Hubungan antara Kandungan Karbohidrat dan Indeks Glikemik
pada Pangan Tinggi Karbohidrat
Relationship between Carbohydrate Content and the Glycemic
Index in High-Carbohydrate Foods
Afandi F. A., Wijaya C. H., Faridah D. N., dan Suyatma N. E.
Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB
Kampus IPB Dramaga, PO BOX 220 Bogor, Jawa Barat 16680
E-mail:
[email protected]
Diterima : 24 Januari 2019
Revisi : 21 Juni 2019
Disetujui : 6 September 2019
ABSTRAK
Pangan tinggi karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi pangan available karbohidrat dan pangan nonavailable karbohidrat. Available karbohidrat adalah karbohidrat yang dapat dicerna oleh enzim pencernaan,
diserap dalam bentuk glukosa oleh usus halus, dan dimetabolisme oleh sel-sel tubuh, seperti glukosa,
disakarida, oligosakarida yang dapat dicerna, dan pati (rapidly digestable starch dan slowly digestable
starch). Non-available karbohidrat adalah karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan,
tidak diserap dalam bentuk glukosa oleh usus halus, dan tidak dimetabolisme oleh sel-sel tubuh, seperti
serat, pati resisten, oligosakarida (frukto oligosakarida dan galakto oligosakarida), rafinosa, stakiosa, dan
verbaskosa. Pangan yang mengandung available karbohidrat tinggi memiliki indeks glikemik (IG) tinggi.
Pangan yang mengandung non-available karbohidrat tinggi memiliki IG rendah. Jenis available karbohidrat
dapat berubah menjadi non-available disebabkan proses modifikasi kimia, pengolahan, atau berinteraksi
dengan komponen lain. Pengkajian literatur mengenai hubungan antara pangan tinggi karbohidrat dengan
indeks glikemik perlu dilakukan secara utuh. Informasi ini menjadi penting karena dewasa ini kepedulian
masyarakat mengenai pengaruh pangan terhadap kesehatan cukup tinggi. Pangan berkarbohidrat tinggi
perlu secara utuh dipahami, tidak hanya dilihat dari tinggi atau rendahnya kadar karbohidrat tetapi juga
jenis karbohidrat, cara pengolahannya, dan berapa banyak yang dikonsumsi akan sangat membantu
masyarakat dalam memilih asupan pangannya terutama pangan yang memiliki kandungan karbohidrat
yang tinggi.
kata kunci: available karbohidrat, karbohidrat tinggi, nilai IG, non-available karbohidrat
ABSTRACT
High-carbohydrate foods can be grouped into the available carbohydrate type and non-available
carbohydrate type. Available carbohydrates are digestible by digestive enzymes, absorbed in the form
of glucose by the small intestine, and metabolized by body cells, such as glucose, disaccharides,
digestible oligosaccharides, and starch (rapidly digestible starch and slowly digestible starch). Nonavailable carbohydrates are indigestable by digestive enzymes, unabsorbed in the form of glucose by
the small intestine, and unmetabolized by body cells, such as fiber, resistant starch, oligosaccharides
(fructooligosaccharides and galactooligosaccharides), raffinose, stachyose, and verbascose. Food with
high available carbohydrates has a high glycemic index (GI). Food with non-available high carbohydrates
has a low GI. The available carbohydrate can be turned into non-available due to chemical modification,
processing, or interacting with other components. A literature review on the relationship between highcarbohydrate foods and the glycemic index needs to be done thoroughly. A thorough understanding of highcarbohydrate foods should be not only considered from the high or low carbohydrate level perspectives
but also the type of carbohydrates, how they are processed, and how much is consumed. This knowledge
might help people in choosing their foods, especially foods with a high carbohydrate content.
keywords: available carbohydrate, glycemic index, high carbohydrate, non-available carbohydrate
I.
I
PENDAHULUAN
ndonesia memiliki masalah terkait penyakit
diabetes karena penyakit diabetes menjadi
penyakit pembunuh nomor 3 di Indonesia
(Kemenkes, 2014). Jumlah penderita diabetes
di Indonesia pada tahun 2017 mencapai 10,3
Hubungan antara Kandungan Karbohidrat dan Indeks Glikemik pada Pangan Tinggi Karbohidrat
Afandi FA, Wijaya CH, Faridah DN, dan Suyatma NE
145
juta jiwa (IDF, 2017). Posisi Indonesia saat ini
berada di urutan nomor 6 negara dengan jumlah
penduduk tertinggi mengidap diabetes melitus
(DM) di dunia (IDF, 2017). DM adalah penyakit
kronis serius yang terjadi karena pankreas tidak
menghasilkan insulin (hormon yang mengatur
kadar gula darah) dalam jumlah yang cukup atau
insulin yang diproduksi oleh tubuh tidak bekerja
efektif (tidak berfungsi dengan baik). Sekitar
90 persen pasien diabetes terdiagnosa DM
tipe 2 dan 53 persen penderita diabetes tidak
menyadari bahwa dirinya terkena diabetes. DM
tipe 2 adalah diabetes yang disebabkan insulin
yang diproduksi oleh tubuh tidak bekerja secara
efektif (WHO, 2016). Ketidaktahuan tersebut
menimbulkan risiko terjadinya komplikasi.
Diperkirakan jumlah penderita diabetes akan
terus bertambah hingga tahun mendatang.
Total biaya ekonomi yang harus ditanggung
pemerintah sejak 2006 hingga 2015 mencapai
Rp800 triliun. Data dari Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) juga mencatat pasien DM
menguasai 30 persen klaim atau sekitar Rp20
triliun pada tahun 2016 (Antara, 2016).
Laporan Riskesdas 2018 menunjukkan
adanya peningkatan prevalensi penderita
diabetes di Indonesia pada usia produktif
(35–44 tahun) dari angka prevalensi sebesar
1,1–1,7 persen pada tahun 2013 menjadi
1,1–8,6 persen pada tahun 2018 (Riskesdas,
2013; 2018). Komposisi diet orang Indonesia
dilaporkan tinggi akan karbohidrat (Putra dan
Mahmudiono, 2012). Menurut Sack, dkk. (2014)
konsumsi karbohidrat dapat berpengaruh pada
risiko penyakit diabetes. Risiko diabetes sering
dikaitkan dengan nilai indeks glikemik (IG)
pangan berbasis karbohidrat. IG adalah angka
dalam persen yang menunjukkan perbandingan
antara luas daerah di bawah kurva respon
glukosa darah pangan uji yang mengandung
50 gram available karbohidrat dan luas daerah
di bawah kurva respon glukosa darah pangan
acuan (biasanya berupa glukosa atau roti tawar)
yang mengandung 50 gram available karbohidrat
yang diujikan pada individu yang sama pada
rentang waktu 2 jam setelah konsumsi (FAO/
WHO, 1998). IG dapat menjadi indikator risiko
suatu pangan terhadap penyakit diabetes
(Augustin, dkk., 2015). Penelitian oleh Manshur
(2018) menunjukkan bahwa jenis karbohidrat
146
memiliki risiko yang berbeda dilihat dari nilai IGnya.
Di sisi lain, data hasil penelitian yang dapat
dimanfaatkan untuk menanggulangi penyakit
diabetes telah banyak dipublikasi baik pada
tataran nasional maupun internasional. Hasil
penelitian tentang data karakteristik fisikokimia
pangan sumber karbohidrat telah banyak
dipublikasikan, begitu juga data IG-nya.
