Academia.eduAcademia.edu

Correlation between High Carbohydrate Foods with Glycemic Index

2019, JURNAL PANGAN

High carbohydrate food has been perceived as a food with high glycemic index (GI). Meanwhile, the risks of diabetes are frequently associated with the GI carbohydrate based foods. Therefore, a comprehensive study based on the literature review regarding the relationship between high-carbohydrate food and the glycemic index needs to be conducted. High-carbohydrate foods can be grouped into the available carbohydrates type and non-available carbohydrates type. Food with available carbohydrates such as glucose, disaccharide, digestible oligosaccharides, and starch have positive correlation with the GI. The non-available forms of carbohydrates are hardly digested by the body, so they usually have low GI. The non-available carbohydrates foods are fructooligosaccharide (FOS) and galactooligosaccharide (GOS), raffinose, stachyose, and verbascose. High-carbohydrate foods can have low GI value due to complex carbohydrates or resistant starches. The type of carbohydrate can be turned into non...

Hubungan antara Kandungan Karbohidrat dan Indeks Glikemik pada Pangan Tinggi Karbohidrat Relationship between Carbohydrate Content and the Glycemic Index in High-Carbohydrate Foods Afandi F. A., Wijaya C. H., Faridah D. N., dan Suyatma N. E. Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB Kampus IPB Dramaga, PO BOX 220 Bogor, Jawa Barat 16680 E-mail: [email protected] Diterima : 24 Januari 2019 Revisi : 21 Juni 2019 Disetujui : 6 September 2019 ABSTRAK Pangan tinggi karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi pangan available karbohidrat dan pangan nonavailable karbohidrat. Available karbohidrat adalah karbohidrat yang dapat dicerna oleh enzim pencernaan, diserap dalam bentuk glukosa oleh usus halus, dan dimetabolisme oleh sel-sel tubuh, seperti glukosa, disakarida, oligosakarida yang dapat dicerna, dan pati (rapidly digestable starch dan slowly digestable starch). Non-available karbohidrat adalah karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan, tidak diserap dalam bentuk glukosa oleh usus halus, dan tidak dimetabolisme oleh sel-sel tubuh, seperti serat, pati resisten, oligosakarida (frukto oligosakarida dan galakto oligosakarida), rafinosa, stakiosa, dan verbaskosa. Pangan yang mengandung available karbohidrat tinggi memiliki indeks glikemik (IG) tinggi. Pangan yang mengandung non-available karbohidrat tinggi memiliki IG rendah. Jenis available karbohidrat dapat berubah menjadi non-available disebabkan proses modifikasi kimia, pengolahan, atau berinteraksi dengan komponen lain. Pengkajian literatur mengenai hubungan antara pangan tinggi karbohidrat dengan indeks glikemik perlu dilakukan secara utuh. Informasi ini menjadi penting karena dewasa ini kepedulian masyarakat mengenai pengaruh pangan terhadap kesehatan cukup tinggi. Pangan berkarbohidrat tinggi perlu secara utuh dipahami, tidak hanya dilihat dari tinggi atau rendahnya kadar karbohidrat tetapi juga jenis karbohidrat, cara pengolahannya, dan berapa banyak yang dikonsumsi akan sangat membantu masyarakat dalam memilih asupan pangannya terutama pangan yang memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi. kata kunci: available karbohidrat, karbohidrat tinggi, nilai IG, non-available karbohidrat ABSTRACT High-carbohydrate foods can be grouped into the available carbohydrate type and non-available carbohydrate type. Available carbohydrates are digestible by digestive enzymes, absorbed in the form of glucose by the small intestine, and metabolized by body cells, such as glucose, disaccharides, digestible oligosaccharides, and starch (rapidly digestible starch and slowly digestible starch). Nonavailable carbohydrates are indigestable by digestive enzymes, unabsorbed in the form of glucose by the small intestine, and unmetabolized by body cells, such as fiber, resistant starch, oligosaccharides (fructooligosaccharides and galactooligosaccharides), raffinose, stachyose, and verbascose. Food with high available carbohydrates has a high glycemic index (GI). Food with non-available high carbohydrates has a low GI. The available carbohydrate can be turned into non-available due to chemical modification, processing, or interacting with other components. A literature review on the relationship between highcarbohydrate foods and the glycemic index needs to be done thoroughly. A thorough understanding of highcarbohydrate foods should be not only considered from the high or low carbohydrate level perspectives but also the type of carbohydrates, how they are processed, and how much is consumed. This knowledge might help people in choosing their foods, especially foods with a high carbohydrate content. keywords: available carbohydrate, glycemic index, high carbohydrate, non-available carbohydrate I. I PENDAHULUAN ndonesia memiliki masalah terkait penyakit diabetes karena penyakit diabetes menjadi penyakit pembunuh nomor 3 di Indonesia (Kemenkes, 2014). Jumlah penderita diabetes di Indonesia pada tahun 2017 mencapai 10,3 Hubungan antara Kandungan Karbohidrat dan Indeks Glikemik pada Pangan Tinggi Karbohidrat Afandi FA, Wijaya CH, Faridah DN, dan Suyatma NE 145 juta jiwa (IDF, 2017). Posisi Indonesia saat ini berada di urutan nomor 6 negara dengan jumlah penduduk tertinggi mengidap diabetes melitus (DM) di dunia (IDF, 2017). DM adalah penyakit kronis serius yang terjadi karena pankreas tidak menghasilkan insulin (hormon yang mengatur kadar gula darah) dalam jumlah yang cukup atau insulin yang diproduksi oleh tubuh tidak bekerja efektif (tidak berfungsi dengan baik). Sekitar 90 persen pasien diabetes terdiagnosa DM tipe 2 dan 53 persen penderita diabetes tidak menyadari bahwa dirinya terkena diabetes. DM tipe 2 adalah diabetes yang disebabkan insulin yang diproduksi oleh tubuh tidak bekerja secara efektif (WHO, 2016). Ketidaktahuan tersebut menimbulkan risiko terjadinya komplikasi. Diperkirakan jumlah penderita diabetes akan terus bertambah hingga tahun mendatang. Total biaya ekonomi yang harus ditanggung pemerintah sejak 2006 hingga 2015 mencapai Rp800 triliun. Data dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) juga mencatat pasien DM menguasai 30 persen klaim atau sekitar Rp20 triliun pada tahun 2016 (Antara, 2016). Laporan Riskesdas 2018 menunjukkan adanya peningkatan prevalensi penderita diabetes di Indonesia pada usia produktif (35–44 tahun) dari angka prevalensi sebesar 1,1–1,7 persen pada tahun 2013 menjadi 1,1–8,6 persen pada tahun 2018 (Riskesdas, 2013; 2018). Komposisi diet orang Indonesia dilaporkan tinggi akan karbohidrat (Putra dan Mahmudiono, 2012). Menurut Sack, dkk. (2014) konsumsi karbohidrat dapat berpengaruh pada risiko penyakit diabetes. Risiko diabetes sering dikaitkan dengan nilai indeks glikemik (IG) pangan berbasis karbohidrat. IG adalah angka dalam persen yang menunjukkan perbandingan antara luas daerah di bawah kurva respon glukosa darah pangan uji yang mengandung 50 gram available karbohidrat dan luas daerah di bawah kurva respon glukosa darah pangan acuan (biasanya berupa glukosa atau roti tawar) yang mengandung 50 gram available karbohidrat yang diujikan pada individu yang sama pada rentang waktu 2 jam setelah konsumsi (FAO/ WHO, 1998). IG dapat menjadi indikator risiko suatu pangan terhadap penyakit diabetes (Augustin, dkk., 2015). Penelitian oleh Manshur (2018) menunjukkan bahwa jenis karbohidrat 146 memiliki risiko yang berbeda dilihat dari nilai IGnya. Di sisi lain, data hasil penelitian yang dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi penyakit diabetes telah banyak dipublikasi baik pada tataran nasional maupun internasional. Hasil penelitian tentang data karakteristik fisikokimia pangan sumber karbohidrat telah banyak dipublikasikan, begitu juga data IG-nya. Meskipun demikian, tidak ada informasi korelasi terkait keduanya (data karakteristik fisikokimia dan data IG pangan sumber karbohidrat) sehingga dapat dimanfaatkan lebih jauh untuk mencegah terjadinya penyakit diabetes dengan memilih sumber karbohidrat yang sesuai. Pada review ini akan dibahas tentang pengaruh jenis karbohidrat terhadap mutu IG-nya. II. PANGAN TINGGI KARBOHIDRAT Bahan pangan tinggi karbohidrat menurut kamus Oxford dan Dictionary of food science and nutrition (kamus ilmu pangan dan gizi) adalah bahan pangan dengan persentase karbohidrat yang tinggi (Bender, 2006). Di sisi lain, bahan pangan tinggi karbohidrat menurut British Nutrition Foundation didefinisikan sebagai pangan sumber karbohidrat yang mencakup gula dan pati seperti roti, pasta, beras, kentang, sereal, oat, rye, gandum, dan biji-bijian lainnya. Lin, dkk. (2010) mendefinisikan bahan pangan tinggi karbohidrat sebagai bahan pangan yang mengandung karbohidrat di atas 50 persen berat kering. Indonesia kaya akan bahan pangan patipatian yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Bentuk bahan pangan pati-patian yang tersedia di Indonesia mencakup jenis serealia/ biji-bijian (beras, jagung, gandum), umbi-umbian (kentang, singkong, ubi jalar, talas, ganyong, garut, yam), batang (sagu), dan biji-bijian (kacang polong, kacang hijau, kacang merah). Sumber karbohidrat utama yang dikonsumsi oleh penduduk Indonesia saat ini adalah beras (53,5 persen), singkong (22,2 persen), jagung (18,9 persen), dan kentang (4,99 persen) (Suyono, 2002). Beras mengandung kadar karbohidrat sebesar 69,26 persen, singkong sebesar 38 persen, jagung sebesar 64 persen, dan kentang sebesar 34 persen. PANGAN, Vol. 28 No. 2 Agustus 2019 : 145 – 160 Tabel 1. Kategori Pangan Berdasarkan Nilai Indeks Glikemik (IG) dan Beban Glikemik Sumber: Powell, dkk. (2002);1Azizah (2017); 2Anggraeni (2013); 3Oboh dan Ogbebor (2010); 4Lin, dkk. (2010); 5 Prasad, dkk. (2014); 6Nounmusig, dkk. (2018). Diet standar menurut Parente, dkk. (2014) terdiri dari karbohidrat sebesar 50 persen, lemak 30 persen, dan protein 20 persen. Diet dikategorikan tinggi karbohidrat jika terdiri dari karbohidrat sebesar 60 persen, lemak 20 persen, dan protein 20 persen. Komposisi diet karbohidrat orang Indonesia menurut FAO (2014) dikategorikan tinggi karbohidrat karena mengonsumsi nasi sebagai sumber karbohidratnya ditambah lagi dengan frekuensi konsumsinya yang tiga kali sehari (Putra dan Mahmudiono, 2012). Beras yang biasa dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah beras IR 64, ciherang, atau pandan wangi yang memiliki nilai indeks glikemik antara 54–74 yang tergolong ber-IG rendah-tinggi (Widowati, dkk., 2010; Manshur, 2018; Alcazar-alay dan Meireless, 2015; Powell, dkk., 2002). Beras dengan IG tinggi diduga menjadi penyebab peningkatan penderita diabetes yang berusia 35–44 tahun seperti dilaporkan pada hasil Riskesdas (2018). Di sisi lain, sesungguhnya pangan tinggi karbohidrat yang umumnya dikonsumsi penduduk Indonesia beraneka ragam. Pangan tinggi karbohidrat lain yang digunakan sebagai alternatif diversifikasi pangan antara lain ubi jalar, ubi ungu, sorghum, talas, sagu, dan kacangkacangan. Ubi jalar memiliki kadar karbohidrat sebesar 29,14 persen, ubi ungu sebesar 35,76 persen, sorghum sebesar 76,67 persen, talas sebesar 24 persen, sagu sebesar 75 persen, kacang-kacangan sebesar 17,17–90,72 persen berat basah. Sangat disayangkan seperti yang dilaporkan oleh Hardinsyah dan Amalia (2007) serta Budijanto (2014), konsumsi terigu dan pangan olahannya, seperti mi dan berbagai produk bakery cenderung meningkat sedangkan konsumsi beras ataupun umbi-umbian cenderung menurun. Terigu mengandung kadar karbohidrat sebesar 62,76 persen, selain kurang produktif untuk dibudidayakan di Indonesia (Widowati, dkk., 2016) juga memiliki IG tinggi (IG=78) (Tabel 1). Hubungan antara Kandungan Karbohidrat dan Indeks Glikemik pada Pangan Tinggi Karbohidrat Afandi FA, Wijaya CH, Faridah DN, dan Suyatma NE 147 III. HUBUNGAN ANTARA PANGAN TINGGI KARBOHIDRAT (KH) DENGAN INDEKS GLIKEMIK (IG) Pemahaman dari segi gizi, karbohidrat terdiri dari dua jenis, yaitu available karbohidrat dan non-available karbohidrat. Available karbohidrat adalah karbohidrat yang dapat dicerna oleh enzim pencernaan, diserap dalam bentuk glukosa oleh usus halus, dan dimetabolisme oleh sel-sel tubuh. Serat pangan tidak termasuk kategori available karbohidrat karena tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan, meskipun