Academia.eduAcademia.edu

Para Putera Lentera

2020, Para Putera Lentera

Buku ini berisi karya-karya para mahasiswa (baik itu dari internal STKIP Widya Yuwana) maupun yang berasal dari luar yang dihimpun dari lomba karya tulis mahasiswa dalam rangka memperingati Dies Natalis STKIP Widya Yuwana. Beberapa tulisan mengajak kita untuk kembali merenung ke dalam untuk merenungkan spiritualitas pendiri dan evaluasi diri, maka di sana ada pergulatan tentang aggiornamento dan spiritualitas pendiri tentang katekis dan guru agama. Perenungan semacam itu akhirnya bermuara kepada karya yang mengena bagi konteks Indonesia, maka di situ ada penggalian soal inkulturisasi, dialog agama, katekese kebangsaan, dan multikulturalisme Indonesia yang ber-Pancasila.

PARA PUTRA LENTERA MENYOAL DIRINYA DAN INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA (1) (1) (2) (3) (4) Pasal 1 Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 113 Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah). Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/ atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf e, dan/ atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). PARA PUTRA LENTERA MENYOAL DIRINYA DAN INDONESIA Editor: Dr. Agustinus W. Dewantara, S.S., M.Hum Ignatius Rio Praseno Aloysius Reza Amapoli PENERBIT WINA PRESS 2020 PARA PUTRA LENTERA MENYOAL DIRINYA DAN INDONESIA Editor: Dr. Agustinus W. Dewantara, S.S., M.Hum. Ignatius Rio Praseno Aloysius Reza Amapoli © 2020 - PENERBIT WINA PRESS PENERBIT WINA PRESS - Anggota IKAPI Jl. Soegijopranoto, Tromol Pos 13 Madiun, Jawa Timur, 63137, INDONESIA Telepon (0351) 463208; Fax. (0351) 483554 Cetakan ke: Tahun: Desain tata letak Desain sampul 5 24 4 23 3 22 2 21 1 20 : Marcellius Ari Christy : Marcellius Ari Christy Image by Andres Zunino from Pixabay https://pixabay.com/photos/lantern-sunset-lanterns-backlight-1940626/ ISBN 978-623-91562-1-3 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan cara apa pun tanpa izin tertulis dari Penerbit. Pengantar Editor STKIP Widya Yuwana tahun ini sudah berusia 61 tahun. Ini tentu bukan usia yang muda lagi. Sudah banyak tenaga katekis, guru agama, dan pembina spiritual yang berkarya di seluruh penjuru tanah air. Semangat dan roh pendiri Rm. Jannsen, CM ketika mendirikan lembaga ini bertitik tolak dari keprihatinan mendalam akan situasi Gereja dan Negara Republik Indonesia pada masa awal kemerdekaan yang sedang membangun. Negara sedang membutuhkan tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki semangat membangun bangsa. Gereja juga membutuhkan tenaga kaum awam yang terlibat dalam karya pewartaan dan pengembangan Gereja. Mendidik dan membentuk orang-orang yang 100% katolik sekaligus 100% Indonesia adalah misi awal dari berdirinya lembaga ini. Pendiri berkehendak menyiapkan tokoh-tokoh Gereja yang terbuka dan terlibat aktif dalam pembangunan bangsa dan negaranya (tokoh masyarakat). Esensi buku ini dengan demikian adalah perenungan kembali misi awal dan roh asali pendirian lembaga beserta segala perjuangannya untuk kemudian berkarya di tengah dunia. Roh pelayanan, pengabdian seutuhnya kepada Gereja dan negara, serta kasih kepada yang paling menderita harus kembali digaungkan di tengah tampilnya gelombang individualisme, egoisme, menghamba kepada uang/jabatan, hedonisme, dan semangat mencari selamat sendiri. Perenungan untuk kembali ke dalam membuat kita semua makin hebat berkarya ke luar. Buku ini berisi karya-karya para mahasiswa (baik itu dari internal STKIP Widya Yuwana) maupun yang berasal dari luar yang dihimpun dari lomba karya tulis mahasiswa dalam rangka memperingati Dies Natalis STKIP Widya Yuwana. Beberapa tulisan mengajak kita untuk kembali merenung ke dalam untuk merenungkan spiritualitas pendiri dan evaluasi diri, maka di sana ada pergulatan tentang aggiornamento dan spiritualitas pendiri tentang katekis dan guru agama. Perenungan semacam itu akhirnya bermuara kepada karya yang mengena bagi konteks Indonesia, maka di situ ada penggalian soal inkulturisasi, dialog agama, katekese kebangsaan, dan multikulturalisme Indonesia yang ber-Pancasila. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia v Hampir semua penulis mengungkapkan kegelisahannya soal pentingnya kedalaman hidup sebagai seorang pewarta dan kebijaksanaan untuk mewartakan kabar gembira Kristus di tengah bumi Indonesia. Ternyata tidak mudah untuk menjadi seorang pewarta yang baik, dan sama tidak mudahnya untuk mengontekstualisasikan pewartaannya di tengah masyarakat Indonesia yang diwarnai oleh keberagaman suku, bahasa, budaya, dan agama. Buku ini dicirikhasi oleh idealisme, intelektualitas, dan kegairahan para penulis muda (yang semuanya adalah mahasiswa) yang ingin selalu menembus batas. Lebih dari itu, buku ini menawarkan ide-ide genial tentang bagaimana seharusnya menghidupi diri menjadi seorang pewarta. Akhir kata, terima kasih dan penghargaaan setinggi-tingginya kepada para penulis yang sudah menyumbang butir-butir permata di tengah pergulatan keseharian dalam mencari pengetahuan dan kebenaran. Semoga buku ini bisa menjadi persembahan dari para mahasiswa di tengah peziarahan STKIP Widya Yuwana dalam menempa calon-calon pewarta di masa mendatang. Semoga bermanfaat. vi Pengantar Editor Daftar Isi Pengantar Editor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Daftar Isi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . v vii Kembali kepada Spiritualitas Pendiri Refleksi tentang 61 Tahun Berdirinya STKIP Widya Yuwana Madiun . . . . . . . . . Ignatius Rio Praseno 1 Aggiornamento Semangat Founding Fathers STKIP Widya Yuwana bagi Jiwa Sosial Kemasyarakatan . . . . . . Kasimirus 25 Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia . . . . . . . . . . . . . . . Mathias Jebaru Adon 38 To Be Religious Today is To Be Inter-Religious (Menenun Dialog Antar-Agama dalam Konteks Islam-Kristen)65 Hesikius Junedin Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia. . . . . . . . . . . Hubertus Herianto 82 Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput . . . . . . . . . . . . . . . . . . 103 Vinsensius Rixnaldi Masut Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia vii Partisipasi Kaum Muda dalam Semangat Pancasila bagi Kehidupan Bermasyarakat yang Humanis di Era Disrupsi. . . . . 131 Kasimirus Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 148 Hironimus Edison Generasi Muda yang Pancasilais . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 171 Mikael Ardi Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural dan Dialog Antarbudaya berdasarkan Dokumen “Mendidik untuk Dialog Antarbudaya di Sekolah-sekolah Katolik” . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 194 Ignatius Rio Praseno dan Maria Gorethi Vivi Wulandari Kaum Muda dan Dialog Agama dalam Konteks Manggarai – Flores. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 217 Patrisius Harsan viii Daftar Isi Kembali kepada Spiritualitas Pendiri Refleksi tentang 61 Tahun Berdirinya STKIP Widya Yuwana Madiun Ignatius Rio Praseno Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Widya Yuwana Pendahuluan Sejak berdirinya pada tahun 1959, STKIP Widya Yuwana mengalami berbagai dinamika yang dapat dibilang menarik untuk dibahas. Usia yang telah menginjak 61 tahun menandakan bahwa lembaga ini telah lama berjuang untuk memberikan sumbangsih bagi perkembangan Gereja dan negara. Sumbangsih itu diwujudnyatakan lembaga ini dengan melahirkan para pewarta sabda, yang senantiasa mewartakan iman dan kebenaran di tengah dunia. Para pewarta sabda ini telah berkarya di berbagai pelosok negeri ini untuk mewartakan cinta Allah kepada umat manusia secara nyata. Aneka karya dan pelayanan sungguh dilakukan agar manusia mampu merasakan cinta Allah, sehingga akhirnya Kerajaan Allah sungguh terbangun dan dirasakan oleh banyak orang. Seperti halnya Yesus yang menjadikan cinta sebagai dasar seluruh pelayan-Nya, demikian juga lembaga ini juga menjadikan cinta sebagai dasar karya pelayanannya. Rm. Janssen, CM, seorang misionaris Lazaris, yang mendirikan lembaga ini pun didorong oleh cintanya kepada Allah dan umat-Nya. Misi dan pelayanan yang dilakukan oleh Rm. Janssen, CM untuk membangun lembaga ini–begitu pula karya misinya yang lain–merupakan wujud nyata cintanya kepada Allah dan umat yang ada di daerah misi kala itu. Cinta yang menjadi semangat awal dari berdirinya lembaga ini, kiranya terus tumbuh dan berkembang hingga saat ini. Hal ini terwujud dalam pelayanan lembaga ini kepada para mahasiswa dan kepada masyarakat luas, cinta yang menjiwai lembaga ini dibuahkan lewat pelayanan di bidang pendidikan dan karya lainnya. Lembaga ini telah membuka kesempatan agar para pemuda dapat memperoleh pendidikan yang layak sehingga mereka pun mampu berkarya bagi sesamanya. Cinta Allah yang diperoleh lembaga ini terus dibagikan terus-menerus tanpa henti, hingga semakin banyak orang dapat merasakan cinta Allah itu. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 1 Dengan demikian dapat dilihat bahwa Allah menganugerahi lembaga ini cinta dan rahmat yang begitu besar, sehingga lembaga ini dapat terus berdiri dalam usianya yang menginjak 61 tahun. Lembaga ini terus mampu menghasilkan putra-putri yang siap diutus untuk mewartakan kabar baik kepada seluruh bangsa. Lembaga STKIP Widya Yuwana terus ditantang untuk mampu memberikan cinta dan pelayanan secara nyata sebagai bentuk panggilan dan perutusan yang telah lama diembannya. Perjalanan sejarah berdirinya lembaga ini hingga hari ini memiliki kisah yang indah, menarik dan bermakna untuk direfleksikan. Maka penulis yang juga merupakan salah satu mahasiswa dari lembaga pendidikan tinggi ini, ingin merefleksikan kembali perjalanan sejarah STKIP Widya Yuwana beserta bentuk pelayanan yang ada di dalamnya. Uraian refleksi dituangkan penulis dalam karya tulis ini. Adapun karya tulis ini akan dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama akan membahas mengenai sejarah awal berdirinya STKIP Widya Yuwana. Bagian kedua akan membahas mengenai makna atau nilai apa yang dapat dipetik dari perjalanan sejarah berdirinya STKIP Widya Yuwana dan pengalaman selama berkuliah di STKIP Widya Yuwana. Selanjutnya, pada bagian ketiga akan dibahas mengenai bagaimana relevansi nilai-nilai yang telah diambil bagi kehidupan para mahasiswa STKIP Widya Yuwana dalam berkarya bagi masyarakat dan Gereja. Bagian I Sejarah Awal Berdirinya STKIP Widya Yuwana Berawal dari Misi dan Diutus untuk Bermisi STKIP Widya Yuwana didirikan oleh Rm. Janssen, CM, imam Kongregasi Misi (CM). STKIP Widya Yuwana didirikan pada tanggal 27 September 1960. Awalnya lembaga ini bernama Akademi Lembaga Misionaris Awam (ALMA) yang anggotanya berasal dari mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan (BP) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Widya Mandala Madiun sejumlah 12 orang. Para mahasiswa ini berniat untuk memberikan diri bagi karya pelayanan dan pewartaan tanpa bayaran. Mereka berniat untuk tidak menjadi katekis profesional namun menjadi awam yang tinggal di tengah masyarakat, mewartakan Injil secara nyata dalam hidup sehari-hari. 2 Kembali kepada Spiritualitas Pendiri Rm. Janssen menjelaskan, para mahasiswa ini mempersembahkan diri dan berikrar di depan altar Gereja Cornelius Madiun untuk karya pewartaan Injil ini. Kelompok ini pada awalnya belum merupakan suatu lembaga pendidikan namun hanya sebuah kelompok awam yang mempersembahkan hidup untuk karya pewartaan Injil tanpa meminta bayaran. Mereka bukan hanya bekerja untuk memberikan pengajaran iman namun juga mewujudkan pewartaan iman dalam pelayanan kepada orang cacat dan miskin yang pada saat itu belum mendapat perhatian Gereja Indonesia. Selanjutnya Rm. Janssen menyampaikan keberadaan kelompok ini kepada Nunsius Apostolik saat berkunjung ke Madiun kala itu dan dengan baik Nunsius menerima keberadaan kelompok ini. Perlu disadari bahwa pada saat itu tenaga pelayanan para imam masih sangat minim. Oleh karenanya Rm. Janssen pun merasa bahwa perlu adanya tenaga yang mampu menjadi perpanjangan tangan imam untuk penggembalaan umat, yang tidak hanya membantu secara sosial namun juga membantu dalam pembinaan spiritual. Untuk mengatasi hal ini kemudian tanggal 2 November 1960 didirikan Fakultas Pendidikan Kateketik dan menjadi bagian dari Universitas Widya Mandala Madiun. Fakultas ini didirikan dengan tujuan untuk membekali dan mempersiapkan para anggota ALMA agar mereka dapat menjadi pekerja sosial yang sekaligus dapat memberikan pendampingan iman bagi masyarakat. Maka para mahasiswa ini nantinya akan mendapat dua ijazah sekaligus yakni Ijazah Kateketik dan Ijazah Bimbingan dan Penyuluhan (BP). Pada tahun 1962, ketika Rm. Janssen mengikuti Konsili Vatikan di Roma, beliau menyampaikan pula keberadaan kelompok ini kepada Mgr. Hurts dari Missio. Mgr. Hurts senang sekali dengan kemunculan kelompok ini dan beliau bersedia meluaskan dan memberikan bantuan yang diperlukan agar kelompok ini dapat terus berkembang. Mgr. Hurts kemudian memberikan bantuan beasiswa bagi kelompok ini dalam menempuh pembinaan dan pendidikan sebagai seorang misionaris awam. Namun ternyata bantuan beasiswa yang diberikan oleh Missio membuat banyak orang bergabung dengan kelompok ini bukan untuk menjadi misionaris awam tanpa bayar namun malah membuat mereka menjadi katekis profesional dengan mendapat ijazah Kateketik sekaligus mendapatkan ijazah BP. Oleh karenanya, pada tanggal 8 September 1963, Rm. Janssen memisahkan Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 3 kelompok yang ingin menjadi misionaris awam dan yang mau menjadi katekis profesional. Kelompok misionaris awam meneruskan perjuangan mereka dengan menjadi Institut Sekular dengan nama Asosiasi Lembaga Misionaris Awam (ALMA). Sedangkan para mahasiswa yang hendak menjadi katekis profesional dimasukkan ke dalam Fakultas Pendidikan Kateketik Universitas Widya Mandala Madiun yang pada saat itu disebut Akademi Kateketik Indonesia (AKI) Madiun. Mahasiswa dan mahasiswi AKI terus berkembang dan tetap menjadi bagian dari FKIP Widya Mandala Madiun. Mereka tetap memilih menjadi katekis paroki tanpa bayar dibandingkan guru agama di sekolah. Rm. Janssen mengatakan bahwa mereka betul-betul menjadi katekis yang tidak mencari uang dari pewartaannya. Mereka hidup dari usaha mereka sendiri. Kondisi ini bertahan hingga sekitar tahun 1967. Visi yang Bergeser dan Masa Kelam Sekitar tahun 1968 oleh karena adanya bantuan beasiswa dari Missio dan lembaga lain, ternyata muncul pergeseran misi awal berdirinya lembaga ini. Hal ini ditandai dengan muncul banyaknya orang yang masuk AKI hanya sekadar mencari ijazah BP dan menjadi katekis bayaran. Visi awal menjadi kabur, hingga pada akhirnya di tahun ini Rm. Janssen dan beberapa misionaris awam pindah ke Malang dan sekali lagi mencoba mewujudkan visi awal dengan mendirikan Institut Pastoral Indonesia (IPI) Malang. Menurut Rm. Janssen, ada beberapa faktor yang menyebabkan perubahan visi itu. Pertama, para katekis mulai berorientasi mendapat ijazah dan bekerja sebagai katekis bayaran, sebab ijazah guru kala itu memang dapat dipergunakan untuk mencari uang. Kedua, mulai bergesernya lima pokok dasar dari Alma, yakni: Meditasi Harian, Bacaan Kitab Suci, Ekaristi, Pembentukan Diri sebagai Rasul, dan pembentukan Komunitas Basis Gerejani (KBG). Ketiga, ada kemudahan mendapatkan pengangkatan guru kala itu untuk ditempatkan di SMP, SMA, dan SPG. Hal inilah yang membuat orang berorientasi mencari uang dengan ijazah yang mereka dapat. Setelah ditinggal Rm. Janssen, lembaga ini goyah, tidak ada kepemimpinan yang jelas. Pemimpin-pemimpin pada saat itu hanya merupakan pemimpinpemimpin darurat yang ditunjuk oleh Uskup. Setelah kepergian Rm. Janssen, Uskup menunjuk Sr. Ansella, OSU, untuk memimpin lembaga ini. Namun 4 Kembali kepada Spiritualitas Pendiri hanya beberapa bulan saja Sr. Ansella berkarya di tempat ini. Kemudian Uskup menunjuk Romo Kumoro, Pr. dari Kediri untuk menggantikan Sr. Ansella. Sayangnya Rm. Kumoro pun hanya datang seminggu sekali, maka secara praktis segala urusan kelembagaan ditangani oleh Pak F.X. Djumadi dan Pak Wardiyo. Lalu Uskup meminta Pak Djumadi untuk mencari tenaga yang bersedia disekolahkan ke Yogyakarta, akhirnya diutuslah Pak Wardiyo dan Pak Mitro untuk menjalankan tugas studi tersebut. Setelahnya Uskup meminta Pak Djumadi untuk mencari tenaga lain menemani dirinya berkarya di tempat ini. Pak Djumadi pun meminta Pak Sulimin dari Tulungagung untuk menemaninya berkarya di lembaga ini. Oleh karenanya secara praktis strategi demi strategi ditentukan oleh Pak Djumadi dengan kontrol dan konsultasi dengan Uskup. Membangun Harapan Baru Pada tahun 1972 Rm. Kumoro digantikan dengan Rm. Dwijosusastro, CM. Pada masa kepemimpinan Rm. Dwijo inilah mulai dipikirkan suatu payung hukum bagi lembaga ini. Sejak ditinggalkan oleh Rm. Janssen di tahun 1968 lembaga ini tidak memiliki sistem keorganisasian yang jelas, atau boleh dikatakan masa 1968-1972 merupakan masa kegelapan bagi organisasi lembaga ini. Dalam masa kepemimpinan Rm. Dwijo ini lahirlah Yayasan Widya Yuwana. Pada tanggal 21 Desember 1972 secara resmi lembaga ini dipisahkan dari Universitas Widya Mandala dan menjadi Akademi Kateketik Indonesia “Widya Yuwana” Madiun yang berada di bawah naungan dan pengelolaan Yayasan Widya Yuwana. Dengan diberikan nama “Widya Yuwana” (Widya = Pengetahuan; Yuwana = Ajaran Keselamatan) diharapkan lembaga ini mampu bergerak dalam bidang pewartaan ilmu keselamatan. Seperti dikatakan di atas, periode tahun 1968 – 1972 merupakan masa kegelapan bagi lembaga Kateketik ini. Selain karena sistem organisasi yang tidak jelas, jumlah mahasiswa mengalami penurunan jumlah dari tahun ke tahun. Menurut Pak Djumadi faktor yang menyebabkan masa kegelapan ini karena terpecahnya konsentrasi pada pengurus lembaga ini dan jumlah dosen yang sangat minim. Para pengurus lebih berkonsentrasi untuk membuat lembaga ini tetap eksis, tentang cara mencari mahasiswa agar bertambah bahkan tidak dipikirkan lagi. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 5 Di tahun 1975 Rm. Dwijo digantikan oleh Rm. Wignyo, dan dalam masa kepemimpinan Rm. Wignyo inilah peningkatan jumlah mahasiswa menjadi perhatian. Usaha Rm. Wignyo untuk meningkatkan jumlah mahasiswa didasari oleh keadaan saat itu yang dapat dibilang cukup tragis. Mahasiswa saat itu hanya berjumlah 28 orang saja. Hal pertama yang dilakukan oleh Rm. Wignyo adalah membenahi gedung kampus Widya Yuwana. Menurut beliau tampilan fisik gedung sangat berpengaruh besar terhadap mentalitas mahasiswa. “Dengan situasi gedung yang kurang memadai akan punya pengaruh terhadap mentalitas mahasiswa yang bersekolah di tempat itu. Mereka akan menjadi minder, tertekan. Lalu untuk apa mereka dididik?” ungkapnya. Langkah kedua yang dilakukan Rm. Wignyo adalah membenahi tenaga pengajar. Pada saat itu dosen di lembaga ini hanya berjumlah tiga orang saja, oleh karenanya Rm. Wignyo mengusulkan kepada Keuskupan untuk menambah tenaga pengajar di lembaga ini. Sayangnya usul itu ditolak oleh pihak Keuskupan, keuskupan menilai dengan empat orang (termasuk Rm. Wignyo) sudah cukup untuk melakukan pendidikan di tempat ini. Ternyata, di balik penolakan itu, keuskupan berencana menutup lembaga pendidikan tinggi ini. Walaupun demikian Rm. Wignyo tetap mengusahakan agar lembaga ini tetap hidup dan berkembang. Selanjutnya beliau menerapkan sistem politik dagang sebagai strategi ketiganya menambah kuantitas mahasiswa. Politik dagang itu dilakukan dengan cara mendidik lulusan sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Rm. Wignyo bekerja sama dengan keuskupankeuskupan dan memenuhi permintaan mereka mengenai lulusan seperti apa yang mereka harapkan. Ternyata cara ini berhasil, dalam kurun waktu dua tahun mahasiswanya meningkat drastis hingga mencapai 128 mahasiswa. Kemudian aneka usaha mulai dikembangkan mulai dari pembenahan fasilitas untuk mengembangkan minat bakat mahasiswa, membangun gedung baru dan sebagainya. Untuk pembiayaannya, Rm. Wignyo berusaha mencari donatur sendiri, tidak tergantung pada keuskupan. Pada tanggal 23 Mei 1986, sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, lembaga ini berubah menjadi Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) program Diploma III. Dan akhirnya pada tanggal 23 Oktober 1996 lembaga ini dipercaya untuk menyelenggarakan program pendidikan Strata Satu (S1). Lembaga ini terus berjuang hingga hari ini untuk sungguh-sungguh mencetak para alumnus yang mampu melayani umat dan mewartakan kerajaan Allah 6 Kembali kepada Spiritualitas Pendiri di dalam karya-karyanya. Seperti yang terungkap dalam namanya, lembaga ini terus menerangi para generasi muda dengan ilmu keselamatan sehingga di kemudian hari para putra-putri lembaga ini juga mampu menerangi dunia, mereka diutus untuk menjadi terang dunia. Bagian II Memetik Makna dari Sejarah dan Pengalaman Perjalanan sejarah berdirinya STKIP Widya Yuwana ini merupakan sebuah harta berharga dalam sejarah misi Gereja di Indonesia, terlebih sejarah bagaimana Gereja hadir dalam karya pelayanan pendidikan. Kebermaknaan sejarah itu sayang jika hanya dibiarkan begitu saja, maka dalam bagian ini penulis akan mencoba merefleksikan kembali sejarah yang telah disampaikan di bagian sebelumnya dalam kacamata iman. Refleksi ini bukan hanya berdasarkan sejarah saja, namun juga bagaimana penulis mengalami dinamika di dalam lembaga ini. Sejarah dan pengalaman akan menjadi tempat di mana spiritualitas lembaga ini ditemukan, nilai-nilai apa saja yang sedari awal diperjuangkan dan terus dipertahankan serta dikembangkan sehingga menjadi ciri khas dari lembaga ini. Setidaknya melalui permenungan, penulis menemukan tiga nilai yang menjadi ciri khas dari lembaga ini. Ketiga nilai itu ialah: cinta kasih, kepemimpinan yang melayani (servant leadership), serta keberpihakan kepada orang miskin (option for the poor). Ketiga nilai ini tentunya tidak lepas dari spiritualitas Yesus Kristus Sang Guru sejati dan spiritualitas St. Vincentius a Paulo yang menjadi pelindung lembaga ini sekaligus tokoh yang diteladani oleh Rm. Janssen, CM. Cinta Kasih yang Menjadi Dasar Sebagaimana telah disampaikan dalam pendahuluan, bahwa cinta kasih menjadi dasar berdirinya lembaga ini. Mengapa cinta kasih? Tentu jawabannya menjadi jelas ketika kita melihat ajaran utama yang diajarkan Yesus, yakni cinta kasih. Yesus mengajarkan bahwa hukum yang terutama adalah hukum kasih, mengasihi Allah dan sesama (bdk. Mrk 12:30-31). Cinta kasih menjadi Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 7 nilai utama dalam diri umat manusia, khususnya umat Kristiani. Cinta kasih inilah yang juga menjadi tugas perutusan Gereja setelah Yesus naik ke surga. Gereja diutus untuk mewartakan cinta Allah kepada dunia, menjadi tanda keselamatan dan cinta Allah (LG. Art. 1). Gereja diutus mewartakan cinta itu dengan mewartakan kabar sukacita kepada segala bangsa (bdk. Mat 28:19). Lalu pertanyaan selanjutnya, “Model cinta kasih macam apa yang harus menjadi dasar dalam dinamika kehidupan di lembaga ini?” Untuk menjawab pertanyaan ini mungkin kita bisa menengok apa yang diajarkan oleh St. Vincentius a Paulo mengenai kasih afektif dan efektif. St. Vincentius melihat bahwa cinta itu harus afektif dan efektif, model inilah yang Vincentius lihat dalam diri Yesus. St. Vincentius berkata, “Ada dua macam kasih, yaitu kasih afektif dan kasih efektif. Kasih efektif berarti melakukan hal-hal yang diperintahkan atau diharapkan oleh pribadi yang dikasihi. Mengasihi Tuhan Yesus secara afektif berarti bukan hanya mengikuti pelbagai ajaran dan pesannya, melainkan juga mengajak dunia menghargai dan mengasihi Yesus”. Bagi Vincentius, Yesus adalah teladan dalam mewujudkan cinta yang afektif sekaligus efektif. Cinta afektif adalah cinta yang melibatkan perasaan, rasa. Sedangkan cinta efektif adalah cinta yang diungkapkan melalui tindakan tepat guna. Yesus hidup untuk mengasihi Bapa dan juga manusia. Kasih-Nya kepada Bapa diwujudkan secara afektif dengan membangun relasi yang erat kepada Bapa dan secara efektif diwujudkan dalam kepatuhan-Nya terhadap kehendak Bapa. Sedangkan kasih afektif-Nya kepada manusia diwujudkan Yesus dalam bela rasa kepada penderitaan dan pengalaman hidup manusia. Dalam Injil dikisahkan bahwa Yesus ikut menangis (Yoh 11:35), dan tersentuh hatinya oleh belas kasih (Mat 20:34, Mrk 6:34, Mat 9:36). Yesus bukan hanya berhenti dalam sikap bela rasa saja (mengasihi secara afektif) namun juga berbuat sesuatu yang tepat guna, misalnya menyembuhkan orang sakit, memberi makanan kepada yang lapar, dan membangkitkan orang mati. Kasih afektif dan efektif senantiasa berjalan bersamaan, keduanya tidak terpisah (Isharianto, 2014: 183). Jika sejenak kita mengingat kembali sejarah berdirinya STKIP Widya Yuwana, maka cinta kasih afektif dan efektif inilah yang juga diterapkan oleh Rm. Janssen. Cintanya kepada tanah misi, kepada orang miskin, dan dunia pendidikan membuat ia terdorong untuk mendirikan lembaga ini. Rm. Janssen ingin dengan adanya lembaga ini semakin banyak orang miskin dan 8 Kembali kepada Spiritualitas Pendiri membutuhkan terlayani dengan baik. Bukan hanya soal miskin secara materi, namun juga miskin dalam konteks minim pengetahuan dan pembinaan iman. Bukan hanya Rm. Janssen saja, begitu pula dengan Bapak Djumadi, Rm. Dwijo, Rm. Wignyo, dan semua orang yang telah berjuang memajukan lembaga ini, mereka semua terdorong oleh karena cinta yang sama. Cinta mereka kepada Allah dan sesama manusia memampukan mereka berjuang untuk menghadapi aneka tantangan dalam usaha mengembangkan lembaga ini menjadi lembaga yang benar-benar membawa keselamatan bagi banyak orang. Mereka semua berjuang dengan cinta afektif dan efektif untuk menjadikan Widya Yuwana sebagai Widya Yuwana yang sejati, yang mampu memberikan Ilmu Keselamatan dan akhirnya mampu menyelamatkan banyak orang. STKIP Widya Yuwana diutus untuk terlibat dalam karya misi Gereja, mewartakan cinta Allah kepada dunia baik itu secara afektif dan efektif. Perutusan inilah yang kiranya telah diperjuangkan lembaga ini selama 61 tahun. Semangat untuk mewujudkan cinta kasih yang afektif sekaligus efektif ini terus diperjuangkan tanpa henti. Lembaga ini telah berhasil melihat bahwa: pertama, masih banyak kaum muda yang memerlukan pendidikan; kedua, jemaat memerlukan pengajar iman untuk membina iman mereka. Dengan demikian lembaga ini turut merasakan kebutuhan dan kekhawatiran dunia (umat dan masyarakat). Inilah cinta afektif dari lembaga ini. Cinta afektif itu kemudian diwujudkan dalam cinta yang efektif. Lembaga ini mewujudkan cinta kasih itu dalam bidang pendidikan serta juga pelayanan kepada umat. Di bidang pendidikan lembaga ini berkomitmen untuk terus memberikan layanan pendidikan dengan total terutama kepada mereka yang belum bisa atau kurang mampu menempuh pendidikan. Aneka beasiswa dan keringanan biaya diberikan agar semakin banyak kaum muda mampu merasakan pendidikan yang layak sehingga kelak mereka mampu memperoleh kehidupan yang cerah. Di sisi pastoral lembaga ini telah dan terus berusaha mencetak para pengajar iman untuk membina iman umat Allah. Oleh sebab itu STKIP Widya Yuwana memiliki tujuan mencetak para pewarta sabda yang mampu mewartakan cinta kasih Allah secara nyata. Mereka diutus untuk menjadi misionaris cinta kasih, pengajar ilmu keselamatan, dan mewartakan kabar gembira di tempat mereka diutus. Hakikat perutusan inilah yang diemban oleh STKIP Widya Yuwana dalam Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 9 karyanya di tengah Gereja dan masyarakat. Dan ketika cinta kasih menjadi dasar lembaga ini berdiri, maka model yang diterapkan dalam dinamika pembinaan adalah model cinta kasih yang afektif dan efektif. Perutusan dan model pembinaan di atas tentunya memiliki konsekuensi yang tidak mudah. Sebelum diutus sebagai misionaris cinta kasih dan pewarta kabar gembira, tentunya mahasiswa harus memiliki kompetensi dan karakter sebagai seorang utusan yang mampu mewartakan cinta dan karya keselamatan Allah bagi umat manusia. Usaha membentuk pribadi mahasiswa yang demikian tentunya tidak bisa hanya melalui bangku perkuliahan saja, namun tentu diperlukan suatu suasana pembinaan integral yang penuh cinta. Mahasiswa perlu terlebih dahulu mengalami pengalaman dicintai (baik secara afektif dan efektif) sebelum mereka diutus untuk membagikan cinta (Supriyadi, 2005:23). Baru setelah mereka merasakan cinta inilah, mereka akan mampu mewartakan cinta. Tidak mungkin mereka membagikan apa yang tidak mereka miliki (alami) kepada orang lain, seperti yang dikatakan dalam pepatah Latin, “Nemo dat qoud non habet” (tidak ada yang dapat memberi apa yang tidak mereka miliki). Servant Leadership sebagai Model Kepemimpinan Jika cinta kasih yang menjadi dasar kehidupan lembaga ini, lalu bagaimana model kepemimpinannya? Model kepemimpinan yang ideal bagi lembaga ini tentunya adalah model kepemimpinan yang melayani (servant leadership). Mengapa? Model ini adalah model kepemimpinan Yesus sendiri, Dalam penerapannya model ini menjunjung tinggi prinsip cinta kasih. Yesus mengatakan bahwa dirinya diutus ke dunia bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya bagi banyak orang (Mat 10:45; 20:28). Yesus pun memberikan teladan untuk para murid-Nya dengan membasuh kaki mereka. Yesus mengajarkan, menjadi pemimpin bukan soal memerintah, namun bagaimana menjadi pelayan bagi yang dipimpin. Yesus bersabda, “Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, atau pun seorang utusan dari pada dia yang mengutusnya” (Yoh 13:14-16). 10 Kembali kepada Spiritualitas Pendiri Jika dilihat secara mendalam, kepemimpinan yang melayani merupakan salah satu perwujudan cinta yang efektif. Keduanya sama-sama mengedepankan cara mencintai orang lain dengan tindakan nyata. Pelayanan adalah buah dari cinta, seperti yang pernah diungkapkan oleh Santa Teresa dari Kalkuta. Dengan demikian menjadi jelas bahwa pada dasarnya pemimpin harus mampu mencintai dan melayani. Cinta diwujudkan dalam pelayanan nyata. Untuk melihat secara lebih detail mengenai bagaimana kepemimpinan melayani (servant leadership), maka akan digunakan teori dari Robert K. Greenleaf. Greenleaf merupakan salah satu tokoh yang mengembangkan model dan teori kepemimpinan yang melayani (servant leadership). Greenleaf mengatakan bahwa seorang pemimpin haruslah orang yang memiliki perasaan dan kehendak untuk melayani. Seorang pemimpin adalah orang pertama dan utama yang memiliki inisiatif untuk melayani. Seorang pemimpin harus mau menjadi pelayan terlebih dahulu. Bagi Greenleaf (1977:13) kepemimpinan yang melayani adalah suatu kepemimpinan yang berawal dari perasaan tulus yang timbul dari dalam hati yang berkehendak untuk melayani, yaitu untuk menjadi pihak pertama yang melayani. Greenleaf merumuskan bahwa secara alamiah pada dasarnya seseorang pada awalnya ingin melayani, baru kemudian muncul sebuah kesadaran untuk memimpin. Inilah ciri khas yang membedakan model kepemimpinan yang melayani dengan model kepemimpinan lainnya, yakni kehendak melayani muncul terlebih dahulu sebelum munculnya keinginan untuk melayani (Iswanto, 2017:164). Kepemimpinan yang melayani merupakan kepemimpinan yang mengutamakan pelayanan pada orang lain. Model kepemimpinan ini sangat mengedepankan prinsip moral dan kemanusiaan. Seorang pemimpin haruslah memanusiakan semua anggota organisasi dan masyarakat. Kepemimpinan yang melayani mendorong seseorang pemimpin untuk melayani dan mengayomi orang lain sebagai upaya mencapai apa yang menjadi tujuan utama (visi dan misi) organisasi (Iswanto, 2017, hlm. 163). Penekanan utama kepemimpinan model ini adalah mengembangkan orang sebagai individu yang lebih manusiawi bukan pada kekuasaan dan posisi dari diri sendiri. Jadi tujuan utamanya adalah untuk “pertumbuhan” anggota organisasi dan mengembangkan kerja tim (teamwork) dan keterlibatan semua anggota. Greenleaf kemudian mengemukakan beberapa karakteristik dari model kepemimpinan yang melayani. Kepemimpinan yang melayani haruslah Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 11 memiliki karakteristik sebagai berikut: humanity (kemanusiaan), relational power (kekuatan relasi), autonomy (otonomi), moral development of followers (pengembangan moral anggota), dan emulation of leader’s service orientation (orientasi untuk menjadi teladan sebagai seorang pemimpin yang melayani) (Jahidi & Hafid, 2017:226). Berangkat dari karakteristik kepemimpinan yang melayani ini, Spears juga mengungkapkan beberapa karakteristik lain, yakni: mendengarkan (listening), empati (empathy), penyembuhan (healing), kesadaran (awareness), persuasi (persuasion), konseptualisasi (conceptualization), kejelian (foresight), keterbukaan (stewardship), komitmen untuk pertumbuhan (commitment to the growth of people), membangun komunitas (building community) (Seksi Hukum dan Informasi, 2020). Kepemimpinan yang melayani inilah yang kemudian juga menjadi model kepemimpinan dari lembaga ini. Kisah sejarah di bagian pertama memperlihatkan kepada kita bahwa lembaga ini ada untuk menjawab kebutuhan umat dan niat baik para mahasiswa awal. Rm. Janssen melihat bahwa tenaga pastoral untuk membina iman jemaat sangatlah minim. Kemudian ia mencoba mendirikan lembaga ini agar kebutuhan umat sungguh terlayani. Harapan itu memang kemudian menjadi nyata, bahwa memang dengan adanya lembaga ini, banyak karya pembinaan iman dan pastoral karitatif terealisasikan. Semakin banyak orang miskin dan membutuhkan terlayani. Hingga hari ini model kepemimpinan yang demikian masih tetap dipertahankan dalam dinamika organisasi lembaga ini. Mungkin benar bahwa sempat ada masa kelam, benar pula bahwa pernah terjadi visi–misi awal tak tercapai. Perlu disadari bahwa lembaga ini pun terus bergerak mengikuti perkembangan zaman dan tuntutan yang dituntutkan kepadanya pun senantiasa berubah. Namun di balik itu semua, semangat dan model kepemimpinan tetap dipelihara hingga hari ini. Lembaga ini tetap melayani siapa pun yang membutuhkan pendidikan yang layak. Walaupun di tengah situasi yang sulit dan banyak kekurangan di dalamnya, lembaga ini mampu berkomitmen untuk menyelenggarakan pendidikan yang baik bagi siapa pun. Aneka program pembinaan dan kebijakan dibuat agar mahasiswa pun mampu menjadi seorang pemimpin yang melayani. Sedari diri mereka dikenalkan dengan medan pewartaannya, bertemu dan menyapa umat yang kelak dilayaninya. 12 Kembali kepada Spiritualitas Pendiri Selain itu model kepemimpinan yang melayani ini diterapkan dalam program pembentukan spiritual dan moral. Seperti yang dikatakan di atas bahwa salah satu ciri kepemimpinan yang melayani adalah dengan juga mengembangkan moral setiap anggotanya. Lembaga ini pun melakukan hal yang serupa. Pembinaan spiritual diadakan agar spiritualitas dan moral mahasiswa terbentuk. Kelima program yang dahulu dicanangkan oleh Rm. Janssen dan mungkin sempat hilang, kini telah direvitalisasi. Kelima program tersebut adalah Meditasi Harian, Bacaan Kitab Suci, Ekaristi, Pembentukan Diri sebagai Rasul, dan pembentukan Komunitas Basis Gerejani (KBG). Mungkin bentuknya sedikit berbeda namun pada dasarnya sama. Misalnya KBG dan pembentukan diri sebagai rasul diintegrasikan dalam program pastoral lapangan, baik itu di lingkungan, stasi, paroki, maupun sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa pembinaan kepribadian (baik spiritual dan moral) mendapat perhatian khusus dalam lembaga ini. Lembaga ini terus mewujudkan cita-cita Gereja yang diutus memberikan pelayanan di bidang pendidikan, terutama pendidikan teologi. Lembaga ini merupakan salah satu lembaga yang diharapkan Gereja untuk melakukan tugas kerasulan di bidang pendidikan. Gereja menaruh harapan amat besar atas kegiatan fakultas-fakultas teologi. Sebab kepada fakultas-fakultas itulah Gereja memercayakan tugas yang berat sekali, yakni menyiapkan para mahasiswanya bukan saja untuk pelayanan imam, tetapi terutama untuk mengajar di lembaga-lembaga studi gerejawi tingkat tinggi, untuk mengembangkan berbagai bidang ilmu atas jerih payah mereka sendiri, dan menangani tugas-tugas kerasulan intelektual yang lebih berat (GE. Art. 11). Pendidikan yang Berpihak kepada Kaum Miskin (Option for The Poor) Salah satu fenomena khas dari lembaga ini adalah keberpihakannya kepada kaum miskin. Keberpihakan kepada orang miskin (option for the poor) sendiri merupakan suatu prinsip yang diperjuangkan Gereja, lebihlebih dalam Ajaran Sosial Gereja (ASG). Prinsip atau ajaran ini merupakan prinsip yang diajarkan Yesus sendiri. Dalam Injil Lukas 4:18-19 Yesus bersabda, “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 13 tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” Yesus menegakkan bahwa diri-Nya diutus mewartakan Injil (kabar gembira) kepada mereka yang miskin dan lemah. Prinsip ini jugalah yang senantiasa diperjuangkan Gereja hingga hari ini. Gereja diutus untuk mewartakan kabar baik kepada mereka yang miskin dan papa. Iman kita akan Kristus, yang menjadi miskin, dan selalu dekat dengan kaum miskin dan kaum tersingkir, adalah dasar kepedulian kita pada pengembangan seutuhnya para anggota masyarakat yang paling terabaikan (EG. art. 186). St. Vincentius a Paulo juga menaruh perhatian yang besar kepada kaum miskin dan papa, bahkan, St. Vincentius mendapatkan gelar sebagai bapa kaum miskin. Oleh Paus Leo XIII, St. Vincentius diangkat sebagai pelindung semua karya dan perkumpulan cinta kasih. St. Vincentius pernah berkata, “Jika di antara kita ada yang berpikir bahwa tugas kita hanya untuk mewartakan Injil kepada kaum miskin, dan bukan untuk meringankan penderitaan mereka, hanya untuk memenuhi kebutuhan rohani dan bukan kebutuhan jasmani mereka, maka saya menegaskan bahwa kita harus menolong mereka dan memastikan bahwa mereka ditolong dengan segala cara, baik oleh kita sendiri maupun oleh orang-orang lain.... Melakukan hal ini berarti mewartakan Injil baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatanperbuatan. Inilah cara yang paling sempurna.” Bagi Vincentius, salah satu karya misi yang harus dilakukan adalah dengan melayani kaum miskin. Baginya Tuhan hadir di dalam diri kaum miskin, dan oleh karenanya ia (dan juga kita) diutus untuk melayani kaum miskin. Vincentius mengajarkan kepada para imamnya, “Kasih terhadap orang miskin itu bukan hanya dengan lembut, tetapi juga harus efektif... melayani orang miskin dengan efektif.” Vincentius mengajarkan bahwa sebagai murid Kristus, kita memiliki tugas untuk mengasihi kaum miskin, bukan hanya sekadar merasakan penderitaan, namun juga ikut meringankan penderitaan mereka. Rm. Janssen kiranya juga memiliki prinsip yang sama dalam membangun lembaga ini. Cintanya kepada kaum miskin mendorongnya untuk mendirikan lembaga ini. Hal ini terlihat di mana pertama kali, ALMA, yang menjadi cikal bakal lembaga ini, memberi perhatian kepada mereka yang papa dan miskin. Rm. Janssen berharap dengan adanya lembaga ini, semakin banyak orang miskin yang terlayani. 14 Kembali kepada Spiritualitas Pendiri Perjuangan untuk melayani kaum miskin tentunya terus diupayakan hingga hari ini. Mengingat bahwa lembaga pendidikan Katolik memang harus kepada mereka yang kecil dan miskin (Suparno, 2017:57). Lembaga pendidikan Katolik diutus untuk memberikan layanan pendidikan yang layak bagi kaum miskin dan terpinggir. Hal ini jugalah yang membuat STKIP Widya Yuwana terus berupaya memberikan pendidikan dan pembinaan terbaik kepada kaum muda, terutama mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu. Lembaga ini seperti telah dikatakan di atas, menyediakan aneka keringanan biaya, beasiswa, dan perhatian kepada mereka yang membutuhkan. Bahwa dalam prinsipnya orang harus tetap bisa mengenyam pendidikan terlebih dahulu, soal biaya dapat diselesaikan kemudian. Prinsip ini bukan berarti semua pendidikan di lembaga ini gratis, namun prinsip ini ingin menjelaskan bahwa masalah biaya bisa diselesaikan di kemudian hari, yang terpenting adalah mahasiswa mampu mengenyam pendidikan yang baik terlebih dahulu. Allah Memberkati Lembaga Ini 61 tahun bukanlah usia yang muda bagi suatu lembaga pendidikan. STKIP Widya Yuwana sebagai suatu lembaga pendidikan, tentunya mengalami banyak suka duka dalam mewujudkan perutusannya di dunia. Sejarah memberikan gambaran kepada kita tentang hal itu. Namun apa sebenarnya yang dapat kita tangkap dari perjalanan sejarah lembaga ini, mulai dari berdirinya hingga hari ini? Apa makna sebenarnya dari perjalanan sejarah ini? Tak lain adalah bahwa Allah sendiri telah memberkati lembaga ini. Allah memberkati lembaga ini dengan berbagai cara yang luar biasa. Pertama, lembaga ini berdiri atas kesediaan 12 mahasiswa yang mau melayani umat Allah dengan sukarela. Allah mengetuk hati mereka untuk menjawab panggilan-Nya, membuka hati mereka untuk melihat apa yang menjadi kebutuhan dunia. Situasi umat yang berkekurangan membuat mereka terdorong melayani umat dengan ikhlas. Tuhan memanggil mereka. Kedua, di tengah masa kelam lembaga ini Allah memberikan rahmat yang luar biasa. Allah memang memberikan tantangan bagi lembaga ini hingga titik terberat, namun Allah juga memberikan jalan yang harus ditempuh agar lembaga ini dapat hidup kembali. Masa kelam membuat seluruh anggota kembali berefleksi untuk menemukan panggilannya yang Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 15 autentik. Melalui masa kelam itu lembaga ini menemukan jati dirinya, yakni sebagai Widya Yuwana, lembaga pendidikan yang diutus untuk mewartakan ilmu keselamatan sehingga banyak orang diselamatkan. Ketiga, Allah memberkati lembaga ini salah satunya dengan memberikan donatur-donatur untuk menunjang proses pendidikan dan pembinaan para mahasiswa. Allah mengetuk dan menggerakkan hati banyak orang untuk peduli terhadap lembaga ini. Dalam sejarah kita melihat bahwa melalui Mgr. Hurts dari Missio, Allah telah menganugerahkan rahmat yang luar biasa bagi lembaga ini. Aneka beasiswa ditawarkan agar semakin banyak orang yang mampu mengenyam pendidikan tinggi yang layak. Allah sungguh mengetuk hati para donatur dan menggerakkan mereka untuk berbuat sesuatu bagi lembaga ini. Allah membuat mereka mampu mencintai lembaga ini secara afektif sekaligus efektif. Keempat, Allah memberkati lembaga ini dengan tetap menyediakan mahasiswa untuk dididik di tempat ini. Sempat hampir tutupnya lembaga ini karena kekurangan mahasiswa, ternyata adalah cara Allah agar lembaga ini merefleksikan kembali panggilannya beserta cara-cara yang harus ditempuh. Melalui kepemimpinan Rm. Wignyo, Allah menganugerahkan mahasiswa bagi lembaga ini. Politik dagang yang dijadikan strategi kala itu adalah cara Allah agar lembaga ini melihat kebutuhan Gereja lokal, hingga lembaga ini mampu menyiapkan diri untuk memenuhi kebutuhan itu. Strategi itu kiranya bertahan hingga sekarang, juga ditambah strategi jemput bola. Kedua strategi ini menunjukkan bahwa lembaga ini sungguh berkomitmen untuk menciptakan mahasiswa yang unggul dan kontekstual, yang mampu melayani umat sesuai dengan konteks dan kebutuhannya. Keempat hal ini menunjukkan bahwa Allah memberkati lembaga ini. Lalu mengapa Allah berbuat demikian? Jawabannya adalah karena lembaga ini berkomitmen menyalurkan cinta Tuhan secara nyata. Lembaga ini berkomitmen untuk tiga nilai di atas: cinta kasih, pelayanan, dan peduli kepada mereka yang miskin dan lemah. Allah peduli akan keberadaan lembaga ini. Allah berfirman: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibr 13:5). Allah sungguh memberkati setiap orang yang mengikuti panggilan-Nya. “Jika engkau baik-baik mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan dengan setia segala perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, maka 16 Kembali kepada Spiritualitas Pendiri TUHAN, Allahmu, akan mengangkat engkau di atas segala bangsa di bumi. Segala berkat ini akan datang kepadamu dan menjadi bagianmu, jika engkau mendengarkan suara TUHAN, Allahmu” (Ul. 28:1-2). Sabda ini sungguh menjadi semangat dan terwujud nyata dalam seluruh dinamika kehidupan lembaga STKIP Widya Yuwana selama 61 tahun berdirinya. Bagian III Melayani dan Mewartakan Injil kepada Orang Kecil dengan Cinta yang Besar Setelah merefleksikan perjalanan sejarah lembaga ini hingga hari ini, maka patutlah dibahas mengenai langkah ke depan yang harus diambil oleh para mahasiswa untuk mewartakan Injil di era modern. Juga akan dijelaskan apa saja kiranya yang akan menjadi tantangan bagi pewartaan Injil di era modern ini. Oleh karenanya, pada bagian ini penulis akan merefleksikan dan mencoba merevitalisasi nilai-nilai yang diperjuangkan lembaga ini bagi mahasiswa untuk mempersiapkan diri berkarya di dunia pendidikan dan Gereja masa depan. Apa yang Kita Hadapi ke Depan? Konteks Indonesia dewasa ini membuat kita memahami bahwa Gereja dan dunia pendidikan kita sedang mengalami banyak perubahan. Arus globalisasi membuat dinamika kehidupan bergerak dari budaya tradisional menuju ke budaya modern. Kemajuan teknologi dan informasi, serta pola hidup praktis menggeser seluruh tatanan kehidupan. Namun globalisasi tidak selalu buruk. Ada hal baik yang dapat kita petik. Berkaitan dengan hal ini Gereja dan tentunya juga lembaga pendidikan Katolik menghadapi aneka tantangan sebagai dampak dari globalisasi itu sendiri. Berikut akan diuraikan beberapa tantangan akibat Globalisasi yang akan kita hadapi. a. Munculnya Budaya Individualisme, Konsumerisme, dan Hedonisme Globalisasi melahirkan berapa budaya baru yang dapat dibilang merugikan kita. Budaya yang dimaksud adalah individualisme, konsumerisme dan hedonisme. Ketiga budaya ini merupakan fenomena yang menggeser budaya cinta kasih. Kemajuan ilmu pengetahuan, Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 17 teknologi dan komunikasi di tengah arus globalisasi saat ini telah menciptakan ruang privasi yang semakin besar dan kuat dengan akibat setiap individu semakin terlibat dan sibuk dengan urusan dan kepentingan pribadi atau kelompok yang sempit. Rasa kekeluargaan, solidaritas dan kolektif terkikis dari kehidupan masyarakat. Masyarakat menjadi lebih individual (Wilhelmus O. R., 2013:40). Selain itu globalisasi membuat orang terjebak dalam budaya hedonisme, ketergantungan dan kecanduan terhadap produk tertentu. Sama halnya dengan budaya konsumerisme yakni budaya di mana seseorang gemar mengonsumsi materi, uang, barang secara berlebihan. Budaya konsumerisme ini akan terus membangkitkan semangat bahkan nafsu untuk terus mencari, mendapatkan dan memakai berbagai barang material bukan karena membutuhkan tetapi demi kepuasan diri, status sosial, lifestyle dan popularitas (Denny Firmanto & Yustinus dalam Wilhelmus, 2013:42). b. Kemerosotan Moral Masyarakat Modern Kemerosotan moral dalam hidup masyarakat menjadi tantangan tersendiri bagi kita yang mempersiapkan diri sebagai pendidik agama. Kemerosotan moral memang bukan hal baru, tetapi merupakan sesuatu yang berbahaya bagi kehidupan bangsa. Kemerosotan moral ini juga merebak di dalam lingkup kehidupan anak-anak dan remaja. Merebaknya isu-isu yang terjadi di kalangan siswa seperti penggunaan narkotika, narkoba, tawuran antar siswa, pornografi, perkosaan, perjudian, pelacuran, penipuan, pengguguran kandungan, dan pembunuhan, menjadi tanda bahwa kemerosotan moral ini memang terjadi, bahkan di kalangan kaum muda (Suharni, 2016: 242). c. Politik dan Birokrasi yang Berbelit Tak bisa dimungkiri bahwa tantangan yang hebat juga datang dari pemerintahan. Sistem berbelit penuh politik kotor membuat perkembangan lembaga pendidikan menjadi lamban. Apalagi posisi lembaga Katolik yang dewasa ini adalah lembaga minoritas, yang kemungkinan kecil mendapat perhatian pemerintah. Salah satu contoh yang tampak adalah sistem kurikulum. Sistem kurikulum yang kaku membuat lembaga pendidikan Katolik kurang leluasa dalam menerapkan sistem yang berdasar pada nilai cinta kasih (Suparno, 2017: 54). 18 Kembali kepada Spiritualitas Pendiri d. Bergesernya Paradigma Agama dan Pendidikan Agama dewasa ini mengalami perubahan makna. Kehidupan agama yang dahulu sangat religius dan toleran kini telah bergeser. Agama dewasa ini bisa jadi bertendensi ke arah destruktif. Para pemeluk agama sering kali memeluk sistem doktrin, ritual maupun institusi secara ekstrem (Sugiharto, 2010: 327). Apa yang hancur? Yang hancur tentunya adalah nilai kemanusiaan dan rasa toleransi di antara umat beragama. Orang beragama hanya sebagai kewajiban, untuk mengejar surga saja. Sedangkan di bidang pendidikan pandangannya berupah ke arah komersial. Pendidikan dipandang sebagai suatu komoditas. Program studi, kurikulum dan manajemen pendidikan kita saat ini terus didorong untuk penyesuaian diri dengan tuntutan dan kebutuhan pasar. Komersialisasi pendidikan memacu suburnya privatisasi lembaga-lembaga pendidikan serta pendidikan itu sendiri ditempatkan sebagai barang komersial yang bisa memberi banyak profit (Wilhelmus O. R., 2012:134). e. Masyarakat Miskin dan Anak Putus Sekolah Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang, meningkat 1,63 juta orang terhadap September 2019 dan meningkat 1,28 juta orang terhadap Maret 2019. Hal ini menandakan bahwa negara kita masih memiliki masalah dengan kemiskinan. Berkaitan dengan hal itu, kemiskinan juga membuat angka putus sekolah di negara ini tergolong tinggi. Tercatat hingga Juli 2020 ada setidaknya 4,5 juta anak putus sekolah. Dari data yang dimiliki Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), jumlah anak usia 7-12 tahun di Indonesia yang tidak bersekolah berada di angka 1.228.792 anak. Untuk kategori usia 13-15 tahun di 34 provinsi, jumlahnya 936.674 anak. Sementara usia 16-18 tahun, ada 2.420.866 anak yang tidak bersekolah. f. Kurangnya Tenaga Pastoral dan Guru Agama Katolik Kebutuhan akan tenaga pastoral dan guru agama Katolik sungguh terlihat nyata dalam kehidupan Gereja Indonesia. Gereja sangat membutuhkan kehadiran para petugas pastoral, katekis, dan guru agama untuk menjalankan tugas perutusannya di dunia. Gereja membutuhkan keterlibatan kaum awam, terutama katekis dan guru agama untuk menjadi petugas pastoral, yang mampu membantu menggembalakan Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 19 umat Allah. Gereja melihat bahwa pelayanan para imam tidaklah cukup, maka diperlukan perpanjangan tangan seperti katekis dan guru agama untuk menunaikan tugas penggembalaan ini. Mempersiapkan diri sebagai Misionaris Cinta Kasih Aneka hal di atas sungguh menantang kita untuk makin bertumbuh dan mempersiapkan diri bagi karya pelayanan di masa depan. Untuk itu ada beberapa kompetensi dan penghayatan nilai yang harus dibangun agar kita sungguh siap menghadapinya. Berangkat dari sejarah dan dinamika kehidupan lembaga ini serta tantangan ke depan, kita dipanggil dan diutus untuk menjadi misionaris cinta kasih. Kita diutus untuk mampu melayani dan mewartakan Injil kepada orang kecil dengan cinta yang besar. Ada beberapa hal yang perlu kita siapkan, antara lain: a. Menjadi Pribadi yang Integral Pertama yang perlu dipersiapkan adalah pribadi kita. Kita perlu mempersiapkan diri untuk menjadi pribadi yang utuh (integral). Menjadi pribadi yang integral berarti memiliki keseimbangan dalam kedewasaan intelektual, emosional, spiritual, dan bertindak. Kedewasaan intelektual dapat kita kembangkan melalui berbagai pendidikan intelektual dan budaya berpikir kritis. Tentunya setiap mata kuliah yang diberikan dapat memacu kita untuk mengembangkan kedewasaan intelektual kita. Kedewasaan emosional dan spiritual dapat kita kembangkan melalui aneka bentuk latihan rohani, seperti Meditasi, Lectio Divina, Refleksi, Ibadat, Bimbingan Rohani, dan terutama melalui Perayaan Ekaristi. Latihan rohani inilah yang sebenarnya telah dilakukan dari awal berdirinya lembaga ini. Tujuan diberikannya latihan rohani ini agar para mahasiswa memiliki kedewasaan spiritual dan emosional, serta mampu merefleksikan setiap pengalaman dalam kacamata iman. Kedewasaan tindakan dapat kita kembangkan dengan menghayati setiap praktik pastoral yang diberikan. Praktik pastoral adalah tempat di mana kita mampu melihat situasi umat secara nyata. Kepribadian yang integral ini menjadikan kita pribadi yang bermoral dan berakhlak, mampu menjadi teladan bagi orang lain, masyarakat, peserta didik, dan umat. Kita menjadi garam dan terang di tengah kemerosotan moral. 20 Kembali kepada Spiritualitas Pendiri b. Menjadi Pribadi yang mampu Mengasihi secara Afektif dan Efektif Sebagai calon misionaris cinta kasih kita diharapkan mampu mencintai dan membagikan cinta. Hal pertama yang harus kita lakukan adalah menyadari betapa besar cinta Allah kepada kita. Kita harus mampu menyadari hal-hal baik apa yang telah kita terima dalam kehidupan kita. Apa saja cinta yang telah kita terima dari keluarga kita, teman-teman kita, komunitas kita, dan terutama saat menjalani pendidikan dan pembinaan di tempat ini, melalui dosen, karyawan, para imam, donatur dan umat? Setelah kita sadar betapa besar cinta itu, barulah kita mampu membagikan cinta. Karena tidak mungkin kita membagikan apa yang memang tidak pernah kita miliki dan rasakan. Sebagai misionaris cinta kasih, kita bukan hanya dituntut untuk mencintai secara afektif saja, namun lebih-lebih secara efektif, melakukan suatu tindakan nyata bagi orang lain. Kita tidak cukup hanya merasa berbelaskasihan kepada umat yang sedang mengalami penderitaan misalnya. Kita ditantang untuk melakukan tindakan nyata kepadanya, entah dengan penghiburan, atau suatu perbuatan sederhana untuk menolongnya. Cinta tidak pernah akan menjadi nyata tanpa adanya perbuatan. Cinta yang kita miliki ini dapat juga kita wujudkan kepada umat dan anak-anak didik kita kelak. Mendidik dengan cinta merupakan suatu model pengajaran yang memang dituntut dari kita sebagai pengajar agama Katolik ini. Kita mampu memberikan pelayanan kepada mereka yang tidak bisa memperoleh pendidikan. Selain itu cinta kasih yang kita miliki dan akan kita ajarkan kelak diharapkan mampu memecah sifatsifat egoisme, individualisme, dan sekularisme yang saat ini sedang ada dalam budaya manusia. Hanya dengan cintalah manusia akan dimanusiakan dan kembali menjadi manusia. c. Menjadi Pemimpin yang Melayani Perutusan menjadi misionaris cinta kasih juga mengajak dan mendorong kita menjadi pemimpin yang mau dan mampu melayani. Sebagai pemimpin kita diutus untuk melayani orang lain. Kita harus mampu mendahulukan kepentingan orang lain, mendengarkan, berempati, menjadi penyembuh, menyadari situasi, mampu menggerakkan orang Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 21 lain (persuasi), terbuka, dan mengembangkan sesama. Asas yang harus dipijak adalah asas kemanusiaan, moral dan cinta kasih. d. Menjadi Pribadi yang Peduli kepada Kaum Miskin Selanjutnya sebagai misionaris cinta kasih kita diminta untuk melanjutkan misi Yesus yakni mewartakan Injil kepada kaum miskin. Sebagai seorang pengikut Kristus kita diminta untuk mampu peduli (mencintai secara afektif) dan menolong sesama kita yang miskin secara nyata (mencintai secara efektif). Kita menyadari bahwa kita pun telah ditolong oleh Allah dengan berbagai cara, maka kita pun diminta untuk menolong sesama kita. Seperti apa yang diteladankan lembaga ini dan oleh St. Vincentius juga, bahwa mencintai Allah secara nyata adalah dengan cara mencintai orang miskin. Orang miskin bukan hanya bagi mereka yang miskin secara materi saja, namun kepada mereka yang miskin perhatian, kasih sayang, dan bahkan miskin iman. Dalam diri orang-orang miskin inilah Allah ditemukan secara nyata. Marilah kita mencintai Allah melalui diri orang miskin. Sebab sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku (Mat 25:40). Penutup: Ad Multos Anos Almamaterku Sejak berdirinya 61 tahun yang lalu, STKIP Widya Yuwana telah berkarya bagi kehidupan bangsa dan Gereja. Widya Yuwana telah mengalami dinamika kehidupan yang sungguh mengesankan, ada duka, ada suka, ada susah, ada senang, semua telah dilalui. Kisah kelam dijadikan pelajaran, kisah senang dijadikan semangat. Setelah 61 tahun berdiri, Widya Yuwana konsisten berkomitmen untuk menunjukkan dirinya secara nyata sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu keselamatan agar banyak orang semakin diselamatkan. Nilai cinta kasih, pelayanan, serta kepeduliannya kepada kaum miskin menjadi semangat yang tak pernah padam untuk memanusiakan manusia, membangun Kerajaan Allah secara nyata. Kiranya semangat inilah yang akan terus tumbuh dan berkembang dalam dinamika lembaga ini. Semangat inilah yang kiranya akan menjiwai setiap orang di dalam lembaga ini, baik itu dosen, karyawan, para biarawan 22 Kembali kepada Spiritualitas Pendiri dan biarawati, donatur dan terutama mahasiswa yang menempuh pendidikan di tempat ini. Ketiga semangat ini yang menjadikan Widya Yuwana sebagai Widya Yuwana. Dan pada akhirnya, kita mahasiswa dan alumni Widya Yuwana pun diharapkan meneladani semangat lembaga kita tercinta ini. Sebagai mahasiswa di tempat ini kita sungguh-sungguh diharapkan dapat mewartakan Ilmu keselamatan yang telah kita terima kepada banyak orang agar semakin banyak orang diselamatkan. Keselamatan itu kita wartakan dalam karya kita yang penuh cinta, pelayanan, dan kepedulian kepada mereka yang miskin. Selamat ulang tahun Almamaterku, Almamater kita semua. Semoga Perayaan Dies Natalis ke-61 tahun ini membuatmu semakin jaya, semakin mampu melahirkan putra-putri yang mewartakan keselamatan Allah secara nyata. Ad Multos Anos. Daftar Pustaka Greenleaf, Robert K. (1977). Servant Leadership A Journey into the Nature of Legitimate Powerand Greatness. NewYork/Mahwah: Paulist Press. Isharianto, R. (2014). Perwujudan Kasih Afektif dan Efektif. Malang: Widya Sasana Publication. Iswanto, Y. (2017). Kepemimpinan Pelayan Era Modern. Jurnal Administrasi Kantor, 157-172. Jahidi, I., & Hafid, M. (2017). Trnasformasional Leadershop dan Servant Leadership: Tantangan Kepemimpinan dalam Menghadapi Era Global. CosmoGov: Jurnal Ilmu Pemerintahan; Vol. 03 No. 02, 219-231. Seksi Hukum dan Informasi. (2020, April 25). Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Dipetik September 12, 2020, dari Kepemimpinan yang Melayani (Servant Leadership) Sebagai Gaya Kepemimpinan Kekinian: https://www.djkn.kemenkeu. go.id/artikel/baca/13049/Kepemimpinan-yang-Melayani-ServantLeadership-Sebagai-Gaya-Kepemimpinan-Kekinian.html. Sugiharto, B. (2010). Pergeseran Paradigma pada Sains, Filsafat dan Agama Saat Ini. MELINTAS 26.3, 317-332. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 23 Suharni. (2016). Mencegah Kemerosotan Moral dan Perilaku Menyimpang Melalui Konseling Berbasis Kearifan Lokal. Proceedings International Seminar FoE (Faculty of Education) – Vol. 1 , 241-248. Suparno, P. (2017). Idealisme Sekolah Katolik dalam Tantangan Zaman. Dalam P. Suparno, C. K. Adi, B. Mardiatmadja, & T. sarkim, Lembaga Pendidikan Katolik dalam Konteks Indonesia (hlm. 47-60). Yogyakarta: Kanisius. Supriyadi, A. (2005). Misteri di Balik Sistem Pendidikan di STKIP Widya Yuwana - Madiun. Suara Wina Edisi Khusus, 22-24. Wilhelmus, O. R. (2012). Tantangan Globalisasi Terhadap Dunia Pendidikan Kita Saat Ini. JPAK: Jurnal Pendidikan Agama Katolik Vol. * Tahun ke-4, 131-142. Wilhelmus, O. R. (2013). Komunitas Basis Gerejani Merespon Budaya Hidup Individualisme, Konsumerisme dan hedonisme di Tengah Arus Globalisasi. JPAK: Jumal Pendidikan Agama Katolik Vol. 10 Tahun ke 5, 30-48. 