Meskipun demikian, tidak ada informasi korelasi
terkait keduanya (data karakteristik fisikokimia
dan data IG pangan sumber karbohidrat)
sehingga dapat dimanfaatkan lebih jauh untuk
mencegah terjadinya penyakit diabetes dengan
memilih sumber karbohidrat yang sesuai. Pada
review ini akan dibahas tentang pengaruh jenis
karbohidrat terhadap mutu IG-nya.
II.
PANGAN TINGGI KARBOHIDRAT
Bahan pangan tinggi karbohidrat menurut
kamus Oxford dan Dictionary of food science and
nutrition (kamus ilmu pangan dan gizi) adalah
bahan pangan dengan persentase karbohidrat
yang tinggi (Bender, 2006). Di sisi lain, bahan
pangan tinggi karbohidrat menurut British
Nutrition Foundation didefinisikan sebagai
pangan sumber karbohidrat yang mencakup
gula dan pati seperti roti, pasta, beras, kentang,
sereal, oat, rye, gandum, dan biji-bijian lainnya.
Lin, dkk. (2010) mendefinisikan bahan pangan
tinggi karbohidrat sebagai bahan pangan yang
mengandung karbohidrat di atas 50 persen
berat kering.
Indonesia kaya akan bahan pangan patipatian yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber
energi. Bentuk bahan pangan pati-patian yang
tersedia di Indonesia mencakup jenis serealia/
biji-bijian (beras, jagung, gandum), umbi-umbian
(kentang, singkong, ubi jalar, talas, ganyong,
garut, yam), batang (sagu), dan biji-bijian
(kacang polong, kacang hijau, kacang merah).
Sumber karbohidrat utama yang dikonsumsi
oleh penduduk Indonesia saat ini adalah beras
(53,5 persen), singkong (22,2 persen), jagung
(18,9 persen), dan kentang (4,99 persen)
(Suyono, 2002). Beras mengandung kadar
karbohidrat sebesar 69,26 persen, singkong
sebesar 38 persen, jagung sebesar 64 persen,
dan kentang sebesar 34 persen.
PANGAN, Vol. 28 No. 2 Agustus 2019 : 145 – 160
Tabel 1. Kategori Pangan Berdasarkan Nilai Indeks Glikemik (IG) dan Beban Glikemik
Sumber: Powell, dkk. (2002);1Azizah (2017); 2Anggraeni (2013); 3Oboh dan Ogbebor (2010); 4Lin, dkk. (2010);
5
Prasad, dkk. (2014); 6Nounmusig, dkk. (2018).
Diet standar menurut Parente, dkk. (2014)
terdiri dari karbohidrat sebesar 50 persen,
lemak 30 persen, dan protein 20 persen. Diet
dikategorikan tinggi karbohidrat jika terdiri
dari karbohidrat sebesar 60 persen, lemak
20 persen, dan protein 20 persen. Komposisi
diet karbohidrat orang Indonesia menurut
FAO (2014) dikategorikan tinggi karbohidrat
karena mengonsumsi nasi sebagai sumber
karbohidratnya ditambah lagi dengan frekuensi
konsumsinya yang tiga kali sehari (Putra
dan Mahmudiono, 2012). Beras yang biasa
dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah
beras IR 64, ciherang, atau pandan wangi yang
memiliki nilai indeks glikemik antara 54–74
yang tergolong ber-IG rendah-tinggi (Widowati,
dkk., 2010; Manshur, 2018; Alcazar-alay dan
Meireless, 2015; Powell, dkk., 2002). Beras
dengan IG tinggi diduga menjadi penyebab
peningkatan penderita diabetes yang berusia
35–44 tahun seperti dilaporkan pada hasil
Riskesdas (2018).
Di sisi lain, sesungguhnya pangan tinggi
karbohidrat
yang
umumnya
dikonsumsi
penduduk Indonesia beraneka ragam. Pangan
tinggi karbohidrat lain yang digunakan sebagai
alternatif diversifikasi pangan antara lain ubi jalar,
ubi ungu, sorghum, talas, sagu, dan kacangkacangan. Ubi jalar memiliki kadar karbohidrat
sebesar 29,14 persen, ubi ungu sebesar 35,76
persen, sorghum sebesar 76,67 persen, talas
sebesar 24 persen, sagu sebesar 75 persen,
kacang-kacangan sebesar 17,17–90,72 persen
berat basah. Sangat disayangkan seperti yang
dilaporkan oleh Hardinsyah dan Amalia (2007)
serta Budijanto (2014), konsumsi terigu dan
pangan olahannya, seperti mi dan berbagai
produk bakery cenderung meningkat sedangkan
konsumsi beras ataupun umbi-umbian cenderung
menurun. Terigu mengandung kadar karbohidrat
sebesar 62,76 persen, selain kurang produktif
untuk dibudidayakan di Indonesia (Widowati,
dkk., 2016) juga memiliki IG tinggi (IG=78)
(Tabel 1).
Hubungan antara Kandungan Karbohidrat dan Indeks Glikemik pada Pangan Tinggi Karbohidrat
Afandi FA, Wijaya CH, Faridah DN, dan Suyatma NE
147
III. HUBUNGAN ANTARA PANGAN TINGGI
KARBOHIDRAT (KH) DENGAN INDEKS
GLIKEMIK (IG)
Pemahaman dari segi gizi, karbohidrat terdiri
dari dua jenis, yaitu available karbohidrat dan
non-available karbohidrat. Available karbohidrat
adalah karbohidrat yang dapat dicerna oleh
enzim pencernaan, diserap dalam bentuk
glukosa oleh usus halus, dan dimetabolisme
oleh sel-sel tubuh. Serat pangan tidak termasuk
kategori available karbohidrat karena tidak dapat
dicerna oleh enzim pencernaan, meskipun
dapat menjadi sumber energi setelah melalui
proses fermentasi dan penyerapan asam lemakasam lemak rantai pendek di usus. Energi yang
dihasilkan dari serat pangan sangat rendah, di
bawah 4 kkal/gram, yaitu antara 1,5–2,5 kkal/
gram (Ledikwe, dkk., 2006), bahkan ada yang
tidak memberikan energi. Semakin tinggi pangan
dengan kandungan available karbohidrat seperti
glukosa, disakarida, oligosakarida yang dapat
dicerna, dan pati yang dapat dicerna maka nilai
IG-nya semakin tinggi. Nasi merupakan pangan
dengan available karbohidrat yang tinggi. Nonavailable karbohidrat adalah karbohidrat yang
tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan,
tidak diserap dalam bentuk glukosa oleh usus
halus, dan tidak dimetabolisme oleh sel-sel
tubuh (Cummings dan Stephen, 2007). Bentuk
non-available karbohidrat seperti serat pangan
banyak terdapat pada buah-buahan dan sayursayuran. Bentuk non-available karbohidrat tidak
dicerna oleh tubuh sehingga memiliki IG rendah.
Bentuk non-available karbohidrat seperti
oligosakarida dalam bentuk frukto oligosakarida
(FOS) dan galakto oligosakarida (GOS),
rafinosa, stakiosa, dan verbaskosa terdapat
pada kacang kedelai. Jenis non-available
karbohidrat seperti pati resisten dan serat juga
terdapat pada biji-bijian utuh dan sagu sehingga
keduanya memiliki indeks glikemik yang rendah
(Momuat, dkk., 2015; Setiarto, dkk., 2015).
Pangan sumber karbohidrat seperti ubi ungu
selain mengandung available karbohidrat
juga non-available karbohidrat seperti serat
(2,35–5,4 persen) dan oligosakarida yang tidak
tercerna (0,72 persen) sehingga IG-nya rendah
(50) (Ellong, dkk., 2014).
