung: Citra Adya Bakti. J.J.H. Bruggink. 1999. Repleksi Tentang Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti. Snouck Hurgronye, C. 1893. De Atjehers, Batavia: Leiden Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ketiga, Jakarta: Balai Pustaka. Paul Scholten. 1993. Penuntun Dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda, Yogyakarta: Gajah Mada University. Siti Maimunah. 2012. Negara Tambang dan Masyarakat Adat Perspektif HAM Dalam Pengelolaan Pertambangan yang Berbasis Lingkungan dan Kearifan Lokal, Malang: Intrans Publisshing. Soetandyo Wignyosoebroto. 2004. Dinamika Tata Hukum dan Pemerintahan Era Kekuasaan Kolonial di Indonesia, edis 3, Jakarta: Jentera. Soepomo. 1982. Bab-Bab Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita. Titon Slamet Kurnia. 2016. Sistem Hukum Indonesia Sebuah Pemahaman Awal, Bandung: Mandar Maju. Abdul Hamid 54 BAB 4 KEKUATAN MATERIL BERLAKUNYA HUKUM ADAT Oleh Nursyamsiah 4.1 Pendahuluan Indonesia dikenal dengan negara yang majemuk, dari segi kebudayaan, adat-istiadat, bahasa, dan lainnya. Keberagaman tersebut diakui oleh negara melalui semboyan “bhineka tunggal ika”. Jauh sebelum Indosesia merdeka, sudah tumbuh dan berkembang kerajaan–kerajaan di wilayah nusantara (sebutan untuk wilayah indonesia sebelum merdeka atau sebelum menjadi negara kesatuan republik indonesia) yang tunduk pada hukum adat dan budayanya masing-masing. Sebagaimana menurut Van Vollenhoven dalam penelitiannya terkait masyarakat adat di indonesia, ia membagi masyarakat adat dalam 19 lingkungan hukum adat yang ada di daerah masingmasing. Setelah merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia bukan lagi terdiri dari kerajaan-kerajaan, melainkan menjadi negara kesatuan republik indonesia. Dengan demikian secara impulsif merubah tata aturan atau hukum yang mengatur. hukum yang diberlakukan di indoensia terdiri dari hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum tertulis sebagai produk hukum penguasa seperti perundang-undangan atau yang dikenal dengan hukum positif. Sementara hukum tidak tertulis adalah hukum yang tumbuh dan berkembang serta masih berlaku di masyarakat yang dikenal dengan hukum adat.(Warjiyati, 1967) Lalu bagaimana kedudukan dan kekuatan materil dari hukum adat di tengah negara yang menganut negara hukum dengan di berlakukannya hukum perundang-undangan? Nursyamsiah 55 4.2 Sejarah Hukum Adat Mengenai sejarah hukum adat, dapat dijabarkan dalam periodeisasi hukum adat. dalam buku ini menggambarkan secara singkat hukum adat mulai dari sebelum kedatangan kolonial sampai masa kemerdekaan negara Indonesia. 4.2.1 Hukum Adat Sebelum Kedatangan Kolonial Belanda Sebelum kedatangan kolonial belanda, berdiri kerajaankerajaan besar di nusantara, mulai dari kerajaan hindu-Budha, kerajaan Islamyang tersebar hampir di seluruh wilayah nusantara. adapun Sistem hukum di nusantara sebelum kedatangan kolonial, dikendalikan oleh raja-raja. Hukum yang diberlakukan mengikuti hukum agama atau kebiasaan yang dianut masyarakat saat itu. Setiap ajaran atau hukum agama yang masuk harus mendapat tempat di lapisan masyarakat dan memasukan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat,termasuk mempengaruhi hukum adat yang sudah ada sebelumnya. Sebagai contoh pada kerajaan majapahit,hukum kerajaan yang digunakan berdasarkan hukum agama hindu. Demikan halnya pada masa kerajaan Islam masuk ke nusantara, maka hukum yang diberlakukan berdasarkan hukum islam. (Mansur, 2018) M.B Hooker berpendapat bahwa adat may also be limited by legislatioan and may be declared invalid if it runs contrary to the publicc’s constitution. adat and the state have been intimately connected, and this connection is likely to persist in the future ( adat dapat dibatasi oleh undang-undang dan dapat dinyatakan tidak berlaku jika bertentangan dengan konstitusi republik. adat dan negara mempunyai hubungan erat, dan hubungan ini memungkinkan adat akan bertahan di masa akan datang. Bisa dikatakan pada masa sebelum kedatangan kolonial belanda, hukum adat sangat erat kaitannya dengan agama yang di anut oleh masyarakat setempat. terdapat beberapa teori mengenai relasi antara agama dan hukum adat. teori pertama yang dikenal dengan Reception in Coplexu yang dicetuskan oleh Mr. LCW Van Der Berg. teori Reception in Coplexu beranggapan bahwa hukum adat yang berlaku dalam suatu masyarakat tergantung agama yang di anut oleh masyarakat tersebut. Kalau Nursyamsiah 56 ada hal-hal yang menyimpang dari pada hukum agama yang bersangkutan, maka hal-hal itu dianggap sebagai pengecualian.(Salim, 2015) teori ini relevan jika dilihat pada masa kerajaan. sebut saja pada masa kerajaan samudera Pasai yang pada saat itu masyarakatnya beragama islam, sehingga segala aturan atau hukum yang dibuat berdasarkan ajaran islam. Teori Reception in Coplexu mendapat kritikan keras dari Snouck hurgronje, menurutnya tidak semua agama bisa diterima dalam hukum adat. Hukum agama hanya memberikan pengaruh bagi kehidupan manusia yang sifatnya privat serta erat kaitannya dengan kepercayaan dan hidup batin. Bagian itu adalah hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum waris. Jadi tidak semua hukum adat itu sesuai dengan hukum Islam.(Salim, 2015) Pendapat dari Snouck hurgronje kemudian di bantah oleh Ter haar. menurutnya, hukum waris bukan berasal dari hukum agama, tapi merupakan hukum adat yang asli tidak dipengaruhi oleh hukum Islam, sedangkan hukum waris disesuaikan dengan struktur dan susunan masyarakat. Teori Reception in Comlexu juga mendapat kritikan dari prof. Hazirin dengan mencetuskan teori Receptio a Contrario. kritikan dari prof. Hazirin terkait Teori Reception in Comlexu antara lain setidak-tidaknya hukum Islam itu akan sama derajatnya dengan hukum adat, yaitu sebagai hukum perundangundangan. Hukum adat baru berlaku dan dijalankan jikalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Kalau bertentangan dengan hukum Islam, maka tidak boleh dijalankan. Meskipun terdapat perbedaan pendapat, namun dapat disimpulkan bahwa hukum adat pada masa sebelum kedatangan kolonial belanda sangat erat kaitannya dengan agama yang di peluk oleh raja dan masyarakat. 4.2.2 Hukum Adat Masa Kolonial Belanda Kedatangan kolonial Belanda di nusantara di mulai pada akhir abad ke-16 dengan misi untuk berdagang. Para pendatang kolonial Belanda kemudian mendirikan perusahaan yang dinamai verenigde oot-indische compagnie (VOC) tahun 1602. Kedatangan kolonial yang pada walnya hanya untuk berdagang, Nursyamsiah 57 berubah menjadi penguasa wilayah nusantara. Kolonial Belanda melakukan berbagai cara untuk menguasai wilayah nusantara dengan menguasai hukum yang diberlakukan di nusantara. Namun, jauh sebelum kedatangan kolonial Belanda, masyarakat nusantara sudah memiliki hukum adat. Keberadaan hukum adat sangat kuat di anut oleh masyarakat. Hal ini menjadi kendala Kolonial Belanda untuk menguasai nusantara. Karena segala kebijakan yang dibuat bertentangan dengan hukum adat yang di anut oleh masyarakat. Pada saat itu hukum kekuatan Islam sangat kuat di kerajaan-karajaan yang ada di nusantara, sehingga hukum adat yang berlaku mengikuti hukum Islam. Keharmonisan budaya adat dan Islam menjadi terganggu dengan adanya “pendekatan konflik” pemerintah Kolonial Belanda terhadap kedua ajaran ini. Kolonial Belanda sengaja membenturkan budaya adat dengan ajaran Islam, yang pada dasarnya menyatu bagai sifat dan zat. Bagi Belanda, hukum adat menjadi vis a vis hukum Islam. Pemerintah Belanda cenderung mendukung pemberlakuan hukum adat dibanding hukum Islam. Namun demikian, Belanda bukan berarti “membela” hukum adat demi kemaslahatan penduduk pribumi, melainkan hanya sebagai alat politisasi agar melanggengkan kekuasaannya di bumi jajahan. Perekmbangan hukum adat masa kolonial Belanda ditandai dengan adanya pengkodifikasian kitab undang-undang melalui staatsblad (lembaran negara) pada tahun 1847. Kitab undang-undang tersebut antara lain:(Mansur, 2018) a. Algemeene bepalingen van wet voor nederlands atau yang di singkat AB, yaikni ketentuan-ketentuan hukum tentang perundangan yang berlaku di indonesia. b. Burgerlijk wetboek atau yang di singkat BW, yaitu kitab undang-undang hukum perdata. c. Wetboek van koophandel atau yang di singkat WvK merupakan kitab undang-undang hukum dagang d. Reglement op de rechterlijke organisatie en het beleid der justitie atau yang dikenal RO yaitu peraturan susunan pengadilan dan kebijaksanaan justisi. Nursyamsiah 58 Adanya pengkodifikasian hukum adat yang dilakukan oleh kolonial Belanda, memberikan ruang untuk tetap memberlakukan hukum adat, di sisi lain memberikan kekuasaan kolonial Belanda untuk membuat kebijakan dalam menjalankan misinya yaitu menguasai wilayah nusantara. Produk hukum yang di buat kolonial belanda masih ada beberapa yang di berlakukan di Indonesia hingga saat ini, seperti kitab undang-undang hukum perdata, hukum pidana dan hukum dagang. 4.2.3 Hukum Adat Pada Masa Penjajahan Jepang Keberadaan hukum adat pada masa penjajahan Jepang di indonesia tidak mendapatkan perhatian. Hal itu dikarenakan Jepang lebih dominan menjalankan hukum militer, sementara hukum perundang-undangan, hukum adat tidak di sentuh sama sekali.(Mansur, 2018) Dengan demikian hukum adat pada masa penajahan jepang masih melanjutkan perundang-undangan yang dibuat zaman kolonial Belanda. tanggal 7 Maret 1942 Belatentara Jepang mengeluarkan Undang-undang No. 1 yang Pasal 3 nya berbunyi: “Semua badan-badan Pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari Pemerintah yang berlaku, tetap diakui sah buat sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah Militer”. dapat disimpulkan bahwa pada saat itu tetap melanjutkan perundangundangan dari zaman kolonial Belanda, selama belum ada undang-undang yang baru. Dasar perundang-undangan berlakunya hukum adat, yang berasal dari zaman kolonial belanda dan zaman sekarang (sampai UU No. 19/1964) masih tetap berlaku adalah Pasal 131 ayat 2 sub I.S. Menurut ketentuan I.S tersebut maka bagi golongan hukum (rechtsgroep) Indonesia asli dan golongan Timur Asing berlaku hukum adat mereka, tetapi jika kepentingan sosial mereka membutuhkannya, maka Pembuat Ordonansi (yaitu suatu peraturan hukum yang dibuat oleh Badan Legislatif Pusat/Gubernur Jenderal bersama-sama dengan Volksraad) dapat menentukan bagi mereka: (Sangki, 2012) Nursyamsiah 59 1. Hukum Eropa; 2. Hukum Eropa yang telah diubah (gewijzigd Eropees Recht); 3. Hukum bagi beberapa golongan bersama-sama (gemeenschappelijk Recht) dan apabila kepentingan umum memerlukannya; 4. hukum baru (niew Recht), yaitu hukum yang merupakan sintesa antara hukum adat dan hukum Eropa (Fantasie recht menurut van Vollenhoven, Ambtenaren-recht menurut Idsinga). 4.2.4 Hukum Adat Setelah Kemerdekaan Hukum merupakan kesatuan norma yang bersumber pada nilai-nilai (values). Namun demikian hukum adat menurut karakternya, ada: a. Hukum adat memiliki karakter bersifat netral. b. Hukum adat memiliki karakter bersifat tidak netral karena sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai relegius. Pembedaan ini penting untuk dapat memahami pembentukan atau perubahan hukum yang akan berlaku dalam masyarakat. Hukum netral- hukum lalu lintas adalah hukum yang relatif longgar kaitannya dengan nilai nilai religius susunan masyarakat adat hal ini berakibat, perubahan hukum yang termasuk hukum netral mudah pembentukannya dan pembinaan hukum dilakukan melalui bentuk perumusan hukum perundangundangan (legislasi). Sedangkan hukum adat yang erat kaitannya dengan nilai-nilai relegius, karena itu relatif tidak mudah disatukan secara nasional, maka pembinaan dan perumusannya dalam hukum positif dilakukan melalui yurisprudensi. Hukum adat oleh ahli Barat, dipahami berdasarkan dua asumsi. Pertama, hukum adat dapat dipahami melalui bahanbahan tertulis, dipelajari dari catatan catatan asli atau didasarkan pada hukum-hukum agama. Kedua, bahwa hukum adat disistimatisasi secara paralel dengan hukum-hukum barat. Akibat pemahaman dengan paradigma barat tersebut, maka hukum adat dipahami secara salah dengan segala akibat-akibat yang menyertai, yang akan secara nyata dalam perkembangan selanjutnya di masa kemerdekaan. Nursyamsiah 60 4.3 Dasar Berlakunya Hukum Adat Di Indonesia Hukum adat menurut Cornelis van Vollennhoven merupakan himpunan peraturan terkait perilaku bagi orang pribumi dan Timur Asing pada satu pihak mempunyai sanksi (karena bersifat hukum), dan pada pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat).(Sangki, 2012) Hukum adat tidak berlaku universal, melainkan hanya berlaku pada masyarakat tertentu, namun memiliki kekuatan mengikat selama masyarakat tersebut masih mengakui. Berlakunya hukum adat telah diatur dalam UUD 1945 Aturan Peralihan Pasal II. UUD 1945 Aturan Peralihan Pasal II menjadi dasar hukum sah berlakunya hukum adat. Adapun bunyi UUD 1945 Aturan Peralihan Pasal II: “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Selain UUD 1945 Aturan Peralihan Pasal II, pemberlakuan ukum adat juga diatur dalam UUDS 1950 Pasal 104, yang berbunyi: “bahwa segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturanaturan Undang-Undang dan aturan adat yang dijadikan dasar hukuman itu”. Tetapi UUDS 1950 ini pelaksanaannya belum ada, maka kembali ke Aturan Peralihan UUD 1945. Hukum adat juga terdapat dalam Pasal 131 ayat 2 sub b. I.S. yang berbunyi: bahwa bagi golongan hukum Indonesia asli dan Timur asing berlaku hukum adat mereka, tetapi bila kepentingan sosial mereka membutuhkannya, maka pembuat Undang-Undang dapat menentukan bagi mereka : 1. Hukum Eropa 2. Hukum Eropa yang telah diubah 3. Hukum bagi beberapa golongan bersama dan 4. Hukum baru yaitu hukum yang merupakan sintese antara adat dan hukum mereka yaitu hukum Eropa. Pasal 131 ayat 2 sub b. I.S. ini ditujukan pada UndangUndangnya, bukan pada hakim yang menyelesaikan sengketa Eropa dan Bumi Putera. Pasal 131 ayat (6) I.S. menyebutkan bahwa bila terjadi perselisihan sebelum terjadi kodifikasi maka Nursyamsiah 61 yang berlaku adalah hukum adat mereka, dengan syarat bila berhubungan dengan Eropa maka yang berlaku adalah hukum Eropa. Dalam UU No. 19 tahun 1964 pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar dan alasan-alasan putusan itu juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. UU No. 19 tahun 1964 ini direvisi jadi UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman karena dalam UU No. 19 tersebut tersirat adanya campur tangan presiden yang terlalu besar dalam kekuasaan yudikatif. Dalam Bagian Penjelasan Umum UU No. 14 tahun 1970 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum yang tidak tertulis itu adalah hukum adat. Dalam UU No. 14 tahun 1970 Pasal 27 (1) ditegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilainilai Nursyamsiah 62 DAFTAR PUSTAKA Mansur, T. M. 2018. Hukum Adat, Perkembangan dan Pembaruannya. Banda Aceh: Syiah Kuala University Press. Available at: https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=swTQD wAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA23&dq=SEJARAH+HUKUM+ADA T&ots=R7tvRCYna&sig=kpatURchSDcZh1AP2GCYm8SlJ6g&redir_esc =y#v=onepage&q=SEJARAH HUKUM ADAT&f=false. Salim, M. 2015. ‘Adat Recht Sebagai Bukti Sejarah Dalam Perkembangan Hukum Postif di Indonesia’, Jurnal Al Daulah, Volume 4 N(1), pp. 16–31. Sangki, A. V. 2012. ‘Lex Crimen Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2012’, (1), pp. 33–47. Warjiyati, S. 1967. ‘Ilmu Hukum Adat’, Angewandte Chemie International Edition, 6(11), pp. 951–952. Nursyamsiah 63 BAB 5 DASAR HUKUM BERLAKUNYA HUKUM ADAT Oleh Muthia Septarina 5.1 Pendahuluan Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan manusia lainnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Aristoteles menyebutnya sebagai Zoon Politicon untuk istilah makhluk sosial. Dimana manusia memang sudah dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu dengan yang lain. Dalam hubungan dan interaksinya dengan manusia yang lain, tentunya diperlukan sebuah aturan untuk mengatur bagaimana hubungan dan interaksi itu harusnya berjalan di dalam kehidupan bermasyarakat sehingga tidak menimbulkan kekacauan karena benturan kepentingan. Keanekaragaman hukum yang berlaku di Indonesia merupakan kebutuhan hukum dari masyarakat Indonesia yang majemuk. Hukum adat secara faktual masih tetap diperlukan dalam menjawab kompleksitas pusaran arus globalisasi. Hukum adat merupakan nilai-nilai (kebenaran dan keadilan) yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Tulisan(Winardi, 2020) Mengutip apa yang dikatakan oleh Cicero ”ubi societas ibi ius” dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Karena memang pada kenyataannya hukum itu telah ada sejak ada masyarakat, hukum itu sudah setua sesuai keberadaan masyarakat itu sendiri. Hukum adat itu adalah wujud konkret dari nilai-nilai sosial dan budaya. Dalam hukum adat nilai-nilai sosial dan budaya tradisional diwujudkan dalam hukum adat tradisional dan menjadi dasar dalam hukum adat. Hukum adat sebagai living law yaitu untuk menunjukkan berbagai macam hukum yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya di masyarakat. Sebagai hukum yang hidup, maka hukum nasional Indonesia beridentitaskan pada Muthia Septarina 64 hukum adat. Sebagai suatu identitas bangsa, maka hukum adat mempunyai ciri-ciri atau lebih dekat dalam pengertian sebagai ciri khas yang dipunyai suatu bangsa. Yang mana isinya ditentukan oleh isi atau materi, jiwa dan sifat bangsa yang bersangkutan. Hukum adat merupakan hukum asli yang tidak tertulis pada umumnya, yang dalam arti sempit adalah hukum yang menjadi pedoman sebagian besar orang-orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota, terutama sekali di desa. Untuk mempelajari suatu ilmu, perlu diketahui terlebih dahulu istilah yang dipakai mengenai ilmu yang dipelajari tersebut, begitu juga dalam mempelajari hukum adat. Hukum adat merupakan terjemahan dari kata Belanda, yaitu Adatrecht. Orang yang pertama-tama memakai istilah adatrecht ini adalah Snouck Hurgronje.(Darwis, 2016) Sebagai hukum tidak tertulis merupakan salah satu bagian dari hukum nasional yang eksistensinya sejak zaman kolonial secara tegas seperti yang dinayatakan dalam pasal 131 IS berlaku untuk golongan pribumi. Setelah merdeka, berdasarkan Aturan Peralihan pasal II UUD 1945 yang antara lain masih menempatkan hukum adat sebagai hukum amsyarakat pribumi. Pancasila dan UUD 1945 telah memberikan landasan untuk mengangkat hukum adat sebagai sumber hukum nasional. 5.2 Sejarah Singkat Lahirnya Hukum Adat Dilihat dari perkembangan hidup manusia, terjadinya hukum ini mulai dari pribadi manusia yang diberi Tuhan akal pikiran dan perilaku. Perilaku yang terus menerus dilakukan perorangan menimbulkan ”kebiasaan pribadi”. Apabila kekuasaan pribadi itu ditiru orang lain, maka ia juga akan menjadi kebiasaan orang itu Lambat laun diantara orang yang satu dan orang yang lain di dalam satu kesatuan masyarakat ikut pula melaksanakan kebiasaan itu. Kemudian apabila seluruh anggotaa masyarakat melakukan kebiasaan itu maka berubah menjadi sebuat adat, yang diakui dan dijadikan sebagai pedoman masyarakat dalam bertingkah laku dalam masyarakat. Mengatur apa yang boleh dan tidak boleh. Muthia Septarina 65 Tetapi tidak semua adat merupakan hukum. Ada perbedaan antara adat istiadat biasa dan hukum adat. Menurut Van Vollenhoven hanya adat yang bersanksi yang mempunyai sifat hukum serta merupakan hukum adat. Adapun sanksi dalam hukum adat adalah berupa reaksi dari masyarakat hukum yang bersangkutan. Yang mana bentuk reaksi dari masyarakat ini dalam pelaksanaannya ditentukan oleh penguasa atau tetua adat. Istilah hukum adat diperkenalkan pertama kali diperkenalkan oleh Snouck Hurgronje pada tahun 1983 dalam bukunya ”de Atjehers” (orang-orang Aceh). Hukum Adat atau yang dalam buku tersebut dikenal dengan sebutan adatrecht yaitu hukum yang berlaku bagi Bumiputra (orang Indonesia Asli) dan Timur Asing pada masa Hindia Belanda. Berbicara tentang sejarah hukum adat, maka kiranya dapat dikemukakan bahwa sejarah hukum adat itu dapat dipisahpisahkan dalam: 1. Sejarah proses pertumbuhan atau perkembangan hukum adat itu sendiri 2. Sejarah hukum adat sebagai sistem hukum dari tidak/belum dikenal hingga sampai dikenal dalam ilmu pengetahuan 3. Sejarah kedudukan hukum adat, sebagai masalah politik hukum di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia (Surojo Wignjodipuro, h. 25) 5.3 Perkembangan Hukum adat Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses perkembangan hukum adat adalah: 1. Magi dan animisme 2. Agama 3. Kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan hukum adat 4. Hubungan dengan orang-orang ataupun kekuasaan asing. Di Indonesia faktor magi dan animisme mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam proses perkembangan hukum adat, sehingga faktor ini masih belum hilang hingga saat ini. Faktor magi dan animisme ini dapat kita lihat dalam wujud pelaksanaan Muthia Septarina 66 upacara adat yang bersumber pada kepercayaan terhadap kekuasaan-kekuasaan serta kekuatan gaib yang dapat dimohonkan bantuannya. Hal ini seperti yang sering dilakukan masyarakat Indonesia seperti masih percaya dengan adanya kekuatan yang lebih besar daripada kemampuan manusia seperti topan, halilintar dan percaya akan adanya roh-roh. Hal ini dapat kita lihat dengan masih banyaknya masyarakat memberikan sesajen terhadap benda yang mereka mempunyai kekuatan itu, seperti memberi sedekah laut, memberi sesajen terhadap pohn besar, gunung, dan lain sebagainya. Masyarakat yang percaya terhadap faktor magi dan animisme ini mereka akan takut apabila tidak melakukan ritualritual tersebut. Hukum adat merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada hakikatnya, hukum adat sudah ada sejak zaman kuno yaitu pada zaman pra-Hindu sebelum masuknya agama Hindu ke Indonesia. Hingga pada akhirnya masuklah agama Hindu ke Indonesia kurang lebih pada ke-8 yang dibawa oleh orang-orang India masuk ke Indonesia dengan membawa masuk kebudayaan Hindu, meskipun dalam kehidupan masyarakat Indonesia itu tidak membawa banyak pengaruh karena sifatnya yang sangat berbeda dengan kebudayaan masyarakat Indonesia. Kemudian, sekitar akhir abad ke-14 dan permulaan abad ke15 masuklah agama Islam yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari Malaka dan Iran. Berbeda dari agama Hindu, Agama islam membawa banyak pengaruh besar dalam berbagai kehidupan masyarakat Indonesia saat ini, diantaranya pengaruh terhadap hukum perkawinan yaitu dalam cara melangsungkan perkawinan, putusnya perkawinan dan lembaga wakaf. Para pedagangpedagang yang membawa masuk agama Islam di Indonesia dilakukan secara damai sehingga mudah meresap pada bangsa Indonesia. Berikutnya agama yang masuk adalah agama Kristen yang dibawa oleh pedagang-pedagang Barat yang kemudian masuk secara damai melalui zending dan missie ke seluruh kepulauan yang ada di Indonesia. Sama hal nya dengan ajaran agama Islam di kalangan masyarakat ajaran agama Kristen juga mempengaruhi hukum perkawinan. Meskipun memang dalam dalam Muthia Septarina 67 pelaksanaannya tidak cukup memberi banyak tempat bagi pelaksanaan upacara-upacara perkawinan adat. Menurut teori receptio in complexu ini, adat-istiadat dan hukum (adat) sesuatu golongan atau masyarakat adalah receptie seluruhnya dari agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Dengan kata lain hukum (adat) sesuatu golongan (masyarakat) adalah hasil penerimaan bulat-bulat dari (hukum) agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Jadi, menurut teori ini, hukum adat dari orang yang beragama Hindu adalah hukum Hindu, hukum (adat) dari orang yang beragama Budha adalah hukum Budha, orang yang beragama Katolik, hukum adatnya adalah hukum Katolik dan seterusnya.(Darwis, 2016) 5.4 Dasar Berlakunya Hukum Adat Mengutip dari Ahdiana Yuni Lestari Dasar Berlakunya Hukum Adat terdapat dari beberapa aspek, diantaranya sebagai berikut: 1. Dasar filosofis Adapun yang dimaksud dengan dasar filosofis dari hukum adat adalah sebenar-benarnya nilai dan sifat hukum adat itu sangat identic dan bahkan sudah terkandung dalam butir-butir Pancasila. Sebagai contoh, religio magis, gotong royong, musyawarah mufakat dan keadilan. 