24 Kembali kepada Spiritualitas Pendiri Aggiornamento Semangat Founding Fathers STKIP Widya Yuwana bagi Jiwa Sosial Kemasyarakatan Kasimirus Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Widya Yuwana Pengantar Kata aggiornamento kentara digunakan dalam Konsili Vatikan II. Aggiornamento adalah kata dalam bahasa Italia yang secara sederhana dapat diartikan sebagai pembaruan. Pada masa itu, Bapa Gereja merasakan Gereja mulai menyimpang dari semangat awal yang dimiliki. Keadaan tersebut dapat dilihat dari hubungan antar Gereja Kristen sejak skisma Timur tidak bersahabat lagi; masalah sosial (hubungan kaum buruh dengan majikan) dan lain sebagainya. Ketika merefleksikan situasi itu, Gereja mengupayakan pembaruan, misalnya pembaruan liturgis. Namun, apakah semangat awal pengabdian kepada Allah diubah? Tentu tidak. Justru kunci pembaruan berangkat dari semangat awal, yang mana semangat Gereja waktu itu sudah tidak sesuai lagi dengan semangat awal. Ada anamnese dalam pembaruan. Tidak menutup kemungkinan, problem yang demikian ditarik dari tema yang akan dibahas ini. Ingatan kita disegarkan oleh roh awal, yang kita hadirkan di sini dan saat ini. Semangat awal para pendiri dihadirkan di sini dan sekarang dengan cara pandang baru (kekinian). Tema besar yang dibahas dalam tulisan ini adalah menggali dimensi sosial dari semangat awal Bapak Pendiri STKIP Widya Yuwana. Kita perlu mengaktifkan ingatan kecil kita dengan melihat karya Rm. Janssen di sekitar Madiun, seperti: Panti Asuhan Don Bosco yang memelihara orang cacat, pendirian ALMA (Asosiasi Lembaga Misionaris Awam) yang sekarang bernama STKIP Widya Yuwana, dan lain sebagainya. Karya-Karya tersebut memperlihatkan pergerakkan jiwa sosial yang besar, suatu keprihatinan Gereja akan kemanusian. Kita melihat posisi semangat awal pendiri, apakah masih menjadi dasar perjalanan lembaga ini atau telah menyimpang selama perjalanan itu berlangsung hingga kini. Bila memang menyimpang, maka Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 25 perlu diadakan peremajaan kembali melalui roh pendiri atau semangat awal yang dimiliki lembaga ini sehingga lembaga mempunyai bahan introspeksi diri setelah sekian insan yang dihasilkan bagi Gereja. Sekurang-kurangnya tulisan ini diharapkan dapat menjadi rule of control bagi segala dinamika di kampus ini. Tulisan ini merupakan hasil dari studi pustaka. Pentingnya Kembali pada Semangat Awal Pendiri Dalam perjalanan STKIP Widya Yuwana sekian lama, perlu diakui ada banyak kekurangan, terutama bila melihat fakta lapangan dari sekolah atau paroki tempat para alumni melayani. Itulah sebabnya pada momentum Dies Natalis ke-61 kita diajak kembali pada roh pendiri lembaga ini. Banyak orang berpandangan bahwa kembali semangat awal merupakan tindakan ketinggalan zaman, kolot, tidak modern, dan sejenisnya. Apakah demikian? Kapan kembali ke masa lalu menjadikan kita tidak bisa move on, dan kapan kembali ke masa lalu menjadikan kita move on bahkan move on dengan sangat baik? Pertanyaan penting yang kita renungkan secara mendalam dari usaha untuk kembali kepada semangat awal pendirian STKIP Widya Yuwana adalah apa yang dapat kita ambil di sana? Baiklah melihat beberapa fakta sejarah agar sedikit mengerti arah pembahasan ini. Kita tentu mengenal bangsa Israel. Secara kuantitatif Israel merupakan bangsa besar waktu itu. Tetapi bukan jumlah kuantitatif yang perlu diperhatikan melainkan kualitatif. Secara kualitatif Israel adalah bangsa yang besar dibuktikan dengan jumlah ilmuan dan pemikir besar yang dihasilkannya, yang hingga saat ini memengaruhi hidup dunia. Padahal Israel banyak ditindas oleh bangsa lain seperti Mesir di bawah kekuasaan Firaun, dan pada masa Nazi Jerman di bawah kekuasaan Hitler yang membantai jutaan orang Israel dalam peristiwa holocaust, suatu tragedi kemanusiaan yang terbesar, dan beringas pada masa itu. Banyak sejarawan menafsirkan bahwa bangsa Israel menjadi bangsa hebat meskipun ditindas karena mereka memelihara ingatan kolektif (ingatan bersama) yaitu ingatan bahwa mereka senasib sepenanggungan di bawah bimbingan YHWH. Beralih pada bangsa Indonesia. Mengenai pentingnya melek sejarah, Soekarno mengatakan, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Ungkapan ini sering disingkat menjadi “jas merah.” Ungkapan ini merupakan ungkapan 26 Aggiornamento Semangat Founding Fathers STKIP Widya Yuwana terkenal yang diucapkan Soekarno saat pidato terakhirnya pada HUT RI ke21 tahun 1966. Ungkapan Soekarno yang lain berkaitan dengan pentingnya sejarah antara lain: “Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta. Masa yang lampau sangat berguna sebagai kaca benggala daripada masa yang akan datang ... bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.” Nah, bagaimana kita dapat menghormati pahlawan bila kita tidak mengenal mereka dan perjuangannya, demikian juga bagaimana kita menghormati upaya dan semangat pendiri bila kita tidak mengenal dan mengerti sejarah perjuangannya sampai lembaga ini ada di muka bumi. Sangat penting bagi kita untuk melihat semangat awal (sejarah) agar kita dapat maju dengan mata yang tidak buta. Menurut J.V. Bryce, sejarah adalah catatan dari apa yang telah dipikirkan, dikatakan dan diperbuat oleh manusia. Persoalannya adalah tahu dan pahamkah kita tentang apa yang dipikirkan, dikatakan, dan diperbuat oleh Bapa Pendiri dari upaya mendirikan lembaga ini? Semangat apa yang dihayatinya kala itu? Kata semangat (awal) dapat juga disinonimkan dengan spirit. Secara kolektif spirit disebut spiritualitas, yang secara sederhana berarti “bangun, terjaga” (Mello, 2005:1). Secara sederhana dipahami spiritualitas adalah semangat untuk sadar melakukan sesuatu dengan dasar tertentu. Heuken (2006:12) mengatakan, spiritualitas dapat disebut cara mengamalkan seluruh kehidupan sebagai seorang beriman yang berusaha merancang dan menjalankan hidup ini semata-mata seperti Tuhan menghendakinya. Untuk dapat menjalani hidup yang sesuai dengan kehendak Allah, seseorang harus mempererat hubungan dengan Tuhan melalui mendengarkan sabda-Nya dalam Injil, dan dalam hatinya (bdk. Heuken, 2006:12). Spiritualitas berkaitan erat dengan anugerah Allah yang dilimpahkan kepada pribadi tertentu atau kelompok tertentu (Komkat KWI, 1997:22). Semangat founder father STKIP Widya Yuwana kita yakini ada dalam bingkai pengertian spiritual di atas, artinya kita yakin bahwa lembaga ini telah didirikan berdasarkan: (1) suatu bentuk “bangun, terjaga” dari Romo Janssenyang waktu itu membaca tanda-tanda zaman, misalnya jumlah imam yang merosot sehingga penting untuk memberdayakan kaum awam bagi karya keselamatan, tetapi dapat diartikan juga bahwa dari proses pembinaan kaum awam yang sedemikian rupa,diharapkan dapat memunculkan benih panggilan hidup religius; (2) Pendiri lembaga ini berangkat juga dari Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 27 kebangunan rohani, yang rohnya sudah mengawali Konsili Vatikan II, keterlibatan kaum awam dalam perkembangan Gereja dan misinya. Artinya lembaga ini lahir dari kehidupan dan permenungan rohani mendalam dari pendiri, suatu sari pertemuan mesra dengan Tuhan; (3) Lembaga ini adalah hasil penemuan nilai diri (manusia) dan Tuhan dengan kehendak-Nya. Artinya semangat awal pendirian lembaga ini adalah gerak Roh Allah. Tidak menghargai semangat awal, apa lagi bias dari semangat awal pendiri berarti tidak menghargai “evolusi kesadaran” pada waktu itu, tidak menghargai buah konkret hidup suci, tidak menghargai nilai-nilai manusia yang ditemukan dan tidak menghargai gerak Roh Allah pada waktu itu. Kita mestinya sampai pada refleksi mendalam akan Roh awal pendirian lembaga STKIP Widya Yuwana yang masih eksis hingga saat ini. Kita tidak semestinya menyepelekan karya Roh Allah dalam proses pendirian lembaga ini. Siapakah kita di hadapan Roh itu? Mengenai Roh itu, dikatakan: “Karena kepada kita Allah telah menyatakannya oleh Roh, sebab Roh menyelidiki segala sesuatu, bahkan hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah. Siapa gerangan di antara manusia yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri manusia selain roh manusia sendiri yang ada di dalam dia? Demikian pulalah tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah. Sebab: “Siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan, sehingga ia dapat menasihati Dia?” Tetapi kami memiliki pikiran Kristus.” (1Kor 2:10; 2:16) “Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan,kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.” (Gal 5:22-23) Ada tiga hal penting yang perlu digarisbawahi dari ketiga kutipan teks di atas terkait dengan pentingnya kembali ke semangat awal Pendiri. Pertama, lembaga ini telah berdiri sebagai karya Roh, di mana Roh itu menyelidiki sesuatu dan tidak terselami. Kedua, tidak mungkin Roh yang membimbing Bapa Pendiri tidak dapat memahami masa depan, tidak mengerti tantangan dan peluang yang akan muncul di masa ini dan yang akan datang? Ketiga, manusia memang tidak dapat mengetahui pikiran Allah, tetapi manusia percaya kepada Kristus dan dimampukan memiliki pikiran Kristus. Romo Janssen telah berpikir berdasarkan pikiran Kristus yang prihatin terhadap 28 Aggiornamento Semangat Founding Fathers STKIP Widya Yuwana Gereja, dan kemanusiaan pada umumnya yang mengerucut pada pendirian STKIP Widya Yuwana. Maka, kita tidak memiliki alasan apa pun untuk meniadakan semangat awal, apalagi menggantinya dengan semangat lain yang bersifat destruktif (seperti perebuatan kekuasaan atau takhta, kekayaan, dan rupa-rupa dunia ini). Semangat Pendiri dibarui bukan pada semangat awal tetapi dalam diri segenap Civitas academica STKIP Widya Yuwana, sehingga kita bisa move on, bila kita belajar sesuatu dari pengalaman. Sekilas Sejarah STKIP Widya Yuwana, Madiun Pada pembahasan sebelumnya, kita telah dibawa pada refleksi mendalam mengenai semangat awal pendirian lembaga STKIP Widya Yuwana, yang intinya adalah spirit atau semangat awal ini merupakan buah karya Roh Kudus dan Allah sendiri, yakni kasih dalam bentuk keprihatinan terhadap Gereja dan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, segenap civitas academica harus dipelihara dan disegarkan dalam hati masing-masing. Pada bagian sub tema ini, kita sekalian diajak untuk mencicipi nostalgia sejarah awal STKIP Widya Yuwana Madiun. Baiknya, para pembaca tidak memahaminya pertamatama sebagai laporan peristiwa melainkan sebagai bagian sejarah Allah menyelamatkan manusia, sehingga kita dapat menemukan tujuan dari dasar yang sama, atas tujuan dibangunnya lembaga ini. Kita diharapkan untuk menemukan Roh Allah yang selalu membimbing lembaga ini. Dalam kacamata iman Kristiani, sejarah tidak lepas dari rencana dan campur tangan Tuhan. Oleh karena itu, sejarah merupakan suatu peradaban penting yang selalu dipelajari kembali untuk melihat kekayaan dan kekurangannya demi menimba semangat awal, dan demi perkembangan ke depan yang lebih pesat. Kehadiran STKIP Widya Yuwana di Madiun tidak lepas dari maksud Gereja lokal, bahkan maksud Gereja universal untuk menyebarluaskan Kerajaan Allah, dan dengan demikian tidak lepas juga dari rencana Allah sebagai pemilik Gereja itu sendiri. Sejarah yang ditulis diharapkan memberikan panorama makna di masa kini dengan tafsiran sesuai perkembangan dan pemahaman zaman ini dalam bimbingan Roh Kudus. Nama STKIP Widya Yuwana bukanlah nama yang dari awal dipakai. Saat berdiri pertama kali pada 1 September 1959, STKIP Widya Yuwana memiliki nama ALMA (Asosiasi Lembaga Misionaris Awam). Nama ALMA oleh Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 29 Paulus Janssen sebagai pendiri bermaksud menunjukkan tujuan dari lembaga tersebut yaitu mendidik tenaga awam yang berkecimpung dalam bidang keagamaan dan sosial (bdk. Tondowidjojo, 2001:243). Paulus Janssen merasa tenaga imam (pastor) sangat kurang, begitu juga kaum awam yang mau bekerja di bidang pembangunan masyarakat yang dibutuhkan oleh Gereja dan negara yang sedang membangun sangat kurang (bdk. Tondowidjojo, 2001:243). Gedung pertama beroperasi di Jl. Ahmad Yani No. 7, belakang pastoran Gereja Santo Cornelius, Madiun. Pada tanggal 2 November 1960 berdasarkan SK. No. 71/Rek/1960 ALMA menjadi bagian dari Universitas Widya Mandala yang berpusat di Surabaya, sehingga jurusannya menjadi bagian dari fakultas pendidikan yang berada di Madiun, sehingga ALMA berubah menjadi fakultas pendidikan kateketik (bdk. Tondowidjojo, 2001:244). Para mahasiswanya mengikuti dua jurusan, yaitu jurusan bimbingan dan penyuluhan yang statusnya diakui oleh pemerintah, dan jurusan kateketik (agama) yang statusnya (ijazah) lokal (bdk. Tondowidjojo, 2001:244). Tahun 1970 jurusan bimbingan dan penyuluhan dilepaskan, dan para mahasiswa hanya mengikuti jurusan kateketik (keagamaan) sehingga fakultas pendidikan diubah menjadi fakultas kateketik (bdk. Tondowidjojo, 2001:244). Pada tanggal 21 Desember 1972 oleh Pimpinan Gereja Katolik Surabaya dibuka sebuah Yayasan khusus untuk mengelolah pendidikan kateketik yaitu Widya Yuwana, dengan demikian fakultas kateketik berubah nama menjadi Akademi Kateketik Indonesia (AKI) “Widya Yuwana”, Madiun. Hingga kini, masyarakat setempat lebih mengenal STKIP Widya Yuwana dengan sebutan AKI. Pada tanggal 1 Januari 1973 Akademi Kateketik Indonesia Widya Yuwana Madiun memperoleh status terdaftar di Direktorat Perguruan Tinggi Agama Negeri di Jakarta dengan SK. No. D. VI/48/P/73 (bdk. Tondowidjojo, 2001:244). Kemudian, pada tanggal 14 Agustus 1974 AKI Madiun memperoleh status dari Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan SK. No. 056/1/1974 (bdk. Tondowidjojo, 2001:244). Pada 18 Februari 1985 dipertegas lagi status terdaftar tersebut dengan SK. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 170/0/1985, sekaligus mengubah nama menjadi Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) “Widya Yuwana” dengan jenjang program Diploma III jurusan pendidikan agama Katolik (kateketik), yang mulai dilaksanakan tahun akademik 30 Aggiornamento Semangat Founding Fathers STKIP Widya Yuwana 1985/1986 (bdk. Tondowidjojo, 2001:244). Pada tanggal 1986 STKIP Widya Yuwana mengalami perubahan jenjang program dari Diploma III menjadi Sarjana Strata 1 (S-1) dengan SK. Dirjen DIKTI Depdikbud RI. No. 508/ DIKTI/Kep/1986, sekaligus mengubah program studi pendidikan agama Katolik (kateketik) menjadi program studi ilmu pendidikan teologi (bdk. Tondowidjojo, 2001:244). Pada tanggal 10 Agustus 2000 STKIP Widya Yuwana Madiun mendapat Surat Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional dan dinyatakan Terakreditasi dengan SK. No. 019/BAN-PT/AK-IV/VIII/2000 dan pada tanggal 2 September 2000 Uskup Surabaya Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr., menyatakan bahwa STKIP Widya Yuwana Madiun harus beroperasional (bdk. Tondowidjojo, 2001:244). Hingga saat ini tetap beroperasi, dan sudah terakreditasi “B”, termasuk sebagai institusi sudah mendapat akreditasi “B” pula oleh BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi). Saat ini, para lulusan STKIP Widya Yuwana ada di beberapa pelosok nusantara untuk melayani Gereja dan negara sebagaimana roh awal berdirinya lembaga ini. Catatan sejarah STKIP Widya Yuwana di atas memperlihatkan bahwa lembaga ini tidak berdiri semudah membalik telapak tangan. Perubahan demi perubahan yang dilakukan dapat diyakini tanda kepedulian, kepekaan jiwa sosial, kedalaman permenungan pendiri dan sahabatnya sehingga menghasilkan keputusan ini dan itu. Pada uraian singkat sejarah STKIP Widya Yuwana di atas tidak ditemukan perubahan semangat awal. Perubahan ada pada nama, jurusan, dan status dari lembaga. Esensi dari lembaga ini tetap dipertahankan, yaitu membentuk insan awam bagi Gereja dan sosial masyarakat. Sekali lagi dipertegas tujuan awal pendirian lembaga STKIP Widya: Mendidik tenaga awam yang berkecimpung dalam bidang keagamaan dan sosial. Namun, kadang kala kita merasakan kemajuan yang pesat maupun kemunduran yang memilukan. Hal ini bukan terletak pada perubahan semangat, melainkan apakah segenap civitas academica STKIP Widya Yuwana menghayati atau belum menghayati semangat itu. Oleh sebab itu, sudah semestinya lembaga STKIP Widya Yuwana berupaya membentuk insan awam dengan dua kualitas utama, yaitu: mampu hidup sebagai warga Gereja Allah dan sebagai warga manusia. Sebelum mereka menjadi pelayan bagi sesama yang menjadikan mereka warga Allah dan warga masyarakat yang berjiwa sosial. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 31 Program Pembentukan Katekis dari Visi dan Misi Terbaru Lembaga STKIP WidyaYuwana, Madiun Lembaga STKIP Widya Yuwana merupakan lembaga pendidikan yang kecil, namun memiliki cita-cita besar yang terungkap pada visi dan misinya. Berikut akan dijelaskan bagaimana program pembentukan katekis menurut maksud visi dan misi STKIP Widya Yuwana. Pertama, Visi lembaga STKIP Widya Yuwana Madiun adalah “Unggul dan Kontekstual (bdk. STKIP Widya Yuwana, 2019:1). Keunggulan dan kekontekstualan yang dimaksud adalah mampu menguasai, mengembangkan dan mengaplikasikan teori melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi; mampu menghadirkan pembinaan yang mengembangkan kedewasaan pribadi, hidup beriman, semangat merasul, keterlibatan hidup masyarakat; sanggup mengenali, menganalisis dan menanggapi kebutuhan atau persoalan Gereja dan masyarakat; memiliki keterampilan mengaplikasikan dan mengimplementasikan teori dan konsep secara benar dan kontekstual dalam rangka pengabdian atau pelayanan secara efektif kepada masyarakat (bdk. STKIP Widya Yuwana, 2019:1). STKIP Widya Yuwana memiliki misi untuk sampai pada visi antara lain: membentuk pribadi yang memiliki kematangan manusiawi, hidup Kristiani, intelektual, semangat kerasulan dan tanggap terhadap panggilan; membentuk pribadi yang menyadari dan meyakini jati diri katekis yang merupakan bentuk jawaban atas panggilan Allah dalam kesatuan dengan perutusan Gereja; mengembangkan ilmu dan teknologi di bidang pendidikan, keguruan, dan karya pewartaan Gereja melalui penelitian dan pengembangan yang menghasilkan karya akademik dan temuan-temuan; menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berguna bagi pengembangan karya kerasulan dan pewartaan Gereja sehingga menjadi Kabar Gembira bagi masyarakat; menjadikan STKIP Widya Yuwana sebagai pusat informasi di bidang kajian katekese; mengembangkan kerja sama dengan berbagai lembaga dalam rangka pengembangan kependidikan, karya katekese, penelitian, dan pengabdian masyarakat (bdk. STKIP Widya Yuwana, 2009:vii). Dari visi dan misi yang telah disebutkan, mahasiswa diharapkan: menguasai ilmu pendidikan dan keagamaan Katolik secara benar dan bertanggung jawab, mampu mengaplikasikan ilmu yang dimiliki dalam 32 Aggiornamento Semangat Founding Fathers STKIP Widya Yuwana hidup masyarakat; mampu menghasilkan karya ilmiah yang kontekstual dalam perspektif pendidikan dan keagamaan Katolik; memiliki integritas diri yang tinggi dan aspek moral dan etika (bdk. STKIP Widya Yuwana, 2019:13). Dalam strategi pencapaian, pada bagian penataan integritas diri, mahasiswa melaksanakan pembinaan yang berkelanjutan melalui rekoleksi dan retret; melakukan evaluasi diri yang dibantu oleh pembimbing (bdk. Widya Yuwana, 2019:14). Visi dan Misi STKIP Widya Yuwana Madiun dapat diringkas dengan beberapa poin penting seperti menguasai teori, membentuk pribadi yang dewasa iman dan sebagai manusia seutuhnya, mampu melakukan analisis dan menanggapi kebutuhan dan persoalan, serta menghasilkan karya penelitian yang kontekstual bagi masyarakat. Kedua, STKIP menghidupi visi itu dengan berbagai program yang tentunya menjadikan seorang manusia unggul dan kontekstual khususnya dalam bidang pendidikan keagamaan Katolik dan katekis. Itulah sebabnya, keberhasilan pembinaan hingga menjadi katekis tidak pertama-tama dipandang lembaga pada tinggi intelektual (IQ) tetapi pada proses. Kendali pun begitu, lembaga STKIP Widya Yuwana tetap melakukan seleksi calon secara baik, dengan identitas kenegaraan dan keagamaan yang dapat dipastikan sebagai titik awal informasi tentang calon, yang kemudian diproses lembaga dalam pembinaan personal. Proses pembinaan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip Kristiani, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945, serta kebudayaan bangsa Indonesia (bdk. STKIP Widya Yuwana, 2009:1). Mahasiswa melewati proses pembinaan dan pendidikan diawali dengan seleksi memadai, itulah sebabnya diadakan beberapa tes seleksi seperti logika, questioner, wawancara, dan matrikulasi, dan sebagainya hingga OSPEK. Seusai diterima sebagai mahasiswa, mahasiswa dibina dan dididik. Program pembinaan meliputi pembinaan kepribadian, hidup rohani, intelektual, kerasulan dan panggilan (bdk. STKIP Widya Yuwana, 2009:5). Pembinaan dilaksanakan baik secara harian maupun berkala. Program pembinaan harian dilaksanakan pada hari senin sampai dengan Sabtu. Pembinaan berkala meliputi rekoleksi, retret, pelatihan, seminar dan sebagainya (bdk. STKIP Widya Yuwana, 2009:5). Bentuk perkuliahan terdiri dari perkuliahan teori yaitu perkuliahan yang berupa pengkajian dan penguasaan teori; perkuliahan praktik atau responsi yaitu kegiatan yang berupa pelatihan atau bantuan dari dosen untuk Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 33 mahasiswa dalam memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan teori; praktik laboratorium studio, yaitu aplikasi atau pengujian teori dalam situasi dan kondisi yang terbatas; program pengalaman lapangan (PPL) lingkungan jemaat sekitar Madiun, maupun di stasi (di luar teritorial paroki di Madiun), dan magang (KKN) 3 bulan di luar kota; pembinaan rohani, kepribadian dan keterampilan (bdk. STKIP Widya Yuwana, 2009:pasal 7). Spiritualitas Sosial-Kemasyarakatan Kaum Awam Kaum awam didorong oleh Gereja untuk terlibat dan menghayati panggilannya yang khas di dalam keduniawian (profan). Yohanes Paulus II, dalam Pontificio Consilium pro Laicis, Testimoni di Cristo nella comunita politica, menegaskan, “keterlibatan ... sosial merupakan bentuk perwujudan dimensi sosial kasih Kristiani” (bdk. Olla. 2002:151). Sebelumnya, Bapak Pendiri sudah menyadari pentingnya kaum awam dalam karya Gereja. Oleh karena itu jugalah ia mendirikan lembaga ini. Ia pasti mengharapkan supaya awam Katolik memiliki semangat hidup sosial yang tinggi. Berikut ini diuraikan secara singkat spiritualitas sosial-politik. Ada beberapa bentuk spiritualitas yang harus dipegang oleh umat Katolik dalam keterlibatan sosial. Pertama, spiritualitas historis-inkarnatif, adalah spiritualitas sosial-politik yang lahir dari keyakinan mendasar bahwa Allah masuk dalam sejarah konkret manusia untuk menyelamatkan manusia secara integral (bdk. Olla. 2002:58). Keyakinan akan penyelamatan Kristus tidak dapat dibatasi dalam lingkup pengalaman interior atau batiniah saja, melainkan mesti masuk dalam dimensi sosial-politik. Kedua, spiritualitas kasih-inspiratif, adalah spiritualitas yang mendorong umat terlibat dalam sosial-politik berdasarkan kasih. Hidup batin dan keterlibatan sosial-politik diukur dari pencerahan yang dialami ketika berhadapan dengan masalah-masalah sosial-politik nyata (bdk. Olla. 2002:63). “Spiritualitas sosial-politik yang didasarkan pada kasih menjadi sumber pencerahan dalam menghadapi masalah-masalah sosial-politis” (Olla. 2002:64). Ketiga, spiritualitas bela rasa-memihak, adalah spiritualitas yang mendorong orang melayani masyarakat khususnya yang kecil dan tertindas. Yesus prihatin dan mengidentikkan diri dengan mereka yang menderita dan tersingkir. Seluruh hidup Yesus adalah inspirasi bagi spiritualitas politis yang berbela rasa dan bersifat memihak kaum tertindas (bdk. Olla. 2002:65). 34 Aggiornamento Semangat Founding Fathers STKIP Widya Yuwana Hidup sosial harus menguduskan hidup. Hidup sosial yang menguduskan hidup memiliki syarat yaitu: Pertama, karya pelayanan sosial harus mewujudkan iman yang sekuler, artinya memperjuangkan manusia dan kepentingan umum, dan tidak secara langsung bergerak untuk kepentingan penyelamatan Gereja. Semua orang Kristiani dipanggil dan didorong untuk berjuang menghapus dan mengubah struktur kehidupan masyarakat yang tidak melayani kepentingan umum (bdk. Olla, 2014:71). Kedua, pelayanan sosial harus mengusung nilai-nilai moral, artinya moral menjadi syarat menghindarkan pelayanan sosial dari pragmatisme dan utopisme, sebab moral bisa saja menjadi utopia dan dapat dibeli untuk kepentingan sendiri (bdk. Olla, 2014:72-76). Ketiga, keterlibatan sosial-politik merupakan dorongan cinta akan keadilan dan perdamaian. Kesucian hidup dalam pelayanan sosial harus diwujudkan dengan memperjuangkan keadilan dan perdamaian (Olla, 2014:77). Keempat, petugas sosial harus mengabdi kepentingan umum. Orang Kristiani ditantang bukan supaya menyangkal usaha orang Kristiani untuk memperoleh afirmasi dari rakyat pemilih melainkan usaha menata kecenderungan alamiah (mencari uang, takhta, dan popularitas) untuk kebaikan yang lebih tinggi yaitu mengusung kepentingan umum di atas kepentingan diri sendiri seturut kehendak Kristus (bdk. Olla, 2014:79-80). Kelima, bila dalam pelayanan sosial dipercaya menjadi yang dituakan, ia harus berkuasa melalui pelayanan kasih. Setiap petugas sosial Kristiani harus belajar dari kepemimpinan Yesus yang melayani. Iman sangat sulit sekali diukur. Salah satu cara mengukur kualitas iman adalah dengan melihat praktik hidup dan keterlibatan dalam kehidupan bersama di masyarakat. Ada beberapa peristiwa yang menunjukkan kualitas iman atau keimanan seseorang. Pertama, adanya kerinduan untuk mengalami keselamatan melalui sakramen permandian dan memperjuangkan rahmat baptisan di tengah tantangan dan halangan dari masyarakat. Kedua, merayakan iman dengan gembira, tidak terhadap kekuatan penguasa dunia, melainkan mengalahkannya dengan kekuatan kebenaran dan keadilan. Ketiga, iman dilihat juga dari ketaatan umat percaya kepada Gereja di mana Kristus sebagai kepala dalam personalisasi imam-Nya. Keempat, memperjuangkan kebenaran dan keadilan dengan gerakan bersama (bdk. Tondowidjojo, 2001:57). Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 35 Penutup Dalam rangka Dies Natalis STKIP Widya Yuwana, sebagai kampus yang kita cintai bersama, hendaklah memperbarui semangat Bapak Pendiri di dalam hati kita masing-masing. Pemahaman sejarah lembaga ini harus sungguh dimengerti sebagai karya Allah yang belum selesai, dan kemajuan serta perkembangannya dipercayakan kepada para pendidik, pengajar, mahasiswa dan segenap warga kampus ini. Inti dari semangat awal pendirian lembaga ini adalah mendidik tenaga awam yang berkecimpung dalam bidang keagamaan dan sosial. Menyadari pentingnya mengetahui semangat awal lembaga ini, diharapkan pada saat Masa Orientasi Pengenalan Kampus ada alokasi waktu 1-2 sesi presentasi tentang sejarah STKIP Widya Yuwana Madiun. Lembaga hendaknya tidak berfokus pada urusan administrasi, sosial, takhta dan kekuasaan, soal uang, soal golongan dan lain-lain yang sifatnya merusak dan melenceng dari roh awal lembaga ini didirikan. Sebagaimana Gereja memahami bahwa harta Gereja adalah manusia dan keselamatannya merupakan karya Roh demikian juga lembaga berfokus pada manusia dan keselamatannya dalam bimbingan Roh Kudus pula. Mahasiswa, selama kuliah di lembaga ini menyadari dan menghayati semangat itu dengan sungguh belajar di lembaga ini yakni membentuk pribadinya menjadi anggota Gereja yang pantas oleh Roh Kudus, dan berjiwa sosial (menyelamatkan) bagi sesamanya. Mahasiswa diharapkan belajar sebagai proses hidup yang membahagiakan, bukan sebagai momok yang membuat stres. Prinsipnya adalah membentuk pribadi sebagai warga Gereja yang baik dan benar, membentuk pribadi berjiwa sosial yang baik dan benar, baru kemudian menjadikan orang lain sebagai warga Gereja, dan menjadikan orang lain berjiwa sosial. 36 Aggiornamento Semangat Founding Fathers STKIP Widya Yuwana Daftar Pustaka Anthony de Mello. 2005. Awareness: Butir-Butir Mutiara Pencerahan. Jakarta: Gramdia Pustaka Utama. Heuken, A. 1994. Ensiklopedi Gereja (IV Ph-To). Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. Komisi Kateketik KWI, 1997. Pedoman Untuk Katekis. Kanisius: Yogyakarta. ____________. 2005. Identitas Katekis di Tengah Arus Perubahan Jaman. Jakarta: Komisi Kateketik KWI. LAI. 2008. Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia. Olla, Paulinus Yan. 2002. Spiritualitas Politik: Kesucian Politik dalam Perspektif Kristiani. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. STKIP Widya Yuwana. 2009. Pedoman Mahasiswa Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Widya Yuwana Madiun. Madiun: STKIP Widya Yuwana Madiun. ___________. 2019. Pedoman Akademik Program Studi Ilmu Pendidikan Teologi. Madiun: STKIP Widya Yuwana. Tondowidjojo, John. 2001. Sejarah Perkembangan Keuskupan Surabaya Jilid 4 A. Surabaya: Yayasan Sanggar Bina Tama. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 37 Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia Mathias Jebaru Adon Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Pendahuluan Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat kompleks dan heterogen karena terdiri dari berbagai macam budaya daerah, etnis agama dan ras namun satu jua dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika di bawah falsafah negara Pancasila. Keanekaragaman ini menjadi kekayaan dan ciri khas bangsa Indonesia di mata dunia. Kekayaan kebangsaan Indonesia tidak hanya tampil dalam keanekaragaman budaya-budaya elit misalnya; musik klasik, opera, teater serius, kesusteraan atau seni seperti; tarian-tarian etnis dan ritus-ritus tradisional, hasil-hasil kerajinan eksotis dan berbagai artefak. Tetapi juga dalam kekayaan kecakapan dan prestasi manusia Indonesia dalam menyiasati hidupnya yang tersembul dalam kebijaksanaan lokal yang tersembunyi dalam tradisi hidup sehari-hari, dalam mitologi, dalam sastra yang indah, dalam bentuk-bentuk ritual penghormatan, dalam wujud nilai-nilai simbolik bentuk rumah dan dalam “lokalitas” indah lainnya (Riyanto, dkk., 2015:29). Nilai-nilai itu pada hakikatnya adalah aset bangsa yang sudah berabadabad hidup dan dihidupi oleh masyarakat Indonesia. Di sisi lain kekayaan keberagaman ini sering kali dianggap sebagai ancaman bagi keutuhan bangsa dan negara. Munculnya fragmentasi dan diferensiasi yang tidak terelakkan menyebabkan ancaman bagi lemahnya integritas nasional. Hal yang sering terjadi adalah pengaturan sebagai respon atas keberagaman sering menjadi arena dominansi kebudayaan mayoritas. Akhirnya respons tersebut terjebak dalam bentuk monokulturalisme. Ketika kebudayaan dipahami sebagai sesuatu yang mandiri, utuh, murni, citra yang terbangun pada akhirnya adalah sebuah pluralitas budaya yang terpisah satu sama lain. Pada gilirannya, cara tersebut membentuk sebuah pengukuhan terhadap keterpisahan budaya. Penafsiran yang salah terhadap semboyan Bhinneka Tunggal Ika dari warisan Orde Baru merupakan kasus yang menggambarkan pengelolaan 38 Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia multikultural yang mengabaikan pemahaman multikultural itu sendiri. Akibatnya era pasca Suharto ditandai oleh lepasnya Timor-timur dari pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terjadi kerusuhan di banyak daerah disertai keinginan untuk merdeka lepas dari RI. Juga banyak bagian dari suatu provinsi ingin membentuk provinsi baru tersendiri. Di Aceh dan Papua tersulut untuk merdeka misalnya tidak pernah padam (Susilo, 2007:5). Dominansi kebudayaan mayoritas, warisan dari persepsi dan pengelolaan Bhinneka Tunggal Ika yang kurang tepat di masa lalu berdampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Senyatanya, sampai hari ini, masalah SARA (suku, agama, dan ras) menjadi suatu titik yang sangat rawan. Rawan karena kalau masalah ini disentuh sedikit saja, masalah kemudian akan meledak dengan begitu besar. Masih hangat dalam ingatan masyarakat Indonesia kasus penistaan agama yang dialami oleh Basuki Tjahaja Purnama yang dituduh memelintir ayat Al-Quran, padahal ia mengkritik kaum puritan yang menggunakan sentimen agama untuk menjatuhkan lawan politik. Berulang kali media menyatakan bahwa pidato Ahok bukanlah penghinaan terhadap agama (bdk. Majalah Tempo Edisi 1723 April 2017:29). Hal ini disebabkan karena adanya arogansi akibat dominasi kebudayaan mayoritas yang menimbulkan kurangnya pemahaman dalam berinteraksi dengan budaya maupun orang lain. Kurangnya pemahaman multikultural yang komprehensif selanjutnya menyebabkan degradasi moral generasi muda. Sikap dan perilaku yang muncul sering kali tidak simpatik, bahkan sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai budaya luhur nenek moyang. Sikap-sikap seperti kebersamaan, penghargaan terhadap orang lain, kegotongroyongan mulai pudar. Beberapa kejadian pada masa lalu sampai saat ini bisa disebut dengan bahaya. Salah satunya radikalisme yang akhir-akhir ini menjadi semakin kuat. Salah satu penelitian yang diadakan oleh departemen Agama dan Wahid Foundation menunjukkan adanya bahaya radikalisme ini di kalangan anak Sekolah Menengah. Dari 1.626 murid yang menjadi responden, 41 persen menyetujui Indonesia diubah menjadi negara Islam dan menggunakan konsep khalifah. “Ada 60 persen responden menyatakan siap berjihad di masa mendatang,” kata direktur Wahid Foundation Zannuba Arifah Chafasoh (bdk. Majalah Tempo Edisi 19-25 Juni 2017:50). Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 39 Potensi radikalisme yang sedang marak ini di sisi lain bisa menimbulkan bentuk radikalisme balasan. Radikalisme balasan itu berkembang dari perasaan jengkel atau tidak suka dengan gerakan-gerakan atau konsepkonsep radikal yang sedang berkembang saat ini. Gejala ini sangat kentara ketika orang mudah sekali tersinggung ketika disentuh, diejek atau pun dicemoohkan dalam hal-hal tertentu yang terkait dengan suku, agama, dan ras (Gaudiawan & Wijaya, 2018:206). Peristiwa kerusuhan asrama mahasiswa Papua pada Agustus 2019 yang lalu, menjadi salah satu bukti bahwa persoalan rasis dapat menyulut emosi massa yang besar. Pengaruh perkembangan teknologi ditengarai turut mengaduk-aduk kondisi sosial ini. Di media sosial, ujaran kebencian terhadap kelompok tertentu, apalagi yang berbau radikal cenderung sangat kentara. Di media sosial, bahkan berkembang istilah kaum bumi datar, kaum serbet, kaum sumbu pendek, dan istilah lain yang mau mengejek kelompok-kelompok masyarakat tertentu (Gaudiawan & Wijaya, 2018:212). Tidak dapat dimungkiri di dalam kelompok umat Katolik sendiri, mulai berkembang ujaran kebencian terhadap kelompok agama lain. Hal ini menguat karena situasi sosial politik yang cenderung memanfaatkan sentimen agama, yang bila dibiarkan, NKRI hanya akan menjadi catatan dalam sejarah. Dengan fakta yang demikian, masyarakat Indonesia harus menerima dan mengembangkan pendidikan multikulturalisme. Pendidikan multikultural adalah keseluruhan upaya pengembangan sikap dan perilaku manusia untuk saling menghargai perbedaan dan keragaman dalam hidup bersama di tengah masyarakat (Wilhelmus, 2018:14). Pendidikan ini mempunyai arti dan peranan yang sangat penting dalam masyarakat Indonesia yang multikultural, karena dapat membangun sikap saling menerima dan menghargai satu sama lain. Pendidikan ini tidak mengakui adanya dominasi budaya mayoritas dan tirani minoritas. Sekolah sebagai salah satu lembaga formal pelaksanaan pendidikan mengorientasikan pada pemahaman multikultural. Melalui proses pengajaran, sekolah menekankan dan menanamkan bahwa keberagaman sebagai kekayaan bangsa yang pantas untuk dipahami secara komprehensif (Kusmaryani, 2006:50). Berhadapan dengan tuntutan ini, Gereja Katolik dituntut untuk ambil bagian dalam usaha mewujudkan pelaksanaan pendidikan multikultural di tanah air. Gereja Katolik selama ini memandang masalah multikultural atau 40 Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia keberagaman menjadi suatu pembahasan yang penting. Sedemikian pentingnya hal ini sehingga masalah keberagamaan dan persaudaraan antara umat beragama disajikan dengan banyak muatan pada pembelajaran kelas XII Sekolah Menengah Atas/Kejuruan (Gaudiawan & Wijaya, 2018:213). Meski demikian tetap ada bahaya bahwa konsep-konsep agama Katolik tentang multikulturalisme hanya berhenti pada pengetahuan semata, belum menjiwai sanubari murid sehingga output-nya belum tampak. Agar pendidikan multikultur dapat terlaksana di Indonesia, maka diperlukan sebuah sinergi mulai dari kurikulum, materi ajar yang lebih menekankan persatuan budaya di Indonesia, atau dengan mengadakan kegiatan yang mencirikan kebudayaan masing-masing daerah di Indonesia. Oleh karena itu, para pendidik diharapkan mampu menanamkan sikap toleransi dan cinta kepada kebudayaan yang lain kepada peserta didik (Permana, 2018:8). Dalam hal ini guru sebagai pendidik diharapkan memiliki profesionalitas dalam mendidik dan kepekaan terhadap pluralisme bangsa. Artinya dari seorang guru dituntut tidak hanya kecakapan ilmu tetapi juga kreativitas dalam menerapkan bahan ajar yang dikonfrontasikan dengan persoalan hidup bangsa saat ini. Hal yang sama dituntut dari guru Katolik yang mengajarkan iman dan ajaran Katolik memainkan peranan yang sangat penting dalam mewujudkan pendidikan multikultural. Guru Katolik sebagai pendidik bukan hanya orang profesional yang secara sistematis dan terampil yang dapat memindahkan sekumpulan pengetahuan kepada siswa. Tetapi seorang yang menjadikan Injil Kristus sebagai dasar dan sumber bagi segala usahanya demi perkembangan siswanya menjadi manusia berkepribadian utuh, bertanggung jawab dan sanggup memilih secara bebas. Selain itu seorang guru Katolik adalah seorang yang mampu meresapkan Injil serta berani melaksanakannya dalam kehidupan nyata serta mampu menghubungkan imannya dengan kebudayaan orang lain. Untuk sampai pada tujuan besar ini, guru Katolik harus memiliki spiritualitas kristiani yang bersumber dari Kristus Sang Guru sejati yang melayani dan mengajari semua orang dari berbagai penjuru tanpa pandang bulu. Dengan semangat ini seorang guru agama Katolik lebih fleksibel, terbuka pada pluralisme budaya, dan memiliki cakrawala yang luas tentang pluralisme di Indonesia. Karena itu calon guru-guru agama Katolik dididik Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 41 dan disiapkan dengan matang mengenai ajaran iman Katolik yang benar dan tepat, sehingga mereka dapat mendidik orang muda secara kreatif sesuai dengan konteks Indonesia. Harapannya adalah terbangunnya sikap dan perilaku moral yang simpatik dalam diri orang muda sehingga menjadi solusi bagi permasalahan degradasi moral bangsa. Berdasarkan hal tersebut tulisan ini akan menguraikan pertama-tama bagaimana pendidikan multikultural dijalankan di Indonesia. Kedua, profesionalitas dan spiritualitas guru agama Katolik dalam mengajarkan iman Katolik. Dalam hal ini diandaikan calon-calon guru agama Katolik dipersiapkan secara matang, tidak hanya pengetahuan tentang ajaran iman Katolik tetapi juga cara pandang Gereja Katolik berhadapan keanekaragaman budaya bangsa-bangsa di dunia. Pada bagian selanjutnya akan diuraikan bagaimana guru agama Katolik memupuk spiritualitas kristiani dan menghayatinya dalam tugas perutusannya sebagai murid Kristus yang diberi mandat Gereja untuk mengajar dan mewartakan iman Katolik. Di sini guru agama Katolik berperan sebagai agen pastoral diberi ruang yang luas bagi terciptanya pendidikan multikultural. Penerapan Pendidikan Multikultural di Indonesia Salah satu kenyataan sosial yang tidak dapat disangkal adalah adanya keberagaman (diversity) di dalam masyarakat. Keberagaman tampak pada adanya beberapa perbedaan seperti misalnya usia, ras, etnis, gender maupun orientasi seksual. Kondisi ini menciptakan masyarakat yang multikultural. Di Indonesia kesadaran multikultural sudah disadari sejak awal pembentukan NKRI. Terdapat berbagai suku bangsa, agama dan ratusan dialek bahasa yang tersebar di antara pulau-pulau yang terbentang antara benua Asia dan Australia. Adanya sikap gotong royong, saling menghargai satu sama lain, mendahulukan kepentingan bersama dan kebersamaan merupakan pola perilaku yang mendarah daging kala itu. Itulah sebabnya para pendiri bangsa menjadikan Pancasila sebagai Philosopische Grondslag. Hal ini berbeda dengan sejarah bangsa lain yang terjadi sebagai akibat dari adanya arus mobilitas dan informasi yang berkembang dengan pesat. Apalagi globalisasi memberikan konsekuensi terciptanya dunia tanpa tapal batas. Hubungan antar negara, antar daerah, antar budaya bahkan antar 42 Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia individu begitu mudah. Nilai-nilai budaya dari luar tentu saja mengalir mengikuti arus tersebut dan memberikan dampak baik positif maupun negatif (Kusmaryani, 2006:50). Kemajemukan hidup masyarakat dan bangsa ini mengharuskan masyarakat Indonesia untuk menerima dan mengembangkan pendidikan multikulturalisme. Pendidikan multikultural awalnya merupakan gerakan reformasi pendidikan di Amerika Serikat untuk meniadakan (setidaknya mengurangi) diskriminasi rasial dan etnis serta kultur yang ada, serta upaya agar semua orang memperoleh kesempatan yang setara untuk mendapatkan pendidikan. Pada saat itu, di Amerika Serikat sangat kental diskriminasi rasial, etnisitas, dan kultural, bahkan gender bahkan masih tersisa hingga saat ini. Prudence Crandall (1890) yang pertama kali mengembangkan pendidikan multikultural di Amerika, secara intensif menekankan pentingnya pemahaman tentang latar belakang perbedaan budaya, etnik dan agama seseorang dalam proses pendidikan di Amerika (Wilhelmus, 2018:14). Gerakan pendidikan multikultural di Amerika tersebut sesungguhnya adalah gerakan untuk mereformasi lembaga-lembaga pendidikan agar memberikan peluang yang sama kepada setiap orang, tanpa melihat asal-usul etnis, budaya, dan jenis kelaminnya, untuk sama-sama memperoleh pengetahuan, kecakapan (skills), dan sikap yang diperlukan untuk bisa berfungsi secara efektif dalam negara-bangsa dan masyarakat dunia yang beragam etnis dan budaya. Waktu itu, di Amerika betapa sulitnya orang kulit berwarna mendapatkan kesetaraan hukum, sosial, dan politik sebagai warga negara Amerika Serikat. Mereka bisa secara hukum tersisihkan sebagai (untuk menjadi) warga negara. Berdasarkan hal itu, implementasi pendidikan multikultural di Indonesia memerlukan pengkajian yang cermat dengan melihat realita kehidupan bangsa, masyarakat, dan budaya Indonesia. Ada prinsip-prinsip umum yang bisa diadopsi dari gerakan pendidikan multikultural Amerika Serikat, tetapi ada yang tidak perlu menjadi bahan perhatian pendidikan Indonesia (Amirin, 2012:2). Dengan kata lain, jika pendekatan pendidikan multikultural akan diimplementasikan di Indonesia, haruslah berdasarkan realita Indonesia dan kearifan lokal (local wisdom atau indigenous knowledge) bangsa Indonesia sendiri. Dalam lingkup yang luas berarti memperhatikan karakteristik bangsa dan budaya Indonesia sendiri. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 43 Hal dengan sensitivitas tinggi di Indonesia adalah multireligi, bukan multikultur. Benturan antar pemeluk agama, bahkan antar penganut mazhab, aliran, atau sekte dalam satu agama sering terjadi. Penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Lombok Timur pada Sabtu (19/5/2018) dan Minggu (20/5/2018) oleh sesama umat muslim menjadi salah satu bukti. Faktor benturan lain bisa beragam, bisa karena kepentingan politik, bisa karena faktor in group dan out group yang terlampau kental. Demo besar-besaran sebelum pilkada di Jakarta yang menuntut keadilan bagi Ahok karena dinilai kelompok tertentu menista agama menunjukkan bahwa banyak orang begitu gampang tersulut emosi dengan pernyataan-pernyataan yang berbau sentimen agama, sehingga momentum ini dimanfaatkan oleh kelompok tertentu demi kepentingan politik. Konflik agama yang juga lazim muncul adalah karena adanya anggapan penodaan kesucian agama, misalnya oleh aliran-aliran kepercayaan yang mengatasnamakan agama. Konflik berdarah di Poso, Sampit, gerakan Papua Barat merupakan beberapa peristiwa berdarah yang terekam dalam lembaran sejarah Indonesia, sekaligus peristiwa yang tidak terlepas dari isu agama. Berkaitan dengan kultur, sebagian besar kultur Indonesia merupakan isolated culture yang jarang bersentuhan apalagi bersinggungan dengan budaya lain, sehingga konflik budaya sangat amat jarang terjadi, seperti juga konflik etnis. Jika ada konflik etnis, sebenarnya bukan karena etnisnya, melainkan karena ada faktor lain (sengketa tanah, politik, persoalan pribadi, dan sebagainya) (Amirin, 2012:2). Karena itu, pendidikan multikultural di Indonesia lebih tepat jika dilakukan dengan pendekatan yang mengupayakan nilai-nilai budaya kedaerahan (suku bangsa) dan agama di Indonesia dapat dipahami, dihargai, dan dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan kebangsaan-kewarganegaraan berlandaskan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” dan falsafah Pancasila, dengan mengedepankan toleransi dan kerukunan antar budaya dan pemeluk agama. Tilaar (2002) sebagaimana dikutip Ola Rogan Wihelmus (2018:15), menegaskan bahwa program pendidikan multikultural tidak hanya terfokus pada persoalan ras, agama dan budaya, tetapi juga menaruh perhatian pada pendidikan antar-budaya. Pendidikan antarbudaya ini memberi penekanan khusus terhadap pemberdayaan sikap saling mengerti dan toleransi antara individu dan antara kelompok masyarakat. 44 Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia Hal yang mesti disadari dalam pendidikan multikultural adalah bahwa isu keberagaman perlu ditanggapi sebagai hal yang positif sebagai identitas keunikan bangsa Indonesia di mata dunia, bukan sebagai ancaman. Heterogenitas yang terjadi di masyarakat saat ini merupakan sebuah anugerah atau kekayaan yang perlu dihargai dan dilestarikan. Harapan ini tentu saja tidak akan dapat berjalan mulus tanpa ada upaya pembudayaan paradigma mengenai keberagaman. Perubahan budaya tampaknya dimulai dari sekolah, mengingat sekolah memiliki peran strategis dalam proses pembelajaran, selain keluarga dan masyarakat (Kusmaryani, 2006:52). Pendidikan diharapkan mampu memberikan wawasan baru yang dapat menciptakan budaya baru yang bersikap toleran terhadap budaya yang lain. Oleh karena itu, pendidikan berbasis multikultural akan menjadi salah satu jalan untuk menanamkan sikap toleransi terhadap budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sekaligus memberikan pembelajaran agar peserta didik mampu memahami dirinya, orang lain, lingkungan masyarakat serta segala perbedaan yang ada di lingkungannya. Dengan cara ini seseorang dapat bersikap toleran kepada semua perbedaan yang ada di lingkungan masyarakat (Permana, 2018:4). Menurut M. Amirin pendidikan multikultural Indonesia dalam implementasinya dapat dilihat atau diposisikan dalam 3 hal. Pertama, sebagai falsafah pendidikan; yaitu pandangan bahwa kekayaan keberagaman budaya Indonesia dimanfaatkan untuk mengembangkan dan meningkatkan sistem pendidikan dan kegiatan belajar-mengajar di Indonesia guna mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Kedua, sebagai pendekatan pendidikan kontekstual yang memperhatikan keragaman budaya Indonesia. Ketiga, menjadi bidang kajian studi yang dibantu oleh sosiologi dan antropologi pendidikan yang menelaah dan mengkaji aspek-aspek kebudayaan, terutama nilai-nilai budaya dan perwujudannya misalnya; norma, etiket atau tata krama, adat-istiadat atau tradisi dan lain-lain (Amirin, 2012:6). Hasil telaah dan kajian ini akan menjadi bidang studi yang diajarkan secara operasional dan kontekstual kepada para calon pendidik yang mungkin akan berhadapan dengan keragaman budaya. Hambatan dalam pemahaman keragaman sering terjadi karena pemahaman multikultural yang tidak komprehensif seperti; Prasangka negatif terhadap suku, ras, kebudayaan dan agama tertentu. Kesukuan, yaitu sikap Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 45 primordial yang cenderung superioritas yang menganggap rendah kebudayaan lain. Hal ini juga berkaitan dengan agama, etika sopan santun dalam bertutur kata. Contoh; masyarakat dari kebudayaan Jawa memiliki kebiasaan menerima dan memberi sesuatu selalu menggunakan tangan kanan. Bila menggunakan tangan kiri, akan dianggap tidak sopan. Hal ini menjadi kesulitan bagi orang dari luar Jawa misalnya Flores yang tidak memiliki tradisi demikian. Sterotype, yaitu suatu pandangan yang cenderung negatif terhadap kebudayaan lain yang diterapkan secara universal terhadap semua anggota kelompok. Diskriminasi, perlakuan tidak ada terhadap individu atau kelompok tertentu karena latar belakangnya, seperti; agama, budaya, ras dan warna kulit. Gangguan, yaitu perlakuan tidak menyenangkan yang dilakukan secara verbal maupun fisik seorang individu karena keanggotaan pada kelompok tertentu. Berhadapan dengan sikap primordial ini, dalam pendidikan multikultural diterapkan penanaman moral kepada peserta didik, mengingat nilai-nilai moral akan keberagaman sedang mengalami krisis yang berkepanjangan. Karena itu, dalam pendidikan multikultural, nilai-nilai kesetaraan dan kebersamaan perlu ditanamkan. Sikap superioritas terhadap budaya sendiri perlu dihilangkan. Hal ini sering kali terkait dengan kesukuan, ras, agama, jender dan sebagainya. Kelompok tertentu diharapkan tidak merasa lebih tinggi dari kelompok lain. Sebaliknya dalam pendidikan multikultural kerja sama dan kolaboratif dikembangkan secara aktif sehingga memberikan kesadaran akan kesetaraan dan kebersamaan. Hal ini akan mendorong seseorang membiasakan diri untuk berinteraksi dengan kelompok lain yang memiliki perbedaan. Dengan cara ini seseorang akan belajar bagaimana menyelesaikan tugas-tugas bersama-sama, meski dari kelompok yang berbeda-beda (Kusmaryani, 2006:54). Untuk mencapai tujuan tersebut dalam implementasinya pendidikan multi-kultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini: 1. Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif berbagai kebudayaan beserta landasan teori dan solusi. Kurikulum dicapai sesuai penekanan analisis komparatif yang seimbang dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda. 2. 46 Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia 3. 4. Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinsip pokok dalam memberantas pandangan tentang perbedaan ras, budaya dan agama (Permana, 2018:9). Dengan demikian arah dan manfaat pendidikan multikultural seperti yang dikatakan oleh Ola Rogan Wihelmus, proses pendidikan dan pembelajaran multikultural di Indonesia diarahkan kepada pengakuan dan penghargaan seseorang terhadap realitas perbedaan yang ada di tengah masyarakat demi terwujudnya kedamaian, ketenangan, kerjasama, kemajuan dan kesejahteraan bersama. Seluruh proses pendidikan multikultural karenanya didesain sebagai suatu sarana efektif untuk menetralisir dominasi budaya dan etnik tertentu (Wilhelmus, 2018:15). Hal ini dapat dilakukan dengan pendidikan multikultural yang ditanamkan kepada anak-anak lewat pembelajaran di sekolah maupun di rumah. Pendidik dalam hal ini guru bertanggung jawab dalam melihat perkembangan hidup mereka sehari-hari. Pendidikan multikultural memang sebuah konsep pendidikan yang dirancang dengan tujuan untuk menciptakan murid-murid yang menghargai dan mengakui perbedaan ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya sebagai suatu kekayaan. Selain itu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperlukan, dan berperan seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi pluralistik sehingga dapat berinteraksi, bernegosiasi, dan berkomunikasi dengan warga dari kelompok masyarakat yang beragam. Dengan begitu terciptalah sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan mewujudkan kebaikan bersama (Permana, 2018:9). Karenanya aktivitas mendidik atau pendidikan merupakan bagian integral dari kebudayaan. Hal itu berarti dalam aktivitas didik mendidik pendidik (guru) mesti melaksanakan pembelajaran yang kreatif joyful learning. Pembelajaran kreatif dan menyenangkan dalam pelaksanaannya memang memerlukan berbagai keterampilan. Keterampilan mengajar merupakan kompetensi profesional yang cukup kompleks, sebagai bagian integrasi dari berbagai kompetensi guru secara komprehensif holistik (Kosasih, 2010:261). Karena itu, pada bagian selanjutnya akan dibahas profesionalitas dan Spiritualitas Guru dalam mewujudkan pendidikan Multikultural. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 47 Spiritualitas dan Profesionalitas Guru Katolik dalam Pendidikan Multikultural Proses pendidikan dan pembelajaran multikultural di Indonesia diarahkan pada penanaman nilai-nilai dan cara hidup yang jujur, toleran, saling menerima, menghormati dan menghargai di tengah masyarakat Indonesia yang pluralistik. Hal ini menjadi angin segar karena konflik antar etnis, agama dan budaya telah menciptakan ketakutan luar biasa dalam hidup masyarakat Indonesia. Fenomena demonstrasi 411 dan 212 di Jakarta tahun 2016 oleh banyak kalangan dinilai sebagai sesuatu yang memprihatinkan. Peristiwa itu menegaskan kalau Indonesia tidak lagi dapat menjadi contoh bagi dunia tentang toleransi. Situasi ini menjadikan pendidikan multikultural menjadi hal yang mendesak untuk dilaksanakan guna menyelamatkan situasi bangsa yang mengalami degradasi. UU No. 20 tahun 2003, Pasal 4 ayat (1) tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan, “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.” Dari sini ditarik kesimpulan bahwa pendidikan multukultural menjadi salah satu perhatian di dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Cita-cita akan terwujud jika guru selaku unsur penting dalam pendidikan memiliki landasan dan pemahaman yang memadai menyangkut pluralisme bangsa. Dalam undang-undang No. 20 tentang Sisdiknas, guru , dosen, konselor, dan pamong belajar, adalah tenaga berkualitas yang bertugas mendidik, mengajar dan atau melatih secara penuh pada unit instansi pemerintahan atau dan pelatihan seperti tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya. Dalam pendidikan multikultural tugas utama itu akan menjadi efektif bila guru mempunyai profesionalitas kebangsaan sesuai kompetensi disertai dengan kode etik. Menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 kompetensi yang harus dimiliki guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Empat kompetensi itu dalam praktiknya merupakan kesatuan utuh. Sebagaimana dari namanya guru adalah orang yang digugu dan ditiru. Guru adalah metafora peralihan dari kegelapan (Gu) menuju terang (Ru). Demikian juga dalam pendidikan multikultural anak-anak didik dan disadarkan dari cara 48 Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia berpikir yang ekslusif tentang diri, kelompok, agama kepada cara berpandang yang inklusif yang terbuka pada kebudayaaan lain. Di sinilah tugas utama seorang guru membantu anak didik menjadi manusia utuh dan membebaskan manusia dari kegelapan menuju terang. Seorang guru karenanya memiliki kepercayaan dan profesionalitas dalam sikap dan perilaku. Dengan kata lain, pandangan yang melihat bahwa guru itu mencari uang, tentu keliru. Harus diakui menjadi seorang guru yang melayani sepenuh hati tidaklah mudah. Berbagai tantangan harus siap dihadapi dan diatasi seorang guru seperti melayani semua lapisan masyarakat tanpa pandang bulu. Seorang guru tidak hanya mengajar dengan kata-kata tetapi juga sejalan dengan sikap, tingkah laku dan perbuatannya sehari-hari yang menghargai keunikan dan keberagaman siswa. Dan yang tidak kalah penting adalah memperlakukan secara adil bagi setia siswa. Profesionalitas panggilan tersebut akan terintegrasi dalam diri seorang guru jika guru tersebut menghayati spiritualitas guru. Spiritualitas Guru Spiritualitas berasal dari kata latin “spiritus” yang berarti semangat, spirit, jiwa, atma, sukma, roh. Sedangkan kata spiritual berarti kejiwaan, rohani batin, mental dan moral (KBBI). Spiritualitas ini dapat dimiliki oleh semua kelompok atau golongan yang sedang berjuang untuk mencapai tujuan atau cita-cita mereka. Spiritualitas seorang guru diwujudkan dalam penghayatan profesionalitas guru. Profesionalitas itu sebagaimana diungkapkan dalam UU Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen dikatakan bahwa profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan yang didalamnya terdapat tugas tugas dan tanggung jawab (terhadap Tuhan dan sesama manusia) yang harus diemban berdasarkan keahlian di bidang pekerjaannya, yang mampu mengembangkan karya secara ilmiah serta mampu menekuni profesinya selama hidupnya. Pokok pikiran tersebut dapat pula disarikan menjadi tiga hal yang terkait dengan profesionalitas guru yaitu: (a) Keahlian, (b) Komitmen dan (c) Keterampilan (Salikin, 2011:259). Profesi sendiri harus dipahami sebagai suatu pekerjaan di mana membutuhkan keahlian khusus dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Mengingat guru adalah sebuah profesi yang membutuhkan keahlian khusus maka menjadi guru juga dituntut profesionalisme kerja (Gaudiawan & Wijaya, 2020:102). Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 49 Dengan profesionalitas ini, guru ditantang menumbuhkan kecakapankecakapan yang harus dimiliki siswa dalam menghadapi problem kehidupan plural. Ini mengandaikan guru sendiri memiliki kemampuan profesional dalam menciptakan pembelajaran yang berkualitas (Priatna, 2011:2). Guru yang profesional dalam mendidik memiliki karakteristik sebagai berikut. Pertama, dedikatif dan komitmen terhadap panggilan mengajar dan kesetiaan dalam proses dan hasil kerja, serta sikap continuous improvement (kemajuan berkelanjutan). Kedua, keahlian dalam menguasai ilmu yang diembannya dan kecakapan mengembangkannya, serta kemampuan menjelaskan fungsinya dalam kehidupan nyata. Artinya guru tidak hanya menjelaskan dimensi teoritis suatu ilmu melainkan juga praksisnya, atau tidak hanya melakukan transfer ilmu/pengetahuan tetapi juga internalisasi, serta implementasinya. Ketiga, menyiapkan peserta didik agar kreatif serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya agar tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya sendiri, masyarakat, dan sekitarnya. Keempat, guru menjadi model atau sentral identifikasi diri, atau menjadi panutan, teladan, bagi peserta didiknya. Kelima, seorang guru memiliki kepekaan intelektual dan informasi, serta meng-update pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan sesuai dengan tuntutan zaman. Keenam menghidupkan dan menggerakkan serta memberikan daya tahan dan kekuatan kepada setiap peserta didik sehingga mampu melaksanakan tugas sesuai tanggung jawab masing-masing. Dengan spiritualitas profesional ini setiap guru menyadari bahwa dirinya adalah pribadi yang dipanggil mendampingi dan menemani peserta didik dalam proses belajar. Ia terus-menerus mengembangkan pengetahuannya tentang bagaimana peserta didik harus belajar. Perwujudannya, jika terjadi kegagalan pada peserta didik, guru terpanggil untuk menemukan akar penyebabnya dan mencari solusi bersama peserta didik, bukan mendiamkannya atau malahan menyalahkannya. Spiritualitas Guru Katolik Di awal tulisan ini telah diungkapkan bahwa bangsa Indonesia sedang mengalami degradasi dalam hal toleransi. Media sosial dan ruang-ruang publik diwarnai dengan berbagai aksi ujaran kebencian, hujatan terhadap 50 Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia tokoh dan keyakinan lain, yang berpotensi menimbulkan konflik. Perbedaan agama, mazhab, suku dan pandangan politik adalah beberapa alasan yang melegalkan aksi intoleransi. Persoalan ini merupakan masalah serius karena dapat merusak tatanan, juga harmoni hidup berbangsa dan bernegara. Boleh dikatakan Indonesia saat ini berada dalam posisi darurat toleransi. Sikap intoleransi bahkan merambah ke sekolah-sekolah negeri. Kewajiban berjilbab dan intimidasi terhadap keyakinan murid non-muslim adalah contoh yang kini berkembang di sekolah-sekolah di tanah air. Murid-murid dari kepercayaan lain termasuk sekolah Katolik pun tidak tinggal diam, melakukan intimidasi balasan dalam bentuk ujaran kebencian yang berseliweran di media sosial. Berhadapan dengan kecenderungan ini guru Katolik menjadi ujung tombak perubahan murid. Tugas guru untuk mengajar pendidikan agama memang tidak mudah. Seorang guru agama dituntut tidak hanya memiliki semangat profesionalitas sebagai guru tetapi juga semangat imannya. Alih-alih memecahkan masalah bangsa, pendidikan agama justru menjadi bagian dari fanatisme agama yang kerap kali menjadi sumber konflik. Pendidikan agama yang sifatnya eksklusif ternyata belum memekarkan semangat hidup bersama yang inklusif (Dewantara, 2015:641). Berkaitan dengan hal itu, guru Katolik dituntut mendalami spiritualitas sehingga dapat melihat profesi mengajar sebagai suatu panggilan untuk melayani Gereja, sekolah, siswa dalam rangka terciptanya masyarakat yang damai dan harmonis. Spiritualitas itu menjadi roh yang menghidupkan dan menggerakkan serta memberikan daya tahan dan kekuatan kepada setiap guru agama sehingga mampu mendidik muridnya di tengah pluralisme bangsa. Spiritualitas guru Katolik mesti bersumber pada katekis ulung yakni Yesus Kristus. Dialah Guru Sejati, Gembala Agung yang mengajar dengan sempurna baik perkataan dan perbuatan kepada umat-Nya. Kesadaran itu diungkapkan guru agama Katolik dalam kesadaran bahwa panggilannya sebagai guru Katolik bertumpu pada Sabda Allah, dan dalam kesetiaan pada tradisi Gereja sehingga dapat mendidik murid-murid dengan tepat. Dalam melaksanakan tugasnya seorang guru agama Katolik mempunyai peran yang ganda yaitu, sebagai pendidik dan pewarta. Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab terhadap perkembangan dan kesejahteraan anak. Sebagai seorang pewarta berarti guru agama yang dalam hal ini sebagai Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 51 pendidik menjalankan amanat Yesus. Selain itu, nilai-nilai yang diajarkan diungkapkannya secara konkret melalui peri hidupnya sehari-hari. Dalam pelaksanaan tugas sebagai pendidik, guru-guru agama Katolik hendaknya bekerja sama, terutama dengan para orang tua, masyarakat dan berusaha membangkitkan dalam diri siswa kemampuan bertindak secara mandiri, dan juga setelah para siswa tamat para guru tetap mendampingi mereka dengan nasihat-nasihat. Inilah spiritualitas panggilan guru agama Katolik. Panggilan guru Katolik dapat dirangkum sebagai berikut: 1. Agen Pastoral Dalam tradisi Gereja Katolik, guru adalah orang yang dipanggil dan diutus Tuhan sendiri. Pribadi yang karena baptisan bersatu dengan Kristus dan ia adalah umat Allah atau warga Gereja yang ambil bagian dalam Tri Munera Christi: imam, nabi dan raja (LG 31). Pendidik yang terlibat aktif dalam pewartaan Gereja: teladan, pemberi kesejukan, jaga rahasia; saksi nilai-nilai kristiani, aktif dalam evangelisasi dan jadikan Gereja lebih Misioner. (GE 5) Singkatnya, guru Katolik adalah pribadi yang memiliki spiritualitas Katolik yang baik (Sinurat, 2019). Berdasarkan tugas mulia ini guru agama Katolik dengan sendirinya menjadi agen pewarta atau sebagai misionaris yang melaksanakan misinya di sekolah maupun dalam hidup bersama di tengan masyarakat. Keterlibatan guru agama Katolik dalam dunia pendidikan masyarakat membuat mereka dengan sendirinya menjadi agen pastoral. Keterlibatan mereka membawa kabar baik karena membawa pembaruan hidup umat di sekitar mereka. Guru agama sebagai agen pastoral di sekolah memainkan peran yang amat penting dalam pewartaan iman bagi peserta didik. Berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan multikultural, guru Katolik hendaknya selalu bertumpu pada Kitab suci. Perjanjian Baru mencatat salah satu inti utama pengajaran Tuhan Yesus yang berkaitan dengan toleransi adalah mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Tuhan Yesus dalam pengajaran-Nya menempatkan manusia sebagai sesama yang harus dipandang dan diperlakukan sebagai objek kasih. Ukuran perlakuannya pun tidak mengenal batas agama, suku dan ras tetapi didasarkan pada kasih (Butar-Butar, dkk. 2019:93). Sebagai agen pastoral sekolah tugas yang diemban oleh guru sebagai tim 52 Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia pastoral sekolah, antara lain: menyebarluaskan pengetahuan dan pemahaman akan keberagaman manusia sebagai anak-anak Allah. Memberi inspirasi, membangkitkan motivasi dan mempertahankan semangat cinta kasih sebagaimana diajarkan Kristus, serta mengusahakan terwujudnya pelaksanaan pendidikan multikultural. 2. Guru Katolik sebagai Pendidik dan Rasul Panggilan untuk mengajar adalah panggilan untuk memberi teladan yang dimulai dari diri sendiri. Maka setiap guru Katolik perlu menyadari bahwa panggilan menjadi guru tentu karena hikmat dari Allah. Guru melayani murid karena panggilan yang dimandatkan kepadanya sebagai hikmat dari Tuhan. Maka cara hidup guru harus baik, karena menjadi ukuran untuk orang lain. Perlu menjadi kesadaran bahwa siswa belajar kadang-kadang bukan karena tertarik kepada pelajaran tetapi pertamatama kepada gurunya. Maka, guru memang harus menjadi teladan. Sebagai rasul guru Katolik pertama-tama mengenal Yesus (Mrk 8: 27-29). Pertanyaan Yesus, “Siapakah Aku?” merupakan pertanyaan yang mesti dijawab oleh guru Katolik. Menjawab pertanyaan ini berarti seorang guru Katolik memiliki pemahaman yang cukup dan komprehensif mengenai iman dan ajaran Katolik, baik magisterium Gereja maupun warisan Tradisi Gereja universal, dan yang terutama mengenal adalah sabda serta visi dan misi Yesus. Seorang guru Katolik yang baik adalah seorang yang mampu menjelaskan ajaran iman Katolik secara lugas. Menjadi rasul juga berarti berusaha untuk menjadi seperti/serupa dengan-Nya. Mengenal keprihatinan Yesus. Hal ini akan terjadi jika guru Katolik membangun hidup berpolakan pada pribadi Yesus Kristus yang berani memperjuangkan keadilan dan perdamaian. Berkaitan dengan panggilan guru di tengah pluralisme bangsa Indonesia, guru Katolik dipanggil mengikuti teladan para rasul yang berani mewartakan dan menghidupi Injil di berbagai tempat yang mereka kunjungi. 3. Guru Katolik sebagai Katekis Panggilan menjadi Katekis pada dasarnya adalah panggilan semua umat beriman kristiani yang telah dibaptis. Berkat pembaptisan semua murid Kristus dipanggil dan diutus Allah menjadi pewarta Sabda. Tugas mewartaan Sabda Allah adalah konsekuensi panggilannya sebagai Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 53 murid-murid Kristus. Hal itu diperintahkan oleh Yesus kepada muridmurid-Nya: “Pergilah jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu (Mat 28:19). Dalam pelaksanaan tugas pewartaan ini pastor paroki adalah Katekis utama (Katekis dari para Katekis) dalam parokinya yang bertugas mengajar agama dan moral kristiani kepada umat yang dipercayakan kepadanya. Sering Pastor sibuk dan kurang waktu bagi pembinaan, maka Katekislah yang mengajar umat beriman. Katekis adalah umat awam yang telah melalui pembentukan/kursus dan hidup sesuai dengan Injil. Secara ringkasnya, Katekis adalah seorang yang telah diutus oleh Gereja, sesuai dengan keperluan setempat, yang bertugas membawa umat untuk lebih mengenal, mencintai dan mengikuti Yesus. Itulah sebabnya seorang guru yang mengajar iman Katolik adalah seorang Katekis. Selain karena pengetahuan yang dalam dan komprehensif tentang iman Katolik seorang guru agama Katolik adalah seorang yang telah diuji kualitas kekatolikkanya. Dalam pelaksanaan sebagai Katekis seorang guru Katolik bukan saja memberi katese bagi para orang tua tetapi mulai dari anak-anak sampai dengan kakek-nenek, semua usia, semua golongan agar iman yang telah mulai tumbuh pada waktu pembaptisan semakin berkembang menjadi dewasa. Sebab katekese adalah sebuah proses pengajaran agama dan moral kristiani kepada umat. Tujuannya adalah agar umat beriman semakin diteguhkan, diperkaya, dibarui sehingga mampu menjadi saksi dari ajaran-Nya. Tujuan katekese tercapai bila Katekis tidak hanya memberi pengetahuan ajaran, informasi, gagasan melainkan juga kesaksian hidup dari Katekisnya. Maka dengan momen katekese ini diharapkan setiap pribadi umat sungguh mengalami perkembangan iman ke arah yang semakin dewasa. Dengan katekese, umat makin bersatu dalam Kristus, makin menjemaat, makin tegas mewujudkan tugas Gereja setempat dan mengokohkan Gereja semesta sehingga sanggup memberikan kesaksian tentang Kristus dalam hidup. 54 Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia Berkaitan dengan kemajemukan bangsa Indonesia, tugas seorang Katekis dalam berkatekese hendaknya mengikuti sikap Yesus yang menghormati dan menghargai keyakinan orang lain. Sumber utama masalah kemajemukan adalah sikap menganggap agama dan keyakinan sendiri yang paling baik, paling benar, paling sempurna. Akibatnya memandang rendah ajaran, agama dan keyakinan orang lain. Yesus dalam hidupnya sangat menghormati Hukum Taurat yang menjadi dasar dan landasan dari kehidupan Orang Yahudi. Dengan tegas Tuhan Yesus menyatakan sikap dan pandanganNya terhadap hukum Taurat sebagai dasar keyakinan iman orang Yahudi. Yesus berkata bahwa tujuan kedatanganNya bukan untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Tetapi tujuan kedatanganNya melainkan untuk menggenapinya (Matius 5:17). Tuhan Yesus menjelaskan tentang posisi hukum Taurat dalam pandanganNya. Bahkan satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari Hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi (Matius 5:1718). Lebih lanjut Ia mengatakan barang siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga (Matius 5:19). Memelihara Spiritualitas Guru Katolik Seperti yang telah diuraikan sebelumnya panggilan guru Katolik dalam mendidik tidak hanya terbatas pada penyaluran informasi sebanyakbanyaknya dari guru kepada murid. Guru Katolik dalam proses mendidik juga membekali dan membentuk iman dan spiritualitas muridnya. Iman dan spiritualitas ini tidak saja mencakup pengajaran agama secara teoritis, tetapi juga pembentukan watak, karakter dan moralitas tiap-tiap murid sehingga murid mampu beradaptasi di tengah masyarakat yang plural. Melalui spiritualitas yang ditularkan guru, tindakan dan pola prilaku murid dapat beradptasi di tengah pluralisme bangsa. Maka menghidupi spiritualitas sangatlah penting bagi setiap guru. Dengan demikian setiap guru mampu memberi perubahan dalam dunia pendidikan. Karena itu, dengan Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 55 penghayatan spiritualitas, guru Katolik tidak hanya sekadar hadir namun memberi diri dan hati sehingga sungguh menyentuh kedalaman hidup muridnya. Tanpa spiritualitas, guru tidak mungkin menjalankan misi untuk mewujudkan visi kedatangan Kerajaan Allah. Spiritualitas iman Katolik yang ada dalam diri guru Katolik merupakan buah karya Roh Kudus. Oleh sebab itu, guru-guru Katolik diberi tanggung jawab untuk menjaga dan mengembangkan spiritualitas yang dikaruniakan oleh Allah kepada mereka, seperti dalam perumpamaan hamba-hamba yang diberi talenta (Mat 25:14-30). Guna memelihara spiritualitas itu guru Katolik senantiasa mengarahkan pandangannya kepada Yesus Kristus, Sang Guru Agung, melalui; 1. Doa Doa menjadi unsur hakiki panggilan guru Katolik. Kekhususannya sebagai pendidik terletak pada penghayatan hidup rohaninya. Sebab ilmu yang diajarkannya bukan ilmu biasa tetapi hal-hal yang menyangkut iman. Doa memang terkesan sederhana tetapi memberikan pengaruh besar bagi spiritualitas guru agama Katolik. Hal ini penting karena sebagai seorang Katolik, para guru harus menjalin relasi dan berkomunikasi dengan Allah. Salah satu jalannya adalah dalam doa. Untuk lebih mengenalnya guru agama Katolik rajin dan tekun mengikuti perayaan Ekaristi. Yesus dalam pengajaran dan pewartaan-Nya menempatkan doa sebagai hal yang pertama (bdk. Mrk 1:36, 6:46, 9:29, dsb.). 2. Lectio Divina (Meditasi dan Kontemplasi) Sabda Allah Spiritualitas guru Katolik pertama-tama bersumber pada Yesus Kristus, Sang Gembala agung yang mengajar dengan sempurna baik perkataan dan perbuatan diungkapkan oleh guru agama Katolik adalah kesetiaannya terhadap Sabda Allah. Karena itu, setiap guru perlu melakukan Lectio Divina (meditasi dan kontemplasi) yang dilakukan secara teratur dan terencana. Dengan Lectio Divina guru agama Katolik dapat mengolah, menyadari dan merasakan keterlibatan Sabda Allah yang menjadi pokok pengajarannya. Meditasi dan kontemplasi dapat dilakukan secara pribadi atau bersama-sama dengan murid 5-10 menit sebelum pelajaran dimulai. Tanpa pengolahan meresapkan Sabda Allah, guru Katolik akan kehilangan arah dan kekuatan. 56 Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia 3. Kepekaan atau Keprihatinan Sosial Sabda Allah yang sungguh direnungkan secara pribadi atau kelompok akan membuka hati seseorang sehingga hatinya peka dengan keprihatinan sosial. “Sabda Allah itu seperti hujan dan salju yang turun dari langit dan tidak kembali ke situ, melainkan mengairi bumi, membuatnya subur dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberikan benih kepada penabur dan roti kepada orang yang mau makan” (bdk. Yes 55:10). Sebab itu, hasil lectio divina harus diwujudkan dalam suatu tindakan nyata berupa kepedulian atau keterlibatan sosial. Sabda Allah baru akan menjadi sumber spiritualitas apabila ia berfungsi menjadi inspirasi bagi setiap kepedulian dan tindakan sosial. 4. Sharing Kitab Suci Sharing Kitab Suci dalam kelompok adalah unsur penting untuk memupuk spiritualitas. Tujuannya untuk saling menguatkan, memberikan ilham dan inspirasi satu sama lain. Dan yang penting untuk saling menopang sangatlah berguna dalam menghadapi krisis spiritualitas. Melalui sharing dan berbagi pengalaman, guru Katolik memberi solusi atas tantangan-tantangan hidup yang sedang dialami. Sharing ini dapat dilakukan antara sesama guru, dengan murid atau dalam keluarga. 5. Mempertajam Visi Pelayanan Selain membaca dan merenungkan Sabda Allah, Guru Katolik perlu mempertajam visi pelayanan dengan membaca buku, mengikuti diskusi atau mengikuti seminar-seminar. Membentuk komunitas yang dijiwai semangat para rasul. Sebab kesendirian dalam perjuangan sering menyebabkan orang mudah patah semangat. Mencetak Guru Katolik yang Memiliki Semangat Pluralisme Esensi dasar perilaku multikulturalisme adalah sikap saling mengerti dan saling memahami antarsesama manusia. Adapun proses untuk membangun pengertian dan pemahaman tersebut dapat dimulai dari penciptaan kohesivitas dan inklusi sosial dalam bentuk transfer pengetahuan. Oleh karena itu, pendidikan menjadi wahana yang sangat penting untuk mewujudkan kohesivitas dan inklusi sosial. Pendidikan semacam ini menjadi landasan pendidikan multikultural. Dalam pendidikan multikultural diciptakan rasa Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 57 nyaman dan tentram sehingga membentuk mekanisme pertahanan diri peserta didik dalam pengalaman dan perjumpaan berbagai budaya. Guru sebagai ujung tombak pendidikan multikultural mesti dibimbing dan dididik untuk merumuskan serangkaian konsep, petunjuk tingkah laku dan arena yang secara resmi diformulasi melalui kurikulum, regulasi dan metode pembelajaran siswa. Kurikulum dan metode pembelajaran semacam ini hendaknya menjiwai seluruh bahan pelajaran, dengan tetap mempertahankan disiplin ilmu yang diajarkan. Maksudnya, setiap materi pelajaran yang diajarkan mengedepankan isu keberagaman yang menjadi inti dari pendidikan multikultural. Isu keberagaman hendaknya mendapat porsi yang lebih banyak dalam pendidikan agama. Dalam pelaksanaan pun sebaiknya pendidikan agama menekankan pada penanaman moral dibandingkan dengan pola-pola pendidikan birokratis yang lebih mengorientasikan pada tampilan kecerdasan pikiran. Hal yang sama berlaku bagi pelajaran agama Katolik dibutuhkan kreativitas dan sensitivitas mengenai isu keberagaman bangsa. Sensitivitas ini dibangun sesuai ajaran dan teladan hidup Tuhan Yesus Kristus. Pengajaran Tuhan Yesus tentang toleransi, sikap dan ajaran Gereja Katolik mengenai toleransi harus menjadi bahan pelajaran agama Katolik di sekolah. Karena itu pendidikan dan kurikulum pendidikan guru agama Katolik dirancang untuk memenuhi tujuan tersebut. Calon guru Katolik yang baik tidak hanya memiliki pengetahuan yang luas mengenai isi dan ajaran Katolik tetapi juga kepekaan sosial mengenai isu keberagaman yang menjadi salah satu isu penting bangsa Indonesia saat. Sehubungan dengan itu, maka pembelajaran multikultural perlu diberikan juga bagi para calon guru agama Katolik. Melalui pembelajaran multikultural diharapkan para calon guru lebih peka dengan keberagaman bangsa sehingga kehadirannya sangat kontekstual. Pembelajaran multikultural dapat dilakukan dengan mempelajari beberapa mata kuliah yang berhubungan dengan keberagaman dan sikap Gereja mengenali keberagaman, seperti dialog intereligius, filsafat perbandingan agama, kearifan lokal Pancasila dan teologi konteks. Harus diakui, beberapa mata kuliah ini sudah diajarkan di berbagai perguruan tinggi entah negeri atau swasta tetapi kerap hanya pada unsur kognitif, belum dijiwai dan membentuk pola pikir mahasiswa sehingga 58 Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia output-nya belum tampak. Akibatnya ketika harus membimbing siswa, tingkat kepercayaan guru saat mengajar tidak tampak. Siswa yang dibimbing kehilangan roh soal keberagaman. Tidak mengherankan jika kemudian radikalisme dan intoleransi berkembang subur di kalangan siswa menengah. Menjawab persoalan tersebut, bagian ini akan membahas bagaimana nilai multikultural dijalankan dalam mata kuliah-mata kuliah ini di perguruan tinggi. Pembahasannya pun tidak disasar dari bahan kuliah bersangkutan tetapi bagaimana agar mata kuliah yang bersangkutan di integrasikan dalam kehidupan mahasiswa calon guru Katolik. 1. Dialog Intereligius Dalam kuliah Dialog Intereligius para mahasiswa tidak hanya dibekali dengan pengetahuan tentang bagaimana dialog intereligius itu dijalankan, dasar teologi ajaran Gereja tentang dialog Intereligius tetapi bagaimana mahasiswa dituntun untuk memahami semangat dan roh dialog intereligius, panggilan dan perutusan orang kristiani untuk berdialog. Semangat dasar dialog diperoleh jika dialog intereligius dikembalikan pada cara Allah berdialog yang tampak dalam cara Yesus berdialog. Ketika semangat dasar ini di pegang mahasiswa maka akan memudahkan baginya untuk berkreativitas tanpa terpaku pada metodologi dan cara-cara lama yang kadang-kadang usang. Di sini mahasiswa diberi ruang seluas-luasnya untuk menemukan dialog yang cocok sesuai dengan konteks sosial masyarakat tempat asalnya. Untuk mempertajam pemahamannya dari mahasiswa dituntut untuk mengadakan riset dialog. Riset yang dijalankan sebaiknya tidak hanya didasarkan pada studi Pustaka atau komparatif tetapi pada juga pada keterlibatan nyata dalam kehidupan sehari-hari mahasiswa bersangkutan. Dengan cara ini mahasiswa tidak hanya memiliki pengetahuan teoritis tentang dialog tetapi juga cara praktis berdialog. 2. Filsafat Perbandingan Agama Filsafat perbandingan agama tidak mempunyai kepentingan untuk membandingkan agama atau aliran kepercayaan satu dengan yang lain. Filsafat perbandingan agama menyediakan semacam lapangan yang luas di mana setiap orang bebas untuk mengkaji setiap agama dan aliran kepercayaan tanpa punya tedensi untuk menghakimi, menilai apalagi mejelekkan agama atau aliran kepercayaan yang bersangkutan. Tetapi Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 59 seorang peneliti diberi ruang yang seluas-luasnya mendekatinya dengan metode pendekatan filsafat untuk menggali sedalam-dalamnya kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya. Mahasiswa dapat melakukan riset dengan meneliti agama dan kepercayaan lain dengan pendekatan ilmu perbandingan agama. Tujuannya agar dalam diri terbentuk menghargai, memahami karena mengenal konteks ajaran agama bersangkutan. Sehingga sikap mengurangi sikap superioritas atas agama dan aliran kepercayaan tertentu. Tindakan nyata yang dapat dilaksanakan mahasiswa dapat berupa kegiatan Live-in di pesantren atau lain-lain. Dan di akhir kegiatan Live-in tersebut diberi tugas untuk merefleksikan hal-hal indah, dan kebijaksanaan yang dapat diteladani dari komunitas bersangkutan. Dengan demikian terbentuklah sikap moderat dalam diri mahasiswa. 3. Studi Kearifan Lokal Pancasila Studi Kearifan Lokal Pancasila menjadi sangat available di Indonesia karena pluralisme bangsa Indonesia. Indonesia tidak kaya akan keanekaragaman budaya tetapi setiap kebudayaan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke mengandung Kebijaksanaan lokalnya masing sesuai dengan locus di mana kebudayaan itu tersembul. Para mahasiswa dituntut untuk mengkaji kebudayaan sebanyak-banyaknya dalam bentuk riset filosofis dan mendiskusikannya dalam kegiatan cangkrukan ilmiah yang diselenggarakan kampus secara berkala. 4. Studi Teologi Kontekstual Teologi yang yang baik adalah teologi yang menjawab persoalan hidup masyarakat. Teologi dalam perkembangannya tidak pernah lepas dari konteks. Pendekatan teologi selalu diwarnai oleh keprihatinan sosial yang sedang terjadi, misalnya teologi pembebasan, lahir dari konteks kemiskinan masyarakat Amerika Latin. Demikian juga dalam konteks Indonesia yang multikultural. Dengan kata lain, teolog yang baik ialah orang yang peka dengan keprihatinan sosial politik setempat. Seorang guru Katolik juga adalah seorang teolog karena dia mengajarkan iman dan memberikan kesaksian nyata dan langsung di tengah masyarakat. Karena itu teologi yang diajarkan guru Katolik mesti teologi yang kontekstual. 60 Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia Seorang mahasiswa calon guru Katolik mesti pandai membaca konteks sosial masyarakat yang dilayani atau tempatnya bertugas. Caranya seorang mahasiswa calon guru Katolik mesti selalu meng-update informasi dan ilmunya dengan cara membaca koran, mendengarkan berita di televisi dan majalah. Guna mempertajam ilmunya, guru Katolik senantiasa membaca buku dan mengikuti seminar-seminar dan pelatihan entah yang diselenggarakan oleh kampus atau Bimas Katolik. Penutup Bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural. Pluralitas bangsa Indonesia dalam sejarah perkembangannya membawa kebanggaan luar biasa bagi dunia karena kekayaan keanekaragaman budaya bangsa, yang tersebar di seluruh jajaran pulau Nusantara. Namun di sisi lain keberagaman itu menyimpan potensi disintegrasi bangsa. Indonesia dalam sejarah dikenal sebagai bangsa yang toleran, semuanya bersatu dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika di bawah falsafah negara Pancasila. Tetapi semangat keberagaman itu, akhirakhir ini seolah-olah memudar karena sentimen agama yang ditiupkan oleh kelompok tertentu demi kepentingan politik. Kelompok ini menggunakan isu SARA untuk menyulut emosi masa. Kehidupan berbangsa pun digerogoti oleh bahaya radikalisme. Kencangnya terpaan radikalisme ini menghantam lembaga pendidikan sebagai wahana penting bagi kohesivitas dan inklusi sosial. Latar belakang budaya bangsa yang beragam yang berpotensi konflik serta bahaya radikalisme yang menyemai dan bertumbuh di sekolah-sekolah tanah air, mengharuskan bangsa Indonesia menerapkan pendidikan multikultural. Penerapan pendidikan multikultural menjadi salah satu respon positif untuk menangkal yang bertumbuh subur, mengingat sekolah adalah lembaga resmi negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hanya saja dalam konsep pendidikan multikultural di Indonesia perlu dikaji secara mendalam dan tidak terburuburu karena konteks masyarakat Indonesia berbeda dengan bangsa lain. Di Indonesia sesungguhnya yang terjadi bukan konflik akibat benturan kebudayaan atau persamaan keadilan. Konflik itu terjadi karena sentimen keagamaan yang dibalut oleh kepentingan politik kelompok tertentu. Konflik ini kemudian menyebar menjadi lebih kompleks dan mengancam integritas Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 61 bangsa Indonesia. Berhadapan dengan situasi ini, guru sekolah ujung tombak perubahan murid dituntut profesionalitas dalam mendidik orang muda. Kehadiran guru menjadi sangat penting di samping orang tua dan masyarakat karena profesinya sebagai orang digugu dan ditiru. Mereka tenaga adalah profesional dalam bidang yang menuntun orang muda keluar dari kegelapan menuju terang. Tidak mengherankan jika dari guru-guru dituntut profesionalitas dan spiritualitas sebagai pendidik. Profesionalitas dan spiritualitas yang sama dituntut dari guru-guru Katolik. Mereka adalah agen pastoral, rasul awam, dan saksi iman Gereja yang bertugas mencerahkan orang muda sesuai keahliannya. Di bahu guruguru Katolik diemban tugas Gereja yang besar, mewartakan, mendidik dan sekaligus memberi kesaksian tidak hanya pengetahuan teoritis mengenai iman dan ajaran Gereja Katolik tetapi juga peri hidup mereka sehari-hari. Berkaitan tugas yang besar dan suci, dari guru Katolik dituntut tidak hanya profesionalitas kerja guru tetapi spiritualitas. Spiritualitas itu didasarkan pada Yesus Kristus Sang Guru Agung yang mengajar dengan penuh kuasa, dan yang menjadi inti pengajaran guru Katolik. Seperti halnya Kristus dalam pengajaran-Nya sangat menghargai hukum Taurat dan kebiasaan orang Yahudi, demikianlah guru-guru agama Katolik mengembangkan sikap toleransi itu dalam tugasnya. Sebagaimana Kristus mengajarkan bahwa mencintai sesama seperti mencintai diri sendiri demikian jugalah guru Katolik mencintai dan mengajar peserta didik untuk mencintai siapa saja tanpa pandang latar belakang. Tugas ini dihayati oleh guru bukan hanya sebagai panggilannya sebagai guru untuk menyukseskan pendidikan multikultural tetapi juga sebagai perwujudan imannya. Spiritualitas ini akan menjiwai guru-guru Katolik bila bertumpu pada Yesus dalam kesetiaannya terhadap Sabda Allah dan tugasnya sebagai Katekis. Karena itu, Guru Katolik mesti senantiasa memelihara kesuburan spiritualitas ini dengan selalu berdoa dan merenungkan Kitab Suci entah secara pribadi atau bersama-sama. Sebab dalam doa Allah menyingkap rahasia misteri Kerajaan Allah. Guna memupuk semangat toleransi dan jiwa multikultural dalam diri guru Katolik, para calon guru Katolik hendaknya belajar bersikap dan berpikir terbuka dengan kebudayaan melalui studi perbandingan agama dan studi antropologi. Hal ini sesuai dengan dokumen Nostrae Aetate, yang mengungkapkan bahwa Gereja Katolik mengakui bahwa di dalam agama dan 62 Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia kepercayaan lain terdapat berbagai cara hidup, kaidah kehidupan, maupun ajaran-ajaran yang tidak jarang memantulkan sinar Kebenaran yang menerangi semua orang (Nostrae, art. 1. par. 2). Karena itu, panggilan guru Katolik untuk mewujudkan pendidikan multikultural di Indonesia adalah juga panggilan murid Gereja bagi guru-guru Katolik sebagai salah satu bentuk pelaksanaan tugas perutusannya sebagai orang yang dibaptis. Daftar Pustaka Amirin, Tatang M. “Implementasi Pendekatan Pendidikan Multikultural Kontekstual Berbasis Kearifan Lokal Indonesia”. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, Vol. 1 No. 1 (2012). https://doi. org/10.21831/jppfa.v1i1.1047 Butar-Butar, Rikardo Dayanto Ester Lina Situmorang, Jabes Pasaribu dan Manahan Uji Simanjuntak. “Pengajaran Tuhan Yesus Mengenai Toleransi Dan Implementasinya Ditengah Masyarakat Majemuk”. Jurnal Teologi Dan Pendidikan Agama Kristen, Vol 4, No 1 (Maret 2019). Deni Wijaya, Albert I Ketut dan Antonius Virdei Eresto Gaudiawan. “Dampak Pembelajaran Reflektif Bagi Calon Guru Agama Katolik Terhadap Panggilan Keguruan.” JPAK: Jurnal Pendidikan Agama Katolik, Vol. 20 No. 1 (2020). Dewantara,Agustinus Wisnu “Pancasila Sebagai Fondasi Pendidikan Agama Di Indonesia”, Jurnal ilmiah CIVIS, Volume V, No 1, (Januari 2015). https://doi.org/10.26877/civis.v5i1/Januari.626 Gaudiawan, Antonius Virdei Eresto Albert I Ketut Deni Wijaya. “Dampak Pembelajaran Multikultural Dalam Pelajaran Agama Katolik Kelas XII Bagi Pengembangan Multikulturalisme”. JPAK: Jurnal Pendidikan Agama Katolik. Vol 20 No 10 (Oktober 2018). https://doi.org/10.34150/jpak. v20i10.216 Kosasih, A. “Creative and Joyful learning Sebagai Bentuk Evangelisasi Baru”. dalam 12 Bentuk Evangelisasi: Menebar Garam di Atas Pelangi, eds. Hipolitus K. Kewuel dan Gabriel Sunyoto, Madiun: Wina Press, 2010. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 63 Kusmaryani, Rosita Endang. “Pendidikan Katolik Sebagai Alternatif Penanaman Nilai Moral”, Jurnal Paradigma, No. 02 Th. I, (Juli 2006). Kusmaryani, Rosita Endang. “Pendidikan Multikultural sebagai Alternatif Penanaman Nilai Moral dalam Keberagaman”. Jurnal Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, No. 02 Th. I, (Juli 2006). Liputan Khusus Tempo. “Konservatisme; Menyemai Radikalisme di Sekolah.” Majalah Tempo, 19-25 Juni, 2017. Opini Tempo. “Main Agama Politik Jakarta.” Majalah Tempo, 17-23 April 2017. Permana, Natalis Sukma. “Membangun Sistem Pendidikan Multikultural di Indonesia”. JPAK: Jurnal Pendidikan Agama Katolik, Vol. 19, No. 10, (April 2018). Priatna, Asep “Pengaruh Profesionalitas Guru Terhadap Kualitas Pembelajaran Pada SMA Di Kota Bandung”. Jurnal Pendidikan Indonesia, Vol. 14, No. 2 (2011). https://doi.org/10.17509/jap.v14i2.6415 Riyanto, Armada. “Kearifan Lokal-Pancasila: Butir-butir Filsafat “Keindonesiaan”, dalam Kearifan Lokal Pancasila Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan, eds. Armada Riyanto, Johanis Ohoitimur, dkk, Yogyakarta: Kanisius, 2015. Salikin, Hairus. “Profesionalitas Guru dan Pembelajaran Kontekstual”. Jurnal Pengembangan Pendidikan, Vol. 8, No. 1, (2011). Sinurat, Lusius “Spiritualitas Guru Beragama Katolik Spiritualitas Guru Beragama Katolik”, Pena Sinergi, (29 Nov 2019). Susilo, S. Rekso. Filsafat Wawasan Nusantara. Malang: Widya Sasana. Wilhelmus, Ola Rongan. “Pendidikan Multikultural di Indonesia: Arah dan Manfaatnya”. JPAK: Jurnal Pendidikan Agama Katolik. Vol. 19, No. 10, (April 2018). https://doi.org/10.34150/jpak.v20i10.216 64 Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia To Be Religious Today is To Be Inter-Religious (Menenun Dialog Antar-Agama dalam Konteks Islam-Kristen) Hesikius Junedin Fakultas Teologi Weda Bhakti Yogyakarta Pengantar Judul artikel ini mendapatkan bentuknya dari salah satu sub bab, When Mystic Masters Meet, karya Shafa’atun Almirzanah, Ph.D., D.Min: “To be religious is to be inter-religious” Ini dapat diparalelkan dengan parafrase populer John Dunne: “Tidak ada manusia yang seperti sebuah pulau”, yang dikontekstualisasi menjadi: “Tidak ada agama yang seperti sebuah pulau” – “No religion is an island”. Dalam realitas aktual, tidak sulit rasanya untuk mengakui bahwa tentu saja tidak ada agama yang sama sekali terpisah dari agama lainnya, bagai sebuah pulau terpisah dari pulau yang lainnya. Islam tidak bisa menghilangkan hubungannya dengan agama Kristen, begitu pun dengan Yahudi. Ada jembatan antara Yudaisme dan Kekristenan. Agama Buddha terkait dengan agama Hindu dan ada hubungan intrinsik antara Jainisme dan Hindu (Ucho, 2019). Melalui artikel ini, tanpa bermaksud mengesampingkan relasi agama Kristen dengan agama lainnya, saya hendak menampilkan seberapa urgennya dialog yang mesti dibangun antara kedua tradisi besar, Islam di satu pihak dan Kristen di pihak lainnya. Pokok kajian yang dapat saya bagikan ini berpusat pada relasi dialogal antara Islam-Kristen, dengan beberapa gagasan dasar: pertama, panorama relasi keduanya – Islam dan Kristen; kedua, urgensitas bagi dialog Islam-Kristen; ketiga, tantangan dan asumsi dasar pradialog; keempat, arah dasar bagi dialog antaragama; kelima, sumber-sumber utama bagi semangat dialogal dalam Islam dan Kristen; lalu keenam, dilengkapi dengan cakrawala baru bagi generasi muda sebagai tenunan paradigma dalam hidup beragama masa kini. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 65 Panorama Relasi Islam-Kristen Potret sejarah ihwal dua agama besar dunia, Islam-Kristen memang berada dalam pusaran magnet yang hebat. Tidak bisa ditutupi bahwa pada masamasa awali, perjumpaan kedua agama tersebut secara historis, baik dalam konteks teologis maupun dalam laku politik kekuasaan, adalah perjumpaan seteru, sebuah kontestasi dalam sejarah yang saling melenyapkan. Karena masa-masa itu menjadi medan perebutan legitimasi bagi kedua kelompok untuk mengklaim otoritas kebenaran sejarah dan doktrin masing-masing. Dari data-data sejarah tentang perjumpaan Islam-Kristen, memang diakui bahwa begitu banyak tersaji pengalaman, baik pahit atau pun manis, perseteruan maupun kedamaian, konflik laten hingga kisah rukun hidup bertetangga. Medan seteru ini akhirnya saling menutupi beberapa fakta dan data sejarah yang semestinya bisa dibuka secara proporsional, dan ruang bagi dialog yang karib sebagai jalan untuk memahami perbedaan yang ada seakan dirasa terlampau sakral dan menemui jalan buntu. Urgensitas bagi Dialog Islam-Kristen Dialog agama menjadi topik kontemporer yang paling aktual yang terus dibicarakan di mana-mana oleh kalangan yang semakin luas, baik dalam lingkup formal akademis maupun pembicaraan non-formal di banyak tempat, semisal restoran maupun di beranda rumah. Sebagaimana fenomena lainnya, dialog agama dihasilkan pula oleh faktor-faktor khusus yang melatarinya. Yang terpenting adalah adanya krisis akan pemahaman mengenai pluralitas agama. Setidaknya fenomena ini mudah terbaca dari relasi Islam-Kristen. Karena alasan ini, pertanyaan tentang penting tidaknya dialog menjadi kurang menarik, sebaliknya yang lebih banyak dibicarakan adalah pendekatan seperti apa yang paling tepat dalam dialog antaragama. Diasumsikan bahwa kualitas maupun intensitas dialog di masa mendatang akan semakin meningkat, yang juga akan melibatkan semakin banyak pihak. Ekspektasi besar pun ditempatkan di pundak kaum muda yang diyakini mampu membawa perubahan yang nyata di tengah masyarakat akar rumput, bukan hanya di kalangan kaum elit dan intelektual. Salah satu persoalan pokok dalam pemahaman diri orang Kristen adalah tentang hubungan mereka dengan agama-agama lain. Setelah pendekatan 66 To Be Religious Today is To Be Inter-Religious misioner eksklusif yang dilancarkan agama Kristen beberapa ratus tahun terakhir, pluralisme lalu menjadi tantangan yang sedemikian mendesak. Kepustakaan yang berkembang pesat sebagai akibat dari perjumpaan dengan agama-agama lain, mengantar banyak teolog Kristen pada kesimpulan bahwa teologi Kristen tidak dapat terus dirumuskan terpisah dari agama-agama lain. Dan sesungguhnya, menurut Paul Tillich (1966:31), perkembangan teologi Kristen di masa mendatang merupakan hasil langsung dari dialog yang serius dengan agama-agama lain. Hari ini banyak peristiwa menampilkan kenyataan bahwa terdapat bentrokan antara identitas kelompok tertentu melawan kelompok lainnya yang dilakukan secara terbuka, keras dan berkelanjutan. Politik identitas seakan menjadi ciri baru yang dipraktikkan dalam dunia perpolitikan kita saat ini. Indonesia yang dibangun di atas cita-cita besar akan kesatuan dalam keberagaman – terutama keberagaman agama dan sistem kepercayaan – oleh para pendiri bangsa (Founding Fathers) belum luput dari upaya untuk dilepaskan dari rongrong politik pragmatis yang berusaha melepaskan ikatannya sebagai bangsa yang besar dan majemuk. Setiap ketegangan komunal yang dimunculkan dari kenyataan pluralitas agama, ada kemungkinan bahwa sentimen agamalah yang disalahgunakan. Agama yang terlampau berbicara soal perasaan dan kepekaan terdalam dari individu dan komunitasnya selalu membawa kenangan sejarah yang mendalam dan sering menarik simpati bagi solidaritas atas nama agama yang dilakukan secara tidak kritis. Bagi Dr. Hans Ucko (2019) relasi dan dialog antaragama dimaksudkan untuk membantu agama agar dapat bebas dari penyalahgunaan seperti itu, dan agar dapat menghadirkan peluang bagi umat beragama untuk saling berkontribusi dalam kehidupan bersama sebagai agen pembangunan dan rekonsiliasi. Di sejumlah negara dunia, tak terkecuali di Indonesia – melalui wadah FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) – terdapat mitra dialog yang mampu bekerja sama lintas agama dalam upaya nyata mewujudkan perdamaian. Ada juga kasus di mana para pemimpin agama diundang untuk memainkan peran yang terlihat dalam inisiatif perdamaian yang disponsori negara. Bertolak dari keadaan itu, beberapa teolog menekankan urgensitas dialog sebagai tugas utama teologi dalam perjumpaan dengan agama-agama dunia lainnya. R. Whitson (1971:32) berpendapat bahwa teologi bertugas Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 67 membuka agama seseorang terhadap agama-agama lain. John S. Dunne (1972) menganjurkan “passing over” yakni mengalami agama lain dan kemudian mengadakan refleksi untuk memperkaya agama sendiri. Jika suasana saling memupuk dapat berlangsung, kebijaksanaan rohani agama lain akan memperkaya pengalaman mengenai agama sendiri. Tantangan dan Asumsi Dasar Pra-Dialog Kita sadar bahwa ada perbedaan amat tajam dan mendasar dalam agamaagama, terkhusus dalam Islam dan Kristen. Kita ketahui pula bahwa garis pemisah tidak selalu terjadi di antara komunitas-komunitas agama dimaksud, tetapi sering kali justru terjadi di dalam komunitas-komunitas religius itu sendiri. Perbedaannya mungkin bukan hanya seputar persoalan teologis, tetapi berkaitan pula dengan masalah sosial, politik, maupun moral. Dikarenakan berbagai alasan, kita menemui pertentangan dalam beberapa hal dengan beberapa dari mereka yang berkeyakinan sama. Jika harus diakui, faktanya adalah bahwa seseorang kadang-kadang mungkin merasa lebih dekat dengan orang yang beragama lain daripada dengan orang di sebelah bangku di mana ia duduk. Seseorang mungkin tidak memiliki iman yang sama tetapi dapat terjalin ikatan dan hubungan yang melampaui batas-batas agama. Ernst Simon (dalam Ucko, 2019) mencoba merumuskan paradoks ini dalam pernyataan yang menarik: “Orang-orang yang dengannya saya berdoa bersama, saya tidak bisa bicara; dan orang-orang yang bisa saya ajak bicara, dengannya saya tidak bisa berdoa bersama.” Ternyata, tantangan dalam dialog itu tidak saja datang dari luar (interreligius), tetapi dapat juga berasal dari dalam (intra-religius). Demi menjembatani ini, dalam konteks dialog antaragama, perlu usaha sungguhsungguh untuk menjumpai ‘yang lain’ secara terbuka dan lapang dada. Sebab, dapat diandaikan bahwa dalam perjumpaan itu tidak hanya terjadi proses memberi dan memperkaya, tetapi juga menerima dan diperkaya. Karena itu, proses dialog yang dimaksud mesti mensyaratkan tanpa adanya ekses dan tendensi berkontestasi demi memenangkan kepentingan tradisi (agama) sendiri, pun tidak untuk mengklaim kebenaran satu terhadap yang lainnya, melainkan sebagaimana diungkapkan John S. Dunne: ber-passing over; melintasi tradisi ‘yang lain’ dan kembali memperkaya kepercayaan sendiri. 68 To Be Religious Today is To Be Inter-Religious Namun, sebagaimana diingatkan Raimundo Panikkarn (2004:51), iman seorang pelaku passing over haruslah cukup kuat, terbuka dan mendalam. Iman itu mesti juga ‘cukup telanjang’ untuk dikenai berbagai bentuk pakaian tanpa perasaan khawatir akan tergelincir ke dalam bidaah atau murtad. Ini penting, dan terlebih ditekankan dalam dialog hidup, yang mana mensyaratkan adanya interaksi dan kontak langsung dengan tradisi keagamaan lain. Melintas tanpa tersesat, lalu kembali. Mengenai kesamaan biarkan itu sama dan yang beda biarkan itu tetap beda. Sejak tahun 622 M agama Kristen mendapat tantangan dari Islam sebagai agama yang lebih muda dan lebih giat. Dalam satu abad para penguasa Islam telah menguasai separuh dari dunia Kristen. Muhammad mengenal agama Kristen dan menghormati Yesus sebagai nabi, namun menolak inkarnasi. Perbedaan paling pokok antara Islam dan Kristen tetap ada. Dalam pandangan Islam jurang antara Allah dan manusia terlalu lebar untuk dapat dijembatani oleh Yesus atau oleh yang lain. Pada abad-abad permulaan, beberapa orang Kristen menganggap agama Islam sebagai salah satu bidaah Kristen. Orang Islam menyangkal hal ini, karena mereka mengakui agamanya wahyu baru dari Allah dan merupakan agama terakhir (Dunne, 2003:46). Ekspansiekspansi abad pertengahan yang dilancarkan Kristen, sejalan dengan kecenderungannya yang eksklusif. Kristen menutup diri terhadap setiap kontak yang berarti dengan agama-agama lain. Islam dilihat oleh orang Kristen Barat sebagai musuh politik dan agama yang harus dibasmi (Dunne, 2003:46). Pendekatan Dialogis Perjumpaan agama Kristen modern dengan agama-agama lain agaknya mendorong para teolog Kristen, untuk pertama kalinya sejak konsili Calcedon untuk menilai kembali dengan serius sikap eksklusif tradisional doktrin Kristen. Dalam tubuh Gereja Katolik, beberapa keputusan Konsili Vatikan II menjadi tonggak sejarah yang menumbuhkan sikap yang lebih positif terhadap agama-agama lain (Dunne, 2003:47). Ada kelompok pemikir Kristen yang mengedepankan pendekatan dialogis, di tengah kebuntuan relasi agama Kristen dengan kepercayaan lain di luarnya. Dialog beranjak dari anggapan bahwa tiap-tiap agama mempunyai Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 69 tuntutan mutlak yang tidak dapat dinisbikan (Dunne, 2003:75). Perumusan kembali tidak akan menghilangkan perbedaan. Namun, seperti ditandaskan Harold Coward, dengan membiarkan pembahasan teologi kita dipengaruhi teologi agama lain, kita terpaksa menjadi makin jujur dan lebih memperdalam kehidupan rohani kita. Prasyarat untuk dialog bukanlah penyelarasan semua keyakinan, melainkan sebuah pengakuan bahwa tiap-tiap orang beragama memiliki keyakinan yang teguh dan mutlak, dan bahwa keyakinan ini berbeda. Orang-orang Kristen merasa terikat pada Allah melalui Kristus. Sedangkan kaum muslim pada Al-Quran sebagai firman Allah yang paripurna. Pendekatan dialogis, bagi John V. Taylor, membutuhkan kematangan ego yang memadai “untuk membiarkan lawan dialog hidup berdampingan tanpa merasa bahwa mereka dapat disesuaikan (Dunne, 2003:76). Beberapa tokoh yang mendukung upaya pendekatan dialogis, di antaranya yakni Stanley Samartha dan Raimundo Panikkar. Dialog bagi S. Samartha (dalam Coward, 2003:77) adalah “upaya untuk memahami dan menyatakan partikularitas kita bukan hanya dalam kaitan dengan warisan kita sendiri, tetapi juga dalam hubungan dengan warisan rohani tetanggatetangga kita.” Sedangkan, R. Panikkar (dalam Coward, 2003:79) meyakini bahwa melalui dialog akan terjadi perluasan dan pendalaman setiap pengalaman partikular mengenai kebenaran Ilahi. Ia mengakui bahwa “apabila suatu kebenaran agama diakui oleh kedua belah pihak (dalam dialog) dan dengan demikian berarti dimiliki oleh kedua belah pihak, maka masingmasing pihak akan menyebut kebenaran itu dengan nama yang cocok bagi tradisi partikular yang mengakuinya.” Dalam dialog, hubungan antaragama bukanlah hubungan asimilasi, atau hubungan substitusi (konversi) melainkan hubungan yang saling menyuburkan. Motivasi Religius dari Dialog Motivasi religius atau teologis adalah hal paling mendasar dari pelbagai motivasi pendorong dialog, baik yang muncul dari pihak Gereja Katolik maupun Islam. Menyadari diri sebagai makhluk atau ciptaan Allah yang Mahakuasa, maka dituntut sikap tunduk, taat, sembah kepada Allah dan bergantung pada-Nya secara bebas, aktif, dan tanpa paksaan (Tule, 1992:69). Relasi personal antar manusia dengan pencipta-Nya adalah suatu misteri yang terbuka ke arah suatu perspektif rahmat dan keselamatan. 70 To Be Religious Today is To Be Inter-Religious Dialog tidak hanya perlu menjadi kesempatan untuk berdamai dengan masalah keberagaman. Mesti semakin disadari oleh banyak pihak bahwa dialog akan layu jika kita hanya bertemu dalam konteks menghadapi persoalan yang memecah-belah. Sebab, dialog juga menawarkan kemungkinan dan menyediakan ruang untuk berkolaborasi dalam masalah-masalah yang menjadi perhatian bersama antara orang-orang dari agama yang berbeda. Sangatlah penting untuk mencari mitra semacam itu dan mengeksplorasi cara membangun kembali kredibilitas dialog yang memungkinkan orang untuk memasuki hubungan yang saling menghormati dan keterbukaan dalam membahas aneka polemik keagamaan dalam masyarakat. Karena itu, dialog antaragama membutuhkan dialog intra-agama. Di sinilah letak nilai religius yang paling nyata. Perlu usaha untuk memunculkan pentingnya bekerja secara internal (intra-agama) berdasarkan temuantemuan dari relasi antaragama kita. Komunitas religius kita perlu diberi tahu tentang temuan kita di dalam dan melalui hubungan antaragama. Setelah “passing over”, kata John Dunne, kita pun mesti melakukan “coming back“ demi memperkaya tradisi religius kita sendiri. Tanpa refleksi ini, sebuah dialog belum akan berbuah dan berimplikasi nyata dalam hidup keagamaan. Semangat Dialogal dalam Islam Sikap dialogal yang digagas oleh tokoh-tokoh atau lembaga-lembaga moderat muslim umumnya didasarkan pada beberapa ayat suci Al-Quran, antara lain: Ayat Q. 5,48: tentang berlomba-lomba berbuat kebajikan, “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” Ayat Q. 40,4: tentang menghindari diskusi agama, “Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang kafir”; Ayat Q. 109,6: “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (lih. Q. 8,29); Ayat Q. 60,8: “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 71 memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu.” Ayat Q. 5,82-83: tentang sikap bersahabat dengan orang Nasrani, “…sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman ialah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya kami ini adalah orang Nasrani’. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu terdapat pendeta-pendeta dan rahibrahib, karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” Menurut Al-Quran, pada mulanya manusia bersatu, namun berselisih sebagai akibat dari adanya bermacam-macam versi dari “Satu Kitab” yang diperkenalkan oleh nabi-nabi yang berbeda (Coward, 2003:93). Warta yang disampaikan oleh nabi-nabi yang berbeda, Abraham, Musa, Yesus, dan lainlain, semuanya berasal dari sumber satu-satunya yang oleh Al-Quran disebut dengan nama “Asal Kitab” (Q. 43:4; 13:39) dan “Kitab yang Terlindung” (Q. 56:78). Seperti dinyatakan dalam Al-Quran bahwa Muhammad tidak hanya beriman pada Taurat dan Injil, tetapi ia “beriman pada Kitab apa saja yang diturunkan Allah” (Q. 42:15). Menurut Al-Quran, kebenaran dan bimbingan Allah tidak dibatasi, melainkan tersedia secara universal bagi semua orang: “Tiada bangsa yang tidak didatangi juru-ingat” (Q.35:24); “Karena tiap-tiap bangsa mempunyai seorang pemimpin” (Q.13:7) (Coward, 2003:92-94). Semangat Dialogal dalam Gereja Katolik Sebagai buah dari refleksi mendalam tentang hubungannya dengan agama-agama lain dalam terang zaman modern, Gereja Katolik dan para penganutnya telah meninggalkan adagium lama: extra ecclesiam nulla salus (tidak ada keselamatan di luar Gereja). Gereja semakin menyadari bahwa dialog adalah kebutuhan fundamentalnya yang terpanggil untuk bekerja sama dalam rencana keselamatan Allah lewat aneka bentuk kehadirannya, melalui cinta dan penghargaan terhadap semua orang (Tule, 1992:73). Meskipun kata dialog tidak ditemukan dalam Alkitab, hubungan yang hangat dan perjumpaan pribadi yang penuh perhatian jelas terdapat dalam seluruh Alkitab. Pendekatan dialogis ini diperlihatkan dalam cara Yesus memperlakukan pribadi-pribadi baik dalam kalangan Yahudi, maupun non72 To Be Religious Today is To Be Inter-Religious Yahudi, seperti Nikodemus, wanita Samaria, perwira Roma, wanita SiroFenisia, dan murid-murid-Nya. Dengan demikian, cara dialog–bukan ‘paksaan teologis’–merupakan tuntutan bagi orang-orang Kristen dalam dunia yang pluralistik dewasa ini (Coward, 2003:77). Dalam perspektif Kristiani, beberapa bagian dalam Alkitab memberikan dukungan terhadap dialog agama dan hidup bersama secara damai. Di antaranya yang kerap diacu: Kejadian 1:27: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Gambaran awal akan inklusifitas Kitab Suci Kristiani menampilkan gagasan penting bahwa semua manusia diciptakan Tuhan dari gambaran yang sama, yakni Citra Allah sendiri. Semua manusia bersumber dari Allah yang sama–setidaknya demikian dimaksudkan Kitab Kejadian. Kitab Yehezkiel 37:22 menampilkan pula: “Aku akan menjadikan mereka satu bangsa di tanah mereka, di atas gunung-gunung Israel, dan satu raja memerintah mereka seluruhnya; mereka tidak lagi menjadi dua bangsa dan tidak lagi terbagi menjadi dua kerajaan.” Allah menghendaki persatuan bagi bangsa-bangsa, seperti halnya Ia tidak menghendaki perpecahan terjadi dalam bangsa Israel. Adapun Penginjil Markus berbicara tentang menerima perbedaan sebagai bagian dari usaha untuk hidup bersama dalam damai: “Barang siapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita” (Mrk. 9:40). Dan Lukas 9:50 menegaskan dalam nada yang sama bahwa kata-kata itu keluar dari mulut Yesus sendiri: “Yesus berkata kepadanya: “Jangan kamu cegah, sebab barang siapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu.” Selain data-data biblis yang masih banyak lagi untuk kita rujuk, Konsili Vatikan II menjadi tonggak sejarah yang menandai era baru dalam hubungan Gereja dengan agama-agama lain. Arah dialog yang hendak dibangun Gereja, secara khusus terhadap umat Islam termuat dalam dokumen-dokumen penting Konsili Vatikan II dan surat apostolik para Paus setelahnya. Di antaranya termaktub dalam: Lumen Gentium no. 16: “Akhirnya mereka yang belum menerima Injil dengan berbagai alasan diarahkan kepada Umat Allah. Terutama bangsa yang telah dianugerahi perjanjian dan janji-janji, serta merupakan asal kelahiran Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 73 Kristus menurut daging, (lih. Rm. 9:4-5), bangsa terpilih yang amat disayangi karena para leluhur; sebab Allah tidak menyesali kurniakurnia serta panggilan-Nya (lih. Rm. 11:28-29). Namun, rencana keselamatan juga merangkum mereka, yang mengakui Sang Pencipta; di antara mereka terdapat terutama kaum Muslimin, yang menyatakan bahwa mereka berpegang pada iman Abraham, dan bersama kita bersujud menyembah Allah yang tunggal dan maharahim, yang akan menghakimi manusia pada hari kiamat.” Nostra Aetate no. 3 juga mencatat: “Gereja juga menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satusatunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belaskasihan dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia. Kaum muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada ketetapan-ketetapan Allah juga yang bersifat rahasia, seperti dahulu Abraham–iman Islam dengan sukarela mengacu kepadanya–telah menyerahkan diri kepada Allah....” Ad Gentes no. 12 menulis: “Cinta kasih Kristiani ditujukan kepada semua orang tanpa membedabedakan suku-bangsa, keadaan sosial atau agama; cinta kasih tidak mengharapkan keuntungan atau ungkapan terima kasih.” Paus Paulus VI dalam Ensiklik Ecclesiam Suam (1964), membedakan adanya lingkaran-lingkaran konsentris dari empat kelompok manusia yang dengannya Gereja harus berdialog. Lingkaran pertama dan yang terluas mencakup semua manusia. Lingkaran kedua mencakup semua orang beriman. Gagasan dalam membina dialog dengan kaum Teistis, khususnya Islam termaktub dalam lingkaran ini. Lingkaran ketiga mencakup semua orang Kristen. Dan lingkaran keempat (terdalam) mencakup anggota Gereja Katolik ke dalam. Paus Yohanes Paulus II melalui Ensiklik Redemptor Hominis juga melihat adanya nilai-nilai luhur dan positif dari agama-agama bukan Kristen, “dalam pelbagai agama itu terdapat banyak perenungan tentang satu kebenaran benih-benih Sabda, yang menegaskan bahwa sekalipun jalur yang ditempuh mungkin berbeda-beda, terdapatlah hanya satu tujuan yang 74 To Be Religious Today is To Be Inter-Religious menjadi aspirasi terdalam roh manusia sebagaimana terungkap dalam usahanya mencari Allah…” Menenun Paradigma Berdialog Umat Muslim-Kristiani Pandangan umum yang bisa dikatakan, bahwa dari semua kitab suci, AlQuran adalah yang paling dekat dengan Alkitab orang Kristen, tanpa mengabaikan perbedaan besar dari segi isi di antara keduanya. Perbedaan tersebut terutama menyangkut pribadi Yesus Kristus dan pertanyaan mengenai Trinitas (Milot, 2003:9). Bagi kaum Muslim, sebagaimana disaksikan Al-Quran, Yesus bukanlah “Putra Allah”, melainkan “Putra Maria”. Yesus tidak diakui sebagai Allah yang menjelma, Sabda yang menjadi daging sebagaimana dipercaya dan diimani oleh orang Kristen. Jika bagi kaum Muslim, Allah adalah satu dan unik, maka Dia tidak bisa memiliki seorang putra atau pun pribadi yang sederajat denganNya. Karena itu, mereka percaya bahwa Al-Quran adalah peringatan terakhir dari wahyu-wahyu sebelumnya yang mengandung pesan abadi dari Allah terhadap umat manusia (Milot, 2003:10). Pesan Allah itu dipercayakan kepada nabi-nabi terdahulu, termasuk Yesus, yang kemudian berpuncak dalam diri Muhammad sebagai nabi terakhir. Dengan sikap yang sama terhadap persepsi Islam, orang Kristen menantang karakteristik Al-Quran yang terungkap serta misi Nabi Muhammad. Karena, bagi umat Kristen, Perjanjian Barulah yang merupakan meterai terakhir semua wahyu, sehingga berkonsekuensi terhadap penolakan bahwa Muhammad bukan Nabi sejati sebagaimana pula Al-Quran bukan merupakan wahyu yang sebenarnya (Milot, 2003:10). Di samping perbedaan mendasar itu, kontak langsung penyebaran budaya dan peradaban antara kedua tradisi tetap tidak terhindarkan. Dari sekian banyak titik jumpa yang ditemukan antara Islam-Kristen, terdapat butir-butir mendasar yang dapat diacu bagi terjadinya dialog sebagai konsekuensi praksisnya, di antaranya: Pertama, interpretasi atas Kitab Suci sebagai tradisi tertulis hendaknya dilakukan secara inklusif, bukan eksklusif. Kedua, perbedaan bukan sesuatu yang mutlak, melainkan sesuatu yang relatif dan kebetulan sebagai konsekuensi logis dari keragaman perspektif dan historisitas. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 75 Pada aras ini, perjumpaan dialogis amat mungkin terjadi karena secara spiritual, setiap umat beragama merindukan perjalanan langsung menuju Allah melalui jalan yang paling sesuai seturut ajaran dan kredonya. Seperti halnya dalam dialog, mereka merindukan pertemuan secara langsung dari muka ke muka, tanpa adanya halangan untuk menyatakan iman, konsepkonsep intelektual, dan doktrin-doktrin (Milot, 2003:18). Pengalamanpengalaman ini diperkuat oleh pengetahuan-pengetahuan intuitif dan intim dari suatu Yang Absolut, yang ciri-cirinya melebihi perbedaan pengakuan iman dan kategori-kategori yang relatif digunakan manusia dalam usaha untuk menjelaskan tentang Allah (Milot, 2003:18). Diakui bahwa perbedaan akan tetap ada, tetapi fokus perhatian terhadap perbedaan-perbedaan itu sedapat mungkin diperkecil dan tidak menjadikan itu sebagai pembenaran terjadinya polemik-polemik doktrinal yang memang terlampau sulit didamaikan. Dengan dialog dan penghayatan religius umat Muslim maupun Kristiani lebih memberikan ruang yang lapang dalam melihat kesamaan daripada perbedaan. Kalaupun ada perbedaan, itu lebih sebagai akibat sejarah dan konteks sosial tertentu daripada konsekuensi penghayatan iman yang perlu. Ditilik dari perspektif ini, perbedaan pandangan antara Muslim dan Kristen seharusnya dilihat sebagai sesuatu yang relatif dan kebetulan ketimbang sesuatu yang mutlak perlu. Perbedaan itu nyata, tetapi bukanlah realitas secara keseluruhan, dan mungkin saja perbedaan-perbedaan itu tidak menjadi bagian yang terpenting dari realitas sesungguhnya (Milot, 2003:27). Inilah yang terjadi ketika dikatakan bahwa hakikat dialog tidak membicarakan tentang bagaimana rumusan (doktrin) yang tepat yang bisa dikatakan tentang Allah, melainkan berbincang tentang bagaimana manusia berkenan kepada Allah, memuliakan-Nya melalui pengembaraan batin ke dalam jantung agamanya dan dalam relasi personal dengan Allahnya. Penyair India yang pernah memenangkan nobel, Rabindrath Tagore (1861-1941) mengatakan bahwa cinta tidak terdapat dalam melihat kepada satu sama lain, tetapi dalam sama-sama melihat ke arah yang sama (Milot, 2003:83). Demikian halnya, orang Islam dan Kristen bisa saja saling melihat satu sama lain sambil mengakui adanya kebutuhan akan pertukaran dan dialog tentang iman mereka. Ini akan mengembangkan kepedulian bersama mereka akan kesejahteraan umat manusia terpisah dari iman atau ras mereka. 