dapat menjadi sumber energi setelah melalui proses fermentasi dan penyerapan asam lemakasam lemak rantai pendek di usus. Energi yang dihasilkan dari serat pangan sangat rendah, di bawah 4 kkal/gram, yaitu antara 1,5–2,5 kkal/ gram (Ledikwe, dkk., 2006), bahkan ada yang tidak memberikan energi. Semakin tinggi pangan dengan kandungan available karbohidrat seperti glukosa, disakarida, oligosakarida yang dapat dicerna, dan pati yang dapat dicerna maka nilai IG-nya semakin tinggi. Nasi merupakan pangan dengan available karbohidrat yang tinggi. Nonavailable karbohidrat adalah karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan, tidak diserap dalam bentuk glukosa oleh usus halus, dan tidak dimetabolisme oleh sel-sel tubuh (Cummings dan Stephen, 2007). Bentuk non-available karbohidrat seperti serat pangan banyak terdapat pada buah-buahan dan sayursayuran. Bentuk non-available karbohidrat tidak dicerna oleh tubuh sehingga memiliki IG rendah. Bentuk non-available karbohidrat seperti oligosakarida dalam bentuk frukto oligosakarida (FOS) dan galakto oligosakarida (GOS), rafinosa, stakiosa, dan verbaskosa terdapat pada kacang kedelai. Jenis non-available karbohidrat seperti pati resisten dan serat juga terdapat pada biji-bijian utuh dan sagu sehingga keduanya memiliki indeks glikemik yang rendah (Momuat, dkk., 2015; Setiarto, dkk., 2015). Pangan sumber karbohidrat seperti ubi ungu selain mengandung available karbohidrat juga non-available karbohidrat seperti serat (2,35–5,4 persen) dan oligosakarida yang tidak tercerna (0,72 persen) sehingga IG-nya rendah (50) (Ellong, dkk., 2014). Faktor intrinsik yang memengaruhi nilai IG dari pangan sumber karbohidrat adalah rasio 148 amilosa dan amilopektin. Pangan dengan kadar amilosa yang tinggi cenderung sulit dicerna akibat struktur amilosa yang tidak bercabang membuatnya terikat lebih kuat sehingga sulit mengalami gelatinisasi, sedangkan amilopektin strukturnya bercabang dan ukuran molekulnya lebih besar sehingga mudah mengalami gelatinisasi. Hal tersebut mengakibatkan amilopektin mudah untuk dicerna (Lovegrove, dkk., 2017). Behall dan Schofield (2005) menyatakan konsumsi pangan (jagung) dengan kadar amilosa tinggi berpengaruh signifikan terhadap penurunan respon glukosa dan insulin (sekitar separuhnya) pada subjek hiperinsulin. Jeevetha, dkk. (2014) menyatakan bahwa beras putih dengan kadar lemak 1 persen yang mengandung amilosa yang lebih rendah akan memiliki nilai IG yang tinggi. Hal tersebut disebabkan jika kadar amilosa pada beras tinggi, maka pada saat pemasakan dengan panas dapat terbentuk amilo-lipid kompleks yang membuatnya sulit dicerna oleh enzim pencernaan sehingga nilai IG-nya menurun. Penelitian Shanita, dkk. (2011) tentang makanan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat di Malaysia, menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar amilosa suatu pangan (10,77 persen) maka nilai IG-nya akan lebih rendah (54). Trinidad, dkk. (2014) meneliti pengaruh kadar amilosa terhadap nilai IG dari beras yang disosoh dan beras yang tidak disosoh (beras cokelat). Hasilnya baik pada beras yang disosoh maupun yang tidak disosoh menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar amilosa (27 persen) dari varietas beras maka nilai IG-nya akan semakin menurun (50). Beras yang tidak disosoh memiliki nilai IG yang lebih kecil dibandingkan beras yang disosoh. Mir, dkk. (2013) meneliti pengaruh penambahan amilosa dan pati resisten terhadap ketercernaan pati dan tepung beras. Hasilnya menunjukkan bahwa penambahan pati jangung tinggi amilosa dan pati resisten kepada tepung dan pati beras dengan kadar 10–50 persen dapat menurunkan laju pencernaan pati dan nilai IG estimasi baik pada tepung maupun pati beras. Penambahan 50 persen pati jagung yang tinggi amilosa dan pati resisten dapat menurunkan secara berturutturut nilai IG estimasi sebesar 8,39 persen dan 6,24 persen tepung beras dan pati beras. PANGAN, Vol. 28 No. 2 Agustus 2019 : 145 – 160 Dipnaik dan Kokare (2017) meneliti rasio amilosa dan amilopektin sebagai indikator nilai IG dan hidrolisis enzimatis secara in vitro pada pati beras, dengan tipe bulir panjang, sedang, dan pendek. Hasilnya menunjukkan beras dengan ukuran bulir panjang memiliki kadar amilosa paling tinggi dan kadar amilopektin paling rendah dibandingkan dengan beras berbulir sedang dan pendek. Hal tersebut mengakibatkan beras dengan bulir panjang memiliki nilai IG yang paling rendah akibat pelepasan gula pereduksi berlangsung paling lambat. Denardin, dkk. (2007) dan Denardin, dkk. (2012) melakukan penelitian tentang pengaruh kadar amilosa pada beberapa varietas beras terhadap metabolisme glikemik pada tikus. Hasilnya menunjukkan tikus dengan perlakuan pemberian ransum dengan beras berkadar amilosa tinggi menunjukkan respon gula darah yang lebih lambat. Rasio amilosa dan amilopektin berpengaruh signifikan terhadap laju dan lama pencernaan pati beras di dalam saluran pencernaan. Hal tersebut disebabkan amilopektin lebih mudah dicerna dibandingkan dengan amilosa. Faktor ekstrinsik yang memengaruhi nilai IG dari pangan sumber karbohidrat adalah tingkat gelatinisasi, proses pengolahan, dan proses retrogradasi. Pati yang tergelatinisasi sempurna membentuk granula yang mengembang dan mudah dicerna sehingga dapat memperluas permukaan untuk kontak dengan enzim pencernaan. Reaksi enzim pencernaan dengan bagian pati yang kontak dengannya berlangsung cepat sehingga pada pati yang tergelatinisasi sempurna dapat memiliki IG yang tinggi (Mishra, dkk., 2012). Eleazu (2016) menyatakan bahwa proses pengolahan dengan suhu tinggi yang mengakibatkan terjadinya gelatinisasi dapat mengubah secara permanen struktur amilosa dan amilopektin dari pati serta membuatnya lebih mudah diakses oleh enzim pencernaan. Guo, dkk. (2018) melakukan penelitian mengenai pengaruh gelatinisasi pati gandum terhadap daya cerna pati secara in vitro dengan perlakuan kadar air 20 persen, 30 persen, 40 persen, 50 persen, 60 persen, dan 70 persen dan pemanasan selama 5, 10, dan 20 menit. Hasilnya menunjukkan bahwa pati gandum yang semakin tergelatinisasi (tergelatinisasi sempurna pada kadar air 40 persen) akan