2. Dasar Sosiologis Secara empiris berlakunya hukum adat di masyarakat telah diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat secara sukarela tanpa ada paksaan. Jadi hukum adat merupakan hukum yang hidup (living law). 3. Dasar yuridis (Dr Siska Lis Sulistiani, h.30) Secara yuridis, dasar berlakunya hukum adat terbagi menjadi dua fase, yaitu: 1. Masa sebelum Kemerdekaan Sebelum masuknya Kompeni (atau sebelum Tahun 1602) tidak diketemukan catatan ataupun perhatiann dari ilmuwanilmuwan luar maupun dalam negeri. Setelah masuknya Kompeni di tahun 1602 mereka masih tidak merasa terganggu dengan Muthia Septarina 68 keberadaan hukum adat selama hukum adat tersebut tidak mencampuri dan mengganggu kepentingan kompeni. Hal ini dikenal dengan politik opportuniteit. Tahun 1848 merupakan tahun yang sangat penting dalam sejarah hukum perundang-undangan Indonesia. Oleh karena sejak tahun itu dimulainya pengkodifikasian hukum atau pembukuan hukum kedalam sutau kitab perundang-undangan yang disusun secara sistematis. Pengkodifikasian ini dimulai dari hukum perdata yang berlaku bagi golongan penduduk bangsa Eropa dengan mempertahankan asas Konkordansi atau semua yang berlaku di negeri Belanda diberlakukan juga disemua Negara Jajahan Belanda dan ini termasuk Indonesia. Terdapatnya berbagai perbedaan pandangan tentang pemberlakuan hukum Perdata terhadap golongan rakyat, dan hukum adat tidak termasuk yang dikodifikasikan. Hingga akhirnya dikeluarkan peraturan yang menjadi dasar berlakunya hukum adat bagi golongan pribumi dan timur Asing dalam pasal 11 Algemen Bepalingen (AB) yaitu berbunyi: “ kecuali dalam hal-hal orang pribumi atau orang-orang yang disamakan dengan mereka (orang asing), dengan sukarela mentaati (vrijwilige onderwerping) peraturan-peraturan hukum perdataa dan hukum dagang Eropa, atau dalam hal-hal bahwa bagi mereka berlaku perundangan semacam itu, atau peraturan perundangan lain, maka hukum yang berlaku dan yang diperlakukan oleh hakim pribumi (inlandse rechter) bagi mereka itu adalah “godsdienstige wetten, volksinstellingen en gebruiken” (undang-undang keagamaan, lembaga-lembaga rakyat dan kebiasaan) mereka asal saja peraturan-peraturan itu tidak bertentangan dengan asas-asas keadilan yang diakui umum”. Diantara tahun 1870-1900 muncul dari beberapa pihak yang menghendaki agar bagi golongan pribumi dilakukan suatu unifikasi hukum atau kodifikasi hukum adat, salah satu upaya yang dilakukan Menteri Jajahan Belanda Cremer pada Tahun 1900 memerintahkan kepada Mr Carpentier Alting untuk memeriksa kemungkinan untuk melaksanakan kodifikasi hukum adat di seluruh wilayah Indonesia. Dan hasil nya kerja keras Mr Alting itu mendapatkan bantahan keras oleh beberapa pihak.diantaranya Mr I.A Nederburgh dan Mr F.C Hekmeyer menyatakan bahwa Muthia Septarina 69 kodifikasi ini diragukan akan dapat diberlakukan dengan baik, karena bagian tersebar kodifikasi berdasarkan system hukum Eropa. Begitupun Mr Van Vollenhoven menentang keras konsep unifikasi ini, karena dapat berakibat terdesaknya Hukum Adat. Selain pasal 11 AB, menurut pasal 131 Indiiesche Staatsregelling (IS) yang berlaku sejak 1 Januari 1926 membagi pengelompokkan golongan masyarakat terkait pemberlakuan hukum adat di masa Hindia Belanda, yaitu: 1) Bagi golongan Eropa berlaku hukum yang sama, 2) Bagi golongan pribumi, golongan Timur Asing dan bagianbagian daripadanya berlaku peraturan-peraturan hukum yang didasarkan atas agama-agama dan kebiasaankebiasaan mereka, namun dapat dikecualikan terhadap peraturan-peraturan tersebut dalam hal kepentingan umum atau kebutuhan social mereka memerlukan kekecualian itu. Berdasarkan ayat 1 dari pasal 131 IS yang mana menetapkan suatu asas, bahwa hukum perdata dan hukum pidana materiil dan formil akan ditulis ditetapkan dalam ordonansi-ordonansi, yaitu suatu undang-undang yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal dengan persetujuan “volksraad”. Berdasarkan ayat 2 dalam pasal 131 IS menetapkan suatu pedoman kepada pembentuk ordonansi untuk hukum perdata materiil yang harus diatur bagi orang Indonesia dan orang Timur Asing. Untuk itu berlaku asas, bahwa hukum adat mereka akan dihormati dengan kemungkinan penyimpangan-penyimpangan dalam hal: 1) Kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya, maka mereka akan ditaklukan pada perundang-undangan yang berlaku bagi orang Eropa, sekedar kalau perlu diubah atau mereka akan bersama-sama dengan orang-orang Eropa diatklukan pada peraturan istimewa yang sama. 2) Kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendaki atau berdasarkan kepentingan umum, maka pembentuk ordonansi dapat mengadakan hukum yang berlaku bagi orang Indonesia dan orang Timur Asing atau bagian-bagian tersendiri dari golongan-golongan itu, yang bukan hukum Muthia Septarina 70 adat, bukan juga hukum Eropa, melainkan hukum yang diciptakanoleh pembentuk undang-undang sendiri. (Surojo Winjodipuro, h.54) Apabila kita bandingkan hukum barat dengan hukum adat, maka sistematika hukum adat sangat sederhana bahkan kebanyakan tidak sistematis. Dalam hukum adat tidak mengenal pembedaan hukum public dan privat sebagaimana pembagian dalam hukum Barat. Di dalam perundang-undangan pada zaman Hindia Belanda, sebelum ada istilah Adatrecht ini, dipakai bermacam-macam istilah, seperti: a. Dalam AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving = Ketentuan-ketentuan Umum Perundang-undangan) Pasal 11 dipakai istilah: godsdienstige wetten, volksinstellingen en gebruiken (peraturan-peraturan keagamaan, lembagalembaga rakyat dan kebiasaan-kebiasaan). b. Dalam Pasal 75 ayat 3 redaksi lama R.R 1854 dipakai istilah:godsdienstige wetten, instellingen en gebruiken (peraturan- peraturan keagamaan, lembaga-lembaga dan kebiasaan-kebiasaan). c. Dalam Pasal 128 ayat 4 Indische Staatsregeling (IS = Peraturan Hukum Negara Belanda semacam UUD bagi Hindia Belanda) dipakai istilah: Instellingen des Volks (lembaga-lembaga dari rakyat). d. Dalam Pasal 131 ayat 2, sub b I.S dipakai istilah: godsdientige wetten en oude herkomsten (peraturanperaturan keagamaan dan naluri-naluri). Oleh Ind.Stbl. No. 221 jo. 487, diganti dengan istilah, adatrecht. Jadi nyatalah bahwa dalam perundangan zaman Hindia – Belanda, untuk istilah hukum adat dipakai istilah undang-undang agama, lembaga rakyat, kebiasaan-kebiasaan, dan lembaga asli dan sebagainya. e. Dalam Pasal 131 ayat 2, sub b I.s dipakai istilah: met hunne godsdiensten en gewoonten smanhangende rechts regelen (aturan-aturan hukum yang berhubungan dengan agamaagama dan kebiasaan mereka).(Utomo, 20189) Muthia Septarina 71 2. Masa setelah Kemerdekaan Proklamasi kemerdekaan merupakan tahapan pemikiran dan pandangan hukum adat secara nasional. Tahapan dimana hukum adat menjelma dalam kehidupan nasional sebagai Negara yang merdeka. Proklamasi kemerdekaan merupakan kelanjutan dari kongres Pemuda Indonesia pada Tahun 1928 dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia sebelumnya. Dikatakan berdasarkan hukum adat oleh karena kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa (hukum rakyat) dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan perikeadilan. Demikan dinyatakan pada alinea pertama Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang ditandatangani Soekarno, Hatta dan Tujuhpemimpin lainnya. Isi Piagam tersebut kemudian menjadi pembukaan UUD 1945. (Hilman Hadikusuma, h.94) Sopemo di dalam uraiannya tentang “kedudukan Hukum Adat dikemudian hari”, mengulang pendapatnya tahun 1974 bahwa “dalam Tata Hukum batu Indonesia, baik kiranya guna menghindarkan kebingunagan pengertian, istilah “hukum adat” ini dipakai sebagai sinonim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan tentang (unstatutory law)”. (Hilman Hadikusuma, h.96) Dalam system hukum Indonesia, hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis (unstatuair) sangat berbeda dengan hukum tertulis. Koesno Berpendangan bahwa nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat antara lain: a. Individu adalah bagian dari masayarakat yang mempunyai fungsi masing-masing demi untuk melangsungkan dan kelangsungan masyarakat (sebagai lingkungan kesatuan) b. Setiap individu dalam lingkungan kesatuan itu bergerak berusaha sebagai pengabdian kepada keseluruhan kesatuan. c. dalam pandangan adat yang demikian mengenai kepentingan individu, maka sulit untuk mengemukakan setiap kepentingan para individu. d. Dalam pandangan adat, ketentuan adat tidak harus disertai dengan syarat menjamin berlakunya dengan jalan mempergunakan paksaan. (Dr Siska Lis Sulistiani, h.20) Muthia Septarina 72 Setelah Indonesia merdeka dibentuklah dasar konstitusi kita yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai paayung hukum tertinggi peraturan perundang-undangan di Indonesia UUD 1945 dijadikan dasar acuan untuk pemberlakuan peraturan perundangundangan yang lain. Dalam pemberlakuan hukum adat di dalam UUD 1945 terdapat dasar hukum berlakunya hukum adat adalah pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang dasar 1945 yaitu yang berbunyi: “segala badan Negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undangundang Dasar ini” Selain dalam Aturan Peralihan ini, diatur juga dalam pasal 18 B ayat 2 dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang sudah mengalami amandemen 4 kali, yaitu yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional nya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Apabila dilihat dari rumusan pasal 18 B ayat 2 UUD 1945 terdapat syarat yang harus dipenuhi bagi eksistensi hukum adat, yaitu: 1) Sepaanjang masih hidup 2) Sesuai dengan perkembangan masyarakat 3) Sesuai dengan Prinsip NKRI 4) Diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Pasal 18b ayat (2) di atas dapat dipahami bahwa UUD 1945 lebih mengutamakan hukum yang tertulis dari pada tidak tertulis. Ini maknanya bahwa pengakuan terhadap hukum adat yang masih hidup dalam masyarakat di suatu daerah harus dilakukan dengan pengaturan dalam peraturan perundangundangan (tertulis). Untuk menganalisis kedudukan hukum adat dalam sistem hukum perlu kiranya diperhatikan salah satu aliran, Kedudukan Hukum Adat dalam Sistem Hukum dalam ilmu hukum yaitu, Sociological Jurisprudence yang disampaikan oleh Eugen Ehrlich. Yang menjadi konsepsi dasar dari pemikiran Ehrlich tentang hukum adalah apa yang dinamakan dengan living law. Hukum positif yang baik dan efektif adalah hukum yag sesuai Muthia Septarina 73 dengan living law dari masyarakat yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya(Winardi, 2020) Selain yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 ada beberapa pengaturan terkait dasar hukum berlakunya hukum adat yang tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia di antaranya adalah: 1) UU Pokok Kekuasaan Kehakiman Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang ketentuan-Ketentuan Pokok kekuasaan kehakiman dinyatakan adanya hukum tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Selanjutnya dalam pasal 5 disebutkan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam amsyarakat, telah terjamin sepenuhnya bahwa perkembangan dan penerapan hukum tidak tertulis itu akan berjalan sejajar, sehingga turut serta secara aktif merealisasikan penyatuan dan kesatuan hukum di seluruh Indonesia. Kemudian UU Pokok kekuasaan Kehakiman diubah menjadi UU Nomor 14 Tahun 1970, yang mana ada beberapa pasal penting dalam UU Pokok kekuasaan kehakiman yang merupakan landasan hukum berlakunya hukum adat, yaitu: a. Pasal 23 ayat 1 yang isinya hamper sama dengan pasal 17 UU No 19 Tahun 1964 dan berbunyi sebagai berikut “segala putusan pengadilan selain harus memuat alas an-alasan dan dasar-dasar putusan itu juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturanperaturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. b. Pasal 27 ayat (1) yang isinya hamper sama dengan pasal 20 (1) UU Nomor 19 Tahun 1964 dan berbunyi sebagai berikut “hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Muthia Septarina 74 Selain pasal-pasal itu, dalam penjelasan umum bagian 7 UU Nomor 14 Tahun 1970 memberi petunjuk yaitu “hukum tidak tertulis” dalam undang-undang ini adalah hukum Adat. Dalam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 pasal 50 ayat (1) disebutkan: “putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan juga harus memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. 2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Setelah Indonesia merdeka maka dicabutlah beberapa peraturan dan keputusan agrarian colonial, sehingga tercapailah unifikasi hukum agrarian yang berlaku di Indonesia. Dalam rangka unifikasi hukum agrarian tersebut maka dijadikanlah hukum adat tentang tanah yang dijadikan dasar pembentukan hukum Agraria nasional. Alasan dijadikan nya hukum adat sebagai dasar pembentukan hukum agrarian nasional adalah karena hukum adat sebagian besar hukum yang dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia sehingga hukum adat mempunyai kedudukan yang istimewa dalam pembentukan hukum Agraria Nasional. Hukum adat sebagai dasar pembentukan hukum Agraria Nasional mempunyai kedudukan, yaitu: a. Hukum adat sebagai dasar utama Sebagaimana yang dinyatakan dalam konsideran UUPA bagian berepndapat huruif a yaitu “bahwa berhubungan dengan apa yang disebut dalam pertimbanganpertimbangan di atas perlu adanya Hukum Agraria Nasional yang berdasarkan hukum adat tentang tanah, yang sederhana, dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur-unsur bersandar pada hukum agama” b. Hukum adat sebagai hukum pelengkap Pembentukan Hukum Agrarian Nasional menuju kepada tersedianya perangkat hukum tertulis yang mewujudkan kesatuan hukum dan memberika jaminan kepastian Muthia Septarina 75 hukum. Berkaitan dengan ini seperti yang dinyatakan dalam pasal 56 UUPA “ selama undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat 1 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuanketentuan hukum adat setempat dan peraturanperaturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20 sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini”. Selain itu penunjukan hukum adat sebagai pelengkap dalam pembentukan hukum agrarian nasional disimpulkan dari ketentuan pasal 5 UUPA, yaitu “Hukum Agraria ynag berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatian bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsurunsur yang bersandar pada hukum agama”. 3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang UU Kehutanan Dijelaskan dalam pasal 67 ayat (1) “Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan. b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang dan, c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nya. Pasal 67 (2) mengatakan bahwa pengakuan keberadaan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan Daerah. Muthia Septarina 76 Ada 2 hal yang menjadi batasan wilayah berlakunya hukum adat, antara lain sebagai berikut: 1. Kebudayaan dalam masyarakat, karena pada dasarnya pelanggaran adat adalah aspek dari kebudayaan. 2. Masyarakat, tempat lahir, tumbuh, berkembang dan lenyapnya pelanggaran adat dipandang sebagai pelanggaran berdasarkan sub struktur masyarakatnya.(Anto Soemaman, h.11) Sebagai hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, maka sesuai dengan sifatnya yang bersifat dinamis artinya berkembang sesuai dengan masyarakatnya. Apabila masyarakat adat nya masih mengakui keberadaan hukum adat itu sebagai dasar dalam pedoman bertingkah laku dalam hubungan di masyarakat maka selama itu pula keberadaan hukum adat itu akan terus hidup. Jadi tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan hukum adat sebagai hukum tidak tertulis dalam tata hukum nasional kita sebagai suatu kesatuan. Muthia Septarina 77 DAFTAR PUSTAKA Arliman, Laurensius. 2015. Hukum dan Kesadaran Masyarakat, Yogyakarta: Deepublish Darwis, Ranidar. 2016. Pengantar dan Dasar yuridis Berlakunya Hukum Adat, repository Universitas Terbuka Hadikusuma, Hilman. 2014. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: CV Mandar Maju. Lis sulistiani, Siska. 2021. Hukum Adat Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika Soemaman, Anto. 2003. Hukum Adat Perspektif Sekarang dan Mendatang, Yogyakarta: Mitra Gama Widya Wignodipuro, Surojo, 1983, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung Winardi. 2020. Eksistensi dan kedudukan Hukum Adat Dalam pergumulan Politik Hukum Nasional, Widya Yuridika Jurnal Hukum, Volume 3 Nomor 1 Muthia Septarina 78 BAB 6 PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM YANG BERHUBUNGAN DENGAN HUKUM ADAT Oleh Mahrida 6.1 Pendahuluan Dalam buku “Pengantar Hukum Indonesia” karya Rahman Syamsuddin, terdapat aturan adat dari zaman dahulu yaitu sebelum zaman Hindu. Para ahli berpendapat bahwa hukum adat yang dijadikan pedoman adalah adat Polinesia-Melayu. Dari sini dapat ditarik kesimpulan jika hukum adat yang ada di Indonesia adalah budaya antara aturan adat pra-Hindu tentang cara hidup budaya Hindu, budaya Islam dan budaya Kristen. Sebagai negara yang menganut pluralisme hukum, ada tiga hukum yang diakui serta diterapkan di Indonesia, diantaranya hukum Barat, hukum agama, dan hukum adat. Masyarakat hukum adat1 adalah bagian dari masyarakat Indonesia. Penting untuk dipahami jika sebelum negara Indonesia terbentuk, sebagai NKRI, masyarakat hukum adat sudah lahir dan berkembang. Sujoro Wignjodipuro menjelaskan bahwasannya sebelum kemerdekaan, masyarakat adat sudah lebih dulu hidup berdampingan dengan Hindia Belanda, di mana pada waktu itu pemerintah Hindia Belanda mengakui dan mengatur masyarakat adat sebagai suatu pemerintahan yang mandiri atau self government. Dimuatnya masyarakat hukum adat pada UUD 1945 adalah bentuk pengakuan negara terhadap keberadaan masyarakat hukum adat. Pemerintah Indonesia melakukan ratifikasi terhadap UU No. 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi dan Budaya sehingga negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi dan melaksanakan hak-hak tersebut, yaitu menghormati, melindungi dan melaksanakan hak-hak masyarakat hukum adat. Dalam kenyataannya, untuk mengatur kegiatan sehari-hari dan menyelesaikan perseleisihan yang terjadi masih banyak sekali dijumpai Mahrida 79 masyarakat yang mempergunakan hukum adat. Setiap daerah di Indonesia mempunyai sistem hukum adatnya tersendiri dalam mengatur kehidupan sosial yang majemuk dan mayoritas tidak tertuang secara tertulis. Secara resmi Negara sudah mengakui eksistensi hukum adat tersebut, akan tetapi pemakaiannya terbatas. Berdasarkan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 yang menjelaskan jika “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat menurut hukum adat dan hak-hak tradisionalnya selama masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip negara kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diatur dengan undang-undang”, yang artinya jika negara mengakui keberadaan hukum adat dan hak konstitusional dan sistem hukum Indonesia. Dalam pasal 3 UUPA tertulis jika: “Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa oleh masyarakat hukum adat, sepanjang masih berlaku, dilakukan untuk kepentingan negara berdasarkan persatuan nasional, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya.” 6.2 Pengertian Politik Hukum. “Mahfud MD dalam buku Politik Hukum di Indonesia, politik hukum adalah (hal. 1) Legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.” (Mahfud MD, 2017). “Padmo Wahjono menyebutkan pengertian politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, dan isi hukum yang akan dibentuk, lebih jelasnya, Padmo Wahjono menerangkan bahwa politik hukum merupakan kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk membentuk suatu yang mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.” (Wahyono, 1988, hal. 1). Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul “Ilmu Hukum” menjelaskan istilah politik dengan “aktivitas untuk memilih tujuan sosial tertentu. Politik adalah bidang yang berhubungan dengan tujuan masyarakat. Sedangkan hukum berhadapan dengan keharusan untuk menentukan pilihan tentang Mahrida 80 tujuan atau cara-cara yang akan dipakai untuk mencapai tujuan masyarakat tersebut” (Satjipto, 2010, hal. 352). Dari uraian tersebut diatas dapat kita pahami jika politik hukum adalah kebijakan mengenai hukum yang menetapkan arah, bentuk dan isi hukum yang meliputi pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum yakni tujuan sosial tertentu atau tujuan negara. Ruang lingkup politik hukum merupakan kebijakan negara mengenai hukum yang akan diterapkan dalam upaya mewujudkan tujuan negara, latar belakang politik, ekonomi, sosial, budaya atas terciptanya produk hukum dan penegakan hukum dalam prakteknya di lapangan (Mahfud MD, 2017, hal. 4). Kemudian pendapat dari Satjipto Rahardjo menjelaskan jika aspek politk hukum merupakan bahan studi yang mencakup tujuan yang hendak dicapai melalui sistem hukum yang berlaku, langkah-langkah yang digunakan untuk menetapkan manakah yang terbaik dalam upaya pencapaian tujuan. Sebagai contoh pilihan desentralisasi ataupun sentralisasi, kapan sebuah peratuaran ataupun hukum harus dirubah dan perubahan tersebut sebaiknya menggunakan cara apa. Bisakah sebuah pola yang mapan dirumuskan untuk menentukan tujuan serta langkah-langkah pencapaian tujuan tersebut (Rahardjo, 2006, hal. 352–453). 6.3 Pengertian Hukum Adat Seperangkat hukum yang tercipta dan hidup di masyarakat adat itu sendiri dinamakan dengan hukum adat. Mengingat sejatinya hukum adat sudah menjadi dinamika dan sudah sangat melekat di masyarakat. Perbedaan yang bisa ditinjau secara umum antara hukum adat dan adat istiadat adalah terdapat dalam sanksi. Hukum adat mempunyai berbagai sanksi khusus bagi pelanggar kemudian pada adat istiadat tidak mempunyai sanksi. Pendapat dari Van Vollenhoven menyatakan jika seperangkat aturan perilaku masyarakat yang dijalankan dan disetujui dan belum terkondifikasi dinamakan dengan hukum adat. Pendapat dari Terhaar menjelaskan jika hukum adat merupakan seperangkat peraturan yang dimasukkan ke dalam keputusan adat dan dijalankan secara spontan, sehingga bisa ditarik kesimpulan jika hukum adat merupakan norma ataupun peraturan tidak terkondifikasi yang dibuat untuk mengatur hukum, mengatur tingkah laku manusia dan termasuk hukuman. Mahrida 81 Terhaar menyatakan jika hukum adat tercipta dari dan dijaga oleh Keputusan berwibawa dan berkuasa dari kepala rakyat. Bushar Muhammad menyatakan jika untuk mendefinisikan istilah hukum amat sulit sekali dilaksanakan mengingat, hukum adat masih bertumbuh yaitu sifat dan turunan dari hukum adat (Muhammad, 2004). Soerjono Soekanto menyatakan jika hukum adat merupakan kompleks adat-adat yang tak dikitabkan dengan sifat paksaan ataupun memiliki akibat hukum (Soekanto, 2015). Supomo dan Hazairin menyimpulkan jika “hukum adat merupakan hukum yang mengatur perilaku masyarakat indonesia dalam hubungan satu dengan yang lainnya, baik yang sebagai semua kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar berkembang di masyarakat adat sebab dianut dan dipelihara oleh anggota masyarakat itu sendiri ataupun yang sebagai keseluruhan peraturan yang terkait dengan sanksi dari pelanggaran yang dilakukan dan yang ditentukan dalam keputusan dari para penguasan adat”. 