76 To Be Religious Today is To Be Inter-Religious Ini tidak berarti bahwa mereka harus menanggalkan keyakinan-keyakinan personal mereka sendiri, justru sebaliknya, keteguhan imanlah yang mendorong mereka untuk mengambil bagian dalam langkah ini. Hal ini kian tampak dalam kenyataan bahwa para pelaku dialog interreligius tidak melihat pengalaman perjumpaan itu sendiri sebagai puncak, di mana orang sudah sampai pada tujuan dan berhenti, melainkan sebagai momen untuk kembali dan memperkaya tradisi keagamaannya. John S. Dunne menganjurkan “passing over” yakni mengalami agama lain dan kemudian mengadakan refleksi untuk memperkaya agama sendiri. Jika suasana saling memupuk dapat berlangsung, maka kebijaksanaan rohani agama lain akan memperkaya pengalaman mengenai agama sendiri. Bagi pelaku dialog yang terbuka, jujur dan spiritual, kerinduan akan Allah serentak melahirkan kerinduan yang sama kuatnya untuk memperbaiki nasib umat manusia bukan hanya di kehidupan berikutnya (eskatologis), melainkan juga di dunia sekarang ini. Dari sinilah dasar bagi terjalinnya perjumpaan dan dialog kehidupan yang sesungguhnya; dialog yang lebih karib dan akrab; yang lebih erat dan terlibat. Atas dasar inilah dialog kehidupan yang jauh dari ekses saling curiga; yang lebih hidup dan dialogal dapat sungguh-sungguh terjadi dan dihayati. Kontekstualisasi Dialog Islam-Kristen bagi Generasi Muda Kurangnya informasi yang akurat adalah hambatan utama untuk memahami agama-agama lain. Para sarjana Islam menganalisis agama Yahudi dan Kristen sering tidak berdasarkan pada agama-agama itu sendiri melainkan berdasarkan ajaran mengenai agama Yahudi dan Kristen sebagaimana digambarkan dan dinilai dalam Al-Quran. Banyak informasi yang diperoleh dari orang-orang yang pindah ke agama Islam dan lebih banyak dari diskusidiskusi polemis (Coward, 2003:111). Demikian pun sebaliknya, persepsi Kristen dalam memandang Islam. Fenomena ini amat mudah kita temukan saat ini. Media sosial menjadi penyumbang terbesar dalam menggiring opini publik mengenai banyak topik. Salah satu isu yang paling banyak beredar adalah isu-isu agama. Tidak diragukan bahwa akses terbesar media sosial dikendalikan oleh kaum muda (milenial). Maka, tanpa kematangan yang cukup dalam menyerap serangan era digital ini, dapat dipastikan kebencian Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 77 antar agama, cara pandang yang menekankan perbedaan, dan tafsir yang bebas atas wilayah privat agama lain berdasarkan data tidak lengkap dan utuh akan berdampak signifikan terhadap berkurangnya perkembangan pemahaman generasi muda kita akan relasi dengan agama lain. Sekiranya melalui sajian informasi terdahulu dapat memberi kita gambaran sekaligus meletupkan gagasan baru–terutama generasi muda yang sedang dikepung dengan aneka fakta mengenai keberagaman sebagai akibat dari terbukanya dunia dalam era digital ini–dalam melihat peluang untuk berdialog secara nyata dengan agama lain. Karena itu, pada bagian ini akan ditampilkan beberapa poin mengapa saat ini–berkat jangkauan teknologi yang semakin melampaui ruang–sumbangan konkret bagi dialog antar agama mesti semakin digalakkan. Pertama, teknologi menambah wawasan dan memperdalam informasi yang kurang mengenai agama lain dengan berpatokan pada sumber-sumber yang akurat dan valid. Benar bahwa kurangnya informasi yang akurat menjadi hambatan utama untuk memahami agama-agama lain. Pemahaman seperti apa yang dibutuhkan? Pertama-tama barangkali memahami bahwa perbedaan itu adalah realitas mutlak dalam keberagaman. Perbedaan tidak berarti bahwa sesuatu itu lebih baik atau lebih buruk, melainkan perbedaan terjadi hanya karena itu berbeda. Saat ini justru muncul banyak usaha untuk menegaskan perbedaan dengan membanding-bandingkan ajaran agamanya dengan agama lain. Bahkan dalam batasan yang lebih serius seakan “mempertandingkan” realitas-realitas yang berbeda dalam agama lain berdasarkan sudut pandang agamanya. Jelas ini keliru dan mengabaikan disiplin kajian yang sifatnya objektif. Namun, ironis bahwa inilah yang kerap terjadi dan dilakukan justru oleh pihak (tokoh agama) yang darinya kita harapkan lebih untuk berkontribusi dalam hubungan antaragama. Kedua, relasi virtual yang tanpa sekat menjadi nafas kaum milenial karena peran sosial media yang menerobos setiap zona privat dan arena hidup masyarakat. Dapat dikatakan bahwa media massa termasuk internet memiliki pengaruh dan efek terhadap masyarakat secara langsung ataupun tidak, khususnya bagi kaum muda yang masih relatif labil dalam struktur sosial masyarakat. Menurut Castells, sebagaimana dikutip Alfin Khosyatillah (2018:35), “Internet bukanlah samudra tanpa bentuk yang individu-individu bisa menyelam ke dalamnya, tetapi justru suatu galaksi berisi sub-sub media 78 To Be Religious Today is To Be Inter-Religious yang diatur internet telah disesuaikan oleh praktik sosial, dalam suasana keberagamannya, walau penyesuaian ini memang punya efek khusus pada praktik sosial itu sendiri”. Bagaimanapun, komunikasi virtual yang tanpa wajah itu masih kurang memadai, perlu dilengkapi dengan komunikasi antar wajah sebagai bentuk perjumpaan dalam pluralitas yang sesungguhnya. Ketiga, dialog dapat membina suatu hubungan. Membangun ikatan hubungan dengan mereka yang dianggap ‘yang lain’ adalah tujuan dari semua dialog antaragama, tak terkecuali dialog antar Islam-Kristen. Namun, membentuk ikatan seperti itu selalu tidak mudah atau pun dapat dengan cepat dibangun. Karena itu kesabaran disertai ketekunan sangat penting dalam praktik dialog. Dialog biasanya mendorong semua komunitas untuk mengkritik diri sendiri (baca: agama sendiri) dan memikirkan kembali caracara mereka menafsirkan tradisi agama mereka. Sebuah dialog yang jujur dan sungguh-sungguh selalu menyertakan perubahan di dalam pengalaman iman, juga membantu orang untuk memperdalam dan bertumbuh dalam iman melalui cara yang tak terduga. Situasi konkret kehidupan sehari-hari memberikan setiap kita kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang dari agama yang berbeda. Berkat perjumpaan itu terjadi pernikahan antar agama, persahabatan pribadi lintas iman, berdoa bersama untuk tujuan bersama, mengusahakan perdamaian ataupun mencari solusi bersama dalam polemik tertentu. Kenyataan ini sungguh semakin menegaskan betapa hubungan dan dialog antaragama itu amat urgen dan tidak elitis, ini menyentuh semua orang dalam ruang dan waktu yang tak terbatas. Keempat, dialog membentuk prilaku keagamaan. Terciptanya kepribadian dan prilaku keagamaan seseorang terbentuk dan dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor intern dan ekstern. Yang merupakan faktor intern bahwa manusia adalah homo religiosus (makhluk beragama), karena manusia sudah memiliki potensi untuk beragama. Dalam setiap jiwa manusia yang lahir terbawa suatu karakter, yakni ingin mengabdi dan menyembah sesuatu yang dianggapnya Transenden. Ini terjadi secara kodrati, meski ada orang yang ingin menyangkalnya. Sedangkan faktor ekstern yang menentukan perkembangan kepribadian dan keagamaan seseorang dapat berupa lingkungan keluarga, pergaulan, wilayah aktivitas harian, juga yang paling aktual adalah media massa baik cetak maupun elektronik. Dialog atau perjumpaan nyata dengan yang lain turut pula memberi andil yang besar bagi kematangan hidup religius Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 79 seseorang. Spiritualitas tidak saja berdimensi sosial, melainkan karakter spiritual seorang beragama dibentuk pula oleh realitas sosial yang mendahuluinya, sebab, seperti diyakini John Dunne, “no religion is an island”. Kelima, dengan melibatkan diri dalam dialog setiap pelakunya dapat meningkatkan keprihatinan akan realitas sosial sekaligus memperkaya pengalaman spiritual mereka sendiri. Banyak kesempatan telah membuktikan adanya berbagai bentuk doa di antara orang-orang dari agama yang berbeda. Bagi sebagian orang, berdoa bersama bisa menjadi kesempatan yang memperkaya secara spiritual – meski tanpa terhindarkan - bagi yang lain itu adalah perbuatan tercela dan terkutuk yang mesti dihindari. Misalnya, dalam doa bersama terjadi suatu undangan untuk berelasi secara personal atau membangun persahabatan dengan yang Ilahi. Ini adalah undangan untuk masuk ke dalam misteri Yang Maha Tinggi, yang berada di luar jangkauan pemahaman dan penalaran manusia. Ini hanya mungkin jika pelakunya mengakui bahwa kenyataan keberagaman agama tidak lain merupakan misteri teologis yang menyelubungi setiap umat beragama. Karena itu, seperti yang kerap diungkapkan Dr. Hans Ucho bahwa doa antaragama dapat dipandang sebagai jembatan relasional: antara orangorang, maupun antara komunitas umat beragama. Doa antaragama dapat menuntun kita untuk mengakui yang suci yang hadir dalam pengalaman religius yang lain. Kegiatan doa antar-agama adalah akhir yang pas untuk perjalanan kita melalui potensi dan jebakan dalam dialog antaragama. Kendati jalan keluarnya tidak mudah terlihat, kita dapat saling mengingatkan akan arti kepekaan sehubungan dengan doa, ibadah, dan disiplin spiritual. Mendiang Paus Yohanes Paulus II dalam pertemuan para pemimpin agama seantero dunia di Asisi pada Oktober 1986, meringkas pandangan Gereja yang umum di kalangan teologi Kristiani tentang dialog dan pluralitas agama, “Agama itu banyak dan beraneka, dan semuanya merefleksikan hasrat serta keinginan manusia, baik laki-laki maupun perempuan di sepanjang abad untuk menjalin hubungan dengan Wujud Absolut.” Keyakinan ini menjadi gambaran hubungan yang paling dalam dari setiap kaum beriman dengan Yang Ilahi, bahwa tindakan dialogis kita harus mengakar dalam tradisi keagamaan kita, dalam kerinduan spiritual kita dan dalam penghayatan keagamaan bahwa yang Mahatinggi selalu menjadi alasan pertama mengapa kita hidup, bahkan hidup dalam keberagaman. 80 To Be Religious Today is To Be Inter-Religious DAFTAR PUSTAKA Dokumen Gereja Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (21 November 1964), dalam R. Hardawiryana, SJ (penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II, (Jakarta: Obor, 1993). ______, Nostra Aetate, Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan AgamaAgama Bukan Kristen (28 Oktober 1965), dalam R. Hardawiryana, SJ (penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II, (Jakarta: Obor, 1993). ______, Ad Gentes, Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja (7 Desember 1965), dalam R. Hardawiryana, SJ (penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II, (Jakarta: Obor, 1993). Paus Paulus VI, Ecclesiam Suam, Ensiklik (6 Agustus 1964). Paus Yohanes Paulus II, Redemptor Hominis, Ensiklik (04 Maret 1979). Buku Referensi Almirzanah, Shafa’atun. When Mystic Masters Meet (Jakarta: PT Gramedia, 2009). Coward, Harold. Pluralisme: Tantangan bagi Agama-Agama, (Penerj.: Bosco Carvallo), (Yogyakarta: Kanisius, 2003). Khosyatillah, Alfin. “Dampak Media Sosial Terhadap Perilaku Keagamaan (Skripsi), (Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2018): hlm. 35; dalam http://digilib.uinsby.ac.id/ 25022/1/ Alfin%20Khosyatillah_ E82214032.pdf. Milot, Jean-Rene. Meretas Akar-Akar Permusuhan Islam Kristen, (Jakarta: Obor, 2003). Panikkar, Raimundo. Dialog Intra Religius, (Yogyakarta: Kanisius, 2004). Tule, Philipus. “Bermisi dalam Semangat Dialog dengan Islam”, dalam Pustaka Misionalia Candraditya, Seri I/1 1992, (Maumere: Ledalero). Ucko, Hans, “The Urgency of Inter-Religious Dialogue: How to Fight Against Communalism” dalam ”http://www.irenees.net/ bdf_fiche-analyse-872_ en.html. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 81 Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia Hubertus Herianto Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Pendahuluan Iman harus selalu hidup, dihidupi, dihayati dan diamalkan dalam konteks sosio-budaya umat. Artinya iman harus selalu dihayati dan diungkapkan selaras dengan citarasa budaya dan konteks umat yang menerima dan menghidupi iman akan pewahyuan diri Allah (Mariyanto, 1995:15). Fakta bahwa iman harus dihidupi sesuai dengan konteks sosio-budaya umat, dari sendirinya, menunjukkan bahwa iman memiliki keterkaitan dengan kebudayaan. Relasi erat iman dan kebudayaan mengharuskan adanya pembudayaan iman. Tujuannya ialah agar iman itu melekat dalam diri umat yang menerimanya dan mampu menjiwai seluruh aspek kehidupan mereka, termasuk kebudayaannya. Melalui pembudayaan, iman bisa mengakar dan dihidupi umat tanpa perlu merasa asing dengannya. Dalam sejarah dan kehidupan Gereja, pembudayaan iman mewujud dalam penghayatan iman bangsa Israel yang menjadikan kebudayaannya sebagai sarana pengungkapan iman akan Allah. Hal ini, misalnya, dilakukan dalam wujud persembahan yang diberikan kepada Allah. Selain itu, pembudayaan iman juga tampak dalam ungkapan iman orang Kristen di Yunani dan Romawi, yang mana keduanya tetap mempertahankan kebudayaannya (melalui penggunaan bahasa dan busana tertentu) sendiri dalam menghayati iman. Kedua contoh ini membuktikan bahwa iman senantiasa dan harus dihayati sesuai dengan konteks umat yang menerimanya. Melihat pentingnya pembudayaan iman dalam Gereja, maka sudah selayaknya Gereja Indonesia mengusahakan hal serupa. Usaha ini memang tidak mudah karena terdapat perbedaan dan malahan pertentangan antara apa yang berkembang dalam kebudayaan Indonesia, dengan apa yang bertumbuh dan melekat dalam iman yang telah mendapat pengaruh budaya lain, khususnya budaya Eropa. Mengatasi persoalan ini, hal yang dilakukan 82 Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia adalah dengan menelanjangi iman yang diterima dari pengaruh budaya lain, lalu mengenakan padanya busana baru yang cocok dengan konteks sosiobudaya masyarakat Indonesia (Mariyanto, 1995:17). Namun pertanyaannya, dengan cara apakah Gereja Indonesia menelanjangi iman ini, sehingga esensi dan autentisitas iman masih terjaga, serta agar iman mampu menjiwai kehidupan budaya yang beragam di Gereja Indonesia. Menurut penulis cara yang paling tepat untuk mewujudkan hal ini adalah dengan melakukan inkulturasi. Inkulturasi adalah transformasi nilai-nilai kebudayaan secara mendalam melalui proses integrasi mereka ke dalam kekristenan dan meresapnya kekristenan ke dalam berbagai kebudayaan umat manusia (Martasudjita, 2006:179). Definisi ini menunjukkan bahwa melalui inkulturasi iman dan kebudayaan dapat diintegrasikan, sehingga iman menjiwai kebudayaan dan kehidupan umat. Pengintegrasian keduanya memungkinkan iman itu melekat dan menjiwai kehidupan konkret umat, serta memampukan mereka untuk menghidupi imannya secara otentik, dalam corak khas budayanya. Penjelasan mengenai peran inkulturasi ini mengantar penulis pada sebuah kesimpulan bahwa inkulturasi adalah sebuah jalan pembudayaan iman yang perlu diterapkan Gereja Indonesia. Tujuannya agar iman dan penghayatannya semakin mengakar, terutama dalam konteks Indonesia yang multikultural. Kesimpulan di atas membuat penulis tertarik untuk mengkaji secara mendalam tentang inkulturasi sebagai jalan pembudayaan iman dalam Gereja Indonesia. Ada beberapa pertanyaan penuntun yang hendak dielaborasi penulis yakni: Apakah inkulturasi itu? Apa itu pembudayaan iman dalam konteks Gereja Indonesia? Bidang-bidang apakah yang perlu diinkulturasi dan bagaimana melakukannya? Dan siapakah pelaku inkulturasi di Indonesia? Inkulturasi sebagai Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia Pertanyaan tentang apa itu inkulturasi tidak hanya mengacu pada definisi. Sebab untuk mengetahui apakah inkulturasi itu, perlu disinggung juga sejarah dan dasar-dasar teologis penerapannya. Kedua hal ini penting dibahas agar setiap orang memiliki pemahaman yang lebih mendalam mengenai inkulturasi. Oleh karena itu, sebelum menjelaskan arti inkulturasi, penulis terlebih dahulu mengulas sejarah dan dasar-dasar teologis penerapannya dalam Gereja. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 83 Sejarah Inkulturasi dalam Gereja Praktik inkulturasi dalam Gereja telah berkembang sejak zaman Gereja Perdana (bdk. Kis 2: 41-47). Gereja Perdana menjadi tonggak dimulainya inkulturasi karena ia tumbuh dan berkembang dalam konteks budaya Yahudi. Dari budaya Yahudi, iman kemudian masuk dalam kebudayaan Yunani dan pada akhirnya menyatu serta mengakar dalam kebudayaan Latin-Romawi. Akan tetapi pada saat itu istilah inkulturasi belum dikenal umat meskipun mereka telah menerapkannya dalam kehidupan iman konkret. Pengalaman serupa juga terjadi dalam diri para Bapa Konsili, terutama dalam Konsili Vatikan II (1962-1965). Dalam konsisli ini, melalui beberapa poin dalam Konstitusi Liturgi (Sacrosantum Concilium), mereka menyebutkan bahwa pembudayaan iman itu perlu dan mendesak untuk diterapkan. Perlu dicermati bahwa dalam poin ini mereka menyebutnya dengan istilah pembudayaan iman bukan dengan sebutan inkulturasi. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan Sacrosantum Concilium no. 37 berikut: “Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan segenap jemaat, Gereja dalam Liturgi pun tidak ingin mengharuskan suatu keseragaman yang kaku. Sebaliknya Gereja memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhayul atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya dalam keadaan baik dan utuh. Bahkan ada kalanya Gereja menampungnya dalam Liturgi sendiri, asal saja selaras dengan hakikat semangat Liturgi yang sejati dan asli.” Meskipun tidak gamblang menyebut inkulturasi, Konstitusi Liturgi di atas pada dasarnya menekankan bahwa Gereja tidak boleh mengikatkan diri kepada satu kebudayaan tertentu (Stolk, 1995:63). Artinya Gereja mesti terbuka dan bahkan harus bertumbuh sesuai dengan konteks umat yang menerima iman akan Kristus. Dengan kata lain, kehidupan Gereja mengharuskan adanya inkulturasi guna menumbuhkan iman sesuai konteks umat. Melengkapi penjelasan Sacrosanctum Conscilium, salah satu Dokumen Konsili Vatikan II lainnya yakni Dekrit Tentang Kegiatan Misioner Gereja (Ad Gentes) menyebutkan bahwa Gereja dan iman perlu dihidupi sesuai dengan konteks kebudayaan umatnya (iman memerlukan penyesuaian) karena kebudayaan tersebut tidak dipertentangkan dengan iman, melainkan 84 Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia dimurnikan melalui iman yang dibawa oleh Gereja. Dokumen ini dengan lugas menyebutkan bahwa apa pun yang baik, yang terdapat dalam hati dan budi orang-orang, atau dalam adat-kebiasaan serta kebudayaan-kebudayaan khas para bangsa: disembuhkan, diangkat dan disempurnakan oleh Gereja demi kemuliaan Allah (AG 9). Dalam rumusan yang kedua ini, para Bapa Konsili juga belum menggunakan istilah inkulturasi. Mereka menyebut pembudayaan iman dengan istilah penyesuaian dengan konteks dan budaya umat di mana Gereja itu bertumbuh. Meski demikian yang dimaksudkan dengan penyesuaian selalu bergandengan dengan inkulturasi bahkan inkulturasi adalah hal yang lebih mendalam dari penyesuaian. Harus diakui, penggunaan kata penyesuaian dalam dokumen-dokumen ini tidak sama dengan inkulturasi. Halnya terjadi karena inkulturasi lebih dari sebatas penyesuaian atau adaptasi. Selain itu, penggunaan kata adaptasi mengandaikan ada yang dikorbankan, entah itu iman yang dibawa oleh Gereja atau budaya umat, di mana iman itu diterima. Artinya, jika ada ajaran iman yang bertentangan dengan kebudayaan umat, maka akan ada opsi memaksakan iman dan membuang sebagian dari kekayaan budaya, atau memilih budaya dan merelakan ajaran iman itu dieliminasi. Kedua opsi ini memiliki konsekuensi yang besar, yakni yang satu membuat iman masuk dalam diri umat namun merasa asing dengannya, sedangkan yang lain membuat iman kehilangan autentisitasnya. Konsekuensi ini, membuat penggunaan kata adaptasi menjadi kurang tepat bila dikenakan dalam konteks pembudayaan iman. Satu-satunya yang tepat ialah inkulturasi, sebab di sanalah pengintegrasian iman dan budaya terjadi. Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sejak pendirian Gereja hingga Konsili Vatikan II istilah inkulturasi belum dikenal dalam Gereja, meskipun telah diterapkan. Dalam sejarahnya, istilah inkulturasi digunakan pertama kali pada tahun 1962 oleh Joseph Masson. Istilah ini kemudian digunakan dalam bidang misiologi oleh G. L. Barney pada tahun 1973. Barney mengatakan bahwa “di tanah misi nilai-nilai Injil yang mengatasi kultur dan yang mau diwartakan kepada orang-orang setempat, haruslah diinkulturasikan dalam budaya orang setempat, sehingga dapat terbentuk satu budaya baru yang bersifat Kristen.” Istilah inkulturasi kemudian digunakan dalam Kongres Jenderal Yesuit pada tahun 1974/1975, dalam kaitannya dengan daya upaya yang dilakukan Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 85 oleh para Misionaris Serikat Yesus dalam misinya ke daerah-daerah lain. Dari sana, istilah ini terus berkembang dan digunakan pula dalam sinode para uskup di Roma pada tahun 1977, yang membahas tentang katekese dan inkulturasi (Banawiratma, 1995:19). Sinode ini mengeluarkan naskah ‘Pesan kepada Umat Allah’ yang menyerukan agar warta dan iman Kristiani mesti berakar dalam kebudayaan-kebudayaan umat yang menerimanya dan untuk itu penyampaian pesan tersebut mesti sanggup untuk tidak hanya memengaruhi kebudayaan umat melainkan juga harus menerima hal-hal tertentu dari kebudayaan-kebudayaan yang ada, terutama yang mendukung pengakaran iman. Berikut adalah pendapat pembesar umum Serikat Yesus, Pedro Arrupe (dalam Banawiratma, 1995:19) dalam sinode tersebut. Inkulturasi terjadi kalau hidup beriman digerakkan sungguh-sungguh oleh Roh Kudus. Yesus Kristus adalah Juru Selamat bagi semua orang dengan semua kebudayaan mereka. Inkulturasi merupakan dialog terus-menerus antara Sabda Allah, termasuk iman, dengan manusia dalam banyak segi dan cara kehidupannya.” Sampai pada titik ini, inkulturasi sudah semakin dikenal secara universal dan tumbuh kesadaran untuk menerapkannya. Gereja universal secara resmi menggunakan istilah inkulturasi berkat Paus Yohanes Paulus II. Bapa Suci menggunakan istilah ini dalam ensiklikensiklik (Slavorum Apostoli dan Redemptoris Missio) dan anjuran apostoliknya (Catechesi Tradendae). Dalam anjuran Catechesi Tradendae ia menghubungkan istilah inkulturasi dengan inkarnasi dan katekese. Menurutnya, inkarnasi merupakan sebuah bentuk inkulturasi di mana Kristus menghadirkan diri dalam konteks sosio-budaya masyarakat tertentu, masyarakat Yahudi. Dengan bersandar pada misteri inkarnasi, beliau berpendapat bahwa hal yang sama juga mesti terjadi dalam katekese sebagai sarana pewartaan iman. Katekese mesti membudaya karena menggunakan metode, sarana dan nilai-nilai dari adat kebiasaan atau cara hidup setempat untuk menjelaskan, memahami dan menghayati misteri keselamatan yang diwujudkan oleh Yesus Kristus. Dengan demikian iman yang diwartakan melalui katekese dapat diterima dengan mudah oleh umat. Hal ini selaras dengan pandangan Yohanes Paulus II tentang inkulturasi yakni inkarnasi Injil dalam pelbagai kebudayaan yang otonom dan sekaligus memasukkan kebudayaan-kebudayaan tersebut ke dalam kehidupan Gereja atau merupakan transformasi mendalam dari nilai86 Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia nilai budaya, yang diintegrasikan ke dalam kristianitas dan penanaman kristianitas ke dalam aneka budaya manusia. Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa lewat inkulturasi Injil dan kebudayaan terintegrasi. Hal ini diterangkannya dalam Ensiklik Redemptoris Missio no. 52 ringkasnya berbunyi: “The process of the Church’s insertion into peoples’ cultures is a lengthy one. It is not a matter of purely external adaptation, for inculturation means the intimate transformation of authentic cultural values through their integration in Christianity and the insertion of Christianity in the various human cultures.” Penggunaan oleh Paus Yohanes Paulus II inilah yang menandai puncak penggunaan istilah inkulturasi Gereja. Dari sini pula bermula penerapan inkulturasi oleh Gereja terutama dalam Gereja-Gereja lokal. Perlu dipahami bahwa inkulturasi yang dimaksud bukan hanya menyangkut hal-hal lahiriah, melainkan lebih pada usaha untuk menjiwai kebudayaan dengan semangat iman Kristianidan dengannya iman itu berakar dalam diri umat. Pokok yang dapat disimpulkan dari pembahasan mengenai sejarah inkulturasi dan penggunaan istilah inkulturasi dalam Gereja ialah bahwa inkulturasi telah berlangsung sejak awal dalam kehidupan Gereja dan Gereja mesti menyatu dengan kebudayaan di mana ia dibangun demi pengakaran iman. Inkulturasi adalah sesuatu yangharus dilakukan Gereja. Tanpa inkulturasi iman tidak akan bertumbuh dengan subur. Ketiadaan inkulturasi berpotensi menumbuhkan perasaan keterasingan umat akan imannya, terutama jika iman telah didandani kebudayaan lain. Dasar-Dasar Teologis Penerapan Inkulturasi Pelaksanaan inkulturasi dalam Gereja muncul bukan terutama karena konteks zaman maupun tuntutan pewartaan semata. Inkulturasi sebenarnya telah lama berkembang dalam Gereja, sejak Gereja itu ada dan bahkan sejak Kristus menjelma menjadi manusia. Adapun dasar-dasar teologis pelaksanaan inkulturasi dalam Gereja ialah sebagai berikut. Pertama, peristiwa Inkarnasi. Dalam peristiwa Inkarnasi, Allah menjadi manusia (bdk. Luk 1: 26-38), sebenarnya telah terkandung inkulturasi. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 87 Melalui Inkarnasi, Allah menerima, memakai dan mengangkat seluruh segi kehidupan manusia dengan segenap kebudayaannya sebagai medan pertemuan dan komunikasi manusia dengan diri-Nya (Martasudjita, 2005: 137). Melalui inkarnasi, Allah sebenarnya menginkulturasikan diri ke dalam budaya manusia, khususnya budaya Yahudi. Masuknya Allah dalam realitas manusia menunjukkan bahwa Allah pertama-tama menyatukan diri dengan situasi konkret hidup manusia dan kemudian mengangkat mereka dalam sebuah relasi yang intim dengan-Nya melalui iman. Peristiwa Inkarnasi menunjukkan bahwa Allah hendak menyucikan kebudayaan manusia dan menjadikannya sebagai sarana yang akan mengantar manusia kepada-Nya. Hal ini ditopang pendapat Paus Yohanes Paulus II dalam Catechesi Tradendae yang menggarisbawahi inkarnasi sebagai sebuah bentuk inkulturasi, di mana Kristus menghadirkan diri dalam konteks sosio-budaya masyarakat tertentu, untuk kemudian menjiwainya dan mengangkat manusia lengkap dengan segala kebudayaannya kepada-Nya. Kenyataan bahwa Allah, melalui Kristus, menjelma menjadi manusia mengingatkan keharusan adanya inkulturasi. Jika Kristus, sebagai mempelai Gereja, telah lebih dahulu menginkulturasikan diri, dari sendirinya Gereja yang adalah mempelai-Nya mengarah ke sana. Dengan kata lain, penerapan inkulturasi menjadi mungkin karena adanya peristiwa inkarnasi yakni penginkulturasian diri Allah dalam kebudayaan dan realitas hidup manusia. Kedua, Misteri Paskah. Misteri Paskah memang merupakan penebusan manusia dari dosa oleh Allah melalui Yesus Kristus. Tetapi penebusan tersebut sebenarnya mencakup seluruh dimensi hidup manusia termasuk kebudayaannya. Penebusan dalam peristiwa Paskah turut menebus kebudayaan manusia. Melalui Paskah, Yesus menyucikan seluruh ruang kehidupan manusia termasuk kebudayaannya (Martasudjita, 2005:137). Pemurnian dan penyucian kebudayaan inilah yang juga memungkinkan adanya inkulturasi sebagai jalan pembudayaan iman. Alasannya jelas yakni penebusan oleh Allah menjadikan kebudayaan sebagai sarana pengungkapan iman. Dengan iman yang melekat pada kebudayaan yang ditebus, manusia masuk dalam kesucian dan dengan cara yang sama mereka juga akan semakin berakar dalam iman. Ketiga, Misteri Pentakosta. Hadirnya Roh Kudus dalam Pentakosta (Kis 2: 1-12) merupakan penanda keharusan inkulturasi dalam Gereja. Hal ini tampak dalam Peran Roh Kudus yang memampukan para murid berbicara 88 Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia dalam pelbagai bahasa (Kis 2:4). Penggunaan bermacam-macam bahasa mengisyaratkan agar pewartaan mesti melibatkan suatu dimensi kebudayaan. Pewataan iman yang melibatkan sisi kebudayaan ini terjadi dalam inkulturasi. Melalui inkulturasi semua orang dapat memahami Sabda Allah yang diwartakan dan melaluinya pula mereka diantar pada iman yang kokoh akan Kristus. Pada titik ini inkulturasi memampukan orang untuk membuka diri dan hati bagi Karya Keselamatan Allah. Mengenai keterbukaan untuk menerima pewartaan atau dalam bahasa Lukas (penulis Kisah Para Rasul) ‘orang-orang yang menerima pewartaannya itu memberi diri dibaptis’ (Kis 2: 41) ini, E. Martasudjita (2005:138) mengatakan berkomentar demikian: “Keterbukaan hati dan kesediaan diri untuk dibaptis menunjukkan bahwa segala bangsa dengan segala kebudayaannya adalah orangorang yang memiliki kerinduan hati akan berita keselamatan Allah melalui Yesus Kristus. Dengan kata lain, segala bangsa, dengan segala kebudayaannya, memiliki kesesuaian dengan Injil Yesus Kristus berkat karunia Roh Kudus. Roh kudus itulah yang membagikan dan menghadirkan Karya Keselamatan Allah kepada setiap orang.” Bila ditelisik lebih jauh, pernyataan ini menekankan sisi inkulturasi yang selalu dijiwai oleh Roh Kudus. Berkat Roh Kudus, inkarnasi menjadi berdaya guna yakni menjadikan iman akan Kristus itu ada dan mengakar dalam diri umat yang berasal dari beragam kebudayaan. Uraian di atas menegaskan kemutlakan penerapan inkuluturasi dalam Gereja. Memang tidak dapat dimungkiri bahwa pelaksanaan inkulturasi selalu mendapat tantangan. Salah satunya adalah umat atau Gereja itu sendiri yang tidak mau kehilangan imannya yang otentik. Penjelasan tentang dasardasar teologis ini sekiranya membuka wawasan umat akan arti dan alasan pelaksanaan inkulturasi dalam Gereja. Makna Inkulturasi Dewasa ini, upaya inkulturasi masif dilakukan dalam Gereja terutama oleh Gereja-Gereja lokal seperti halnya Gereja Indonesia. Di saat yang sama pemahaman anggota Gereja terhadap inkulturasi masih kurang. Ketika umat ditanya mengenai apa itu inkulturasi, mereka hanya fokus pada hal-hal Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 89 lahiriah. Contohnya saat ditanya mengenai apa itu misa inkulturasi umat akan menerangkannya sebagai suatu Perayaan Ekaristi yang melibatkan kekayaan budaya setempat semisal imam menggunakan pakaian adat (Sarjan: dalam adat jawa), nyanyian misa dinyanyikan dalam bahasa daerah dan adanya tari-tarian dalam ritus tertentu (Martasudjita, 2006:176). Pemahaman demikian tidak sepenuhnya salah, tetapi dari sendirinya menghilangkan alasan mendasar diadakannya inkulturasi dalam Gereja. Artinya bahwa inkulturasi tidak lagi dipandang sebagai sarana agar umat memiliki iman yang kokoh, melainkan hanya upaya memasukan nuansa budaya dalam ritus dan pelayanan Gereja. Pemahaman semacam ini perlu diluruskan. Dalam KBBI, kata inkulturasi dipadankan dengan kata enkulturasi yang artinya pembudayaan. Jika ditarik dari pengertiaan ini dapat dikatakan bahwa inkulturasi (dalam Gereja) adalah pembudayaan hidup menggereja atau iman gereja. Pengertian ini sekiranya belum lengkap sebab tidak mencakup semua kekayaan makna dan pemaknaan inkulturasi dalam Gereja. Oleh karena itu berikut akan diberikan beberapa definisi inkulturasi baik yang diberikan oleh dokumen Gereja maupun oleh tokoh-tokoh yang punya perhatian dalam bidang inkulturasiGereja. Pertama, menurut Paus Yohanes Paulus II. Dalam ensiklik Redemptoris Missio art. 52 Paus Yohanes Paulus II mendefinisikan inkulturasi sebagai sebuah proses transformasi intim dari nilai-nilai budaya otentik melalui integrasi mereka dalam agama Kristen dan penyisipan agama Kristen dalam berbagai budaya manusia (The intimate transformation of authentic cultural values through their integration in Christianity and the insertion of Christianity in the various human cultures). Defenisi ini merujuk pada pemahaman bahwa inkulturasi adalah upaya menyatukan iman Gereja dengan kebudayaan di mana ia berkembang. Inkulturasi dipandang sebagai suatu pengintegrasian pengalaman Kristiani ke dalam kebudayaan setempat sedemikian rupa, sehingga pengalaman tersebut tidak hanya mengungkapkan diri di dalam unsur-unsur kebudayaan bersangkutan, melainkan juga menjadi kekuatan yang menjiwai, mengarahkan dan memperbarui kebudayaan bersangkutan dan dengan demikian menciptakan suatu kesatuan dan ‘communio’ baru, tidak hanya di dalam kebudayaan tersebut, melainkan mencakup juga Gereja sejagat. Tujuan inkulturasi yang demikian ialah agar umat mudah menerima pewartaan Gereja dan mampu berakar dalam imannya. Ini bisa diwujudkan 90 Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia melalui inkulturasi karena di dalamnya apa yang dibawa Gereja begitu dekat dengan umat dan bukan merupakan kebudayaan daerah lain. Inkulturasi oleh Gereja juga dapat menyucikan dan memurnikan kebudayaan umat, sehingga menjadi sarana yang layak bagi pemuliaan Allah. Kedua, Martasudjita. Martasudjita (2005:131) mendefinisikan inkulturasi sebagai suatu proses yang terus-menerus, dalam mana Injil diungkapkan ke dalam suatu situasi sosio-politis, religius-kultural dan sekaligus Injil itu menjadi daya dan kekuatan yang mengubah serta mentransformasikan situasi dan kehidupan orang-orang setempat. Martasudjita memaksudkan bahwa dengan mengadakan inkulturasi, semangat injili dan iman yang dibawa Gereja masuk dalam realitas masyarakat setempat dan menjadi semacam roh yang menghidupkan budayanya. Singkatnya, iman mengakar dan membudaya dalam diri umat serta di saat yang sama kebudayaannya dimurnikan. Pemurnian ini menjadikan kebudayaan sebagai sarana pengungkapan iman akanAllah. Ketiga, menurut Petrus Maria Handoko. Definisi Handoko tidak jauh berbeda dengan pendapat sebelumnya. Menurut Handoko (2012), inkulturasi berarti usaha-usaha Gereja untuk menghayati iman Katolik yang diungkapkan dalam kekhasan dan kekayaan setiap budaya. Budaya-budaya tersebut tidak hanya digunakan sebagai pakaian luar atau “bedak”, tetapi masuk dan menyentuh nilai-nilai khasnya yang diangkat dan disempurnakan dalam penghayatan iman. Tujuan inkulturasi menurut beliau ialah terjadinya persenyawaan antara iman Katolik dan nilai-nilai luhur budaya, sehingga pernyataan iman menyatu dalam ungkapan-ungkapan budaya. Handoko mengartikan inkulturasi dalam Gereja sebagai saat di mana iman dan Gereja masuk dalam budaya tertentu dan kemudian menyatu dengannya. Dari beberapa definisi di atas, inkulturasi dapat dikatakan sebagai sebuah peristiwa masuk dan meresapnya iman ke dalam konteks umat, terutama realitas budayanya. Inkulturasi dilakukan agar iman diterima, dihidupi serta mengakar dan menjiwai kehidupan konkret umat termasuk kebudayaannya. Definisi ini memuat tiga hal penting yaitu: a) Inkulturasi bukan hanya soal pengungkapan iman Gereja universal dalam tata cara budaya tertentu, melainkan mencakup penghayatan hidup konkret yang secara mendasar diubah dan ditransformasikan oleh Injil Kristus yang diimani. Inkulturasi tidak hanya tampak di luar, Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 91 melainkan mesti terpancar dalam hidup nyata umat beriman. Perwujudan inkulturasi hendaknya mendorong umat makin beriman, memandang ritus-ritus budayanya dari sudut pandang iman dan menggunakannya sepenuh-penuhnya untuk memuji Allah dan menyerupai Kristus dalam segala hal. b) Inkulturasi membutuhkan penghayatan iman. Perayaan atau bentuk pelayanan Gereja yang diwarnai budaya tidak hanya mendekatkan orang dengan budayanya sendiri, melainkan mesti membentuk umat agar matang dan dewasa dalam iman. Dalam misa inkulturasi misalnya, umat mestinya tidak hanya sampai pada penggunaan bahasa daerah dan busana adat. Maksudnya melalui instrumen yang ada mereka harusnya semakin sadar dan matang dalam (ber)iman. Bukti kematangan iman ini misalnya ditunjukkan dengan mengikuti Perayaan Ekaristi secara pantas, menaruh kepercayaan penuh pada kehadiran Kristus dalam rupa Roti Anggur dan dalam perayaan yang ada mampu mewujudkan persekutuan dengan Allah dan sesama. c) Inkulturasi mencakup proses transformasi budaya yang didorong, diarahkan dan dijiwai oleh Injil dan iman akan Kristus. Artinya budayabudaya yang ada dan diterapkan mesti berakar pada Injil dan iman. Arti Pembudayaan Iman dalam Konteks Inkulturasi Gereja Indonesia Iman harus membudaya (Pareira, 2012:29). Artinya iman mesti masuk dan mengakar dalam diri penerimanya. Pernyataan ini mengandung pemahaman mengenai apa itu pembudayaan iman. Pembudayaan iman ringkasnya adalah proses masuknya iman dalam budaya dan melaluinya iman mengakar atau menjadi semacam budaya baru yang dihidupi umat. Dalam Gereja Katolik, termasuk Gereja Indonesia, pembudayaan iman diwujudkan melalui inkulturasi. Pembudayaan iman dalam konteks inkulturasi oleh Gereja Indonesia adalah upaya memasukan iman dalam kebudayaan sekaligus menarik hal-hal tertentu dari padanya. Tujuannya agar iman mampu diterima dan mengakar pada umat melalui penghayatan konkretnya. Pembudayaan iman oleh dan dalam Gereja Katolik Indonesia bukan hanya soal terbangunnya budaya baru dalam kerangka iman, tetapi bagaimana kebudayaannya yang beragam menjadi jalan bagi pengungkapan iman dalam kehidupan konkret. Inkulturasi sangat dibutuhkan di Indonesia 92 Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia yang beragam, plural atau lebih jelasnya multikultural, karena melaluinya iman di Gereja lokal (keuskupan) akan bertumbuh. Inkulturasi menjadikan iman tidak bertentangan dengan kebudayaan masyarakat dan lebih jauh mencegah penyeragaman yang kadangkala membuat umat merasa terasing dari imannya sendiri. Penyeragaman di sini misalnya penggunaan lagu-lagu bernuansa Jawa di seluruh Indonesia. Hal ini tentu dapat menimbulkan persoalan bagi umat kebudayaan lain (luar Jawa) yang memiliki corak nyanyian khas, semisal umat di Flores. Bidang dan Langkah Penerapan Inkulturasi di Indonesia a. Bidang Persaudaraan (Koinonia) Kisah Para Rasul dengan jelas melukiskan kehidupan Jemaat Kristen Perdana yang hidup sehati sejiwa, berkumpul untuk memecahkan roti dan menjual kepunyaan mereka demi kepentingan bersama. Kehidupan Jemaat Perdana ini menunjukkan adanya persekutuan diantara mereka yang terwujud karena Kristus hadir di dalamnya (Banawiratma, 1995:23). Praksis hidup Jemaat Kristen Perdana tentu tidak lahir begitu saja. Adanya persekutuan sebagai pengamalan ajaran Kristus pertama-tama terjadi karena penyertaan Roh Kudus dan kemudian karena umat merasa dekat dengan apa yang disabdakan Injil. Perasaan ini tumbuh ketika iman hadir dalam wujud yang dapat diterima. Dalam hal inilah inkulturasi berperan. Melalui inkulturasi, umat dengan berbagai kebudayaan merasa dekat dengan iman, karena iman menghadirkan diri dalam budaya yang mudah dipahami dan diterima. Peran inkulturasi ini terlihat jelas dalam umat Kristen di Yunani, yang mana dalam membentuk persekutuan berlandaskan iman, mereka tetap mempertahankan budaya aslinya terutama bahasa. Mereka menggunakan produk budaya tersebut untuk membangun persekutuan dengan sesamanya. Selain dalam Jemaat Kristen Yunani, hal serupa juga terjadi dalam diri umat Kristen Yahudi di mana mereka berhasil membentuk persekutuan yang kuat karena budaya Yahudi juga ada disana. Contohnya ialah kebiasaan makan bersama, berkumpul dan memecahkan rotidalam Jemaat Perdana telah lebih dahulu ada dalam kebudayaan Yahudi (bdk. Kis. 2:41-47). Dalam perkembangan Gereja Indonesia, inkulturasi bidang persekutuan sangat tampak. Ajaran Kristus untuk hidup sehati sejiwa Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 93 misalnya dengan mudah diterima ketika ia dimasukkan dalam budaya gotong-royong yang telah berkembang dalam diri umat. Pengakaran iman dalam gotong royong ini terwujud dalam penghayatan iman konkret umat semisal dengan membantu umat yang kesusahan, gotong royong membangun tempat ibadah, dan berbagai aksi lainnya. b. Bidang Pewartaan (Kerygma) Kehidupan Gereja lahir dari Peristiwa Sabda (1Ptr 1:23), berkembang karena Pewartaan Sabda, dan merupakan jawaban manusia atas Peristiwa Sabda (Pareira, 2012:32). Kehidupan Gereja yang bersandar pada Pewartaan Sabda menunjukkan peran penting pewartaan dalam Gereja. Peran ini mewujud dalam penyebarluasan Injil dan Karya Keselamatan yang dibawa Kristus. Karena pewartaan memiliki peran esensial dalam memberitakan Injil dan Karya Keselamatan Allah, sudah selayaknya jika hal tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tepat. Sasarannya tentu agar pewartaan tentang Karya Allah mudah diterima dan dicerna umat. Kemampuan umat menerima pewartaan memungkinkan kelahiran Gereja di tempat yang baru. Merealisasikan tujuan ini tidaklah mudah sebab pewartaan selalu melibatkan si pewarta dan yang menerima pewartaan. Kedua tokoh yang terlibat dalam pewartaan ini tentu memiliki budaya dan situasi sosialnya masing-masing. Mengatasi perbedaan yang ada, dalam memberi kesaksian tentang Injil seorang pewarta harus bertitik tolak dari budaya si penerima Kabar Gembira. Ketika pewarta dapat masuk dalam situasi setempat, dengan sendirinya Injil dan iman yang diberitakannya bisa diterima dan dihidupi. Hal-hal di atas mendapat tempatnya dalam inkulturasi. Dengan inkulturasi seorang pewarta masuk dalam kebudayaan tertentu dan menggunakan produk kebudayaan tersebut untuk menyampaikan Kabar Gembira yang dibawanya. Inkulturasi dalam bidang pewartaan ini ditunjukkan pertama-tama melalui penggunaan bahasa daerah setempat oleh si pewarta. Para misionaris awal di Indonesia misalnya berusaha untuk menggunakan Bahasa Indonesia atau pun bahasa daerah seperti Bahasa Jawa dalam mewartakan Injil. Selain penggunaan bahasa, inkulturasi dalam konteks pewartaan juga ada dalam wujud lain seperti dalam katekese. Mengikuti seruan 94 Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia Yohanes Paulus II dalam Catechesi Tradendae, para pewarta hendaknya sebisa mungkin menggunakan instrumen budaya dalam berkatekese, sehingga pewartaannya mampu diterjemahkan umat dalam kehidupan konkret. Cara yang samamembuat iman yang diwartakan dapat memurnikan budaya dan mengangkatnya menjadi sarana pemuliaan Tuhan. Contoh penggunaan instrumen budaya dalam katekese ditunjukkan oleh Keuskupan Ruteng, Flores. Gereja Keuskupan Ruteng melakukan katekese yang disebut katekese Lonto Leok (duduk bersama). Dalam katekese ini umat membahas persoalan seputar iman melalui tahap yang disebut pembeberan dan pendalaman masalah dalam terang kebajikan Kristen (Habur, 2016:222). Kedua tahap ini dilakukan guna menemukan jalan keluar dari masalah yang dihadapi atau pun menemukan solusi untuk mencegahnya. c. Bidang Perayaan Iman (Leitourgia) Sebelum Konsili Vatikan II perayaan liturgi Gereja Katolik terkesan kaku. Ini tampak dalam keharusan untuk merayakan Ekaristi dengan bahasa dan ‘nuansa’ Latin. Pelaksanaan upacara liturgis dalam nuansa budaya lain membuat umat kesulitan, terutama jika tidak dapat memahami arti bahasa atau makna setiap rumusan liturgis yang ada. Dampaknya umat mengikuti perayaan dengan kehampaan dan belum masuk sungguh-sungguh dalam misteri yang dirayakan dan dalam iman itu sendiri. Persoalan seperti inilah yang mengharuskan adanya inkulturasi, sebab melalui inkulturasi, iman itu dirayakan dalam nuansa budaya setempat, sehingga umat mudah masuk dalam misteri yang dirayakan dan pada akhirnya dengan mudah menerjemahkan imannya dalam kehidupan sehari-hari. Inkulturasi bidang liturgi di Indonesia semakin berkembang terutama mewujud dalam adanya Misa Inkulturasi. Misa inkulturasi terbuka untuk dimasuki unsur-unsur budaya dalam ritus-ritusnya, asalkan tidak bertentangan dengan kaidah Gereja Universal.Model inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi (liturgi) di Indonesia tampak dalam penggunaan bahasa daerah (semisal Bahasa Jawa, Manggarai, dan Kalimantan) selama perayaan berlangsung, adanya tarian pada ritus tertentu dan penggunaan busana adat. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 95 Upaya inkulturasi ini penting agar umat mampu meghayati iman dengan lebih baik. Hanya perlu ditegaskan agar inkulturasi yang dilaksanakan tidak hanya terbatas pada segi lahiriah semata, melainkan harus sampai pada penghayatan iman secara konkret. Langkah Penerapan Inkulturasi Menurut Martasudjita penerapan inkulturasi dalam Gereja Indonesia dilakukan dalam empat tahap, yakni tahap pengambil alihan (imposition), penerjemahan, penyesuaian, dan inkulturasi (Martasudjita, 2005:130). Akan tetapi dalam pembahasan ini penulis akan menyatukan tahap inkulturasi dengan tahap penelanjangan iman dari pengaruh budaya asing dan pengenaan busana baru padanya sesuai konteks budaya setempat. Penyatuan ini terjadi karena inkulturasi lahir dari ‘penelanjangan’ iman tanpa menghilangkan keasliannya. a. Pengambil Alihan (Imposition) Menurut Martasudjita imposition adalah tahap di mana orang mengambil alih atau menggunakan begitu saja rumusan iman atau teksteks yang berhubungan dengannya sesuai rumusan asalinya (Martasudjita, 2005:130). Tahap pertama ini tampak dalam perayaan atau teks-teks iman sebelum Konsili Vatikan II di mana semua yang berkaitan dengan iman dan pengungkapannya tetap menggunakan Bahasa Latin. Tahap yang pertama ini sebetulnya belum bisa dikategorikan dalam tahap inkulturasi, meskipun tetap mengarah ke sana, karena umat masih menggunakan produk budaya lain seperti halnya bahasa. Meski demikian, yang patut diperhatikan ialah penghayatan umat dalam mengikuti upacara yang bernuansa asing itu tentu memiliki kekhasan tersendiri yang senada dengan kebudayaannya. Perayaan iman yang dilakukan orang Indonesia tidak mungkin persis nuansanya dengan yang dirayakan umat bangsa lain kendati keduanya menggunakan bahasa atau rumusan yang sama. b. Penerjemahan Penerjemahan adalah tahap yang lebih mendalam dari pengambilalihan. Pada tahap ini iman dengan segala rumusannya mulai diterjemahkan ke dalam konteks budaya setempat. Gereja Indonesia melaksanakan tahap ini dengan menerjemahkan bahasa-bahasa liturgis ke Bahasa 96 Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia Indonesia atau bahasa daerah di mana Gereja itu ada dan berkembang. Penerjemahan juga tampak dalam pelaksanaan karya pewartaan dan persekutuan yang menggunakan aneka kearifan lokal suatu masyarakat. Contohnya katekese ala Lonto Leok dalam Gereja Katolik Manggarai dan perwujudan persekutuan yang kuat antarumat melalui gotong-royong. Dalam penerjemahan, iman belum sepenuhnya meresap ke dalam diri umat, kendati mereka mulai mengerti dan memahami arti rumusan iman yang diungkapkannya. Alasannya dalam penerjemahan hanya ada pengalihan rumusan agar mudah dicerap umat dan belum sampai pada penyesuaian-penyesuaian yang membuat iman itu meresap secara mendalam dalam diri dan kebudayaan umat Gereja Lokal. c. Penyesuaian Penyesuaian (adaptation) adalah langkah yang lebih maju ketimbang penerjemahan (Martasudjita, 2005:139). Istilah adaptasi dalam pembudayaan iman telah lama digemakan Gereja terutama dalam Konsili Vatikan II saat Gereja mulai terbuka dengan dunia dan segala kekhasannya. Penyesuaian dalam tahapan inkulturasi ditunjukkan dengan penerimaan bagian-bagian tertentu dari budaya yang selaras dengan iman atau dalam konteks inkulturasi liturgi sejalan dengan semangat dan keaslian liturgi itu sendiri. Contoh pelaksanaan penyesuaian ialah adanya tarian pada ritus tertentu dalam Misa, menyanyikan nyanyian liturgi menurut nuansa musik daerah, penggunaan pakain adat dalam perayaan iman, pelaksanaan pewartaan yang sesuai konteks masyarakat seperti katekese Lonto Leok dalam Gereja Manggarai dan penggunaan rumusan adat dalam upacara iman semisal penggunaan Torok ketika perarakan persembahan dalam Misa di Gereja Manggarai. Meskipun lebih maju dari penerjemahan, penyesuaian memiliki arti yang hampir sama dengannya dan belum menjangkau hakikat inkulturasi. Sama seperti penerjemahan, penyesuaian lebih berat ke aspek lahiriah semata. Penyesuaian menyibukkan diri dengan mempertimbangkan hal mana yang mesti diterima atau ditolak. Hal ini memunculkan pengaburan arti inkulturasi. Inkulturasi disempitkan pada adanya nuansa budaya dalam iman. Dengan kata lain, budaya tidak menjadi sarana pengungkapan iman dan praksisnya tidak lagi dijiwai iman. Budaya dipandang sebagai yang mendasari iman bukan sebaliknya. Inilah pandangan keliru yang lahir dari penyesuaian. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 97 d. Penelanjangan dan Pemakaian Busana Baru pada Iman: Inkulturasi Iman yang diwartakan dan sampai ke tengah-tengah umat di Indonesia mendapat pengaruh budaya lain khususnya budaya Eropa. Contoh pengaruh ini nyata dalam gaya bangunan tempat ibadah, model pakaian liturgi dan lain sebagainya. Kenyataan ini tidak mengherankan karena iman dan Gereja lebih dahulu membudaya di Eropa(Pareira, 2012:31). Dalam menghadapi persoalan inilah tahap penelanjangan iman dari pengaruh budaya asing berperan. Dengan penelanjangan iman dari budaya lain, Gereja Indonesia berusaha melepaskan diri dari pengaruh kultur Eropa. Penelanjangan iman artinya iman itu dilepaskan dari embel-embel kebudayaan lain, tanpa menghilangkan keasliannya, dan kemudian Gereja di tempat yang baru mengenakan pada iman busana baru yang sesuai dengan adat dan tata cara kebudayaannya. Menurut penulis dalam tahap penelanjangan iman inilah inkulturasi terwujud. Hal ini terjadi karena penelanjangan iman dari budaya asing dan pengenaan busana baru padanya mengarah ke tujuan inkulturasi yakni agar iman itu mengakar, membudaya, menjiwai kebudayaan dan tampak dalam penghayatan konkret. Dengan demikian, inkulturasi identik dengan penelanjangan iman dan sebaliknya penelanjangan iman identik dengan inkulturasi atau merupakan inkulturasi itu sendiri. Lebih dari tahap-tahap sebelumnya inkulturasi (penelanjangan iman dari busana budaya lain) tidak lagi terbatas pada hal lahiriah melainkan pada penyatuan antara iman dan budaya. Dalam inkulturasi budaya ditransformasikan ke dalam iman dan sebaliknya iman menjiwai ritus-ritus atau ungkapan kebudayaan secara menyeluruh. Berkat inkulturasi iman mampu dihayati dan mengakar dalam diri umat dan kebudayaannya. Penyatuan iman dan kebudayaan membuat Kristus dan sabda-Nya dapat dengan mudah diterima dan dicerna umat karena mereka merasa dekat dengannya. Sebagai yang mengalir dan tak terpisahkan dari penelanjangan iman, inkulturasi membuat iman meresap dan identik dengan corak budaya setempat tanpa kehilangan autentisitasnya. Sebagaimana Gereja Universal, prinsip utama inkulturasi di Indonesia adalah kesesuaian dengan Injil dan dalam persekutuan dengan Gereja Universal. Adapun ciri khas inkulturasi adalah unsur budaya setempat tetap tetapi roh dan maknanya diterangi iman dan Injil Kristus. Contoh 98 Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia perwujudan inkulturasi ialah upacara teing hang (acara penghormatan leluhur) dalam masyarakat Manggarai yang sebelumnya dipandang sebagai ‘penyembahan berhala’ kini telah dimasuki unsur iman. Hal ini tampak dalam tujuan diadakannya acara tersebut yakni berdoa kepada Tuhan melalui perantaraan mereka yang telah meninggal. Kepengantaraan leluhur ini dilukiskan dengan kata-kata: le meu koes podod ngger le ranga de Morin (kalianlah yang meneruskannya ke hadirat Tuhan). Pelaku Inkulturasi Dalam anjuran Catechesi Tradendae Paus Yohanes Paulus II sedikitnya menyentil (secara tak langsung) pihak yang terlibat dalam memperkenalkan sekaligus mendorong penerapan inkulturasi di tengah umat. Dalam berkatekese (baca: mewartakan iman akan Allah) kita mesti menggunakan metode, sarana dan nilai-nilai dari adat kebiasaan atau cara hidup setempat untuk menjelaskan, memahami dan menghayati misteri keselamatan yang diwujudkan oleh Yesus Kristus. Pernyataan ini mengetengahkan bahwa yang menjadi agen utama inkulturasi adalah para katekis. Katekis, menurut, Mgr. Dr. Edmund Woga, CSsR adalah orang yang ikut ambil bagian secara khusus pada pelaksanaan perutusan yang disampaikan oleh Tuhan Yesus kepada para rasul, yakni tugas untuk mengajar (komkatkwi.org, 2019). Dikatakan khusus karena tugas ini sebenarnya menjadi tanggung jawab setiap anggota Gereja yang telah dikuduskan sekaligus ditugaskan oleh Allah untuk mewartakan Kabar Gembira atau iman Kristiani kepada semua bangsa. Mereka yang termasuk dalam ruang lingkup katekis atau pengajar iman adalah orang-orang yang dipilih dan dipanggil secara khusus oleh Allah. Dalam konteks Gereja Katolik peran mengajar ini pertamatama dilakukan para uskup dan oleh para imam. Peran keduanya sangat kentara dan dengan mudah ditemukan dalam sejarah Gereja. Selain dua kelompok ini, katekis juga mencakup mereka yang mengabdi secara khusus demi pewartaan dan pengajaran iman. Mereka yang termasuk dalam golongan ini adalah guru agama dan para pengajar iman sukarela. Di Indonesia, pengajaran iman pertama-tama dilakukan para misionaris dan kemudian pengajaran mereka ini mendapat dukungan yang berdaya guna dari guru-guru agama atau mereka yang kerap disebut katekis. Sejarah Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 99 Gereja Indonesia, tidak terkecuali di mana pun, berkembang dan mengakar terutama karena peran para guru agama dan katekis. Mereka adalah penerus karya pewartaan paramisionaris di lingkungan umat. Di berbagai Gereja lokal di Indonesia, guru agama mendapat tempat yang sentral karena merekalah yang menerjemahkan pengajaran para misionaris kepada umat. Sehubungan dengan inkulturasi, dalam Gereja Indonesia guru agama (katekis) memiliki peran besar dan menentukan. Merekalah yang mengadakan inkulturasi pertama kali (kepertamaan dalam penggunaan instrumen budaya lokal, mereka lebih ‘lihai’ dari misionaris asing) dengan cara membahasakan atau menjelaskan hal ihwal mengenai iman melalui instrumen kebudayaan setempat. Salah satu instrumen yang mereka gunakan adalah bahasa. Para guru agama dan katekis berusaha menjelaskan iman dengan bahasa lokalnya, sehingga iman yang diwartakan dapat dipahami dan diterima oleh umat. Terkait perannya ini, Redemptoris Missio (no. 73, Bab VI) menyebutkan: “Among the laity who become evangelizers, catechists have a place of honor. The Decree on the Missionary Activity of the Church speaks of them as “that army of catechists, both men and women, worthy of praise, to whom missionary work among the nations owes so much. Imbued with the apostolic spirit, they make a singular and absolutely necessary contribution to the spread of the faith and of the Church by their strenuous efforts” (Di antara kaum awam yang menjadi penginjil, para katekis mendapat tempat terhormat. Dekrit tentang Kegiatan Misionaris Gereja berbicara tentang mereka sebagai “pasukan katekis, baik pria maupun wanita, layak dipuji, kepada siapa pekerjaan misionaris di antara bangsa-bangsa berhutang begitu banyak. Dijiwai dengan semangat apostolik, mereka membuat satu kontribusi yang mutlak diperlukan untuk penyebaran iman dan Gereja melalui upaya keras mereka). Penegasan ini tentu saja berhubungan dengan inkulturasi karena ranah pengajaran mereka ada di sana, yakni mengajar dan mewartakan iman dengan memanfaatkan instrumen budaya (seperti bahasa). Pengajaran yang kontekstual-budaya membuat iman membudaya, menjadi bagian dari budaya yang dihidupi dalam kepercayaan penuh pada Allah. Melaluinya nilai-nilai luhur budaya yang sejalan dengan ajaran iman diangkat. 100 Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia Penjelasan ini menunjukkan bahwa pelaku inkulturasi dalam Gereja, terutama Gereja Indonesia,ialah para katekis atau pengajar iman, baik yang dipanggil secara khusus (imam dan uskup yang termasuk dalam hierarki) maupun mereka yang secara sukarela membaktikan diri demi pengajaran dan penjelmaan iman kepada umat, yakni guru agama. Penutup Pembudayaan iman dalam Gereja itu perlu, karena iman mesti dihidupi sesuai konteks umat termasuk budayanya dan mesti membudaya agar dapat mengakar dalam diri penerimanya. Dalam Gereja Katolik, pembudayaan iman dilakukan melalui inkulturasi. Inkulturasi adalah upaya menyatukan iman dan budaya dengan tujuan agar iman mengakar dan dihidupi dalam konteks budaya, iman menjiwai kebudayaan dan budaya menjadi aspek yang dapat menjadi sarana pengungkapan iman. Inkulturasi telah berkembang dalam Gereja sejak awal dan penerapannya memiliki dasar-dasar teologis. Dasar-dasar pelaksanaan inkulturasi dalam GerejaialahPeristiwa Inkarnasi, Paskah Kristus dan Peristiwa Pentakosta. Seperti Gereja di tempat lain, Gereja Indonesia juga mengusahakan adanya inkulturasi. Tujuannya agar iman dengan mudah diterima umat karena merasa dekat dengannya (iman hadir dalam kebudayaan mereka) dan agar iman mengakar, membudaya dan umat menjadikan kebudayaan sebagai salah satu ungkapan iman yang konkret. Inkulturasi dalam Gereja Indonesia (seperti dalam Gereja Universal) mencakup tiga bidang yakni persekutuan, pewartaan dan liturgi. Penerapan inkulturasi dalam tiga bidang ini dilakukan melalui lima tahap yaitu pengambil alihan, penerjemahan, penyesuaian dan penelanjangan budaya asing dan pemakaian busana baru pada iman (inkulturasi). Pelaku inkulturasi adalah anggota Gereja secara umum dan para katekis atau pengajar iman secara khusus seperti uskup, imam, guru agama dan pengajar iman (katekis) yang mengabdi secara sukarela. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 101 Daftar Pustaka Buku dan Jurnal B. Banawiratma, J. “Menjernihkan Inkulturasi.” Dalam Bina Liturgia I: Inkulturasi, disunting oleh Komisi Liturgi MAWI, 19-28. Jakarta: Obor, 1995. Manfred Habur, Agustinus. “Model Lonto leok Dalam Katekese Kontekstual Gereja Lokal Manggarai.” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Vol. 8 No. 2 (2016): 217-226. Mariyanto, Ernest. “Iman dan Kebudayaan.” Dalam Bina Liturgia I: Inkulturasi, disunting oleh Komisi Liturgi MAWI, 14-18. Jakarta: Obor, 1995. Martasudjita, E. “Misa Inkulturasi.” Dalam Liturgi Autentik dan Relevan, diedit oleh Bernardus B. Ujan & Georg Kirchberger, 175-191. Maumere: Ledalero, 2006. _____________.“Inkulturasi Gereja Katolik Di Indonesia.” Jurnal Studia: Philosophica et Theologica, Vol. 5 no. 2 (Oktober 2005): 127-145. Pareira Berthold, Anton. Mari Berteologi. Yogyakarta: Kanisius, 2012. Stolk, Harry C. “Inkulturasi: Menuju Epifani Gereja Di Indonesia.” Dalam Bina Liturgia I: Inkulturasi, disunting oleh Komisi Liturgi MAWI, 61-74. Jakarta: Obor, 1995. Dokumen Gereja Konsili Ekumenis Vatikan II. Konstitusi Tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Conscilium. Dalam Dokumen Konsili vatikan II. Penerj. R. Hardawiryana. Jakarta: Dokpen KWI-Obor, 1993. Konsili Ekumenis Vatikan II. Dekrit Tentang Kegiatan Misoner Gereja Ad Gentes. Dalam Dokumen Konsili Vatikan II. Penterj. R. Hardawiryana. Jakarta: Dokpen KWI-Obor, 1993. 102 Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia QUO VADIS KATEKIS: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput Vinsensius Rixnaldi Masut Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Pendahuluan Manusia adalah makhluk sosial. Ia selalu membutuhkan manusia lain untuk mewujudkan dirinya.Karena itu filsuf Yunani klasik, Aristoteles menjelaskan manusia adalah zoon politicon atau menurut Adam Smith, homo homini socius. Bahkan Yesus sendiri pun mengartikan kehadiran orang lain dalam societas sebagai tanda kehadiran-Nya: “Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20). Hal ini berarti orang lain adalah sesama yang kehadirannya patut dihargai dan dihormati. Adapun perwujudannya yang paling sederhana ialah melalui spiritualitas kehadiran. Panggilan menjadi warga negara Indonesia (WNI) sekaligus menjadi umat Katolik di Indonesia juga menuntut spiritualitas kehadiran; hadir sebagai warga negara Indonesia (WNI) dan pada saat yang sama juga hadir sebagai umat Katolik. Hal ini sesuai dengan makna Gereja disebut Katolik, yaitu karena keterbukaannya (untuk siapa saja), menyeluruh (lengkap berkaitan dengan ajarannya) dan tersebar ke seluruh dunia. Itulah arti kata Katolik yang disimpulkan dari pernyataan Santo Igantius dari Antiokhia (Suharyo, 2009:18-19). Konsekuensi logis selanjutnya ialah penghayatan iman Katolikdi Indonesia hendaknya tidak hanya terarah pada praktik liturgi semata atau persekutuan ke dalam Gerejatetapi juga menuntut keterlibatan aktif dalam hidup berbangsa dan bernegara atau dalam ranah yang paling konkret adalah kehidupan bermasyarakat. Direktur Jendral (Dirjen) Bimbingan Masyarakat (Bimas) Katolik yang baru, Yohanes Bayu Samodro seperti yang dikutip dari Majalah Hidup Edisi 30 Agustus 2020, hlm. 4, menjelaskan bahwa umat Katolik cenderung pasif dalam menjalankan tugas sosial, seperti menjadi ketua RT, RW, Lurah atau kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya. Menurutnya penghayatan iman Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 103 mereka lebih cenderung terarah pada persekutuan ke dalam, bukan ke luar. Padahal panggilan untuk menjadi umat Katolik di Indonesia juga menuntut keterlibatan aktif dalam hidup bersama. Kenyataan lain yang juga terjadi selama ini menunjukkan bahwa panggilan Gereja untuk membangun bangsa rupanya hanya menjadi tugas hierarki Gereja, kaum religius, kaum akademis, tokoh masyarakat ataupun institusi-institusi Katolik. Umat Katolik akar rumput dinilai masih menutup diri dengan pergulatan-pergulatan tersebut. Hemat Penulis, di sinilah makna penting kehadiran para Katekis yang berjiwa kebangsaan. Mereka menjadi promotor dan penggerak utama dalam mewartakan Kristus yang “membayar pajak kepada Kaisar” (Mat 22:21). Kenyataan menjadi agama minoritas hendaknya tidak menjadi sebuah alasan bagi umat Katolik akar rumput untuk bersikap pasif dan apatis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, pembentukkan dan pendampingan para Katekisdengan muatan kebangsaan menjadi suatu yang niscaya untuk segera dilakukan. Pendasaran Biblis dan Ajaran Gereja mengenai Keterlibatan Gereja a) Kitab Suci Kitab suci adalah buku kumpulan teologi-teologi kontekstual yang ditulis di bawah bimbingan Roh Kudus oleh berbagai pengarang dari pelbagai zaman untuk menanggapi berbagai persoalan iman yang dihadapi (Pareira, 2012:45). Kitab suci menjadi sumber dan pegangan utama Gereja dalam berteologi, termasuk diskursus seputar keterlibatan Gereja dalam kancah Pembangunan Nasional. Oleh karena itu, penulis akan menampilkan tiga teks biblis sebagai pendasaran yang kuat akan urgensinya peran Gereja dalam membangun bangsa ini. Pertama, ajaran dan kehidupan Yesus Kristus. Yesus adalah Putra Allah yang diutus Bapa untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Pada waktu hidup-Nya, Ia dikenal sebagai Guru yang berwibawa dan mempunyai banyak pengikut karena ajaran-Nya, termasuk tentang kewajiban sebagai warga negara yang baik. Ketika orang Farisi menjebak Yesus dengan sebuah pertanyaan paradoks tentang membayar pajak kepada Kaisar, Yesus berkata: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib 104 Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah (Mat 22:21). Hal ini menjelaskan bahwa umat Katolik hendaknya selalu menjalankan tugas dan kewajibannya kepada negara dan juga kepada Gereja. Kedua, tulisan Rasul Paulus: “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah. Sebab itu barang siapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya (…) karena pemerintah adalah hamba Allah” (Rm 13:1-2;4a). Konsekuensi praktis dari ajaran ini ialah kesadaran untuk memandang pemerintah sebagai penabur benih kasih Allah. Benihbenih kasih itu mewujud dalam rupa-rupa ketetapan yang disusun pemerintah. Maka, pemerintah patut diberikan “penghormatan” dengan menjalankan apa yang menjadi ketetapan bersama. Ketiga, tulisan Rasul Petrus: “Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orangorang yang berbuat baik. Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah” (1Ptr 2:13-14;16). Seruan kenabian ini menegaskan umat Katolik untuk hidup sebagai orang-orang merdeka. Artinya, umat Katolik diarahkan sedemikian rupa untuk terlibat aktif mengisi kemerdekaan dengan kekayaan-kekayaan yang ada dalam diri mereka. b) Ajaran Gereja Pada poin ini penulis akan menampilkan beberapa ajaran Gereja tentang keterlibatannya dalam membangun dunia, khususnya dalam kaitannya dengan pemerintahan negara. Pertama, Ensiklik Sapientiae Christianae (1980): “Hukum kodrat memerintahkan kita untuk mencintai dengan sungguh-sungguh dan untuk membela negara tempat kita dilahirkan dan dibesarkan, maka setiap warga negara yang baik jangan ragu-ragu untuk mati demi tanah Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 105 airnya (Paus Leo XIII dalam Widharsana, 2018:130).” Melalui ajaran ini, umat Katolik dibawa pada kesadaran mendalam akan adanya benihbenih iman dalam hidup bersama. Artinya, pergulatan-pergulatan yang dialami bangsa juga menjadi bagian dan tools penghayatan imannya. Dengan kata lain, pergulatan dalam hidup bersama (berbangsa) dipandang sebagai salib menuju kedewasaan iman. Kedua, The Catechism of the Catholic Church (No. 2239): “It is the duty of citizens to contribute along with the civil authorities to the good of society in a spirit of truth, justice, solidarity and freedom. The love and service of one’s country follow from the duty of gratitude and belong to the order of charity. Submission to legitimate authorites and service of the common good require citizens to fulfil their roles in the life of the political community.” Ada empat pilar yang diserukan dalam Katekismus Gereja Katolik di atas; semangat kebenaran, keadilan, solidaritas, dan kebebasan. Empat pilar ini menggarisbawahi pentingnya kesadaran untuk menjalankan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa sebagaimana mestinya. Ketiga, Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ: “Jika kita merasa sebagai orang Kristen yang baik, kita semestinya juga menjadi seorang patriot yang baik. Karenanya, kita merasa bahwa kita 100% patriotik sebab kita juga merasa 100% Katolik. Malahan, menurut perintah keempat dari Sepuluh Perintah Allah, sebagaimana tertulis dalam Katekismus, kita harus mengasihi negara dengan segenap hati” (Widharsana, 2018:133). Yang ditekankan ialah totalitas dalam menjalani hidup berbangsa. Totalitas yang dimaksud mengarah pada spiritualitas kehadiran yang penuh dan menyeluruh dalam kancah pembangunan nasional. Keterlibatan Gereja dari Masa Perjuangan sampai Mengisi Kemerdekaan Kiprah manusia sebagai makhluk beragama, budaya, individu dan sosial sangat menentukan peradaban (civilization). Dinamika peradaban selalu berproses menuju yang terbaik (Binsasi dalam Widharsana, 2018:9). Umat Katolik sebagai sebuah bangsa yang khas juga mempunyai dinamika peradabannya tersendiri. 106 Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput Jika membuka sejarah perkembangan bangsa ini, kehadiran umat Katolik juga turut memberi warna tersendiri. Ada banyak peristiwa penting dalam sejarah bangsa Indonesia yang menunjukkan partisipasi aktif Gereja(pada umumnya) dan umat Katolik (khususnya) dalam membangun bangsa, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada bagian selanjutnya, penulis akan menampilkan beberapa sumbangan tersebut. a) Momen Sumpah Pemuda Tahun 1928 Sidang pertama Pemuda Indonesia tanggal 27 Oktober 1928 berlangsung di gedung Pemuda Katolik yang terletak di belakang Gereja Jakarta yang sekarang menjadi aula Katedral. Berlangsungnya sidang pertama sumpah pemuda di gedung tersebut menunjukkan bahwa Gereja Katolik Indonesia mempunyai peran dalam sejarah penting negara ini (Majalah HIDUP Edisi 26 November 2017 hlm. 12). b) Peran Uskup Agung Semarang, Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ adalah uskup pribumi pertama bangsa ini. Ia dikenal sebagai tokoh nasionalis yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pada masa itu, Mgr. Soegijapranata melakukan diplomasi kepada Vatikan untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Hal ini terwujud tahun 1947 ketika Vatikan mengutus Apostolik Delegatusnya ke Indonesia. Penting untuk ditegaskan di sini bahwa Vatikan menjadi negara kedua yang mengakui kemerdekaan Indonesia setelah Mesir. Selain itu peran Gereja yang tidak kalah penting saat itu adalah ketika Mgr. Soegijapranata memindahkan kantor pusat pelayanannya dari Semarang ke Yogyakarta. Hal ini dilakukannya sebagai bentuk perhatian Gereja terhadap bangsa ini yang pada saat itu sedang terdesak oleh agresi militer Belanda. Gereja tidak tinggal diam dan menjadi penonton yang apatis dengan situasi yang melanda negara. Mgr. Soegijapranata menunjukkan bahwa Gereja sebagai bagian dari bangsa Indonesia juga hadir dan berpartisipasi membangun negara. c) Peran Para Pahlawan Nasional yang Beragama Katolik dalam Mempertahankan Negara Pertama, Mgr. Albertus Soegijapranata. Gelar pahlawan disematkan padanya pada tahun 1963 karena keberanian dan totalitasnya dalam mendukung kemerdekaan Indonesia. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 107 Kedua, Letkol Ignatius Slamet Riyadi. Ia adalah eks tentara PETA yang dipercaya melawan Belanda dalam agresi militer Belanda II, penumpasan PKI di Jawa Utara, penumpasan kelompok Abdul Aziz di Makasar dan Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon. Ia digelari Pahlawan Nasional pada tahun 2007. Ketiga, Marsekal Muda Agustinus Adi Sucipto, bapak penerbang pertama Indonesia. Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, ia mendirikan sebuah sekolah penerbangan di Lapangan Udara Maguwo, Yogyakarta. Ia gugur dalam peristiwa agresi militer Belanda I ketika pulang mengumpulkan obat-obatan dari India dan Singapura. Ia digelari Pahlawan Nasional pada tahun 1974. Keempat, Komodor Yosafat Sudarso. Beliau adalah seorang komandan kapal yang gugur pada saat berpatroli di Laut Aru oleh armada laut Belanda. Ia mendapat gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1973. Kelima, Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono. Ia adalah salah satu tokoh yang gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sebelum kemerdekaan. Pada saat Indonesia sudah merdeka, beberapa kali ia menjabat sebagai menteri dan menjadi salah satu pendiri Partai Katolik Indonesia. Oleh karena pengabdian dan perjuangannya, Paus Yohanes Paulus II menganugerahinya Bintang Ordo Gregorius Agung dan negara Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2011. d) Tiga Pelayanan Utama Gereja Tiga pelayanan utama Gereja untuk bangsa Indonesia yang tetap berlangsung sampai saat ini adalah pendidikan, kesehatan, dan sosial karitatif (Aman, 2017:14). Gereja melalui ketiga pelayanan utama ini terus mengabdikan dirinya untuk kemajuan bangsa Indonesia. Bahkan ada banyak dari ketiga pelayanan ini yang berulang kali mendapatkan apresiasi dan penghargaan pemerintah karena kualitas pelayanannya. Berdasarkan fakta sejarah di atas dan peran Gereja yang terus berlangsung saat ini, dapat disimpulkan bahwa Gereja sebagai bagian dari bangsa Indonesia turut berpartisipasi aktif dalam kancah pembangunan nasional. Gereja adalah bangsa Indonesia itu sendiri. 108 Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput Spiritualitas yang Meredup Jika meneliti peran Gereja dalam sejarah pembangunan bangsa Indonesia, akan tampak dengan sangat jelas sebuah fakta yang cukup mengejutkan. Partisipasi Gereja dalam pembangunan tersebut rupanya hanya didominasi oleh hierarki Gereja, kaum religius, tokoh masyarakat, kaum akademis, dan institusi Katolik. Sedangkan umat Katolik akar rumput cenderung bersikap pasif dan menarik diri dari hidup bermasyarakat. Hemat penulis, salah satu faktor utamanya ialah kurangnya penanaman nilai-nilai kebangsaan dalam keluarga. Keluarga adalah unit terkecil dalam societas. Tetapi justru dalam kekecilannya itu, keluarga menjadi tempat persemaian dasar yang intensif bagi pertumbuhan manusia-manusia yang berkualitas di kemudian hari. Keluarga menjadi sekolah pertama di mana nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan diajarkan. Oleh karena perannya yang substansial ini, pendidikan di dalam keluarga menjadi suatu hal yang niscaya. Namun kenyataan yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa penanaman nilai-nilai kebangsaan sering kali hanya menjadi tugas sekolah dan Gereja. Keluarga dinilai terlalu memperhatikan pengajaran iman dan rohani kepada anak-anak dan kurang mengajarkan nilai-nilai kebangsaan. Hal ini tidak salah tetapi tendensi yang demikian akan menciptakan ketidakseimbangan dalam hidup bermasyarakat. Di satu sisi persekutuan umat Katolik dalam Gereja sangat kuat, tetapi pada saat yang bersamaan bersikap apatis dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Lebih parah lagi, ketidakseimbangan ini bisa mengarah pada eksklusivitas yang mengerucut pada radikalisme dalam beragama. Direktur Jenderal Bimas Katolik, Yohanes Bayu Samodro, mengamati sedikit sekali orang Katolik yang merasa terpanggil untuk terlibat dalam kehidupan sosial masyarakat. Secara hidup rohani mungkin tidak diragukan lagi tetapi keterlibatan dalam masyarakat sangat minim. Pertanyaannya, bagaimana orang tua Katolik bisa memperkenalkan nilai-nilai kemasyarakatan kepada anak? Sebab pendidikan kemasyarakatan itu tumbuh dan berkembang di tengah keluarga, bukan dari sekolah atau Gereja (dikutip dari Majalah HIDUP Edisi 30 Agustus 2020, hlm. 14). Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 109 Hemat penulis, inilah kebenaran yang terjadi dalam kehidupan berbangsa umat Katolik. Partisipasi aktif GerejaKatolikIndonesia dalam membangun bangsa ini rupanya hanya menjadi tugas para pemimpin Gereja sedangkan partisipasi umat Katolik akar rumput pada kenyataannya masih seperti jauh panggang dari api. Oleh karena itu di sinilah katekese kebangsaan mutlak diperlukan oleh Gereja Katolik Indonesia. Katekese kebangsaan menjadi sarana untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan dalam beriman di negara ini. Tetapi sebelum masuk lebih dalam tentang katekese kebangsaan, penulis akan menguraikan sedikit Quo Vadis Katekis yang menjadi “mesin penggerak utama” keberhasilan sebuah katekese. Quo Vadis Katekis Penyelenggaraan katekese oleh Gereja Katolik selalu dipandang sebagai salah satu tugasnya yang amat penting. Hal ini pun dapat ditinjau dari usaha Gereja dalam sejarah panjangnya yang menempatkan katekese dalam posisi yang urgen. Sejak zaman apostolik dan patristik, tema katekese selalu menjadi tema sentral. The Catechism of The Catholic Church menggambarkan hal tersebut dengan sangat jelas. “Periods of renewal in the Church are also intense moments of catechesis. In the great era of the Fathers of the Church, saintly bishops devoted an important part of their ministry to catechesis. St. Cyrl of Jerusalem and St. John Chrysostom, St. Ambrose and St. Augustine, and many Fathers wrote catechetical works that remain models for us.” Puncaknya ketika tema katekese ini diangkat dalam konsili Trente (15451563) yang menjadi sumber Katekismus Romawi danKatekismus-Katekismus masa kini. Seiring perkembangannya, Gereja menyadari bahwa panggilan untuk mewartakan Kristus bukan hanya menjadi tugas hierarki Gereja. Semua umat Katolik yang telah dibaptis mempunyai panggilan yang sama, yaitu menghadirkan Yesus yang bangkit ke dalam hidup sehari-hari. Oleh karena itu,Gereja juga memercayakan misi katekese ini kepada semua umat awam agar“berperan serta dalam tugas Kristus sebagai Imam, Nabi, dan Raja” (Apostolicam Actuositatem 10). 110 Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput Jika membaca perkembangan sejarah awal Gereja Indonesia, tidak dapat dimungkiri peran sentral para Katekis awam. Bersama para misionaris perintis mereka menjadi penggerak ajaran iman bagi umat-umat Katolik awal dengan mengajar doa, melatih lagu, mengajarkan iman, memimpin ibadat, bahkan menjadi guru dan tenaga kesehatan. Perkembangan Gereja Indonesia di Flores, Kalimantan, Jawa, tidak pernah terlepas dari pengabdian para Katekis yang tanpa gentar menjelajahi daerah-daerah pedalaman untuk mewartakan Kristus. Alhasil, kehadiran para Katekis sangat membantu tugas pelayanan pastoral Gereja. Pada saat ini ketika perkembangan zaman telah mengubah wajah fisik dunia, peran para Katekis sudah tidak seperti dulu lagi. Cerita mewartakan Kristus di daerah pedalaman hanya terdengar di daerah-daerah tertentu karena banyak daerah yang sudah terjamah perkembangan teknologi. Namun, hal tersebut bukan berarti pelayanan Katekiszaman ini tanpa tantangan. Sebaliknya, katekese di zaman modern ini menuntut kreativitas dan inovasi-inovasi baru dengan terus memperhatikan konteks dan tuntutan zaman yang terus berubah. Hal ini penting agar muatan katekese mampu mendarat dalam kehidupan umat. Dengan demikian, Gereja bersama para Katekis hendaknya selalu memperhatikan rancangan yang matang dengan metode-metode tertentu untuk pelayanan. Adapun untuk konteks Indonesia saat ini, katekese kebangsaan yang dicanangkan oleh Dirjen Bimas Katolik sangat menjawabi tuntutan zaman umat Katolik Indonesia. Maka mempersiapkan Katekis berkualitas dengan pendekatan yang berkebangsaan harus mendapatkan perhatian yang intesif dari Gereja. Namun, sebelum menjelaskan tentang pentingnya perhatian Gereja untuk para Katekis, penulis akan menguraikan sedikit tantangan dan kesulitan yang dihadapi oleh para Katekis zaman ini. a) Kurangnya Pengetahuan dan Keterampilan Para Katekis adalah ujung tombak pewartaan Gereja. Pengajaran dan pewartaan mereka sangat berperan penting dalam menghidupi iman akan Kristus. Oleh karena itu muatan katekese mereka harus bermutu agar membawa transformasi rohani maupun sosial individu. Semakin matang muatan katekesenya, semakin banyak pula buah-buah yang dihasilkannya. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 111 Tetapi kenyataan yang seringkali dikeluhkan ialah para Katekis belum mempunyai pengetahuan dan kualitas yang mumpuni dalam bidangnya. Yeremias Jena,dalam tulisannya Antusiasme menjadi Katekis mengungkapkan salah satu tantangan besar para Katekis, yaitu fakta bahwa para Katekis belum memiliki keterampilan memadai, baik aspek akademis maupun teknis (skills) sebagai Katekis. Karena itu, para Katekis hendaknya masih harus diperkaya dengan berbagai pendidikan, seminar, dan pelatihan di bidang katekese, metodologi, teologi, Kitab Suci, konsep-konsep dasar ilmu sosial untuk analisis sosial dan andragogi. Hemat penulis, kurangnya pengetahuan dan keterampilan para Katekis harus menjadi perhatian serius Gerejauntuk mempertahankan antusiasme mereka. Hal ini penting agar tantangan ini tidak menjadi batu sandungan yang akan mengganggu kualitas pelayanan mereka. b) Kesejahteraan Para Katekis Panggilan menjadi Katekis adalah sebuah panggilan yang sangat mulia. Mereka mengorbankan banyak hal untuk satu tugas yang kudus, yaitu mengajarkan iman akan Kristus kepada semua umat. Ada begitu banyak tantangan yang senantiasa menghalangi karya bakti mereka. Namun mereka merelakannya demi tugas yang mulia ini, yaitu untuk pertumbuhan iman Gereja. Mingguan Katolik Majalah HIDUP pernah membahas secara eksplisit tantangan menjadi Katekis zaman ini. Sajian khusus itu diberi judul “Jalan Salib Katekis” untuk menggambarkan perjuangan mereka dalam tugas pelayanan Gereja. Bahwa bayangan yang selalu menyertai kata Katekis adalah mereka yang berjalan kaki puluhan kilometer, siang dan malam, hingga ke pedalaman Kalimantan atau Papua untuk memimpin ibadat. Intisarinya adalah kata ‘Katekis’ selalu diidentikkan dengan medan berat dan tugas nonprofit. Oleh karena itu, Gereja perlu memperhatikan kesejahteraan mereka atau pun memfasilitasi perjalanan mereka. Hal ini penting supaya tugas pewartaan tidak buntung akomodasi. Pada akhirnya yang dipilih dan bersedia menyampaikan Kabar Baik tidak hanya terhibur oleh kekayaan imajiner, tetapi juga berkecukupan dalam kebutuhan primer. Hemat penulis, perhatian Gereja terhadap kesejahteraan para Katekis merupakan pemantik yang menyalakan antusiasme mereka dalam berkarya. 112 Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput Namun tantangan-tantangan di atas bukanlah tanda matinya katekese di bumi Indonesia. Sebaliknya, tantangan-tantangan tersebut justru menjadi batu pijakan untuk melompat pada kematangan katekese yang sebenarnya. Kenyataan kurangnya pengetahuan dan keterampilan yang memadai hendaknya menjadi tolok ukur untuk mempersiapkan Katekisdan metode yang akan digunakan. Semua tugas ini lahir dari keyakinan bahwa mutu setiap kegiatan pastoral akanmenghadapi resiko bila kegiatan ini tidak bersandar pada personel yang sungguh-sungguh kompeten dan terlatih. Pertanyaannya, Quo Vadis Katekis untuk mencapai titik kematangannya? Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostoliknya, Catechesi Tradendae, menganjurkan ciri katekese yang mengindahkan hal-hal berikut ini. “Katekese harus bersifat sistematis, bukan hasil improvisasi, melainkan sungguh berencana untuk mencapai tujuan tertentu; Katekese harus mengkaji hal-hal yang pokok, tanpa berpretensi mau menangani segala soal yang diperdebatkan atau mau berubah menjadi penelitian teologis atau eksegese ilmiah;Tetapi katekese harus cukup lengkap juga, tidak membatasi diri pada pewartaan awal misteri Kristen seperti dalam “kerygma”; Katekese harus merupakan inisiasi Kristen integral, terbuka bagi semua faktor hidup kristen lainnya” (CT 21). Ciri katekese di atas merupakan jawaban Paus Yohanes Paulus II terhadap pandangan keliru mengenai katekese “karena di berbagai kalangan ada kecendrungan untuk menganggap katekese tidak penting lagi” (CT 21). Akibatnya perhatian terhadap katekese diabaikan. Hemat saya Gereja harus sungguh menyadari, katekese kebangsaan merupakan sebuah gebrakan baru yang bersifat sosial. Karena itu, hal ini mengandaikan adanya pendekatan yang integral dengan disiplin-disiplin ilmu lain, khususnya sosiologi, antropologi dan psikologi sosial. Para Katekis kebangsaan tidak cukup berbasiskan teologi, seperti Kitab Suci dan ajaran Gereja dalam melaksanakan tugas pelayanannya. Analisis sosial berbasis data empiris dan metodologi yang tersistematis harus menjadi perhatian Gereja dalam mempersiapkan tenaga Katekis agar katekese kebangsaan sungguh-sungguh menjawabi tuntutan zaman. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 113 Selain mempersiapkan katekese kebangsaan yang tersistematis, Gereja juga hendaknya memperhatikan on going formation bagi para Katekisnya. Hal ini penting untuk tetap menjaga antusiasme pewartaan mereka yang selalu berhadapan dengan banyak tantangan zaman yang terus berubah. Di samping itu, on going formation juga bisa menjadi bahan evaluasi bagi para Katekis untuk terus memperbarui diri dan muatan katekese melalui evaluasi bersama. Ketua Komisi Kateketik (Komkat) Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Mgr Paskalis Bruno Syukur, OFM, juga menjelaskan hal yang sama. Ia mengungkapakan bahwa Komkat KWI telah dan akan melakukan beberapa on going formation bagi para Katekis melalui kerja sama dengan lembaga Bimbingan Masyarakat (Bimas) Katolik, Komkat Keuskupan, dan Paroki. Tujuannya ialah untuk melatih para Katekis agar memahami serta terampil mengajar berdasarkan kurikulum baru, memberi retret bagi mereka, dan bersama seksi pewartaan paroki melatih para Katekis untuk memimpin Komunitas Basis Gereja (KBG). Komkat KWI juga mengadakan pertemuan nasional bagi Katekis lapangan setiap lima tahun sekali dan bersama Komisi Seminari KWI mengadakan pertemuan para dosen kateketik untuk membekali mereka dengan pemikiran-pemikiran baru di bidang katekese. Begitu juga bersama Komisi Keluarga, Komkat KWI memberi lokakarya tentang katekese digital kepada Katekis yang terlibat dalam kerasulan keluarga. Hemat penulis kedua hal di atas, yaitu katekese kebangsaan yang tersistematis dan on going formation sangat menentukan arah pewartaan dan pengajaran katekese kebangsaan di zaman ini. Perhatian Gereja yang intensif melalui persiapan dan formasi lanjutan bagi para tenaganya sangat menentukan keberhasilan atau tidaknya katekese tersebut. Dengan demikian problem seputar kesejahteraan para Katekis dan kualitas diri mereka mampu teratasi dengan baik. Historisitas Katekese: Sebuah Kebutuhan dan Tugas Wajib Perjalanan panjang Gereja Katolik universal tidak pernah terlepas dari makna penting pastoral katekese. Banyak konferensi para uskup di seluruh dunia yang telah memberikan perhatian luar biasa untuk katekese, khususnya melalui Katekismus dan garis pedoman pastoral dengan penyelidikan kateketik. Usaha-usaha seperti ini telah memperlihatkan hasil dan 114 Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput memberikan banyak sumbangan bagi praksis katekese dalam gereja-gereja partikular. Ritus “Inisiasi Kristen untuk Orang Dewasa” yang diterbitkan oleh kongregasi untuk Ibadat Ilahi pada tanggal 6 Januari 1972 telah menunjukkan kegunaan untuk pembaharuan katekese. Secara khusus juga harus disebutkan pelayanan Paus Paulus VI terhadap perkembangan katekese. Bahkan Paus Yohanes Paulus II menyebutnya sebagai “Katekismus agung” abad modern. Pertemuan Umum Sinode Para Uskup pada Oktober 1974 dengan tema Evangelisasi dalam Dunia Dewasa Ini merupakan tonggak sejarah yang menentukan bagi pertumbuhan katekese. Proposisi yang disusun oleh sinode diserahkan kepada Paus Paulus VI yang mengumumkan Anjuran Apostolik Evangelii Nuntiandi pada tanggal 8 Desember 1975 sesudah sinode. Di antara dokumen-dokumen lainnya, anjuran apostolik ini menyebut sebuah prinsip yang amat penting, yakni katekese sebagai karya pemakluman Kabar Gembira dalam konteks misi Gereja. Oleh karena itu, katekese hendaknya dipandang sebagai salah satu perhatian dari amanat misioner Gereja untuk zaman ini. Menerima warisan kateketik ini, pada tahun 1978 Paus Yohanes Paulus II mengadakan orientasi-orientasi yang pertama untuk katekese dalam Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae pada tanggal 18 Oktober 1979. Anjuran ini menempatkan katekese dalam konteks pemakluman Kabar Gembira. Di lain pihak, Sidang Umum Sinode Para Uskup, baik yang biasa maupun yang luar biasa, sungguh sangat penting bagi katekese. Berkaitan dengan hal ini penting untuk disebutkan sinode-sinode pada tahun 1980 dan 1987 yang berbicara tentang tugas dan tanggung jawab keluarga dan panggilan kaum awam. Salah satu buah yang paling konkret dari sejarah panjang ini ialah lahirnya Katekismus Gereja Katolik pada tanggal 11 Oktober 1992 yang sangat membantu pertumbuhan iman umat di seluruh dunia. Katekese Kebangsaan Berjiwa Pancasila Pada bagian sebelumnya dijelaskan makna katekese kebangsaan sebagai kebutuhan wajib bagi Gereja Indonesia dewasa ini. Berlandaskan pada pemakluman Kabar Gembira Yesus Kristus, katekese kebangsaan menuntun umat Katolik pada pengamalan nilai-nilai kebangsaan dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, katekese kebangsaan tidak boleh mengungkung diri, melainkan hendaknya berintegrasi dalam keseluruhan misi jemaah, Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 115 merasuki kenyataan lingkungannya dengan ragi Injil. Tegangan antara konsolidasi “ke dalam” dan gerak “ke luar” (sekularitas)–yang sebenarnya dapat menunjang pertumbuhan yang sehat kalau terjadi proses saling menjiwai dan saling membuahi–selalu dirasa sebagai tantangan (Komisi Kateketik KWI, 1995:107). Artinya ada keseimbangan, keharmonisan antara hidup beragama sebagai umat Katolik dan hidup berbangsa sebagai warga negara Indonesia. Meminjam istilah Mgr. Soegijapranata, menjadi 100% Katolik dan 100% Indonesia yang mana keduanya adalah utuh dan bukan paradoks. Adapun katekese kebangsaan yang penulis uraikan dalam tulisan ini ialah katekese yang berjiwa Pancasila. Pancasila adalah philosophice grondslag (dasar filosofis) dan weltanschauung (pandangan hidup) bangsa Indonesia. Sebagai sebuah dasar filosofis dan pandangan hidup, pancasila menjadi sumber pegangan utama bangsa Indonesia dalam hidup berbangsa dan bernegara. The founding fathers Indonesia telah merumuskan Pancasila dengan sangat matangke dalam 5 sila: Ketuhanan Yang Mahaesa; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan; Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Menarik bahwa kelima sila di atas sangat sesuai dengan nilai-nilai Injil yang dipegang teguh oleh Gereja Katolik. Semuanya terpenuhi dalam ajaran Kristus tentang cinta kasih, yaitu mengasihi Tuhan dan sesama (bdk. Mrk 12:28-34).Oleh karena itu, sebagaimana fakta sejarah yang telah penulis paparkan di bagian awal, Gereja Katolik Indonesia saat ini juga terus dipanggil untuk terlibat aktif dalam mengisi kemerdekaan bangsa ini dengan cara mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Gaudium et Spes artikel 76 menjelaskan elaborasi tersebut sebagai proses untuk mencapai bonum commune. “Di bidang masing-masing, Negara dan Gereja bersifat otonom, tidak saling tergantung. Tetapi keduanya, kendati atas dasar yang berebeda, melayani panggilan pribadi dan sosial orang-orang yang sama. Pelaksanaan itu akan semakin efektif jika dijalankan oleh keduanya demi kesejahteraan umum, dengan semakin menjalin kerja sama yang sehat, dengan mengindahkan situasi setempat dan semasa. Manusia tidak terkungkung dalam tata duniawi melulu, melainkan sementara mengarungi sejarah manusiawi yang sepenuhnya mengabdi kepada panggilannya untuk kehidupan kekal. 116 Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput Gereja yang bertumpu pada cinta kasih Sang Penebus, menyumbangkan bantuannya, supaya di dalam kawasan sendiri dan antara bangsa-bangsa makin meluaslah keadilan dan cinta kasih. Dengan mewartakan kebenaran Injil, dan dengan menyinari semua bidang manusiawi melalui ajaran-Nya dan melalui kesaksian umat Kristen, Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warga negara.” Hemat penulis katekese kebangsaan yang dijalankan oleh Gereja Katolik Indonesia merupakan salah satu elaborasi penting Gereja dan negara seturut “madah” Gaudium et Spes di atas. Bahwa meskipun keduanya otonom, Gereja dan negara secara bersama-sama membidani kelahiran bonum commune. a) Sila Pertama: Katekese Dialogis Sejak awal GerejaKatolik Indonesia menyadari keberadaannya di tengah-tengah agama dan kepercayaan lain di negara ini. Kesadaran tersebut mendapatkan pengakuan yang definitif dan makna baru dalam Konsili Vatikan II (1962-1965). Hal ini kemudian melahirkan banyak pembaharuan besar-besaran, baik Gereja universal maupun partikular dalam memandang dunia. Jika prakonsili Gereja menganut extra ecclesiam nulla salus, maka Gereja pascakonsili membuka jendelanya lebar-lebar untuk memandang dunia dan membiarkan angin segar masuk dalam tubuh Gereja. Tentang pluralitas agama, Gereja menuliskan: “GerejaKatolik tidak menolak apa pun yang benar dan suci di dalam agama-agama ini. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakininya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang. Maka Gereja mendorong para putranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tantang iman serta perihidup kristiani, mengakui, memelihara, dan mengembangkan harta-kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka.” Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 117 Di Indonesia angin segar Konsili Vatikan II juga membawa dampak sangat besar. Sebagaimana perubahan dalam tubuh Gereja universal, Gereja Indonesia juga membuka diri untuk menjalin komunikasi dan dialog dengan agama-agama lain. Pada kurun waktu tersebut sampai tahun 1970-an, perhatian Gereja Indonesia tercurah pada usaha-usaha menggalang dialog, baik dengan Gereja-Gereja Kristen yang lain maupun dengan agama-agama bukan Kristen. Hubungan GerejaKatolik dengan agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan lain dimulai secara konkret dalam pendirian PWI Ekumene pada tahun 1966. PWI ekumene inilah yang mewakili MAWI atau Majelis Agung Wali Gereja Indonesia dalam masalah-masalah hubungan antaragama dan kepercayaan dalam berbagai kesempatan (Riyanto, 2010:384-385). Hemat penulis, di sinilah katekese kebangsaan dialogal mendapatkan perannya. Bahwa Gereja menterjemahkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa bukan dengan cara radikalisme atau eksklusivitas dalam hidup beragama melainkan dengan sebuah dialog horizontal. b) Sila Kedua: Katekese Kemanusiaan Manusia adalah makhluk yang unik. Ia mempunyai historisitasnya tersendiri yang membentuknya menjadi manusia yang unik dan utuh. Ia dibentuk oleh beragam nilai, konsep, cara hidup, lingkungan, serta semua hal yang berkaitan langsung dengan keberadaannya. Karena itu, mengakui dan menerima kemanusiaannya adalah sebuah keharusan dalam hidup societas meskipun dalam bingkai pluralitas. Gereja Katolik Indonesia sebagai bagian bangsa ini juga mengajarkan nilai-nilai yang sama. Dalam beberapa dokumen resminya, Gereja dengan sangat tegas menekankan prinsip kemanusiaan ini. Apa pun latar belakang suku, ras, agama, dan budaya, Gereja tetap mengakuinya sebagai ciptaan Allah yang sederajat dengan manusia yang lainnya. “Being in the image of God the human individual possesses the dignity of a person, who is not just something, but someone. He is capable of self-knowledge, of self-possession and of freely giving himself and entering into communion with other persons. And he is called by grace to a covenant with his Creator, to offer him a response of faith and love that no other creature can give his stead.” 118 Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput Dengan demikian, Gereja dengan sangat tegas menolak segala macam bentuk tindakan yang melanggar kemanusiaan, seperti rasisme, diskriminasi, intoleransi, politik SARA, korupsi, pelanggaran HAM, dan segala macam bentuk ketidakmanusiawian lainnya. Hemat penulis, dalam konteks inilah katekese kemanusiaan diajarkan oleh para Katekis. Bahwa kendati berbeda asal-usul dan ragamnya, berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semuanya merupakan satu keluarga besar (umat manusia) (Soegijopranata dalam Widharsana, 2018:118).” c) Sila ketiga: Katekese Multikultural Indonesia adalah negara yang majemuk. Beragam suku, agama dan kepercayaan, ras, bahasa, budaya dan bangsa menghias negara ini dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote. Menurut data yang dibagikan oleh BPS tahun 2010, terdapat 1.211 bahasa daerah, 300 kelompok etnis, 1.340 suku dengan adat-istiadatnya masing-masing dan memiliki 17.504 pulau (Widharsana, 2018:125). Semua keberagaman tersebut tunduk pada semboyan Bhineka Tunggal Ika yang menjadi perekat keberagaman. Bahwa meskipun datang dari banyak latar belakang yang berbeda, bangsa Indonesia tetap berdiri kokoh menjadi sebuah bangsa yang satu, yaitu persatuan Indonesia. Sifat dasar Gereja adalah persekutuan (communio) dan tanpa persekutuan, Gereja kehilangan makna dasarnya. Adapun kata kunci persekutuan tersebut adalah semangat kasih Kristus kepada seluruh dunia (Murjoko, 1985:35). Dengan demikian, persekutuan dalam cinta kasih tidak dapat dilepaspisahkan dari semangat dasar Gereja. Hal ini penting untuk ditegaskan karena prinsip persatuan dalam sila ketiga Pancasila menuntut Gereja untuk bersatu padu membangun bangsa ini. Segala macam sekat karena perbedaan suku, ras, agama, dan antargolongan disingkap menjadi sebuah persekutuan cinta kasih. Kenyataan yang terjadi di akar rumput selama ini menjelaskan bahwa kesan sebagai kelompok eksklusif masih terasa kental, apalagi seringkali bersamaan dengan eksklusivitas ras atau etnis. Orang Katolik dinilai giat melakukan kegiatan “ke dalam”, tapi tampaknya masih gamang ketika harus berkegiatan ke luar (Widharsana, 2018:116). Hemat penulis inilah poin yang harus diperhatikan oleh para Katekis dalam Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 119 berkatekese kebangsaan. Para Katekis hendaknya mewartakan Kristus yang menyelamatkan semua bangsa yang berada di bawah kolong langit bukan saja orang-orang Yahudi. Dengan demikian,persekutuan cinta kasih Gereja harus melampaui sekat-sekat pluralitas untuk menciptakan masyarakat yang multikultural. d) Sila Keempat: Katekese Demokrasi Indonesia adalah negara demokrasi dengan rakyat menjadi pemegang kekuasaan tertinggi. Abraham Lincon, presiden ke-16 Amerika Serikat mendefinisikan demokrasi itu dengan sangat baik, yaitu pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dengan demikian keterlibatan rakyat dalam kehidupan berbangsa menjadi kunci berjalannya demokrasi. Pemerintah hanya menjadi perpanjangan tangan rakyat untuk mengatur hidup bersama. Gereja sebagai bagian dari warga negara Indonesia (WNI) juga bertanggung jawab penuh atas berjalannya demokrasi di negara ini. Semua umat Katolik dipanggil untuk menjalankan tugas sesuai peranan dan tanggung jawabnya masing-masing. Contoh yang paling konkret ialah dengan pemberian hak suara dalam pesta demokrasi, kebebasan berpendapat ataupun menjadi politisi aktif. Namun tantangan yang sering terjadi ialah umat Katolik di akar rumput cenderung apatis dengan kehidupan demokrasi bangsa ini. Politik sering kali diidentikan dengan “itu yang kotor” dan karenanya tidak selaras dengan nilai-nilai Injili. Anggapan ini tentu tidak sepenuhnya benar. Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Centesimus Annus (1991) Art. 46 menjelaskan bahwa Gereja menghargai sistem demokrasi karena membuka wewenang yang luas bagi warga negara untuk berperan serta dalam penentuan kebijakankebijakan politik. Hal ini berarti panggilan untuk menjalankan tugas sebagai warga negara yang baik merupakan bentuk lain dari pengabdian Gereja kepada negara. Tindakan konkretnya dapat dilaksanakan dengan menjadi penyelenggara dan aparatur negara yang baik. e) Sila kelima: Katekese Kaum Duafa Hakikat dari sila kelima ini ialah terwujudnya suatu masyarakat yang adil dan makmur, tanpa penghinaan, penindasan, dan peghisapan manusia oleh manusia (exploitation de l’homme par l’homme) seperti 120 Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Di samping itu, keadilan sosial sering kali merujuk pada proses untuk memastikan bahwa setiap orang menjalankan hak dan kewajibannya. Dari sisi pemerintah, keadilan sosial juga dapat diukur dari bagaimana pemerintah menjalankan pemerataan pembangunan demi kesejahteraan rakyat (Widharsana, 2018:178). Petrus Danan Widharsana (2018:178) dalam buku Mengamalkan Pancasila dalam Terang Iman Katolik melihat bahwa perhatian Gereja akan pentingnya keadilan sosial tidak terlepas dari kepeduliaannya kepada kaum kecil, lemah, miskin, tersisih, dan difabel (KLMTD). Hal ini sesuai dengan prinsip martabat manusia dan hukum cinta kasih yang selalu digemakan oleh Gereja. Bahkan Yesus sendiri pun mengidentifikasikan diri-Nya dengan kaum KLMTD ini atau kaum duafa: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Dengan demikian katekese keadilan sosial bagi kaum duafa ini adalah “preferential option for the poor”, yaitu membela mereka yang kecil, lemah, miskin, tersisih, dan difabel (KLMTD). Akhirnya, katekese kebangsaan yang berjiwa Pancasila merupakan sebuah elaborasi yang menarik untuk dijalankan dalam konteks Indonesia saat ini. Umat Katolik terpanggil untuk menjalankan imannya dengan tetap memperhatikan dialog agama, kemanusiaan, pluralitas, persekutuan ke luar, dan keadilan bagi kaum duafa. Umat Katolik akar rumput harus memahami hal ini karena Gereja dalam sejarah panjangnya tidak pernah menolak nilai-nilai Pancasila. “Gereja yakin bahwa Pancasila, yang telah teruji dan terbukti keampuhannya dalam sejarah republik ini, merupakan wadah kesatuan dan persatuan nasional, asalkan tidak digunakan sebagi topeng untuk melindungi kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan tertentu. Umat Katolik menerima landasan yang sungguh-sungguh dapat menjadi wadah pemersatu pelbagai golongan dalam masyarakat, yakni Pancasila. Maka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, umat Katolik menerima Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Umat Katolik mendukung Pancasila bukan hanya sebagai sarana pemersatu, melainkan juga sebagai ungkapan nilai-nilai dasar Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 121 hidup bernegara, yang berakar di dalam budaya dan sejajar dengan sukusuku bangsa kita. Pancasila, baik sebagai keseluruhan maupun ditinjau sila demi sila, mencanangkan nilai-nilai dasar hidup manusiawi, sejalan dengan nilai yang dikemukakan oleh ajaran dan pandangan Gereja Katolik” (Suharyo, 2009:51-52) Maka, katekese kebangsaan dengan semangat Pancasila hendaknya terus dikobarkan oleh para Katekis. Ini adalah momentum yang tepat untuk membangkitkan kembali antusiasme umat Katolik agar kembali berpartisipasi aktif dalam kehidupan bangsa ini sebagaimana “Kristus yang membayar pajak kepada Kaisar” (Mat 21:22). Katekese Kebangsaan di Akar Rumput Apabila melihat uraian makna katekese kebangsaan di atas penulis sangat optimis dengan kemajuan kehidupan Gereja selanjutnya. Elaborasi yang simultan spiritualitas Kristiani dengan semangat Pancasila mampu menjadi fondasi dasar bagikatekekse kebangsaan.Namun kesadaran-kesadaran seperti inirupanya hanya menjadi kesadaran hierarki Gereja, kaum religius, kaum akademis, tokoh masyarakat, dan institusi Katolik. Umat Katolik di akar rumput masih belum sampai kepada kesadaran semacam itu. Adapun tantangan terbesar yang penulis temukan di sini ialah kurangnya sosialisasi praktis yang berkelanjutan antara Gereja dan umat Katolik akar rumput. Di sinilah makna penting kehadiran Katekis. Katekese kebangsaan yang sudah diprogramkan oleh Dirjen Bimas Katolik hendaknya diteruskan ke dalam ranah praktis oleh para Katekis. Perjumpaan langsung dan terus-menerus dengan perhatian yang intensif akan mampu membangkitkan transformasi sosial dalam kehidupan umat Katolik. Pendampingan dalam Gereja Katekese kebangsaan dalam Gereja dapat dijalankan dalam setiap momen persiapan penerimaan sakramen. Materi yang diajarkan hendaknya tidak hanya berbicara tentang iman Gereja semata tetapi juga mengajarkan nilai-nilai Pancasila, seperti toleransi, kemanusiaan, tanggung jawab berpolitik, musyawarah, dan nilai-nilai lainnya. Pendampingan ini sangat penting karena menjadi dasar untuk kehidupan selanjutnya. 122 Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput Dirjen Bimas Katolik, Yohanes Bayu Samodro menjelaskan, katekese kebangsaan harus dimulai dari pengajaran iman pertama kali, yaitu melalui rekoleksi pembaptisan. Orang tua sebagai wakil anak yang mau dibaptis memahami perannnya sebagai Katekis kepada anak sejak menerima Sakramen Baptis, Ekaristi, Krisma, hingga kursus persiapan perkawinan dan menikah sampai memiliki keturunan. Dengan demikian, makna kebangsaan bisa diwariskan turun temurun melalui katekese kebangsaan dalam keluarga (dikutip dari Majalah HIDUP edisi 30 Agustus 2020) Selain itu, pendampingan dalam Gerejajuga dapat dijalankan dalam kelompok-kelompok kategorial dan Komunitas Basis Gereja (KBG). Masingmasing ketua kelompok kategorial dan wilayah bisa menjadi Katekis yang mengajarkan nilai-nilai kebangsaan kepada anggota-anggotanya. Kelompokkelompok ini merupakan “daya hidup Gereja” dan oleh karena itu, tidak berhenti pada kenyamanan kelompoknya melainkan terbuka untuk menggalang persekutuan “ke luar”. a) Pendidikan Informal dalam Keluarga Orang tua adalah Katekis pertama dari seorang anak berkat rahmat pembaptisannya, yaitu menjadi Katekis yang mewartakan Kristus. Selain itu, dalam janji suci pernikahan para orang tua juga sudah berjanji untuk mendidik anak-anaknya dalam iman Katolik, termasuk nilai-nilai kebangsaan yang seirama dengan nilai-nilai injili. Dalam keluarga, orang tua mengajarkan kepada anak-anak semangat penghargaan terhadap sesama yang berbeda keyakinan, kerja sama dalam kelompok lingkungan, toleransi, dan nilai-nilai kebangsaan lainnya. Dengan demikian, keluarga menjadi Gereja rumah tangga (ecclesia domestica) atau locus katekese kepada anak-anaknya di mana keluarga memiliki privelese unik untuk meneruskan Injil dengan membuatnya berakar dalam konteks-konteks nilai-nilai manusiawi yang mendalam (bdk. GS 52; FC 37a). b) Pendidikan Formal di Sekolah Sekolah menjadi ruang lingkup kedua yang sangat besar pengaruhnya dalam membentuk kepribadian seseorang. Tidaklah mengherankan apabila misi pelayanan di sekolah-sekolah juga menjadi fokus perhatian Gereja. Tidak sedikit sekolah-sekolah di Indonesia yang berada di bawah naungan misi (khususnya Gereja Katolik). Bahkan kehadiran sekolahsekolah Katolik telah menjadi oase segar dalam dunia pendidikan di Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 123 Indonesia, semisal menjadi sekolah favorit dan berhasil meraih prestasi baik di tingkat daerah, nasional atau malah internasional. Lantas, adakah kontinuitas dari misi pelayanan di sekolah-sekolah terhadap hidup beriman siswa? Hemat penulis, di sinilah pintu masuknya katekese terbuka lebar. Gereja telah menyiapkan sarana yang sangat vital dengan mendirikan sekolah-sekolah Katolik. Maka ke-Katolik-an sekolah-sekolah itu mesti diberi perhatian yang cukup serius. Salah satu rupa ke-katolik-annya ialah pendalaman di bidang katekese. Di sekolah-sekolah Katolik pengajaran iman kepada anak usia sekolah, baik SD, SMP, maupun SMA, pada umumnya dilaksanakan oleh seorang guru agama. Berbeda dengan katekese lainnya, ketekese kebangsaan kepada anak-anak usia sekolah tidak cukup sulit dilaksanakan karena sekolah selalu mengajarkan nilai-nilai kebangsaan dalam beberapa mata pelajaran tertentu. Guru agama di sekolah hanya perlu memperhatikan materi dan cara pengajarannya agar dapat diterima dengan baik oleh siswa. Berkaitan dengan hal ini, Paus Yohanes Paulus II sangat memuji metode pendidikan yang diajarkan di sekolah-sekolah Katolik, terutama karena pengintegrasian nilai-nilai kristiani dengan nilai kebangsaan ke dalam pedagogi iman siswa (CT art. 69). Perpaduan yang terukur dan sitematis ini menjadi loncatan pasti menuju pemenuhan cita-cita katekese kebangsaan. c) Katekese Dunia Maya Bila Gereja yakin bahwa evangelisasi juga menjamah “penduduk” dunia maya, maka harus disiapkan Katekis-Katekis maya yang mengalokasikan tenaga dan pikiran untuk datang “mengunjungi” mereka. Di era millennia ini, jarak tempuh sudah tidak terkalkulasi lagi dan jumlah pendengar tidak lagi terkategorisasi. Sebab Gereja mengajarkan, “evangelisasi berarti membawa Kabar Baik kepada segala tingkat kemanusiaan, dan melalui pengaruh Injil mengubah umat manusia dari dalam dan membuatnya menjadi baru” (Evanglii Nuntiandi, 18). Paus Yohanes Paulus II, dalam Anjuran Apostolik, Catechesi Tradendae juga mengajarkan hal yang sama berkaitan dengan katekese dunia maya ini. 124 Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput “Dari pengajaran lisan para Rasul maupun surat-surat yang beredar di antara Gereja-Gereja, hingga upaya-upaya yang paling modern, katekese tiada hentinya mencari cara maupun sarana-sarana yang paling cocok bagi perutusannya, didukung oleh peran serta aktif jemaatjemamaat, dan atas desakan para gembala. Langsung kami berpikir tentang peluang-peluang besar yang tersedia berkat komunikasi sosial dan media komunikasi dalam kelompok (group media): televisi, radio, media cetak, piringan hitam, rekaman tape-seluruh deretan media audio-visual” (CT art. 46) Dengan demikian, katekese kebangsaan dunia maya menjadi salah satu sarana yang cocok untuk diimplementasikan dalam konteks zaman ini. Konsekuensinya, persiapan atas katekese dunia maya juga harus mendapatkan perhatian yang khusus. Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput Pada bagian awal penulis sudah menjelaskan bahwa manusia adalah makluk sosial; manusia yang selalu hidup bersama orang lain untuk mencapai pemenuhan dirinya. Karena itu hal ini mengandaikan juga adanya sikap saling menghargai, kerja sama, toleransi, dan persatuan, demi tercapainya keamanan bersama. Tanpa hal ini, kehadiran orang lain hanya menjadi homo himini lupus. Gereja Katolik Indonesia pun menyadari bahaya ini. Kenyataan menjadi bagian dari negara Indonesia menuntutnya untuk terus memperbaharui diri (ecclesia semper reformande) seturut nilai-nilai kebangsaan. Oleh karena itu, katekese kebangsaan yang digagas oleh Dirjen Bimas Katolik merupakan salah satu wujud gebrakan baru yang memantik antusiasme umat Katolik dalam hidup berbangsa. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah umat Katolik akar rumput semakin menyadari pentingnya spiritualitas kehadiran dalam kehidupan bersama. a) Hadir Membangun Persaudaraan Katekese kebangsaan yang dijalankan oleh para Katekis hendaknya sampai pada kesadaran baru untuk hadir membangun persaudaraan dalam hidup bersama. Isu SARA yang selama ini melahirkan banyak konflik horisontal hendaknya bisa diatasi dengan membangun budaya Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 125 atau sikap toleransi yang menghargai perbedaan. Bukankah Gereja pada dasarnya adalah persekutuan cinta kasih yang menjunjung tinggi prinsip persekutuan dan persaudaraan? Oleh karena itu, segala macam tindakan yang bertentangan dengan spiritualitas kristiani dan Pancasila hendaknya ditangkal dengan katekese kebangsaan ini. b) Hadir menjadi Penyelenggara Negara dan Aparatur Negara yang Aktif Pandangan lama umat Katolik tentang politik yang kotor seringkali melahirkan sikap apatis dalam berdemokrasi. Politik yang kotor atau elit pemerintahan yang tidak berintegritas menjadi alasan untuk mengambil jarak dari kehidupan berbangsa. Selama ini mereka membuat pemisahan yang tegas antara Gereja dan negara. Karena itu, para Katekis hendaknya hadir untuk mewartakan “Yesus yang membayar pajak kepada kaisar” (Mat 22:21). Bahwa Gereja melalui banyak ajarannya telah menganjurkan agar umat Katolik berpartisipasi aktif dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai warga negara. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan berpartisipasi aktif dalam pesta demokrasi dan menjadi penyelenggara dan aparatur negara, seperti PNS, TNI, Polri dan berbagai macam profesi lainnya. Selain itu, dalam konteks yang paling kecil bisa dinyatakan dengan menerima tanggung jawab menjadi ketua RT, RW, pemimpin lingkungan atau pun organisasi kemasyarakatan. c) Hadir untuk Melestarikan Alam Panggilan untuk mencintai tanah air menjadi tugas dan kewajiban semua warga negara. GerejaKatolik sebagai bagian dari negara ini pun dipanggil untuk mewujudkan patriotismenya dalam kehidupan konkret. Salah satunya ialah dengan berpartisipasi aktif dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Kenyataan semakin parahnya kerusakan lingkungan hidup di Indonesia hendaknya menjadi alasan yang kuat bagi para Katekis untuk giat mewartakan katekese lingkungan hidup. Gereja bersama para Katekis bisa menjalin kerja sama dengan pemerintah ataupun lembaga JPIC Gereja. d) Hadir memperjuangkan Kemanusiaan Gereja melalui banyak ajarannya sangat keras bersuara untuk memperjuangkan hak-hak kemanusiaan yang selama ini terabaikan oleh karena ketidakadilan. Istilah SDM (Sumber Daya Manusia) yang sering digunakan tidak boleh mengabaikan kebenaran bahwa nilai manusia tak 126 Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput hanya terletak dalam kegunaannya. Martabat manusia Indonesia harus dihargai sepenuhnya dan tidak boleh diperalat untuk tujuan apapun, termasuk tujuan politik (Suharyo, 2009:61). Di Indonesia pelanggaran atas nilai-nilai kemanusiaan sudah seringkali terjadi. Pelanggaran HAM, diskriminasi SARA, kemiskinan dan seterusnya menjadi kenyataan yang mewarnai perjalanan bangsa ini. Hemat penulis, di sinilah umat Katolik akar rumput hadir untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusian tersebut dalam masyarakat. Para Katekis melalui katekese kebangsaannya menegaskan bahwa manusia mempunyai nilai dalam dirinya sendiri dan tidak pernah boleh diperalat oleh siapa pun. Bukankah manusia diciptakan menurut citra Allah, diperbaharui oleh Yesus Kristus yang dengan karya penebusan-Nya mengangkat manusia menjadi anak Allah? (Suharyo, 2009:61). Katekis: Pelayan dan Misioner Gereja dan Bangsa Posisi Gereja dalam tata keselamatan manusia ialah sebagai pelayan Kerajaan Allah. Gereja disebut pelayan Kerajaan Allah karena hidupnya dibaktikan untuk pelayanan, pewartaan, dan pemenuhan (meskipun tidak sempurna) Kerajaan Allah (Riyanto, 2010:207). Menyadari posisi ini, Gereja terus berusaha menampilkan dirinya sebagai garam dan terang dunia dalam seluruh karya perutusannya. Apabila meninjau kembali Quo Vadis Katekis dari zaman ke zaman, penulis menemukan dengan sangat jelas suatu sifat dasar mereka yang khas, yaitu sebagai pelayan dan misioner Gereja dalam dunia. Mereka adalah gambaran langsung dari garam dan terang itu. Dengan meneladani Kristus dan para Rasul, para Katekis hadir untuk melayani umat Allah dengan mewartakan Kabar Baik di tengah-tengah dunia. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa banyak Katekis yang menjadi sukarelawan untuk membantu pastor paroki, seperti mempersiapkan umat yang dibaptis, komuni pertama dan krisma, pelajaran agama Katolik, dan membimbing pertemuan Aksi Puasa Pembangunan (APP) dan Adven. Dalam konteks katekese kebangsaan, sifat dasar para Katekis sebagai pelayan dan misioner Gereja mendapat arti baru. Mereka tidak lagi sekadar menjadi pelayan dan misioner dalam Gereja, melainkan juga menjadi pelayan Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 127 dan pewarta negara. Dengan demikian muatan katekese mereka sudah bergerak ke ranah yang lebih luas, yaitu nilai-nilai injili dan Pancasila sebagai dasar negara bangsa Indonesia. Kesadaran yang baru ini sangat penting untk membentuk identitas yang utuh dalam diri para Katekis. Patut dimengerti bahwa keterlibatan kaum awam dalam hidup menggereja bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan “kekurangan tenaga imam”, tetapi terutama bagaimana Gereja mengungkapkan dan mewujudkan dirinya dalam pelayanan (Murjoko, 1985:3). “Those who with God’s help have welcomed Christ’s call and freely responded to it, are urged on by love of Christ to proclaim the Good News everywhere in the world. This treasure, received from the apostles, has been faithfully guarded by their successors. All Christ’s faithful are called to hand it on from generation to generation, by professing the faith, by living it in fraternal sharing, and by celebrating it in liturgy and prayer” (cf. Acts 2:42) Hal ini pun ditegaskan pula oleh Ketua Komisi Kateketik (Komkat) Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM yang menilai katekese sebagai karya strategis untuk mengubah wajah serta kualitas iman umat Katolik Indonesia (Majalah HIDUP Edisi 19 Februari 2017 hlm. 14). Mereka adalah pelayan dan pewarta yang menghadirkan transformasi rohani maupun sosial individu dalam kehidupan menggereja maupun berbangsa. Penutup Katekese kebangsaan merupakan suatu hal yang niscaya untuk segera dilakukan dalam konteks umat Katolik akar rumput. Mereka hendaknya sungguh memahami makna kehadirannya di tengah masyarakat sebagai bagian dari bangsa ini karena partisipasi mereka merupakan tanda kehadiran Gereja sebagai garam dan terang dunia. Membangun persekutuan yang kuat dan intens ke dalam Gereja memang baik, tapi akan menjadi lebih baik lagi apabila persekutuan tersebut diseimbangkan dengan keaktifan dalam kehidupan bermasyarakat atau berbangsa. Nah, di sinilah peran Katekis yang berkebangsaan menjadi sangat 128 Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput penting. Dengan menghadirkan spiritualitas Kristiani dan nilai-nilai Pancasila, para Katekis berjuang membidani transformasi sosial dan rohani umat Katolik akar rumput, yaitu berpartisipasi aktif dalam membangun bangsa. Oleh karena itu, mempersiapkan Katekis yang berkebangsaan hendaknya mendapatkan perhatian yang serius dan terus-menerus dari Gereja Katolik Indonesia. Sebab tanpa hal ini Quo Vadis Katekis hanya akan terus menjadi retorika belaka. Daftar Pustaka Dokumen Gereja Dokumen Konsili Vatikan II.Apostolicam Actuositatem(Kegiatan Merasul). Penterj. R. Hardawiryana. Jakarta: Dokpen KWI, 2006. Dokumen Konsili Vatikan II.Gaudium et Spess(Kegembiraan dan Harapan). Penterj. R. Hardawiryana. Jakarta: Dokpen KWI, 1992. Dokumen Konsili Vatikan II. Nostra Aetate (Pada Zaman Kita). Penerj. R. Hardawiryana. Jakarta: Dokpen KWI, 1992. Yohanes Paulus II. Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae (Penyelenggaraan Katekese). Penterj. Robert Hardawiryana. Jakarta: Dokpen KWI, 1992. Yohanes Paulus II. Ensiklik Centesimus Annus (Ulang Tahun Ke Seratus). Penterj. R. Hardawiryana. Jakarta: Dokpen KWI, 1991. Paulus VI. Evangelii Nuntiandi (Mewartakan Injil). Penterj. J. Hadiwikarta. Jakarta: Dokpen KWI, 2005. Congregation For The Clergy. Petunjuk Umum Katekese (Judul Asli: General Directory For Catechesis). Penterj. Komisi Kateketik KWI. Jakarta: Dokpen KWI, 2000. The Catechism of The Catholic Church. Kenya: Paulines Publications, 1994. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 129 Buku Danan Widharsana, Petrus. Mengamalkan Pancasila dalam Terang Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 2018. Komisi Kateketik KWI. Katekese Umat dan Evanglisasi Baru. Yogyakarta: Kanisius, 1995. Murjoko, M. Yuwono. Katekese Integratif. Seri Pradnyawidya, vol. 17. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Kateketik Pradnyawidya, 1985. Pareira, Berthold Anton. Mari Berteologi: Sebuah Pengantar Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 2012. Riyanto, Armada. Dialog Interreligius: Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah. Yogyakarta: Kanisius, 2010. Suharyo, Ignatius. The Catholic Way, Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita. Yogyakarta: Kanisius, 2009. Artikel C. Aman, Peter. “Menyucikan Dunia, Mengamalkan Pancasila,” HIDUP, 26 November 2017. Jena, Yeremias. “Antusiasme Menjadi Katekis”, HIDUP, 26 November 2017. 130 Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput Partisipasi Kaum Muda dalam Semangat Pancasila bagi Kehidupan Bermasyarakat yang Humanis di Era Disrupsi Kasimirus Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Teologi Widya Yuwana Pendahuluan Perjuangan kesetaraan dapat terungkap melalui bentuk tertentu. Prancis misalnya, telah melahirkan revolusi dengan semboyan liberte, egalite, dan fraternite(kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Tujuan rakyat dalam revolusi Prancis adalah keadilan. Sumpah Pemuda berbicara perjuangan yang serupa. Sumpah Pemuda bicara soal kesetaraan dalam kerangka keadilan yang melampaui letak geografis, suku bangsa, dan bahasa. Tidak bisa dimungkiri bahwa kaum muda telah menjadi bintang bangsa masa itu. Saat ini, militansi kaum muda tampak meredup dalam partisipasi mengisi sejarah kemerdekaan sebagai historierecite (sejarah yang dituturkan), dan lewat ikhtiar membangun masa depan bangsa yang cerah (the golden future). Namun dewasa ini perlu disadari bahwa “Gaya Barat” kian deras melanda kaum muda, ideologi asing begitu kuat menancap di kalbu beberapa kaum muda. Kalbu adalah pangkal perasaan batin.Kaum muda menjadi mudah diprovokasi untuk aksi-aksi perpecahan. Unjuk rasa massa di beberapa pusat pemerintahan Papua yang dipicu oleh rasisme terhadap mahasiswa Papua di Jawa, khususnya Surabaya, Jawa Timur pada Dirgahayu RI ke-74, pada umumnya pelakunya adalah kaum muda. Negara dalam personalisasi lembaga aparat, dan warga pada saat itu, yang seharusnya menjaga keharmonisan dan meredam perpecahan justru melontarkan kata- kata rasisme kepada anak bangsa dari Papua di jalan Kalasan Sabtu sore 17 Agustus 2019. Papua terluka, Indonesia pilu. Sayatan luka Papua tidak mudah diobati, sekalipun aparat telah mengantongi nama Benny Wenda sebagai dalang kerusuhan di Papua, sebab yang dilukai adalah Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 131 martabat kemanusiaan. Jadi, persoalannya bukan rasisme terhadap Papua saja tetapi rasisme terhadap ideologi Pancasila, rasisme terhadap seluruh bangsa Indonesia, sebab Pancasila lahir dari filsafat hidup suku bangsa manusia Indonesia. Benny Wenda pun memberikan keterangan bahwa sikap aparat pemerintah tidak lain sebagai pengalihan perhatian dari tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua. Apa yang terjadi, siapa yangbenar? Kemajuan teknologi dan pengetahuan era disrupsi pun kadang menjadi pemantik api perpecahan. Era disrupsi membuat perjumpaan face-to-face, komunitas dengan komunitas jarang terjadi lagi. Aktivitas manusia yang awalnya dilakukan dalam dunia nyata beralih ke dunia maya melampaui batas buku bangsa di seluruh dunia. Pancasila seakan dianggap ketinggalan zaman. Era disrupsi adalah miliknya kaum muda saat ini. Kemajuan teknologi dan pengetahuan bagai pisau yang bisa dipakai untuk aktivitas masak, atau melukai manusia. Pisau itu sekarang selalu ada di depan gadget yaitu jari setiap manusia, dan hanya dengan “klik‟ sudah beroperasi untuk menghancurkan atau memanusiakan manusia. Kekayaan era disrupsi seharusnya semakin menjadikan kaum muda sebagai subjek pembangun bangsa Indonesia. Pola kerja cepat, profesional, berpikir lintas batas, berwawasan global adalah milik anak muda saat ini. Ideologi Pancasila yang merangkum semua yaitu manusia sebagai subjek perubahan peradaban perlu diangkat, disadari, dan dihayati; bahwa Pancasila tidak pernah ketinggalan era. Oleh karena itu, karya ilmiah ini digagas tidak lepas dari konteks era disrupsi dan nilai Pancasila dalam realitas kaum muda saat ini yang antipati dengan Pancasila, dan disorientasi serta distorsi kekayaan era disrupsi. Kaum muda memang harus bangkit menjadi garda terdepan untuk menjaga dan mempercantik kesatuan semua manusia Indonesia dari Sabang sampai Merauke di bawah ideologi Pancasila. Metode penulisan karya ini adalah studi pustaka. Studi pustaka dari tulisan ini menjawab: (1) apa semangat Pancasila dalam kaitannya dengan kaum muda; (2) bagaimana kaum muda menghayati semangat Pancasila di era disrupsi untuk hidup bermasyarakat yang humanis. Kaum muda diharapkan mengolaborasi Pancasila dengan kekayaan era disrupsi menjadi uptodate bagi pembangunan bangsa. 132 Partisipasi Kaum Muda dalam Semangat Pancasila Pancasila sebagai Rumah Bersama NKRI Gambaran Pancasila sebagai rumah bersama tidaklah berlebihan. Rumah merupakan tempat bernaung, beraktivitas, tatap muka, kasih-mengasihi di antara para anggota keluarga. Oleh karena itu, rumah harus dijamin kenyamanannya oleh para anggota keluarga sendiri, terutama kedua orang tua. Tempat paling nyaman adalah rumah sendiri, sekalipun rumah tetangga bergelimangan harta. Pancasila adalah rumah setiap warga negara Indonesia. Semangat Pancasila akan dilihat sebagai wadah lahirnya manusia Indonesia, sebagai sumber pendidikan moral dan cita-cita bersama. Pancasila Wadah Lahirnya Manusia Indonesia Pancasila merangkum semua. Pidato Soerkarno 1 Juni 1945 memperlihatkan impian membentuk Indonesia sebagai rumah bersama yang merangkum semua kalangan yang berbeda budaya, bahasa, bahkan berbeda filosofi hidup. Soekarno (dalam Dewantara, 2017:94) mengatakan, “Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya, semua buat semua!” Kutipan tersebut menunjukkan bahwa masa perjuangan terjadi perang ideologi dalam mencari fondasi rumah bersama yang kokoh bagi Indonesia merdeka (Dewantara, 2017:59). Di dalam rumah ada kemerdekaan, maka tidak mengherankan bila Soekarno ketika menyampaikan gagasan dasar negara ia pertama-tama menggugah hati semua orang bahwa tidak ada harapan yang lebih besar selain kemauan untuk merdeka. Secara harfiah, merdeka berarti bebas. Kebebasan dapat dipahami dalam dua arti ‘bebas dari’ dan ‘bebas untuk’. Dalam pengertian yang mendalam tentang kebebasan, ‘bebas dari’ dan ‘bebas untuk’saling mengandaikan. Manusia akan bebas untuk bertindak sesuatu, bila ia bebas dari ‘syarat bebas untuk’. Sebaliknya, manusia ‘bebas dari sesuatu’ bila ia bebas dari ‘syarat bebasdari’. Kebebasan atau ketidakbebasan dialami secara istimewa dan berkesan di dalam rumah (keluarga). Dewantara (2017: 60) mengatakan: Kehendak merdeka harus mendahului keadaan geografis, buta huruf, kaya-miskin. Keterbatasan dan ketidaksempurnaan manusia, atau ras suatu suku bangsa dialami dalam keluarga. Kehidupan keluarga tidak pertama-tama melihat kaya-miskin, buta huruf, tetapi kebebasan (kemerdekaan), kenyamanan. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 133 Budaya Indonesia membenarkan kenyataan itu, bahwa orang nyaman di rumah sendiri, bebas menambah makan bila belum kenyang makan hanya sepiring, bisa minum semaunya karena sudah menjadi haknya. Di dalam keluarga, anggota keluarga makan apa yang menjadi haknya, bukan memakan jatah anggota keluarga yang lain, apa lagi merampas hak tetangga. Setiap anggota keluarga yang lahir diterima oleh keluarga, demikian juga setiap manusia suku bangsa diterima dengan penuh kasih oleh negara. Malahan, keluarga yang lahir lemah, tidak normal harus diperhatikan secara istimewa oleh anggota keluarga yang kuat. Negara pun demikian, seharusnya perhatian besar negara ada pada mereka yang lemah dan miskin. Penguasa negara sebagai personifikasi seorang ayah sekaligus ibu dalam keluarga harus membangun kerja sama yang baik untuk mewujudkan keharmonisan. Namun, sering kali yang dijumpai, Pancasila sebagai rumah bersama dimaknai beda dari roh asalinya. Para penguasa sering kali memeras, memperdaya dan menindas rakyat yang lemah. Mirisnya, konglomerat diangkat dan lebih didahulukan oleh penguasa. Dengan demikian, kualitas Pancasila sebagai rumah ditentukan oleh para penguasa, dan bukan Pancasilanya atau rumahnya yang menyebabkan ketidaknyamanan. Di negara Indonesia kerja sama untuk mewujudkan harmoni hidup bersama disebut gotong royong. Gotong royong adalah roh dari Pancasila. Wadah tumbuh berkembangnya manusia Indonesia yang sehat harus wadah yang hidup dalam semangat gotong royong. Ketika meneropong demokrasi Pancasila, Dewantara (2017:31) menyebutkan: pertama, bila semangat gotong royong itu di dunia ekonomi, ekonomi harus dikelola dalam prinsip aksesibilitas, transparansi, dan akuntabilitas. Kedua, bila gotong royong itu terkait kekuasaan, kekuasaan tidak diartikan sebagai kepemilikan melainkan kepengaturan, penguasa sebagai regulator kehidupan bersama. Gotong royong mengandaikan cinta, sama seperti analogi cinta di dalam sebuah keluarga. Cinta menyangkut soal hati. Hatinya Indonesia sangat peka. Hati Indonesia dibentuk oleh natura. Pancasila merupakan kristalisasi hati Indonesia. Hati bukan hanya soal perasaan (afektif). Dalam pemikiran Indonesia, hati juga menyangkut pikiran (pertimbangan akal budi, nalar). Itulah sebabnya, kalau dikatakan, pilih sesuai hati nurani berarti mengandaikan 134 Partisipasi Kaum Muda dalam Semangat Pancasila adanya sebuah refleksi. Refleksi bukan tanpa pertimbangan akal budi, sebab dalam refleksi terjadi penghadiran realitas, data, konsep dan konflik dalam regulatif pikiran. Soekarno, sebagaimana digambarkan Driyarkara (dalam Sudiarja, 2006: 833) mengatakan bahwa Pancasila didapatkan dengan menggali dalam manusia Indonesia, artinya meneliti sejarah, keadaan sosiologis, serta watakwatak dan psike manusia Indonesia. Meneliti manusia Indonesia membawa kita ke pemikiran tentang apa manusia itu? Dalam eksistensinya yang konkret, cara berada manusia adalah bahwa manusia tidak berdiri sendiri, melainkan serba terhubung dalam segala-galanya (Sudiarja, dkk., 2006: 839). Pancasila sebagai rumah bersama tampak juga dari kesamaan daerah, perjuangan yang sama, nasib, cita-cita, makan dalam satu periuk Indonesia. Pemikiran di atas membawa gambaran mengenai Pancasila. Pancasila adalah gambaran manusia Indonesia, yang dipahami dan memahami diri sebagai yang terhubung dengan roh di luar dirinya. Roh itu bersifat melampaui, maka muncullah sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Manusia Indonesia juga memahami dirinya terhubung dengan sesama yang melahirkan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan sila Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Sila pertama hingga sila keempat menjamin hidup bersama yang tidak saling melukai oleh naluri kebinatangan. Manusia Indonesia juga memahami diri sebagai ada dalam tujuan yaitu keadilan, yang memunculkan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sila ini menjadi tujuan berangkat dari keadilan yang diartikan kesejahteraan bersama (bonum commune). Pancasila muncul dari natura manusia Indonesia, sehingga mempunyai nilai yang tetap, konstan yang secara universal dan radikal menyentuh secara keseluruhan (Dewantara, 2017: 38). Gagasan Pancasila menunjukkan bahwa Pancasila tetap bisa eksis dan relevan pada era mana pun, sebab Pancasila memuat nilai universal, radikal menyentuh secara keseluruhan. Pancasila sebagai rumah bersama akan tetap berdirikokoh di tengah gejolak era disrupsi, sebab oleh nilai-nilai Pancasila batas geografis, suku, bahasa dan bangsa menjadi luluh. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 135 Pancasila Rumah Pendidikan Moral Hidup Bermasyarakat Pancasila sebagai rumah bersama sudah dibahas. Pada bagian ini Pancasila dilihat sebagai rumah pendidikan. Pancasila sebagai rumah tidak hanya sekadar tempat melahirkan manusia Indonesia dalam arti biologis tetapi dalam arti nilai karakter. Pendidikan mendasar dan sangat menentukan dimulai dari keluarga, dari rumah. Pancasila sebagai rumah bersama pun harus menjadi sumber pendidikan etika. Etika merupakan cakupan filsafat moral: bagaimana hidup harus dijalani dan mengapa harus hidup demikian, terutama dalam kaitannya dengan hidup bersama (bdk. Rachels, 2004: 17). Basis pendidikan sosial ada pada keluarga yang menjadikan anak-anak bisa bersosialisasi, mengabdi dan melayani di masyarakat. Kehidupan keluarga menjadi cermin kehidupan bermasyarakat. Moral selalu berkaitan dengan orang banyak, jadi hidup sosial juga berkaitan dengan keterlibatan dalam sosial-politik yang benar. Keterlibatan mengurus hidup orang banyak adalah ranah politik. Pendidikan politik harus ditanamkan sejak kecil di dalam keluarga. Bashori (SUKMA, 02.7.2018: 292306) menyebutkan ada empat tempat sosialisasi politik yaitu keluarga, sekolah, agama, asosiasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan media. Di sini dibahas dua hal. Pertama, sosialisasi di dalam keluarga dan sosialisasi di melalui media. Pembahasan dua tempat ini tidak lain adalah analogi tentang Pancasila sebagai rumah pendidikan moral bersama. Keluarga di era disrupsi atau modern cenderung memiliki pola hubungan yang lebih demokratis, dengan peran masing-masing yang setara (Boshori, SUKMA. 02.7.2018: 294). Anak berada pada daya tarik antara orang tua atau kerabat (teman sebaya). Kecenderungan ketertarikan ditentukan oleh seberapa tertarik atau seberapa dekat anak dengan orang tua, atau seberapa dekat anak dengan teman sebaya. Jika anak lebih dekat dan lebih tertarik dengan orang tua, maka anak akan cenderung ikut pilihan orang tua, namun bila anak lebih dekat dengan teman sebaya, maka anak cenderung mengikuti pilihan teman sebaya. Kedua, ketertarikan anak juga dipengaruhi sejauh mana orang tua sepakat dalam satu hal. Kesepakatan dalam sekata, seperbuatan akan lebih menentukan dalam pengambilan keputusan anak dalam partisipasi kemasyarakatan daripada faktor lain seperti demografi, karakteristik pribadi (ras, jenis kelamin, agama, golongan dan lain-lain). 136 Partisipasi Kaum Muda dalam Semangat Pancasila Gagasan di atas dapat ditarik dalam pemikiran Pancasila sebagai rumah pendidikan moral. Bila ingin Pancasila dijadikan rumah pendidikan bersama yang mumpuni, maka ada dua kriteria dasar yang harus dipenuhi. Pertama, penguasa harus menunjukkan keelokan dari Pancasila. Kedua, penguasa harus sependapat bahwa Pancasila sebagai dasar negara, artinya, penguasa harus bersama-sama bahwa kelima Pancasila sudah merupakan nilai tetap, konstan yang secara universal dan radikal menyentuh keseluruhan. Kedua kriteria itu dapat dirangkum menjadi satu sistem pendidikan Pancasila, yaitu keteladanan. Keteladanan memang lebih sesuai di Indonesia dalam pendidikan daripada pengertian gagasan yang begitu bagus tentang nilainilai Pancasila. Mengapa keteladanan? Pancasila sebagai rumah pendidikan moral hidup bermasyarakat harus menjadi rumah keteladanan nilai-nilai luhur Pancasila. Mari mencermati latar belakang pemikiran pendidikan lewat keteladanan dalam dunia ketimuran. Kata filsafat di Timur dikenal dengan nama anviksiki atau darsana (Sudiardja, dkk., 2006: 1053). Sistem berpikir orang Timur agak berbeda dengan berpikir Barat. Belajar filsafat di Timur dilakukan dengan ngelmu (berguru), artinya belajar praktis cara bertindak bijak dalam hidup, sedangkan filsafat Barat (khususnya filsafat modern) sangat menekankan ke-ilmuan-an yaitu sangat objektif, rasional, dan teknis. Filsafat Timur lebih sesuai dengan arti philosophia awal dalam hal mengajari orang bertindak (praktis) (Sudiardja, dkk., 2006: 1053). Filsafat Timur sangat subjektif, menekankan afektif, dan hati terbuka pada realitas ajaib yang mengatasi segalanya serta yang dihormati dengan kurban dan upacara-upacara (Sudiardja, dkk., 2006: 1053). Kedekatan filsafat Timur dengan filsafat yang diawali oleh Plato dan Aristoteles, terutama Sokrates sebagai filsafat yang sesungguhnya dapat dilihat dari definisi tentang ‘kebenaran’. Kebenaran pada umumnya dimengerti sebagai adanya kesesuaian antara perkataan dengan perbuatan, kesesuaian konsep dengan realitas (Lorens, 2002:412-413). Pandangan kebenaran tersebut berasal dari Aristoteles: “Veritas est adaequatio intelectu set rhei” (Kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan). Teori kebenaran ini disebut juga teori penggambaran atau korespondensi, yang berpanggal dari mazhab realisme atau materialisme (Lorens, 2002: 413). Pandangan tentang kebenaran ini Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 137 sesuai dengan pola pikir filosof Timur, khususnya dalam Hinduisme, yaitu kebenaran terkait dengan apa yang kelihatan dan berguna (realis dan materialis). Suatu abstraksi yang logis, sitematis dan rasional selalu dikaitkan dengan kenyataan. Kualitas teori dinilai bagus, baik dan benar kalau praktiknya bagus, baik dan benar. Jadi, seorang guru nyantrik atau ngelmu yang baik dan benar bukan diukur dari hasil pikiran tetapi dari hidupnya yang baik sehari-hari (Dewantara, 2018:93). Berdasarkan pemikiran di atas, Pancasila sebagai rumah bersama harus dikelola oleh guru-guru yang menghayati nilai-nilai Pancasila. Konsekuensi dari pemikiran tersebut adalah sejauh rumah pendidikan dikelola oleh pendidik-pendidik tidak bermoral jangan bermimpi gotong royong yang begitu luar biasa menjadi milik generasi bangsa. Dalam negara berpancasila sebagai rumah pendidikan, nilai keadilan, nilai kejujuran, nilai kebebasan, nilai menghargai hak orang merupakan hal pokok dan mendasar. Jika ingin menjadikan anak sebagai politikus yang baik, nilai keadilan, kejujuran, menghargai hak orang lain harus ditanamkan. Anak harus dilatih kebebasan yang bertanggung jawab, dilatih untuk menghargai hak-hak orang karena nantinya akan bekerja dengan banyak orang. Anak harus dididik untuk tahu mana haknya dan mana hak orang lain yang tidak boleh dimakan, hak rakyat yang tidak boleh diambil. Pendidikan di sekolah, pendidikan di dalam agama, pendidikan di masyarakat tidak lain adalah penguatan akan nilai-nilai yang ditanamkan dalam keluarga. Pancasila sebagai Cita-cita Bersama Pancasila diangkat dari sari hidup bangsa Indonesia. Pancasila bukanlah ideologi yang sudah selesai dalam arti penghayatan, meskipun diperas dari hidup Indonesia. Pancasila sebagai nilai sudah selesai, tetapi sebagai cita-cita tidak akan pernah selesai. Mengapa demikian? Karena Pancasila diangkat dari cara beradanya manusia. Manusia itu adalah ‘makhluk yang menjadi’. Penggalian demi penggalian nilai-nilai kearifan bangsa Indonesia tidak lain adalah pekerjaan para pencinta kebijaksanaan (philosophia). Nilai-nilai seperti Pancasila adalah kebijaksanaan. Kehidupan bersama yang diwarnai oleh ketidakselarasan dengan Pancasila menunjukkan juga bahwa Pancasila adalah cita-cita bersama yang selalu menjadi beyond, harus diperjuangkan 138 Partisipasi Kaum Muda dalam Semangat Pancasila bersama. Pancasila sebagai cita-cita bukanlah sesuatu yang mustahil dicapai dan juga bukan sesuatu yang dekat. Pancasila sebagai cita-cita merupakan sesuatu yang dekat tak tersentuh sekaligus sesuatu yang jauh tetapi dirasakan dan menginspirasi dalam hidup bersama. Pemikiran ini pun menunjukkan bahwa Pancasila dapat selalu eksis di segala era. Pancasila adalah thelos tiap warga Indonesia. Pancasila merupakan potret manusia Indonesia yang ideal. Manusia yang ideal menurut Pancasila adalah percaya kepada Allah yang satu dan Esa, hidup sosial yang beradab, hidup berkomunitas yang harmonis, bijaksana dalam mengelola kehidupan bersama, dan bertanggung jawab mewujudkan bonum commune. Pandangan itu menunjukkan posisi Pancasila yang terbuka. Menurut, Irhandayaningsih (2012: 1) Pancasila menjadi sebuah ideologi yang terbuka karena dimensi nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu nilai ideal dan nilai aktual. Nilai Pancasila mencakup nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praktis. Nilai ideal dan nilai aktual dipengaruhi oleh nilai yang dihayati oleh global sehingga terjadi pergeseran. Pergeseran yang terjadi menyebabkan juga pergeseran peradaban yang berdampak pada perubahan pemaknaan Pancasila (Irhandayaningsih, HUMANIKA, 16.7.2012: 3). Dengan demikian, pemaknaan Pancasila berbeda-beda untuk setiap generasi tetapi tetap satu, banyak ragam tetapi tetap mewujudkan persatuan. Gambaran Pancasila di atas menunjukkan bahwa Pancasila sanggup menyesuaikan diri dengan perubahan peradaban kapan pun dan di mana pun. Pancasila sebagai nilai menunjukkan juga identitasnya sebagai ideologi yang meng-universal, artinya, nilai Pancasila bisa dihayati bagi siapa saja manusia di seluruh dunia. Keterikatan dengan dunia global yang tidak diragukan menunjukkan bahwa Pancasila sebagai ideologi ditarik dari esensi dan eksistensi manusia. Oleh karena itu, Pancasila sebagai cita-cita tidak mungkin menjadi usang layaknya cita-cita biasa dalam kehidupan seharihari, asalkan diperbarui dengan menghayatinya dalam kehidupan bermasyarakat yang humanis. Arus kencang yang menerpa keteguhan Pancasila sebagai nilai yang selalu eksis adalah peradaban baru manusia yang disebut era disrupsi. Goyangan terhadap Pancasila akibat menelan budaya modern secara mentahmentah menghasilkan manusia Indonesia sekularistik yang terkadang ditunggangi pragmatisme. Penerimaan ideologi lain akibat ketidakpercayaan Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 139 terhadap Pancasila, dan memperjuangkan keinginan buta yangmembunuh multikulturalisme disebut radikalisme. Sedangkan prilaku memegang Pancasila, dan tidak mencoba mencari bentuk-bentuk baru dalam menghayatinya akibat kekhawatiran-kekhawatiran yang mengesampingkan nalar disebut konservatisme. Oleh karena itu, pendidikan Pancasila ini merupakan hal yang penting bagi keberlangsungan hidup bermasyarakat yang berdasar Pancasila. Sri Edi Swarsono, dalam Irhandayaningsih (HUMANIKA, 16.7.2012: 3), mengatakan, bila pemuda-pemudi Indonesia tidak mampu berwawasan nusantara, maka ini merupakan cacat embrional bagi nasionalisme Indonesia. Kaum Muda dalam Era Disrupsi Pertama, kaum muda adalah agen perubahan. Masa muda adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke tahap menjelang dewasa. Pada usia muda tersebut terjadi perkembangan pesat dan tidak terduga. Jean Piegat, dalam (Hardiwardaya, 1994:179-180) menggagas teori penting mengenai perkembangan kognitif, perkembangan moral, dan iman kaum muda. Perkembangan kognitif disebabkan oleh dua fungsi pribadi, yakni fungsi organisasi dan fungsi adaptasi. Organisasi menjadi tempat mengolah informasi dan menjadikannya milik pribadi. Kaum muda pun, melalui kekayaan kognitif yang baru, menyesuaikan diri dengan realitas. Menurut Piaget, dalam Hadiwardaya (1994:180) menyebutkan bahwa perkembangan kognitif dapat lebih dipicu oleh rangsangan positif dari luar. Kedua, kaum muda mengalami perkembangan penalaran moral. Teori Piaget tentang perkembangan kognitif mendorong Lawrence Kolberg. Kolberg melihat dan mengelompokkan perkembangan kesadaran moral dalam lima tahap. Tahap pertama, tahap di mana pribadi menyesuaikan diri dengan aturan dan adat kebiasaan yang berlaku. Penilaian atas baik atau buruk didasarkan pada akibat fisik. Orientasi tahap ini adalah hukuman dan ketaatan. Tahap kedua adalah tahap di mana orientasinya adalah pemuasan kebutuhan. Tindakan dinilai baik kalau memuaskan kebutuhan diri sendiri, dan kadang-kadang kebutuhan orang lain. Tahap ketiga adalah tindakan dinilai baik atau buruk bila membantu orang lain, sesuai dengan apa yang 140 Partisipasi Kaum Muda dalam Semangat Pancasila disetujui orang lain. Tindakan moral sangat konformitas, ikut suara banyak. Tahap keempat adalah tindakan dinilai bermoral bila menjalankan kewajiban, menghormati yang berwibawa, dan menjalankan aturan tanpa pertanyaan (Sutrisno, 2006: 74). Tahap kelima adalah tindakan baik dan atau buruk dinilai bermoral bila mengambil sikap utilitaristis yaitu tindakan yang sesuai norma yang telah diperiksa secara kritis dan disetujui masyarakat. Tahap keenam, tindakan yang bermoral disebut bermoral bila tindakan yang dilakukan sesuai dengan keputusan suara hati, berdasarkan prinsip-prinsip moral yang logis, universal. Manusia bermoral berdasarkan Pancasila ada pada tahap perkembangan moral yang kelima dan keenam. Ketiga, kaum muda mengalami perkembangan iman. Perkembangan iman telah diteliti oleh Fowler yang masih di bawah pengaruh kajian Piaget dan Kolberg. Iman berkembang dalam beberapa tahap: tahap iman proyektif, tahap iman mitisliteral, tahap iman sintesis konvensional, tahap iman reflektif individuatif, tahap iman konduktif, tahap iman kunjungtif, dan tahap iman yang diuniversalkan (Hadiwardaya, 1994: 74). Tahap-tahap perkembangan iman harus disikapi oleh kaum muda dengan baik. Usaha dari tahap 3 ke tahap 4 sering mengalami kesulitan dan harus dilakukan dengan perjuangan yang berat. Kaum muda usia sekolah lanjutan memperjuangkan iman dalam dunia yang semakin kompleks tetapi seringkali masih sering bersandar pada tokoh- tokoh yang dipujanya. Orang muda berkembang dalam kemampuan abstraksi dan refleksi. Perkembangan kognitif, moral, dan iman mengalami tantangan di era disrupsi, era yang penuh kejutan dan hal baru. Era ini tidak hanya perubahan biasa tetapi juga mendasar dan hampir dalam semua aspek kehidupan. Tatanan lama digantikan dengan tatanan baru yang kadang tidak siap dihadapi. Pilihan yang ada di era ini adalah berubah atau punah, dengan demikian tidak ada pilihan lain. Literasi lama seperti membaca, menulis, dan matematika tidak cukup untuk bertahan hidup, menjadi kaum muda yang baik. Di era ini dibutuhkan literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia. Orang dapat memanfaatkan MOOC (Massive Open Online Course) dan AI (Artificial Intellegence) (bdk. Bashori, SUKMA. 2.07.2018: 2). Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 141 Kaum Muda dalam Semangat Pancasila di Era Disrupsi Semangat Pancasila di kalangan kaum mudah sudah ada sejak gagasan dan perjuangan Sumpah Pemuda. Perjuangan kaum muda dalam Sumpah Pemuda yang dilakukan dengan bersama-sama meskipun berasal latar belakang yang berbeda menunjukkan inti dari Pancasila. Inti dari Pancasila adalah gotong royong: kebersamaan membentuk persatuan untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Gerakan kaum muda pra-kemerdekaan telah menghabiskan waktu untuk mengurusi kepentingan masyarakat, sudah mengurusi masalah-masalah politik yang menyangkut gagasan kemerdekaan, perlawanan terhadap imperialisme dan gerakan sosial yang melindas manusia Indonesia. Gerakan kaum muda di bawah Perhimpunan Indonesia (PI) pada tahun 1925 memiliki tiga tujuan (Jurdi, Jurnal Sosiologi Reflektif, 8.2.2016: 3031). Pertama, berupaya menyadarkan kaum muda dan mahasiswa agar mengusahakan kemerdekaan Indonesia, karena mereka yang akan menjadi elite-elite bangsa apa lagi Indonesia merdeka. Kedua, menghilangkan kesan bahwa kemajuan sosial ekonomi rakyat Indonesia bukanlah atas kebaikan pemerintah kolonial Belanda. Ketiga, menciptakan suatu ideologi gerakan yang kuat dan bebas dari pembatasan yang bersifat sektarian (Jurdi, Jurnal Sosiologi Reflektif, 8.2.2016: 30-31). Gerakan kaum muda pra-kemerdekaan memiliki cita-cita yang jelas dan idealisme yang kuat yakni mewujudkan Indonesia merdeka. Basis ideologi gerakan kaum muda adalah kesatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi (kemerdekaan adalah hasil kerja keras dan bukan hadiah dari penjajah), dan swadaya. Jurdi (Jurnal Sosiologi Reflektif, 8.2.2016:31), mengatakan bahwa aspek moralitas dan etika gerakan kaum muda amat menonjol dalam kontestansi antar elemen pemuda pada masa pra-kemerdekaan, mereka memiliki kelebihan tertentu dan kemampuan pribadinya dalam mengorganisir kekuatan rakyat yang memungkinkan lahirnya keberanian untuk menghadapi penjajah dengan ideologi-ideologinya. Kata merdeka bukan hanya primadona masa perjuangan, tetapi juga primadona era disrupsi, yaitu kebebasan. Kaum muda era disrupsi tidak mau dikendalikan, ingin bebas sesuai maunya, ingin selalu cepat, instan, tidak repot, praktis. Kaum muda (atau manusia pada umumnya) di era disrupsi ini selalu kritis. Sifat kritis ini ada dalam kerangka pikir perilaku selektif, meskipun selektifnya berkaitan dengan pragmatis, konsumeristis dan 142 Partisipasi Kaum Muda dalam Semangat Pancasila bermental instan. Sedangkan kritis yang diharapkan dalam semangat Pancasila adalah mempertimbangkan nilai, budaya, peristiwa dalam realitas seturut kaca mata Pancasila. Sikap kritis ini hanya mungkin bila kaum muda Indonesia menempatkan diri sebagai subjek pembangunan di atas era disrupsi. Omong kosong bila kaum muda mengeluarkan celoteh “gaul men” namun tidak bisa memanajemen diri. Kaum muda tidak cukup tahu mengoperasikan teknologi tetapi mengerti tujuan setiap ‘klik’ yang dilakukannya dalam kekayaan era disrupsi. Dalam hal inilah, memegang tujuan yang baik dan benar di era disrupsi merupakan hal penting untuk bertahan hidup. Modalnya bukanlah modal uang atau barang (money capital), melainkan modal manusia (human capital). Human capital terdiri dari kemampuan literasi lama seperti membaca, menulis, dan matematika, dan kemampuan yang mutlak di era disrupsi untuk bertahan hidup yaitu literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia. Kekayaan era disrupsi mengikat kita pada pilihan untuk berubah, sebab jika tidak, kita akan punah. Artinya, era disrupsi membuat manusia sangat terikat dan tergantung. Handphone kita, tanpa kita sadari telah mengikat kita. Kita harus mengisi pulsa atau paket data internetnya jika tidak ingin macet dalam komunikasi dengan pacar atau teman dekat. Runtutan penderitaannya banyak: kehilangan komunikasi akan kehilangan teman, kehilangan teman akan kehilangan dunia saat ini, kehilangan dunia saat ini akan kehilangan diri, kehilangan diri akan menghasilkan kegalauan dan kepuhan. Kekayaan era disrupsi sama-sama memiliki daya ikatnya dengan Pancasila. Kehilangan penghayatan nilai Pancasila menyebabkan kehilangan arah dan tujuan. Kehilangan arah dan tujuan menyebabkan penderitaan dan kepuhan. Kepuhan yang dimaksud tentu bukan pertama-tama dalam arti fisik (mati) tetapi jiwa Indonesia bangsa Indonesia mati, sebab kehilangan penghayatan Pancasila adalah kehilangan kemanusiaan. Perlu diingat bahwa manusia hanya dapat dimengerti bila terhubung dengan segalanya, alam ciptaan dan Tuhan. Pancasila mestinya dipandang sebagai teknologi yang begitu canggih. Salah satu turunan Pancasila adalah undang-undang. Undang-Undang no. 40/2009 mendefinisikan kaum muda. Menurut Undang-Undang no. 40/2009, kaum muda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Secara geografis dan antropologis, generasi Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 143 kaum muda dibagi ke dalam usia persiapan masuk dunia kerja, atau usia produktif yakni usia 15-40 tahun. Menurut sudut pandang sosial budaya, generasi muda saat ini memiliki sifat majemuk dengan aneka ragam etnis, agama, ekonomi, domisili, dan bahasa (Irhandayaningsih, HUMANIKA. 16.9.2012: 5). Pasal 7 menggambarkan pelayanan kepemudaan diarahkan untuk menumbuhkan patriotisme, dinamika, budaya prestasi dan semangat profesionalitas dan meningkatkan partisipasi dan peran aktif dalam membangun dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Manusia kini terhubung dan tergantung oleh kepentingan perdagangan, investasi dan budaya interaksi lain dalam media komunikasi yang begitu canggih. Ketergantungan tersebut disebut globalisasi. Globalisasi sendiri berarti suatu fenomena dari mana batasan antara negara seakan memudar karena terjadinya berbagai perkembangan di segala aspek kehidupan, khususnya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (Irhandayaningsih, HUMANIKA, 16.9.2012: 4). Kaum muda diharapkan menjadi subjek pengembangan nilainilai Pancasila yang diharapkan menjadi aktor dan pelaku pembangunan nasional. Menurut Rjasa, dalam Irhandayaningsih (HUMANIKA, 16.9.2012: 6), kaum muda berperan mengembangkan karakter nasionalisme melalui tiga proses yaitu pembangunan karakter positif (kemauan keras untuk menjunjung tinggi nilai moral dan menginternalisasikannya dalam dunia nyata; pemberdaya karakter yaitu berinisiatif membangun kesadaran kolektif dengan kohesivitas tinggi, misalnya menyerukan penyelesaian konflik. Ketiga, perekayasa karakter yaitu berperan dan berprestasi dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan, serta terlihat dalam proses pembelajaran dalam pengembangan karakter positif bangsa Indonesia sesuai dengan perkembangan zaman. Pengembangan yang dilakukan terhadap kaum muda dan pembangunan yang dilakukan kaum muda bagi bangsa Indonesia haruslah berdasar kepada Pancasila. Nilai moral yang dijunjung dan dihidupi selalu selaras dengan Pancasila sebagai cita-cita bersama. Kaum muda, tidak bisa dimungkiri adalah pelopor utama pergerakan mengusahakan kemerdekaan republik Indonesia di bawah organisasi Pemuda Indonesia (Jurdi, JSR. 8.Iss2.2016: 3). Bagaimana tidak, Soekarno, Tan Malaka, Sunarjo, Kahar Muzakkir, Sutan Syahrir, Sukiman, Natsir, Kasman, Farid Ma’ruf, yang didukung oleh tokoh senior seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Mas Mansur, dan tokoh-tokoh Boedi Oetomo (BO) seperti Ki Hajar 144 Partisipasi Kaum Muda dalam Semangat Pancasila Dewantara, Tjipto Mangun Kusumo adalah penentu sendiri nasib bangsa Indonesia (Jurdi, JSR. 8.Iss2. 2016: 4). Mereka telah menghidupi demokrasi lebih awal sebelum demokrasi dijadikan sebagai sistem pemerintahan dan menjelang mengusung Pancasila menjadi ideologi negaraIndonesia. Kaum muda merupakan fase dalam perkembangan psikologis manusia yang ditandai dan didominasi oleh semangat militansi, idealis, kritis dan penuh ambisi. Pemikiran kaum muda selalu melampaui batas geografis, batas kesukuan, budaya, etnis dan agama. Realitas di tanah air yang menunjukkan pemikiran visioner kaum tersebut terlukis dalam ide ketiga Sumpah Pemuda yang selalu diperingati pada 28 Oktober. Bunyi dari ketiga sumpah pemuda itu tidak lain adalah ekspresi bagian dari gagasan Pancasila: mengaku tanah air Indonesia sebagai tanah tumpah darah, mengaku sebagai bangsa yang satu yaitu bangsa Indonesia, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia. Jiwa pemuda saat itu mendahului era disrupsi, sebab di dalam Sumpah Pemuda tidak ditemukan lagi kamu dari daerah mana, etnis apa, dan bahasa apa. Manusia harus dikasihi. Sutrisno (2004: 78) melukiskan, “Ketika menikmati mata air religiositas Zen di Jepang dan kita terkoyak oleh tragedi bom atom Hiroshima dan Nagasaki, rasanya semakin jelas jalan humanis yang harus saya tempuh. Ini suatu perjuangan panjang agar setiap orang – lepas dari beda agama, suku dan ras – harus dihormati sebagai manusia yang berharkat.” Karol Wojtyla (dalam Pandor, 2013:46-52), menyatakan bahwa prinsip partisipasi haruslah berakar pada kesadaran bahwa orang lain adalah “aku-yang-lain”. Perintah kasih adalah panggilan untuk berpartisipasi dalam kemanusiaan sesama yang dikonkretkan dalam pribadi sesama yang sama dengan pribadiku sendiri. Penutup Kaum muda adalah prototipe perkembangan bangsa. Kualitas Indonesia kelihatan di dalam pribadi kaum muda, sebab kaum muda bangsa adalah agen perubahan. Tolak ukur kemajuan bangsa seharusnya diukur dari kaum muda dalam item indikator ekonomi, pendidikan, pembangunan, karakter bangsa. Pancasila adalah ukuran bagi kemajuan peradaban bangsa dalam kaum muda. Bila kualitas kaum muda menurun berdasarkan indikator yang dipasang yaitu nilai-nilai Pancasila maka negara sebagai penyelenggara pendidikan harus memberikan penyadaran bahwa Pancasila merupakan Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 145 rumah bersama, harus melihat regulasi pendidikan yang dipakai, dan bagaimana visi pendidikan kaum muda yang diupayakan. Ukuran keberhasilan kaum muda bukan tingginya intensitas kaum muda ikut tren modern atau kekayaan era disrupsi melainkan Pancasila, sebab Pancasila sendiri nilai universal yang selalu eksis dalam era mana pun bila digali dan dipahami kekayaannya. Kaum muda yang dapat bertahan dan layak dikategorikan eksis pada era disrupsi adalah manusia Indonesia yang Pancasila, sebab human capital yang menentukan eksistensi manusia di era disrupsi secara ideal ada di dalam jiwa semua sila Pancasila. Pancasila tidak dengan sendirinya dapat mendidik generasi muda yang super power di hadapan disrupsi, tetapi Pancasila menyediakan diri menjadi sebuah konsep dan sekaligus ukuran manusia yang berkeutamaan di era disrupsi tersebut. Kaum muda yang diperlukan di era disrupsi adalah kaum muda yang menguasai literasi data, literasi teknologi dan literasi manusia, artinya memerlukan manusia yang matang kognitif, moral dan berimanteguh. Kematangan kognitif yang dituntut adalah kaum muda mampu menyusun hipotesis, dan generalisasi dan gagasan abstrak, dengan kata lain selalu kritis terhadap peradaban yang bergulir. Ideologi lain dan budaya modern akan muda difilter dengan pikiran kritis anak bangsa. Kematangan moral yang diupayakan adalah menilai dan bertindak baik dengan mengambil sikap utilitaristis yaitu tindakan yang sesuai norma yang telah diperiksa secara kritis dan disetujui masyarakat, serta bertindak sesuai dengan keputusan suara hati, berdasarkan prinsip-prinsip moral yang logis, universal. Prinsip moral bangsa yang logis dan universal ada di dalam Pancasila. Menurunnya partisipasi kaum muda bagi pembangunan bangsa yang Pancasilais terletak pada rendahnya pemahaman tentang ideologi Pancasila karena rendahnya keteladanan soal bagaimana meragakan sila-sila Pancasila. Maka, negara harus maksimal mendidik karakter muda anak bangsa seturut Pancasila. Kemauan maksimalisasi diri sudah merupakan tindakan melek era disrupsi. Maksimalisasi diri seturut Pancasila dibutuhkan di era disrupsi karena dalam Pancasila ada gambaran manusia yang hebat, manusia ideal; dan kekayaan era disrupsi dibutuhkan untuk mendukung pembentukan manusia Pancasila. Pancasila adalah ideologi terbuka, dan pendidikannya hanya berdaya guna bila diteladankan, dihayati. Cinta ideologi Pancasila harus digalakkan untuk mencapai cita- cita Pancasila, yaitu bonum commune. 146 Partisipasi Kaum Muda dalam Semangat Pancasila Daftar Pustaka Bashori, Khoiruddin. “Pendidikan Politik di Era Disrupsi”. SUKMA: Jurnal Pendidikan 02.7 (2018): 287-310. Dewantara, Agustinus W. 2017. Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini. Yogyakarta: Kanisius. -------. 2018. “Diktat Kuliah Perbandingan Agama”. Madiun: STKIP WidyaYuwana. Hadiwardaya, Aloysius Purwa. 1994. Menuju Masa Depan: Spiritualitas Orang Muda (dalam Teologi dan Spiritualitas). Yogyakarta: Kanisius. Irhandayaningsih, A. “Peranan Pancasila dalam Menumbuhkan Kesadaran Nasionalisme Generasi Muda di Era Global”. HUMANIKA, 16.7 (2012):19. Jurdi, Syarifuddin. “Dinamika Politik Kaum Muda Indonesia: Dialektika Politik Nasional dan Lokal”. Jurnal Sosiologi Reflektif, 8.Iss2 (2016): 2941. Keene, Michael. 2006. Agama-Agama Dunia: Induisme, Yudaisme, Buddhisme, Kristianitas, Islam, Sikhrisme, Konfusianisme, Taosisme, Zoroastrianisme, Shintoisme, Kepercayaan Baha’i(terj. F. A. Soeprapto). Yogyakarta: Kanisius (hlm. 10-36). Lorens, Bagus. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Rachels, James. 2004. Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius (hlm.187212). Sudiarja, dkk. (penyunting). 2006. Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama (hlm. 1035-1141). Sutrisno, Mudji. 2004. Ide-Ide Pencerahan. Jakarta: Obor., (bagian kedua: Politik, Kekuasaan dan Krisis Kemanusiaan) (185-190, 373-376). Widodo, Sutejo K. “Memaknai Sumpah Pemuda.” HUMANIKA, 16.9 (2013): 1-11. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 147 Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia Hironimus Edison Sekolah Tinggi Filsasat Teologi Widya Sasana Pendahuluan Dinamika hidup berbangsa dan bertanah air akhir-akhir ditandai dengan beragam masalah dan persoalan. Permasalahan dan persoalan itu sering kali menyita perhatian seluruh masyarakat Indonesia. Akibatnya, keamanan dan kestabilan kehidupan berbangsa dan bernegara terganggu baik dalam skala nasional maupun regional. Permasalahan dan persoalan yang dimaksud bisa berupa persoalan sosial, ekonomi, politik, lingkungan, dan bahkan relasi antarumat beragama. Tak sedikit media mainstream melaporkan beragam masalah yang fondasinya ada pada persoalan agama. Antarumat beragama beradu gagasan perihal agama mana yang benar dan tidak. Tak sedikit juga yang berdebat perihal umat agama mana yang masuk surga dan tidak. Konsekuensinya ialah, ayat-ayat suci mulai diperjualbelikan di ruang publik. Hal inilah yang melahirkan krisis bagi kehidupan bersama di Indonesia. Yang mengerikan ialah krisis itu lahir dan berfondasikan pada persoalan perbedaan agama. Harus disadari bahwa untuk konteks Indonesia, pluralitas agama merupakan sebuah keniscayaan. Undang-undang negara ini telah mengakomodasi keberagaman agama yang ada di tanah air. Kita mengenal agama Islam, Agama Katolik, Agama Kristen Protestan, Agama Hindu, Agama Budha, dan Agama Konghucu, di samping adanya keberagaman aliran kepercayaan. Bisa dibayangkan terciptanya situasi yang chaos di Indonesia jika semua agama itu terjebak dalam perdebatan-perdebatan kusir sebagaimana yang ditulis sebelumnya. Lahirnya tuntutan akan adanya dialog antaragama di Indonesia merupakan hal yang mendesak dan harus segera dipenuhi. Mega Hidayati (2016: 15) menulis, “keterbukaan terhadap yang lain adalah kunci bagi dialog antaragama yang sejati, dan bahwa dialog antaragama yang sejati adalah kunci bagi masa depan Indonesia”. 148 Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia Saat ini, kaum muda secara kuantitatif menduduki jumlah populasi terbanyak dalam rasio jumlah penduduk yang ada di Indonesia. Dari total 270,6 juta jiwa, jumlah populasi kaum mudanya ialah 143 juta jiwa. Itu berarti, kesadaran dan penerimaan kaum muda saat ini akan realitas pluralitas agama yang ada di Indonesia menjadi faktor penentu terciptanya stabilitas nasional dalam segala dimensinya. Di tangan kaum muda juga diletakkan tanggung jawab untuk menjaga kerukunan antarumat beragama. Mereka yang memegang kunci utama untuk menciptakan hidup yang penuh toleransi antarumat beragama dalam sejarah bangsa ini ke depan. Melihat peluang yang besar akan pentingnya peran kaum muda bagi sejarah bangsa ini ke depan maka saya mengangkat tema, “Urgensitas Peran Kaum Muda Bagi Dialog Antaragama di Indonesia” bagi karya ilmiah ini. Metodologi Penulisan Dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, penulis menggunakan metode kualitatif yang berdasar pada studi pustaka. Langkah pertama yang penulis lakukan ialah mengumpulkan buku-buku dan artikel-artikel (cetak dan online) yang secara khusus berbicara tentang dialog antarumat beragama. Mengingat banyaknya terbitan artikel yang tersedia, maka penulis membatasi diri pada artikel-artikel yang bersumber pada jurnal-jurnal yang akuntabel dan reliabel dan yang ditulis pada medio (Januari-Juli) 2019. Selain itu, penulis juga membatasi jumlah artikel yang dipilih berdasar pada hubungan langsung antara kaum muda dengan dialog antarumat beragama. Hal ini bertujuan untuk membatasi penulis guna melihat realitas dialog antarumat beragama yang ada dalam realitas kehidupan bangsa akhir-akhir ini. Langkah kedua ialah melakukan seleksi akan artikel-artikel yang dipilih. Demi kemudahan maka penulis mendasarkan seleksi itu pada judul dan isi tulisannya. Artikel-artikel yang dipilih ialah artikel-artikel yang secara langsung berbicara tentang kaum muda dan dialog antaragama. Isi artikel dibaca penulis lewat abstrak yang mereka tulis. Dasarnya, rangkuman seluruh isi artikel umumnya termuat dalam abstraknya. Pada langkah ini penulis berhasil mengumpulkan: Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 149 Tabel 1: Sumber-sumber bacaan Penulis Ahmad Shobiri Muslim dan Saiful Mujab Judul Tulisan Jurnal Kearifan Lokal EMPIRISMA, dan Peran Elit 2019, 28.1. Agama Dalam Merawat Toleransi Antar Umat Beragama di Akar Rumput Isi Kerukunan antaragama merupakan suatu yang telah diwariskan dan dipertahankan sejak lama melalui pernikahan antaragama, kearifan lokal, dan para sesepuh. M Thoriqul Huda, Isna Alfi Maghfiroh Pluralisme Dalam Pandangan Pemuda Lintas Agama di Surabaya Satya Widya: Jurnal Studi Agama Juni 2019 Generasi muda sebagai penerus bangsa harus mampu menjaga kesatuan dan persatuan umat, agar tidak mudah untuk dipecah belah. Dengan bersatu padunya remaja dalam membagun negara maka akan tercipta suatu keinginan luhur bangsa yaitu dapat hidup rukun, damai, aman, tentram, dan nyaman dalam perbedaan. Ananda Ulul Albab Interpretasi Dialog antar Agama dalam Berbagai Prespektif Al-Mada; Jurnal Agama, Sosial dan Budaya Januari 2019 Agama ada, bukan untuk mengajarkan perpecahan melainkan untuk mengantar setiap umat menjunjung tinggi kemanusiaan. 150 Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia Walaupun setiap agama berbeda dalam pengajarannya, tetap saja ada aspek-aspek yang sama dalam hal kemanusiaan, seperti mengajarkan cinta kasih, kasih sayang, pengorbanan, saling menghormati antar sesama, memberi tanpa pamrih, dan masih banyak lagi halhal baik yang diajarkan oleh agama. Syamsul Ma’arif PENDIDIKAN ISLAM PLURALIS Menampilkan Wajah Islam Toleran dalam Pendidikan Islam TOLERANSI 10.2 (2019) Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia Dalam prespektif filsafat progresivisme, posisi kurikulum adalah untuk membangun kehidupan masa depan di mana kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan. Dari sinilah sangat memungkinkan untuk mengajarkan prinsip-prinsip ajaran 151 Islam yang humanis, demokratis dan berkeadilan kepada peserta didik. Sebuah prinsip-prinsip ajaran Islam yang sangat relevan untuk memasuki masa depan dunia yang ditandai dengan adanya keanekaragaman budaya dan agama. Langkah ketiga ialah melakukan analisis untuk menemukan urgensitas kaum muda bagi dialog antaragama di Indonesia. Hal itu menjadi penemuan penulis dalam karya ilmiah ini. Langkah keempat berupa kesimpulan. Temuan 1. Fenomena Perjumpaan Antarumat Beragama Pluralitas agama di Indonesia merupakan fakta riil yang tidak dapat diperdebatkan. Yang harus dilakukan ialah penerimaan dan pengakuan antara satu dengan yang lain. Penerimaan dan pengakuan itu berdasar pada fakta bahwa dalam keberagaman agama, perjumpaan antarumat beragama tidak dapat dihindari. Perjumpaan itu yang menjadi dasar dari pentingnya dialog antarumat beragama. Armada Riyanto (2010: 238) menulis, “Pertemuan antarumat beragama telah menandai bangkitnya teologi dialog.... Dewasa ini setiap orang adalah tetangga dekat bagi yang lainnya. Tetangga dalam arti sebagai komponen masyarakat sekaligus dalam arti sebgai tetangga rohani.... Agama-agama asing sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.” Dalam konteks Indonesia, hal ini mudah dimengerti. Hadirnya umat yang berbeda agama di samping kiri-kanan dan depan-belakang rumah menjadi undangan bagi setiap orang untuk saling berdialog satu sama lain. Semangat dialog adalah semangat 152 Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia kebersamaan dan semangat sharing satu sama lain. Konflik, permusuhan, pertengkaran tidak akan pernah terjadi jika dalam kebersamaan hidup harian tercipta kerukunan dan keharmonisan satu sama lain. Keharmonisan dan kerukunan akan tercipta jika dalam keseharian hidup saling menaruh rasa hormat satu sama lain teristimewa akan keberagaman agama yang dianut. Konsep dialog interreligius ditekankan terutama dalam konteks kerukunan. Dan dengan kerukunan, dimaksudkan keserasian dan keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Armada Riyanto, 2010:376). Pertanyaannya sekarang ialah, apakah dalam fenomena perjumpaan antarumat beragama konflik dan pertentangan dapat dihindari? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini. Alasannya demikian. Pada sisi yang satu, dalam perjumpaan antaraumat beragama sering kali dijumpai fenomena yang rukun, damai, dan saling menghormati. Pada sisinya yang lain, tidak sedikit juga kekerasan, kebencian, konflik, pertengkaran atas nama perbedaan agama yang kita jumpai dalam keseharian hidup. Dalam konteks Indonesia akhir-akhir ini, fenomena yang kedualah yang sering kita jumpai. Hal itu yang tidak jarang menyebabkan terganggunya stabilitas nasional dan regional dalam berbagai lini kehidupan. “SETARA mencatat hingga Juni 2018 ada 109 tindak intoleransi dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan.” Saya tidak punya intensi untuk masuk dalam jenis dan bentuk intoleransi. Yang perlu dicatat, tingginya angka ini dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan menjadi bom waktu bagi peziarahan bangsa ke depannya. Padahal tidak ada saat atau waktu bagi bangsa ini untuk tidak berjumpa dengan sesama yang beda agama dan keyakinan. Angka itu menjadi bukti implisit tentang belum mengakarkuatnya pemaknaan semangat toleransi dalam diri. Hardawiryana berpendapat bahwa istilah toleransi tidak masuk dalam kamus dialog interreligius dan hubungan antragama, melainkan hubungan antarmanusia (yang beragama) (Armada Riyanto, 2010: 400). Kemampuan untuk mengembangkan semangat toleransi pertama-tama bukan karena kita menganut agama tertentu, melainkan karena kemampuan itu melekat erat dalam kodrat manusiawi manusia. Karenanya, toleransi memacu kerja sama dan saling pengertian satu sama lain di antarumat beragama (Armada Riyanto, 2010: 401). Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 153 Semangat toleransi, jika diterapkan dalam konteks Indonesia ada pada garis yang sama dengan semangat budaya Timur. Dalam budaya Timur, pihak yang kuat (atau yang tidak sedang dalam kesulitan) menaruh sikap-sikap “ikut memikul beban” pihak-pihak yang lemah (yang sedang dalam kesusahan) (Armada Riyanto, 2010: 401). Poin yang ingin diungkapkan ialah unsur kodrati manusia yang akan selalu tergerak mengulurkan tangan kepada sesama tanpa memandang perbedaan, apa pun namanya. Pada poin ini, peribahasa “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” menemukan aktualitas makna yang sejati. Peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (No. 8 Tahun 2006) secara khusus menaruh perhatian pentingnya menjaga toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Dalam pasal 1, ayat 1 ditulis, “Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Dalam perturan yang sama, ditekankan juga peran serta semua umat beragama dalam menjaga dan menciptakan kerukunan dan toleransi. “Pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya bersama umat beragama dan pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan umat beragama” (Pasal 1 ayat 2). Artinya ialah, segala konflik, pertentangan, dan permasalahan atas nama agama dapat terhindarkan jika semua orang saling menjunjung tinggi rasa hormat satu sama lain serta terlibat aktif dalam membangun dan menjaga toleransi. 2. Menyadari Pentingnya Dialog Antarumat Beragama Perjumpaan antarumat beragama di tengah fakta pluralisme agama yang ada di Indonesia in se menuntut keterbukaan satu sama lain untuk berdialog. Akan tetapi, usulan akan adanya dialog antaragama tidak serta merta dapat diterima semua kalangan. Karenanya, timbul kelompok yang memiliki pandangan pro dan kontra akan pentingnya semangat dialog antaragama. 154 Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia Syamsuddin Arif (2010:160-161) menuturkan, “Mereka yang pro dialog kerap mengutarakan alasan sebagai berikut: dialog bertujuan mengenyahkan salah paham, prejudices, dan kebencian antara satu sama lain; dialog adalah upaya menjalin tali persahabatan dengan pemeluk agama lain, mengendurkan ketegangan, mendorong kerjasama, saling hormat dan saling mengerti.... Adapun mereka yang kontra dialog melihat aktivis dialog antaragama umumnya tidak menyadari bahwa dialog semacam itu secara halus menggiring mereka kepada confusion, kompromisme, sinkretisme, relativisme dan pluralisme agama, sehingga terbentanglah jalan bagi pemurtadan (proselytization)”. Tentu kedua pandangan di atas akan senantiasa ditemui dalam setiap fenomena perjumpaan antaragama yang menuntut sebuah dialog yang sejati dalam kehidupan bersama. Guna menciptakan sebuah semangat dialog antaragama yang sejati dan sangat mendalam maka sikap-sikap yang perlu diperhatikan ialah, “Dialog meminta keseimbangan sikap, dialog meminta kemantapan dan menolak indiferentisme, dialog tidak menghendaki teologi universal” (Armada Riyanto, 2010: 216-218). Ketiga poin itu akan dijelaskan secara rinci pada uraian selanjutnya. Dialog meminta keseimbangan sikap (Armada Riyanto, 2010:216217) memaksudkan tuntutan agar mereka yang terlibat dalamnya tidak boleh (dan jangan sampai) bersikap tidak jujur. Juga hendaknya dihindarkan kecenderungan yang mengkritik, biarpun untuk itu didukung dengan kutipan-kutipan dari Kitab Sucinya dan berdasar wahyu tertulis sekalipun. Sikap-sikap yang terbuka, mau mendengarkan, tidak egois, tidak berprasangka perihal perbedaan-perbedaan yang muncul, haruslah dipupuk dan diusahakan dalam persahabatan yang mantap. Oleh karena itu, aneka kecenderungan untuk menganggap diri paling benar karena alasan-alasan mendangkal (misalnya sebagai mayoritas atau sebagai agama yang paling banyak dianut di seluruh dunia) maupun alasan-alasan yang lebih mendalam (misalnya karena kelogisan pandangan teologis atau keakuratan dalam mencerna pengalaman imannya), haruslah dicegah dan ditanggalkan dengan penuh kerendahan hati. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 155 Dialog meminta kemantapan dan menolak indiferentisme (Armada Riyanto, 2010: 217-218). Dialog interreligius tidak mungkin dijalankan dalam keragu-raguan mengenai imannya. Ia menuntut kemantapan. Dalam konteks iman Kristiani hal ini dijelaskan demikian, “Bila orangorang Kristen memupuk keterbukaan dan membiarkan diri mereka diuji, mereka akan dapat mengumpulkan buah-buah dialog. Mereka akan menemukan, dengan penuh kekaguman, semua yang telah dilaksnakan karya Allah melalui Yesus Kristus di dalam Roh-Nya dan terus dilaksanakan di dunia dan di seluruh umat manusia. Dialog sejati, bukannya akan melemahkan mereka, tetapi akan memperdalam iman mereka. Mereka akan semakin menyadari identitas mereka sebagai orang Kristen. Iman mereka akan mendapatkan dimensi baru pada saat mereka menemukan kehadiran yang aktif dari misteri Yesus Kristus di luar batasbatas Gereja yang kelihatan dan jemaat Kristen”. Lebih lanjut, seraya mengusahakan pandangan yang terbuka dan positif terhadap agamaagama lain, setiap orang Kristen harus menghindarkan dan membuang sikap-sikap indiferentisme. Indiferentisme harus dicegah, sebab pandangan ini selain mengantar kepada sikap acuh tak acuh mengenai tuntutan-tuntutan imannya, juga menampilkan sikap menggampangkan sekaligus menyederhanakan (simplifikasi) pandangan tentang agamaagama sebagai sama saja semuanya. Memandang semua agama sebagai sama saja, justru sangat merugikan imannya. Menolak indiferentisme tentu berlaku bagi semua umat beragama. Tujuannya jelas ialah untuk menghilangkan cara berpikir yang berkarakter relativistis dalam kehidupan beragama. Dialog tidak menghendaki teologi universal (Armada Riyanto, 2010:218) memaksudkan bahwa dalam dialog interreligius–dalam paham Gereja Katolik–justru tidak (atau kurang) menghendaki usaha menguniversalkan teologi dari agama-agama yang terlibat dalam dialog. Gereja tidak menghendaki teologi universal tentang agama-agama (yang pada prinsipnya memandang semua agama sama saja biarpun dikatakan dalam pemahaman teologis yang kompleks), sebab dapat membawa kecenderungan-kecenderungan sikap indiferent. Di lain pihak, Gereja tidak menghendaki kepelbagaian dan keanekaragaman pandangan teologis dari agama-agama sebagai sumber pemecah belah kesatuan umat manusia. Itu berarti bahwa, dalam dialog interreligius, keunikan 156 Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia dan kekhasan teologi dari pihak-pihak yang terlibat dalam dialog antaragama tetap dipertahankan. Jika keunikan dan kekhasan itu terus dan senantiasa dikembangkan maka akan memperkaya satu sama lain dalam mengembangkan bentuk kehidupan yang saling membela hidup satu sama lain. Ketiga sikap di atas, yang memungkinkan lahirnya dialog sejati antarumat beragama jika sungguh diperhatikan maka keharmonisan dan keselarasan hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia akan tercipta. Kembali pada angka intoleransi di atas, serta melihat fakta yang terjadi di dalam ruang publik Indonesia akhir-akhir ini, bisa disimpulkan bahwa toleransi, hormat akan keberagaman agama, serta keseriusan dalam meningkatkan semangat dialog antarumat beragama masih sangat jauh panggang dari api. Hal apa yang menyebakan tingginya angka intoleransi itu? Penulis meyakini bahwa semua orang punya jawabannya masing-masing yang sangat beragam. Meski demikian, penulis mengikuti apa yang ditulis Armada Riyanto (2010: 219) dalam menunjukkan hambatan-hambatan dialog antarumat beragama. Hambatan-hambatan itu meliputi: • • • • • • • Tidak cukupnya dasar kemantapan seseorang Tidak cukup memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang agama-agama lain secara benar dan seimbang, akan menyebabkan kurangnya penghargaan sekaligus dengan gampang muncul sikapsikap curiga yang berlebihan. Perbedaan kebudayaan karena tingkat pendidikan yang tidak sama; juga masalah bahasa yang sangat peka dalam kelompok-kelompok tertentu. Faktor-faktor sosial politik dan beban ingatan sejarah yang traumatis. Pemahaman yang salah mengenai beberapa istilah yang bisa muncul dalam dialog, misalnya pertobatan, pembaptisan, dialog, dan seterusnya. Merasa diri cukup atau paling sempurna, sehingga menyebabkan sikap-sikap defensif dan agresif Kurang yakin terhadap nilai-nilai dialog interreligius, yang oleh beberapa orang dianggap sebagai suatu tugas khusus para ahli dan Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 157 • • • orang lain melihat dialog sebagai salah satu tanda kelemahan dan malahan pengkhianatan iman. Kencenderungan untuk berpolemik bila mengungkapkan keyakinan gagasannya. Ciri-ciri tertentu dalam suasana keagamaan pada jaman sekarang ini, misalnya, bertumbuhnya materialisme, sikap acuh tak acuh dalam hidup agama, dan banyaknya sekte-sekte keagamaan yang menimbulkan kebingungan dan menimbulkan persoalan-persoalan tertentu. Sikap tidak toleran yang kerap kali diperparah karena dihubungkan dengan faktor-faktor politik, ekonomi, ras, etnis, dan aneka kesenjangan lainnya. Rangkaian daftar hambatan di atas harus diakui dialami dalam kehidupan riil masyarakat Indonesia saat ini. Semua itu menjadi cikal bakal bertumbuh suburnya beragam konflik yang berdasar pada alasan keagamaan di panggung nyata kehidupan bangsa ini. Karenanya, semua orang diundang dan dipanggil untuk secara khusus menyadari perannya dalam menjaga dan meningkatkan toleransi dan kerukunan di antara umat beragama sebagaimana keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri di atas. Agar hambatan-hambatan dialog antarumat beragama di atas dapat diatasi maka berikut akan disampaikan 10 prisnip dialog interreligius (L. Swidler,1983:348-351). Prinsip-prisnip itu ialah: Perintah pertama: Tujuan utama dialog adalah untuk mengubah dan tumbuh dalam persepsi dan pemahaman realitas dan kemudian bertindak sesuai dengannya. Perintah kedua: Dialog antaragama harus menjadi proyek dua sisi – di dalam setiap komunitas agama dan di antara komunitas agama. Perintah ketiga: Setiap peserta harus berdialog dengan penuh kejujuran dan ketulusan hati. Perintah keempat: Setiap peserta harus mengasumsikan kejujuran dan ketulusan lengkap yang sama pada mitra lainnya. Perintah kelima: Setiap peserta harus mendefinisikan dirinya sendiri. Perintah keenam: Setiap peserta harus datang ke dialog tanpa asumsi keras dan cepat tentang di mana titik-titik ketidaksetujuan berada. Perintah ketujuh: Dialog hanya dapat terjadi di antara yang sederajat (par cum pari). Perintah delapan: Dialog hanya dapat dilakukan 158 Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia atas dasar rasa saling percaya. Perintah kesembilan: Orang-orang yang masuk ke dalam dialog antaragama harus setidaknya mengkritik diri sendiri dan tradisi agama mereka sendiri. Perintah kesepuluh: Setiap peserta akhirnya harus berusaha untuk mengalami agama pasangan “dari dalam” (from within). Semua poin itu tentu tidak lahir begitu saja. Semuanya lahir dari sebuah pergulatan yang sangat dalam berhadapan dengan adanya pluralitas agama. Semuanya bertujuan untuk menciptakan sebuah bentuk dialog yang sangat menjunjung tinggi rasa saling menghormati satu sama lain di antara mereka yang berbeda agama. Jika tidak dijalankan maka taruhannya ialah sejarah masa depan bangsa ini. Telah diuraikan sebelumnya bahwa untuk konteks Indonesia, panggilan untuk meningkatkan semangat dialog antarumat beragama guna menjaga kerukunan, toleransi, dan keharmonisan memiliki taruhannya yang tidak mudah, yaitu masa depan Indonesia dan masa depan generasi bangsa ini. 3. Mengenal Model-model Dialog Antarumat Beragama Saya meyakini bahwa setiap orang ingin terlibat penuh dalam menjaga kerukunan, keharmonisan, dan keselarasan hidup di tengah fakta pluralisme agama yang ada di Indonesia. Dalam uraian sebelumnya, kita melihat bahwa fakta perjumpaan antarumat yang berbeda agama menuntut agar adanya semangat dialogis satu sama lain. Dasar, prinsip, dan hambatan yang ada di sekitar fenomena dialog antarumat agama telah diuraikan panjang lebar. Tujuannya ialah agar semua orang bisa mengenal apa pentingnya tuntutan untuk mengembangkan semangat dialog yang sejati antarumat beragama. Selain itu, semua orang juga diingatkan perihal hambatan dan godaan dalam dialog agar bisa mengantisipasi diri sejak dini guna menumbuh dan mengembangkan semangat dialog yang sejati. Pertanyaannya sekarang ialah, bagaimanakah cara agar setiap orang bisa terlibat dalam dialog antarumat agama? Dalam poin ini, saya akan menguraikan model-model dialog yang bisa dijalankan guna melibatkan diri dalam perjuangan untuk menjaga toleransi, keharmonisan, dan kerukunan dalam kehidupan sehari-hari. Model-model dialog kemudian Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 159 terungkap dalam padangan Mukti Ali (Ananda Ulul Albab, 2019:28) yang berpendapat, bahwa dialog antaragama itu yang Pertama, pertemuan hati dan pikiran antar pemeluk berbagai agama. Kedua, merupakan komunikasi antara orang-orang yang percaya pada tingkat agama. Ketiga, dialog merupakan jalan bersama untuk mencapai kebenaran dan kerjasama dalam proyek-proyek yang menyangkut kepentingan bersama. Selanjutnya, dialog antaragama merupakan suatu perjumpaan umat beragama di mana harus saling menghormati, serta saling mencintai antara pemeluk dengan tujuan supaya memperoleh titik temu dalam berbagai perbedaan dalam kenyataan pluralitas agama. Poin-poinnya yang ditekankan ialah, dalam dialog itu ada model tukar pikiran, komunikasi dalam kapasitas pengalaman iman, kerja sama dalam usaha untuk mencapai kepentingan umum, memberikan rasa hormat akan perbedaan. Samartha pada sisi yang lain mengusulkan model-model dialog seperti: kesediaan untuk terbuka dalam mengembangkan dialog yang berdasar pada “sharing” keunikan masing-masing, kerjasama untuk membangun kesejahteraan masyarakat, dan membiarkan kepelbagaian keyakinan kebenaran. Sedangkan Pannikar mengusulkan bahwa yang penting dalam dialog itu ialah kesediaan untuk men-sharing-kan pengalaman iman (Armada Riyanto, 2010: 301). Armada Riyanto (2010:210-214) meringkas model-model dialog antarumat beragama ke dalam poin-poin: Dialog Kehidupan (bagi semua orang), Dialog Karya (untuk bekerja sama), Dialog Pandangan Teologis (untuk para ahli), dan Dialog Pengalaman Keagamaan (dialog iman). Uraian berikut mengikuti apa yang diringkas Armada Riyanto (2010: 210-214) perihal model-model dialog antarumat beragama itu. 1) 160 Dialog Kehidupan (bagi semua orang) “Dialog kehidupan diperuntukkan bagi semua orang dan sekaligus merupakan level dialog yang paling mendasar (bukan paling rendah!). Ciri kehidupan sehari-hari dalam masyarakat majemuk yang paling wajar dan mendasar ialah ciri dialogal. Dalam aneka kehidupan sehari-hari, aneka pengalaman yang menyusahkan, mengancam dan menggembirakan dialami bersama-sama. Dialog menjadi ciri khasnya yang melekat. Dalam model dialog yang Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia pertama ini yakni tidak adanya perspektif agama yang disentuh. Maksudnya dialog dijalankan bukan karena tuntutan agama melainkan oleh karena sebuah kesadaran etis untuk bersikap solider satu sama lain. Dialog kehidupan memang seringkali tidak langsung menyentuh perspektif agama. Ia lebih digerakkan oleh sikap-sikap solider dan kebersamaan yang melekat” (Armada Riyanto, 2010: 212). Dalam uraian sebelumnya telah dikatakan, fenomena perjumpaan antarumat yang berbeda agama dengan sendirinya menuntut semangat dialogal. Maksudnya ialah perjumpaan itu menuntut untuk adanya semangat berkomunikasi satu sama lain. Dalam dialog kehidupan, pengalaman hidup harian menjadi basis pergulatannya. Harapan, kegembiraan, duka, dan kecemasan hidup manusia menjadi medium keterlibatan orang lain guna mengambil bagian dalam kehidupan bersama. Artinya ialah, amatlah mustahil bila mengharapkan sebuah kehidupan bersama yang tidak dianimasi oleh semangat dialogal ini. Pertanyaannya sekarang ialah, apakah dalam dialog kehidupan per se menanggalkan identitas orang beragama dari iman yang dianutnya? Jawabannya demikian: Biarpun persepektif agama tidak disentuh dalam dialog kehidupan, sebagai orang beriman, solidaritas dan kebersamaan yang lahir dalam kehidupan sehari-hari tak mungkin dipisahkan apalagi dilucuti dari kehidupan iman mereka. Hemat penulis yang hendak ditonjolkan dari poin tersebut ialah, menjadikan pengalaman hidup harian sebagai medan kesaksian iman. Maksudnya ialah, iman dari orang-orang yang menganut agama berbeda itu menjadi basis dan jiwa yang menganimasi hidup harian. Segala bidang kehidupan seperti ekonomi, sosial, politik, budaya, pendidikan, kesenian, agama, dengan segala varian kerja di dalamnya menjadi panggung bagi aktualisasi kehidupan iman. Nilai-nilai seperti cinta kasih, kasih sayang, pengorbanan, saling menghormati antar sesama, memberi tanpa pamrih, damai, keadilan, kejujuran, dan nilai-nilai luhur lainnya menjadi patokanpatokan sekaligus barometer bagi manifestasi penghayatan iman Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 161 dalam panggung kehidupan sehari-hari. Sebab, kehidupan seharihari menjadi locus penghayatan iman orang-orang yang beragama. 