meningkatkan daya cerna pati enzimatik secara in vitro (baik kecepatan maupun jumlah yang tercerna). Hal tersebut disebabkan pada proses gelatinisasi terbentuk daerah amorf pati yang lebih banyak dibandingkan daerah kristalin sehingga dapat dengan mudah diakses oleh enzim pencernaan. Hal serupa juga terlihat dari hasil penelitian Widanagamage, dkk. (2013) yang menunjukkan bahwa pangan khas Asia Selatan berbasis pati, yaitu roti dan pittu meskipun memiliki komposisi yang sama namun diproses dengan metode pemasakan yang berbeda (roti diolah dengan pemanasan kering/dipanggang sedangkan pittu diolah dengan pemanasan basah/dikukus) akan memiliki nilai IG yang berbeda secara signifikan. Roti memiliki nilai IG 57 sedangkan pittu memiliki nilai IG 80. Hal tersebut disebabkan pittu yang diolah dengan pemanasan basah lebih tergelatinisasi dibandingkan dengan roti yang diolah dengan pemanasan kering, sehingga patinya lebih mengalami kerusakan dan mengalami pengembangan granula. Granula pati yang pecah akan melepaskan amilosa dan amilopektin ke dalam matriks pangan sehingga dapat tersedia dan tercerna dengan mudah oleh enzim α-amilase. Pati ketan yang tergelatinisasi akan memiliki daerah amorf yang lebih banyak dibandingkan dengan pati yang tidak tergelatinisasi sehingga lebih mudah dicerna oleh enzim pencernaan sedangkan pati ketan yang tidak tergelatinisasi memiliki banyak daerah kristalin sehingga struktur pati menjadi kompak dan sulit dicerna oleh enzim pencernaan (Chung, dkk., 2006). Zambrano, dkk. (2016) meneliti hubungan ketecernaan dari beras ketan (beras beramilopektin tinggi) dan beras non-ketan (beras beramilopektin rendah) yang baru dimasak dan yang telah mengalami staling. Hasilnya menunjukkan bahwa beras dengan kadar amilosa tinggi dapat meningkatkan resistensi terhadap ketercernaan pati, namun kadar amilosa saja tidak cukup untuk memprediksi nilai IG. Ketercernaan pati dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang dapat menurunkan aktivitas enzim hidrolitik dan paparan substrat pati terhadap enzim. Proses retrogradasi pada beras sosoh non-ketan, dengan semakin meningkatnya kadar amilosa akan lebih menurunkan ketecernaan patinya Hubungan antara Kandungan Karbohidrat dan Indeks Glikemik pada Pangan Tinggi Karbohidrat Afandi FA, Wijaya CH, Faridah DN, dan Suyatma NE 149 dibandingkan dengan beras cokelat (beras yang tidak disosoh). Diperlukan waktu staling yang lebih lama pada beras ketan mencapai penurunan nilai IG yang signifikan. IG merupakan angka yang menunjukkan potensi peningkatan gula darah dari karbohidrat yang tersedia pada suatu pangan atau secara sederhana dapat dikatakan sebagai tingkatan atau ranking pangan terkait dengan efeknya terhadap kadar glukosa darah (Augustin, dkk., 2015). Konsep IG dikembangkan oleh Jenkins, dkk pada tahun 1981 untuk mengontrol kadar gula darah penderita diabetes tipe 2. Nilai IG dari suatu sumber pangan karbohidrat menunjukkan seberapa besar peningkatan kadar gula darah setelah mengkonsumsi karbohidrat tersebut yang dinyatakan dalam persentase respon terhadap porsi karbohidrat yang setara dengan referensi standar 50 g glukosa (Schwingshackl dan Hoffmann, 2013). Miller, dkk. (1998) menggolongkan indeks glikemik bahan pangan ke dalam tiga kategori yaitu: bahan pangan dengan indeks glikemik rendah (IG < 55), bahan pangan dengan indeks glikemik sedang (55 ≤IG ≤70), dan bahan pangan dengan indeks glikemik tinggi (IG >70) (Tabel 1). Nilai IG berkaitan dengan konsumsi pangan rendah kalori, badan yang langsing, dan rendah penyerapan glukosa di usus (Pereira, dkk., 2014). Konsep nilai IG dianggap belum cukup memadai untuk menjelaskan penyebab penyakit diabetes maka muncul konsep beban glikemik (untuk mengestimasi berapa banyak efek glikemik dari suatu produk per takaran saji). Konsep beban glikemik mengatasi kekurangan konsep IG, yaitu tidak hanya mempertimbangkan nilai IG (kualitas karbohidrat), tetapi juga jumlah dari makanan yang dikonsumsi (kuantitas karbohidrat) (Tabel 1) (Augustin, dkk., 2015). Perhitungan IG didasarkan pada jumlah karbohidrat yang sama, sedangkan ukuran penyajian produk tidak selalu sama. Ilustrasi berikut sebagai contoh, semangka memiliki IG 150 yang tinggi, tetapi karbohidrat di dalam satu potong saji semangka tidaklah banyak sehingga efek glikemik makan semangka sebetulnya menjadi rendah. Beban glikemik (BG) dapat dihitung dengan menggunakan rumus beban glikemik. Satu porsi penyajian produk dikatakan memiliki nilai BG rendah jika nilainya sama atau lebih rendah dari 10 (≤10); BG sedang jika nilai BG antara 10–20 (10<BG<20); dan BG tinggi jika nilainya sama atau lebih besar dari 20 (≥20) (Venn dan Green, 2007). IV. PENGARUH PROSES TERHADAP IG PENGOLAHAN Proses pengolahan pangan dapat berpengaruh terhadap IG. Pangan yang diolah memiliki IG yang lebih tinggi dibandingkan dengan pangan yang tidak diolah. Hal tersebut disebabkan pangan yang diolah telah mengalami perubahan struktur matriks pangan menjadi bentuk yang lebih mudah dicerna dan diserap oleh tubuh sehingga dapat meningkatkan kadar gula darah dengan cepat. Pengolahan mengakibatkan pati tergelatinisasi. Granula pati yang pecah mengakibatkan keluarnya amilosa dan amilopektin yang berukuran lebih kecil. Hal tersebut mengakibatkan luas permukaan bidang untuk bekerjanya enzim pencernaan semakin meningkat sehingga memudahkan terjadinya degradasi oleh enzim dan membuat IG meningkat (Rimbawan dan Siagian, 2004). Pangan yang digoreng memiliki nilai IG yang lebih rendah dibandingkan dengan cara pengolahan lainnya (kukus, rebus, dan panggang). Pangan yang diolah dengan cara dipanggang memiliki IG yang lebih tinggi daripada pangan yang direbus/ dikukus (Tabel 2). Pangan tinggi karbohidrat dengan proses pengolahan berbeda akan memiliki IG yang berbeda. Sukun yang digoreng memiliki nilai IG 82, sukun kukus ber-IG 85, dan sukun rebus ber-IG 89 (Tabel 2). Proses pemanggangan berlangsung pada suhu tinggi menyebabkan sebagian pati akan mengalami hidrolisis PANGAN, Vol. 28 No. 2 Agustus 2019 : 145 – 160 Tabel 2. Pengaruh Proses Pengolahan terhadap Indeks Glikemik (IG) * Indeks glikemik estimasi hasil pengujian in vitro pada ikatan glikosidiknya. Hal