Faktor intrinsik yang memengaruhi nilai IG
dari pangan sumber karbohidrat adalah rasio
148
amilosa dan amilopektin. Pangan dengan kadar
amilosa yang tinggi cenderung sulit dicerna
akibat struktur amilosa yang tidak bercabang
membuatnya terikat lebih kuat sehingga sulit
mengalami gelatinisasi, sedangkan amilopektin
strukturnya bercabang dan ukuran molekulnya
lebih besar sehingga mudah mengalami
gelatinisasi. Hal tersebut mengakibatkan
amilopektin mudah untuk dicerna (Lovegrove,
dkk., 2017). Behall dan Schofield (2005)
menyatakan konsumsi pangan (jagung) dengan
kadar amilosa tinggi berpengaruh signifikan
terhadap penurunan respon glukosa dan insulin
(sekitar separuhnya) pada subjek hiperinsulin.
Jeevetha, dkk. (2014) menyatakan bahwa
beras putih dengan kadar lemak 1 persen
yang mengandung amilosa yang lebih rendah
akan memiliki nilai IG yang tinggi. Hal tersebut
disebabkan jika kadar amilosa pada beras
tinggi, maka pada saat pemasakan dengan
panas dapat terbentuk amilo-lipid kompleks
yang membuatnya sulit dicerna oleh enzim
pencernaan sehingga nilai IG-nya menurun.
Penelitian Shanita, dkk. (2011) tentang
makanan yang biasa dikonsumsi oleh
masyarakat di Malaysia, menunjukkan bahwa
semakin tinggi kadar amilosa suatu pangan
(10,77 persen) maka nilai IG-nya akan lebih
rendah (54). Trinidad, dkk. (2014) meneliti
pengaruh kadar amilosa terhadap nilai IG
dari beras yang disosoh dan beras yang tidak
disosoh (beras cokelat). Hasilnya baik pada
beras yang disosoh maupun yang tidak disosoh
menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar
amilosa (27 persen) dari varietas beras maka
nilai IG-nya akan semakin menurun (50). Beras
yang tidak disosoh memiliki nilai IG yang lebih
kecil dibandingkan beras yang disosoh. Mir,
dkk. (2013) meneliti pengaruh penambahan
amilosa dan pati resisten terhadap ketercernaan
pati dan tepung beras. Hasilnya menunjukkan
bahwa penambahan pati jangung tinggi amilosa
dan pati resisten kepada tepung dan pati beras
dengan kadar 10–50 persen dapat menurunkan
laju pencernaan pati dan nilai IG estimasi baik
pada tepung maupun pati beras. Penambahan
50 persen pati jagung yang tinggi amilosa dan
pati resisten dapat menurunkan secara berturutturut nilai IG estimasi sebesar 8,39 persen dan
6,24 persen tepung beras dan pati beras.
PANGAN, Vol. 28 No. 2 Agustus 2019 : 145 – 160
Dipnaik dan Kokare (2017) meneliti rasio
amilosa dan amilopektin sebagai indikator nilai IG
dan hidrolisis enzimatis secara in vitro pada pati
beras, dengan tipe bulir panjang, sedang, dan
pendek. Hasilnya menunjukkan beras dengan
ukuran bulir panjang memiliki kadar amilosa
paling tinggi dan kadar amilopektin paling rendah
dibandingkan dengan beras berbulir sedang
dan pendek. Hal tersebut mengakibatkan beras
dengan bulir panjang memiliki nilai IG yang
paling rendah akibat pelepasan gula pereduksi
berlangsung paling lambat. Denardin, dkk.
(2007) dan Denardin, dkk. (2012) melakukan
penelitian tentang pengaruh kadar amilosa pada
beberapa varietas beras terhadap metabolisme
glikemik pada tikus. Hasilnya menunjukkan tikus
dengan perlakuan pemberian ransum dengan
beras berkadar amilosa tinggi menunjukkan
respon gula darah yang lebih lambat. Rasio
amilosa dan amilopektin berpengaruh signifikan
terhadap laju dan lama pencernaan pati beras
di dalam saluran pencernaan. Hal tersebut
disebabkan amilopektin lebih mudah dicerna
dibandingkan dengan amilosa.
Faktor ekstrinsik yang memengaruhi nilai IG
dari pangan sumber karbohidrat adalah tingkat
gelatinisasi, proses pengolahan, dan proses
retrogradasi. Pati yang tergelatinisasi sempurna
membentuk granula yang mengembang dan
mudah dicerna sehingga dapat memperluas
permukaan untuk kontak dengan enzim
pencernaan. Reaksi enzim pencernaan dengan
bagian pati yang kontak dengannya berlangsung
cepat sehingga pada pati yang tergelatinisasi
sempurna dapat memiliki IG yang tinggi (Mishra,
dkk., 2012).
Eleazu
(2016)
menyatakan
bahwa
proses pengolahan dengan suhu tinggi yang
mengakibatkan terjadinya gelatinisasi dapat
mengubah secara permanen struktur amilosa
dan amilopektin dari pati serta membuatnya
lebih mudah diakses oleh enzim pencernaan.
Guo, dkk. (2018) melakukan penelitian
mengenai pengaruh gelatinisasi pati gandum
terhadap daya cerna pati secara in vitro dengan
perlakuan kadar air 20 persen, 30 persen, 40
persen, 50 persen, 60 persen, dan 70 persen
dan pemanasan selama 5, 10, dan 20 menit.
Hasilnya menunjukkan bahwa pati gandum yang
semakin tergelatinisasi (tergelatinisasi sempurna
pada kadar air 40 persen) akan meningkatkan
daya cerna pati enzimatik secara in vitro (baik
kecepatan maupun jumlah yang tercerna). Hal
tersebut disebabkan pada proses gelatinisasi
terbentuk daerah amorf pati yang lebih banyak
dibandingkan daerah kristalin sehingga dapat
dengan mudah diakses oleh enzim pencernaan.
Hal serupa juga terlihat dari hasil penelitian
Widanagamage, dkk. (2013) yang menunjukkan
bahwa pangan khas Asia Selatan berbasis pati,
yaitu roti dan pittu meskipun memiliki komposisi
yang sama namun diproses dengan metode
pemasakan yang berbeda (roti diolah dengan
pemanasan kering/dipanggang sedangkan pittu
diolah dengan pemanasan basah/dikukus) akan
memiliki nilai IG yang berbeda secara signifikan.
Roti memiliki nilai IG 57 sedangkan pittu
memiliki nilai IG 80. Hal tersebut disebabkan
pittu yang diolah dengan pemanasan basah
lebih tergelatinisasi dibandingkan dengan
roti yang diolah dengan pemanasan kering,
sehingga patinya lebih mengalami kerusakan
dan mengalami pengembangan granula.
Granula pati yang pecah akan melepaskan
amilosa dan amilopektin ke dalam matriks
pangan sehingga dapat tersedia dan tercerna
dengan mudah oleh enzim α-amilase. Pati ketan
yang tergelatinisasi akan memiliki daerah amorf
yang lebih banyak dibandingkan dengan pati
yang tidak tergelatinisasi sehingga lebih mudah
dicerna oleh enzim pencernaan sedangkan
pati ketan yang tidak tergelatinisasi memiliki
banyak daerah kristalin sehingga struktur pati
menjadi kompak dan sulit dicerna oleh enzim
pencernaan (Chung, dkk., 2006).
Zambrano, dkk. (2016) meneliti hubungan
ketecernaan
dari
beras
ketan
(beras
beramilopektin tinggi) dan beras non-ketan
(beras beramilopektin rendah) yang baru
dimasak dan yang telah mengalami staling.