6.4 Kaitan Politik dan Hukum. Budiono Kusumohamidjojo dalam bukunya yang berjudul “Filsafat Hukum” menyatakan jika “dalam negara hukum, hukum adalah aturan yang digunakan untuk mewujudkan cita-cita bersama yang menjadi awal dari kesepakatan politik”. Hukum juga sebagai aturan dalam mengatasi semua bentuk permasalahan termasuk yang terkait dengan politik (Budiono, 2016, hal. 184). Bidang studi yang mempelajari hubungan politik dan hukum tidak sama, akan tetapi politik dan hukum memiliki korelasi. Selain itu, hukum juga harus dilengkapi dengan isntrumen politik yang sah untuk menyelesaikan berbagai jenis pelanggaran hukum, misalnya kekerasan fisik ataupun kekerasan instrumental (Budiono, 2016, hal. 185). Secara “das sein”, sewaktu hukum dimaknai dengan undang-undang, maka hukum adalah bentuk dari produk politik. Pembuat hukum adalah lembaga legislatif jadi bisa dimaknai jika hukum sebagai bentuk kristalisasi, formalisasi ataupun legalisasi dari kehendak politik (Mahfud MD, 2017, hal. 5). Dalam hal ini penting untuk diperhatikan jika hukum bukan sebuah lembaga yang otonom, akan tetapi saling berhubungan dengan berbagai lini Mahrida 82 kehidupan lainnya di masyarakat, salah satunya ialah politik (Rahardjo, 2006, hal. 352). Politik hukum di Indonesia contohnya yaitu karakter hukum pemerintahan daerah di masa Orba. Konfigurasi politik yang dilahirkan di waktu itu ialah otoriter birokrasi mengingat terobsesi untuk menciptakan kestabilan sebagai syarat utama dalam pembangunan ekonomi. Dengan begitu, produk hukum daerah bukanlah menerapkan otonomi yang seluas mungkin. Daerah tidak diberi hak otonomi, akan tetapi justru kewajiban untuk turut mensukseskan pembangunan yang sudah dicanangkan oleh pusat (Mahfud MD, 2017, hal. 328–329). Mengenai politik hukum agraria di era Orba tidak lagi berfokus pada pembentukan UUPA akan tetapi implementasi dari UUPA, contohnya di era Orba yang memfokuskan terhadap pembangunan nasional, dengan begitu tuntutan atas tanah dan intensitas pengambilan tanah dari masyarakat mengalami peningkatan yang drastis. Dengan begitu pemerintah mengambil langkah dengan melahirkan Inpres 9/1973 yang mengacu dengan UU Pencabutan Hak Atas Tanah. Pendapat dari Mahfud MD, menjelaskan jika “materi Inpres 9/1973 semestinya adalah materi undang-undang karena terkait dengan hak rakyat, akan tetapi justru tercantum pada inpres” (Mahfud MD, 2017, hal. 340–341). 6.5 Perkembangan Politik Hukum Adat pada masa sebelum Kemerdekaan Perkembangan hukum adat sebelum kemerdekaan tumbuh dan berkembang dari adat istiadat di masa kerajaan-kerajaan di Nusantara yang sudah mengakar dalam masyarakat kemudian memasuki zaman penjajahan dimana hukum adat sangat kental di dalam diri setiap pribumi sebab baru pertama kali mengenal hukum barat yang Belanda tetapkan, maka dirumuskanlah sistem hukum pluralisme ataupun “Indische Staatsrgelling” supaya masyarakat golongan eropa, timur asing dan pribumi bisa beradaptasi dengan hukum masing-masing. Pada masa kekuasaan Hindia Belanda ada delegasi kewenangan untuk mengkondifikasikan hukum bagi pribumi dan timur asing. Berlanjut pada masa penjajahan Jepang juga ada regulasi yang mengatur mengenai hukum adat di Indonesia, yakni dalama Pasal 3 UU No. 1 Mahrida 83 Tahun 1942 tercantum jika “seluruh badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan UU dari pemerintahan yang dahulu tetap diakui sah buat sementara waktu saja, asal tidak bertentangan dengan peraturan militer.” Pasal tersebut bisa dimaknai jika hukum adat yang berlaku ketika masa kekuasaan Jepang sama dengan masa kekuasaan Hindia Belanda, namun harus disesuaikan dengan regulasi kemiliteran Jepang dan tidak boleh kontradiksi (Sabiila, 2022). Pada masa Jepang penerapan hukum adat hanyalah sebagai ketentuann dari peralihan mengingat masanya yang begitu pendek. 6.5.1 Perkembangan Poltik Hukum Adat pada masa Kerajaan di Nusantara. Cita-cita dan alam pikiran masyarakat Indonesia merupakan sumber dari pertumbuhan hukum adat, dengan begitu hukum adat bisa di lacak semenjak negara Indonesia masih terdiri atas berbagai kerajaan, yang tersebar di semua hukum adat di Nusantara yang lahir dari cita-cita dan paradigma masyarakat Indonesia. Realitas sosial budaya dikontruksi oleh pujangga satu dengan pujangga yang lainnya serta dikonstruksi kembali oleh pujangga selanjutnya (Rato, 2011, hal. 110). Pada masa Sriwijaya, Mataran Muno, Majapahit terdapat sejumlah prasasti yang memberikan gambaran terkait dengan perkembangan hukum adat yang berlaku dan sudah mengatur sejumlah bidang, di antaranya berbagai ketentuan keagamaan, perekonomian dan pertambangan di muat dalam Prasasti Raja Sanjaya tahun 732 di Kedu Jawa Tengah, untuk pengaturan agama dan pekerjaan seperti yang terdapat pada prasasti Raja Devasimha dari tahun 760 M, pengaturan hukum tanah dan pertanian dapat dilihat dalam Prasasti Raja Tulodong di Kediri pada tahun 784 dan Prasasti di tahun 919 berisi kedudukan pemerintahan, hak raja atas tanah dan ganti rugi, sementara peradilan Perdata dalam tulisan Bulai Rakai Garung di tahun 860, titah raja untuk melakukan pengembangan aturan adat terdapat dalam Tulisan Dharmawangsa di tahun 991 sedangkan pada masa Airlangga, penentuan lambang stempel kerajaan berbentuk “kepala burung Garuda”, penetapan penguasa dengan keistimewaannya, penentuan pajak penghasilan yang dipungut oleh pemerintah pusat, di masa kekuasaan Majapahit, terlihat pada penataan Mahrida 84 pemerintahan dan ketatanegaraan kerajaan Majapahit yaitu dilakukannya pembagian lembaga dan badan pemerintahan. Pasca runtuhnya kerajaan Majapahit, maka kerajaan Mataram sangat kental dengan nuasan keislaman dan dikenal dengan peradilan qisas yang memberi pertimbangan bagi Sultan untuk memutuskan sebuah perkara. Di pedalaman terdapat adanya penyelesaian permasalahan antara perorangan oleh peradilan desa, dilaksanakan dengan damai yang disebut dengan peradilan padu. Di waktu yang sama, di Cirebon terkenal dengan Peradilan Agama yang mengatur tentang pelanggaran adat dan perkara lainnya yang tidak masuk peradilan agama dan Peradilan Cilaga merupakan peradilan di bidang perekonomian, perdagangan, jual beli, utang piutang. Dari uraian tersebut memperlihatkan jika tatanan hukum adat yang sudah berlaku di berbagai daerah yang saat ini dinamakan dengan Indonesia memperlihatkan hukum bersumber dari masyarakat pirbumi, baik berupa keputusan penguasan ataupun hukum yang diterapkan di lingkungan masyarakat setempat. Selain beberapa prasasti dan adanya peradilan adat tersebut diatas berikut beberapa bukti yang menguatkan bahwa hukum adat sudah ada dan sudah diterapkan di masyarakat yaitu : “Kitab-kitab hukum kuno di lingkungan Kerajaan pada tahun 1000 pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur dengan kitabnya yang dinamakan dengan Civacasana Tahun 1331 - 1364, pada Tahun 1413 – 1430 Patih Majapahit Gajah Mada membuat kitab Gajah Mada, pada tahun 1350 Patih Majapahit Kanaka membuat kitab Adigama, di Bali ditemukan kitab hukum Kutaramanava”. Berbagai kitab hukum kuno yang mengatur kehidupan masyarakat di berbagai daerah seperti; kehidupan sosial di tanah Batak diatur dengan Kitab Hukum Tapanuli Ruhut Parsaoran di Habatohan, Undang-Undang dan ketentuan-ketentuan Batak diatur dalam kitab Patik Dohot Uhum ni Halak Batak, Jambi terdapat Undang-Undang Jambi, Palembang mempunyai undang-undang yang mengatur tentang tanah di dataran tinggi daerah Palembang yang dinamakan kitab Undang-Undang Simbur Cahaya, Minangkabau mempunyai undangundang yang mengatur mengenai hukum adat delik yang dinamakan kitab Undang-Undang nan dua puluh, Sulawesi Selatan terdapat peraturan yang mengatur terkait dengan pelayaran dan pengangkatan laut bagi orang Wajo yang dinamakan kitab Amana Gapa, Bali: AwigMahrida 85 awig (peraturan subak dan desa) dan Agama Desa (peraturan desa) yang terulis pada daun lontar. 6.5.2 Perkembangan Politik Hukum Adat pada masa Hindia Belanda Marjinalisasi masyarakat adat selalu terjadi di setiap waktu, semenjak era penguasan Belanda ditandai pemberlakuan Agrarische Wet 1870. Situasi tersebut direspon oleh masyarakat dengan bermacam bentuk, sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang menjadi latarbelakangnya. Secara umum, respon yang diberikan masyarakat adat sifatnya lokal dengan inti permasalahan yang sama, yaitu resistensi terhadap eksploitasi alam dan pengabdian kepada adat. Zaman kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda, semula hukum asli masyarakat yang di kenal dengan hukum adat dibiarkan seperti adanya, akan tetapi di masa VOC perkembangan hukum adat tergantung pada kepentingan pemerintahan kolonial Belanda karena Kolonial Belanda tidak mempunyai kepentingan terhadap pengadilan adat setempat dan juga tidak mau terbebani oleh permasalahan administrasi yang tidak tidak penting terkait dengan pengadilan masyarakat setempat, berkaitan dengan lembagalembaga asli, pemerintah kolonial Belanda tergantung pada kebutuhan dan akan mencampuri masalah yang terkait dengan pidana untuk menjunjung tinggi ketertiban umum di masyarakat, mengenai masalah perdata diserahkan dan membiarkan hukum adat tetap ada. pemerintah kolonial Belanda hanya memiliki prinsip kepentingan dagang, sehingga kekuasaan yang dimiliki diarahkan untuk mendukung kepentingan dagang dan menyatakan jika Hukum Belanda berlaku bagi seluruh golongan penduduk baik pada hukum privat ataupun hukum publik. Di masa “Dandeles” hukum pidana adat di ubah dengan model Eropa, jika tindakan pidana yang dilaksanakan menyebabkan terganggunya keperntingan umum dan jika tindakan pidananya tersebut di tuntut sesuai dengan hukum pidana adat bisa membuat pelakunya bebas. Hukum adat yang berkembang di masa daendeles mempunyai nasib yang sama dengan masa-masa yang sebelumnya yaitu disubornasikan hukum Eropa, keculai pada hukum sipil mencakup hukum perdata dan hukum dagang tetap Mahrida 86 mengalir seperti apa adanya sesuai dengan hukum adat masingmasing. Pada prinsipnya pemerintah kolonial Belanda memandang hukum adat lebih rendah tingkatannya dibandingkan hukum Belanda. Di era penjajahan Raffles, hal yang terlihat jelas yaitu terdapatnya keleluasaan dalam hukum dan peradilan dalam penerapan hukum adat, asal ketentuan hukum adat tidak bertolak belakang: “the universal and acknowledged principles of natural justice atau acknowledge priciples of substantial justice”. Selanjutnya politik hukum adat terlihat di pemerintahan Kolonial Belanda, pada saat mulai dilaksanakan politik unifikasi hukum dan kodifikasi hukum melalui Panitia Scholten, antara lain “Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB)”, Ketentuan Umum mengenai peraturan Perundang-undangan di Hindia Balanda; “Burgerlijke Wetboek, Wetboek van Koopenhandel; reglemen op Rechtelejke Organisatie en het beleid de justitie (RO)”, sehingga seiring dengan berjalannya waktu terbentuk unifikasi dalam pengaturan hukum pidana bagi golongan Eropa, Timur Asing dan Pribumi, dengan pembentukan “Wetboek van Strafrecht (WvS)”, sebagai replika Belanda (1881) yang meniru Belgia, diterapkan untuk golongan Eropa dengan Stb 1866:55 dan diterapkan untuk Golongan (Tolib Setiady, hal 156) Pribumi dan Timur Asing dengan Stb 1872:85 yang pada tanggal 1 Januari 1873 mulai diberlakukan. Hukum adat berkaitan dengan ketertiban umum dengan kodifikasi hukum pidana, terkecuali pengaturannya tidak dihubungkan, untuk itu yang menjadi acuan dari hukum adat yaitu pasal 11 AB, terkecuali untuk orang pribumi ataupun yang disamakan dengan mereka (orang timur asing) secara sukarela mematuhi berbagai aturan hukum perdata dan hukum dagang Eropa ataupun dalam hal-hal bagi mereka diberlakukan peraturan perundangan semacam itu ataupun peraturan perundangan lainnya, maka hukum yang ada dan yang diterapkan hakim pribumi bagi mereka yaitu “godsdienstige wetten, volkintellingen en gebruiken”, dengan asumsi tidak bertolak belakang dengan asasasas keadilan yang diakui pada umumnya. Pasal 11 AB, menerapkan asas konkordansi, yang menerapkan hukum Belanda untuk golongan Eropa di Hindia Belanda, terkait dengan hukum Mahrida 87 adat memperlihatkan jika hukum adat berlaku bagi golongan masyarakat non Eropa, kecuali dengan sukarela mematuhi peraturan perdata dan hukum dagang yang diterapkan untuk golongan Eropa dan jika kebutuhan hukum membutuhkan kepatuhan pada hukum perdata dan hukum dagang golongan Eropa dan kebutuhan mereka membutuhkan kepatuhan pada hukum lainnya. Di masa sekarang ini, hukum dinilai ada jika tertuang pada undang-undang menjadi hukum tertulis yang memperlihatkan digunakannya paham Austinian, seperti yang tercantum dalam pasal 15 AB, yang menjelaskan jika “terkecuali peraturanperaturan yang ada, bagi orang Indonesia”. 6.6 Perkembangan Politik Hukum Adat pada masa Kemerdekaan. Perkembangan hukum adat setelah Indonesia meraih kemerdekaan, formasi politik kolonial dalam prakteknya masih ada di aspek-aspek tertentu, terdapat dualisme hukum yang menempatkan hak masyarakat adat menjadi sangat lemah dan dikesampingkan, hal tersebut tergambar dari hak menguasai negara yang seakan-akan menyerupai konsep “domein verklaring” dari hukum kolonial, dimana aturan hukum ini terbukti merampas banyak tanah-tanah adat. “Soepomo menyatakan bahwa pembentukan hukum adat dapat melalui Badan Legislatif atau melalui Pengadilan, dimana hukum merupakan kesatuan norma yang bersumber pada nilainilai sedangkan hukum adat sesuai dengan karakternya, yang terbagi dua ada hukum adat memiliki karakter bersifat netral dan hukum adat memiliki karakter bersifat tidak netral karena sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai relegius. Pembedaan ini penting untuk memahami pembentukan atau perubahan hukum yang akan berlaku dalam masyarakat. Hukum netral merupakan hukum yang relative longgar kaitannya dengan nilai-nilai religius. Susunan masyarakat adat berakibat pada perubahan hukum yang termasuk hukum netral mudah pembentukannya dan pembinaan hukum dilakukan melalui bentuk perumusan hukum perundang-undangan sedangkan hukum adat Mahrida 88 yang erat kaitannya dengan nilai-nilai relegius karena itu relative tidak mudah disatukan secara nasional maka pembinaan dan perumusannya dalam hukum positif dilakukan melalui yurisprudensi. Para ahli dari Barat memahami hukum adat sering keliru dan berdasarkan asumsi yang salah mereka mempelajari hukum adat melalui bahan-bahan tertulis dari catatan- catatan asli atau didasarkan pada hukum-hukum agama, selain itu hukum adat disistimatisasi secara paralel dengan hukum-hukum barat, sehingga pemahaman dengan paradigma barat mengenai hukum adat dipahami secara salah dengan segala akibat-akibatnya. Dalam pasca kemerdekaan, masyarakat hukum adat bahkan diakui dengan dimasukkannya dalam penjelasan UUD 1945 (sebelum amandemen) dalam penjelasan tersebut menyebutkan : Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volkgemeenschappen seperti Desa di Jawa, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, Desa di Bali dan sebagainya”. Pasca UUD 1945 diamandemen, ini merupakan momentum yang membawa angin segar bagi perkembangan hukum adat yang ada di Indonesia, khususnya dalam berbagai riset nasional dalam hukum adat. Dari tahun 1946 sampai dengan saat ini adalah sebuah masa di mana dilaksanakan berbagai riset nasional terhadap hukum adat dalam upaya mengembangkan hukum adat ataupun mengembangkan hukum nasional di mana hukum adat adalah sumber bagi pengembangan dan pembinaan hukum nasional di Indonesia. Amanat dari UUD 1945 sesuai dengan politik hukum yang merupakan kebijakan dasar sebagai penentu arah, bentuk ataupun isi dari hukum yang dibuat. Terkait dengan kepentingan politik hukum nasional, maka kebijakan dasar penyelenggaraan negara di bidang hukum baik yang akan, sedang dan sudah berlaku, yang berasal dari nilai-nilai yang adadi masyarakat untuk mewujudkan tujuan negara yang sudah dicita-citakan (Imam dan Thohari, 2012, hal. 58). Dalam upaya mengembangkan dan membina hukum nasional hukum adat merupakan salah satu sumber dalam sistem hukum nasional ataupun dalam tata hukum nasional. Mahrida 89 6.6.1 Perkembangan politik hukum adat setelah kemerdekaan dalam Konstitusi Konstitusi di Indonesia sebelum diamandemen, tidak memperlihatkan dengan tegas atas pengakuan dan penggunaan hukum adat, tetapi jika dikaji bisa diambil simpulan bahwa rumusan dalam konstitusi ini terkandung nilai luhur dan jiwa dari hukum adat. Pembukaan UUD 1945 berisi pandangan hidup Pancasila ini menggambarkan jati diri bangsa yang terkandung dalam nilai, pola pemikiran dari hukum adat. Pasal 29 ayat (1) menyebutkan yakni “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, selanjutnya pasal 33 ayat (1) yakni “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan”. Dalam UUD 1945 pada tataran praktis terdapat hak penguasaan oleh Negara, hal ini diambil dari Hak Ulayat yang secara tradisional diakui dalam hukum adat, kemudian dalam konsitusi RIS pasal 146 ayat (1) menyebutkan yakni “Segala keputusan kehakiman harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara harus menyebut aturan-aturan undang-undang dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukum”. Berdasarkan UUD Sementara, pasal 146 ayat (1) di muat ulang, yakni “Hakim harus menggali dan mengikuti perasaaan hukum dan keadilan rakyat yang senantiasa berkembang”. Pasal 102 memperhatikan dekrit Presiden 5 Juli 1959, (Wulandari, 2010, hal. 108) sehingga UUD 1945 berlaku lagi, terdapat 4 pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945 yakni pertama “Persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia”, termasuk di bidang hukum yang dinamakan hukum nasional. Kedua yaitu “Negara hendak mewujudkan keadilan sosial”, ini berlainan dengan keadilan hukum maka azas fungsi sosial individu dan hak milik dalam merealisasikan hal bersangkutan dirasa penting untuk direalisasikan dan diselaraskan dengan keinginan dan perkembangan masyarakat, yakni senantiasa bersumber pada nilai primer. Ketiga yaitu “Negara mewujdukan kedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan dan perwakilan”. Hal ini sangat mendasar dan penting sebab melalui persatuan antara rakyat dan pemimpin, maka pemimpin harus selalui mengerti nilai dan perasaan hukum dan politik serta dapat menyemangati untuk melaksanakan kepentingan umum dengan Mahrida 90 pengambilan kebijakan public. Sehubungan dengan ini dibutuhkan pemimpin yang bijaksana, adil, pemberani, mengedepankan kebenaran, memiliki perasaan yang halus dan perikemanusiaan. Keempat yaitu “Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”, hal tersebut menuntut cita hukum dan kemasyarakatan yang harus selalu dihubungkan dengan fungsi individu, masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan negara mengakui adanya Tuhan yang menentukan semua hal dan arah negara yang hanya dilandasi selaku sarana yang menggiring individu dan masyarakat selaku fungsinya harus sesuai dengan visi dan niatan untuk mendapat ridho-Nya. Sesudah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 18 D ayat (2) menyebutkan jika “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Mendalami bunyi pasal 18 d UUD 1945 bersangkutan maka kionstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak tradisional di dalamnya, jaminan ini selama hukum adat masih berlaku, sesuai dengan perkembangannya masyarakat dan prinsip NKRI dan diatur oleh UU. Sehingga konstitusi tersebut menjamin pengakuan dan penghormatan hukum adat jika sesuai persyaratan realitas yakni hukum adat masih berlaku dan selaras dengan perkembangannya masyarakat dan persyaratan idealitas yakni selaras dengan prinsip NKRI yang tertuang dalam UU, selaras dengan TAP MPR Tahun 2001, maka tata urutan perudangan ialah UUD 1945, Ketetapan MPR, UU/ Perpu, PP, Perda; Dari penjelasan tersebut di atas, tidak melibatkan secara formil hukum adat selaku sumber hukum perundangan, terkecuali hukum adat yang berwujud selaku hukum adat yang formal diakui dalam perundangan, kebiasaan, putusan hakim atau pendapatnya ahli. Diantara caranya ialah adannya pengajuan uji materi UU yang memiliki muatan yang merugikan masyarakat adat dan berseberangan dengan UUD 1945 ke MK selaku “the guardian of constitution”, supaya terbentuk keadilan bagi masyarakat hukum adat yang sebenarnya, dan Mahrida 91 bukanlah sekedar norma tertulis dalam UUD 1945 atau peraturan peundangan lain. 6.6.2 Perkembangan politik hukum adat setelah kemerdekaan dalam Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951. Dalam UU Darurat No. 1 Tahun 1951, pasal 1 ditegaskan, “Kecuali pengadilan desa seluruh badan pengadilan yang meliputi badan pengadilan gubernemen badan pengadilan swapraja kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian dari pengadilan swapraja dan pengadilan adat (Inheemse rechtspraak in rechsreeks bestuurd gebied) yang telah dihapuskan”. Dalam perundangan posisinya Hukum Pidana Adat dalam sistem hukum nasional selaku sumber hukum yang sudah memperoleh pengakuan baik forum ilmiah, opini, doktrin ataupun yurisprudensi MA. Adapun pada pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat No. 1 Tahun 1951 ada 3 (tiga) konklusi dasar: Pertama bahwa “Tindak pidana adat yang tiada banding atau padanan dalam KUHP di mana sifatnya tidak berat atau dianggap tindak pidana adat yang ringan ancaman pidananya adalah pidana penjara dengan ancaman paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak lima ratus rupiah (setara dengan kejahatan ringan)”, minimalnya pada aturan Pasal 12 KUHP yakni 1 hari untuk pidana penjara dan pidana denda paling sedikit 25 sen berdasar aturan pasal 30 KUHP, namun untuk pidana adat yang berat diancam pidana 10 tahun, selaku pengganti dari hukuman adat yang tidak diberikan ke pelaku. Kedua, “Tindak pidana adat yang ada bandingan dalam KUHP maka ancaman pidananya sama dengan ancaman pidana yang ada dalam KUHP”, misalnya tindak pidana adat Zina di Makassar, Mapangadali di Bugis atau Drati Kerama di Bali dan di Padang yang sebanding dengan tindak pidana zinah seperti yang tertuang dalam Pasal 284 KUHP. Ketiga, “Sanksi adat dalam ketentuan konteks di atas dapat dijadikan pidana pokok atau pidana utama oleh hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perbuatan yang menurut hukum yang hidup dianggap sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya dalam KUHP sedangkan tindak pidana yang ada bandingnya dalam KUHP harus dijatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan KUHP”. Mahrida 92 Ketentuan bersangkutan bertujuan untuk menghapuskan hukum pidana adat berikut sanksi yang diberikan bagi pribumi dan orang timur asing dengan peradilan pidana adat terkecuali hanya diadakan oleh peradilan umum, agam dan desa (perdamaian desa). Sehingga semenjak diberlakukan UU Drt No. 1 Tahun 1951, maka hukum pidana adat tidak lagi memperoleh posisi yang seharusnya dikarenakan dibatasi oleh politik hukum NKRI. Secara eksplisist ataupun implisit ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) UU tentang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009 menerapkan dasar eksistensi Hukum Pidana Adat. Pasal 5 ayat (1) yakni, “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, Pasal 10 ayat (1) yakni, “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak mengatur atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Pasal 50 ayat (1) yakni, “Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.” Adanya penekanan pada “nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat” menjadi sumber hukum tak tertulis selaku dasar untuk mengadili, secara tersurat dan tersirat bahwasannya perlakuan Hukum Pidana Adat juga dijelaskan pada UU Kekuasaan Kehakiman. 