tersebut mengakibatkan nilai IG-nya meningkat. Jagung manis bakar memiliki IG yang paling tinggi yaitu 55,31 dibandingkan dengan jagung manis rebus dan tumis yang memiliki IG berturut-turut sebesar 41,22 dan 31,09 (Tabel 2). Begitu juga umbi uwi dan ubi oranye yang dipanggang memiliki IG yang paling tinggi yaitu 80±7 dan 80 dibandingkan dengan pengolahan direbus dan digoreng (Tabel 2). Data sukun dan gembili menunjukkan pengolahan dengan digoreng memiliki IG yang paling rendah dibandingkan dengan pengolahan lainnya yaitu rebus dan kukus. Hal tersebut disebabkan pengolahan dengan digoreng, minyak dapat menghalangi penyerapan glukosa dan kemungkinan akan terbentuk kompleks amilolipid yang sulit dicerna oleh tubuh sehingga IG-nya rendah. V. MEKANISME PANGAN DENGAN AVAILABLE KARBOHIDRAT TINGGI DALAM MENINGKATKAN IG PANGAN Jenis karbohidrat berpengaruh terhadap IG. Pangan tinggi karbohidrat belum tentu memiliki IG tinggi, tergantung jenisnya available atau non-available (Tabel 3). Jagung manis, sorghum putih, ubi jalar ungu, talas, garut, ganyong, suweg, sagu, sukun, kacang polong, kacang tunggak merah, kacang tunggak putih, kacang merah, kacang koro pedang memiliki jenis nonavailable karbohidrat (pati resisten dan kadar serat) lebih tinggi daripada beras putih sehingga IG-nya secara berturut-turut lebih rendah dibandingkan dengan beras putih (67,9), yaitu Hubungan antara Kandungan Karbohidrat dan Indeks Glikemik pada Pangan Tinggi Karbohidrat Afandi FA, Wijaya CH, Faridah DN, dan Suyatma NE 151 Sumber: modifikasi dari Satoh, dkk. (2015) Gambar 1. Mekanisme Pangan dengan Jenis Available Karbohidrat Tinggi Menaikkan Indeks Glikemik Tabel 3. Hubungan antara Kadar Available Karbohidrat dan Non-available Karbohidrat dengan Nilai Indeks Glikemik (IG) No. 152 Sumber (Kategori IG) Available Non-Available Kadar Karbohidrat Karbohidrat Karbohidrat Kadar Pati Pati Resisten Kadar Serat (persen bb) (persen bb) (persen bb) (persen bb) Referensi PANGAN, Vol. 28 No. 2 Agustus 2019 : 145 – 160 Hubungan antara Kandungan Karbohidrat dan Indeks Glikemik pada Pangan Tinggi Karbohidrat Afandi FA, Wijaya CH, Faridah DN, dan Suyatma NE 153 Gambar 2. Hubungan antara Proporsi Kadar Rapidly Digestable Starch (RDS) dan Resistant Starch (RS) pada Pangan Tinggi Karbohidrat terhadap Indeks Glikemik (IG) Keterangan : a) Kadar Rapidly Digestable Starch (RDS) yang Tinggi Menaikkan Indeks Glikemik (IG), b) Keberadaan Resistant Starch (RS) yang Menggantikan Sebagian Rapidly Digestable Starch (RDS) akan Menurunkan Indeks Glikemik (IG), c) Keberadaan Resistant Starch (RS) sebagai Porsi Ekstra terhadap Rapidly Digestable Starch (RDS) akan Memberikan Hasil yang Tidak Konsisten, yaitu dapat Menaikkan Indeks Glikemik (IG) atau Menurunkan Indeks Glikemik (IG) Sumber : Wong dan Louie (2016). 48; 32; 60; 63,1; 14; 19,87; 42; 26; 64,5; 35; 29; 41; 26; 42,38 (Tabel 3). Jenis karbohidrat yang non-available seperti serat, berbentuk kompleks seperti amilolipid, atau berupa pati termodifikasi maupun pati resisten tidak dapat dicerna dan diserap oleh tubuh. Karbohidrat dapat menjadi non-available akibat dari modifikasi kimia, proses pengolahan atau berinteraksi dengan komponen lain (Lovegrove, dkk., 2017). Jika Mekanisme pangan dengan jenis available karbohidrat tinggi dapat meningkatkan IG pangan melalui 3 tahapan. Tahap pertama, karbohidrat atau polisakarida diubah menjadi disakarida dengan menggunakan enzim α-amilase. Tahap kedua, disakarida diubah menjadi monosakarida dengan menggunakan enzim α-glukosidase. Tahap ketiga, monosakarida diserap di usus halus dan masuk ke dalam darah menjadi gula Tabel 4. Hubungan antara Kadar Rapidly Digestable Starch (RDS), Slowly Digestable Starch (SDS), dan Resistant Starch (RS) terhadap Indeks Glikemik (IG) pada Tepung Biji-bijian dan Kentang (persen bb). Total pati = rapidly digestable starch (RDS) + slowly digestable starch (SDS) + resistant starch (RS) Sumber: dimodifikasi dari Murray, dkk. (2001) karbohidrat yang dimetabolisme adalah pati yang dapat dicerna maka glukosa yang akan diserap usus meningkat. Sementara jika karbohidrat yang dimakan mengandung serat maka serat tersebut akan menghalangi penyrapan glukosa di usus. 154 darah melalui protein transporter (Gambar 1). Pangan karbohidrat tinggi namun memiliki proporsi slowly digestable starch (SDS) atau resistant starch (RS) yang tinggi akan mengakibatkan nilai IG-nya rendah. Sebaliknya, PANGAN, Vol. 28 No. 2 Agustus 2019 : 145 – 160 pangan karbohidrat tinggi dengan proporsi rapidly digestable starch (RDS) yang tinggi akan mengakibatkan nilai IG-nya tinggi (Gambar 2 dan Tabel 4). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Giri, dkk. (2017) yang menyatakan terdapat hubungan positif yang kuat antara IG dan RDS sedangkan antara IG dengan SDS dan RS menunjukkan hubungan negatif yang kuat. VI. KESIMPULAN Pangan tinggi karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi pangan dengan jenis available karbohidrat dan non-available karbohidrat. Pangan dengan jenis available karbohidrat seperti glukosa, disakarida, oligosakarida, dan pati adalah jenis karbohidrat yang dapat dicerna. Semakin tinggi kadar available karbohidrat maka semakin tinggi nilai IG-nya. Jenis non-available karbohidrat tidak mudah dicerna, umumnya memiliki nilai IG rendah. Pangan tinggi karbohidrat dapat memiliki IG rendah disebabkan jenis karbohidratnya berbentuk kompleks, mengandung serat pangan atau dalam bentuk pati resisten. Jenis available karbohidrat dapat berubah menjadi non-available disebabkan proses modifikasi kimia, pengolahan atau berinteraksi dengan komponen lain. Masyarakat hendaknya mulai peduli dalam memilih pangan sebagai sumber karbohidrat, bukan hanya dilihat dari tinggi atau rendahnya kandungan karbohidrat tetapi juga jenis karbohidrat, cara pengolahannya, dan berapa banyak yang dikonsumsi. DAFTAR PUSTAKA Alcazar-Alay, S.C., Meireles M.A.A. 2015. Physicochemical Properties, Modifications and Applications of Starches from Different Botanical Sources. Food Sci. Technol 35(2): 215–236. Amalia, S.N., Rimbawan, dan Dewi, M. 2011. Nilai Indeks Glikemik Beberapa Jenis Pengolahan Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt). Jurnal