Hasilnya menunjukkan bahwa beras dengan
kadar amilosa tinggi dapat meningkatkan
resistensi
terhadap
ketercernaan
pati,
namun kadar amilosa saja tidak cukup untuk
memprediksi nilai IG. Ketercernaan pati dapat
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang dapat
menurunkan aktivitas enzim hidrolitik dan
paparan substrat pati terhadap enzim. Proses
retrogradasi pada beras sosoh non-ketan,
dengan semakin meningkatnya kadar amilosa
akan lebih menurunkan ketecernaan patinya
Hubungan antara Kandungan Karbohidrat dan Indeks Glikemik pada Pangan Tinggi Karbohidrat
Afandi FA, Wijaya CH, Faridah DN, dan Suyatma NE
149
dibandingkan dengan beras cokelat (beras
yang tidak disosoh). Diperlukan waktu staling
yang lebih lama pada beras ketan mencapai
penurunan nilai IG yang signifikan.
IG merupakan angka yang menunjukkan
potensi peningkatan gula darah dari karbohidrat
yang tersedia pada suatu pangan atau secara
sederhana dapat dikatakan sebagai tingkatan
atau ranking pangan terkait dengan efeknya
terhadap kadar glukosa darah (Augustin, dkk.,
2015). Konsep IG dikembangkan oleh Jenkins,
dkk pada tahun 1981 untuk mengontrol kadar
gula darah penderita diabetes tipe 2. Nilai IG dari
suatu sumber pangan karbohidrat menunjukkan
seberapa besar peningkatan kadar gula darah
setelah mengkonsumsi karbohidrat tersebut
yang dinyatakan dalam persentase respon
terhadap porsi karbohidrat yang setara dengan
referensi standar 50 g glukosa (Schwingshackl
dan Hoffmann, 2013). Miller, dkk. (1998)
menggolongkan indeks glikemik bahan pangan
ke dalam tiga kategori yaitu: bahan pangan
dengan indeks glikemik rendah (IG < 55), bahan
pangan dengan indeks glikemik sedang (55 ≤IG
≤70), dan bahan pangan dengan indeks glikemik
tinggi (IG >70) (Tabel 1). Nilai IG berkaitan
dengan konsumsi pangan rendah kalori, badan
yang langsing, dan rendah penyerapan glukosa
di usus (Pereira, dkk., 2014).
Konsep nilai IG dianggap belum cukup
memadai
untuk
menjelaskan
penyebab
penyakit diabetes maka muncul konsep beban
glikemik (untuk mengestimasi berapa banyak
efek glikemik dari suatu produk per takaran saji).
Konsep beban glikemik mengatasi kekurangan
konsep IG, yaitu tidak hanya mempertimbangkan
nilai IG (kualitas karbohidrat), tetapi juga jumlah
dari makanan yang dikonsumsi (kuantitas
karbohidrat) (Tabel 1) (Augustin, dkk., 2015).
Perhitungan IG didasarkan pada jumlah
karbohidrat yang sama, sedangkan ukuran
penyajian produk tidak selalu sama. Ilustrasi
berikut sebagai contoh, semangka memiliki IG
150
yang tinggi, tetapi karbohidrat di dalam satu
potong saji semangka tidaklah banyak sehingga
efek glikemik makan semangka sebetulnya
menjadi rendah. Beban glikemik (BG) dapat
dihitung dengan menggunakan rumus beban
glikemik. Satu porsi penyajian produk dikatakan
memiliki nilai BG rendah jika nilainya sama atau
lebih rendah dari 10 (≤10); BG sedang jika nilai
BG antara 10–20 (10<BG<20); dan BG tinggi
jika nilainya sama atau lebih besar dari 20 (≥20)
(Venn dan Green, 2007).
IV. PENGARUH PROSES
TERHADAP IG
PENGOLAHAN
Proses
pengolahan
pangan
dapat
berpengaruh terhadap IG. Pangan yang diolah
memiliki IG yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pangan yang tidak diolah. Hal tersebut
disebabkan pangan yang diolah telah mengalami
perubahan struktur matriks pangan menjadi
bentuk yang lebih mudah dicerna dan diserap
oleh tubuh sehingga dapat meningkatkan
kadar gula darah dengan cepat. Pengolahan
mengakibatkan pati tergelatinisasi. Granula pati
yang pecah mengakibatkan keluarnya amilosa
dan amilopektin yang berukuran lebih kecil. Hal
tersebut mengakibatkan luas permukaan bidang
untuk bekerjanya enzim pencernaan semakin
meningkat sehingga memudahkan terjadinya
degradasi oleh enzim dan membuat IG meningkat
(Rimbawan dan Siagian, 2004). Pangan yang
digoreng memiliki nilai IG yang lebih rendah
dibandingkan dengan cara pengolahan lainnya
(kukus, rebus, dan panggang). Pangan yang
diolah dengan cara dipanggang memiliki IG
yang lebih tinggi daripada pangan yang direbus/
dikukus (Tabel 2).
Pangan tinggi karbohidrat dengan proses
pengolahan berbeda akan memiliki IG yang
berbeda. Sukun yang digoreng memiliki nilai
IG 82, sukun kukus ber-IG 85, dan sukun rebus
ber-IG 89 (Tabel 2). Proses pemanggangan
berlangsung pada suhu tinggi menyebabkan
sebagian pati akan mengalami hidrolisis
PANGAN, Vol. 28 No. 2 Agustus 2019 : 145 – 160
Tabel 2. Pengaruh Proses Pengolahan terhadap Indeks Glikemik (IG)
* Indeks glikemik estimasi hasil pengujian in vitro
pada ikatan glikosidiknya. Hal tersebut
mengakibatkan nilai IG-nya meningkat. Jagung
manis bakar memiliki IG yang paling tinggi
yaitu 55,31 dibandingkan dengan jagung manis
rebus dan tumis yang memiliki IG berturut-turut
sebesar 41,22 dan 31,09 (Tabel 2). Begitu juga
umbi uwi dan ubi oranye yang dipanggang
memiliki IG yang paling tinggi yaitu 80±7 dan
80 dibandingkan dengan pengolahan direbus
dan digoreng (Tabel 2). Data sukun dan gembili
menunjukkan pengolahan dengan digoreng
memiliki IG yang paling rendah dibandingkan
dengan pengolahan lainnya yaitu rebus dan
kukus. Hal tersebut disebabkan pengolahan
dengan digoreng, minyak dapat menghalangi
penyerapan glukosa dan kemungkinan akan
terbentuk kompleks amilolipid yang sulit dicerna
oleh tubuh sehingga IG-nya rendah.
V.
MEKANISME
PANGAN
DENGAN
AVAILABLE KARBOHIDRAT TINGGI
DALAM MENINGKATKAN IG PANGAN
Jenis karbohidrat berpengaruh terhadap IG.
Pangan tinggi karbohidrat belum tentu memiliki
IG tinggi, tergantung jenisnya available atau
non-available (Tabel 3). Jagung manis, sorghum
putih, ubi jalar ungu, talas, garut, ganyong,
suweg, sagu, sukun, kacang polong, kacang
tunggak merah, kacang tunggak putih, kacang
merah, kacang koro pedang memiliki jenis nonavailable karbohidrat (pati resisten dan kadar
serat) lebih tinggi daripada beras putih sehingga
IG-nya secara berturut-turut lebih rendah
dibandingkan dengan beras putih (67,9), yaitu
Hubungan antara Kandungan Karbohidrat dan Indeks Glikemik pada Pangan Tinggi Karbohidrat
Afandi FA, Wijaya CH, Faridah DN, dan Suyatma NE
151
Sumber: modifikasi dari Satoh, dkk. (2015)
Gambar 1. Mekanisme Pangan dengan Jenis Available Karbohidrat Tinggi Menaikkan Indeks
Glikemik
Tabel 3. Hubungan antara Kadar Available Karbohidrat dan Non-available Karbohidrat dengan
Nilai Indeks Glikemik (IG)
No.