6.6.3 Perkembangan Hukum Adat dalam Yurisprudensi. Yurisprudensi asalnya dari kata istilah Latin iuris prudential (Mahkamah Agung RI, 1980, hal. 10), secara teknis memiliki arti peradilan tetap maupun hukum. Yurisprudensi dimaknai sebagai putusan hakim yang diikuti hakim yang lainny pada perkara yang sama kemudian putusan hakim tersebut menjadi tetap maka sebagai sumber hukum yang dinamakan yurisprudensi, dalam prakteknya berfungsi untuk menghapus, memperjelas, mengubah, menguatkan atau membentuk hukum yang sudah ada dalam masyarakat. Mahrida 93 Kemudian pendapat dari Fockema Andrea, “Yurisprudensi peradilan (pada pengertian umum, pengertian abastrak), terutama ajaran hukum yang dibuat serta dijaga oleh pengadilan kemudian pengmpulan yang sistematis dari putusan MA serta Putusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim-hakim untuk memberi putusannya terkait persoalan yang sejenis” (Mahkamah Agung RI, 1980, hal. 11). Hukum adat dalam yurisprudensi adalah keputusan pengadilan yang sudah ditetapkan pada bidang hukum adat, serta menjadi fasilitas pembinaan sesuai cita-cita hukum, yurisprudensi dari tahun ke tahun bisa ditelisik perkembangannya baik yang sifatnya masih lokal ataupun yang secara nasional sudah diberlakukan. Perkembangan-perkembangan hukum adat lewat yurisprudensi bisa memberi pengetahuan mengenai pergeseran serta lahirnya hukum adat, beberapa putusan yang dapat dijadikan yurisprudensi : a. Putusan No.47-81/PHPU.A/VII/2009 Pengakuan pada Hakhak Politik Masyarakat Hukum Adat dalam Pelaksanaan Pemilu, masyarakat yang masih berpegang teguh pada nilai hukum adatnya yaitu masyarakat adat di Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua. Masyarakat adat di Yahukimo memakai hukum adatnya pada bermacam-macam pola kehidupan, malah pada penyelenggaraan Pemilu mereka memakai hukum adatnya sendiri serta tida mengacu terhadap UU No. 10 Tahun 2008 mengenai Pemilu. Diantara bentuk hukum adat yang dilaksanakan masyarakat adat di Yahukimo yaitu Noken. Masyarakat di Kabupaten Yahukimo ketika pemilu tahun 2009, melaksanakan Pemilu untuk penyelenggaraannya diselaraskan terhadap mekanisme adat. Kepala-kepala suku mewakili dalam pencontrengan kertas suara. tidak dilaksanakan pada bilik suara serta kertas suaranya tidak dimasukkan kedalam kotak suara, namun dimasukkan ke dalam tas yang menjadi ciri khusus orang Papua yaitu “Noken”. yang menjadi masalah dari dua pemohon ini yaitu mengenai sengketa hasil pemilu bagi anggota DPD, bukan konstitusionalitas noken selaku model pemilihan. Akan tetapi, mau tak mau pemilihan model noken Mahrida 94 b. c. d. e. tersebut berhubungan langsung terhadap sahnya pemilihan serta total suara yang menjadi perselisihan. Putusan No. 312/Pid/1989 bila “kedua terdakwa terbukti bersalah menyalahi pidana adat zina dengan pidana 2 (dua) bulan penjara untuk perempuan dan 5 (lima) bulan untuk laki- laki (Pengadilan Tinggi Aceh)”. Putusan MA RI No. 854/Pid/1983 dalam putusan dimana terdakwa terbukti menjalankan perbuatan pidana zina hanya pihak laki-laki dipidana. Hakim agung dalam Yurisprudensi MA mempertimbangkan bila seorang laki-laki terbukti “tidur bersama” dengan seorang perempuan disebuah kamar, dalam satu tempat tidur adalah petunjuk bila laki-laki tersebut sudah melakukan persetubuhan dengan perempuan serta bersalah berbuat pidana adat. Putusan PN Padang No.134/Pid/1981 mengadili tindakan zina menjadi perbuatan pidana adat memberikan pidana untuk laki-laki sebagai Terdakwa I selama 7 (tujuh) bulan penjara serta untuk perempuan sebagai terdakwa II 4 (empat) bulan penjara. Keputusan tersebut diterima oleh kedua terdakwa. Hakim dalam putusannya memperimbangkan bila terdakwa menjalankan tindakan tercela pada perspektif masyarakat adat suku melayu yaitu melanggar norma kesusilaan serta agama. Keduanya terbukti melakukan tindakan cabul serta menyalahi tindak pidana adat zina. Putusan No. 247/Pid/B/2012/PN.PDG atas nama Muhammad Farid yang dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Padang terkait tindakan dari sepasang remaja pada tindakan zina (berhubungan badan diluar nikah) yang menyalahi ketentuan adat yang dinamakan sumbang salah bujang serta gadis “Hakim berpendapat dan tersebut dilarang oleh agama dan hukum adat minangkabau yaitu adat basandi syarak basandi kitabullah”, terkait hal tersebut yaitu Undang Nan Duo Puluah Hukum Pidana Adat Minangkabau. Hakim menyatakan hukuman kurangan 3 bulan diberikan pada terdakwa lebih sebagai wujud hukuman dari tindakan terdakwa menyalahi ketentuan yang ditetapkan pada adat dan agama Islam, walaupun menurut hukum negara Mahrida 95 terdakwa tidak bersalah akan tetapi sesuai dengan UU Drt. No 1 pasal 5 ayat (3) b dipaparkan bila seluruh hal yang tidak ditetapkan oleh Negara ditetapkan pada hukum adat. (Pengadilan Negeri Padang). 6.7 Perkembangan Politik Hukum Adat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie dalam (http//www.pemantauperadilan. com) menyebutkan bahwa MK adalah badan yang didirikan untuk mengawal serta mempertahankan supaya konstitusi selaku hukum tertinggi dan menjalankan serta ditegakkannya pada pelaksanaan kehidupan kenegaraan berdasarkan prinsip-prinsip negara hukum, melalui seluruh wewenangannya serta posisinya menjadi salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman adalah wujud dari fungsi penegakan prinsip-prinsip negara hukum, konstitusi, serta perlindungan HAM menurut UUD 1945. MK sebagai penafsir konstitusi agar memberi perlindungan serta keadilan untuk tiap warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar karena terdapatnya UU. Terlihat pada sejumlah putusan yang telah dijatuhkan memperlihatkan bila putusannya tersebut merupakan hukum responsif dalam merealisasikan keadilan untuk warga negara, beberapa putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan hukum adat : a. Putusan No. 35/PUU-X/2012 Pengakuan pada Hak atas Hutan Adat bagi Masyarakat Hukum Adat , secara garis besar MK mengatakan bila “hutan adat bukanlah hutan negara”. Pada putusan tersebut MK menyampaikan pendapat mengenai keberadaan hutan adat pada kesatuannya terhadap wilayah hak ulayat dari sebuah masyarakat hukum adat merupakan konsekuensi pengakuan pada hukum adat yang menjadi “living law”. b. Putusan No. 45/PUU-IX/2011, pengujian UU Kehutanan dimana MK memberikan Perlindungan Keberadaan Hak Individu dan Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat. Untuk penetapan kawasan hutan perlu melihat keberadaan individu serta hak ulayat yang bisa berpeluang mendapatkan kerugian yang disebabkan proses penetapan kawasan hutan. Pada berbagai kasus, UU Kehutanan Mahrida 96 dengan frasa “memperhatikan” itu sering dilanggar, maka sering terdapat bermacam-macam kasus seperti yang sudah sebelumnya diuraikan, yang kemudian menciptakan kerugian untuk masyarakat hukum adat, serta malah mengakibatkan mereka menjadi terusir dari rumahnya sendiri. c. Putusan No. 3/PUU-VIII/2010 mengenai pengukuhan hak-hak tradisional dari masyarakat hukum adat MK menegaskan bila “pembatasan waktu tertentu pada pemberian hak pengelolaan perairan pesisir (HP3) berlawanan terhadap Pasal 18B UUD 1945”. Hal tersebut tidak selaras terhadap konsep hak-hak tradisional rakyat yang tidak dapat dibatasi sebab secara karakteristik, hak itu bisa dinikmati dengan turun temurun oleh masyarakat hukum adat. MK pada putusan itu pun menyampaikan pendapat bila pemberian HP3 pada individu serta lembaga hukum swasta akan menjadi permasalahan terhadap keberadaan hak-hak masyarakat tradisional serta kearifan masyarakat lokal terkait hal tersebut MK menyampaikan pendapat akan menghapus hak-hak tradisional terkaiat wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil, akan menghapus hak-hak tradisional masyarakat hukum adat yang semestinya dinikmati dengan turun temurun, sebab melalui pemberian ganti rugi kemudian haktersebut cuma dinikmati oleh masyarakat penerima ganti rugi ketika itusaja. d. Putusan No 45/PUU-IX/2011, memberikan pertimbangan pada negara hukum, pejabat administrasi negara dalam bertindak harus selaras terhadap hukum dan aturan UU. Dikatakan mencerminkan pemerintahan otoriter apabila pemilihan sebuah kawasan agar dijadikan hutan, dilakukan tidak melewati proses maupun tahap-tahap yang melibatkan sejumlah pemilik kepentingan di area hutan berdasarkan hukum serta aturan UU. Pemilihan kawasan hutan tidak bisa dilakukan secara spontanitas, tapi perlu perencanaan dan tidak semestinya sebuah area hutan yang hendak dijaga keberadaannya menjadi hutan tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, sekedar dilaksanakan lewat pemilihan. Pasal 4 ayat (3) UU No 41 Tahun 1999 mengenai Kehutanan ditegaskan berlawanan terhadap UUD Republik Indonesia Tahun 1945. Mahrida 97 6.8 Penutup Saat ini hukum adat merupakan komponen organik dari hukum negara dimana hukum negara begitu penting dalam mempertahankan serta merawat hukum adat seperti yang ditegaskan pada Pasal 18B ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisionalnya sepanjang masih hidup” serta Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia sudah diakomodir pada bermacam-macam lingkup pengaturan, baik pada UUD 1945, UU, Perda, SK Gubernur, serta SK Bupati. Mengenai perkembangan politik hukum masyarakat hukum adat mengalami pasang surut dan banyak permasalahan-permasalahan yang dihadapi lewat putusan MK, diketahui menguatkan keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia melalui pemberian bermacam-macam tafsir maupun uraian dimana dalam pertama kalinya berkaitan pada empat syarat dasar konstitusional masyarakat hukum adat. Dalam putusan lainnya MK mengakui Noken (hukum adat masyarakat adat di Yahukimo) menjadi metode yang resmi dalam perwujudan hak politik pada pemilu masyarakat hukum adat. Selain itu MK secara tegas menyatakan jika “hutan adat bukanlah hutan negara, dalam putusan lainnya MK memaparkan serta menegaskan pada frasa ‘memperhatikan’ yaitu “memperhatikan hak masyarakat hukum adat itu artinya adalah bawa dalam proses pengukuhan kawasan hutan, harus dilakukan berdasarkan persetujuan dari pihak yang berpotensi dirugikan karena pengukuhan kawasan hutan tersebut, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa “Penguasaan hutan oleh negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyaraka hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”. Selanjutnya mengakui wilayah hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat adalah konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat sebagai living law (Mahkamah Konstitusi mempertegas Pasal 18B UUD 1945, bahwa Mahrida 98 masyarakat hukum adat dalam penguasaan hak ulayat merupakan hak tradisional yang tidak dapat dibatasi oleh peraturan perundang- undangan karena hak-hak tradisional masyarakat hukum adat yang seharusnya dinikmati secara turun temurun (just saving principle). keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”. Mahrida 99 DAFTAR PUSTAKA Budiono, K. 2016. Teori HukumDilema antara Hukum dan Kekuasaan. Bandung: Penerbit Yrama Widya. Imam, S. dan Thohari, A.A. 2012. Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada. Mahfud MD, M. 2017. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Mahkamah Agung RI. 1980. Yurisprudensi Mahkmah Agung Republik Indonesia Tahun 1980- 1990. Jakarta: MARI. Muhammad, B. 2004. Pokok-pokok hukum adat. Jakarta: Pradnya Paramita. Rahardjo, S. 2006. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Rato, D. 2011. Hukum Adat (Suatu Pengantar Singkat Memahami Hukum Adat di Indonesia). Yogyakarta: Laksbang Pressindo. Sabiila, S.I. 2022. Hukum Adat di Indonesia: Sejarah, Bukti hingga Perkembangannya. Tersedia pada: https://news.detik.com/berita/d-6005955/hukum-adat-diindonesia-sejarah-bukti-hingga-perkembangannya . Satjipto, R. 2010. Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Nusantara. Soekanto, S. 2015. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Wahyono, P. 1988. “Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia,” Makalah September [Preprint]. Wulandari, C.D. 2010. Hukum Adat Indonesia suatu pengantar. Bandung: PT. Refika Aditama. Mahrida 100 BAB 7 PENGERTIAN PERSEKUTUAN HUKUM Oleh Ningrum Ambarsari 7.1 Pendahuluan Dalam orasinya, Bapak Hukum Adat Vollenhoven (2 Oktober 1901) menegaskan, bahwa untuk mengetahui hukum maka perlu diselidiki pada waktu apapun dan di daerah manapun juga sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum, dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu hidup sehari-hari. Sedangkan Ter Haar dalam bukunya “ Beginselen en Stelsel van het Adatrecht” (1939, 13-14) menulis, bahwa di seluruh Kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan bathin. Dari urai tersebut diatas dapat dikatakan bahwa badanbadan persekutuan hukum itu ada bukan berdasarkan dogma, melainkan berdasarkan atas kehidupan yang nyata dari masyarakatan yang bersangkutan. Sampai saat ini hukum adat terus hidup dan berkembang menyesuaikan volkgeistnya masyarakat. Seperti yang diungkapkannya, “law is an expression of the common counciouness of spirit of people”. Hukum tidak di buat, tetapi tumbuh dan berkembang di dalam masyrakat (Das Recht wird nicht gemacht, es it und wird mid dem V Bolke).Hal ini karena hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu sendiri (instiktif), dan jiwa bangsa (volkgeist) itulah yang menjadi sumber hukum (Savigny, 2006). Lebih jauh Ter Haar dalam bukunya “Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat di Indonesia”, dijelaskan bahwa, “Di seluruh Kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia lahir bathin.golongan-golongna itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal. Dan orang-orang dalam golongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal Ningrum Ambarsari 101 yang sewajarnya, hal menuruy kodrat alam. Tidak satupun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran golongan ini. Golongan ini mempunyai pengurus sendiri, harta benda sendiri, milik keduniawiaan milik gaib. Golongan-golongan demikianlah yang bersifat persekutuan hukum”. Berarti dapat dikatakan persekutuan hukum itu merupakan kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan yang teratur dan kekal serta memiliki pengurus sendiri dan kekayaan sendiri, baik kekayaan materil maupun kekayaan yang immaterial. Beberapa pakar berpendapat; a. Soeroyo mengatakan, Persekutuan hukum merupakan kesatuan-kesatuan yan mempunyai tata susunan yang teratur dan kekal serta memiliki pengurus sendiri dan kekayaan sendiri baik kekayaan materiil maupun imateriil. b. Djaren Saragih mengatakan, Persekutuan hukum adalah sekelompok orang-orang sebagai satu kesatuan dalam susunan yang teratur yang bersifat abadi dan memiliki pimpinan serta kekayaan baik berwujud maupun tidak berwujud dan mendiami alam hidup diatas wilayah tertentu. c. Van Vollenhoven mengartikan persekutuan hukum sebagai suatu masyarakat hukum yang menunjukkan pengertianpengertian kesatuan-kesatuan manusia yang mempunyai; tata susunan yang teratur; daerah yang tetap; penguasa-penguasa atau pengurus; dan harta kekayaan Beberapa (Ragawino, 2008) Contoh Persekutuan Hukum - Misalnya famili di Minangkabau disebut persekutuan hukum karena merupakan; tata susunan yang tetap, yaitu terdiri atas beberapa bagian ” rumah” atau “jurai”, selanjutnya jurai dikepalai oleh seorang tungganai atau mamak-kepula waris , satu jurai ini terdiri dari beberapa nenek dengan anak-anaknya (laki-laki dan perempuan) serta saudara-saudaranya , laki-laki dan perempuan; famili tersebut bertindak sebagai kesatuan terhadap famili lain, terhadap desa (nagari) dimana mereka tinggal terhadap orang-orang asing dan pemerintah atasan; famili Minangkabau mempunyai harta pusaka sendiri yang diurus oleh penghulu andiko dan mempunyai gelar family Ningrum Ambarsari 102 - yang dipakai oleh orang yang mewakili famili itu dan tidak boleh dipakai oleh famili-famili yang lain. Sampai saat ini tidak ada seorangpun yang mempunyai pemikiran atau kemungkinan pembubaran persekutuan famili Minangkabau. Persekutuan itu mungkin berakhir atau menjadi punah apabila anggotanya meninggal dunia; atau famili Minangkabau terpecah menjadi beberapa bagian menjadi famili-famili kecil dan jika anggotanya menjadi terlalu besar tetapi membubarkan kesatuan famili adalah tidak mungkin. Seorang anggota famili dapat de-facto memutuskan segala ikatan dengan familinya berhubung dia akan meninggalkan nigari, tempat tinggal familinya untuk selama-lamanya. Selain itu, seorang anggota dapat dibuang dari lingkungan famili karena berkelakuan jahat (buang sisrih, buang bilah, uang tingkarang). Persekutuan Hukum di Jawa dapat dilihat pada desa yang ada di Jawa dimana persekutuan hukum terdiri dari suatu golongan manusia yang mempunyai tata susunan tetap, mempunyai pengurus, mempunyai wilayah dan harta benda, bertindak sebagai kesatuan dari dunia luar dan tidak mungkin desa dibubarkan. (Soepomo,1983) 7.2 Macam – macam masyarakat Hukum Menurut pengertian yang dikemukakan oleh ahli hukum adat di zaman Hindia Belanda yang dimaksud masyarakat hukum adat adalah: a. Persekutuan hukum territorial Menurut pengertian yang dikekukakan para ahli Hukum Adat di zaman Hindia Belanda yang dimaksud masyarakat hukum adat atau persekutuan hukum territorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur. Ningrum Ambarsari 103 Para anggota masyarakat territorial merupakan anggotaanggota yang terikat dalam kesatuan yang teratur baik yang ke luar maupun ke dalam. Jika ada anggota yang pergi merantau untuk sementara waktu masih tetap merupakan anggota kesatuan territorial. Begitu pula orang yang dating dari luar dapat masuk menjadi anggota kesatuan dengan memenuhi persyaratan adat setempat. Menurut van Dijk persatuan hukum territorial itu dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu persekutuan desa, persekutuan daerah dan perserikatan desa. Persekutuan hukum territorial tersebut, yakni: (1) Persekutuan Desa Yakni dimana segolongan orang terikat pada suatu tempat kediaman yang meliputi perkampungan-perkampungan agak jauh dari pusat kediaman tadi, dan dimana pemimpin atau pejabat-pejabat pimpinan pergaulan hidup itu tinggal. (2) Persekutuan Daerah Yakni kesatuan dari beberapa tempat kediaman yang masing-masing tempat kediaman itu mempunya pimpinanpimpinannya sendiri yang sejenis dan sederajat, tapi tempat kediaman itu merupakan bagian dari satu kesatuan yang meliputi bagian-bagian tadi di mana kesatuan yang lebih besar mempunyai hak ulayat, terhadap tanah yang belum dibuka yang terletak antara tanah-tanah kediaman itu tadi. Contoh: Kuria di Tapanuli, yang merupakan kesatuan dari bagian-bagiannya yang disebut Huta dan tiap Huta mempunyai pimpinannya sendiri. Contoh lain dari persekutuan daerah misalnya, Minangkabau sebagai salah satu persekutuan hukum atau masyarakat hukum adat secara garis besar mengenal 3 (tiga) macam persekutuan masyarakat, yaitu nagari, suku, dan kaum. Nagari menurut Peraturan Daerah (Perda) Sumatera Barat No. 9 Tahun 2000 dan diubah Perda No. 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari, Pasal 1 huruf g menetapkan nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat di dalam daerah Provinsi Sumatera Barat yang terdiri dari himpunan beberapa suku yang mempunyai wilayah tertentu batas-batasnya, Ningrum Ambarsari 104 mempunyai harta kekayaan dan mengurus rumah tangganya dan memilih pimpinan pemerintahannya. (3) Perserikatan desa-desa Yang dimaksud dengan Perserikatan Desa adalah apabila di antara beberapa desa atau marga yang terletak berdampingan yang masing-masing berdiri sendiri mengadakan perjanjian kerja sama untuk mengatur kepentingan bersama. Misalnya kepentingan dalam mengatur pemerintahan adat bersama, pertanian dan pemasaran bersama, pertanahan bersama, kehidupan ekonomi bersama, dan lain sebagainya. Contoh dari Perserikatan Desa adalah: - Di daerah Lampung ialah Perserikatan Marga Empat Tulangbawang, yang terdiri dari marga-marga adat Buway Bolan, Tegamo'an, Suway Umpu, dan Buway Aji di Menggala Lampung Utara - Subak di Bali Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, (LN. 1975 - 56) maka ketiga bentuk desa tersebut sudah tidak ada lagi bersifat formal, melainkan berubah menjadi "desa-desa adat" yang informal.Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1979 tersebut, dikatakan sebagai berikut: "Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangga-nya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan Dusun adalah bagian wilayah dalam desa yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan desa". Dengan demikian yang dimaksud mayarakat desa menurut pandangan adalah semua penduduk (dari segala golongan) yang menempati suatu wilayah desa termasuk” masyarakat adat” sebagai satu kesatuan masyarakat yang berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum yang berlaku (termasuk hukum adat, Ningrum Ambarsari 105 yang modern yang sesuai dengan perkembangan zaman). Sedangkan dusun tidaklah berdiri sendiri melainkan hanya sebagai bagian dari wilayah desa. Berdasarkan kenyataan bagi masyarakat adat yang bersifat ketetanggaan semata-mata seperti desa orang Jawa, pengertian masyarakat desa menurut perundangundangan tersebut sudah diselaraskan, baik kewargaan adatnya, sistem kekerabatannya yang parental terbatas, kehidupan ketetanggaannya, maupun susunan pemerintahan dan perangkat desanya, dan terutama di mana yang menjadi kepaladesanya dapat merangkap kedudukannya sebagai kepala adat disamping kedudukannya sebagai kepala pemerintahan yang resmi. Susunan kepengurusan (pemerintahan adat) yang bersifat territorial menunjukan adanya jalinan hubungan kewargaan adat yang bersifat kekeluargaan dalam ketetanggaan, seperti contoh berikut: - Di daerah Aceh; dengan kekecualian daerah Gayo yang merupakan suatu desa adalah tempat kediaman yang disebut mukim atau daerah yang dahulu dipimpin oleh seorang Uluebalang. Mukim ini merupakan kesatuan dari beberapa gampong (kampung) dan atau juga menansah (Lembaga Agama). Setiap gampong dipimpin oleh keuciq sebagai kepala kampung dan Imeum (imam) atau teungku meunasah. Kepengurusan (pemerintahan Desa dari satu gampong dilaksanakan oleh keuciq dan teungku meunasah yang didampingi oleh ureung tuha (majelis tua-tua kampung). Untuk mengatur kehidupan warga adat gampong digunakan hukum adat disamping hukum Islam. - Di daerah Sumatera Selatan, yang masyarakatnya terdiri dari orang Palembang. Ogan,Pasemah,Semendo, dan Komering, yang merupakan suatu desa adalah yang disebut “marga”, sebagai kesatuan dari beberapa dusun. Diantara marga-marga itu ada yang bersifat territorial namun ada juga yang agak geneologis namun kebanyakan bersifat ketetanggaan. Kepala Marga di sini disebut Pasirah dengan gelar Pangeran atau Depati, Ningrum Ambarsari 106 - sedangkan para kepala dusun disebut Krio atau Mangku atau juga Prowatin. Para staf pembantu disebut “punggawa”, “kepala suku” (Tuwo suku). Dalam susunan yang sama juga berlaku di Pulau Bangka dan Belitung. Di pulau Jawa; Jawa dan Madura suatu desa adalah merupakan tempat kediaman yang meliputi beberapa pedukuhan. Dukuh yang utama tempat kedudukan kepala Desa disebut Krajan, sedangkan dukuh-dukuh lainnya terletak tidak begitu jauh dari pusat desa, yang hanya diselingi oleh tanah sawah atau peladangan. Setiap desa dikepalai oleh seorang kepala desa yang dijabat turun-temurun yang disebut Lurah (Kuwu, Bekel, Petinggi) dengan staf pembantunya yang disebut carik (juru tulis desa), Kami tuwa (kepala Pedukuhan), Bahu, Kebayan, Modin (urusan agama),Jjogoboyo (keamanan). Menurut Ter Haar, di Jawa Tengah dan Jawa Timur kedudukan kepala desa agak bersifat otokratis. (Ter Haar, 1960:46). Warga desa di Jawa dapat dibedakan antara lain mereka mereka yang disebut kuli kenceng (pribumi, sikep, baku, gogol), yaitu keluarga-keluarga terhormat pendiri asal desa, yang mempunyai rumah dan tanah pekarangan, sawah dan peladangan yang luas. Mereka kebanyakan merupakan sesepuh desa dan menjadi pemegang kendali pemerintahan desa. Kemudian mereka yang disebut “kuli gundul”(lindung, indung) yang hanya mempunyai rumah dan tanah pekarangan serta sedikit sawah atau perladangan, mereka merupakan tingkat kedua yang juga membantu pelaksanaan pemerintahan desa. Dan pada tingkat ketiga adalah mereka yang disebut “numpang”(nusup, flosor) yang mencari nafkah sendiri dan atau yang menjadi buruh (karyawan) bagi keluarga yang ditumpanginya. Selain bidang-bidang tanah yang dimiliki oleh keluarga-keluarga warga desa, di dalam suatu desa terdapatpula bidang-bidang tanah milik desa seperti lapangan desa (tempat pengembalaan ternak) tanah untuk keperlua ibadah,tanah pekuburan, dan Ningrum Ambarsari 107 tanah-tanah bengkok yang disediakan bagi pamong desa. Untuk mengatur keperluan desa, kepentingan sosial/agama, sekali sebulan atau sekali dalam 35 hari diadakan ”kumpulan desa” yang dihadiri oleh seluruh anggota pengurus desa, para pejabat agama(modin, ketib, lebe, alim), tua-tua adat dan tua-tua masyarakat desa, bertempat di pendopo rumah kepala desa. - Di daerah-daerah Melayu; masyarakat adat melayu tersebar bertempat kediaman di pantai timur Sumatera, mulai dari medan, Riau, Jambi dan Palembang serta Bangka Belitung; di pantai Timur Kalimantan. Termasuk pula masyarakat adat di Gorontalo yang dipimpin oleh “marsaoleh”, masyarakat