Gizi dan Pangan 6(1): 36–41. Antara News. 2016. Penelitian: kerugian akibat diabetes Rp800 triliun. https://www.antaranews. com/berita/597491/penelitian-kerugian-akibatdiabetes-rp800-triliun [10 Mei 2019]. Anggraeni, D. 2013. Indeks Glikemik dan Beban Glikemik Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.) Goreng dan Kukus. Skripsi. Yogyakarta: UGM. Anugrahati, N.A., Pranoto Y., Marsono Y., dan Marseno, D.W. 2015. In Vitro Digestibility of Indonesian Cooked Rice Treated with Cooling- Reheating Process and Coconut Milk Addition. International Research Journal of Biological Sciences 4(12): 34–39. Astawan, M., dan Widowati, S. 2011. Evaluation of Nutrition and Glycemic Index of Sweet Potatoes and Its Appropriate Processing to Hypoglycemic Foods. Indonesian Journal of Agricultural Science 12(1): 40–46. Augustin, L.S.A., Kendall, C.W.C., Jenkins, D.J.A., Willet, W.C., Astrup, A., Barclay, A.W., Bjorck, I., Brand-Miller, J.C., Brighenti, F., Buyken, A.E., Ceriello, A., Vecchia, C.L., Livesey, G., Liu, S., Riccardi, G., Rizkalla, S.W., Sievenpiper, J.L., Trichopoulou, A., Wolever, T.M.S., Baer-Sinnot, S., dan Poli, A. 2015. Glycemic Index, Glycemic Load and Glycemic Response: An International Scientific Consensus Summit from the International Carbohydrate Quality Consortium (ICQC). Nutrition, Metabolism & Cardiovascular Diseases 25: 795–815. Azizah, D.M. 2017. Perbandingan Indeks Glikemik dan Beban Glikemik Singkong sebagai Pengganti Nasi. (Skripsi). Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. Behall, K.M., dan Scholfield, D.J. 2005. Food Amylose Content Affects Postprandial Glucose and Insulin Responses. Cereal Chem 82(6): 654–659. Bender, D.A. 2006. Benders’ Dictionary of Nutrition and Food Technology. Cambridge: Woodhead Publishing CRC Press. Budijanto, S. 2014. Beras Analog Sebagai Vehicle Penganekaragaman Pangan. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB. Bogor: IPB Press. Chung, H.J., Lim, H.S., dan Lim, S.T. 2006. Effect of Partial Gelatinization and Retrogradation on The Enzymatic Digestion of Waxy Rice Starch. Journal of Cereal Science 43: 353–359. Cummings, J.H., dan Stephen, A.M. 2007. Carbohydrate Terminology and Classification. (Review). European Jurnal of Clinical Nutrition 61 (1): 5–18. Denardin, C.C., Boufleur, N., Reckziegel, P., Da Silva, L.P., dan Walter, M. 2012. Amylose Content in Rice (Oryza sativa) Affects Performance, Glycemic and Lipidic Metabolism in Rats. Ciência Rural 42(2): 381–387. Denardin, C.C., Walter, M., Da Silva, L.P., Souto, G.D., dan Fagundes, C.A.A. 2007. Effect of Amylose Content of Rice Varieties on Glycemic Metabolism and Biological Responses in Rats. Food Chemistry 105: 1474–1479. Dipnaik, K., dan Kokare, P. 2017. Ratio of Amylose and Amylopectin as Indicators of Glycaemic Index and In Vitro Enzymatic Hydrolysis of Hubungan antara Kandungan Karbohidrat dan Indeks Glikemik pada Pangan Tinggi Karbohidrat Afandi FA, Wijaya CH, Faridah DN, dan Suyatma NE 155 Starches of Long, Medium and Short Grain Rice. International Journal of Research in Medical Sciences 5(10):4502–4505. Eleazu, C.O. 2016. The Concept of Low Glycemic Index and Glycemic Load Foods as Panacea for Type 2 Diabetes Mellitus; Prospects, Challenges and Solutions. African Health Sciences 16(2): 468–479. Ellong, E.N., Billard, C., dan Adenet, S. 2014. Comparison of Physicochemical, Organoleptic and Nutritional Abilities of Eight Sweet Potato (Ipomoea batatas) Varieties. Food and Nutrition Sciences 5: 196–211. Faridah, D.N., Rahayu, W.P., dan Apriyadi, M.S. 2013. Modifikasi Pati Garut (Marantha arundinacea) dengan Perlakuan Hidrolisis Asam dan Siklus Pemanasan-Pendinginan untuk Menghasilkan Pati Resisten Tipe 3. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 23(1):61–69. FAO [Food and Agriculture Organization]. 2014. Indonesia-Food and Nutrition Security Profiles. USA: UN. FAO/WHO Expert Consultation. 1998. Carbohydrates in Human Nutrition: Report of a Joint FAO/WHO Expert Consultation, Rome, 14–18 April, 1997. Rome: FAO. Gilang, R., Affandi, D.R., dan Ishartani, D. 2013. Physical and Chemical Properties Characterization of Jack Bean (Canavalia ensiformis) Flour Using Pretreatment Variation. Jurnal Teknosains Pangan. 2(3): 34–42. Giri, S., Banerji, A., Lele, S.S., dan Ananthanarayan, L. 2017. Starch Digestibility and Glycaemic Index of Selected Indian Traditional Foods: Effects of Added Ingredients. International Journal of Food Properties 20(1): 290–305. Guo, P., Yu, J., Copeland, L., Wang, S., dan Wang, S. 2018. Mechanisms of Starch Gelatinization during Heating of Wheat Flour and Its Effect on In Vitro Starch Digestibility. Food Hydrocolloids 82: 370–378. Hardinsyah, dan Amalia, L. 2007. Perkembangan Konsumsi Terigu dan Pangan Olahannya di Indonesia 1993-2005. Jurnal Gizi dan Pangan 2(1):8–15. Hasbullah, U.H.A., Nurdyansyah, F., Supriyadi, B., Umiyati, R., dan Ujianti, R.M.D. 2017. Physical and Chemical Properties of Suweg Flour (Amorphophallus campamulatus BI) in Central Java. Jurnal Gizi dan Pangan 7(1): 59–65. Herchi, W., Kallel, H., dan Boukchina, S. 2014. Physicochemical Properties and Antioxidant Activity of Tunisian Date Palm (Phoenix dactylifera L.) Oil as Affected by Different Extraction Methods. Food Science and 156 Technology (Campinas) 34(3): 464–470. IDF [International Diabetes Federation]. 2017. IDF Diabetes Atlas. Eighth Edition. Indrasari, S.D., Purwani, E.Y., Wibowo, P., dan Jumali. 2008. Nilai Indeks Glikemik Beras Beberapa Varietas Padi. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 27(3):127–134. Iqbal, A., Pintor, K.T., dan Lisiswanti, R. 2015. Manfaat Tanaman Kacang Merah dalam Menurunkan Kadar Glukosa Darah. Majority 4(9):149–152. Jeevetha, S., Nisak, M.Y.B., Ngan, H.B., Ismail, A., dan Azlan, A. 2014. Relationship Between Amylose Content and Glycemic Index of Commonly Consumed White Rice. IOSR Journal of Agriculture and Veterinary Science 7(9): 12– 18. Jenkins, D.J.A., Wolever, D.M.T.M.S., Taylor, R.H., Barker, M.R.P.C.H., Fielden, S.R.D.H., Baldwin, S.R.N.J.M., Bowling, M.R.C.P.A.C., Newman, H.C., Jenkins, B.A.A.L., dan Goff, D.V. 1981. Glycemic Index of Foods: A Physiological Basis for Carbohydrate Exchange. The American Journal of Clinical Nutrition 34: 362–366. Karunasena, G.A.D.V., Chandrajith, V.G.G., dan Nawaratne, S.B. 2018. Physicochemical Characteristics of Pea Nut Butter Fruit (Bunchosia armeniaca). International Journal of Food Science and Nutrition 3(3): 46–51. Kaur, M., dan Singh, S. 2016. Physicochemical, Morphological, Pasting, and Rheological Properties of Tamarind (Tamarindus indica L.) Kernel Starch. International Journal of Food Properties 19 (11): 2432–2442. Kemenkes [Kementerian Kesehatan]. 