152
Sumber
(Kategori IG)
Available
Non-Available
Kadar
Karbohidrat
Karbohidrat
Karbohidrat
Kadar Pati Pati Resisten Kadar Serat
(persen bb)
(persen bb) (persen bb) (persen bb)
Referensi
PANGAN, Vol. 28 No. 2 Agustus 2019 : 145 – 160
Hubungan antara Kandungan Karbohidrat dan Indeks Glikemik pada Pangan Tinggi Karbohidrat
Afandi FA, Wijaya CH, Faridah DN, dan Suyatma NE
153
Gambar 2. Hubungan antara Proporsi Kadar Rapidly Digestable Starch (RDS) dan Resistant Starch
(RS) pada Pangan Tinggi Karbohidrat terhadap Indeks Glikemik (IG)
Keterangan :
a) Kadar Rapidly Digestable Starch (RDS) yang Tinggi Menaikkan Indeks Glikemik (IG),
b) Keberadaan Resistant Starch (RS) yang Menggantikan Sebagian Rapidly Digestable Starch (RDS) akan
Menurunkan Indeks Glikemik (IG),
c) Keberadaan Resistant Starch (RS) sebagai Porsi Ekstra terhadap Rapidly Digestable Starch (RDS) akan
Memberikan Hasil yang Tidak Konsisten, yaitu dapat Menaikkan Indeks Glikemik (IG) atau Menurunkan
Indeks Glikemik (IG)
Sumber : Wong dan Louie (2016).
48; 32; 60; 63,1; 14; 19,87; 42; 26; 64,5; 35; 29;
41; 26; 42,38 (Tabel 3). Jenis karbohidrat yang
non-available seperti serat, berbentuk kompleks
seperti amilolipid, atau berupa pati termodifikasi
maupun pati resisten tidak dapat dicerna dan
diserap oleh tubuh. Karbohidrat dapat menjadi
non-available akibat dari modifikasi kimia,
proses pengolahan atau berinteraksi dengan
komponen lain (Lovegrove, dkk., 2017). Jika
Mekanisme pangan dengan jenis available
karbohidrat tinggi dapat meningkatkan IG pangan
melalui 3 tahapan. Tahap pertama, karbohidrat
atau polisakarida diubah menjadi disakarida
dengan menggunakan enzim α-amilase. Tahap
kedua, disakarida diubah menjadi monosakarida
dengan menggunakan enzim α-glukosidase.
Tahap ketiga, monosakarida diserap di usus
halus dan masuk ke dalam darah menjadi gula
Tabel 4. Hubungan antara Kadar Rapidly Digestable Starch (RDS), Slowly Digestable Starch
(SDS), dan Resistant Starch (RS) terhadap Indeks Glikemik (IG) pada Tepung Biji-bijian
dan Kentang (persen bb).
Total pati = rapidly digestable starch (RDS) + slowly digestable starch (SDS) + resistant starch (RS)
Sumber: dimodifikasi dari Murray, dkk. (2001)
karbohidrat yang dimetabolisme adalah pati yang
dapat dicerna maka glukosa yang akan diserap
usus meningkat. Sementara jika karbohidrat
yang dimakan mengandung serat maka serat
tersebut akan menghalangi penyrapan glukosa
di usus.
154
darah melalui protein transporter (Gambar 1).
Pangan karbohidrat tinggi namun memiliki
proporsi slowly digestable starch (SDS)
atau resistant starch (RS) yang tinggi akan
mengakibatkan nilai IG-nya rendah. Sebaliknya,
PANGAN, Vol. 28 No. 2 Agustus 2019 : 145 – 160
pangan karbohidrat tinggi dengan proporsi
rapidly digestable starch (RDS) yang tinggi akan
mengakibatkan nilai IG-nya tinggi (Gambar
2 dan Tabel 4). Hal tersebut sejalan dengan
penelitian Giri, dkk. (2017) yang menyatakan
terdapat hubungan positif yang kuat antara IG
dan RDS sedangkan antara IG dengan SDS dan
RS menunjukkan hubungan negatif yang kuat.
VI. KESIMPULAN
Pangan
tinggi
karbohidrat
dapat
dikelompokkan menjadi pangan dengan
jenis available karbohidrat dan non-available
karbohidrat. Pangan dengan jenis available
karbohidrat
seperti
glukosa,
disakarida,
oligosakarida, dan pati adalah jenis karbohidrat
yang dapat dicerna. Semakin tinggi kadar
available karbohidrat maka semakin tinggi nilai
IG-nya. Jenis non-available karbohidrat tidak
mudah dicerna, umumnya memiliki nilai IG
rendah. Pangan tinggi karbohidrat dapat memiliki
IG rendah disebabkan jenis karbohidratnya
berbentuk kompleks, mengandung serat
pangan atau dalam bentuk pati resisten. Jenis
available karbohidrat dapat berubah menjadi
non-available disebabkan proses modifikasi
kimia, pengolahan atau berinteraksi dengan
komponen lain. Masyarakat hendaknya mulai
peduli dalam memilih pangan sebagai sumber
karbohidrat, bukan hanya dilihat dari tinggi atau
rendahnya kandungan karbohidrat tetapi juga
jenis karbohidrat, cara pengolahannya, dan
berapa banyak yang dikonsumsi.
DAFTAR PUSTAKA
Alcazar-Alay, S.C., Meireles M.A.A. 2015.
Physicochemical Properties, Modifications and
Applications of Starches from Different Botanical
Sources. Food Sci. Technol 35(2): 215–236.
Amalia, S.N., Rimbawan, dan Dewi, M. 2011. Nilai
Indeks Glikemik Beberapa Jenis Pengolahan
Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt).
Jurnal Gizi dan Pangan 6(1): 36–41.
Antara News. 2016. Penelitian: kerugian akibat
diabetes Rp800 triliun. https://www.antaranews.
com/berita/597491/penelitian-kerugian-akibatdiabetes-rp800-triliun [10 Mei 2019].
Anggraeni, D. 2013. Indeks Glikemik dan Beban
Glikemik Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.)
Goreng dan Kukus. Skripsi. Yogyakarta: UGM.
Anugrahati, N.A., Pranoto Y., Marsono Y., dan
Marseno, D.W. 2015. In Vitro Digestibility of
Indonesian Cooked Rice Treated with Cooling-
Reheating Process and Coconut Milk Addition.
International Research Journal of Biological
Sciences 4(12): 34–39.
Astawan, M., dan Widowati, S. 2011. Evaluation of
Nutrition and Glycemic Index of Sweet Potatoes
and Its Appropriate Processing to Hypoglycemic
Foods. Indonesian Journal of Agricultural
Science 12(1): 40–46.
Augustin, L.S.A., Kendall, C.W.C., Jenkins, D.J.A.,
Willet, W.C., Astrup, A., Barclay, A.W., Bjorck,
I., Brand-Miller, J.C., Brighenti, F., Buyken, A.E.,
Ceriello, A., Vecchia, C.L., Livesey, G., Liu, S.,
Riccardi, G., Rizkalla, S.W., Sievenpiper, J.L.,
Trichopoulou, A., Wolever, T.M.S., Baer-Sinnot,
S., dan Poli, A. 2015. Glycemic Index, Glycemic
Load and Glycemic Response: An International
Scientific Consensus Summit from the
International Carbohydrate Quality Consortium
(ICQC). Nutrition, Metabolism & Cardiovascular
Diseases 25: 795–815.