dusun di Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara) yang dipimpin oleh kepala dusunnya yang disebut “kime-laha” yang melaksanakan pengurusan masyarakat desanya dibantu oleh para petugas yang disebut “probis” dan tua-tua kerabat yang disebut’guhangia”. Begitu pula dengan penduduk di kepulauan Banggai dengan kepala-kepala masyarakatnya yang disebut “tenggol”, atau juga di flores (suku-suku ngada) diantara manggarai dan Nage (Ter Haar, 1960:47) b. Persekutuan hukum Genealogis. Masyarakat atau persekutuan hukum Genealogis, adalah suatu kesatuan masyarakat yang teratur, dimana apara anggotanya terikat pada satu garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara langsung karena hubungan darah (keturunan) atau secara tidak langsung akarena pertalian perkawinan atau pertalian adat. Menurut ahli hukum adat Hindia Belanda masyarakat genealogis itu dapat dibedakan dalam 3 (tiga) macam; yaitu yang bersifat patrilineal, matrilineal dan bilateral atau parental. (1) Masyarakat Patrilineal adalah yang susunan masyarakatnya ditarik menurut garis keturunan bapak (garis laki-laki), sedangkan garis keturunan ibu diabaikan. Termasuk masyarakat Patrilineal adalah suku Batak, dimana mereka dikenali dari nama marganya (marga genealogis) misalnya, Situmorang, Sinaga Nainggolan, Ningrum Ambarsari 108 Hutauruk, Hutabarat, Siregar, Simatupang (JC.Vergouven, 1986). Sama halnya di Lampung, dengan nama marga” Buwai Nunyai, Buwai Unyi, Bawal Nuhan, Buwai Subbing, Buwai Bolan dsb (Suriyaman, 2009). Di Irian (Papua) juga dikenali dari marganya untuk 3 (tiga) suku besar yaitu Enggros Tobati, Kayu Pulo dan Kayu Batu. Hamadi, Dawir, Mano, Affar, Ababuk, Hay, Merauje dan Iwo (untuk Tobati Darat). Untuk Tobati Laut yaitu Irreuw, Hay, Injama, Merauje, hassor, Srem-Srem, Semra Peb/Amsor. Untuk kayu Pulo, Sibi dan Youwe dan untuk Kayu batu, makanuay dan Puy. (Ningrum, 2010) Kelompok masyarakat Patrilineal ada yang besar ada pula yang kecil. Masyarakat Patrilineal juga terdapat di Bali, Nusa Tenggara (Timor), Maluku dan Irian. Masyarakat Patrilineal ada yang sifatnya murni seperti di Batak dan ada yang tidak murni seperti di Lampung. (2) Masyarakat Matrilineal adalah yang susunan masyarakatnya ditarik menurut garis keturunan ibu (garis perempuan), sedangkan garis keturunan bapak (garis lakilaki) diabaikan. Yang termasuk Masyarakat Matrilineal misalnya susunan kekerabatan di Minangkabau, Kerinci, Semendo di Sumatera Selatan dan beberapa suku kecil di Timor.masyarakat ini tidak mudah dikenal, karena walaupun ada nama-nama keturunan sukunya tetapi jarang digunakan secara umum. (3) Masyarakat Bilateral atau Parental pada masyarakat ini, anggota-anggota persekutuannya menarik garis keturunan melalui orang tua. (ayah dan ibu). Jadi hubungan kekerabatan antara pihak ibu dan bapak berjalan seimbang atau sejajar. Masing-masing anggota masuk dalam, clan bapak ataupun clan ibu, seperti yang terdapat di Mollo (Timor) dan kalangan masyarakat Aceh, Melayu, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Masyarakat yang tersusun secara parental bentuk perkawinannya bebas, artinya tidak terikat pada keharusan exogami maupun endogami. Masyarakat bilateral terdiri dari: (a) Masyarakat Bilateral yang bersendikan pada kesatuan rumah tangga (gezins). Titik berat dari masyarakat itu Ningrum Ambarsari 109 terletak pada rumah tangga.Contoh: masyarakat yang berada di Jawa, Madura (b) Masyarakat bilateral yang bersendikan pada rumpunrumpun (tribe). Titik berat dari masyarakat ini terletak pada rumpun. Contoh: orang-orang Dayak di Kalimantan. (c) Masyarakat Altenerend (berganti-ganti). Adalah masyarakat di mana garis keturunan seseorang, ditarik berganti-ganti sesuai sengan bentuk perkawinan yang dilakukan oleh orang tuanya. Berarti bila perkawinan yang dilakukan oleh orangtuanya dilakukan menurut hukum keibuan, atau juga disebut Kawin Semendo, maka anak yang lahir dari perkawinan ini menarik garis keturunan dari pihak ibu, dan bila perkawinan yang dilakukan oleh salah seorang anak menurut hukum kebapaan atau disebut Kawin Jujur, maka anak yang dilahirkan dari perkawinan ini menarik garis keturunan dari pihak ayah. Kalau bentuk perkawinan yang dilakukan dengan maksud anak yang lahir dari perkawinan ini menarik garis keturunan dari kedua belah pihak atau disebut juga Kawin Semendorajo-rajo maka anak yang lahir, menarik garis keturunan dari ayah dan ibu. Bentuk ini terdapat di Sumatera Selatan yaitu di Rejang. Jadi Altenered adalah bentuk, yang tergantung kepada cara perkawinan yang dilakukan. Ada kemungkinan perkawinan putus jika didasarkan pada perkawinan kebapaan , untuk menghindari hapusnya keturunan maka diadakan perkawinan yang menyimpang yaitu semendo di mana laki-laki didatangkan. Di Indonesia, hanya terdapat beberapa daerah yang susunan masyarakatnya berdasarkan pertalian genealogis belaka, yaitu orang Gayo di Aceh dan orang-orang Pubian di Lampung. Tapi lamakelamaan orang Pubian dan Gayo ini dipengaruhi oleh ikatan territorial. Jadi pada umumnya masyarakat atau persekutuan hokum genealogis murni tidak ada lagi. Ningrum Ambarsari 110 c. Persekutuan hukum genealogis – territorial Merupakan persekutuan hukum di mana baik faktor geneologis maupun teritorial menjadi dasar pengikat antara anggotaanggota kelompok. Dalam persekutuan ini, golongan yang satu keturunan, yang bertempat tinggal, dalam persekutuan hukum itu terputus pertalian hukumnya dengan teman-temannya seketurunan di tempat lain. (1) Persekutuan hukum yang susunan masyarakatnya bersifat persatuan antara keturunan dan teritorial dapat dibedakan antara lain: Seperti yang terdapat di Pulau Enggano, Buru, Seram, di mana satu daerah hanya didiami oleh satu clan saja, clan yang lain tidak ada di daerah itu. Daerah yang ada di sekitarnya pun hanya didiami oleh satu clan saja. (2) Seperti Huta di Tapanuli di mana huta itu pada mulanya hanya didirikan oleh satu clan saja. Kemudian ada marga lain datang ke wilayah tersebut dan menjadi anggota huta . tetapi sebagai penguasa tanah tetaplah marga yang mendirikan huta itu. Antara marga yang datang dan marga pertama ada hubungan perkawinan yang erat. (3) Seperti yang terdapat di Sumba Timur dan Sumba Tengah, di mana satu daerah mula-mula hanya didiami oleh satu clan. Kemudian datang clan lain menguasai daerah itu dan kedua clan tersebut berdamai, bersama sama menjadi anggota persekutuan. Kekuasaan pemerintahan dikuasai oleh clan yang datang, sedang tanah dikuasai oleh clan yang asli. (4) Seperti di Minangkabau, di mana dalam suatu daerah yaitu Nagari, golongan yang menumpang dari golongan yang berkuasa tidak ada perbedaan. Semua golongan bertempat tinggal dalam suatu Nagari dan mempunyai kedudukan yang sama, dan sama-sama menjadi anggota persekutuan. (5) Seperti yang terdapat di Rejang, di mana dalam suatu dusun ditempati beberapa clan. Clan yang satu dengan clan yang lain tidak ada hubungan famili. Seluruh daerah menjadi daerah bersama yang tidak dibagi-bagi. Pada kelima bentuk persekutuan tadi, cara menarik jenis keturunannya ada perbedaan yang berarti sifat genealogisnya berbeda-beda, misalnya Minangkabau – Ningrum Ambarsari 111 genealogisnya adalah Matrilineal, sedang di daerah lain Patrilineal. Ningrum Ambarsari 112 DAFTAR PUSTAKA A.Suriyaman Mustari Pide. 2009. Hukum Adat Dulu, Kini dan Akan Datang, Pelita Pustaka, Makassar. Bushar Muhammad, 2002, Asas-Asas Hukum Adat, PT Pradnya Paramita, Jakarta Ningrum Ambarsari, 2010, Urgensi Kepastian Hukum atas tanah bagi Investor di Provinsi Papua (Jayapura), (Tesis) Soerojo Wignjodipoero. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat /Soerojo Wignjodipoero. Jakarta :: Haji Masagung,, 1995 Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, PT Alumni, Bandung. Ragawino, B. 2008. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat Indonesia (p. 129). Retrieved from https://pustaka.unpad.ac.id/wpTer Haar Bzn,1960, Beginselen en Stelsel van het Adatrecht Ningrum Ambarsari 113 BAB 8 HUBUNGAN INDIVIDU DENGAN MASYARAKAT Oleh Iwan Henri Kusnadi 8.1 Masyarakat Hukum Adat Secara umum kedudukan manusia sebagai makhluk sosial seperti yang dikemukakan oelh Aristoteles yang menyebutkan bahwa manusia merupakan "zoon politicon" yang maknanya bahwa merupakan makhluk hidup, pada dasarnya manusia yang selalu ingin berkumpul dengan manusia lainnya. Dalam hal ini terbentuknya suatu kelompok manusia disebabkan oleh kodrat manusia itu sendiri sebagai makhluk sosial dimana selalu ingin hidup berkelompok yang selalu berinteraksi dengan makhluk lainnya. Dalam hal ini untuk menciptakan sebuah keteraturan hidup dalam kelompok manusia tersebut, maka mereka menetapkan suatu norma hukum atau suatu rangkaian ketentuan atau peraturan yang sesuai dengan falsafah hidup yang dianutnya, yang berfungsi sebagai arah atau pedoman tingkah laku bagi setiap anggota kelompok dalam pergaulan hidup mereka. Eksistensi kelompok orang-orang atau manusia yang hidup secaara teratur dalam sebuah wilayah tertentu tersebut biasa dikenal dengan istilah masyarakat hukum. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan masyarakat hukum yakni sekelompok orang yang hidupnya berada dalam suatu wilayah tertentu kemudian di dalam kelompok tersebut berlaku sebuah rangkaian peraturan yang menjadi pedoman tingkah laku bagi setiap anggota kelompok dalam pergaulan hidup mereka. Jadi berdasarkan sifatnya, bentuk serta susunan masyarakat hukum yang merupakan sebuah persekutuan hukum adat yang dapat dibedakan menjadi dua, yakni masyarakat hukum atau persekutuan hukum teritorial, yakni masyarakat yang tetap serta teratur, dimana anggota-anggota masyarakatnya terikat pada sebuah daerah kediaman tertentu, disini baik dalam hubungan duniawi sebagai tempat kehidupan Iwan Henri Kusnadi 114 mereka maupun dalam kaitan dengan rohani yang merupakan tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur mereka. Masyarakat hukum atau persekutuan sebuah hukum genealogis, yakni suatu kesatuan masyarakat yang sangat teratur, di mana para anggotanya terikat dalam suatu garis keturunan yang sama dari satu leluhurnya, dalam hal ini baik secara tidak langsung karena pertalian pernikahan atau pertalian adat. Kemudian apabila ditinjau dari hubungan yang diciptakan anggotanya, maka suatu masyarakat hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : 1) Masyarakat paguyuban (gameinschapt), yakni masyarakat yang hubungan dengan anggotanya sangat erat, yang bersifat pribadi, serta terjadi ikatan batin di antara para anggotanya tersebut. Sebagai contoh : keluarga, perkumpulan dengan didasarkan pada suatu kesamaan tertentu; 2) Masyarakat petembayan (gesellschapt), yakni masyarakat yang hubungan antar semua anggotanya tidak begitu erat, tidak bersifat pribadi, serta tidak ada ikatan batin di antara para anggotanya. Dalam hal ini masyarakat terbentuk yang dikarenakan adanya bentuk kepentingan dansuatu tujuan yang sama. Sebagai contoh seperti : negara. Pemahaman terhadap masyarakat hukum adat merupakan sebuah kesatuan masyarakat yang bersifat teritorial atau genealogis yang memiliki kekayaan sendiri, yakni memiliki warga dimana dapat dibedakan dengan warga masyarakat hukum lain serta dapat bertindak ke dalam atau ke luar sebagai suatu kesatuan hukum (subjek hukum) yang bersifat mandiri serta memerintah diri mereka sendiri. Dalam hal ini secara faktual, eksistensi atau keberadaan masyarakat hukum adat khususnya di Indonesia telah ada semenjak jaman dahulu kala. Keberadaan seluruh masyarakat hukum adat di Indonesia diakui keberadaannya oleh Pemerintah Negara Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, dalam pasal 18 B ayat (2) mengemukakan bahwa "negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan mayarakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang". Pasal 26 I ayat (3), yang menyatakan bahwa "identitas budaya dan ha masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan Iwan Henri Kusnadi 115 peradaban". Secara khusus dapat dikemukakn disini bahwa konsep masyarakat hukum adat pertama kali diperkenalkan oleh Cornelius van Vollenhoven, kemudian diantara muridnya yakni Ter Haar, konsep masyarakat hukum adat ini digali lebih mendalam, sehingga ditemukan suatu pengertian tentang masyarakat hukum adat sebagai berikut : Masyarakat hukum adat merupakan kelompok masyarakat yang sangat teratur, yang menetap di suatu daerah tertentu, yang mempunyai kekuasaan sendiri, serta mempunyai kekayaan sendiri baik yang berupa benda yang dapat terlihat maupun yang tidak dapat terlihat, dalam hal ini semua anggota kesatuan masing-masing tersebut mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang dianggap wajar berdasarkan kodrat alam serta tidak seorangpun di antara para anggotanya memiliki pikiran atau kecenderungan dalam hal membubarkan ikatan yang telah tumbuh tersebutr dengan kata lain meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya. Didalam Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Bab I Pasal 1 butir 31, yang dikemukakan bahwa masyarakat hukum adat ialah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Dalam hal ini juga dikemuakakn oleh Masyarakat Adat Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, mengemukakan bahwa masyarakat adat ialah komunitas yang memiliki asal usul leluhur secara turun temurun yang hidup dalam suatu wilayah geografis tertentu, kemudian memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya serta sosial yang khas. Dalam masyarakat ini masing memegang sebuah nilainilai tradisi yang berlaku dalam sistem kehidupannya. Kemudian didalam Kongres I Masyarakat Adat Nusantara pada tahun 1999, dibahas juga bahwa masyarakat yakni komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul secara dalam keadaan turun-temurun didalam suatu wilayah adat, dimana memiliki kedaulatan atas tanah serta kekayaan alam, kemudian kehidupan sosial budayanya Iwan Henri Kusnadi 116 diatur melalui hukum adat serta sebuah lembaga adat dalam mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. Dalam hal ini juga United Nations Economic and Social Council, mengemuakakan dimana masyarakat adat merupakan kondisi dimana suku-suku dan bangsa yang karena mempunyai kelanjutan historis dengan masyarakat sebelum masuknya penjajah di wilayahnya, kemudian menganggap dirinya berbeda dari kelompok masyarakat lainnya yang hidup di wilayah mereka. Bila melihat ciri-ciri yang dimiliki oleh Masyarakat Hukum Adat. Jadi dengan melihat beberapat pendapat diatas, dapat dikemukakan bahwa kriteria masyarakat hukum adat sebagai berikut : adanya masyarakat yang sudah teratur, kemudian menempati suatu wilayah tertentu, adanya kelembagaan, dimilikinya kekayaan Bersama, adanya susunan masyarakat yang berdasarkan pada pertalian darah atau lingkungan daerah serta hidup secara komunal serta gotong royong. Kemudian pendapat F.D. Hollenmann dalam bukunya yang berjudul "De Commune Trek in Bet Indonesische Rechtsleven" mengemukakan dimana terdapat empat sifat umum dalam masyarakat adat, yakni : adanya sifat magis religious, yakni sebuah pola pikir yang didasarkan pada keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sacral; serta sifat komunal (commuun), yakni masyarakat mempunyai asumsi dimanaa pada setiap individu, kemudian anggota masyarakat tersebut menjadi bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan; sifat konkrit, yaitu sebagai corak yang serba jelas atau nyata. Hal ini berarti menunjukkan dimana setiap hubungan hukum itu terjadi dalam masyarakat tidak dilakukan dengan diam-diam atau samar; dalam hal ini sifat kontan (kontane handeling), yakni keserta-mertaan terutama dalam pemenuhan prestasi. Umumnya didalam setiap pemenuhan prestasi itu selalu dengan kontra prestasi yang diberikan secara serta merta; Keraf, menyebutkan beberapa ciri yang membedakan masyarakat adat dari kelompok masyarakat lain, yaitu : a) Mereka berada dan mendiami tanah-tanah milik nenek moyangnya, baik seluruhnya maupun sebagian. b) Mereka mempunyai sebuah garis keturanan yang cenderung sama, yang berasal dalam penduduk asli daerah tersebut. Iwan Henri Kusnadi 117 c) Mereka mempunyai suatu budaya yang khas, dimana yang menyangkut agama, sepenuhnya sistem suku, cara hidup, pakaian, tarian, peralatan hidup sehari-hari, termasuk untuk mencari nafkahnya. d) Mereka mempunyai sebuah bahasa sendiri. e) Biasanya hidup terpisah dari kelompok masyarakat lainnya serta menolak atau bersikap hati-hati dalam hal-hal baru yang berasal dari luar komunitasnya. Suhandi, menyebutkan bahwa sifat-sifat dan ciri-ciri umum yang dimiliki masyarakat adat adalah sebagai berikut : a) Hubungan atau ikatan masyarakat dengan tanah sangat erat. b) Sikap hidup serta tingkah laku yang magis religius. c) Adanya kebiasaan hidup bergotong-royong. d) Memegang nilai-nilai tradisi dengan kuat. e) Keboiasaan menghormati para sesepuh. f) Adanya kepercayaan pada pimpinan lokal dan tradisional. g) Organisasi kemasyarakatan yang relatif statis. h) Tingginya nilai-nilai sosial yang dimilikinya. Didalam ketentuan yang tertuang dalam Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menyebutkan bahwa keberadaan masyarakat hukum adat menurut kenyataannya memenuhi unsur-unsur : a) Kondisi masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban. b) Memiliki kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasaan adatnya. c) Keberadaan wilayah hukum adat yang jelas. d) Memiliki pranata serta perangkat hukum yang khususnya peradilan adat yang masih ditaati. e) Adanya pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Beberapa Masyarakat Hukum Adat di Indonesia sebagai berikut : a) Susunan kekerabatannya kebapakan (patrilinial), yakni masyarakat dimana kekerabatannya mengutamakan keturunan garis laki-laki. Iwan Henri Kusnadi 118 b) Masyarakat adatnya memiliki susunan kekerabatannya keibuan (matrilinial), yakni masyarakat yang kekerabatannya lebih mengutamakan keturunan garis perempuan. c) Masyarakat adat dimana bersendi keibu-bapakan (parental), yakni masyarakat dengan kekerabatannya tidak mengutamakan keturunan laki-laki termasuk perempuan. d) Keadaan masyarakat adat yang besendi kebapakan beralih (alternatif), yakni kekerabatan yang mengutamakan garis keturuan pada laki-laki namun adakalanya mengikuti garis keturunan perempuan mengingat adanya faktor pengaruh lingkungan waktu dan tempat. Sekelompok ahli yang berpandangan sama, dimana kelompok ahli lain berpandangan berbeda dalam meihat konsep masyarakat adat dan konsep masyarakat hukum adat. Untuk kelompok ahli dengan berpandangan dimana pemahaman masyarakat hukum adat berbeda dengan masyarakat adat, mereka beralasan bahwa : 1. Dalam konsep masyarakat adat (yang merupakan padanan dari indegeneous people) merupakan pengertian untuk menyatakan masyarakat tertentu dengan ciri-ciri tertentu. Dala istilah masyarakat adat lazim diungkapkan dalam bentuk bahasa sehari-hari oleh kalangan non hukum dengan mangacu pada sejumlah kesepakan internasional. 2. Dalam konsep masyarakat hukum adat (yang merupakan padanandari rechtgemeenschapt atau adatrechtgemeenschapt) ini merupakan pengertian teknis yuridis dengan merujuk pada sekelompok orang yang selalu hidup dalam suatu wilayah (ulayat) tempat tinggal serta lingkungan kehidupan tertentu, selalu memiliki kekayaan serta pemimpin yang bertugas dalam menjaga kepentingan kelompok baik keluar juga ke dalam, serta memiliki tata aturan (sistem) hukum dan pemerintahan. 8.2 Hubungan Individu dengan Masyarakat Istilah “individu” berasal dalam kata latin, yaitu individiuum, “berarti “yang tak terbagi”. Dengan demikian merupakan sebuah sebutan yang dapat dipakai dalam menyatakan suatu kesatuan yang Iwan Henri Kusnadi 119 paling kecil serta terbatas. Kemudian dalam ilmu sosial ini bahwa paham individu sangat menyangkut pada tabiatnya dengan kehidupan jiwanya yang majemuk, memegang peranan dalam pergaulan hidup manusia. Pandangan umumnya dalam ilmu sosial, bahwa individu menekankan pada penyelidikan kepada sebuah kenyataan – kenyataan hidup yang lebih istimewa, dimana yang tak seberapa hal sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Dalam kehidupan individu sangat berkaitan dengan kehidupan keluarga. Dalam hal keluarga hal ini juga dikenal dalam kehidupan sosial yang mana diartikan merupakan suatu satuan sosial terkecil yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial, kemudian ditandai adanya kerja sama yang dominan dalam bidang ekonomi. Biasanya fungsi keluarga lebih pada meneruskan keturuan, upaya mensosialisasi atau mendidik anak-anak, sifat menolong, termasuk melindungi dengan merawat orang – orang tua (jompo). Kemudian dalam hubungannya dengan masyarakat dapat dikemukakan istilah dalam bahasa Inggris masyarakat dikenal dengan istilah society, berasal daril kata socius yang berarti kawan. Istilah “Masyarakat” berasal dari bahasa Arab, yakni syirk, yang maknanya bergaul. Jadi adanya saling bergaul ini tentu karena wujud dari ada bentuk – bentuk aturan hidup, yang bukan disebabkan oleh manusia sebagai perseorangan, tetapi oleh unsur – unsur kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang merupakan kesatuan. Para ahli lainnya seperti Maclver, J.L. Gillin, dan J.P. Gillin sepakat, jadi adanya saling bergaul dan interaksi mengingat mempunyai keragaman nilai – nilai, beberapa norma, sekaligus cara – cara, sekalaigus prosedur yang merupakan sebuah kebutuhan bersama sehingga masyarakat itu merupakan suatu kesatuan hidup manusia yang saling berintaraksi menurut suatu sistem adat-istiadat yang diatur secara tertentu, kemudian memiliki sifat yang berkesinambungan atau kontinyu serta terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Dalam hal ini untuk arti yang lebih khusus masyarakat ini disebut pula sebagai kesatuan sosial, mempunyai ikatan – ikatan kasih sayang yang selalu erat. Umumnya bahwa mirip jiwa manusia; pertama melalui kelakuan serta perbuatannya sebagai sebuah penjelmaannya yang lahir, kemudian kedua melalui pengalaman batinnya dalam roh manusia secara perseorangan sendiri. Dimunglkinkan bisa memperoleh “superioritas”, merasakan sebagai sesuatu yang merasa lebih tingi nilainya daripada jumlah bagian–bagiannya. Jadi sesuatu Iwan Henri Kusnadi 120 yang “kokoh-kuat”, suatu perwujudan pribadi bukan di dalam, melainkan dari luar, bahkan di atas diri kita. Dalam hal ini secara umum adanya aspek organis-jasmaniah, psikis-rohaniah, serta sosial kebersamaan yang sangat melekat pada individu, mengakibatkan bahwa pada kodratnya ialah untuk memnuhi hidup bersama kehidupan manusia lainnya. Dalam hal ini lain dengan hewan, kolektivitas tersebut bersifat naluriah, perlu diketahui bahwa pada manusia, di samping rohaniah juga karena adanya nalar yang kuat, menimbulkan kesadaran membagi suatu peranan dalam hidup dalam berkelompok sehingga perjuangan hidupnya itu menjadi sangat ringan. Dalam hal ini Durkheim menyebutkan bahwa kebersamaannya dapat dinilai sebagai suatu “mekanistis”, juga merupakan solidaritas “organis”, yakni lebih atas dasar yang saling mengatur. Disamping itu kepentingan pada individual, dalam hal ini diperlukan suatu tata hidup dengan mengamankan kepentingan komunalnya untuk kepentingan kesejahteraan bersama yang ingin dicapainya. Dalam perangkat tatanan kehidupan bersama yang menurut pola tertentu kemudian terus berkembang menjadi apa yang dikenal sebuah “pranata” sosial” atau abstraksi yang dilihat lebih tinggi lagi, kemudian dinamakan “kelembagaan” atau dengan sebutan “institusi”. Bila kita lihat pada posisi individu barulah individu apabila pada pola perilakunya dengan khas dirinya itu diproyeksikan dalam suatu lingkungan sosial atau disebut masyarakat. Dalam hal kekhasan atau penyimpangan merupakan pola perilaku kolektif menjadikannya individu tersebut. Dalam hal ini menurut relasi dengan keadaan lingkungan sosialnya itu bersifat lebih majemuk serta simultan. Dengan demikian melalui individu tersebut dituntut kemampuan untuk membawa dirinya selalu harus konsisten, kemudian tanpa kehilangan pada identitas nilai etisnya. Dengan demikian relevan dengan relasi – relasi itu sesaat antara dirinya dengan berbagai perubahan lingkungan sosialnya itu sendiri. Pada satuan – satuan lingkungan sosial tersebut melingkari individu yang terdiri dari keluarganya, termasuk lembaga, komunitas, suatu masyarakat, dan nasion atau bangsa serta negara. Dalam individu ini mempunyai “karakter”, dimana satuan lingkungan mempunyai “karakteristik” sendiri dimana setiap kali berbeda fungsinya, struktur, peranan, kemudian termasuk proses– proses yang selalu berlangsungyang ada didalam dirinya. Dalam hal posisi, peranan serta Iwan Henri Kusnadi 121 tingkah lakunya tersebut diharapkan bisa sesuai dengan tuntutan setiap satuan lingkungan sosial dalam situasi tertentu. Jadi bila didalami bahwa masyarakat merupakan suatu satuan lingkungan sosial yang bersifat makor. Dalam aspek teritorium dalam hal ini kurang ditekankan. Bila dilihat dari sisi lain aspek keteraturan sosial serta wawasan hidup kolektif memperoleh bobot yang lebih besar. Dalam hal ini kedua aspek itu menunjukkan pada derajat integrasi masyarakat itu sendiri karena keteraturan esensial serta hdup kolektifnya sangat ditentukan oleh kemantapan pada unsur–unsur masyarakat yang terdiri dari mulai pranata, adanya status, serta pada peranan individu itu sendiri. Jadi dapat dipahami bahwa variabel– variabel tersebut sangat dipakai dalam mengkaji dan menjelaskan fenomena masyarakat menurut persepsi makro termasuk dalam kenyataan dalam hukum Adat di Indonesia. Dalam hal sifat makro ini diperoleh dari kenyataan, yang mana masyarakat itu pada hakiaktnya terdiri dari keadaan dari sekian banyak komunias yang berbeda-beda. Dalam hal ini sekaligus mencakup pada berbagai macam keluarga, lembaga dan individu–individu itu sendiri. Dalam hal ini hubungan individu dengan masyarakat didalam persepsi makro lebih bersfiat sebagai abstraksi. 