2014. Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta: Pusat Data dan Informasi. Kumari, R., Shrivastava, S.L., Mishra, H.N., dan Meghwal, M. 2017. Physicochemical and Functional Properties of Curcuma angustifolia (Tikhur) - An Underutilized Starch. The Pharma Innovation Journal 6(7): 114–119. Ledikwe, J.H., Blanck, H.M., Khan, L.K., Serdula, M.K., Seymour, J.D., Tohill, B.C., dan Rolls, B.J. 2006. Dietary Energy Density is Associated with Energy Intake and Weight Status in US Adults. Am J Clin Nutr 83: 1362–1368. Lovegrove, A., Edwards, C.H., Noni, I.D., Patel, H., El, S.N., Grassby, T., Zielke, C., Ulmius, M., Nilsson, L., Butterworth, P.J., Ellis, P.R., dan Shewry, P.R. 2017. Role of Polysaccharides in Food, Digestion, and Health. Critical Reviews in Food Science and Nutrition 57(2): 237–253. Lin, M.H.A., Wu, M.C., Lu, S., dan Lin, J. 2010. Glycemic Index, Glycemic Load and Insulinemic PANGAN, Vol. 28 No. 2 Agustus 2019 : 145 – 160 Index of Chinese Starchy Foods. World J Gastroenterol 16(39): 4973–4979. Lum, M.S. 2017. Physicochemical Characteristics of Different Rice Varieties Found in Sabah, Malaysia. Transactions on Science and Technology 4(2): 68–75. Manshur, H.A. 2018. Perbandingan Indeks Glikemik Beberapa Pangan Sumber Karbohidrat dengan Basis Porsi Karbohidrat Available yang Berbeda. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Marsono, Y., Wiyono, P., dan Noor, Z. 2002. Indeks Glikemik Kacang-kacangan. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 13(3): 211–216. Maulana, B. 2012. Pengaruh Berbagai Pengolahan terhadap Indeks Glikemik Ubi Jalar (Ipomea batatas) Cilembu. [Skripsi]. Bogor. Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Mendosa, D. 2009. The Glycemic Index. http://www. mendosa.com/gi.htm [diakses 05 Jan 2019]. Miller, B.J.C., Foster, P.K., Colagiuri, S., dan Leeds, A. 1998. The GI Factor–The Glucose Revolution. Australia: Hodder. Mir, J.A., Srikaeo, K., dan Garcia, J. 2013. Effects of Amylose and Resistant Starch on Starch Digestibility of Rice Flours and Starches. International Food Research Journal 20(3): 1329–1335. Mishra, S., Hardacre A, Monro J. 2012. Food Structure and Carbohydrate Digestibility. Di dalam Carbohydrate-Comprehensive Study on Glycobiology and Glycotechnology (Chang CF, ed.). Croatia: Intech. Momuat, L.I., Suryanto, E., Rantung, O., Korua, A., dan Datu, H. 2015. Perbandingan Senyawa Fenolik dan Aktivitas Antioksidan antara Sagu Baruk Segar dan Kering. Chem. Prog. 8(1): 21– 29. Murray, S.M., Flickinger, E.A., Patil, A.R., Merchen, N.R., Brent, J.L., dan Fahey, G.C. 2001. In Vitro Fermentation Characteristics of Native and Processed Cereal Grains and Potato Starch Using Ileal Chyme from Dogs. J. Anim. Sci. 79:435–444. Musa, A.S.N., Umar, I.M., dan Ismail, M. 2011. Physicochemical Properties of Germinated Brown Rice (Oryza sativa L.) Starch. Afr. J. Biotechnol 10(33): 6281–6291. Nounmusig, J., Kongkachuichai, R., Sirichakwal, P., Wongwichain, C., Saengkrajang, W. 2018. Glycemic Index, Glycemic Load and Serum Insulin Response of Alternative Rice Noodles from Mixed Sago Palm Flour (Metroxylon spp.) and Chiang Rice Flour. Burapha Science Journal 23(2): 839–851. Oboh, G., Ademosun, A.O., Akinleye, M., Omojokun, O.S., Boligon, A.A., dan Athayde, M.L. 2015. Starch Composition, Glycemic Indices, Phenolic Constituents, and Antioxidative and Antidiabetic Properties of Some Common Tropical Fruits. Journal of Ethnic Foods 2: 64–73. Oboh, H.A., dan Ogbebor, V.O. 2010. Effect of Processing on The Glycemic Index and Glycemic Load of Maize (Zea mays). Nigerian Journal of Biochemistry and Molecular Biology 25(2): 46–52. Osundahunsi, O.F., Fagbemi, T.N., Kesselman, E., dan Shimoni, E. 2003. Comparison of The Physicochemical Properties and Pasting Characteristics of Flour and Starch from Red and White Sweet Potato Cultivars. J. Agric. Food Chem. 51(8): 2232–2236. Parente, E.B., Pereira, P.H., Nunes, V.S., Lottenberg, A.M.P., Lima, C.S., Rochitte, C.E., Castro, C.C., dan Halpern, A. 2014. The Effects of High-Fat or High-Carbohydrate Diet on Intramyocellular Lipids. J Food Nutr Disor 3(6): 1–5. Pereira, P.F., De Almaida, C.D.G., Alfenas, R.D.C.G. 2014. Glycemic Index Role on Visceral Obesity, Subclinical Inflammation and Associated Chronic Diseases. Nutr Hosp. 30(2): 237–243. Pernambuco, E.D.A.M., Parana, N.K., dan Pernambuco, T.L.M.S. 1994. Psychochemical Properties of Jacatupe (Pachyrhizus erosus L. Urban) Starch. Starch 46(7): 245–247. Powell, K.F., Susanna, H.A.H., dan Miller, J.C.B. 2002. International Table of Glycemic Index and Glycemic Load Values: 2002. The American Journal of Clinical Nutrition 76(1): 5–56. Prasad, M.P.R., Rao, B.D., Kalpana, K., Rao, M.V., dan Patil, J.V. 2014. Glycaemic Index and Glycaemic Load of Sorghum Products. J Sci Food Agric 95(8): 1626–1630. Puspitasari, D., Rahayuningsih, T., dan j, F.S. 2015. Karakterisasi dan Formulasi Tepung Komposit Kimpul-Kacang Tunggak untuk Pengembangan Biskuit Non-Terigu. Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI. Madura: Teknologi Industri Pertanian-Universitas Trunojoyo Madura. Putra, F.D., dan Mahmudiono, T. 2012. Hubungan Tingkat Konsumsi Karbohidrat, Lemak, dan Dietary Fiber dengan Kadar Gula Darah pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Media Gizi Indonesia 2(9): 1528–1538. Rakhmawati, F.K.R., Rimbawan, dan Amalia, L. 2011. Nilai Indeks Glikemik Berbagai Produk Olahan Sukun (Artocarpus altilis). Jurnal Gizi dan Pangan 6(1): 28–35. Hubungan antara Kandungan Karbohidrat dan Indeks Glikemik pada Pangan Tinggi Karbohidrat Afandi FA, Wijaya CH, Faridah DN, dan Suyatma NE 157 Ramirez, Y.I.C., Moroyoqui, F.J.C., Reyes, F.R., Burgos, E.C.R., Amarillas, P.S.O., Corral, F.J.W., Flores, J.B., dan Gastelum, A.G.C. 2015. Physicochemical Characterization of Starch from Hexaploid Triticale (X Triticosecale Wittmack) Genotypes. CyTA – Journal of Food. 13(3): 420–426. Rimbawan, dan Nurbayani, R. 2013. Nilai Indeks Glikemik Produk Olahan Gembili (Dioscorea esculenta). Jurnal Gizi dan Pangan 8(2): 145– 150. Rimbawan dan Siagian A. 2004. Indeks Glikemik Pangan: Cara Mudah Memilih Pangan yang Menyehatkan. Jakarta: Penebar Swadaya. Riskesdas [Riset Kesehatan Dasar]. 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Riskesdas [Riset Kesehatan Dasar]. 2018. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Sack, F.M., Carey, V.J., Anderson, C.A.M., Miller, E.R., Copeland, T., Charleston, J., Harshfield, B.J., Laranjo, N., McCarron, P., Swain, J., White, K., Yee, K., dan Appel, L.J. 2014. Effects of High vs Low Glycemic Index of Dietary Carbohydrate on Cardiovascular Disease Risk Factors and Insulin Sensitivity: The OmniCarb Randomized Clinical Trial. JAMA 312(23): 2531–2541. Santosa, B.A.S., Widowati, S., Seprapto, R.H., dan Saifudin. 2002. Ekstraksi, Isolasi, dan Hasil Olah Pati Kacang Tunggak (Vigna ungguiculata L, Walp). Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 21(1): 56–62. Sarepoua, E., Tangwongchai, R., Suriharn, B., dan Lertrat, K. 2013. Relationships between Phytochemicals and Antioxidant Activity in Corn Silk. International Food Research Journal 20(5): 2073–2079. Satoh, T., Igarashi, M., Yamada, S., Takahashi, N., dan Watanabe, K. 2015. Inhibitory Effect of Black Tea and Its Combination with Acarbose on Small Intestinal α-Glucosidase Activity. Journal of Ethnopharmacology 161: 147–155. Setiarto, R.H.B., Jenie, B.S.L., Faridah, D.N., dan Saskiawan, I. 2015. Kajian Peningkatan Pati Resisten yang Terkandung dalam Bahan Pangan sebagai Sumber Prebiotik. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 20(3): 191–200. Schwingshackl, L., dan Hoffmann, G. 2013. Longterm Effects of Low Glycemic Index/Load vs. High Glycemic Index/Load Diets on Parameters of Obesity and Obesity-Associated Risks: A Systematic Review and Meta-Analysis. Nutrition, 158 Metabolism & Cardiovascular Diseases 23: 699–706. Shanita, S.N., Hasnah, H., dan Khoo, C.W. 2011. Amylose and Amylopectin in Selected Malaysian Foods and Its Relationship to Glycemic Index. Sains Malaysiana 40(8): 865–870. Sukatiningsih. 2005. Physicochemical and Functional Properties of Starch from Breadnut (Artocarpus communis G.Forst) Seed. Jurnal Teknologi Pertanian 6(3): 163–169. Suprijadi. 2012. Karakterisasi Sifat Fisik dan Kimia Tepung Sorgum (Sorghum bicolor L) Rendah Tanin. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Suryani, C.L., Purwanta, D., dan Haryadi. 2001. Characteristic of Cowpea (Vigna unguiculata) Starch and Its Noodle. Agritech. 21(3): 99–103. Suyono. 2002. Peta Pangan dan program Penganekaragaman Pangan 1939-2002 (63 Tahun) Dalam Penganekaragaman Pangan. Prakarsa Swasta dan Pemerintah Daerah. Forum Kerja Penganekaragaman Pangan. 2003. Jakarta. Trinidad, T.P., Mallillin, A.C., Sagum, R.S., Felix, A.D.R., Tuano, A.P.P., Juliano, B.O. 2014. Relative Effect of Apparent Amylose Content on The Glycemic Index of Milled and Brown Rice. Philipp Agric Scientist 97(4): 405–408. Venn, B.J., dan Green, T.J. 2007. Glycemic Index and Glycemic Load: Measurement Issues and Their Effect on Diet-Disease Relationships. Nutrition Journal of Clinical Nutrition 61(1): 122–131. WHO [World Health Organization]. 2016. Global Report on Diabetes. France: WHO. Widanagamage, R.D., Ekanayake, S., dan Welihinda, J. 2013. Effect of Extent of Gelatinisation of Starch on The Glycaemic Responses of Carbohydrate Rich Breakfast Meals. Mal J Nutr 19(2): 233–242. Widowati, S., Khumaida, N., Ardie, S.W., Trikoesoemoningtyas. 2016. c. J. Agron. Indonesia 44(2): 162–169. Widowati, S., Santosa, B.A.S., Astawan, M., dan Akhyar. 2010. Reducing Glycemic Index of Some Rice Varieties Using Parboiling Process. Indonesian Journal of Agriculture 3(2): 104–111. Wong, T.H.T., dan Louie, J.C.Y. 2016. The Relationship Between Resistant Starch and Glycemic Control: A Review on Current Evidence and Possible Mechanisms. (Review). Starch 68: 1–9. Zambrano, A.D., Bhandari, B., Ho, B., dan Prakash, S. 2016. Retrogradation—Digestibility Relationship of Selected Glutinous and Non-Glutinous Fresh PANGAN, Vol. 28 No. 2 Agustus 2019 : 145 – 160 and Stale Cooked Rice. International Journal of Food Properties 19: 2608–2622. Zhou, X., Chung, H.J., Kim, J.Y., dan Lim, S.T. 2013. In Vitro Analyses of Resistant Starch in Retrograded Waxy and Normal Corn Starches. International Journal of Biological Macromolecules 55:113–117. BIODATA PENULIS: Frendy Ahmad Afandi dilahirkan di Lampung, 6 Juni 1989. Menyelesaikan Pendidikan S1 di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor tahun 2011, Pendidikan S2 Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB tahun 2014, dan saat ini sedang menempuh Pendidikan S3 di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Pangan Institut Pertanian Bogor. C. Hanny Wijaya dilahirkan di Semarang, 22 April 1960. Menyelesaikan Pendidikan S1 di jurusan Teknologi Hasil Pertanian Institut Pertanian Bogor tahun 1982, Pendidikan S2 Kimia Pertanian, Hokkaido University tahun 1987, dan Pendidikan S3 Kimia Pertanian, Hokkaido University tahun 1990. Didah Nur Faridah dilahirkan di Tasikmalaya, 7 November 1971. Menyelesaikan Pendidikan sarjana (S1) di IPB tahun 1996, Pendidikan Magister Ilmu Pangan (S2) di IPB tahun 2001, dan Program Doktor (S3) di IPB tahun 2011. Email: [email protected]. Nugraha Edhi Suyatma dilahirkan di Magelang, 20 Desember 1970. Menyelesaikan Pendidikan sarjana (S1) di IPB tahun 1994, Pendidikan Magister (S2) di Institut National Agronomique Paris Grignon tahun 2001, dan Program Doktor (S3) di Universite de Reims, Perancis tahun 2006. Hubungan antara Kandungan Karbohidrat dan Indeks Glikemik pada Pangan Tinggi Karbohidrat Afandi FA, Wijaya CH, Faridah DN, dan Suyatma NE 159 160 PANGAN, Vol. 28 No. 2 Agustus 2019 : 145 – 160