Azizah, D.M. 2017. Perbandingan Indeks Glikemik
dan Beban Glikemik Singkong sebagai
Pengganti Nasi. (Skripsi). Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah.
Behall, K.M., dan Scholfield, D.J. 2005. Food
Amylose Content Affects Postprandial Glucose
and Insulin Responses. Cereal Chem 82(6):
654–659.
Bender, D.A. 2006. Benders’ Dictionary of Nutrition
and Food Technology. Cambridge: Woodhead
Publishing CRC Press.
Budijanto, S. 2014. Beras Analog Sebagai Vehicle
Penganekaragaman Pangan. Orasi Ilmiah Guru
Besar IPB. Bogor: IPB Press.
Chung, H.J., Lim, H.S., dan Lim, S.T. 2006. Effect
of Partial Gelatinization and Retrogradation on
The Enzymatic Digestion of Waxy Rice Starch.
Journal of Cereal Science 43: 353–359.
Cummings, J.H., dan Stephen, A.M. 2007.
Carbohydrate Terminology and Classification.
(Review). European Jurnal of Clinical Nutrition
61 (1): 5–18.
Denardin, C.C., Boufleur, N., Reckziegel, P., Da Silva,
L.P., dan Walter, M. 2012. Amylose Content
in Rice (Oryza sativa) Affects Performance,
Glycemic and Lipidic Metabolism in Rats.
Ciência Rural 42(2): 381–387.
Denardin, C.C., Walter, M., Da Silva, L.P., Souto,
G.D., dan Fagundes, C.A.A. 2007. Effect of
Amylose Content of Rice Varieties on Glycemic
Metabolism and Biological Responses in Rats.
Food Chemistry 105: 1474–1479.
Dipnaik, K., dan Kokare, P. 2017. Ratio of Amylose
and Amylopectin as Indicators of Glycaemic
Index and In Vitro Enzymatic Hydrolysis of
Hubungan antara Kandungan Karbohidrat dan Indeks Glikemik pada Pangan Tinggi Karbohidrat
Afandi FA, Wijaya CH, Faridah DN, dan Suyatma NE
155
Starches of Long, Medium and Short Grain Rice.
International Journal of Research in Medical
Sciences 5(10):4502–4505.
Eleazu, C.O. 2016. The Concept of Low Glycemic
Index and Glycemic Load Foods as Panacea for
Type 2 Diabetes Mellitus; Prospects, Challenges
and Solutions. African Health Sciences 16(2):
468–479.
Ellong, E.N., Billard, C., dan Adenet, S. 2014.
Comparison of Physicochemical, Organoleptic
and Nutritional Abilities of Eight Sweet Potato
(Ipomoea batatas) Varieties. Food and Nutrition
Sciences 5: 196–211.
Faridah, D.N., Rahayu, W.P., dan Apriyadi, M.S. 2013.
Modifikasi Pati Garut (Marantha arundinacea)
dengan Perlakuan Hidrolisis Asam dan Siklus
Pemanasan-Pendinginan untuk Menghasilkan
Pati Resisten Tipe 3. Jurnal Teknologi Industri
Pertanian 23(1):61–69.
FAO [Food and Agriculture Organization]. 2014.
Indonesia-Food and Nutrition Security Profiles.
USA: UN.
FAO/WHO Expert Consultation. 1998. Carbohydrates
in Human Nutrition: Report of a Joint FAO/WHO
Expert Consultation, Rome, 14–18 April, 1997.
Rome: FAO.
Gilang, R., Affandi, D.R., dan Ishartani, D.
2013. Physical and Chemical Properties
Characterization of Jack Bean (Canavalia
ensiformis) Flour Using Pretreatment Variation.
Jurnal Teknosains Pangan. 2(3): 34–42.
Giri, S., Banerji, A., Lele, S.S., dan Ananthanarayan,
L. 2017. Starch Digestibility and Glycaemic Index
of Selected Indian Traditional Foods: Effects of
Added Ingredients. International Journal of Food
Properties 20(1): 290–305.
Guo, P., Yu, J., Copeland, L., Wang, S., dan Wang,
S. 2018. Mechanisms of Starch Gelatinization
during Heating of Wheat Flour and Its Effect on
In Vitro Starch Digestibility. Food Hydrocolloids
82: 370–378.
Hardinsyah, dan Amalia, L. 2007. Perkembangan
Konsumsi Terigu dan Pangan Olahannya di
Indonesia 1993-2005. Jurnal Gizi dan Pangan
2(1):8–15.
Hasbullah, U.H.A., Nurdyansyah, F., Supriyadi, B.,
Umiyati, R., dan Ujianti, R.M.D. 2017. Physical
and Chemical Properties of Suweg Flour
(Amorphophallus campamulatus BI) in Central
Java. Jurnal Gizi dan Pangan 7(1): 59–65.
Herchi, W., Kallel, H., dan Boukchina, S. 2014.
Physicochemical Properties and Antioxidant
Activity of Tunisian Date Palm (Phoenix
dactylifera L.) Oil as Affected by Different
Extraction Methods. Food Science and
156
Technology (Campinas) 34(3): 464–470.
IDF [International Diabetes Federation]. 2017. IDF
Diabetes Atlas. Eighth Edition.
Indrasari, S.D., Purwani, E.Y., Wibowo, P., dan
Jumali. 2008. Nilai Indeks Glikemik Beras
Beberapa Varietas Padi. Penelitian Pertanian
Tanaman Pangan 27(3):127–134.
Iqbal, A., Pintor, K.T., dan Lisiswanti, R. 2015. Manfaat
Tanaman Kacang Merah dalam Menurunkan
Kadar Glukosa Darah. Majority 4(9):149–152.
Jeevetha, S., Nisak, M.Y.B., Ngan, H.B., Ismail,
A., dan Azlan, A. 2014. Relationship Between
Amylose Content and Glycemic Index of
Commonly Consumed White Rice. IOSR Journal
of Agriculture and Veterinary Science 7(9): 12–
18.
Jenkins, D.J.A., Wolever, D.M.T.M.S., Taylor, R.H.,
Barker, M.R.P.C.H., Fielden, S.R.D.H., Baldwin,
S.R.N.J.M., Bowling, M.R.C.P.A.C., Newman,
H.C., Jenkins, B.A.A.L., dan Goff, D.V. 1981.
Glycemic Index of Foods: A Physiological Basis
for Carbohydrate Exchange. The American
Journal of Clinical Nutrition 34: 362–366.
Karunasena, G.A.D.V., Chandrajith, V.G.G., dan
Nawaratne, S.B. 2018. Physicochemical
Characteristics of Pea Nut Butter Fruit
(Bunchosia armeniaca). International Journal of
Food Science and Nutrition 3(3): 46–51.
Kaur, M., dan Singh, S. 2016. Physicochemical,
Morphological, Pasting, and Rheological
Properties of Tamarind (Tamarindus indica L.)
Kernel Starch. International Journal of Food
Properties 19 (11): 2432–2442.
Kemenkes [Kementerian Kesehatan]. 2014. Situasi
dan Analisis Diabetes. Jakarta: Pusat Data dan
Informasi.
Kumari, R., Shrivastava, S.L., Mishra, H.N., dan
Meghwal, M. 2017. Physicochemical and
Functional Properties of Curcuma angustifolia
(Tikhur) - An Underutilized Starch. The Pharma
Innovation Journal 6(7): 114–119.