8.3 Kekhususan Hubungan Individu dengan Masyarakat Ditinjau Dari Sisi Nilai-Nilai Dalam Hukum Adat Di Indonesia Karakteristik keagamaan Bangsa Indonesia sangat terkenal dengan bangsa yang religious karena sebagian besar penduduk beragama Islam. Keadaan sosial ini sangat menjiwai kehidupan nilai-nilai hukum yang diciptakannya, yakni Hukum Adat. Dalam hal perbuatan hukum seperti pembukaan tanah, dalam perkawinan tampak jelas disini adanya sifat religius tersebut. Dalam hal ini berbeda dengan hukum di negara-negara barat yang berpusat pada individu, maka hukum adat berpusat kepada masyarakat. Kepentingan bersama lebih diutamakan, sedangkan kepentingan individu diliputi oleb kepentingan bersama (artinya bermuatan publik). Dapat dipahami hal itu dapat dilihat misalnya dalam kebiasaan rumah gadang dan tanah pusaka di Minangkabau, tanah adat di Ambon, tanah Karang Desa dan Ayahan Iwan Henri Kusnadi 122 Desa di Bali. Namun demikian pengutamaan kepentingan bersama itu bukan berarti kepentingan perorangan diabaikan. Dalam hal ini Hukum Adat pada hakekatnya merupakan suatu tradisi juga, yakni praktek kehidupan suatu warga masyarakat dalam kehidupan pergaulan hidup bermasyarakat yang dianggap oleh mereka dianggap benar oleh norma-norma yang diciptakannya sendiri sekaligus diberi daya memaksa dengan sanksi dalam hal pihakpihak yang melanggarnya, kemudian norma yang dipraktekkannya tersebut berasal dari sebuah warisan masa lalu mereka yang selalu terus diperbaharui dengan diadakan reinterpretasi sehingga diangap sesuai dengan tuntutan jaman serta keadaan sekaligus perubahan masyarakat. Jadi bila kita amati bahwa tidak dikodifikasi Hukum Adat kebanyakan tidak tertulis, walaupun ada yang tertulis seperti awig-awig di Bali. Dalam hal ini bentuknya yang tidak tertulis maka jelas mudah berubah menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakatnya. Dalam hal ini jika mereka menginginkannya dilakukan musyawarah dan mufakat Hukum Adat yang lebih mementingkan musyawarah serta mufakat dalam melakukan perbuatan serta hubungan hukum di dalam keluarga, kekerabatan serta masyarakat bahkan dalam penyelesaian sengketa yang terjadi didalam masyarakat. Didalam hukum adat maka hukum rakyat secara kebiasaan yang kuat pembuatnya itu rakyat sendiri, lalu kemudian mengatur kehidupan mereka sendiri yang terus menerus berubah serta berkembang malalui keputusankeputusan atau penyelesaian-penyelesaian yang dikeluarkan oleh masyarakatnya sebagai temu rasa dan temu pikir lewat musyawarah antar mereka. Dalam hal-hal lama yang tidak dipakai diubah atau ditinggalkan secara tidak mencolok. Jadi beberapa kebersamaan, tradisional, dinamis, plastis, tidak dikodifikasikan, musyawarah serta mufakat merupakan saling berkaitan dan saling mendukung satu sama lain. Musyawarah dan Mufakat Hukum Adat sangat mementingkan musyawarah yang sekaligus mufakat dalam melakukan perbuatan serta hubungan hukum di dalam keluarga, termasuk didalam kekerabatan dan masyarakat bahkan dalam penyelesaian sengketa yang dihadapinya. Iwan Henri Kusnadi 123 8.4 Kesimpulan Di Indonesia hukum adat sangat kompleks. Dalam hukum adat dimaksud dikenal norma-norma yang bersumber individu manusia dan masyarakatnya yang selalu berkembang. Hukum adat juga menyangkut seperangkat nilai-enilai yang berwujud pada berbagai peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Bentuknya sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh masyarakat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi). Jadi keberadaan hukum adat itu pada umumnya belum atau tidak tertulis. Didalam hukum adat ini kehidupan individu terutama diperuntukkan buat mengabdi kepada masyarakat. Dalam pengabdian kepada masyarakat inilah dimana oleh individu tidak dirasakan sebagai sebuah beban, yang diberikan kepadanya oleh suatu kekuasaan yang berdiri di luar dirinya. Jadi pengabdian lebih tidak bersifat "pengorbanan" yang harus diberikan oleh individu tersebut untuk kebaikan umum. Jadi kesadaran ini merupakan sebagai kewajiban kemasyarakatan itu semata mata merupakan fungsi yang sewajarnya dari kehidupan manusia dan sebaliknya pada individu pada posisi sebagai anggota masyarakat, mempunyai pula hak hak yang bersifat melekat. Dalam hak-hak ini kemudian didalam cara berpikir serta bersikap umumnya lebih pada hak-hak kemasyarakatan. Hal ini berarti bahwa hak-hak yang diberikan itu kepada individu berhubungan dengan tugasnya dalam masyarakat itu sendiri. Iwan Henri Kusnadi 124 DAFTAR PUSTAKA Bushar Muhammad. 1981. Asas-Asas hukum Adat. Jakarta : Pradnya Paramitha. Dewi Wulansari. 2010. Hukum Adat Indoneisia: Suatu Pengantar. Bandung : PT Refika Aditama. Effendy. 1994. Pengantar Hukum Adat. Semarang : CV Tradan Jaya. Freddy Tangker,et al. 2011. Azas-Azas dan tatanan Hukum Adat. Bandung : Mandar Maju. Hilman H. 1992. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju : Bandung. Mustari,Suriyaman. 2009. Hukum Adat kini dulu dan akan datang.Makassar:Pelita Pustaka. Soejono Soekanto, et.al. 1986. Hukum Adat Indonesia. Jakarta : CV Rajawali. Soepomo. 1989.. Hukum Adat. (Jakarta : PT Pradnya Paramita) Sri Warjiyati. 2006. Memahami Hukum Adat. Surabaya : IAIN Surabaya. Iwan Henri Kusnadi 125 BAB 9 HUKUM ADAT DAN REALITAS PENGHIDUPAN Oleh Mohsi 9.1 Pendahuluan Realitas kehidupan dibentuk oleh akal budi manusia. Secara kodrati manusia dalam lingkungan komonitas sosial tidak dapat hidup menyendiri, manusia memerlukan kerjasama dengan manusia lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Nilai-nilai yang dibentuk oleh akal budi manusia menjadi hukum, bahkan menjadi ketentuan sakral. Terdapat dua nilai dalam diri kehidupan manusia yang terlembagakan melalui kelompok masyarakat dan membudaya. Nilai tersebut oleh Kluchohn dibagi menjadi dua tingkatan; Nilai primer dan nilai sekunder. Nilai primer memiliki sifat abstrak yang ada dalam karakter masyarakat. Seperti kejujuran, kebijaksanaan, keadilan, keagungan budi, serta kebajikan hati. Sedangkan nilai-nilai sekunder merupakan nilai-nila konkret yang terimplimentasi dalam kehidupan realitas. Kejujuran dapat terimplementasi dalam bentuk kepemimpinan dan organisasi. Nilai kebijakan dan kebijaksanaan dapat terealisasi dalam bentuk pengambilan keputusan dalam sebuah oraganisasi. Nilai-nilai primer menjadi penentu dalam realitas penghidupan manusia. Kmunitas masyarakat akan tampak memiliki akal budi luhur, apabila abstraksi nilai dapat direalisasikan dalam bentuk penghidupan yang konkret. Ada istiadat kehidupan manusia ditentukan oleh sejauh mana kebaikan dari nilai-nila primer. Perbuatan manusia dalam kehidupannya, berbanding lurus dengan nilai-nilai agung yang mengabstraksikan kehidupan. Penghidupan manusia lazimnya diturut atau dilakukan sejak dahulu kala, yang kemudian membentuk sebuah keyakinan dan hukum. Wujud gagasan dari sebuah kebudayaan yang merefleksikan nilai-nilai luhur lalu membentuk sebuah isstem dalam komunitas sosial. Dengan demikian realitas penghidupan manusia, ditentukan oleh adat dan tata aturan yang melingkupinya. Mohsi 126 Hukum adat memberikan kontribusi pada kualitas kehidupan manusian. Banyak persoalan masyarakat yang mampu diatasi oleh hukum adat (Lastuti Abubakar, 2013). Apalagi tidak semua persoalan masyarakat bisa diselesaikan melalui normatif yuridis undang-undang. Oleh karenanya, hukum adat memberikan dampak besar bagi segala aktivitas penghidupan masyarakat, dimanapun dan sampai kapanpun masyarakat itu berada. Dengan demikian itu, hukum adat masih menjadi bagian kehidupan masyrakat di daerah (Grijns, 2018), tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan hukum adat membentuk kedewasaan masyarakat dan kebijaksanaan masyarakat. 9.2 Hukum Adat dan Kehidupan Ada beberapa ragam yang menjadi pedoman hidup sebuah masyarakat (Susylawati, 2013). Ada norma hukum, norma agama, dan norma budaya. Norma hukum menjadi norma penting. Norma hukum ada yang tertulis, ada pula yang tidak tertulis. Norma hukum tidak tertulis terlembagakan menjadi hukum adat. Hukum adat menjadi bagian penting dalam membentuk kepribadian masyarakat yang berkarakter. Karena Indonesia memiliki cultur yang beragam dan majemuk. Maka Adat yang dimiliki oleh daerahdaerah adalah berbeda-beda, meskipun dasar serta sifatnya satu yaitu ke-Indonesiaannya (Susylawati, 2013). Keberagaman Indonesia melahirkan dua sisi yang saling berhadapan. Antara kekuatan dan kelemahan. Kekuatan Indonesia atas keragaman tampak ketika terwujud rasa kebangsaan dan persatuan. Sebaliknya, akan tampak seperti bencana ketika benihbenih pengahncuran muncul dan melebur dalam pluralisme budaya dan agama di Indoneisa (Masyithoh, 2016). Sensitifitas SARA menjadi bagian dari adanya kelemahan dan bencana bagi keberagaman Indonesia. Meskipun masyarakat Indonesia tampak memiliki budi luhur dan kebudayaan yang agung, akan tetapi sensitifitas SARA menjadi hal yang selalu muncul dalam kehidupan plural indonesia. Adat memiliki peranan penting dalam mengatur realitas kehidupan bangsa Indonesia. Demikain itu karena pioner terbentuknya bangsa Indonesia adalah adanya kearifan lokal yang Mohsi 127 hidup dalam setiap kehidupan pluralistik dan kehidupan sosial yang beragam. Menjadi sangat rasional ketika peranan adat tidak bisa lepas dari sendi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam lingkup Indonesia. Van Vollenhoven menyebutkan bahwa adat menyebutkannya sebagai keseluruhan aturan tingkah laku positif yang secara langung memiliki sanksi. Meskipun kadangkala sanksi yang didapatkan tidak secara tegas tertulis dalam postgulat hukum adat. 9.3 Hukum Adat dan Masyarakat Masyarakat merupakan sebuah komunitas makhlkuk hidup yang memiliki sistem hidup dan memiliki ikatan yang kuat dengan sistem yang disepakati oleh masyarakat secara bersama-sama. Komunitas masyarakat memiliki tradisi tertentu, konvensi, serta adanya hukum yang mengikat pada masyarakat. Kehidupan masyarakat memiliki kolektifitas sosial dan konektivitas sosial yang mengarah pada sebuah sistem sosial yang positif demi terwujudnya kesejahteraan dan ketenteraman sosial. konektivitas sosial yang dibangun oleh masyarakat dapat menjadi terintegrasi apabila satu sama lain saling memberikan peranan yang sinergi dalam menciptakan kehidupan sosial yang baik dan produktif. Hukum adat dan masyarakat seringkali dipersepsikan sebagai sebuah satu kesatuan yang tidak bisa terlepaskan. Keduanya saling memberikan peranan dalam mewujudkan sistem sosial yang baik dan berkarakter. Adat adalah satu alat yang dapat membentuk masyarakat yang berbudaya. Sedangkan masyarakat dapat melestarikan adat agar tetap berbudaya dan tetap terjaga dalam kehidupan masyarakat. Sehingga adat dan masyarakat menjadi bagian penting yang tak dapat dipungkiri sinergitasnya. Jika demikian maka adat dan masyarakat akan saling mengikat dan menguatkan, baik dalam ihwal konservasi budaya maupun dalam ihwal pendewasaan masyarakat agar lebih berbudaya dan beradab. Sebaga negara yang memiliki populasi kuat akan kebudayaannya, Indonesia memiliki tantangan besar dalam ihwal kehidupan adat dan hukum adat. Semakin bertambahnya umur sebuah negara, aspek-aspek penting dari kehidupan masyarakat akan mengalami banyak tantangan-tantangan kuat, bahkan Mohsi 128 acapkali juga mengancam eksistensi hukum adat yang positif dan produktif. Dengan demikian, Indonesia harus memiliki perangkat regulasi yang kuat demi terwujudnya masyarakat yang tetap merestorasi bentuk kebudayaan yang telah lama hidup pada kehidupan masyarakat Indonesa yang beragam budaya ini. UUD 1945 menjadi landasan kuat atas eksistensi hukum adat sebuah daerah di Indonesia. Pada pasal 18 B UUD 1945 disebutkan secara jelas bahwa hukum adat itu diakui dan dihormati, karena termasuk dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta memiliki relevansi dengan prinsip negara kestuan Republik Indonesia. Ini menandakan bahwa Indonesia masih sangat menjunjung tinggi aspek-aspek hukum adat yang menopang sistem hukum pancasila. Hukum adat dan hak-hak masyarakat adat memiliki konsekuensi pada kuatnya sistem bernegara di Republik Indonesia. Oleh karena itu, secara legal konstitusional masyarakat dan hukum adat mendapatkan pengakuan dan dilegitimasi sebagai satu kesatuan sistem yang hidup pada kehidupan masyarakat Indonesia. Hukum adat sejatinya tidak selalu linier dengan sistem hukum nasionaol. Ada hukum adat sudah tidak lagi memiliki relevansi dengan UU nasional, sehingga tidak secara mutlak hukum adat yang hidup pada masyarakat dapat didukung oleh undangundang nasional. Dengan demikian UU yang dicetuskan oleh negara harus secara selektif memberikan ruang atau tidak terhadap hukum adat yang hidup pada masyarakat. Hukum adat menjadi bagian penting dalam realitas kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan dan moralitas. Indonesia memiliki tanggung jawab besar dalam merestorasi dan merawat kehidupan hukum adat yang positif, sehingga tidak terkikis oleh sistem sosial baru yang dapat merusak eksistensi hukum adat. Indonesia yang berdiri di atas keragama identitas, tentu setiap daerah memiliki hukum adat tersendiri yang mewakili daerahnya (Kristiono, 2017). Kekayaan hukum adat ini menjadi karakter hukum di Indonesia dan membentuk sebuah konstruksi hukum yang mampu memayungi segenap daerah yang sangat heterogen. Hukum adat ini tentu berangkat dari realitas kehidupan masyarakat di daerah yang beragam. Kenyataan dari keragaman Mohsi 129 tersebut membentuk sebuah pranata dan identitas yang kemudian membentuk hukum dan kearifan lokal. J.J Honigmann yang dikutip oleh Koentarangrat menyebutkan bahwa kebudayaan terdiri dari tiga gejala yang kemudian terbentuklah sebuah hukum yaitu: ideas, activities, dan artifact (Sri Dwi Fajarani, 2019). Kebudayaan memiliki wujudwujud sebagai ekpresi dari kebudayaan itu sendiri, seperti wujud suatu kompleks dari ide-ide, gagasan dan nilai-nilai, norma-norma dan peraturan-peraturan. Wujud tentang suatu aktivitas dan tindakan-tindakan berpola dari manusia dan masyarakat, serta wujud dari benda-benda hasil karya manusia. Dari wujud kebudayaan tersebut membentuk sebuah sistem nilai, pandangan hidup dan ideologi sebuah bangsa. Hukum Adat dan Realitas penghidupan Realitas penghidupan manusia membentuk sebuah karakter dan mengkristal menjadi sebuah aturan hidup, yang tak jarang danggap memiliki nilai spiritualitas yang tinggi, bahkan disakralkan. Realitas penghidupan hukum adat memberikan pengaruh besar pada pola dan tingkah laku manusia. sehingga menjadi tidak mustahil apabila banyak masyarakat dibangun karakternya berdasarkan realitas kehidupan yang mendahuluinya. Banyak sekali bentuk realitas penghidupan yang kemudian disakralkan, seperti gotong royong, pamali, dan mitos-mitos lainnya yang hidup dalam kehidupan masyarakat. Mitos-mitos tersebut lalu menjadi local wisdome yang memperkaya kebudayaan masyarakat dan realitas kehidupan. Sebagai negara yang kuat aspek kebudayaannya, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk mempertahankan kearifan lokal yang positif. Kearifan lokal sebagai hasil produksi kebiasaan yang hidup dan tumbuh bersama masyarakat Adat Desa/Adat Daerah dan diimplementasikan dalam kehidupan sosial dan kekerabatan dalam masyarakat (Salim, 2016). Situasi ini menghasilkan keanekaragaman ekosistem dan sumber daya yang beragam pula. Melahirkan pula manusia yang yang berkaitan erat dengan kondisi alam yang menunjang kelangsungan hidupnya. Lahirnya hukum adat juga menjadi bagian penting dalam merawat eksistensi peradaban dan nilai-nilai moral yang hidup dalam masyarakat. Hukum adat memiliki peran yang sama Mohsi 130 sebagaimana hukum lainnya, seperti hukum nasional dan hukum agama. Hanya saja sistem penerapannya memiliki jalan yang berbeda. Hukum adat dan realitas penghidupan memiliki pertalian yang cukup kompleks, oleh karenanya realitas penghidupan ditentukan pula oleh berlaku tidaknya sebuah hukum adat. Dalam perkembangannya, masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungannya dengan mengembangkan kearifan yang berwujud ide dan gagasan yang kemudian dipadu dengan norma maupun nilai-nilai luhur (Salim, 2016) Indonesia berdiri di atas beberapa kebudayaan yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Keragaman identitas membentuk hidupan sosial yang juga beragam. Hubungan masyarakat urban yang berjalan paralel dengan kebudayaan pedesaan. Hubungan-hubungan antar kebudayaan tersebut dapat berjalan terjalin dalam bingkai ”Bhinneka Tunggal Ika”, dimana bisa kita maknai bahwa konteks keanekaragamannya bukan hanya mengacu kepada keanekaragaman kelompok sukubangsa semata namun kepada konteks kebudayaan (Salim, 2017). Bingkai ini terbangun berdasarkan leluhur yang mampu menginspirasi kehidupan berbudaya yang padu meski dalam lingkup keragaman dan kompleks. Ada banyak bentuk nilai-nilai kehidupan budaya dan adat yang terus hidup secara positif dalam kehidupan masyarakt Indonesia, seperti gotong royong. Gotong royong ini dapat membentuk kekuatan masyarkat yang kemudian menjadi sebuah aturan hidup yang berjalan atas kesepakatan bersama. Gotong royong terjadi dalam segala lingkup kegiatan sosial masyarakat, seperti pindahan rumah, dan acara-acara lainnya. Bentuk gotong royong secara umum terdiri dari gotong royong yang dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial, dan fisik. Gotong royong yang dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan sosial dapat terlihat seperti apa, yang terdapat di Kampung Naga, dimana peran masyarakatnya dalam kehidupan sehari-hari dipengaruhi oleh beberapa dorongan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya seperti kebutuhan makan, sekolah, dan lain-lain (Rolitia, Achdiani and Eridiana, 2016). Nilai gotong royong dalam kehidupan masyarakat memiliki makna yang sangat tinggi dan prinsip. Tentu yang paling dasar adalah tentang membangun sebuah solidaritas, baik solidaritas Mohsi 131 yang berimpllikasi kepada diri sendiri maupun kepada kelompok sosial masyarakat. Disini dapat dibuktikan, bagaimana solidaritas dapat berjalan atas dukungan masyarakat ketika menyikapi setiap nilai yang ada dalam gotong royong yang tertanam di lingkungannya, meskipun hidup bersama, dalam menyikapinya akan berbeda karena disesuaikan dengan rasa solidaritas yang ada (Rolitia, Achdiani and Eridiana, 2016). Apa yang diciptakan oleh masyarakat melalui budaya adalah untuk menanggulangi setiap keadaan yang terjadi dalam lingkungannya, serta alam yang melingkupinya (Indrawardana, 2013). Dengan demikian, Masyarakat mampu membentuk sebuah keniscayaan hidup yang berkarakter dan berbudaya. Realitas kehidupan masyarakat adalah bukti bahwa hukum adat memiliki peranan besar untuk menjaga masyarakat dari gempuran kebudayaan yang tidak berkontribusi pada pembangunan karakter manusia. Mohsi 132 DAFTAR PUSTAKA Grijns, S. T. van B. dan M. 2018. ‘RELEVANSI KAJIAN HUKUM ADAT : Kasus Perkawinan anak dari masa ke masa’, Mimbar Hukum, 30(3), pp. 516–543. Indrawardana, I. 2013. ‘Kearifan Lokal Adat Masyarakat Sunda Dalam Hubungan Dengan Lingkungan Alam’, KOMUNITAS: International Journal of Indonesian Society and Culture, 4(1), pp. 1–8. doi: 10.15294/komunitas.v4i1.2390. Kristiono, N. 2017. ‘Pola Kehidupan Masyarakat Adat Desa Tenganan Pegringsingan Bali’, Integralistik, (2), pp. 158–175. Available at: https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/integralistik/article/ download/13734/7527. Lastuti Abubakar. 