Ledikwe, J.H., Blanck, H.M., Khan, L.K., Serdula,
M.K., Seymour, J.D., Tohill, B.C., dan Rolls, B.J.
2006. Dietary Energy Density is Associated with
Energy Intake and Weight Status in US Adults.
Am J Clin Nutr 83: 1362–1368.
Lovegrove, A., Edwards, C.H., Noni, I.D., Patel, H.,
El, S.N., Grassby, T., Zielke, C., Ulmius, M.,
Nilsson, L., Butterworth, P.J., Ellis, P.R., dan
Shewry, P.R. 2017. Role of Polysaccharides in
Food, Digestion, and Health. Critical Reviews in
Food Science and Nutrition 57(2): 237–253.
Lin, M.H.A., Wu, M.C., Lu, S., dan Lin, J. 2010.
Glycemic Index, Glycemic Load and Insulinemic
PANGAN, Vol. 28 No. 2 Agustus 2019 : 145 – 160
Index of Chinese Starchy Foods. World J
Gastroenterol 16(39): 4973–4979.
Lum, M.S. 2017. Physicochemical Characteristics
of Different Rice Varieties Found in Sabah,
Malaysia. Transactions on Science and
Technology 4(2): 68–75.
Manshur, H.A. 2018. Perbandingan Indeks Glikemik
Beberapa Pangan Sumber Karbohidrat dengan
Basis Porsi Karbohidrat Available yang Berbeda.
[Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Marsono, Y., Wiyono, P., dan Noor, Z. 2002. Indeks
Glikemik Kacang-kacangan. Jurnal Teknologi
dan Industri Pangan 13(3): 211–216.
Maulana, B. 2012. Pengaruh Berbagai Pengolahan
terhadap Indeks Glikemik Ubi Jalar (Ipomea
batatas) Cilembu. [Skripsi]. Bogor. Departemen
Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor.
Mendosa, D. 2009. The Glycemic Index. http://www.
mendosa.com/gi.htm [diakses 05 Jan 2019].
Miller, B.J.C., Foster, P.K., Colagiuri, S., dan Leeds,
A. 1998. The GI Factor–The Glucose Revolution.
Australia: Hodder.
Mir, J.A., Srikaeo, K., dan Garcia, J. 2013. Effects
of Amylose and Resistant Starch on Starch
Digestibility of Rice Flours and Starches.
International Food Research Journal 20(3):
1329–1335.
Mishra, S., Hardacre A, Monro J. 2012. Food
Structure and Carbohydrate Digestibility. Di
dalam Carbohydrate-Comprehensive Study on
Glycobiology and Glycotechnology (Chang CF,
ed.). Croatia: Intech.
Momuat, L.I., Suryanto, E., Rantung, O., Korua, A.,
dan Datu, H. 2015. Perbandingan Senyawa
Fenolik dan Aktivitas Antioksidan antara Sagu
Baruk Segar dan Kering. Chem. Prog. 8(1): 21–
29.
Murray, S.M., Flickinger, E.A., Patil, A.R., Merchen,
N.R., Brent, J.L., dan Fahey, G.C. 2001. In Vitro
Fermentation Characteristics of Native and
Processed Cereal Grains and Potato Starch
Using Ileal Chyme from Dogs. J. Anim. Sci.
79:435–444.
Musa, A.S.N., Umar, I.M., dan Ismail, M. 2011.
Physicochemical Properties of Germinated
Brown Rice (Oryza sativa L.) Starch. Afr. J.
Biotechnol 10(33): 6281–6291.
Nounmusig, J., Kongkachuichai, R., Sirichakwal,
P., Wongwichain, C., Saengkrajang, W. 2018.
Glycemic Index, Glycemic Load and Serum
Insulin Response of Alternative Rice Noodles
from Mixed Sago Palm Flour (Metroxylon spp.)
and Chiang Rice Flour. Burapha Science Journal
23(2): 839–851.
Oboh, G., Ademosun, A.O., Akinleye, M., Omojokun,
O.S., Boligon, A.A., dan Athayde, M.L. 2015.
Starch Composition, Glycemic Indices, Phenolic
Constituents, and Antioxidative and Antidiabetic
Properties of Some Common Tropical Fruits.
Journal of Ethnic Foods 2: 64–73.
Oboh, H.A., dan Ogbebor, V.O. 2010. Effect of
Processing on The Glycemic Index and Glycemic
Load of Maize (Zea mays). Nigerian Journal of
Biochemistry and Molecular Biology 25(2): 46–52.
Osundahunsi, O.F., Fagbemi, T.N., Kesselman,
E., dan Shimoni, E. 2003. Comparison of
The Physicochemical Properties and Pasting
Characteristics of Flour and Starch from Red
and White Sweet Potato Cultivars. J. Agric. Food
Chem. 51(8): 2232–2236.
Parente, E.B., Pereira, P.H., Nunes, V.S., Lottenberg,
A.M.P., Lima, C.S., Rochitte, C.E., Castro, C.C.,
dan Halpern, A. 2014. The Effects of High-Fat
or High-Carbohydrate Diet on Intramyocellular
Lipids. J Food Nutr Disor 3(6): 1–5.
Pereira, P.F., De Almaida, C.D.G., Alfenas, R.D.C.G.
2014. Glycemic Index Role on Visceral Obesity,
Subclinical Inflammation and Associated Chronic
Diseases. Nutr Hosp. 30(2): 237–243.
Pernambuco, E.D.A.M., Parana, N.K., dan
Pernambuco, T.L.M.S. 1994. Psychochemical
Properties of Jacatupe (Pachyrhizus erosus L.
Urban) Starch. Starch 46(7): 245–247.
Powell, K.F., Susanna, H.A.H., dan Miller, J.C.B.
2002. International Table of Glycemic Index and
Glycemic Load Values: 2002. The American
Journal of Clinical Nutrition 76(1): 5–56.
Prasad, M.P.R., Rao, B.D., Kalpana, K., Rao, M.V.,
dan Patil, J.V. 2014. Glycaemic Index and
Glycaemic Load of Sorghum Products. J Sci
Food Agric 95(8): 1626–1630.
Puspitasari, D., Rahayuningsih, T., dan j, F.S. 2015.
Karakterisasi dan Formulasi Tepung Komposit
Kimpul-Kacang Tunggak untuk Pengembangan
Biskuit
Non-Terigu.
Prosiding
Seminar
Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI.
Madura: Teknologi Industri Pertanian-Universitas
Trunojoyo Madura.
Putra, F.D., dan Mahmudiono, T. 2012. Hubungan
Tingkat Konsumsi Karbohidrat, Lemak, dan
Dietary Fiber dengan Kadar Gula Darah pada
Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Media Gizi
Indonesia 2(9): 1528–1538.
Rakhmawati, F.K.R., Rimbawan, dan Amalia, L.
2011. Nilai Indeks Glikemik Berbagai Produk
Olahan Sukun (Artocarpus altilis). Jurnal Gizi
dan Pangan 6(1): 28–35.
Hubungan antara Kandungan Karbohidrat dan Indeks Glikemik pada Pangan Tinggi Karbohidrat
Afandi FA, Wijaya CH, Faridah DN, dan Suyatma NE
157
Ramirez, Y.I.C., Moroyoqui, F.J.C., Reyes, F.R.,
Burgos, E.C.R., Amarillas, P.S.O., Corral,
F.J.W., Flores, J.B., dan Gastelum, A.G.C.
2015. Physicochemical Characterization of
Starch from Hexaploid Triticale (X Triticosecale
Wittmack) Genotypes. CyTA – Journal of Food.
13(3): 420–426.