2013. ‘Revitalisasi Hukum Adat Sebagai Sumber Hukum Dalam Membangun Sistem Hukum Indonesia’, Jurnal Dinamika Hukum, 13(2), pp. 319–331. doi: 10.20884/1.JDH.2013.13.2.213. Masyithoh, N. D. 2016. ‘DIALEKTIKA PLURALISME HUKUM: Upaya Penyelesaian Masalah Ancaman Keberagaman dan Keberagamaan di Indonesia’, Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 24(2), p. 359. doi: 10.21580/ws.24.2.1289. Rolitia, M., Achdiani, Y. and Eridiana, W. 2016. ‘Nilai Gotong Royong Untuk Memperkuat Solidaritas Dalam Kehidupan Masyarakat Kampung Naga’, Sosietas, 6(1). doi: 10.17509/sosietas.v6i1.2871. Salim, M. 2016. ‘Adat Sebagai Budaya Kearifan Lokal Untuk Memperkuat Eksistensi Adat Ke Depan’, Al Daulah : Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan, 5(2), pp. 244–255. doi: 10.24252/ad.v5i2.4845. Salim, M. 2017. ‘Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Perwujudan Ikatan Adat-Adat Masyarakat Adat Nusantara’, Al Daulah : Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan, 6(1), pp. 65–74. doi: 10.24252/ad.v6i1.4866. Sri Dwi Fajarani, D. 2019. ‘Penerapan Budaya Pamali Dan Adat Istiadat Dalam Kehidupan Masyarakat Kampung Adat Kuta Kabupaten Ciamis Jawa Barat’, Profesional: Jurnal Komunikasi dan Administrasi Publik, 6(2), pp. 23–29. doi: Mohsi 133 10.37676/professional.v6i2.942. Susylawati, E. 2013. ‘Eksistensi Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Di Indonesia’, Al-Ihkam: Jurnal Hukum & Pranata Sosial, 4(1), pp. 124–140. doi: 10.19105/AL-IHKAM.V4I1.267. Mohsi 134 BAB 10 PENGARUH SOSIAL EKONOMI TERHADAP HUKUM ADAT Oleh Mia Amalia 10.1 Pendahuluan Kabupaten Cianjur merupakan salah satu provinsi di Jawa Barat. Cianjur sendiri terletak di wilayah yang berbatasan langsung dengan beberapa provinsi: Bogor dan Purwakarta di utara, Samudera Hindia di selatan, Sukabumi di barat, serta Bandung dan Garut di timur. Secara administratif, Kabupaten Cianjur terbagi menjadi 26 kecamatan dengan Cianjur sebagai ibu kotanya. Provinsi Cianjur juga dikenal sebagai penampung padi terbesar di Jawa Barat, dan sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Perkembangan zaman dan perkembangan struktur ekonomi pemerintah daerah telah meningkatkan kebutuhan akan lahan non pertanian bahkan di Provinsi Cianjur yang secara administratif memiliki areal pertanian yang cukup luas di beberapa daerah. Akibatnya, banyak permintaan untuk mengubah kawasan pertanian menjadi kawasan non-pertanian, terutama di sektor komersial. Menurut Irwan (2005) hal ini disebabkan oleh dua faktor. Pertama, aksesibilitas ke kawasan yang semakin berkontribusi terhadap perkembangan industri dan perumahan, seiring dengan meningkatnya permintaan akan pembangunan perumahan dan industri, akan mempengaruhi pertumbuhan penduduk Cianjur. Hal ini meningkatkan permintaan tanah dari investor dan spekulan tanah, meningkatkan harga tanah di daerah tersebut. Kedua, petani pemilik lahan di kawasan ini terdorong untuk menjual lahannya karena harga jual lahan yang tinggi. Proses alih fungsi lahan menuju industrialisasi tentunya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam hal standar ekonomi yang lebih tinggi dan kualitas hidup yang lebih tinggi. Industri merupakan sektor yang memegang peranan Mia Amalia 135 penting dalam pembangunan dan pembangunan suatu daerah. Berkembangnya ekonomi kerakyatan merupakan salah satu dampak dari kegiatan industrialisasi. Secara umum kegiatan industrialisasi dapat menjamin proses pembangunan ekonomi daerah. (Fitria Aprilia Sari dan Sri Rahayu : 2014 : 107). Eksistensi industri itu sendiri sebenarnya berdiri pada dua sisi yang saling bersilangan. Dampaknya terasa di masyarakat. Di satu sisi, masyarakat diuntungkan dengan adanya lapangan pekerjaan baru dan kemungkinan peningkatan taraf hidup, namun di sisi lain, secara ekonomi keberadaan industri merugikan sebagian masyarakat dan lingkungan. Secara khusus, itu akan mempengaruhi orang-orang yang pendapatannya bergantung pada tanaman, pertanian atau hortikultura, yang sangat bergantung pada lahan. Industri merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Pengelolaan yang tepat dari sektor ini dapat membantu meningkatkan jumlah ekspor produk manufaktur lokal, meningkatkan lapangan kerja, mendorong pemerataan tenaga kerja, dan meningkatkan pendapatan masyarakat lokal. (Sukino : 2011). Menurut pedoman RTRW Provinsi Cianjur tahun 2011 hingga 2030, Kecamatan Sukaryu dan Tiranjang merupakan wilayah Provinsi Cianjur yang memiliki potensi lahan pertanian ketahanan pangan dan kawasan industri besar. RTRW menetapkan kedua kawasan ini sebagai kawasan industri. (KPI) Luas lahan Sukaryu sendiri adalah 48,02 km2 atau 4.802 ha, yang terdiri dari 25,46 km2 atau 2.546 ha sawah irigasi dan 11,13 km2 atau 1.113 ha lahan non pertanian. Kecamatan Ciranjang memiliki luas lahan 34,81 km2 atau 3.481 ha yang didominasi oleh lahan sawah seluas 18,32 km2 atau 1.832 ha dan bukan sawah seluas 10,94 km2 atau 1.094 ha. Kedua kecamatan ini awalnya merupakan daerah pertanian yang subur, namun berubah menjadi kawasan industri pada tahun 2000 di Kabupaten Cianjur. Sebagian besar masyarakat sekitar bermata pencaharian sebagai petani yang menggantungkan mata pencahariannya pada pertanian hingga tahun 2000, namun hingga tahun 2006 banyak dibangun industri di kawasan ini sesuai arahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Cianjur, hampir 100 ha lahan di dua kecamatan ini telah mengalami alih fungsi lahan dari pertanian menjadi kawasan industri. Meskipun industri di kecamatan Cilanjan hingga Sukaryu sangat besar, namun industri yang didirikan di daerah ini antara lain Mia Amalia 136 pabrik elektronik, pabrik garmen, pabrik sepatu, pabrik boneka, peternakan, dan rata-rata bergerak di sektor tekstil, serta limbah B3 yang dihasilkan secara alami. Sebagian besar dari sekian banyak pabrik yang berlokasi di kawasan ini adalah investor asing dari berbagai negara. Hal ini akan memaksa masyarakat untuk beradaptasi dengan kondisi ini dan pada akhirnya dapat mengarahkan mereka untuk memulai bisnis baru di lingkungan industri. Pemberlakuan shift dan pergantian jam kerja per hari telah menyebabkan kemacetan lalu lintas yang cukup parah dan panjang, mengingat lokasi industri di jalan raya antar-metropolitan. Jam kerja dari pukul 07.00 hingga 17.00. Pekerja di industri ini kecanduan lingkungan dan pergi ke luar kota. Meskipun ada juga tenaga kerja di luar kabupaten, seperti Kabupaten Bandon Barat dan Kota Sukabumi, tenaga kerja yang bekerja di industri ini rata-rata memiliki tingkat pendidikan lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), serta terampil dalam bekerja. dari mereka tinggal di rumah kontrakan dekat pabrik, dan penduduk ini didominasi oleh imigran. Dengan demikian, tersedianya lapangan pekerjaan yang dapat dijadikan sebagai tambahan mata pencaharian baru bagi masyarakat sekitar, selain pertanian yang juga merupakan sumber pendapatan utama bagi masyarakat sekitar. Perubahan kehidupan sosial memiliki berbagai aspek, antara lain sosial, budaya, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Dengan segala perubahan yang terjadi, muncullah dampak dari pertumbuhan penduduk, tingkat pendidikan yang lebih tinggi, tingkat urbanisasi yang meningkat dan hilangnya eksistensi tradisi lokal masyarakat Kabupaten Cianjur dari pertanian ke industri. Berangkat dari pemikiran tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji dampak perubahan sosial di tengah perubahan ekonomi kawasan industri terhadap hukum adat di Kota Cianjur. 10.2 Perubahan Sosial Perubahan sosial dapat didefinisikan sebagai perubahan yang memperumit fenomena sosial yang ada dalam masyarakat individu. Perubahan sosial dapat dilihat sebagai pemutusan kontinuitas antar unit sosial, meskipun dalam konteks yang relatif Mia Amalia 137 kecil. Perubahan tersebut mencakup semua aspek interaksi antara orang, organisasi, atau masyarakat, termasuk struktur, fungsi, nilai, norma, institusi, dan perubahan budaya. (Bhaja Warya:2007:2). Gillin mengatakan bahwa perubahan sosial adalah perubahan geografi, budaya material, demografi, ideologi, atau cara hidup yang diterima karena difusi atau penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Samuel Koenig memperkenalkan definisi perubahan sosial. Perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi dalam pola kehidupan manusia. Perubahan tersebut terjadi karena faktor internal (dari dalam) dan faktor eksternal (dari luar). Di sisi lain, William F. Ogburn menjelaskan bahwa ruang lingkup perubahan meliputi faktor budaya berwujud dan tidak berwujud, termasuk faktor budaya berwujud yang sangat mempengaruhi faktor tidak berwujud. telah melakukan. 10.3 Ciri-Ciri Perubahan Sosial Perubahan sosial memiliki ciri-ciri yang menunjukkan bahwa suatu masyarakat tertentu sedang mengalami perubahan yang mengarah pada kemajuan. Adapun ciri-ciri perubahan sosial, perubahan sosial memiliki ciri-ciri sebagai berikut.(Ali:2016). 1. Tidak ada masyarakat yang berhenti berkembang. Karena semua masyarakat berubah, baik lambat maupun cepat. 2. Perubahan yang terjadi pada beberapa institusi sosial menyebabkan perubahan pada institusi sosial lainnya. 3. Perubahan sosial yang cepat seringkali menyebabkan gangguan sementara saat kita beradaptasi. 4. Perubahan tidak dapat dibatasi pada alam material atau spiritual, karena keduanya terkait erat. 5. Perubahan sosial dapat dicirikan sebagai proses sosial, segmentasi, perubahan struktural, dan perubahan struktur kelompok. Kita dapat menyimpulkan bahwa perubahan sosial dapat dirasakan ketika terjadi di masyarakat dengan membandingkan kondisi pada dua atau lebih rentang waktu yang berbeda. Ini Mia Amalia 138 memastikan bahwa mengidentifikasi perubahan sosial terjadi, meskipun lambat. a. Masyarakat tidak pernah berhenti berkembang. Semua masyarakat harus berubah. Beberapa masyarakat berubah dengan cepat, yang lain lambat. b. Perubahan yang terjadi pada lembaga sosial tertentu mengikuti perubahan pada lembaga lainnya c. Perubahan sosial yang cepat menyebabkan kekacauan social yaitu gejolak sosial yang diikuti dengan reorganisasi melalui berbagai penyesuaian dan penyesuaian d. Perubahan tidak terbatas hanya pada alam fisik atau spiritual, keduanya saling terkait. Dalam hal ini, ada dua teori untuk menjelaskan perubahan sosial: 1. Teori evolusi didasarkan pada asumsi bahwa perubahan kumulatif terjadi secara bertahap. Ini biasanya sangat rumit dan mengarah pada adaptasi. Teori ini menyatakan bahwa semua masyarakat di semua iklim kehidupan sosial melalui tahap perkembangan yang sama dan bergerak dari sana. Dari sederhana dengan perbedaan kecil hingga kompleks perbedaan besar, yang berpuncak pada zaman modern. 2. Teori sistem menggambarkan masyarakat sebagai sistem yang adaptif dan kompleks. Masyarakat sebagai suatu sistem sosial terbagi menjadi lima kelompok sistem yang berinteraksi secara bersamaan. a. Ekosistem/lingkungan fisik dan biologis, b. Seseorang, c. Kepribadian (sistem mental), d. Sistem sosial. Semua aktivitas sosial bersifat fisik, biologis, psikologis, budaya dan sosial pada saat yang bersamaan. Dengan cara ini, dengan membandingkan situasi pada dua atau lebih skala waktu yang berbeda, kita dapat melihat perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Masyarakat mengalami perubahan yang disebabkan Mia Amalia 139 oleh faktor internal dan eksternal, baik material maupun immaterial (biologis). 10.4 Faktor-Faktor Perubahan Sosial Menurut David McCleland, kebutuhan untuk berprestasi (nAch) adalah pendorong perubahan, dan Alvin Betrand mengutip faktor komunikasi sebagai pendorong utama perubahan. Faktor penyebab perubahan dapat diklasifikasikan menurut asal usul faktornya sebagai berikut: 1. Faktor -Faktor Eksternal a. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain melalui jalan : 1) Difusi (difusi unsur-unsur budaya dari kelompok/kelompok lain dalam suatu masyarakat - difusi intrakomunal, dari satu masyarakat ke masyarakat lain difusi antarkomunal). 2) Kontak budaya (akulturasi) terjadi ketika budaya bertemu, berinteraksi dengan kekerasan, dan menyerap/memperkenalkan materi budaya di antara mereka. 3) asimilasi atau perkawinan) terjadi ketika dua atau lebih kelompok budaya yang berbeda saling berinteraksi secara keras, sehingga terjadi asimilasi atau peleburan antara dua kelompok atau lebih tersebut sehingga membentuk kelompok baru.b. Perang dengan negara lain b. Perubahan lingkungan alam, misalnya karena terjadi bencana. 2. Faktor-Faktor Internal a. Perubahan demografi karena fluktuasi populasi b. Konflik antar kelompok dalam masyarakat c. Munculnya gerakan sosial dan/atau pemberontakan (revolusi) d. yaitu penemuan-penemuan baru dalam masyarakat (discoveries/ide baru/penemuan hal-hal yang tidak ditemukan sebelumnya), invensi (penyempurnaan penemuan baru), inovasi (melaksanakan ide/alat/benda baru), melengkapi ide/alat/benda lama atau menggantikan. Mia Amalia 140 Faktor-Faktor Pendorong dan Penghambat Perubahan : a. Faktor Pendorong Perubahan : 1) Kontak dan komunikasi dengan kelompok dan budaya lain 2) Melanjutkan Pendidikan 3) Daya yang dibutuhkan (n-Ach) 4) Menghormati orang lain dan budaya mereka 5) Toleransi 6) Struktur sosial terbuka (strata sosial) 7) Populasi heterogeny 8) Ketidakpuasan dengan status quo 9) Arah masa depan b. Faktor Penghambat Perubahan: 1) Kurangnya Hubungan dengan Komunitas Lain 2) Menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi 3) Sikap tradisional masyarakat 4) Tertarik 5) Kebencian mengacaukan sistem sosial apabila terjadi perubahan 6) Prasangka terhadap hal baru 7) Hambatan ideologis (nilai sosial) 8) Hambatan adat dan tradisi Dampak Perubahan : 1. Dampak Positif a. Globalisasi adalah berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, karena arus informasi dan alih teknologi dapat berlangsung tanpa batas. b. Pengakuan HAM meskipun ras yang berbeda, agama yang berbeda, daerah dan suku bangsa yang berbeda. c. Demokratisasi dalam proses ekonomi, sosial, politik, maupun kebudayaan bagi segenap warga masyarakat, tidak memandang asal usul daerah, kesuku-bangsaan, ras, aliran,maupun agama. d. Modernisasi merupakan proses menjadi modern. Istilah modern berasal dari kata modo yang artinya yang kini. Mia Amalia 141 2. Dampak Negatif a. Westernisasi (meniru gaya hidup orang barat tanpa reserve) b. Sekularisme (pandangan hidup yang memisahkan kehidupan agama dengan kehidupan dunia ) c. Konsumerisme (pandangan hidup bahwa lebih baik membeli produk barang dan Jasa daripada membuatnya sendiri) d. Konsumtrivisme (mengkonsumsi barang dan jasa yang sebenarnya bukan merupakan keperluannya ) e. Hedonisme (cara hidup bermewah-mewah untuk mengejar prestise atau atau gengsi tertentu) f. Liberalisme (paham kebebasan berpikir, misalnya Islam Liberal) g. Feminisme (gerakan sosial yang berupaya menempatkan perempuan dalam urusan-urusan publik) h. Separatisme pemberontakan/pergolakan daerahi. Demokratisasi dalam proses ekonomi, sosial, politik, maupun kebudayaan bagi segenap warga masyarakat, tidak memandang asal usul daerah, kesuku-bangsaan, ras, aliran,maupun agama. j. Modernisasi merupakan proses menjadi modern. Istilah modern berasal dari kata modo yang artinya yang kini. Dampak Negatif a. Westernisasi (meniru gaya hidup orang barat tanpa reserve ) b. Sekularisme (pandangan hidup yang memisahkan kehidupan agama dengan kehidupan dunia ) c. Konsumerisme (pandangan hidup bahwa lebih baik membeli produk barang dan Jasa daripada membuatnya sendiri) d. Konsumtrivisme (mengkonsumsi barang dan jasa yang sebenarnya bukan merupakan keperluannya ) e. Hedonisme (cara hidup bermewah-mewah untuk mengejar prestise atau atau gengsi tertentu f. Liberalisme (paham kebebasan berpikir, misalnya Islam Liberal) g. Feminisme (gerakan sosial yang berupaya menempatkan perempuan dalam urusan-urusan publik) h. Separatisme pemberontakan/ pergolakan daerah Mia Amalia 142 Situasi sosial ekonomi masyarakat Cianjur saat ini berkembang di bidang pendidikan dan ekonomi masyarakat, mempengaruhi semangat masyarakat, pendapatan, urbanisasi dan tingkat konflik budaya. masyarakat Cianjur. Nilai dan makna yang terkandung dalam tradisi ini, sebagai nilai kearifan lokal, mengedepankan ikatan sosial yang kuat, solidaritas dan gotong royong dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut harus dipertahankan karena dijadikan modal sosial bagi masyarakat untuk berkontribusi dalam pembangunan. Oleh karena itu, aparat desa, tokoh masyarakat atau sesepuh pegiat adat, tokoh agama, serta instansi dan lembaga terkait akan mengembalikan persatuan, kesatuan, kekompakan, solidaritas dan gotong royong yang telah hilang melalui perkembangan, situasi dan penyesuaian situasi. kegiatan atau program yang ditujukan dan kondisi masyarakat saat ini. 10.5 Hukum Adat Pendapat Soetandyo Wignjosoebroto, Civil Code dan Penal Code bermigrasi ke Belanda; dan oleh Belanda ditransplantasi atau bahkan dalam berbagai literatur digunakan istilah konkordansi. oleh C. van Vollenhoven. Hukum pribumi (inlandsch recht) terdiri atas: 1. Hukum adat pribumi yang belum dikodifikasi [adatrecht der indlanders yang terdiri atas hukum asli pribumi (inheemsch recht der inlanders) dan bagian-bagian yang bersangkutan dengan agama (Godsdienstige bestanddeelen)]; 2. Hukum pribumi yang sudah dikodifikasi (gecodificeerd recht der inlanders). Klasifikasi yang sama diterapkan pula terhadap hukum Timur asing. (C. van Vollenhoven : 191 : 8) Hukum adat dikembangkan dalam sebuah doktrin bahwa hukum adat adalah hukum kebiasaan yang tidak tertulis. Apabila ada yang tertulis, hal itu hanya merupakan dokumentasi hukum adat dalam bentuk undang-undang (gedocumenterd wet). Disamping itu, hukum adat mengikuti dinamika masyarakat, sehingga hukum adat merupakan hukum yang dinamis (non statuuter). Kodifikasi hukum pribumi yang penyebutan lainnya dikenal hukum adat dalam konteks stabilitas dan realitas dinamis. Roberto M. Unger (Unger, Roberto M. : 2012) menunjukkan bahwa adatistiadat lebih bersifat tersirat daripada terungkap secara lisan. Adat- Mia Amalia 143 istiadat berlaku untuk kategori orang dan hubungan yang didefinisikan secara sempit, bukan secara umum. Berbicara tentang hukum Adat ada korelasinya dengan permasalahan sosial. Beberapa problem itu antara lain pertama, konsep hukum Adat yang selama ini dikembangkan oleh perguruan tinggi merupakan konsep yang ditemukan oleh Van Vollenhoven yang tentunya sudah tidak sesuai pada masa sekarang. Kedua, hukum Adat yang merupakan sumber hukum Nasional belum dilegalkan sebagai suatu peraturan tertulis, dimana hukum dalam konteks budaya lokal (local culture) perlu dikembangkan pada keadaan sekarang, sehingga hukum yang berlaku di masyarakat terasa lebih inhern, acceptable, dan adaptif. Ketiga, penyelesaian sengketa Adat tidak mengenal pemisahan antara pidana dan perdata. Dan keempat. Pemahaman ontologis dan epistemologi konvensional. Secara etimologis, istilah common law terdiri dari dua kata: hukum dan adat. Amin BC berpendapat bahwa hukum adalah seperangkat peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi yang dirancang untuk menertibkan interaksi manusia agar keamanan dan ketertiban tetap terjaga. Adat istiadat, di sisi lain, adalah cerminan individualitas suatu bangsa, dan merupakan salah satu perwujudan jiwa bangsa yang telah dipertanyakan selama berabad-abad. Dalam ranah pemikiran Arab kontemporer, adat diartikan sebagai warisan budaya, pemikiran, agama, sastra, dan seni yang sarat muatan emosional dan ideologis. (Al Jaberi, M.Abid: tahun 2000: Lima). Jadi, menurut Soepomo, hukum adat adalah hukum yang tidak diatur dalam peraturan perundangundangan, termasuk aturan hidup, dan tidak ditetapkan oleh penguasa, tetapi karena mereka meyakini aturan tersebut mempunyai kekuatan hukum, ditaati dan didukung oleh rakyat. Beberapa pendapat tentang pengertian hukum Adat antara lain: 1. M. M. Djojodigoeno, mengatakan bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan. 2. Menurut Mr. C. Van Vollenhoven, hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu. Batasan bidang yang menjadi objek kajian hukum Adat meliputi hukum negara, hukum tata usaha negara, hukum pidana, hukum perdata, dan Mia Amalia 144 hukum antar bangsa adat. Di masyarakat, hukum Adat nampak dalam tiga bentuk, yaitu: Hukum yang tidak tertulis (jus non scriptum), merupakan bagian yang terbesar. Hukum yang tertulis (jus scriptum), hanya sebagian kecil saja, misalnya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh raja dahulu seperti pranatan-pranatan di Jawa. (Soerojo Wignjodipoero : 1989 : 13-22) 10.6 Konstruksi Hukum Adat Sejarah Hukum Adat Paling tidak ada tiga kategori periodesasi ketika berbicara tentang sejarah hukum Adat, yaitu: a. Sejarah proses pertumbuhan atau perkembangan hukum adat dimana peraturan adat istiadat ini pada hakikatnya sudah terdapat pada zaman pra Hindu. Adat istiadat tersebut merupakan adat Melayu. Maka datang di kepulauan kita kultur Hindu, kemudian kultur Islam dan kultur Kristen yang masingmasing mempengaruhi kultur asli bangsa Indonesia. b. Sejarah hukum Adat sebagai sistem hukum dari tidak atau belum dikenal hingga sampai dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan. Sebelum zaman Kompeni–sebelum 1602 tidak diketemukan catatan ataupun tidak terdapat perhatian terhadap hukum Adat. Dalam zaman Kompeni itulah baru bangsa asing mulai menaruh perhatian terhadap adat istiadat kita. c. Sejarah kedudukan hukum adat sebagai masalah politik hukum di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Pada periode ini, setidaknya dapat bagi menjadi tiga bagian, yaitu: masa menjelang tahun 1848, pada tahun 1848 dan seterusnya, dan sejak tahun 1927, yaitu hukum Adat berganti haluan dari unifikasi beralih ke kodifikasi. (Soerojo Wignjodipoero : 1989 : 46-51) Faktor – factor yang mempengaruhi proses perkembangan hukum adat adalah sebagai berikut : a. Magis dan animism Alam pikiran mistis-magis serta pandangan hidup animistis-magis sesungguhnya dialami oleh tiap bangsa di dunia ini. Faktor pertama ini khususnya mempengaruhi dalam empat hal, sebagai berikut: Mia Amalia 145 1. Pemujaan roh-roh leluhur, 2. Percaya adanya roh-roh jahat dan baik, 3. Takut kepada hukuman ataupun pembalasan oleh kekuatan gaib, dan 4. Dijumpainya orang-orang yang oleh rakyat dianggap dapat melakukan hubungan dengan roh-roh dan kekuatan-kekuatan gaib tersebut. b. Agama 1. Agama Hindu. Agama ini pada lebih kurang abad ke-8 dibawa oleh orang-orang India masuk ke Indonesia. Pengaruh terbesar agama ini terdapat di Bali meskipun pengaruh dalam hukum Adatnya sedikit sekali. 2. Agama Islam. Pengaruh terbesar nyata sekali terlihat dalam hukum perkawinan, yaitu dalam cara melangsungkan dan memutuskan perkawinan dan juga dalam lembaga wakaf. 3. Agama Kristen. Di sini juga nampak dengan jelas, bahwa di kalangan masyarakat yang sudah memeluk agama Kristen, hukum perkawinan Kristen diresepsi dalam hukum Adatnya. c. Kekuasaan yang lebih tinggi daripada persekutuan hukum Adat. Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang meliputi daerah-daerah yang lebih luas daripada wilayah satu persekutuan hukum, seperti misalnya kekuasaan raja-raja, kepala Kuria, Nagari dan lain sebagainya. d. Hubungan dengan orang-orang ataupun kekuasaan asing. (Soerojo Wignjodipoero : 1989 : 31-35). 10.7 Masyarakat dan Perubahan Sosial Interaksi sosial dan stratifikasi sosial (Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi:1974) menyatakan bahwa proses sosial adalah elemen tematik penelitian sosiologis. Bentuk umum dari proses sosial adalah interaksi sosial. Jika interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, maka kita tidak dapat hidup bersama tanpanya. Syarat terjadinya interaksi sosial adalah kontrak sosial dan komunikasi. Kami selalu memiliki beberapa penghargaan untuk hal-hal tertentu. Penghargaan mengangkat seseorang ke posisi yang lebih tinggi. Kondisi ini mengarah pada stratifikasi sosial (kelas sosial) atau diferensiasi vertikal masyarakat. Mia Amalia 146 Ukuran yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan anggota masyarakat meliputi ukuran kekayaan, kekuasaan, prestise, dan pengetahuan. Seiring dengan perubahan pola interaksi sosial dan sistem stratifikasi sosial, demikian pula hukum adat sebagai norma masyarakat. (Kimball Young dan Raymond, W. Mack:1959:137) Perubahan sosial dan budaya yang harus dialami setiap orang dalam hidupnya. Perubahan tersebut dapat terjadi pada nilai sosial, norma sosial, pola perilaku organisasi, kelas sosial, institusi sosial, interaksi sosial, dll. Perubahan sosial merupakan faktor yang menjaga keseimbangan masyarakat. Perubahan faktor geografis, biologis, ekonomi atau budaya. Para sarjana sering mempertanyakan hubungan antara perubahan sosial dan perubahan budaya. Ada yang mengatakan bahwa perubahan sosial adalah bagian dari perubahan budaya. Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya perubahan sosial dan budaya. Perubahan demografi, penemuan baru, konflik, pemberontakan atau revolusi. (Soeryono Sokanto:2001:333-359) 10.8 Perubahan Sosial Ditengah Perubahan Ekonomi Industri Dalam Mempertahankan Hukum Adat Masyarakat Kabupaten Cianjur Dengan berjalannya waktu dan perkembangan struktur ekonomi kota, kebutuhan akan lahan non-pertanian semakin meningkat. Termasuk Provinsi Cianjur yang secara administratif memiliki wilayah pertanian yang cukup luas di beberapa daerah. Konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian Lahan pertanian khususnya di sektor komersial. Menurut Irwan, hal itu disebabkan oleh dua faktor. Pertama, aksesibilitas ke kawasan yang semakin kondusif untuk pengembangan industri dan perumahan, dengan meningkatnya permintaan untuk pengembangan perumahan dan industri, yang berdampak pada pertumbuhan populasi penduduk di provinsi Cianjur. Akibatnya, permintaan tanah dari investor dan spekulan tanah meningkat dan harga tanah di sekitarnya naik. Mia Amalia 147 Kedua, harga tanah melambung tinggi dan para petani pemilik tanah di daerah tersebut menjual tanahnya. (Jamal Irwan, Zoaini:2005 38). Proses alih fungsi lahan menuju industrialisasi tentunya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam hal standar ekonomi yang lebih tinggi dan kualitas hidup yang lebih tinggi. Berkembangnya ekonomi kerakyatan merupakan salah satu dampak dari kegiatan industrialisasi. Secara umum kegiatan industrialisasi dapat menjamin proses pembangunan ekonomi daerah. Eksistensi industri itu sendiri sebenarnya berdiri pada dua sisi yang saling bersilangan. Dampaknya terasa di masyarakat. Di satu sisi, masyarakat diuntungkan dengan adanya lapangan pekerjaan baru dan kemungkinan peningkatan taraf hidup, namun di sisi lain, secara ekonomi keberadaan industri merugikan sebagian masyarakat dan lingkungan. Secara khusus, itu akan mempengaruhi orang-orang yang pendapatannya bergantung pada tanaman, pertanian atau hortikultura, yang sangat bergantung pada lahan. (Fitria Aprilia Sari und Sri Rahayu: 2014:107). Gambar 10.1 : Peta Kecamatan Sukaluyu dan Kecamtan Ciranjang Sumber: Hasil Observasi Peneliti Untuk meningkatkan perekonomian kotamadya, Pemkab Cianjur fokus pada pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19. Hal tersebut disampaikan Gubernur Cianjur H. Herman Suherman dalam pelaksanaan Musrenbang RKPD di tingkat Provinsi Cianjur guna melengkapi penyusunan draf RKPD Provinsi Cianjur tahun 2023. Terkait dengan penanganan dampak COVID-19, Pemkab Cianjur fokus pada pemulihan ekonomi dan isu-isu strategis yang ada untuk Mia Amalia 148 mewujudkan Cianjur Manjur yang mandiri, maju, agamis dan berakhlak mulia. Dalam Musrembang, tema pembangunan 2023 adalah keputusan kesejahteraan dan pelayanan publik dalam rangka pemulihan ekonomi dan sosial pascapandemi COVID-19. Pemerintah Provinsi Cianjur tetap berkomitmen untuk menerapkan pola belanja yang bertanggung jawab, rasional, efisien dan efektif. Sementara itu, Ketua DPRD Cianjur Ganjar Ramadhan mengatakan usulan usulan bisa menjadi prioritas Pemkab Cianjur. Dalam hal ini, RAPBN Kabupaten Cainjur, baik APBD murni maupun revisi, dimaksudkan untuk menjadi prioritas penganggaran tahun 2023. Indonesia adalah negara agraris, yaitu negara yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, baik petani dengan lahan sendiri, maupun petani yang sudah menjadi petani atau menjadi petani. Sekitar 35% sektor pertanian menyerap lapisan masyarakat Indonesia untuk menyerap tenaga kerja, dan sektor pertanian juga menyumbang banyak pendapatan nasional dan devisa bagi negara. Oleh karena itu, sektor pertanian memegang peranan penting dalam upaya pembangunan ekonomi nasional. Menurut Hermanto dan Hardono, S, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2014), sektor pertanian masih memegang peranan strategis dalam menghasilkan pendapatan bagi perekonomian nasional antara tahun 2004 hingga 2013. Nilai PDB masing-masing sektor pertanian dalam arti luas atas dasar harga berlaku adalah Rp. Dengan demikian, sektor pertanian masih memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan nasional. (Hermanto dan Hardono, S:2013:12). Dalam artikel Detik.com, Muhamad Idrus (2016) menjelaskan bahwa Indonesia telah direncanakan sebagai negara industri sejak era Orde Baru, dan tahapan untuk menjadi negara industri juga tercermin dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun atau Repelita. Cuma PDB Indonesia - masih belum di level ideal Sebagai negara industri, tidak jelas apakah Indonesia negara agraris atau industri, tapi sudah banyak pembangunan industri dan konversi lahan skala besar. , lahan pertanian di Indonesia belum dikonversi menjadi lahan pertanian. Harsono berpendapat bahwa perubahan penggunaan lahan adalah setiap kegiatan di mana penggunaan lahan berubah dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya. Luas pertanian Indonesia dari tahun ke tahun semakin berkurang karena alih fungsi lahan sebagian besar menjadi lahan industri dan semakin banyak lahan produksi yang Mia Amalia 149 dikonversi menjadi lahan industri. . Indonesia memasuki era krisis lahan dan pangan, dengan konversi lahan besar-besaran terjadi terutama di Jawa dan 75% lahan pertanian Indonesia habis. Menurut Iswandi Anas, Guru Besar Bioteknologi Tanah IPB, konversi tersebut akan mengurangi luas produksi Indonesia setidaknya puluhan ribu hektar per tahun. Winarno Tohir berpendapat, berdasarkan data tahun 2014 hingga saat ini, KTNA mencatat laju konversi lahan tahunan 100.000 hektar di Indonesia, sebagian besar di Jawa. Pemerintah mengklaim hanya sekitar 40.000 hektar lahan yang bisa dicetak. Untuk lahan sawah setiap tahunnya, Indonesia mengalami kekurangan lahan seluas 60.000 hektar. (CI Harsono, 1995:13). Kelangkaan lahan pertanian akan berdampak pada masyarakat Indonesia khususnya petani, karena sebagian besar dari mereka adalah petani. Dampak yang ditimbulkan oleh wabah dari segi fisik, sosial dan ekonomi. Terjadinya alih fungsi lahan terjadi pada sebagian besar penduduk Indonesia sebagai petani yang sangat bergantung pada lahan. Pengurangan atau hilangnya lahan pertanian menciptakan perubahan sosial dan ekonomi bagi petani. Setiap masyarakat membutuhkan alat dan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan manusia membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Masyarakat Indonesia yang sebelumnya bermata pencaharian sebagai petani dengan konversi lahan dapat membawa perubahan sosial dan ekonomi dengan beradaptasi dengan pekerjaan. Perubahan tersebut memiliki dampak positif dan negatif. Karena petani, jika memiliki pendidikan, keterampilan, dan modal yang cukup, membeli lahan baru atau bekerja di sektor lain seperti industri, perdagangan, dan jasa untuk meningkatkan pendapatannya, dapat bekerja secara permanen sebagai petani. Peningkatan pendapatan, luas tanah, kepemilikan rumah dan mobil. Namun, kegagalan beradaptasi terhadap perubahan dapat menyebabkan perubahan status dan peran sosial petani, termasuk pengangguran, perubahan fungsi mata pencaharian keluarga, dan hilangnya sertifikat tanah. Kegagalan untuk mengatasi masalah ini dapat menyebabkan kemiskinan dan bahkan kejahatan. (Tajudin N., Fajri:2015) Cianjur merupakan daerah yang terkenal dengan produktivitas dan kualitas berasnya, namun dengan adanya perubahan sosial dari pertanian ke industri, Cianjur banyak mengalami alih fungsi lahan Mia Amalia 150 sawah. Dari data di bawah ini, Anda dapat melihat luas sawah di Provinsi Cianjur selama 5 tahun terakhir. Tabel 10.1 : Luas Lahan Sawah di Kabupaten Cianjur Tahun 20122016 Kabupaten 2012 2013 2014 2015 2016 Cianjur 66.233 Ha 66.205 Ha 65.909 Ha 65.716 Ha. 65.716 Ha. Sumber: BPS Kab. Cianur (Cianjur dalam angka) Alih fungsi lahan sawah terbesar di Kabupaten Cianjur berada di Kecamatan Tanggeung dan Takokak akan tetapi peneliti mengambil Kecamatan Sukaluyu sebagai objek penelitian karena Kecamatan Sukaluyu merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Cianjur yang sedang ramai dibicarakan dan dipersoalkan mengenai alih fungsi lahan sawah menjadi industri, hal tersebut karena banyak sawah-sawah produktif yang dialih fungsikan menjadi industri salah satunya dibangunnya industri seluas 42 Ha di atas lahan produktif. Pendiriaan kawasan industri tersebut tidak lepas dari Peraturan Daerah No. 17 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cianjur tahun 2011 - 2031 telah menetapkan Kecamatan Sukaluyu, Karangtengah, Haurwangi dan Ciranjang sebagai zona industri. Hal tersebut seperti yang diutarakan oleh Suparman 2018 dalam Kumpara: Jika hal ini dibiarkan, ratusan hektar sawah yang ada di pinggir Jalan Raya Bandung yang membentang dari wilayah Kecamatan Karangtengah – Sukaluyu – Haurwangi, akan habis digunakan untuk kepentingan diluar pertanian,” kata Kohar, salah seorang warga Haurwangi. Untuk itu, berbagai elemen kekuatan masyarakat dan warga masyarakat meminta Pemkab Cianjur, konsisten tidak memberikan izin terhadap alih fungsi lahan sawah menjadi proyek perumaha dan pabrik industri. Kecamatan Sukaluyu terletak di Kabupaten Cianjur, secara geografis Kecamatan Sukaluyu terletak diantara 6° 21' - 7° 25'Lintang Selatan dan 106° 42' - 107° 25' Bujur Timur. Sensus penduduk tahun 2016 mencatat jumlah penduduk kabupaten Sukaryu. Jumlahnya 72.452 orang dari 10 desa. Mia Amalia 151 Desa Babakansari, Hegarmanah, Mekarjaya, Panyusuhan, Sindangraja, Sukalyu, Sukamulya, Sukasirna, Salajambe dan Tanjungsari. Sukaryu Industrial Park resmi beroperasi sejak tahun 2012. Yang pertama beroperasi adalah PT Arora, kemudian PT Fasic. Selama lima tahun terakhir 2012-2016, luas areal persawahan di desa industri berkurang 133 hektare menjadi nonsawah, termasuk 75,4 hektare lahan industri. Jan Tri Hendrawan, R.M. :2016:216) Industri di Skullu adalah industri besar hingga menengah. Desa Sukasirna, Desa Selajambe, Desa Hegarmanah, Desa SukamuLya, dan Desa Sindangraja ditetapkan sebagai perumahan industri. Namun, hanya empat desa di sawah yang memiliki desa industri: Desa Skashiruna, Desa Serajambe, Desa Hegarmana, dan Desa Sindong Raja. Industri ini berskala besar hingga menengah, baik produktivitas maupun penyerapan tenaga kerja. Namun, beberapa industri memiliki sedikit pekerja karena pekerja berbentuk mesin dan bukan manusia. Karena perempuan adalah tenaga kerja yang paling umum di wilayah Tengkorak Yudayu, wawancara dengan kabupaten dan desa menunjukkan bahwa pengangguran lebih banyak laki-laki daripada perempuan. Konversi lahan dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi petani yang terkena dampak konversi lahan. Artinya, terjadinya perubahan sosial dan ekonomi bagi petani yang terkena dampak alih fungsi lahan. Rogers dkk. Rosana, di Ellya. (2011, p. 34) berpendapat bahwa perubahan sosial adalah proses yang mengarah pada perubahan struktur dan fungsi sistem sosial. Rosana, antara Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi di Ellya. (2011, p. 34) mendefinisikan perubahan sosial sebagai perubahan cara hidup yang diterima karena perubahan geografi, budaya material, demografi, ideologi, atau karena difusi atau penemuan baru dalam masyarakat. Menurut Hendrawan Fajar.(2016, hal. 2) Untuk menunjukkan dampak perubahan fungsi lahan pertanian terhadap kondisi sosial ekonomi pelaku (petani) dalam hal pendidikan, kualitas perumahan, dan kepemilikan barang berharga. Peneliti membatasi perubahan sosial dan ekonomi petani yang akan diteliti, yaitu perubahan tanggung jawab keluarga, gaya hidup, perubahan mata pencaharian, tingkat Mia Amalia 152 pendapatan dan kekayaan sebelum dan sesudah pendirian kawasan industri. menakutkan. Mia Amalia 153 DAFTAR PUSTAKA Al Jaberi, M. Abid, 2000, Post Tradisonalisme Islam, LkiS, Yogyakarta. Ali, 2015, Buku dalam Penulisan Pengertian Perubahan sosial, Ciri Ciri Perubahan Sosial dan Bentuk Bentuk Perubahan Sosial, diakses pada tanggal 2 Februari 2016 Bagja Waluya, 2007, Sosiologi : Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat, Penerbit PT Setia Purna Inves,Bandung. C. van Vollenhoven, Orientasi dalam Hukum Adat Indonesia, Djambatan, 191, Jakarta. C.I.Harsono, 1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta. Djamal Irwan, Zoer’aini, 2005, Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota, PT Bumi Aksara, Jakarta. Fitria Aprilia Sari dan Sri Rahayu, 2 0 1 4 , Kajian Dampak Keberadaan Industri PT. Koorindo Ariabima Sari Dikelurahan Mendawai, Kanupaten Kotawaringin Barat, Jurnal Telknik PWK, Vol.3. Fajar Januar Tri Hendrawan, R. M, 2016, Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Menjadi Kawasan Perumahan Terhadap Pendapatan Petani Dusun. Haryono, 2013, Inovasi Teknologi Pertanian dalam Pemanfaatan Lahan Terlantar. Dalam D.K.S. Swastika, K. Suradisastra, dan B. Hutabarat (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Lahan dan Pendayagunaan Lahan Terlantar Menuju Implementasi Reforma Agraria. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Kimball Young dan Raymond, W. Mack, 1959, Sociology and Social Life. New York: American Book Company. Marry Ann Glendon, Michael W. Gordon, dan Palulo G. Caroza, 1999, Comparative Legal Traditions, St. Paul: West Group. Rosana, Ellya, 2011, Modernisasi Daan Perubahan Sosial. Jurnal TAPIs. Soerojo Wignjodipoero, 1989, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (ed), 1974, Setangkai Bunga Sosiologi, Lembaga Penerbitan FEUI, Jakarta. Mia Amalia 154 Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi (Suatu Pengantar), Rajawali Press, Jakarta Tajuddin N, Fajri, 2015, Modernisasi Pertanian Kajian Perubahan Masyarakat di Desa Langkura Kabupaten Jeneponto. Skripsi. Makassar: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar. Unger, Roberto M, 2012, Teori Hukum Kritis Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern, diterjemahkan Dariyanto dan Derta Sri Widowati, Ujung Berung, Bandung. Mia Amalia 155 BIODATA PENULIS Moh. Mujibur Rohman, S.H., M.H. Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam (HKI) Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam (IAI) Miftahul Ulum Pamekasan Lahir di Pamekasan, Jawa Timur pada 7 Pebruari 1997. Tamat TK Muslimat NU II Dasok Pademawu Pamekasan (20012003), SDN Dasok 3 Dasok Pademawu Pamekasan (2003-2009). Setelah menuntaskan pendidikannya ditingkat dasar, Ia melanjutkan pengembaraan keilmuannya di Pondok Pesantren Miftahul Ulum Panyeppen Palengaan Pamekasan selama kurang lebih 10 tahun (2009-2018). Di pesantren inilah Ia mengenyam pendidikan di tingkat menengah hingga strata satu (S1), mulai dari SMP Al-Miftah Terpadu Palengaan (2009-2012), SMA Al-Miftah Palengaan (2012-2015), dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Miftahul Ulum Pamekasan (2015-2019). Sedangkan gelar magisternya diperoleh pada Program Magister Pascasarjan IAIN Madura (2020-Lulus Mei 2022). Adapun karya tulis yang diterbitkan buku “Hukum Islam” penerbit Widina (Agustus 2022). “Hacking Muhammad Syahrur Hudud Theory and Its Relevance to The Inheritance of Sangkolan Madurese People”, terbit di Junral Ilmiah al-Syir’ah (JIS) indek SINTA 2 IAIN Manado. “The Benefit Principles of Istibdal on Wakaf Objects (Analysis of Dhawabith al-Mashlahah Sa’id Ramadhan al-Buthi)”, terbit di Jurnal Mahkamah Indek SINTA 3 IAIM-NU Lampung. “TAQNIN ALAHKAM (Telaah Sejarah Legislasi Hukum Perdata Islam dalam Hukum Nasional Indonesia)”, terbit di jurnal Ulumuna indek SINTA 4 IAIMU Pamekasan. “REFORMASI KELUARGA DI DUNIA 156 ISLAM (Studi Normatif Perbandingan Hukum Perceraian Mesir-Indonesia)”, terbit di jurnal al-Syakhshiyyah indek SINTA 5 IAIN Bone dan beberapa karya lainnya. 157 BIODATA PENULIS Ade Risna Sari, S.H., M.Si., Dosen pada jenjang Diploma III dan jenjang sarjana (S-1) di Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik dan beberapa fakultas lain di lingkungan Universitas Tanjungpura Pontianak Ade Risna Sari, S.H., M.Si., lahir di Pontianak, 30 September 1973. Saat ini penulis tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat. Pendidikan tinggi ditempuh mulai dari S-1 di Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti Pontianak (lulus 1997), S-2 pascasarjana Universitas Tanjungpura Pontianak (UNTAN) prodi Administrasi Publik konsentrasi Kebijakan Publik (lulus 2014). Penulis mengambil Akta Mengajar (Akta IV) di Universitas Terbuka Pontianak (lulus 2006). Aktivitas penulis saat ini mengajar pada jenjang Diploma III dan jenjang sarjana (S-1) di Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik dan beberapa fakultas lain di lingkungan Universitas Tanjungpura Pontianak. Penulis juga menjadi korektor UAS THE Padang serta menjadi editor buku dan reviewer jurnal. Penulis juga telah menulis beberapa book chapter, buku ajar dan buku monograf. Penulis mengikuti beberapa sertifikasi non gelar akademik diantaranya sertifikasi penulis. Jalin kerja sama dengan penulis via surel [email protected] / [email protected] 158 BIODATA PENULIS Dr. Abdul Hamid, S.H., M.H. Dosen Fakukltas Hukum Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Albanjari Banjarmasin Penulis adalah dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) Muhammad Arsyad Albanjari Banjarmasin dan juga praktisi hukum. Menyelesaikan pendidikan S1 pada Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin lulus tahun 1996, pendidikan S2 pada Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) Malang lulus tahun 2015, dan Pendidikan S3 pada Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang (UNISSULA) Semarang lulus tahun 2019. Penulis menekuni dan mengajar bidang hukum antara lain Hukum Acara Peradilan Agama, Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Hubungan Industrial, Hukum Perdata, Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus, Hukum Perbankan, Hukum Kesehatan, Hukum Dagang, Hukum Kepailitan, Hukum Kontrak, Hukum Advokatur, Arbitrase dan Alternatif Penyelesai Sengketa. Pengalaman sebagai praktisi hukum sejak tahun 2000 menyelesaikan perkara-perkara pidana di peradilan umum dan peradilan khusus, perdata di peradilan umum dan peradilan agama, perkara tata usahan negara, perkara hubungan industrial, perkara pemilihan umum dan legislatif. Pengalaman organisasi Ketua LKBH Fakultas Hukum Universitar Islam Kalimantan (UNISKA) Muhammad Arsyad Albanjari sejak tahun 2008 hingga 2019, Wakil Ketua DPC Perhimpunan Advikat Indonesia (Peradi) Martapura- 159 Banjarbaru, Sekretaris DPC Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Martapura-Banjarbaru, Ketua Divisi Hukum DPW Forum Silaturahmi Doktor Indonesia (Forsiladi) Provinsi Kalimantan Selatan. 160 BIODATA PENULIS NURSYAMSIAH,S.HUM.,MH. Dosen Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas Penulis lahir di Penakalan tanggal 19 Januari 1994 dari ibu bernama Juskina, dan ayah bernama Mu’azzi. Anak ketiga dari empat bersaudara yaitu Supardi, Radimin,M.Ak., dan Zulfa. Penulis adalah dosen tetap pada Program Studi Dosen Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas sejak tahun 2018. Menyelesaikan pendidikan S1 pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, melanjutkan S2 pada Program Pasca Sarjana prodi Hukum Tata Negara di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. 161 BIODATA PENULIS Muthia Septarina, S.H., M.H, Dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) Muhammad Arsyad Al Banjari Banjarmasin Muthia Septarina, S.H., M.H, Lahir di Kota Banjarmasin pada Tanggal 18 September 1984. Penulis adalah Dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) Muhammad Arsyad Al Banjari Banjarmasin. Menyelesaikan Studi S1 pada Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin lulus pada Tahun 2006, pendidikan S2 pada Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA) Malang lulus tahun 2011. Penulis menekuni dan mengajar bidang hukum antara lain Hukum Adat, Hukum Agraria, Hukum Kontrak, Hukum Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan Hukum kepailitan. 162 BIODATA PENULIS Mahrida, S.H.,M.H.,M.Kn Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) Muhammad Arsyad Al Banjari Banjarmasin Mahrida, S.H.,M.H.,M.Kn, lahir di Tumbang Manjul pada tanggal 18 Agustus 1974. Penulis adalah Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) Muhammad Arsyad Al Banjari Banjarmasin sejak tahun 2009 s.d sekarang dan selaku Anggota Polri. Menyelesaikan S-1 Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) lulus tahun 1999, Pendidikan S-2 Magister Hukum di Pascasarjana UNLAM lulus tahun 2009, kemudian melanjutkan S-2 Kenotaritan di Unlam lulus Tahun 2018. Penulis menekuni dan mengajar bidang hukum antara lain : Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, Hukum Pidana Khusus, Hukum Internasional, Hukum Perdata Internasional, Kriminologi, Victimologi, Hak Asasi Manusia, Metode Penemuan Hukum, Perbandingan Sistem Hukum, Hukum Perlindungan Konsumen, Hukum Perbankan, Hukum keluarga. Sebagai anggota Polri Polda Kalsel Penulis pernah menjabat sebagai Kasubbid Wabprof Bid Propam Polda Kalsel, Kasubbid Sunluhkum Bidkum Polda Kalsel, Kasubbid Penmas Bid Humas Polda Kalsel, Kasi Korwas PPNS Ditreskrimsus Polda Kalsel, Kanit PPA Subdit 4 Ditreskrimum Polda Kalsel, Penyidik Madya, Kapolsekta Banjarmasin Barat. Ditunjuk sebagai Narasumber mewakili Polda Kalsel di TVRI, RRI dan berbagai Instansi antara lain Kanwilkumham Provinsi Kalsel, DP3A Provinsi Kalsel, Dinas Kehutanan Provinsi 163 Kalsel, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Prov Kalsel, Balai Pom Prov Kalsel, Balai Pertanian dan Karantina Kelas 1A Banjarmasin, Satpol PP Provinsi Kalsel, Dinas Sosial Provinsi Kalsel, Dinas Lingkungan Hidup Prov Kalsel. Pengalaman sebagai praktis hukum sejak tahun 2009 menangani perkara praperadilan, PTUN, Perdata, Pidana selaku Tim Advokat Kapolda Kalsel. Pengalaman organisasi sebagai Sekretaris Puskoppolda Kalsel sejak 2008 s.d 2015, Ketua Pengurus Pusat Koperasi Polda Kalsel (Puskoppolda Kalsel) 2016 s.d sekarang, Assesor angkatan pertama pada Assessesment Center Polda Kalsel sejak 2009 s.d sekarang. 164 BIODATA PENULIS Ningrum Ambarsari, S.H., M.H. Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan MAB Penulis lahir di Balikpapan tanggal 11 Oktober 1974. Penulis adalah dosen tetap pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Universitas Islam Kalimantan MAB. Menyelesaikan pendidikan S1 pada prodi Ilmu Hukum Universitas Cenderawsih dan melanjutkan S2 pada Prodi Ilmu Hukum jurusan Keperdataan. Universitas Hasanuddin. Saat ini aktif mengajar pada Fakultas Hukum Uniska MAB pada mata kuliah Hukum agrarian dan Hukum Adat. 165 BIODATA PENULIS Dr. H. Iwan Henri Kusnadi, S. Sos, M.Si Dosen Bidangilmu Administrasi Publik dan Kebijakan Publik Pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara pada Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Subang Penulis merupakan Dosen Bidangilmu Administrasi Publik dan Kebijakan Publik Pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara pada Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Subang. Sebagai seorang yang sepenuhnya mengabdikan dirinya sebagai dosen, selain pendidikan formal yang telah ditempuhnya penulis juga mengikuti berbagai pelatiha untuk meningkatkan kinerja dosen, khususnya di bidang Pengajaran, Penelitian Dan Pengabdian. Beberapa buku yang penulis telah hasilkan, di antaranya Ilmu Administrasi Publik, Manajemen Sumber Daya Manusia, Manajemen Strategi, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesiaa, Ekonomi Kreatif, dan lain-lain. Selain itu, penulis juga aktif melakukan penelitian yang diterbitkan di berbagai jurnal nasional maupun internasional. Penulis juga aktif menjadi pemakalah diberbagai kegiatan dan menjadi narasumber pada Workshop/Seminar/Lokakarya tertentu. Email: [email protected] 166 BIODATA PENULIS Mohsi, S.Sy., M. H.I Dosen tetap IAI Miftahul Ulum Pamekasan. Pendidikan strata 1 ditempuh di kampus STAIMU Pamekasan, sekarang IAI miftahul Ulum Pamekasan Penulis merupakan dosen tetap IAI Miftahul Ulum Pamekasan. Pendidikan strata 1 ditempuh di kampus STAIMU Pamekasan, sekarang IAI miftahul Ulum Pamekasan. Pendidikan Strata 2 di tempuh di IAIN Jember, saat ini UIN Kiyai Haji Ahmad Siddiq Jember. Sekarang sedang menempuh pendidikan starta 3 di UIN Walisosngo Semarang. Penulis adalah warga desa di sebuah kabupaten di Madura, tepatnya di Desa Rek-Kerrek Kec Palengaan. Kab Pamekasan.. Bidang konsentrasinya adalah hukum Islam, filsafat hukum Islam, hukum tata negara islam, sosiologi hukum Islam, hukum keluarga Islam. Beberapa karya yang sudah diterbitkan dalam bentuk jurnal dan penelitian dibidang hukum. adapun tulisan-tulisan yang terbit diantaranya adalah, pluralisme hukum perkwainan islam. konstruksi hukum perceraian islam dalam fiqh indonesia, pencatatan perkawinan sebagai rekonseptualisasi system saksi perkawinan berbasis maslahah. Dekonstruksi system sanksi dalam uu no 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk, nalisis perkawinan paksa sebagai tindak pidana kekerasan seksual dalam rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual pks. Email Penulis: [email protected] 167 BIODATA PENULIS Dr. Mia Amalia, SH, MH Dosen tetap di Fakultas Hukum di Universitas Suryakancana Dr. Mia Amalia, SH, MH, merupakan seorang dosen tetap di Fakultas Hukum di Universitas Suryakancana, Sekarang menjabat sebagai Wakil Rektor II Bidang Administrasi Keuangan Sarana Prasarana dan Kerjasama di Universitas Suryakancana. Pendidikan S-I Sekolah Tinggi Hukum Suryakancana (STHS) Cianjur. S2 Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Suryakancana. S3 di Universitas Islam Bandung. UEL Summer School di Vietnam. Membuat beberapa rancangan Perda naskah akademik. Saksi ahli pidana di Polres Cianjur dan Polres Sukabumi. Penerima Hibah Penelitian Dosen Pemula, Hibah Disertasi Doktor dari KemenristekDikti. Beberapa buku yang ditulis adalah: Pengantar Antropologi Hukum, Book Chapter tentang Metodologi Penelitian Hukum, Tinjauan Cryptocurrency Dalam Berbagai Perspektif Hukum, Perspektif Pengabdian Masyarakat Sebuah Konsep Pengelolaan dan Aplikasi, Pinjaman Online Ditinjau Dari Multidimensi keilmuan, Pengantar Hukum Indonesia, Pengantar Hukum Pajak, Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Mewujudkan Kesadaran Bayar Pajak Dalam Kajian Sosiologi Hukum dan Pengantar Sosiologi Hukum. 168