Rimbawan, dan Nurbayani, R. 2013. Nilai Indeks
Glikemik Produk Olahan Gembili (Dioscorea
esculenta). Jurnal Gizi dan Pangan 8(2): 145–
150.
Rimbawan dan Siagian A. 2004. Indeks Glikemik
Pangan: Cara Mudah Memilih Pangan yang
Menyehatkan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Riskesdas [Riset Kesehatan Dasar]. 2013. Laporan
Hasil Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan RI.
Riskesdas [Riset Kesehatan Dasar]. 2018. Laporan
Hasil Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan RI.
Sack, F.M., Carey, V.J., Anderson, C.A.M., Miller,
E.R., Copeland, T., Charleston, J., Harshfield,
B.J., Laranjo, N., McCarron, P., Swain, J., White,
K., Yee, K., dan Appel, L.J. 2014. Effects of High
vs Low Glycemic Index of Dietary Carbohydrate
on Cardiovascular Disease Risk Factors and
Insulin Sensitivity: The OmniCarb Randomized
Clinical Trial. JAMA 312(23): 2531–2541.
Santosa, B.A.S., Widowati, S., Seprapto, R.H., dan
Saifudin. 2002. Ekstraksi, Isolasi, dan Hasil
Olah Pati Kacang Tunggak (Vigna ungguiculata
L, Walp). Penelitian Pertanian Tanaman Pangan
21(1): 56–62.
Sarepoua, E., Tangwongchai, R., Suriharn, B.,
dan Lertrat, K. 2013. Relationships between
Phytochemicals and Antioxidant Activity in Corn
Silk. International Food Research Journal 20(5):
2073–2079.
Satoh, T., Igarashi, M., Yamada, S., Takahashi, N.,
dan Watanabe, K. 2015. Inhibitory Effect of
Black Tea and Its Combination with Acarbose on
Small Intestinal α-Glucosidase Activity. Journal
of Ethnopharmacology 161: 147–155.
Setiarto, R.H.B., Jenie, B.S.L., Faridah, D.N., dan
Saskiawan, I. 2015. Kajian Peningkatan Pati
Resisten yang Terkandung dalam Bahan Pangan
sebagai Sumber Prebiotik. Jurnal Ilmu Pertanian
Indonesia 20(3): 191–200.
Schwingshackl, L., dan Hoffmann, G. 2013. Longterm Effects of Low Glycemic Index/Load vs.
High Glycemic Index/Load Diets on Parameters
of Obesity and Obesity-Associated Risks: A
Systematic Review and Meta-Analysis. Nutrition,
158
Metabolism & Cardiovascular Diseases 23:
699–706.
Shanita, S.N., Hasnah, H., dan Khoo, C.W. 2011.
Amylose and Amylopectin in Selected Malaysian
Foods and Its Relationship to Glycemic Index.
Sains Malaysiana 40(8): 865–870.
Sukatiningsih. 2005. Physicochemical and Functional
Properties of Starch from Breadnut (Artocarpus
communis G.Forst) Seed. Jurnal Teknologi
Pertanian 6(3): 163–169.
Suprijadi. 2012. Karakterisasi Sifat Fisik dan Kimia
Tepung Sorgum (Sorghum bicolor L) Rendah
Tanin. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana
IPB.
Suryani, C.L., Purwanta, D., dan Haryadi. 2001.
Characteristic of Cowpea (Vigna unguiculata)
Starch and Its Noodle. Agritech. 21(3): 99–103.
Suyono. 2002. Peta Pangan dan program
Penganekaragaman Pangan 1939-2002 (63
Tahun) Dalam Penganekaragaman Pangan.
Prakarsa Swasta dan Pemerintah Daerah.
Forum Kerja Penganekaragaman Pangan.
2003. Jakarta.
Trinidad, T.P., Mallillin, A.C., Sagum, R.S., Felix,
A.D.R., Tuano, A.P.P., Juliano, B.O. 2014.
Relative Effect of Apparent Amylose Content on
The Glycemic Index of Milled and Brown Rice.
Philipp Agric Scientist 97(4): 405–408.
Venn, B.J., dan Green, T.J. 2007. Glycemic Index and
Glycemic Load: Measurement Issues and Their
Effect on Diet-Disease Relationships. Nutrition
Journal of Clinical Nutrition 61(1): 122–131.
WHO [World Health Organization]. 2016. Global
Report on Diabetes. France: WHO.
Widanagamage, R.D., Ekanayake, S., dan Welihinda,
J. 2013. Effect of Extent of Gelatinisation
of Starch on The Glycaemic Responses of
Carbohydrate Rich Breakfast Meals. Mal J Nutr
19(2): 233–242.
Widowati, S., Khumaida, N., Ardie, S.W.,
Trikoesoemoningtyas. 2016. c. J. Agron.
Indonesia 44(2): 162–169.
Widowati, S., Santosa, B.A.S., Astawan, M., dan
Akhyar. 2010. Reducing Glycemic Index of
Some Rice Varieties Using Parboiling Process.
Indonesian Journal of Agriculture 3(2): 104–111.
Wong, T.H.T., dan Louie, J.C.Y. 2016. The
Relationship Between Resistant Starch and
Glycemic Control: A Review on Current Evidence
and Possible Mechanisms. (Review). Starch 68:
1–9.
Zambrano, A.D., Bhandari, B., Ho, B., dan Prakash, S.
2016. Retrogradation—Digestibility Relationship
of Selected Glutinous and Non-Glutinous Fresh
PANGAN, Vol. 28 No. 2 Agustus 2019 : 145 – 160
and Stale Cooked Rice. International Journal of
Food Properties 19: 2608–2622.
Zhou, X., Chung, H.J., Kim, J.Y., dan Lim, S.T.
2013. In Vitro Analyses of Resistant Starch
in Retrograded Waxy and Normal Corn
Starches. International Journal of Biological
Macromolecules 55:113–117.
BIODATA PENULIS:
Frendy Ahmad Afandi dilahirkan di Lampung,
6 Juni 1989. Menyelesaikan Pendidikan S1 di
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut
Pertanian Bogor tahun 2011, Pendidikan S2 Ilmu
Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB tahun 2014,
dan saat ini sedang menempuh Pendidikan S3
di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Pangan Institut
Pertanian Bogor.
C. Hanny Wijaya dilahirkan di Semarang,
22 April 1960. Menyelesaikan Pendidikan S1
di jurusan Teknologi Hasil Pertanian Institut
Pertanian Bogor tahun 1982, Pendidikan S2
Kimia Pertanian, Hokkaido University tahun
1987, dan Pendidikan S3 Kimia Pertanian,
Hokkaido University tahun 1990.
Didah Nur Faridah dilahirkan di Tasikmalaya,
7 November 1971. Menyelesaikan Pendidikan
sarjana (S1) di IPB tahun 1996, Pendidikan
Magister Ilmu Pangan (S2) di IPB tahun 2001,
dan Program Doktor (S3) di IPB tahun 2011.
Email:
[email protected].
Nugraha Edhi Suyatma dilahirkan di Magelang,
20 Desember 1970. Menyelesaikan Pendidikan
sarjana (S1) di IPB tahun 1994, Pendidikan
Magister (S2) di Institut National Agronomique
Paris Grignon tahun 2001, dan Program Doktor
(S3) di Universite de Reims, Perancis tahun
2006.
Hubungan antara Kandungan Karbohidrat dan Indeks Glikemik pada Pangan Tinggi Karbohidrat
Afandi FA, Wijaya CH, Faridah DN, dan Suyatma NE
159
160
PANGAN, Vol. 28 No. 2 Agustus 2019 : 145 – 160