2) Dialog karya (untuk bekerja sama) “Dialog karya memaksudkan kerja sama yang lebih intens dan mendalam dengan para pengikut agama-agama lain. Dialog karya dapat dikatakan sebagai dialog yang memiliki bobot sedikit di atas dialog kehidupan. Sasaran yang hendak diraih jelas dan tegas, yakni pembangunan manusia dan peningkatan martabat manusia. Dialog karya menjelma dalam kerjasama organisasi-organisasi berskala regional, nasional, dan internasional. Dalam Gereja Katolik misalnya, untuk tingkat internasional ada: komisi kepausan untuk keadilan dan perdamaian (The pontifical Commission for Justice and Peace) yang bertugas untuk mempromosikan perdamaian internasional. Dewan Kepausan Cor Unum yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada dunia, antara lain memperhatikan para pengungsi, korban perang, bencana kelaparan, dan seterusnya. Juga ada komisi tentang kebudayaan yang bertugas mempromosikan dialog antarkebudayaan” (Armada Riyanto, 2010: 213). Untuk konteks Indonesia (nasional) kita memiliki Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Tugasnya, menurut Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, ialah: Forum Kerukunan Umat Beragama, yang selanjutnya disingkat FKUB, adalah forum yang dibentuk masyarakat dan difasilitasi Pemerintah dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan (pasal 1 ayat 6). Untuk tingkat regional (provinsi dan kabupaten/kota), tugas FKUB ialah: Untuk tingkat Provinsi (Pasal 9 ayat 1) berbunyi, “FKUB provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) mempunyai tugas: a. melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat; b. menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat; c. menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur; dan d. melakukan sosialisasi peraturan perundangundangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat”. 162 Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia Untuk tingkat Kabupaten/Kota (Pasal 9 ayat 2), tugas FKUB ialah, “FKUB kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) mempunyai tugas: a. melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat; b. menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat; c. menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati/walikota; d. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat; dan e. memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat”. Hal yang hendak dikatakan dari kutipan-kutipan di atas ialah keyakinan dan kesadaran akan pentingnya kerja sama dalam karya yang mendukung kemajuan martabat dan kesejahteraan manusia. Perjuangan akan terciptanya keadilan, perdamaian, kerukunan, kesejahteraan, tentu tidak hanya menjadi tanggung jawab agama tertentu. Tugas-tugas itu menjadi tanggung jawab semua manusia, tidak peduli apa pun agamanya, sebab semuanya itu menjadi tanggung jawab bersama yang hanya dapat diwujudkan lewat kerja sama dalam karya-karya. 3) Dialog Pandangan Teologis (untuk Para Ahli) “Dialog pandangan teologis berkaitan dengan soal-soal teologis yang tidak jarang rumit. Karenanya dibutuhkan kapasitas keahlian bagi mereka yang terlibat di dalamnya. Dalam dialog teologis, orang diajak menggumuli, memperdalam, dan memperkaya warisanwarisan keagamaan masing-masing sekaligus untuk mengetrapkan pandangan-pandangan teologis dalam menyikapi persoalanpersoalan yang dihadapi umat manusia pada umumnya” (Armada Riyanto, 2010: 214). Hal penting yang harus dibaca dari uraian ini ialah orientasi dari dialog itu. Tujuannya dengan sangat gamblang disebut, yakni untuk menyikapi persoalan-pesoalan yang dihadapi umat manusia. “Karenanya, dialog pandangan teologis tidak (dan tidak boleh) berpretensi apa-apa, kecuali untuk saling memahami sharing pandangan teologis agama masing-masing dan penghargaan terhadap nilai rohani masing-masing” (Armada Riyanto, 2010:214). Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 163 Terkadang timbul pertanyaan dalam diri, jika yang terlibat dalam dialog ini ialah para ahli, dengan sudut pandang agamanya masing-masing, apakah itu tidak menyebabkan terjadinya pertarungan ide, pandangan, dan konsep yang saling bertentangan? Hal itu, secara potensial terjadi. “Namun hendaklah diingat bahwa dialog teologis tidak boleh dimaksudkan untuk menyerang pandangan sesama rekan dialog. Dialog teologis meminta keterbukaan dari masing-masing untuk menerima dan mengadakan perubahan-perubahan yang makin sesuai dengan nilai-nilai rohaninya” (Armada Riyanto, 2010:214). Nilai-nilai rohani itu hendaknya menjadi jiwa yang menganimasi dorongan-dorongan baru dan inovatif demi membangun tata hidup bersama yang semakin rukun, damai, tenteram, dan menyejahterakan. 4) Dialog pengalaman keagamaan (Dialog Iman) “Dialog pengalaman keagamaan atau lebih baik disebut pengalaman iman merupakan dialog tingkat tinggi. Dialog pengalaman iman dimaksudkan untuk saling memperkaya dan memajukan penghayatan nilai-nilai tertinggi dan cita-cita rohani masing-masing pribadi. Dalam dialog ini, pribadi-pribadi yang berakar dalam tradisi-tradisi keagamaan masing-masing berbagi pengalaman doa, kontemplasi, meditasi, bahkan pengalaman iman dalam arti yang lebih mendalam (pengalaman mistik, misalnya). Dialog pengalaman iman sangat mengandaikan iman yang mantap dan mendalam. Dalam banyak hal, dialog pengalaman iman merupakan ujian kesabaran yang meminta ketabahan yang panjang, juga termasuk kesabaran terhadap Allah” (Armada Riyanto, 2010: 214-215). Penulis memaknai pernyataan ini demikian. Pengalaman iman itu bukan berkaitan dengan pengetahuan atau perasaan. Artinya, pengalaman iman bukan soal berapa ayat suci yang dihafal dari buku yang disebut dengan Kitab Suci. Pengalaman iman juga bukan soal apa yang didengar dari khotbah atau dakwah para pengkhotbah dan pendakwah. Pengalaman iman tentunya tidak berkaitan juga dengan jumlah deretan doa yang dihafal di luar kepala. 164 Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia Pengalaman iman juga bukan tentang perasaan sentimentil semata. Artinya ialah tentang perasaan-perasaan subjektif atau komunal akan hal-hal yang suci. Juga bukan perkara disposisi batin yang penuh gembira, sukacita, sedih, atau duka ketika melakukan ritual-ritual keagamaan. Pengalaman iman yang otentik itu berkaitan bukan saja kesadaran yang mendalam akan kehadiran Allah melainkan juga berkaitan pengenalan apa yang menjadi Kehendak Allah dalam hidup. Dan hal ini tidak mudah. Pengalaman iman tidak mungkin dialami tanpa keheningan, doa, meditasi, kontemplasi, mati raga, dan pendalaman yang terus-terus akan usaha untuk mengenali kehendak Allah bagi hidup dan dunia ini. 4. Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaraumat Beragama di Indonesia Kita telah melihat fenomena perjumpaan anatrumat beragama, kesadaran akan pentingnya dialog antarumat beragama, dan modelmodel dialog antarumat beragama. Ketiga poin itu menjadi fondasi yang kokoh untuk meneropong urgensitas peran kaum muda bagi dialog antarumat beragama. Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, dialog antarumat beragama menjadi semacam taruhan sejarah bangsa ini ke depannya. Dan yang menarik bahwa, Indonesia dari segi populasi penduduknya, menempatkan kaum muda sebagai populasi yang terbanyak. Artinya, kiprah kaum muda dalam menjaga semangat toleransi, mengembangkan pola dialog antarumat beragama yang semakin dalam, dan gerakan sejenisnya menjadi ujian demi terciptanya persatuan atau tidak bagi bangsa ini di masa yang akan datang. Kaum muda memiliki sepak terjang yang menentukan bagi perkembangan sejarah bangsa Indonesia ke depannya. Karenanya, hendaknya kini disadari bahwa pluralitas agama menjadi fakta yang tidak boleh diingkari dalam sejarah peradaban bangsa Indonesia. Pluralitas agama hendaknya tidak menjadi sandungan bagi setiap perjuangan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia. Pluralitas itu hendaknya diterima sebagai sebuah anugerah yang istimewa bagi sebuah negara yang bernama Indonesia. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 165 Generasi muda sebagai penerus bangsa harus mampu menjaga kesatuan dan persatuan umat, agar tidak mudah untuk dipecah belah. Dengan bersatunya remaja dalam membangun negara maka akan tercipta suatu keinginan luhur bangsa yaitu dapat hidup rukun, damai, aman, tenteram, dan nyaman dalam perbedaan (M. Thoriqul Huda, Isna Alfi Maghfiroh, 2019: 1). Itulah sebabnya, taruhan sejarah bangsa ini ke depan ada pada generasi muda yang berani dan mau berjuang untuk menciptakan dialog dan mempromosikan semangat toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat pluralis ini. Fakta menunjukkan bahwa pluralitas agama acap kali menjadi sumber segala pertentangan dan masalah negara ini. Fakta perbedaan agama dijadikan sebagai kunci yang memengaruhi panggung kehidupan publik bangsa ini. Kehidupan publik kemudian dijadikan oleh para pemuka agama sebagai arena merebut pengaruh. Ayat-ayat suci diperjualbelikannya dengan menjadikan Yang ilahi dan Surga sebagai taruhan. Fakta intoleransi berbasiskan perbedaan agama sebagaimana yang dilaporkan SETARA Institue di atas menjadi fakta yang menunjukkan angka yang sangat mengerikan. Berhadapan dengan fakta intoleransi yang berlandaskan perbedaan agama dalam panggung publik Indoneisa saat ini, pertanyaan yang paling eksistensial bagi kaum muda Indonesia saat ini ialah: Apa yang bisa dikerjakan oleh kaum muda dalam merawat kerukunan dan toleranis di Indonesia? Apa kontribusi yang bisa diberikan oleh kaum muda demi menjaga tali perekat yakni kesatuan di tengah banyaknya fenomena saling memfintah, mengucilkan, bertengkar atas nama agama di bumi pertiwi ini? a. 166 Meningkatkan Promosi Toleransi melalui Media Sosial Kepala Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan Kemnaker, Suhartono, Sabtu (31/3) mengatakan bahwa berdasarkan data BPS, dari 143 juta jiwa anak muda, 54 persen (https://www.merdeka. com) itu sudah menggunakan internet. Berarti, mayoritas kaum muda saat ini melek internet dan media sosial sebagai variannya. Apa hubungannya dengan dialog antaragama? Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia Saat ini, media sosial, entah apa pun namanya telah menjadi panggung penyebaran kebencian atas nama agama. Media sosial telah begitu ampuh perannya sebagai sarana untuk menyebarkan hoax, fitnah, perselisihan, dan kebencian atas nama perbedaan agama. Kaum muda, dengan persentase jumlah pengguna internet yang terbanyak disadari atau tidak cepat atau lambat akan terjebak dan jatuh pada pendangkalan pikiran dan ikut terseret pada pahampaham intoleransi. Berangkat dari realitas di atas, sudah saatnya kaum muda Indonesia saat ini menjadi perintis-perintis baru dalam memajukan semangat toleransi. Caranya ialah dengan meningkatkan semangat mempromosikan toleransi dan kerukunan antarumat beragama melalui media-media sosial. Sudah saatnya dunia virtual (mediamedia sosial) menjadi panggung baru dalam mempromosikan dan memperjuangkan semangat toleransi antarumat beragama. Di tengah dunia yang dipenuhi dengan kebisingan informasi ini, pilihan bijak untuk membuat postingan-postingan yang mengedepankan semangat kerukunan dan penghargaan akan perbedaan agama dan keyakinan menjadi hal yang ditunggu-tunggu. Ketika sejarah bangsa ini ke depannya ditentukan oleh dialog antaragama yang sejati maka promosi akan nilai-nilai toleransi dan penghormatan akan perbedaan keyakinan menjadi langkah yang tepat. Karenanya, kaum muda Indonesia yang sangat melek internet dapat tampil sebagai generasi yang mengonter segala hoax, fitnah, dan sebaran kebencian yang merajai panggung internet dan mediamedia sosial. b. Aktif Terlibat dalam Forum-forum Dialog Antaragama Indonesia memiliki FKUB sebagai wadah yang mengakomodasi usaha untuk menjaga kerukunan dan dialog antarumat beragama. Selain FKUB tentu masih ada banyak organisasi lain yang berusaha untuk mewadahi semua usaha baik dalam menjaga dan meningkatkan toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Harapannya ialah, kaum muda mulai berpartisipasi aktif dalam organisasiorganisasi lintas agama itu. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 167 Generasi muda sebagai penerus bangsa harus mampu menjaga kesatuan dan persatuan umat, agar tidak mudah dipecah belah. Dengan bersatu padunya remaja dalam membagun negara terciptalah suatu keinginan luhur bangsa yaitu dapat hidup rukun, damai, aman, tenteram, dan nyaman dalam perbedaan. Keutamaankeutamaan yang demikian sangat penting untuk dipupuk sejak dini sebab yang menjadi taruhannya ialah persatuan Indonesia dalam sejarahnya yang akan datang. Karenanya, model-model dialog antarumat beragama yang telah diuraikan sebelumnya menjadi basis bagi pengembangan paratisipasi aktif itu. Nilai-nilai seperti cinta kasih, kasih sayang, pengorbanan, saling menghormati antar sesama, memberi tanpa pamrih, damai, keadilan, kejujuran, dan nilai-nilai kebajikan manusia lainnya menjadi nilai bersama yang harus diperjuangkan dan itu membutuhkan partisipasi yang aktif dari kaum muda untuk terlibat dalam organisasi-organisasi lintas agama. Dengan demikian, persatuan bangsa ini di tengah pluralitas agama masih tetap terjamin dan terjaga. Kedua bentuk partisipasi di atas merupakan cara yang hemat saya bisa ditempuh oleh kaum muda Indonesia saat ini. Hal-hal itu menjadi jalan yang sangat efektif dalam mengembangkan dialog antaragama, di samping terlibat secara penuh dalam kehidupan bermasyarakat. Harapannya ialah, dengan terlibat penuh dalam dialog kehidupan, dialog karya, dan juga dialog pengalaman iman, pluralisme agama yang ada di tanah air dapat menjadi kekayaan yang patut disyukuri. Kesimpulan Mega Hidayati (2016: 15) menulis, “keterbukaan terhadap yang lain adalah kunci bagi dialog antaragama yang sejati, dan bahwa dialog antaragama yang sejati adalah kunci bagi masa depan Indonesia”. ‘Yang lain’ mencakup mereka yang bukan aku. ‘Aku’ menjadi terminologi yang merujuk pada diri saya, keluarga saya, suku saya, daerah saya, dan bahkan agama saya. ‘Yang lain’ dengan sendirinya merujuk kepada yang bukan saya, bukan keluarga saya, bukan suku saya, bukan daerah saya, dan bahkan bukan seagama dengan 168 Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia saya. Dengan demikian, kesanggupan untuk menerima dan terbuka akan ‘yang lain’ itu menjadi tuntutan bagi masyarakat Indonesia untuk menciptakan dialog antarumat beragama guna tercapainya semangat toleransi, saling menghormati, kerukunan, dan kedamaian di Indonesia. Indonesia merupakan negara yang oleh Tuhan dianugerahi kekayaan yang luar biasa. Bukan hanya alamnya yang kaya melainkan juga suku, bahasa, dan bahkan agama yang tampil dengan keberagamaan yang luar biasa. Sayangnya, dalam dekade terakhir ini, bangsa Indonesia dikuatirkan dan ditakutkan oleh tampilnya semangat intoleransi, konflik, dan pertengkaran yang basisnya adalah perbedaan agama. Yang menakutkan ialah terancamnya integrasi dan kesatuan bangsa. Agar ketakutan dan kekhawatiran akan pecahnya konflik dan semangat intoleransi atas nama perbedaan agama dan keyakinan dalam sejarah bangsa ini ke depannya maka panggilan bagi kaum muda untuk mempromosikan nilai-nilai toleransi, rasa hormat akan perbedaan agama, dan kerukunan– untuk konteks Indonesia–menjadi panggilan yang mendesak. Panggilan yang mendesak itu hanya dapat diwujudkan lewat semangat dialog antaragama. Di atas telah diuraikan secara panjang lebar dasar adanya dialog antaragama, hambatan-hambatan dialog antaragama, dan bentuk-bentuk dialog antaragama yang bertujuan untuk membangkitkan gairah kaum muda dalam menjaga dan merawat semangat toleransi, persatuan, dan kerukunan antarumat beragama dalam sejarah bangsa ini ke depan. Kunci yang akan tetap membuka gembok toleransi, kerukunan, dan perstauan antarumat beragama di Indonesia ada dalam tangan kaum muda. Mengapa kaum muda? Jawabannya ada pada data statistisk jumlah penduduk Indonesia saat ini. Tidak hanya itu. Mayoritas kaum muda Indonesia yang melek internet menjadi dasar lain mengapa kunci toleransi, kerukuan, dan persatuan bangsa ini ke depannya ada dalam tangan mereka. Dengan demikian, dialog antaragama yang sejati adalah kunci bagi terciptanya kerukunan, keharmonisan, dan persatuan masa depan Indonesia. Kunci itu kini ada pada kaum muda. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 169 Daftar Pustaka Albab, Ananda Ulul. “Interpretasi Dialog Antar Agama Dalam Berbagai Prespektif.” Al-Mada: Jurnal Agama, Sosial, dan Budaya 2.1 (2019):2234. Hidayati, Mega. Jurang di Antara Kita: Tentang Keterbatasan Manusia dan Problema Dialog dalam Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: Kanisius, 2016. Huda, M. Thoriqul, and Isna Alfi Maghfiroh. “Pluralisme Dalam Pandangan Pemuda Lintas Agama di Surabaya.” Satya Widya: Jurnal Studi Agama 2.1 (2019):1-21. Ma’arif, Syamsul. “PENDIDIKAN ISLAM PLURALIS Menampilkan Wajah Islam Toleran dalam Pendidikan Islam.” TOLERANSI: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama [Online], 10.2 (2018): 176-200. Web. 15 September 2019 Muslim, Ahmad Shobiri, and Saiful Mujab. “Kearifan Lokal dan Peran Elit Agama dalam Merawat Toleransi Antar Umat Beragama di Akar Rumput.” EMPIRISMA 28.1 (2019). Riyanto, E. Armada. Dialog Interreligius. Yogyakarta: Kanisius, 2010. Swidler, Leonard. “The dialogue decalogue: Ground rules for interreligious dialogue.” Horizons 10.2 (1983): 348-351. 170 Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia Generasi Muda yang Pancasilais Mikael Ardi Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Pendahuluan Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, negara kita telah meletakkan nilai-nilai luhur kehidupan berbangsa dan bernegara, baik yang sifatnya komunal (kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan dan keadilan), maupun personal dalam arti yang menjadi khas dari Indonesia sendiri, yakni nilai permusyawaratan dan ketuhanan. Pancasila adalah “jiwa” bangsa Indonesia (Riyanto, 2015:18). Pengkristalisasian nous (Latin) yang artinya “jiwa” ini adalah sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Adapun model penelitian yang digunakan dalam proses pemahaman tema ini adalah penelitian kualitatif filosofis. Fokus utama tulisan ini adalah Pancasila sebagai panduan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.Target yang hendak disasar adalah generasi muda. Harapan, tulisan ini dapat menumbuhkan semangat nasionalisme, dan menjadi tameng pembela kebenaran dalam diri generasi muda. Pengumpulan data dilakukan melalui sumber kepustakaan. Sumber utama yang menjadi acuan penulis adalah pembahasan tentang pasal-pasal yang termuat dalam Pancasila, yang kemudian dikorelasikan dengan kepincangan-kepincangan dalam hidup bersama, yang terjadi di Indonesia pada lima tahun belakangan ini. Sumber utama ini diterbitkan oleh Sekretariat Jendral MPR RI tahun 2012 dengan judul “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Penelitian yang sifatnya kualitatif ini menggunakan pisau bedah (metode) analisis hermeneutik. Tujuannya agar dapat memahami maksud esensial pasal-pasal yang termuat dalam Pancasila, dan kemudian dipahami terkait tata cara “etika” perealisasiannya dalam kehidupan konkret dalam konteks Indonesia. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 171 Bagian 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Bukan sesuatu yang mudah ketika kita hendak berbicara tentang nilainilai Pancasila pada era reformasi ini, karena ketika dicabutnya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau yang kita kenal dengan sebutan Eka Prasetya Panckarsa sebagai panduan tentang pengamalan Pancasila dalam perealisasianya bagi hidup berbangsa dan bernegara, belum ada konsistensi panduan pengganti yang dapat memberikan penjelasan dan pemahaman terkait dengan Pancasila. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa perubahan yang dilakukan, seperti yang disebutkan di atas yakni tidak diberlakukannya lagi ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Eka Prasetya Pancakarsa yang menjabarkan kelima asas dalam Pancasila kemudian menjadi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila (Widharsana & Hartono, 2017:675). Belum adanya konsistensi itu juga dapat dilihat dari polemik yang sedang hangat diperbincangkan oleh publik saat ini, di antaranya:revisi UU KPK. Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dan Rancangan Undang-Undang Pertahanan. Kembali ke tahun 1999 hingga tahun 2002, di mana sebagai bagian dari penerapan salah satu tuntutan reformasi khususnya pada tahun 1998, MPR melakukan perombakan terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Terselesaikannya perombakan itu, memiliki arti bahwa sistem politik adalah produk dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah dikonsolidasikan dengan harapan agar mampu menerima dan mengarahkan sistem atau dinamika politik seraya terus melandasi proses demokrasi dan reformasi berkelanjutan. Hal yang penting diketahui bahwa ada lima prinsip paten yang harus dipatuhi dalam proses perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dilakukan oleh MPR. Kelima prinsip paten tersebut ialah: 1) tidak merubah Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; 2) tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik 172 Generasi Muda yang Pancasilais Indonesia; 3) mempertegas sistem pemerintahan presidensial; 4) penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang termuat di dalamnya hal-hal yang normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal; dan 5) melakukan perubahan dengan cara adendum(tetap mempertahankan naskah asli). Menelisik Penjabaran Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 Tindakan mencermati pasal-pasal dalam UUD 1945 yang memuat penjabaran nilai-nilai yang ada dalam Pancasila, merupakan cara yang paling sederhana bagi kita untuk lebih memahami tentang arti maupun makna dari Pancasila itu sendiri. Mengapa demikian? Hal isi sudah dijelaskan secara baik pada bagian atas, di mana yang kita ketahui bersama bahwa hingga sekarang belum ada konsistensi panduan terkait dengan pengamalan Pancasila yang benar-benar rinci. Demikian akan dipaparkan rumusan Pancasila yang resmi dan pasalpasalnya yang ada dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemaparan terkait dengan pasal-pasal yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 ini, hampir seluruhnya disadur dari tulisan Petrus Danan Widharsana & Victorius Rudy Hartono dalam buku Pengajaran Iman Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 2017:675-689), khususnya pada bab V “Memahami dan Menghayati Nilai-Nilai Pancasila”. Berikut pemaparannya: 1. Sila pertama: “Ketuhanan Yang Maha Esa” Berikut penjabaran pasal-pasal terkait sila pertama: Pasal 28E: Ayat 1: Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 173 Ayat 2: Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Pasal 29: Ayat 2: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, Ayat 2: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam sila yang pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, pada dasarnya mau memberikan kesadaran kepada seluruh rakyat Indonesia, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah negara yang bertuhan. Hal itu dapat kita lihat dari realita yang ada, di mana dalam negara Indonesia memiliki enam agama resmi (yang diakui): Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Perlu juga diketahui bahwa dalam sejarahnya dan bahkan realitanya, negara Indonesia juga memiliki bermacam ragam suku yang berbeda (dalam hal budaya: bahasa, adat istiadat). Maka, meskipun ada enam agama yang diakui oleh negara Indonesia, hal yang tentunya tidak boleh luput dari pandangan kita adalah bahwa dalam tiap-tiap suku, budaya dan adat-istiadat terdapat juga aliran-aliran kepercayaan (agama-agama lokal) yang dihidupi secara turun-temurun dan bahkan telah ada terlebih dahulu daripada agama-agama resmi yang diakui oleh negara. 2. Sila kedua: “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” Berikut dijabarkan terkait dengan pasal-pasal yang berkorelasi dengan sila kedua: Pasal 14: Presiden yang memberi grasi, rehabilitasi, amnesti, abolisi. 174 Generasi Muda yang Pancasilais Pasal 18B ayat 2: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Pasal 28: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undangundang. Pasal 28A: Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup. Pasal 28B: Hak untuk berkeluarga dan perlindungan atas anak. Pasal 28C: Hak untuk mengembangkan diri, mendapat pendidikan, memperjuangkan hak untuk mengembangkan masyarakat, bangsa dan negara. Pasal 28D: Hak mendapatkan kepastian hukum dan kesamaan di mata hukum, mendapatkan imbalan yang adil dalam kerja, kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Pasal 28E: Hak untuk bebas memeluk agama dan beribadah, dan hak untuk berserikat. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 175 Pasal 28F: Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Pasal 28G: Hak atas perlindungan diri pribadi, atas rasa aman dan perlindungan bebas dari penyiksaan. Pasal 28H: Hak atas hidup sejahtera, bertempat tinggal, persamaan dan keadilan, hak milik pribadi. Pasal 28I: Hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif, dipenuhi hak asasi. Pasal 28J: Wajib menghormati hak asasi orang lain, wajib tunduk pada undang-undang. Pasal 29 ayat (2): Jaminan negara atas kebebasan beragama dan beribadat. Pasal 30 ayat (1): Hak dan wajib membela negara. Pasal 31 ayat (1): Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran. Pasal 34: Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. 176 Generasi Muda yang Pancasilais Sila kedua, “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”, pada dasarnya memberikan sebuah pemahaman kepada kita bahwa setiap orang, siapa pun dia, apa pun golongan, agama, suku, bahasa, dan budayanya, tetaplah bahwa mereka adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak penuh untuk diperlakukan sebagai manusia, demikian juga sebaliknya. Melalui sila kedua ini juga, kita diamanatkan untuk senantiasa bersikap hormat kepada sesama manusia (universal) dan tentunya kepada sesama warga negara Indonesia. Tidak ada istilah membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Tidak ada tindakan diskriminatif antara satu dengan yang lainnya, baik dalam hal agama, suku (ras), budaya, dan bahasa. Dalam hal ini, selayaknya kita mensyukuri apa yang telah digagas oleh para pendiri Republik Indonesia ini. Asas kemanusiaan adalah sesuatu hal yang amat penting dan menjadi pusat perhatian bersama, yang tentunya memiliki arah dan tujuan yakni kesejahteraan bersama. Terkait dengan ini, mantan wakil presiden pertama Indonesia, Moh. Hatta (dalam Kaelan, 2018:67) pernah mengatakan bahwa: “...negara pada hakikatnya adalah berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa serta kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai landasan moral, yang mewajibkan kepada pelaksana dan penyelenggara negara agar memegang teguh moral ketuhanan dan kemanusiaan yang luhur, agar negara tidak terjerumus ke dalam kekuasaan diktator.” Apa yang digagas atau yang diungkapkan oleh mantan wakil Presiden pertama Indonesia, Moh. Hatta, pada dasarnya mau memberikan kesadaran kepada kita bahwa kehidupan dan perilaku yang baik, yang sesuai dengan moral adalah konsekuensi dari apa yang disebut sebagai hakikat dari bangsa ini, yakni kemanusiaan yang juga nantinya pasti bermuara pada Allah Yang Esa. Ada pepatah mengatakan: “Jangan mengatakan bahwa dirimu ber-Tuhan apabila dalam kehidupan sehari-hari engkau tidak mencerminkan tindakan ketuhanan.” Pesan moral yang hendak disampaikan adalah perbuatan maupun sikap yang kita tampilkan dalam hidup sehari-hari harus menjadi bagian dari representasi dari apa yang kita yakini atau imani. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 177 Apa yang kita imani adalah apa yang kita hidupi, dan yang kita imani pada dasarnya adalah kebijaksanaan (semua agama adalah baik). Kebijaksanaan adalah hidup. Oleh karena itu, kebijaksanaan hidup harus diteruskan dalam kehidupan nyata, diwartakan, dan diterjemahkan dalam keseharian (Riyanto, 2018:197). 3. Sila Ketiga: Persatuan Indonesia. Berikut penjabaran sila ketiga ini dalam UUD 1945. Pasal 25A: Negara kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 35: Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih. Pasal 36: Bahasa Negeri adalah bahasa Indonesia. Pasal 36A: Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Pasal 36B: Lagu kebangsaan ialah Indonesia Raya Hal yang hendak ditegaskan pada sila ketiga “Persatuan Indonesia” ini adalah bahwa kita diharapkan memiliki cinta kepada tanah air (bangsa Indonesia). Dalam arti yang lebih esensial, cinta adalah sebuah perjumpaan, yang artinya: cinta berasal dari penerimaan dan penyambutan. Kehadirannya berhiaskan senyuman dan mimpi-mimpi (Riyanto, 2018:373). Dengan demikian, menjadi warga negara Indonesia artinya 178 Generasi Muda yang Pancasilais mengalami seluruh dinamika hidup, berjalan bersama, berelasi antara satu dengan yang lainnya, tidak membeda-bedakan latar belakang (suku, agama, dan ras). Kebersamaan tidak dimaksudkan sebagai bentuk di mana orang harus menutup diri terhadap yang lain, kelompok atau agama yang satu membenci agama yang lain. Kebersamaan itu dimaksudkan untuk membangun hubungan timbal balik atas dasar kesamaan kedudukan (Suseno, 2000:589). 4. Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Berikut penjabaran pasal-pasal dari sila keempat dalam Pancasila: Pasal 2: Ayat 1 Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan, Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang. Ayat 2 Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota Negara. Ayat 3 Segala Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak. Pasal 3: Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan undang-undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan Negara. Pasal 6 ayat 2: Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 179 Pasal 19: Ayat 1 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum. Ayat 2 Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang. Ayat 3 Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. Sila keempat “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan” dalam Pancasila ini, pada dasarnya mau memberikan sebuah kesadaran kepada kita bahwa yang menjadi ujung tombak dan penentu nasib bangsa ini adalah rakyat. Rakyat adalah kita, bukan penguasa. Permusyawaratan Perwakilan adalah mereka yang menjadi juru bicaranya rakyat, menyuarakan aspirasi rakyat, mendengar keluh-kesah rakyat, dan menjadi pelayan rakyat. Mereka adalah rakyat yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. 5. Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Sila kelima dalam Pancasila memberikan sebuah pemahaman penting kepada kita bahwa cita-cita yang menjadi prinsip dan komitmen bangsa ini adalah kesejahteraan. Komitmen itu akan dapat terwujud apabila dalam diri masing-masing rakyat Indonesia memiliki roh untuk mau saling menghargai, memperhatikan, dan mengutamakan keadilan antara satu dengan yang lain. 180 Generasi Muda yang Pancasilais Bagian 2 Beberapa Contoh Terkait Sikap-sikap Terpuji dalam Hidup Bersama Peduli Sungai Demi Anak dan Cucu Kelak1∗ Berawal dari kebetulan, Misman (60) dan Bachtiar (49), dua orang yang berasal dari Kota Samarinda yang dipertemukan oleh alam semesta dalam dua hal, yaitu sungai dan sahabat. Pada tahun 2014, Misman yang berprofesi sebagai wartawan di Kota Samarinda sering kali menyempatkan diri untuk membersihkan dan memungut sampah di sekitar Sungai Karang Mulus. Bentangan sungai yang sekitar 40 kilometer, selain menjadi sumber irigasi masyarakat, ternyata juga menjadi pemasok utama kebutuhan masyarakat akan air bersih. Misman yang lahir dan tumbuh di Samarinda ingat bahwa ia pernah menghabiskan waktu untuk berenang dan mencari ikan di sungai itu. Namun, karena seiring berkembangnya kota, sungai yang awalnya jernih perlahanlahan menghitam dan dipenuhi banyak sampah. Bahkan yang lebih parahnya lagi adalah ketika musim penghujan, pemukiman warga tergenang air menjadi pemandangan yang biasa bagi masyarakat di sana. Melihat realita yang demikian, Misman merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan masyarakat, terutama ketidakberesan dalam hal merawat dan memperlakukan lingkungan. Baginya, sungai meluap saat hujan lebat adalah hal yang biasa. “Seharusnya manusia yang hidup menyesuaikan diri dengan sungai. Bangunlah rumah panggung atau menjauh dari daerah aliran sungai.” Hal yang Misman lakukan terkait dengan keprihatinan itu adalah memungut sampah dengan menyusuri sungai dengan perahu. Selain itu juga, ia memublikasikan apa yang dilakukannya ke media sosial, yang harapannya adalah agar masyarakat memiliki rasa dan keprihatinan atas apa yang sedang terjadi. 1 Diolah dari koran KOMPAS, Selasa 17 September 2019, pada kolom Sosok “Misman dan Bachtiar- Gerakan Bersih Sungai”, hlm. 12. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 181 Di sudut Sungai Karang Mulus lain, Bachtiar, pemuda yang akrab disapai Iyau, pun memiliki keprihatinan yang sama. Sama seperti Misman, Iyau juga memiliki pengalaman ketika kecil yaitu bermain di Sungai Karang Mulus. Atas rasa prihatin itu, Iyau pun juga melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Misman yaitu dengan perahu kayu, ia memungut sampahsampah yang bertebaran di sepanjang aliran sungai. Hal itu ia kerjakan secara berulang-ulang, dan beberapa temannya juga turut membantunya. Awal tahun 2015, Iyau dan Misman pun akhirnya dipertemukan. Siapa yang mempertemukan keduanya? Mungkin “keprihatinan”. Dalam pertemuan itu, keduanya memiliki harapan dan komitmen yang sama, yakni menyelamatkan sungai untuk masa depan anak dan cucu mereka kelak. Adim (54), Memberi Terang bagi Orang-orang di Sekitarnya2 Adalah Adim (54), salah seorang warga dari Desa Citengah, Sumedang Selatan, Jawa Barat yang memiliki perhatian besar dalam hidup bersama. Sebagai seorang yang berlatar belakang pendidikan Sekolah Dasar di Cisewu, Garut (tidak lulus), ia bersama salah satu sahabatnya, Alit (35), sebelum Matahari tenggelam keduanya berjalan menyusuri areal kebun teh menuju ke hulu Sungai Cisoka yang tujuannya tidak lain adalah melihat dan mengontrol kincir air yang dibuatnya sendiri 16 tahun yang lalu. Seperti diperkirakan Adim, bukan karena kincir kayu dan dinamo yang rusak, melainkan karena debit air sungai yang berkurang akibat kemarau. Faktor inilah yang membuat pasokan listrik ke rumah berkurang. Padahal biasanya empat lampu yang bisa menyala, sekarang hanya satu,” ujarnya. Hingga tahun 1985, Cisoka tidak berpenghuni. Kehadiran Adim serta teman-temannya, membuat dataran tinggi kaki Gunung Buligir itu dihuni manusia. Dari hanya beberapa orang, mereka pun akhirnya beranak-pinak. Sekarang jumlah penduduk yang bermukim di Cisoka ada 74 orang. Dan sebagai perintis, tentu keterbatasan jadi kudapan. Mulai dari membangun rumah, akses air bersih, hingga penerangan. Masalah paling pelik adalah soal penerangan (listrik). Jadi, bertahun-tahun mereka hanya mengandalkan lampu minyak tanah sebagai sumber penerangan pada saat malam. 2 Diolah dari sumber asli, yaitu koran KOMPAS, Jumat 16 Agustus 2019, pada kolom Sosok “Adim, Jaga Kincir Tetap Bergulir”, hlm. 16. 182 Generasi Muda yang Pancasilais Berangkat dari keprihatinan itu, Adim pun maju dan menawarkan ide cemerlangnya. Berbekal pengalaman pernah membuat kincir air untuk pembangkit listrik saat masih tinggal di Cisewu, Garut, ia pun menerapkan itu di Cisoka. Usaha Adim pun berbuah manis, listrik pun akhirnya masuk dan menyinari malam gelap Cisoka. Uri Suhri (68), warga yang tinggal di kawasan Margawindu, dusun tetangga, merasakan keahlian Adim sejak tahun 2006. “Dengan adanya kincir ini, jadi ada penerangan di saung saya. Kalau lewat jalan sini malam hari tidak gelap lagi,” imbuhnya. Kegigihan Putri Betawi Mempertahankan Ulayat Leluhurnya3 Aryani Dwi Agustina Sito, yang akrab dipanggil Tina, sejak kecil sudah terbiasa tinggal dikelilingi keluarga besarnya di tanah milik kakeknya, guru Minan. Tanah yang berada di Kampung Terogong yang diapit oleh kawasan elite Pondok Indah dan Fatmawati, Jakarta Selatan, itu dulu dipenuhi oleh pepohonan nan rindang. Tina bersama keluarganya hidup rukun bersama keluarga besarnya. Mereka biasa berkumpul dan makan bersama dengan menu-menu yang menjadi khas Betawi. Namun, ketika hendak memasuki awal 2000-an, kampung tercinta ini menjadi incaran para pengusaha atau pengembang apartemen dan perkantoran. Dan akhirnya, satu per satu tanah milik tetangganya dijual kepada para pengusaha atau pengembang itu. “Kami menyaksikan bagaimana bangunan-bangunan baru mulai mengelilingi kampung. Ibu saya cemas, tanah keluarga besar kami bakal kena gusur juga,” imbuh Tina. Tina tak ingin tanah keluarganya berpindah tangan dan keluarganya tercerai berai ke pinggiran Jakarta. Karena itu, ia tetap gigih mempertahankan apa yang sudah ada itu. Banyak cara yang dilakukan Tina dalam menanggapi persoalan itu, misalnya membuka rumah baca bagi anakanak yang keberadaannya tidak bertahan lama, karena tidak disetujui oleh keluarganya. Kemudian, hal lain lagi yang ia lakukan dan hingga hari ini bertahan adalah membuka usaha batik Betawi. Usaha Tina ini pun ternyata tidaklah sia-sia, tanah keluarga yang awalnya menjadi kekhawatiran baginya dan kini selamat dan bahkan menjadi salah satu pusat batik Betawi. 3 Diolah dari sumber asli, yaitu koran KOMPAS, Kamis 12 September 2019, pada kolom Sosok “Kegigihan Putri Betawi”, hlm. 16. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 183 Bagian 3 Proses Intepretasi Data Berdasarkan Teori Demokrasi Deliberatif dan Kekuatan Warga David Mathews Adapun landasan teori yang penulis gunakan dalam rangka melakukan proses intepretasi atau menganalisis data-data yang ada adalah menggunakan teori David Mathews, demokrasi Deliberatif dan Kekuatan Warga. David Mathews adalah seorang suami, ayah, kakek, tukang kebun, dan anggota Clarke Country Historical Society. Ia pernah menjadi pejabat dalam pemerintahan Presiden Ford (Sekretaris Bidang Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan). Namun kini ia non-partisan. Ia juga pernah menjabat sebagai presiden Universitas Alabama, di mana ia mengajar mata kuliah sejarah. Presiden organisasi riset “Kettering Foundation” ini telah menulis banyak buku, dan salah satu karyanya yang berjudul “Politics for People” telah diterjemahkan ke dalam delapan bahasa. Menumbuhkan Semangat Nasionalisme dalam Diri Generasi Muda Term “nasionalisme” adalah kombinasi dari dua kata Inggris, yakni “nation” (=bangsa) dan “ism” (=paham). Berdasarkan arti ini, maka arti dari kata nasionalisme adalah sebuah paham yang menjunjung tinggi rasa dan semangat kebangsaan atau cinta dan semangat akan bangsa dan tanah air (Christino, 2019). Dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nasionalisme diartikan sebagai suatu paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan. Perkembangan ragam teknologi yang semakin mengglobal pada era ini sungguh merupakan sebuah tantangan bagi siapa saja yang terlibat di dalamnya. Problem ini menjadi sangat menarik apabila dikaitkan dengan 184 Generasi Muda yang Pancasilais semangat nasionalisme, patriotisme, dan semangat kebersamaan (solidaritas) yang ada dalam diri masing-masing warga negara Indonesia, khususnya para generasi muda, terutama mengenai jiwa untuk mau terlibat. Keterlibatan yang dimaksudkan bisa mengacu pada banyak hal, salah satunya adalah terlibat dalam politik elektoral konvensional. David Mathews (2018:3) menyebutkan bahwa problem sistemik pertama di jantung demokrasi ialah: warga tidak cukup terlibat, mereka selalu berada di pinggiran. Dan hal semacam ini, persis seperti yang disebutkan di atas ialah masyarakat enggan terlibat dalam politik elektoral konvesional. Rendahnya suara pemilih di bilik suara kemudian ditambah lagi dengan budaya “Golput”. Persoalan demikian diperkirakan mungkin karena ada sedikit alasan tentang mengapa mereka harus bersama, toh dalam kenyataannya suara mereka juga seolah-olah diabaikan. Mungkin juga keadaan ini disebabkan oleh sistem politik yang telah mendorong mereka untuk berada di areal pinggiran. Kelicikan atau kecurangan politik, telah mengondisikan suara mereka tidak dihitung. Atau mungkin juga karena mereka sendiri yang melakukannya, sehingga menjauh dengan cara pergi dari keramaian karena frustrasi atau bahkan karena sinisme. Dan dalam hal ini, David mengatakan bahwa apa pun penyebabnya, berhentinya orang-orang untuk mau berpikir sebagai warga negara adalah problem serius bagi demokrasi. Terkait dengan hal ini, Sila kelima“Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” dalam Pancasila sudah sangat jelas memuat bahwa kesejahteraan bersama yang menjadi komitmen dan cita-cita bersama bangsa ini. Kesejahteraan bersama akan terwujud apabila di dalam diri masing-masing rakyat Indonesia memiliki roh untuk saling memberi dan mengutamakan keadilan antara satu dengan yang lain. Pengertian memberi salah satunya bisa diartikan sebagai tindakan “memberikan suara”. Semangat memberi dan mengutamakan keadilan adalah indikasi bahwa pribadi tersebut dewasa. Kata “dewasa” tidak dimaksudkan sebatas ranah biologis semata, melainkan sebuah proses “mendewasakan” artinya bahwa di sana terdapat unsur inteligensi dan kepribadian yang matang. Rene Descartes, seorang bapak filsafat modern, dalam kekhasannya mengatakan bahwa pikiran (inteligensi) adalah diriku yang ada (eksis). Maka tidak heran kita mendengar semboyannya yang amat fenomenal yakni: “Cogito Ergo Sum” (aku berpikir, maka aku ada) (Hardiman, 2007:37). Dengan demikian, Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 185 menjadi generasi muda yang nasionalis berarti menjadi pribadi yang bijak dalam hal berperilaku dan berpikir. Mereka yang Hidup Biasa Saja tetapi Melakukan Banyak Hal Luar Biasa “Sandi pulang ke kampung halamannya di sebuah desa kecil setelah pensiun dari pekerjaan yang sukses di pusat kota yang bermil-mil jauhnya. Ia masih ingin melakukan sesuatu yang berguna, sehingga mengambil pekerjaan mengajar matematika di sekolah tempat dulu belajar ketika masih muda. Namun, ia terkejut dengan temuannya, sehingga satu tahun kemudian ia meninggalkan sekolah itu. Murid-muridnya benar-benar runyam: banyak yang diluluskan tanpa pernah benar-benar bisa membaca, menulis, atau menguasai aritmatika paling sederhana. Orang tua mereka tampak tidak peduli; banyak di antara mereka meninggalkan sekolah pada kelas delapan. Selain walikota, hanya sedikit pejabat kota yang tampak marah mengenai bagaimana buruknya kondisi sekolah. Sandi mengambil kesimpulan bahwa obatnya bukan di sekolah tetapi di masyarakat, tetapi ia tidak yakin apa yang bisa dilakukannya untuk menghadapi ketidakpedulian yang meluas itu. Menurutnya, ketidakpedulian itu adalah gejala dari suatu masalah yang lebih mendalam: publik telah menjadi terdiskoneksi dari sekolah. Ketika mereka melintasi gedung sekolah, mereka menyebutnya “sekolah itu”, bukan “sekolah kita”. Dan atas keprihatinan itu, Sandi tidak hanya sekadar melangkah pada persoalan terkait dengan sekolah, melainkan melangkah dari sekadar sebagai guru menjadi pembangun komunitas, yang dengan posisi itu ia menciptakan koalisi warga untuk menangani berbagai masalah masyarakat yang efeknya tumpah ruah di sekolah-sekolah.” (The Ecology of Democracy karya David Mathews, 2018:xv). Warga masyarakat seperti Sandi, Adim (45), Alit (35), Aryani Dwi Agustina Sito (Tina), Misman (60) dan Bachtiar (49), seperti yang telah kita lihat, telah melakukan banyak hal yang bermanfaat atau berkontribusi bagi kehidupan banyak orang. David Mathews memberikan catatan kritis terkait dengan model warga demikian. Baginya, bahwa warga yang bekerja untuk memecahkan problem di dalam masyarakat tidak semuanya adalah orang-orang baik yang senantiasa 186 Generasi Muda yang Pancasilais mengorbankan diri. Mereka bisa saja gagal, dan tidak kebal dari kesedihan, bahkan keragu-raguan. Akan tetapi, dari pandangan sinis David Mathews terhadap apa yang dilakukan oleh para heroik kebaikan ini, ternyata terkandung makna yang amat esensial, yakni meskipun dalam keadaan yang seperti itu, mereka adalah orang-orang yang memiliki keyakinan membuat masyarakat menjadi lebih baik. Ini adalah sebuah tindakan kewarganegaraan. Memperjuangkan Demokrasi yang Berpusat pada Warga (Rakyat) Demokrasi yang menjadi bahan dasar dalam penjelasan pada poin ini, pertama-tama didasarkan pada konsep yang ditangkap dari dua akar kata: demo dan cracy. Demos adalah warga, dan cracy (Latin: kratos) adalah kekuatan/kedaulatan untuk mengatur atau memberlakukan (aturan-aturan). Maka demokrasi adalah pemerintahan yang didasarkan pada kedaulatan rakyat untuk membangun masa depan mereka sendiri. Warga negara ada di pusat, kendati selalu merupakan perjuangan untuk mempertahankan mereka di posisi itu (Mathews, 2018:xv). Selain itu juga, David Mathwes memberikan konsep terkait pemahaman konvensional mengenai demokrasi. Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan representatif yang diciptakan melalui pemilihan umum. Dalam hal ini David meyakini bahwa jenis pemerintahan representatif keberadaannya memang sangat penting, tetapi harus disadari betul bahwa mereka ini berada di atas landasan kewarganegaran yang tidak lebih dari sekadar suara untuk memilih para pemimpin (wakilnya). Dan dalam hal ini, posisi rakyat adalah posisi integral dalam sebuah negara. Apa yang dikemukakan oleh David Mathews, khususnya berkaitan dengan kedudukan warga yang menjadi sentral sebuah pemerintahan, juga selaras dengan apa yang termuat dalam Pancasila, khususnya sila keempat, yaitu, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.” Poin esensial yang dimaksud dalam sila keempat ini adalah rakyat. Sekali lagi bahwa, Permusyawaratan Perwakilan atau wakil rakyat adalah mereka yang menjadi juru bicaranya rakyat, menyuarakan aspirasi rakyat, mendengar keluh-kesah rakyat, dan menjadi pelayan rakyat. Mereka adalah rakyat yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 187 Perbedaan yang Menghasilkan Perubahan Kekuatan yang datang dari kemampuan orang-orang untuk menciptakan atau membangun sesuatu secara bersama-sama adalah kekuatan sesungguhnya. Dalam hal ini kekuatan lembaga sebagian besar berasal dari sumber daya mereka dan otoritas. Di mana makin mampu masyarakat menggerakkan kekuatan bersama, makin mereka tidak bergantung terhadap keberadaan lembaga. Dalam arti ini, dibutuhkan sebuah kerja sama yang efektif untuk menghindarkan diri dari sikap-sikap yang berlawanan dengan norma-norma hidup bersama, misalnya sikap mengutamakan kelompok tertentu dan mempersalahkan kelompok lain. Jadi David Mathews dalam hal ini telah menyumbangkan sebuah cara berpikir yang sangat relevan terutama dalam konteks Indonesia yang multikultural. Negara memberikan jaminan kepada warganya untuk memeluk kepercayaannya masing-masing dan beribadat sesuai dengan apa yang diyakininya. Atas jaminan ini, tentu tindakan yang diharapkan antar satu warga negara dengan yang lainnya adalah menjunjung tinggi sikap untuk saling menghormati. Penghormatan yang dimaksud adalah penghormatan yang tidak hanya dilakukan dalam kelompok atau komunitasnya sendiri, melainkan melampaui komunitas atau kelompok-kelompok (keagamaan, budaya, dll.) lainnya. Dengan demikian negara juga bertindak untuk memberikan jaminan kepada warga negaranya untuk memeluk kepercayaannya masing-masing dan beribadat sesuai dengan apa yang diyakininya. Hal ini merupakan tanda di mana demokrasi adalah sebuah mekanisme politik demi terwujudnya kepentingan umum, serta menunjukkan suatu sifat demokrasi yang dewasa. Sila kelima Pancasila memberikan pemahaman penting kepada kita bahwa cita-cita yang menjadi komitmen bangsa ini adalah kesejahteraan. Komitmen itu dapat terwujud bila masing-masing rakyat Indonesia memiliki roh untuk mau saling menghargai, memperhatikan dan mengutamakan keadilan antara satu dengan yang lain. 188 Generasi Muda yang Pancasilais Bagian 4 Menjadi Generasi yang Pancasilais Menjadi Generasi yang Pancasilais berarti menjadi pribadi yang bijak dalam hal perealisasian kelima (5) asas atau nilai dalam Pancasila: Bijak dalam Hal Ber-Tuhan Bijak dalam hal ber-Tuhan berarti menjadi pribadi yang beriman. Beriman bukan dalam arti formal dangkal, sejauh beragama atau bahkan sejauh identitas dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) saja. Berimanberarti “Aku” berelasional dengan Dia (Tuhan, “Yang Transenden”) yang mengatasi kehidupan. Beriman bukan berarti “frontal”, mengklaim agama “Aku” yang benar dan “Others” yang salah. Beriman berarti eksisdalam agama yang dianutnya dan tidak mewajibkan apalagi memaksa masyarakat untuk beragama menurut dalil-dalil tertentu (Suseno, 2000:588). Bersikap hormat terhadap agama atau kepercayaan tertentu adalah tanda penghormatan terhadap martabat manusia dan sadar bahwa “Aku” ber-Tuhan. Hormat terhadap agama = hormat atas manusia. Hormat terhadap manusia = hormat terhadap kemahadaulatan Allah (Suseno, 2000:17). Bijak dalam Hal Memanusiakan Manusia Seluruh pasal yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, memberikan penekanan pada hak-hak asasi manusia. Tindakan menjunjung tinggi hakhak atau martabat manusia tentunya dapat digunakan dan bahkan menjadi power pamungkas guna menangkal tindakan radikalisme. Selain itu, indikasi dasar bahwa suatu negara disebut maju adalah ketika ada prinsip pengutamaan hak-hak atau martabat masyarakatnya (manusia), dan kita patut mensyukuri itu bahwa Bangsa Indonesia sedari awal sudah menghidupi prinsip tersebut. Maka dari itu, tindakan diskriminatif sama sekali tidak dikenal dan bahkan tidak ada dalam konsep manusia Indonesia. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 189 Bijak dalam Hal Membangun Hubungan Timbal Balik atas Dasar Kesamaan Kedudukan Sikap atau tindakan untuk mau membangun hubungan timbal balik terhadap sesama adalah indikasi bahwa pelakunya adalah pribadi yang menyadari eksistensi (tujuan) keberadaannya. Fichte adalah salah seorang filsuf yang mengutarakan bahwa refleksi terhadap diriku atau tentang ‘Aku” identik dengan apa yang aku lakukan “tindakanku”. Sehingga dalam hal ini, kesadaran tentang “Aku” merupakan kesadaran tentang keberadaanku dan tindakanku bersama orang lain (Riyanto, 2018:190). Bijak dalam Berdemokrasi Sila keempat “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”, pada dasarnya mengungkapkan sebuah kesadaran dan cita-cita para bapa pendiri di mana kedaulatan untuk mengatur bangsa Indonesia berada pada rakyat. Peran rakyat (warga) menjadi sangat penting. Dan dalam hal ini kita bisa melihat bahwa para bapa pendiri benar-benar sadar dan memiliki kepekaan terutama untuk menciptakan pemerintahan yang demokrasi: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Seperti yang dikatakan oleh David Mathews, bahwa persoalan-persoalan esensial dalam hal berdemokrasi mustahil diselesaikan tanpa keterlibatan warga (rakyat). Bahkan pernyataan ini semakin dipertegas dengan apa yang dikatakan oleh Abraham Lincoln (dalam David Mathew, 2018:8), “Dengan Sentimen Publik, takkan ada yang gagal, tanpanya, takkan ada yang berhasil.” Berkaitan dengan tata cara penghayatannya, maka hal yang menjadi keutamaan adalah memperjuangkan dan menerapkan dalam diri masingmasing (pribadi) untuk senantiasa menghidupi prinsip “Subsidiaritas”. Artinya bahwa kita semua diajak untuk memiliki sikap penghormatan atas hak-hak, baik dalam hal keluarga maupun dalam kelompok kecil. Menjadi Generasi Muda yang Bijak dalam Hal Menciptakan Bonum Commune (Kesejahteraan Bersama) Terciptanya bonum commune (kesejahteraan bersama) adalah hakikat dari eksistensinya sebuah negara. Mustahil berdirinya sebuah negara apabila orang-orang yang ada di dalamnya menerapkan prinsip “hukum rimba”, siapa menang berarti berkuasa. 190 Generasi Muda yang Pancasilais Dalam hidup bermasyarakat dalam sebuah kelompok besar (terdiri dari: suku, agama, dan budaya yang beraneka ragam), hal esensial yang harus dilakukan adalah perlunya sikap adil. Sikap adil perlu ada antara individu satu dengan individu lain, antara individu dengan kelompok masyarakat, antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain, antara warga negara dengan negaranya, antara pemerintah dengan rakyatnya. Penutup Mengutip apa yang dikatakan David Mathews dalam tulisAnnya, “Saya tidak mengatakan bahwa hanya merekalah (orang-orang yang mendedikasikan hidupnya bagi negara) yang patut disebut sebagai warga negara sejati, dan yang lain bukan. Saya yakin bahwa kadang kala banyak orang yang memainkan peran sebagai warga, bahkan ketika mereka tidak berpikir bahwa apa yang mereka lakukan adalah tindakan kewargaan.” Pernyataan David Mathews ini pada dasarnya memberikan kesadaran kepada kita bahwa kita diajak untuk merefleksikan kembali seluruh tindakan yang telah kita lakukan terutama yang berkaitan dengan dedikasi kita bagi negara ini. Kita tentunya tidak boleh puas dengan tindakan-tindakan yang telah kita realisasikan, melainkan kita harus lebih meningkatkannya dengan realisasi yang lebih berbobot (berkualitas). Menjadi generasi yang Pancasilais, tidak cukup hanya bergaung di bibir, juga tidak hanya cukup pada praksis-praksis yang telah berjalan. Generasi yang Pancasilais adalah generasi yang menghidupi dan menjiwai nilai-nilai Pancasila dan senantiasa merealisasikannya dalam hidup sehari-hari. Praksispraksis yang akan dan sudah dilakukan bukan hanya formalitas belaka, melainkan sebagai tindakan yang bersumber dari kesadaran akan “Aku” yang adalah warga negara Indonesia. kesadaran akan “Aku” mengandaikan bahwa pribadi yang bersangkutan sadar akan kodratnya yang bukan hanya rasional melainkan juga relasional. Artinya kita harus menyadari bahwa kodrat kita tidak mungkin sendirian. Kita selalu akan bersama dengan “other”. Mengutip apa yang dikatakan Prof. Dr. F.X. Armada Riyanto (2018:381), ketua asosiasi filsuf Katolik Indonesia, “semakin manusia ‘menyeberang’ ke orang lain, dia semakin menjadi dirinya. Dan, sebaliknya, semakin dia mengurung diri sendiri (dengan cara menolak, memojokkan, dan melenyapkan orang lain) semakin tidak manusiawi.” Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 191 Daftar Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia, 2007. Kaelan, H. Etika Kehidupan Berbangsa. Yogyakarta: Paradigma, 2018. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekreatariat Jendral MPR RI, 2012. Mathews, David. The Ecology of Democracy. Barikatul Hikmah. Trj. Ekologi Demokrasi. Jakarta: PARA Syndicate, 2018. Riyanto, Armada. Relasionalitas-Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, Fenomen. Yogyakarta: Kanisius, 2018. Suseno, Franz Magnis. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia, 2000. Widharsana, Petrus Danan dan Victorius Rudy Hartono. Pengajaran Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 2017. Artikel (cetak) Armada Riyanto. “Kearifan Lokal-Pancasila Butir-butir Filsafat “Keindonesiaan””. Dalam Armada Riyanto, dkk. (ed). 2015. Kearifan Lokal Pancasila-Butir-butir Filsafat Keindonesiaan. Yogyakarta: Kanisius, 18. “Misman dan Bachtiar- Gerakan Bersih Sungai”, dalam KOMPAS, Selasa, 17 September 2019, hlm. 12. “Adim, Jaga Kicir Tetap Bergulir”, dalam KOMPAS, Jumat, 16 Agustus 2019, hlm. 16. “Kegigihan Putri Betawi”, dalam KOMPAS, Kamis, 12 September 2019, hlm. 16. Ino Christino. “Menumbuhkan Semangat Nasionalisme dalam Keluarga”, dalam KANA, Juli-Agustus-September 2019. 192 Generasi Muda yang Pancasilais “Menolak Tunduk, Kembalikan Martabat”, dalam JAWA POS, Sabtu, 14 September 2019, hlm.1. “Janji RUU KUHP Bebas Pasal Karet”, dalam JAWA POS, Selasa, 17 September 2019, hlm. 2. “RUU Pertahanan Melenceng dari Rasa Keadilan”, dalam KOMPAS, Senin, 16 September 2019, hlm. 1. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 193 Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural dan Dialog Antarbudaya berdasarkan Dokumen “Mendidik untuk Dialog Antarbudaya di Sekolah-sekolah Katolik” Ignatius Rio Praseno dan Maria Gorethi Vivi Wulandari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Widya Yuwana Pendahuluan Pada tanggal 28 Oktober 2013, Kongregasi untuk Pendidikan Katolik mengeluarkan Dokumen berjudul “Mendidik untuk Dialog Antarbudaya di Sekolah-Sekolah Katolik” dalam rangka memperingati 48 tahun dipromulgasikannya Deklarasi Konsili Vatikan II Gravissimum Educationis. Dokumen ini secara khusus mengajak, mendorong dan membimbing agar di sekolahsekolah Katolik dan lembaga-lembaga pendidikan Katolik terjadi pendidikan dialog antarbudaya. Pendidikan dialog antarbudaya ini diperlukan sebagai upaya untuk membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik di tengah kemajemukan budaya yang ada. Kemajemukan budaya di satu sisi berdampak positif, namun di sisi lain bisa juga berdampak negatif. Kemajemukan budaya berdampak positif manakala kehadirannya menjadi sarana perjumpaan antar pribadi dan menjadikan manusia semakin kaya. Namun, di sisi lain kemajemukan budaya ini bisa berdampak negatif manakala kehadirannya menjadi akar dari konflik dan masalah sosial lainnya. Menyelaraskan budaya-budaya manusia bukan perkara yang mudah sebab budaya satu dan yang lainnya memiliki perbedaan walau terkadang memiliki kesamaan. Dewasa ini, pendidikan multikultural telah didengung-dengungkan dalam sistem pendidikan negara kita, Indonesia. Indonesia yang sedari awal terkenal dengan keragaman budayanya memiliki tantangan tersendiri dalam membangun paham multikulturalisme di tengah masyarakat. Pendidikan 194 Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural multikultural dipandang sebagai suatu solusi untuk mengembangkan paham multikulturalime di tengah masyarakat, khususnya para siswa dan mahasiswa. Mulikulturalisme membuat masyarakat sadar akan kehadiran sesamanya yang berasal dari budaya lain dan dengan demikian mampu bekerja sama dengan mereka membangun kehidupan yang lebih baik. Diharapkan nantinya dengan terbangunnya multikulturalisme di tengah masyarakat, kehidupan masyarakat menjadi lebih damai dan sejahtera. Berkaitan dengan dua hal di atas, yakni dikeluarkannya dokumen tentang dialog antarbudaya dan pentingnya pendidikan multikultural, maka pendidikan agama Katolik di sekolah memiliki peran yang penting dalam mewujudkan cita-cita bersama tersebut. Pendidikan agama Katolik berperan untuk mewujudkan tujuan pendidikan multikultural sekaligus mewujudkan apa yang diharapkan oleh Gereja, yakni membangun dialog antarbudaya. Selain itu kondisi Indonesia yang multikultural ini juga menuntut pengajaran agama di sekolah menumbuhkan kesadaran multikulturalisme dalam diri siswa, sehingga nantinya siswa memiliki sikap yang terbuka, toleran, inklusif, dan mampu bekerja sama dengan orang lain. Berangkat dari masalah di atas, maka penulis merasa bahwa dewasa ini dibutuhkan suatu usaha untuk membangun atau menciptakan sebuah pendidikan agama Katolik yang membangun pemahaman multikulturalisme dalam konteks masyarakat Indonesia yang multikultural. Karya tulis yang disajikan ini adalah upaya penulis menguraikan gagasannya mengenai permasalahan di atas. Dokumen “Mendidik untuk Dialog Antarbudaya di Sekolah-Sekolah Katolik” dijadikan sebagai landasan utama untuk menciptakan suatu pendidikan agama Katolik yang mampu menumbuhkan multikulturalisme. Manusia dan Budaya Manusia pada hakikatnya tidak pernah terlepas dari budaya. Manusia dan budaya adalah dua hal yang saling terkait sepanjang sejarah kehidupan manusia itu sendiri. Ketika dilahirkan manusia pasti berada dalam suatu kebudayaan tertentu. Namun sebenarnya apa budaya itu, dan mengapa kehidupan manusia selalu diwarnai oleh kebudayaan? Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 195 Secara etimologi kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta, “Buddhi” (bentuk tunggal) atau buddhayah (bentuk jamak), yang berarti budi, pikiran, atau akal. Tak lepas dari arti ini maka kebudayaan dimaknai sebagai segala hal ihwal tentang alam pikiran manusia. Sedangkan dalam bahasa Inggris budaya diartikan sebagai culture yang berasal dari bahasa Latin colore yang berarti mengolah atau mengajarkan, yaitu mengolah tanah atau bertani. Maka kata culture diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengelola alam (Mahdayeni, Alhaddad, & Saleh, 2019: 157). E.B. Taylor mendefinisikan budaya sebagai keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan lain serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat (Mahdayeni, Alhaddad, & Saleh, 2019:157). Kebudayaan dan adat istiadat yang dimiliki masyarakat merupakan alat pengatur dan pemberi arah kepada setiap tindakan, perilaku, dan karya manusia yang menghasilkan benda-benda kebudayaan. Kebudayaan yang ada pada masyarakat juga memengaruhi pola-pola perbuatannya, bahkan juga cara berpikir dari setiap masyarakat (Umanailo, 2016:31). Kedua pengertian di atas serupa dengan yang didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Kebudayaan adalah: 1) hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat; 2) keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.” Maka, kebudayaan senantiasa berkaitan dengan akal budi, perilaku (aktivitas manusia), serta hasil karya dari aktivitas manusia dalam eksistensinya sebagai makhluk sosial yang berada dalam sebuah masyarakat. Dalam dokumen “Mendidik untuk Dialog Antarbudaya di SekolahSekolah Katolik” disebutkan bahwa budaya merupakan ungkapan khas manusia dalam menunjukkan keberadaannya. Kebudayaan yang dimiliki manusia sejak lahir merupakan sarana baginya untuk berkembang secara seimbang dan tenang dalam hubungan yang sehat dengan dengan orang lain dan lingkungannya. Ikatan manusia dengan budayanya merupakan suatu hal yang penting, namun ikatan itu tidak memaksa orang menjadi egois dan tertutup (Art.1). 196 Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural Keberagaman Budaya Manusia Tidak bisa dimungkiri bahwa dewasa ini kehidupan manusia diwarnai dengan berbagai kebudayaan. Setiap ras, negara, kota, bahkan kelompokkelompok terkecil dalam masyarakat memiliki kebudayaan yang berbeda. Keanekaragaman budaya ini dikarenakan manusia membentuk kelompokkelompok tertentu dalam masyarakat. Kelompok-kelompok masyarakat yang dibatasi oleh wilayah teritorial tertentu biasanya memiliki kebudayaan yang berbeda dari kelompok lainnya. Setiap kelompok masyarakat memiliki budayanya yang khas, yang kadang kala tidak ditemukan di kelompok masyarakat lainnya. Karena kebudayaan muncul dari hasil aktivitas manusia untuk berpikir dan berefleksi, tentulah tidak sulit memahami bahwa akan muncul banyak budaya dalam hidup manusia, sebab pemikiran manusia yang satu dan yang lainnya kadang kala tidaklah sama dalam memandang suatu hal. Keanekaragaman budaya tidak menunjukkan suatu perpecahan antarmanusia namun merupakan fenomena munculnya percampuran populasi yang terus-menerus terjadi, yakni percampuran ras (hibridasi) keluarga manusia sepanjang perjalanan sejarah. Dengan demikian tidak ada budaya yang sungguh-sungguh “murni”. Kondisi lingkungan, sejarah dan masyarakat yang berbeda telah memperkenalkan kebinekaan yang luas dalam satu komunitas manusia. Keragaman budaya dalam kehidupan manusia harus dipahami secara benar sebagai suatu kekayaan dan sebagai ungkapan kesatuan fundamental umat manusia (Art. 1,3). Keanekaragaman Budaya dan Masalahnya Globalisasi yang terjadi dewasa ini membuat hubungan antarbudaya semakin mudah terjadi. Perjumpaan antarbudaya ini menimbulkan suatu ambivalensi. Di satu sisi perjumpaan antarbudaya akan menimbulkan fenomena penyeragaman budaya dalam skala besar. Di sisi lain hal ini berarti menggerus apa yang menjadi ciri khas dari budaya lokal. Budaya lokal akan kehilangan identitasnya (Art. 4). Sebagai contoh adalah fenomena westernisasi, yakni fenomena di mana masyarakat timur mengadopsi budaya barat dalam beragam aspek kehidupannya. Akibatnya budaya-budaya lokal tergeser posisinya, bahkan kehilangan identitasnya sebagai suatu budaya. Atau contoh Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 197 yang sering kita jumpai dewasa ini dalam kehidupan generasi muda bangsa kita adalah munculnya Hallyu atau Korean Wave, yakni masuknya budaya Korea dalam kebudayaan negara-negara lain, termasuk Indonesia tentunya. Fenomena Hallyu ini muncul sebagai suatu fenomena globalisasi budaya versi Asia khususnya Korea Selatan (Larasati, 2018:111). Selain permasalahan mengenai penyeragaman budaya, keragaman budaya juga dapat menimbulkan sikap fundamentalisme, fanatisme, etnosentrisme dan ketertutupan egois dalam diri. Sering kita mendengar ada orang-orang yang berpendapat bahwa perbedaan menurut kodratnya menyebabkan perpecahan. Karena itu pluralisme budaya, tradisi, adatistiadat, dan bahasa–yang dari sifatnya harusnya menghasilkan pengayaan dan pengembangan timbal balik antarindividu–malah dapat menyebabkan kekeliruan pemahaman mengenai makna kebudayaan. Kebudayaan dipahami sebagai suatu yang bersifat mutlak, paling benar dan eksklusif bagi dirinya dan orang lain sehingga memicu perselisihan dan konflik (art. 4). Namun bukan berarti bahwa keberagaman budaya selalu menyebabkan konflik dalam masyarakat. Kenyataannya, budaya sering kali digunakan sebagai alat politik untuk memicu konflik-konflik di tengah masyarakat. Kelompok-kelompok tertentu menggunakan isu-isu konflik budaya sebagai alat pencapaian kepentingan politik, ekonomis, agama, dan wilayah tertentu. Dengan kata lain pluralisme yang ada diperalat untuk pemenuhan hasrat dan kepentingan pribadi semata. (Art. 5). Permasalahan di atas membuat kita mengerti bahwa dewasa ini telah terjadi pergeseran penghayatan akan makna keberagaman budaya. Keberagaman budaya sejatinya membuat manusia semakin kaya dan mendorongnya untuk mampu membangun relasi antarindividu dan kelompok yang semakin dalam. Namun dewasa ini keberagaman budaya yang ada dijadikan alat untuk memenuhi kepentingan pribadi, kelompok, agama atau negara tertentu. Entah itu agar budaya lokal hilang sehingga salah satu budaya menjadi budaya global sehingga menguntungkan pihak-pihak tertentu atau entah berkaitan dengan urusan politik dan ekonomi negara tertentu. 198 Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural Hubungan antara Agama dan Budaya Budaya pada hakikatnya lebih luas daripada agama. Sebab budaya lebih dahulu muncul daripada agama, sehingga agama sering kali dalam praktik penyebarannya melakukan yang namanya inkulturasi. Inkulturasi agama adalah praktik pembudayaan agama tertentu atau penyesuaian ajaran agama dengan kebudayaan yang ada. Aziza (2016:7) mengatakan bahwa dalam inkulturasi agama “ada kompromi nilai atau simbol antar agama yang masuk dengan kebudayaan asal, yang menghasilkan bentuk baru dan berbeda dengan agama atau budaya asal. Dengan demikian, suatu agama yang masuk pada masyarakat tidak pernah bisa ditemukan sebagaimana bentuk aslinya secara utuh, selalu ada pelenturan nilai-nilai (fluiditas)”. Terkait pernyataan Aziza di atas, dokumen “Mendidik untuk Dialog Antarbudaya di Sekolah-Sekolah Katolik” menegaskan hal yang sama: “Agama dapat dikatakan untuk menunjukkan dimensi budaya yang transenden dan dalam cara tertentu adalah jiwanya. Agama-agama tentu saja telah menyumbang pada kemajuan budaya dan pengembangan masyarakat manusia.” Agama diinkulturasikan, dan budaya menjadi lahan subur bagi kemanusiaan yang lebih kaya yang memenuhi panggilan khas dan mendalamnya agar terbuka pada sesama dan Allah. Maka, “inilah saatnya…untuk memahami secara lebih mendalam bahwa inti yang menghasilkan setiap budaya autentik didasari oleh pendekatannya terhadap misteri Allah, yang di dalam dirinya sendiri tatanan sosial yang berpusat pada martabat dan tanggung jawab pribadi manusia mendapatkan landasannya yang tak tergoyahkan.” (art. 7). Ditegaskan bahwa agama merupakan jiwa dari budaya. Agama mengembangkan budaya agar manusia mampu menemukan panggilan dan perutusannya di dunia sesuai dengan kehendak Allah. Agama membuat budaya menjadi lebih humanis, membuat manusia lebih bermartabat dan membawa unsur-unsur budaya kepada sifat religiusnya. Agama berfungsi untuk membangun sebuah komunitas masyarakat menjadi komunitas yang mampu menghormati kebaikan bersama dan dengan maksud memajukan setiap manusia. Oleh karenanya, setiap pemegang kekuasaan dipanggil untuk mempertimbangkan dengan hati-hati segala peluang emansipasi dan inklusi Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 199 universal yang ditunjukkan dan dipengaruhi oleh setiap budaya dan agama. Kriteria yang harus dipegang adalah apakah agama atau budaya mampu secara efektif untuk menunjukkan nilai dan pengembangan seluruh pribadi manusia (Art. 10). Salah satu peran agama dalam kebudayaan adalah dengan membangun suatu dialog antarbudaya. Agama dapat memberikan sumbangannya dalam dialog antar budaya hanya jika agama mampu menemukan Allah dalam kebudayaan itu (bdk. Art.11). Dialog yang dilakukan pun harus sebisa mungkin diarahkan bagi pembentukan secara integral pribadi manusia sehingga tujuan dari masyarakat pun dapat terlaksana. Sebab manusia pada dasarnya memang dipanggil oleh Allah untuk berkembang dan melayani sesamanya. Dialog yang dilakukan berusaha menemukan nilai-nilai Ilahi dalam budaya dan mengamalkan nilai itu demi pembentukan pribadi setiap orang dan kesejahteraan masyarakat. Gereja dalam Memandang Keberagaman Budaya Manusia Sama halnya dengan agama-agama dunia, Gereja (Katolik) memiliki pandangan yang khas terhadap budaya. Gereja dalam Nostra Aetate menyatakan, “Semua bangsa merupakan satu masyarakat, mempunyai satu asal, sebab Allah menghendaki segenap umat manusia mendiami seluruh muka bumi. Semua juga memiliki satu tujuan akhir, yakni Allah, yang penyelenggaraan-Nya, bukti-bukti kebaikan-Nya dan rencana penyelamatanNya meliputi semua orang. (NA, Art.1). Gereja menyadari bahwa Allah menyatakan diri-Nya dengan berbagai cara, termasuk di dalam kebudayaan dan agama manusia. Gereja menyadari bahwa Allah tidak hanya dapat ditemukan dalam tubuh Gereja saja, namun dalam setiap kebudayaan dan agama manusia, bahkan Allah dapat ditemukan dalam seluruh alam semesta. Gereja tidak memandang dirinya sebagai kebenaran yang satu-satunya. Kebenaran iman memiliki berbagai bentuk dan jalan. Oleh karenanya, Gereja dengan tegas “mengecam setiap diskriminasi antara orang-orang atau penganiayaan berdasarkan keturunan atau warna kulit, kondisi hidup atau agama (Gaudiawan & Wijaya, 2018: 210). Sepanjang sejarah Allah mewahyukan dan menawarkan karya keselamatan bukan hanya kepada bangsa Israel saja, namun juga kepada bangsa-bangsa lain. Pewahyuan diri Allah dan karya keselamatan Allah itu 200 Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural sungguh nyata dalam diri Yesus, yang wafat bukan hanya untuk menebus dosa bangsa Israel saja, namun dosa seluruh umat manusia (bdk. Mat 6:12; Ibr 9:15; Kol 2:13-14). Yesus pun juga mengutus Gereja untuk mewartakan karya keselamatan itu kepada segala bangsa, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku ... ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat 28:19-20). Sejatinya manusia adalah makhluk sosial, bahkan sejak penciptaannya. Kisah penciptaan yang termuat dalam Kejadian menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang senantiasa membangun relasi. Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi”. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (Kej 1:26-27). Kutipan ayat di atas menunjukkan bahwa setiap manusia dipanggil kepada persekutuan karena kodratnya yang diciptakan dalam gambar dan rupa Allah. Manusia sejak semula bukanlah makhluk (individu) yang terasingkan, melainkan sebagai pribadi yang pada hakikatnya merupakan makhluk relasional. Persekutuan manusia terjalin dalam dua segi, segi vertikal dan horizontal. Segi vertikal menunjukkan hubungan manusia dengan Allahnya, sedangkan segi horizontal menunjukkan hubungan antar pribadi manusia (art. 34). Sekali lagi bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial, makhluk relasional dan oleh karenanya manusia juga merupakan makhluk yang senantiasa membangun relasidialog, baik kepada Allah maupun kepada sesama manusia. Gereja katolik sendiri menekankan bahwa dewasa ini dialog antarbudaya dan antar agama penting kehadirannya. Dialog semacam ini membantu orang untuk masuk dalam hubungan dengan agama dan kebudayaan lain. Dialog tidak hanya sekadar berbicara, melainkan menyangkut segala hubungan lintas agama dan budaya yang bermanfaat dan bersifat konstruktif. Dialog bukan hanya membangun sebuah relasi namun juga membangun suatu kerja sama antarindividu maupun kelompok dari berbagai agama dan budaya untuk mencapai suatu pemahaman timbal baik dan aksi membangun kesejahteraan bersama. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 201 Dialog yang dilakukan didasarkan pada paham bahwa semua manusia adalah ciptaan Allah, sehingga Allah berkarya pada setiap manusia. Allah menunjukkan kepada manusia nilai-nilai universal untuk mencapai kebaikan bersama, keadilan dan perdamaian. Maka dialog yang dilakukan diarahkan untuk menemukan kesamaan nilai di antara keragaman budaya dan agama yang ada. Dengan dialog ini diharapkan setiap pribadi manusia menemukan dan mengerti secara mendalam nilai-nilai luhur yang berasal dari kebudayaan dan agama lain dari sesamanya. Pemahaman yang demikian dalam praktiknya mendorong berkembangnya rasa hormat, saling menghargai, saling memahami, saling percaya dan menumbuhkan rasa persahabatan di antara sesama manusia. Oleh karenanya sebagai orang katolik, dialog dan pemahaman akan sesama yang beragama atau berkebudayaan lain harus senantiasa dikembangkan agar setiap kita mampu hidup berdampingan dan membangun suatu peradaban kasih. Dialog dengan agama dan budaya lain bahwa yang diperjuangkan di dalamnya adalah suatu humanisme integral, yang menunjukkan suatu penghargaan akan budaya, agama, dan hidup setiap orang (art. 20). Dialog adalah sebuah usaha bagi kita untuk memanusiakan sesama kita secara penuh. Di samping itu kita juga mengembangkan diri kita sendiri untuk menjadi manusia seutuhnya. Dialog akan berkembang jika didasarkan pada kesadaran akan martabat setiap individu dan kesatuan orang-orang dalam sebuah kemanusiaan bersama, dengan tujuan berbagi dan membangun bersama-sama suatu nasib bersama (art. 21). Aneka Pendekatan terhadap Pluralisme Budaya Ada beberapa pendekatan dalam proses memahami pluralisme budaya. Setidaknya ada tiga pendekatan yang dibahas, yakni pendekatan relativisme, pendekatan asimilasi, pendekatan antarbudaya. Dua pendekatan pertama, yakni pendekatan relativisme dan asimilasi merupakan pendekatan yang tidak lengkap namun tetap memiliki aspek-aspek yang bermanfaat. Sedangkan pendekatan antarbudaya adalah pendekatan yang kiranya cocok untuk menumbuhkan dialog antarbudaya yang digagas di atas. Penjelasan mengenai ketiganya diuraikan di bawah ini: 202 Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural a. Pendekatan Relativisme Relativisme budaya merupakan sebuah pandangan yang menyatakan bahwa semua keyakinan, adat istiadat, dan etika bersifat relatif bagi setiap orang, tergantung konteks sosialnya sendiri. Pendekatan relativisme budaya berpandangan bahwa setiap budaya memiliki keunikannya masing-masing dan oleh karenanya penilaian moral “benar” dan “salah” tergantung kepada budaya masing-masing. Relativisme merupakan aliran yang menentang prinsip universalitas, yang menyatakan bahwa penilaian moral didasarkan pada martabat manusia sebagai manusia, bukannya pada kebudayaannya (Jaya & Arafat, 2017: 57). Sisi positif relativisme adalah adanya penghormatan akan perbedaan antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya. Model ini didasarkan pada prinsip toleransi sehingga adanya kebebasan setiap budaya untuk berkembang sesuai dengan apa yang menjadi tujuannya. Namun di sisi lain model relativisme menyebabkan hilangnya dialog antarbudaya, sebab budaya-budaya dipisahkan ke dalam lingkup yang sangat otonom, dan menjadikan budaya terisolasi dari ruang dialog. Walaupun benar model ini menekankan prinsip toleransi, namun akibatnya penerapan model ini membuat relasi antar individu dari budaya yang berbeda sangat terbatas, bahkan tidak memungkinkan adanya pengakuan timbal balik antar individu dari budaya yang berbeda. Relativisme budaya membuat kelompok-kelompok budaya yang berdampingan tetap terpisah, tanpa dialog autentik dan karenanya tidak ada integrasi yang sesungguhnya (art. 22-23). b. Pendekatan Asimilasi Asimilasi budaya adalah peleburan atau penyesuaian dua kebudayaan atau lebih yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Asimilasi budaya adalah fenomena perubahan pola-pola kebudayaan ke arah penyesuaian terhadap kebudayaan kelompok mayoritas (Poerwanto, 1999, hlm. 32). Pendekatan asimilasi budaya ditandai dengan tuntutan agar orang lain menyesuaikan diri dengan lingkungan atau budaya mayoritas. Dalam model ini seorang pendatang (orang liyan/asing) harus melepaskan budayanya dan mengikuti budaya kelompok atau negara penerima. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 203 Kekurangan dari pendekatan ini ada pada sisi penyeragaman budaya dan penerimaan sama rata terhadap berbagai tingkah laku dan gaya hidup sehingga tidak memungkinkan berkembangnya identitas budaya asli seseorang. Akhirnya kelompok minoritas dituntut untuk melebur ke dalam budaya mayoritas (Art. 24-25). c. Pendekatan Antarbudaya Pendekatan antarbudaya muncul untuk menjawabi pekarangan di antara kedua pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini memungkinkan terjadinya suatu dialog antar budaya atau lintas budaya. Prinsip dasar yang dipegang adalah dialog harus dimulai dari kesadaran mendalam atas adanya identitas khusus dari berbagai budaya. Pluralisme dalam pendekatan antar budaya dipandang sebagai sumber daya dan sebuah peluang untuk membuka seluruh sistem kepada semua perbedaan asal usul, hubungan antara laki-laki dan perempuan, status sosial, dan sejarah pendidikan. Pendekatan ini juga didasarkan pada prinsip bahwa budaya itu dinamis, tidak tertutup pada dirinya sendiri atau tidak memandang keanekaragaman budaya sebagai suatu stereotip dan flokoristik4. Pendekatan ini memungkinkan terjadinya: 1) perjumpaan perjumpaan atau dialog antar pribadi; 2) hubungan timbal balik; 3) kesempatan untuk hidup berdampingan; 4) kemungkinan untuk mengatasi dan meminimalkan konflik antarbudaya. Pendekatan ini bertujuan untuk mewujudkan integrasi budaya dalam pengakuan timbal balik (art. 27-28). Ada setidaknya empat landasan yang mendasari pendekatan antarbudaya. Keempat landasan itu antara lain: landasan ajaran Gereja, landasan teologis, landasan antropologi dan landasan pedagogis. Pertama, landasan ajaran Gereja. Gereja memiliki panggilan universalitas atau “katolik”. Gereja dewasa ini gemar melakukan dialog dengan berbagai agama dan budaya. Gereja berpandangan bahwa dialog antarbudaya dimaksudkan bukan hanya sekadar membangun suatu sikap menghargai perbedaan, namun juga menolong setiap orang untuk hidup berdampingan secara damai (art. 29). Gereja melalui Konsili Vatikan II menyatakan bahwa manusia hanya dapat menuju kepenuhan kemanusiaannya yang sejati melalui kebudayaan (GS art. 53). Budaya adalah cara khas ‘berada’ dan ‘mengada’ manusia. Di tengah keragaman budaya yang ada tersimpan juga nilai-nilai 4 Pandangan bahwa keanekaragaman budaya sebagai dongeng, mite, atau legenda. 204 Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural luhur kehidupan. Gereja oleh karenanya membuka diri akan nilai-nilai luhur itu. Keterbukaan itu terjadi secara nyata dalam bentuk dialog Gereja dengan agama dan budaya-budaya manusia. Kedua, landasan teologis. Allah Trinitas merupakan Pribadi-Pribadi dalam suatu persekutuan. Allah Trinitas terbentuk dalam suatu relasionalitas murni yang tak terpisahkan. Manusia pada hakikatnya juga diciptakan sebagai makhluk yang senantiasa membangun relasi. Manusia senantiasa membangun relasi dengan Allah dan sesamanya. Secara khusus dalam dokumen “Mendidik untuk Dialog Antarbudaya di Sekolah-Sekolah Katolik” art. 37 dijelaskan sebagai berikut: “Perspektif ini diterangi dengan sangat jelas dalam hubungan antara Pribadi-pribadi Trinitas dalam satu Hakikat ilahi. Trinitas adalah kesatuan mutlak karena ketiga Pribadi Ilahi itu merupakan relasionalitas murni. Transparansi timbal balik antara ketiga Pribadi ilahi itu total dan ikatan satu sama lain sempurna, karena Mereka adalah satu kesatuan yang unik dan mutlak. Allah juga berkehendak mempersatukan kita ke dalam realitas persekutuan ini: ‘Supaya menjadi satu sama seperti Kita adalah satu’ (Yoh. 17:22). Gereja adalah tanda dan sarana dari persekutuan ini. Demikian juga, relasi antara manusia sepanjang sejarah tidak dapat tidak diperkaya dengan mengacu pada model ilahi ini. Terutama, dalam terang misteri pewahyuan Trinitas, kita mengerti bahwa keterbukaan sejati bukan berarti kehilangan identitas pribadi, tetapi saling menyatu secara mendalam.” Dengan demikian manusia pada hakikatnya dipanggil untuk berelasi dengan Allah dan sesamanya. Dialog yang dilakukan pada pendekatan antarbudaya menghantar manusia untuk mencapai kepenuhannya sebagai ciptaan Allah dan manusia seutuhnya. Ketiga, landasan antropologis. Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa membutuhkan sesamanya. Manusia adalah makhluk relasional yang tidak dapat hidup atau mengembangkan potensi mereka tanpa berelasi dengan sesamanya (art. 39). Manusia sejatinya selalu berelasi dengan pribadi lain dalam kehidupan, membutuhkan kehadiran, perhatian dan cinta dari sesamanya. Cinta merupakan bentuk relasi terdalam dari bangsa manusia. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 205 Cinta membebaskan manusia dari sifat egoisme dan mendorong manusia untuk mampu menyatukan diri dengan sesamanya. Kasih membuat manusia memiliki sikap untuk saling mendengarkan, memperhatikan, dan memberikan penghargaan (art. 41). Dengan demikian sejatinya manusia dipanggil untuk berdialog, berelasi dan mencintai sesamanya secara total untuk menciptakan suatu perdamaian. Keempat, landasan pedagogis. Usaha untuk membumikan dialog antarbudaya tidak lepas dari usaha mendidik pribadi manusia itu sendiri. Melalui pendidikan dialog antarbudaya ini dapat dibangun. Melalui pendidikan yang berdialog inilah kemudian manusia akan mulai mempertanyakan pemahaman mereka dan mendiskusikannya dengan orang lain. Pendidikan antarbudaya ini dapat dimengerti sebagai suatu proses manusia untuk: 1) mencari jati dirinya sebagai makhluk berbudaya; 2) membangun dialog dengan sesamanya; dan 3) saling belajar seumur hidup. Fenomena Multikultural dan Multikulturalisme di Indonesia Setelah dibahas mengenai seluk beluk keanekaragaman budaya dan bagaimana peran Gereja di dalamnya, maka pada bagaikan ini pembahasan akan difokuskan pada konteks Indonesia. Indonesia merupakan negara multikultural. Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku, ras, golongan, adat-istiadat, dan bahasa. Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, lebih tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa di Tanah Air menurut sensus BPS tahun 2010 (Indonesia.go.id, 2017). Keragaman agama juga menjadi salah satu bentuk multikultural bangsa Indonesia. Masyarakat Indonesia setidaknya terbagi dalam enam agama besar yakni agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan agama lainnya. Selain itu keragaman penduduk Indonesia selanjutnya terlihat dari penggunaan bahasa daerah yang cukup besar dalam kehidupan sehari-hari. Sebesar 79,5% penduduk Indonesia berdasarkan Sensus Penduduk 2010 menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa keseharian dan rumah tangga. Sedangkan 19,9% menggunakan bahasa Indonesia, sisanya sebesar 0,3% menggunakan bahasa asing (Indonesia.go.id, 2018). Keragaman budaya di Indonesia di satu sisi merupakan berkah, namun juga pada kenyataannya dapat menimbulkan konflik. Menurut Hakim (2020) 206 Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural ada beberapa konflik yang pernah terjadi di Indonesia yang disebabkan oleh perbedaan pandangan dari beberapa kelompok, dan suku bangsa Indonesia: 1) tragedi Sampit pada tahun 2001; 2) Konflik antaragama di Ambon tahun 1999; 3) konflik antar etnis pada tahun 1998 akibat krisis moneter antara etnis Pribumi dan Tionghoa; 4) Konflik antargolongan dan pemerintah seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS), dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Selain keempat kasus itu juga ada fenomena-fenomena konflik antaragama yang kerap dijumpai, bahkan hingga sampai pada tindak terorisme. Konflik-konflik di atas menunjukkan bahwa paham multikulturalisme masyarakat kita masih rendah. Multikulturalisme menurut Afandi & Munif (2018:5) adalah “suatu gagasan yang mengungkapkan keberagaman budaya yang dimiliki oleh suatu bangsa, kelompok masyarakat di mana keberagaman tersebut menjadi satu kebanggaan dan wajib dilestarikan dengan tetap memegang teguh prinsip keberagaman dan kebersamaan”. Rendahnya paham multikultural ini dapat mengakibatkan perpecahan di tengah bangsa kita. Cita-cita yang dituangkan dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” bisa saja nantinya tidak akan terwujud jika tidak ada usaha untuk menumbuhkan pemahaman multikulturlisme dan sikap toleransi, penghargaan serta keterbukaan antar masyarakat yang multikultural ini. Multikultural tanpa multikulturalisme akan menjadi bumerang yang menghancurkan kesatuan negeri ini. Urgensi Pendidikan Multikultural untuk Menumbuhkan Multikulturalisme Pendidikan Multikultural dapat diharapkan menjadi salah satu solusi untuk menumbuhkan paham multikulturalisme dalam diri masyarakat, terutama generasi muda. Lalu apa itu pendidikan multikultural? Pendidikan multikultural merupakan pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespons perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu bahkan dunia secara keseluruhan (Arifudin, 2007:2). Fatmawati, Pratiwi, & Erviana (2018:82) mengatakan, “Pendidikan multikultural mengajarkan tentang menghargai semua siswa tanpa memandang latar belakang, jenis kelamin, kelas sosial, etnis, ras, agama, dan budayanya. Semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah”. Sedangkan Sutono Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 207 (2016:8) mengatakan, “Pendidikan Multikultural akan dapat mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif terhadap realitas masyarakat yang beragam, baik dalam hal budaya, suku, ras, etnis maupun agama. Hal ini akan menghindarkan diri dari munculnya sikap eksklusif yang secara laten hadir untuk menguatkan klaim kebenaran kelompok dan ideologinya sendiri (claim of truth)”. Dengan demikian pendidikan multikultural merupakan pendidikan untuk menumbuhkan paham multikulturalisme dengan cara: 1) membekali siswa (atau masyarakat pada umumnya) dengan pengetahuan akan keragaman budaya; 2) menjunjung tinggi persamaan hak dan martabat setiap individu tanpa memandang latar belakang; 3) menumbuhkan kesadaran dan sikap menghargai, toleransi, peduli terhadap terhadap realitas masyarakat yang beragam. Urgensi pendidikan multikultural di Indonesia disebabkan oleh berapa faktor: 1) realitas bangsa Indonesia yang beragam; 2) terjadinya konflikkonflik antarsuku, ras, golongan, agama; 3) munculnya paham radikalisme dan fanatisme yang mengancam persatuan bangsa, terutama paham yang disebarkan pada anak-anak usia sekolah; 3) globalisasi yang mengakibatkan identitas budaya lokal luntur; dan 4) keragaman budaya dan agama dijadikan alat politik, bisnis, komersialisasi dan kapitalis yang mengutamakan golongan atau orang tertentu. Lembaga Pendidikan Katolik, Pendidikan Multikultural, dan Dialog Antarbudaya Gereja mengharapkan lembaga pendidikan Katolik mampu menjadi tempat terjadinya pendidikan multikultural yang di dalamnya memungkinkan terjadi dialog antarbudaya. Seperti dikutip dari dokumen “Mendidik untuk Dialog Antarbudaya di Sekolah-Sekolah Katolik” art. 50 di bawah ini: “Karena itu, para pendidik Katolik, para guru dan para siswa yang berada di dalam jenis sekolah apa pun, yang bersatu dalam seni mengasihi yang sama, juga harus menerima ajakan ini.... Sekolah dipercayakan dengan tanggung jawab sangat besar untuk pendidikan antarbudaya. Selama proses pembinaan mereka, para siswa berinteraksi dengan aneka budaya, dan membutuhkan alat-alat yang perlu untuk memahami budaya-budaya tersebut dan menghubungkannya dengan budaya mereka sendiri. Sekolah harus 208 Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural terbuka terhadap perjumpaan dengan kebudayaan-kebudayaan lain. Mereka bertugas untuk mendukung individu-individu sehingga setiap pribadi mengembangkan identitasnya sendiri dengan menyadari kekayaan dan tradisi budayanya”. Dengan demikian Gereja mengharapkan lembaga pendidikan (sekolah), khususnya lembaga pendidikan Katolik menjadi tempat perjumpaan antar individu dari berbagai budaya. Sekolah menjadi tempat perjumpaan penuh kasih antar individu, baik bagi para guru, siswa atau tenaga kependidikan lainnya. Interaksi antara beraneka kebudayaan itu pada prinsipnya bukan untuk meleburkan budaya, namun mengenal aneka budaya dengan tetap mempertahankan identitas budaya asli. Malahan diharapkan interaksi yang dilakukan di sekolah diharapkan memperkuat identitas budaya dari masingmasing individu dan sekaligus mampu membuat budayanya dikenal banyak orang serta mereka sendiri mengenal budaya orang lain tanpa sikap diskriminasi. Sekolah menjadi tempat interaksi, sekaligus dialog antarbudaya yang ditandai dengan hubungan hangat antara semua warga sekolah tanpa prasangka terhadap budaya, jenis kelamin, kelas sosial atau agama. Sekolah-sekolah Katolik memiliki kewajiban untuk mengembangkan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural yang dapat diterapkan sesuai dengan anjuran dokumen “Mendidik untuk Dialog Antarbudaya di Sekolah-Sekolah Katolik” adalah pendidikan multikultural yang berbasiskan dialog antar budaya. Jadi dalam penerapannya, pendidikan semacam itu memungkinkan adanya dialog atau perjumpaan antar individu dari berbagai macam kebudayaan. Pendidikan multikultural perlu mengembangkan iklim dialog dan penghormatan timbal balik antarindividu, yang meningkatkan kemampuan mereka dan itu semua dilakukan demi mengusahakan suatu kebaikan bersama. Iklim tersebut dapat dikembangkan dengan menumbuhkan dan membiasakan sikap saling percaya, kesiapsediaan untuk melayani, sikap mau menjadi pendengar yang baik. Perlu juga dikembangkan di dalam pembelajaran kelas: 1) dialog antara guru dan siswa dan antar siswa sendiri; 2) peningkatan andil pribadi para siswa dalam pencarian bersama; 3) pengajaran interdisipliner yang menunjang pendidikan multikultural. Nilai dasar yang dikembangkan dalam pendidikan multikultural berbasis dialog antarbudaya adalah nilai cinta kasih. Kasih terhadap Allah dan sesama menjadi dasar untuk terjalinnya suatu dialog. Kasih membuat setiap individu Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 209 terbuka terhadap sesamanya, terbuka terhadap pluralitas. “Pengalaman menunjukkan bahwa agama Katolik mengerti cara menjumpai, menghormati, dan menghargai budaya-budaya yang berbeda-beda. Kasih terhadap semua laki-laki dan perempuan tentu juga adalah kasih kepada kebudayaan mereka. Sekolah-sekolah Katolik, menurut panggilan mereka sendiri, bersifat antarbudaya (art. 61). Dalam dokumen “Mendidik untuk Dialog Antarbudaya di SekolahSekolah Katolik” art. 63, Kongregasi untuk Pendidikan Katolik menegaskan ada tujuh bidang pendidikan yang harus dikembangkan dalam pendidikan multikultural berbasis dialog antarbudaya ini: Kriteria identitas Katolik: pendidikan katolik berpangkal pada Kristus. Sekolah-sekolah Katolik diutus untuk mewartakan nilai-nilai Injil ke dunia. Mewartakan Injil dan pengembanan misi kristianitas menjadikan sekolah Katolik memiliki kekatolikannya. 1. 2. 3. 4. Pengembangan visi bersama: peran sekolah dewasa ini adalah mengembangkan dialog yang memungkinkan terjadinya komunikasi di antara orang-orang yang berbeda, dan dengan demikian membantu mereka menerjemahkan cara berpikir dan merasa mereka. dengan demikian sekolah katolik sungguh membantu orang lain kembali ke kebudayaan mereka sendiri, dengan kebudayaan orang lain sebagai titik pangkal mereka. Dengan kata lain, membantu orang lain berefleksi tentang dirinya sendiri dalam perspektif “keterbukaan pada kemanusiaan”. Keterbukaan yang masuk akal terhadap globalisasi: Gereja mengharapkan sekolah Katolik untuk mewartakan kepada para siswa suatu pengetahuan akan kondisi dunia saat ini, kondisi yang dicirikan dengan banyaknya ketergantungan timbal balik. Pembentukan identitas pribadi yang kuat: sekolah bertugas untuk membentuk identitas pribadi dan budaya yang kuat. Tugas ini pertamatama harus dimulai dengan pembentukan kesadaran atas kebudayaannya sendiri, setiap pribadi meyakini dan bangga akan budayanya sendiri. Kesadaran inilah yang menjadi titik awal yang membuat seseorang mampu berdialog dan mampu menghargai serta mengakui kesetaraan martabat orang lain. Pembiasaan merefleksikan pengalaman: refleksi akan pengalaman hidup dikembangkan agar setiap pribadi mampu merenungkan perilakunya 210 Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural 5. 6. sendiri, dan menjadi semakin sadar akan apa yang dirasakan dan rencana apa yang akan dilakukan ke depannya. Penghormatan nilai-nilai budaya dan agama lain: sekolah harus menjadi tempat di mana orang bisa belajar berdialog tentang makna yang ada dari pelbagai agama dan budaya dengan kekhasan mereka masingmasing. Hal ini memungkinkan orang berbagi nilai-nilai universal, seperti solidaritas, toleransi, perdamaian dan kebebasan. Pendidikan yang mengembangkan sikap berbagi dan bertanggung jawab: Gereja juga mengharapkan agar sekolah menjadi tempat di mana siswa memahami akan situasi kehidupan masyarakatnya dan oleh karenanya sekolah mendorong para siswa untuk berusaha bertanggung jawab memperbaiki situasi yang ada. Sekolah bukan hanya tempat pengajaran saja. Sekolah harus memperhatikan setiap aspek kehidupan para siswa baik yang formal (prestasi, diskusi, seminar), yang informal (perayaan/ pesta, kegembiraan, kegelisahan) dan pengalaman religius (liturgi dan spiritualitas). Sekolah menjadi tempat siswa berbagi pengalaman hidup. Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural dan Dialog Antarbudaya Pendidikan Agama Katolik di sekolah secara otomatis memiliki tempat yang penting dalam pengembangan pendidikan multikultural yang berbasis dialog antarbudaya. Pendidikan agama Katolik menjadi tanda nyata bahwa dialog antarbudaya dapat diterapkan dalam pembelajaran di sekolah untuk menumbuhkan paham dan semangat multikulturalisme, tanpa kehilangan kekatolikannya. Pendidikan agama Katolik sebagai bentuk penerapan pendidikan multikultural yang berbasis dialog antarbudaya haruslah menjadi pembelajaran yang mengembangkan humanisme integral. Apa maksudnya? Agama Katolik tanpa kehilangan identitas imannya, mampu menumbuhkan sikap penghargaan akan unsur agama dan budaya lain, penghargaan terhadap hidup sedari pembuahan hingga wafatnya, penghormatan kepada keluarga, masyarakat, pendidikan dan pekerjaan orang lain, keterbukaan untuk berdialog dengan orang lain. Pembelajaran yang mengembangkan humanisme dan dialog akan mendorong setiap siswa kepada apa yang baik dan benar, yang memampukan mereka menghadapi: penolakan sentimen keagamaan, ateisme, dan agnotisime (Art. 72). Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 211 Pendidikan Agama Katolik juga harus tetap mengusahakan pembinaan moral, pengembangan tanggung jawab pribadi dan sosial, serta pengembangan nilai-nilai luhur demi kebaikan bersama. Pendidikan Agama Katolik dengan demikian bertugas untuk membentuk siswa sebagai pribadi yang bukan hanya kuat dalam pengetahuan iman, tapi bagaimana juga membentuk siswa yang mampu mengamalkan hidupnya dalam hidup kemasyarakatan. Pendidikan Agama Katolik memberikan kepada para siswa pengetahuan tentang identitas Kristianitas dan kehidupan Kristiani. Tujuannya untuk memperluas rasionalitas siswa, membukanya kembali kepada persoalanpersoalan lebih besar tentang kebenaran dan kebaikan, menghubungkannya dengan berbagai disiplin ilmu. Dengan demikian Pendidikan Agama Katolik diharapkan mampu memberikan kontribusi pada seluruh pembinaan pribadi dan memungkinkannya mengubah pengetahuan menjadi kebijaksanaan hidup. Selanjutnya, Pendidikan Agama Katolik dalam rangka membangkitkan multikulturalisme haruslah mengembangkan laboratorium budaya. Kongregasi untuk Pendidikan Katolik menjelaskan: “Karena itu, dengan pengajaran agama Katolik, “sekolah dan masyarakat diperkaya dengan laboratorium kebudayaan dan kemanusiaan yang benar di mana, dengan menafsirkan kontribusi penting Kristianitas, pribadi dimampukan untuk menemukan kebaikan dan berkembang dalam tanggung jawab, untuk mencari perbandingan-perbandingan dan memperhalus perasaan kritisnya, untuk mengambil dari anugerah masa lalu agar dapat memahami masa kini dengan lebih baik dan agar mampu merencanakan masa depan secara bijaksana.” Dengan kata lain, Pendidikan Agama Katolik bukan hanya berbicara mengenai pengajaran iman, namun juga bagaimana pengajaran mampu menjawabi permasalahan di tengah masyarakat, serta dapat digunakan untuk menemukan makna akan nilai-nilai hidup dalam memperjuangkan kesejahteraan bersama, dengan tetap berpegang pada ajaran iman kristiani. Berangkat dari semua pembahasan di atas maka ada beberapa hal yang harus dikembangkan dalam Pendidikan Agama Katolik sehingga mampu secara nyata membangun suatu pendidikan multikultural yang berbasis pada dialog antarbudaya. 212 Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural Pertama, dalam bidang kognitif. Pendidikan Agama Katolik harus mampu membekali siswa dengan pengetahuan tentang keragaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia. Pengetahuan yang diberikan hendaknya menumbuhkan sikap positif yang mendorong siswa untuk menghargai keanekaragaman budaya yang ada. Pengetahuan yang diberikan diarahkan sebagai sarana untuk memperkaya siswa akan pengetahuan budayanya sendiri juga budaya orang lain, dan bukan terarah pada pembandingan budaya negatif yang menimbulkan sikap intoleran dan kebencian. Kedua, dalam bidang afektif. Pendidikan Agama Katolik harus mengembangkan sikap-sikap positif, terutama sikap saling mencintai, menghormati, toleransi, mampu mendengarkan dan menghargai orang lain. Sikap-sikap demikian adalah sikap yang berlandaskan pada prinsip cinta kasih. Setiap siswa harus mampu merasakan penghargaan dan kasih sayang dari guru dan teman-temannya. Bahwa dalam hal ini, sikap intoleransi tidak pernah diharapkan kehadirannya, sebaliknya sikap penuh penghargaan dan penghormatan akan pribadi dan keagamaan budaya berkembang dengan baik. Sehingga tidak ada siswa yang merasa ditinggalkan, kesepian bahkan merasa dikucilkan dari komunitas kelas atau sekolahnya. Setiap siswa mampu mengasihi sesamanya sebagai pribadi yang utuh, yang unik dan yang beragam. Keberagaman mampu dipandang oleh para siswa sebagai sebuah anugerah dan oleh karenanya mereka mampu bersyukur atas keberagaman yang ada. Keberagaman yang ada membuat siswa terdorong untuk menumbuhkan sikap persatuan dalam perbedaan. Ketiga, dalam bidang psikomotorik. Pendidikan Agama Katolik diharapkan mampu mendorong siswa untuk berdialog secara nyata dengan sesamanya, mampu berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan teman atau gurunya yang berasal dari kebudayaan lain. Selain itu dalam bidang ini, siswa juga diharapkan sungguh mampu menunjukkan aksi keterlibatannya dalam pembangunan masyarakat serta menunjukkan sikap terbuka, penuh kasih, dan penghargaan terhadap sesamanya yang berasal dari kebudayaan atau agama lain. Keempat, dalam bidang spiritual keagamaan. Jelas bahwa Pendidikan Agama Katolik tetaplah harus mengembangkan kehidupan spiritual keagamaan para siswa. Siswa diarahkan untuk menghayati keberagaman dan multikulturalisme dalam ranah iman Katolik. Siswa hendaknya diajak untuk Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 213 memahami bahwa kebersamaan adalah anugerah Allah sendiri, dengan demikian siswa mampu bersyukur dan mau terbuka, dan berdialog dengan sesamanya untuk menemukan kehendak Allah dalam diri sesamanya itu. Sehingga pada akhirnya siswa mampu bekerja sama dengan siapa pun untuk mewujudkan kebaikan bersama, menyatakan Kerajaan Allah dan mewartakan kabar baik kepada orang lain. Kelima, membuka ruang dialog. Akhirnya, Pendidikan Agama Katolik harus mengusahakan dialog antarbudaya antara siswa dan gurunya, maupun siswa dengan siswa lainnya. Dialog diarahkan untuk menemukan kebenarankebenaran yang memungkinkan siswa untuk menambah pengetahuannya akan budaya lain, membangkitkan sikap toleransi dan multikulturalisme, serta menumbuhkan pemahamannya akan misteri Allah yang senantiasa hadir dalam hidup manusia melalui segala keberagaman yang ada. Penutup Di tengah anugerah multikultural yang ada di Indonesia, perlulah dikembangkan sikap multikulturalisme. Sikap ini diharapkan dapat mendorong bangsa Indonesia kepada persatuan dan kesatuan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan Gereja melalui Pendidikan Agama Katolik di Sekolah adalah dengan mengimplementasikan pembelajaran multikultural yang berbasis dialog antarbudaya dalam Pendidikan Agama Katolik itu sendiri. Pendidikan Agama Katolik dipandang sebagai suatu pendidikan iman dalam konteks multikulturalisme. Pendidikan Agama Katolik berusaha membangun dialog antara agama dan budaya masyarakat. Diharapkan Pendidikan Agama Katolik dengan model pendidikan kultural ini mampu menumbuhkan paham multikulturalisme dalam diri siswa, dengan tetap berpegang pada jati dirinya sebagai seorang Katolik dan kekhasan budaya yang dimilikinya. Sehingga nantinya siswa dan generasi muda masa depan bangsa ini mampu sungguh-sungguh menciptakan suatu peradaban yang penuh dengan sikap saling mengasihi, saling terbuka, saling peduli, saling menghargai dan menghormati, untuk mewujudkan suatu perdamaian dan kesejahteraan bersama. Keberagaman akhirnya dapat dipandang sebagi suatu anugerah dari Allah agar manusia mampu menemukan kehendak Allah itu dalam keberagaman yang ada. 214 Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural Daftar Pustaka Afandi, & Munif. (2018). Potret Masyarakat Multikultural di indonesia. JournalMULTICULTURAL of Islamic Edication Vol. 2, No. 1, 1-9. Arifudin, I. (2007). Urgensi Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah. INSANIA: JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF PENDIDIKAN Vol. 12 No. 2, 1-9. Aziza, A. ( 2016). Relasi Agama dan Budaya. Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 15 No. 30, 1-9 . Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. (2020). Mendidik untuk Dialog Antarbudaya di Sekolah-Sekolah Katolik. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. Fatmawati, L., Pratiwi, R. D., & Erviana, V. Y. (2018). Pengembangan Modul Pendidikan Multikultural Berbasis Karakter Cinta Tanah Air dan Nasionalis pada Pembelajaran Tematik. Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 8 No. 1, 80-92. Gaudiawan, A. V., & Wijaya, A. I. (2018). Dampak Pembelajaran Agama katolik Kelas XII bagi Pengembangan Multikulturalisme. JPAK: Jurnal Pendidikan Agama Katolik Vol. 20, Tahun ke-10, 205-228. Hakim, N. R. (2020, Mei 01). Binus University. Dipetik September 29, 2020, dari TANTANGAN NEGARA MULTIKULTUR DAN SOLUSINYA: https://binus.ac.id/character-building/2020/05/tantangan-negaramultikultur-dan-solusinya/ Hardawiryana, R. (Penterjemah). (1993). Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Dokpen KWI & Obor. Indonesia.go.id. (2017). Indonesia.go.id. Dipetik September 29, 2020, dari Suku Bangsa: https://indonesia.go.id/profil/suku-bangsa Indonesia.go.id. (2018, Agustus 16). Indonesia.go.id. Dipetik September 29, 2020, dari Keragaman Indonesia: https://indonesia.go.id/ragam/budaya/ kebudayaan/keragaman-indonesia Jaya, B. M., & Arafat, M. R. (2017). Universalism Vs. Cultural Relativism dan Implementasinya dalam Hak Kebebasan Beragama di Indonesia. Pena Justisia: Media Komunikasi dan Kajian Hukum Vol. 17 No. 1,, 56-65. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 215 Larasati, D. (2018). Globalisasi Budaya dan Identitas: Pengaruh dan Eksistensi Hallyu (KoreanWave) versus Westernisasi di Indonesia. Jurnal Hubungan Internasional, Tahun XI, No.1,, 109-120. Mahdayeni, Alhaddad, M. R., & Saleh, A. S. (2019). Manusia dan Kebudayaan. TADBIR: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam , 154-165. Poerwanto, H. (1999). Asimilasi, Alkulturasi dan Integrasi Nasional. Humaniora No. 12, 29-37. Sutono, A. (2016). Pendidikan Multikultiural dan Multikulturalisme di indonesia (Realitas, Tantangan, dan Harapan). JPAK: Jurnal Pendididkan Agama Katolik Vol. 15, Tahun ke-8, 3-11. Umanailo, M. C. (2016). Ilmu Sosial Budaya Dasar. Namlea: FAM Publishing. 216 Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural Kaum Muda dan Dialog Agama dalam Konteks Manggarai – Flores Patrisius Harsan Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng Pendahuluan Belakangan ini marak sekali pemberitaan tentang tingkah laku anak muda generasi abad 21 atau yang sering disebut sabagai generasi milenial. Ada banyak kaum muda yang keliru dalam membuat hipotesis, terutama dalam mengunakan media sosial yang mengakibatkan dampak buruk bagi orang lain (reader/listener). Seperti contoh yang paling konkret adalah menyebarkan dan memprovokasikan berita hoax (berita bohong) yang mengakibatkan terjadinya konflik sosial di tengah masyarakat. Sebagai contoh, belum lama ini kita mendengar kasus hoaks tentang mahasiswa Papua yang dampaknya menciptakan kerusuhan besar dan berkepenjangan. Hoaks banyak dilakukan oleh orang muda dan dampaknya juga mengena pada orang muda. Maka, di sini pendidikan bagi kaum muda sangat penting perananya. Melalui proses pedagogis mereka bisa disadarkan akan bahaya menyalahgunakan media sosial secara tidak bertanggung jawab. Demikian juga kalau bicara soalan agama. Orang muda yang kurang memahami masalah agama dalam perjumpaan dengan komunitas lain dan dalam pergaulan di media sosial bisa membawa kehancuran bagi orang muda itu sendiri maupun bagi bangsa dan negara. Kita bisa menemukan banyak contoh di mana orang muda menjadi radikal, ekstrem dan tidak toleran (intoleran) dalam menghadapi perbedaan agama. Media sosial telah dipakai orang muda untuk memprovokasi dan merong-rong kebenaran agama lain. Indonesia adalah negara yang plural. Keragaman agama adalah fenomena yang nyata. Oleh karena itu perjumpaan orang muda dengan pemeluk agama lain, termasuk orang muda yang beragama lain sangatlah nyata. Maka jangan sampai orang muda menjadi kelompok yang intoleran dan radikal. Sifat seperti ini bisa menjadi pemecah dan penghancur bangsa. Kenyataan ini sudah banyak terjadi di dalam sejarah bangsa Indonesia. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 217 Melihat masalah ini sangat urgen, artikel ini bermaksud mendeskripsikan bagaimana peran orang muda dalam dialog agama di Indonesia. Secara khusus dalam konteks di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dengan ini, artikel berusaha untuk mengedukasi kaum muda, secara pedagogis mengajak mereka untuk mampu mengimplementasikan pendidikan sesuai dengan tujuannya yang otentik. Artikel ini berargumentasi bahwa dalam diri orang muda harus dibangun semangat berdialog dan terbuka dengan mereka yang beragama lain. Dialog harus dijalankan dengan kritis (menggunakan critical thinking), kreatif (creativity), komunikasi yang memadai (communicative), dan dengan kerja sama dan kolaborasi yang bagus (collaboration). Secara khusus pula, paper ini akan mengaitkan persoalan ini dengan konteks lokal yakni dalam situasi orang Manggarai, Flores NTT. Komunitas ini memiliki aneka kebijakan dan kearifan lokal yang bisa dipakai orang muda sebagai modal dan sarana dialog antar agama. Orang Muda: Sebuah Peluang bagi Dialog Kaum muda adalah harapan bangsa dan negara di masa yang akan datang, harapan generasi yang akan datang serta harapan orang tua dan masyarkat. Orang muda memiliki potensi yang besar untuk membangun bangsa dan negara. Mereka adalah kelompok yang memiliki rasa ingin tahu yang besar, idealisme yang tinggi, militansi yang kuat, mudah bergaul dan terbuka pada ide-ide baru. Oleh karena itu, mereka dapat menjadi aktor yang baik untuk mengembangkan dialog termasuk dialog antar agama. Namun, sayangnya banyak orang muda tidak menyalurkan dengan baik gairah masa muda mereka. Mereka menjadi kelompok dan pribadi yang tertutup, suka bergaul dengan geng mereka sendiri dan tidak terbuka pada perbedaan dan perubahan. Orang muda pada umumnya adalah kelompok yang sedang mengeyam pendidikan. Namun, sekalipun terdidik, mereka kerap mengabaikan ilmu pengetahuan, tidak kritis, tidak kreatif dan menjadi orang yang ikut-ikutan saja. Mereka bisa tersesat di dalam logika yang salah yang berasal dari sumber-sumber yang tidak edukatif dan tidak terpercaya. 218 Kaum Muda dan Dialog Agama dalam Konteks Manggarai – Flores Pendidikan bagi orang muda sebenarnya sudah banyak dilakukan. Termasuk yang dilakukan keluarga, orang tua, masyarakat dan agama. Namun, semua ini bisa gagal jika tidak dilakukan terus-menerus dan kreatif. Orang muda harus terus-menerus diingatkan bahwa mereka adalah pemilik masa sekarang dan masa depan. Mereka adalah yang berkarya dan mempunyai kekuatan di dalam diri mereka sendiri. Mereka memiliki potensi yang besar sebagai tokoh dan aktor yang bisa membawa perubahan bagi masyarakat, bangsa dan negara. Secara khusus ketika masuk dalam persoalan relasi antar agama. Orang muda yang pandai bergaul sebenarnya menjadi kekuatan bagi terjalinnya hubungan yang baik antara agama. Orang muda dengan potensinya bisa menjadi jembatan untuk menghubungkan mereka yang berbeda satu sama lain, termasuk perbedaan agama. Orang muda dapat pula diandalkan dan dipakai agama-agama sebagai pembawa damai, agen toleransi dan dialog. Jenis Dialog Orang Muda Keterlibatan orang muda dalam dialog antar agama bisa dilakukan dengan aneka jalan. Kita mengenal beberapa jenis dialog yakni: dialog kehidupan, karya, dialog iman, dan dialog teologis. Orang muda, dengan potensinya masing-masing bisa memainkan peran mereka dalam aneka jenis dialog itu, walau dengan kadar dan kedalaman yang berbeda-beda. Pertama, dialog yang paling umum adalah dialog kehidupan. Di sini orang muda, tanpa didesain secara khusus, secara otomatis akan hidup bersama dengan pemuda lainnya yang berbeda agama. Mereka akan berjumpa dalam pengalaman konkret peristiwa kehidupan masing-masing. Mereka akan bercerita mengenai kehidupan mereka seperti pendidikan, pergaulan, keseharian, cita-cita dan aktivitas mereka dengan pemuda lainnya yang berbeda agama. Ketika perjumpaan ini terjadi dengan baik maka dialog kehidupan terjalin dengan baik. Di sini agama bukan masalah teologis atau doktrin tetapi keyakinan yang dimiliki, yang tidak menjadi halangan dalam kehidupan. Jika perjumpaan itu berjalan dengan baik, maka dialog kehidupan berjalan dengan mulus. Di sini orang muda harus dididik agar dalam perjumpaan dengan orang muda lainnya agar mereka mampu besikap toleran atau menghargai agama temannya, tidak membuat mereka tersinggung dan Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 219 tidak melecehkan agama yang dianut temannya. Jika peran ini bisa dimainkan, orang muda sudah terlibat dalam dialog kehidupan. Dialog kehidupan bisa pula diwujdukan dengan saling silahturahmi, memberi sedekah, berkumpul saling menyampaikan pendapat, membagikan hadiah pada saat perayaan besar keagamaan, mengucapkan salam dan bahkan saling berjabatan tangan satu sama lain. Kedua, dialog karya. Di sini orang muda lintas agama terlibat dalam karya bersama untuk membangun kehidupan lebih baik. Sebagai contoh, orang muda berbeda agama bisa menciptakan karya seni bersama. Melalui seni, mereka berkarya dan hubungan antara agama semakin baik. Contoh lainnya adalah mereka bisa menciptakan animasi di media sosial bersama yang membantu menyebarkan pesan-pesan perdamaian. Jika dilakukan dengan baik, bukan hanya karya dan kualitas karya mereka semakin baik, tetapi juga relasi dengan orang lain semakin baik pula. Ketiga, dialog teologis. Di sini memang cukup sulit dilakukan. Karena dialog ini biasanya dilakukan para ahli agama. Namun dalam kesederhanaan orang muda, mereka bisa berbagi ajaran yang sederhana, misalnya pandangan masing-masing agama mereka tentang hal yang baik. Mereka tidak perlu berdebat dan berdiskusi, dengan bercerita bagaimana agama mereka memandang hal baik dan positif dalam hidup saja sudah menjadi sebuah dialog teologis sederhana bagi orang muda. Keempat, dialog iman. Orang muda saling menguatkan iman dengan rekan-rekannya. Ketika mereka mengalami keterpurukan dan masalah, mereka bisa saling menguatkan dan mendoakan. Dengan ini mereka telah menjadi rekan dialog iman lintas agama. Dialog merupakan salah satu cara yang efektif dan produktif untuk mencapai terciptanya saling pengertian dan kerukunan antarumat beragama. Dialog bisa dilakukan baik secara formal maupun secara informal. Suatu hal yang sangat penting dan ditekankan adalah bahwa tujuan dialog itu tercapai dengan baik. Dewasa ini, dialog antar umat beragama di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, memperlihatkan intensitasnya yang semakin luas dan melibatkan berbagai komunitas agama. Oleh karena itu, orang-orang yang terlibat dalam dialog ialah mereka yang mengerti betul tentang berdialog, 220 Kaum Muda dan Dialog Agama dalam Konteks Manggarai – Flores terutama dalam berdialog agama untuk dapat mendatangkan hasil yang baik. Orang-orang tersebut adalah mereka yang mengerti dengan beberapa syarat seperti mereka harus mengenal maksud dan tujuan untuk apa mereka berdialog. Dialog juga memang mengandaikan ada kesetaraan di antara mereka yang berdialog. Maka, dengan demikian dialog antar orang muda sangat dianjurkan. Untuk membantu orang muda memahami dan menghargai perbedaan, termasuk perbedaan agama, maka orang mudalah yang sebaiknya dipakai sebagai agen dan aktor dialog. Dialog juga hendaknya mempunyai kehendak baik untuk mencari kebenaran dan mampu bersikap terbuka, tidak memihak dan tidak berprasangka. Orang muda yang terlibat di dalam dialog juga hendaknya mampu menciptakan suasana damai dan tenang, jauh dari emosi dan rasa superior. Mereka perlu diajarkan untuk menyampaikan gagasan dengan jelas, dan boleh dengan semangat, tetapi dengan nada yang menyenangkan dan bijak. Selanjutnya, dialog harus dilakukan dengan sikap jujur, tulus, tidak manipulatif, mencari-cari kelemahan rekan dialog, dan percaya bahwa hal-hal yang dibahas dalam dialog tidak dimanfaatkan di luar dialog untuk tujuantujuan lain demi keuntungan diri. Jika dialog bisa dilakukan, ada banyak manfaat yang bisa diemban. Pada level pribadi, orang bisa saling memahami dan menerima, serta mengembangkan kebersamaan dan hidup yang damai saling menghormati dan saling percaya. Jika mereka bekerja atau berkarya, dialog dapat membantu kelancaran perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kerja. Di dalam masyarakat, dialog dapat menjadi sarana untuk saling memahami, menerima dan kerja sama antar berbagai kelompok masyarakat yang berbeda latar belakang budaya, pendidikan, tingkat ekonomi, ideologi, kepercayaan, dan agama. Etika Berdialog yang Pancasilais Dialog harus dilakukan dengan etis. Maka selalu ada etika dalam berdialog. Etika adalah ilmu yang mencari orientasi. Sebelum kita dapat melakukan sesuatu apa pun, pertama-tama kita harus mencari orientasi dulu. Kita harus tahu di mana kita berada, dan ke arah mana kita bergerak untuk mencapai tujuan kita. Etika dipandang sebagai sarana orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 221 Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas. Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberi ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma dan pandangan moral secara kritis. Etika menuntut pertanggungjawaban dan mau menyingkapkan kerancuan/kekacauan. Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral begitu saja, melainkan menutut agar pendapatpendapat moral yang dikemukakan, dipertanggungjawabkan. Etika berusaha untuk mejernihkan masalah moral. Pokok pemikiran mengenai etika di atas bisa dipakai sebagai rujukan bagi orang muda dalam mengembangkan dialog. Secara khusus dalam konteks Indonesia, etika dialog orang muda selalu dikaitkan dengan Pancasila. Sila-sila Pancasila dengan jelas memperlihatkan bahwa nilai-nilai itu adalah dasar dan fundamen bagi setiap orang Indonesia termasuk orang muda dalam mengembangkan dialog. Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, menegaskan bahwa semua orang Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan ini membawa orang Indonesia pada sikap dan etika untuk terus menghargai kepercayaan orang lain menurut dasar kemanusiaan yang beradab. Sila ini sekaligus menjadi landasan etis agar mampu membina kerukunan di antara sesama umat beragama dan berkepercayaan. Etika lainnya adalah orang muda tidak boleh memaksakan kepercayaan kepada pihak lainnya. Mereka juga harus menghargai peribadatan kelompok beragama lainnya. Sila kedua, “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” menandaskan bahwa dialog harus diarahkan agar manusia makin beradab dan bermartabat. Dialog orang muda juga harus memampukan orang muda untuk mengakui kesetaraan sebagai mahluk Tuhan. Sebagai orang beragama, mereka harus mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan sebagainya. Orang muda juga dibantu untuk mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, mengembangkan sikap saling tengggang rasa dan tepa selira, mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan, berani membela kebenaran dan keadilan. Orang muda yang demikian akan 222 Kaum Muda dan Dialog Agama dalam Konteks Manggarai – Flores mampu menghargai perbedaan agama dan merasa sebagai bagian dari bangsa Indonesia maupun bagian dari seluruh umat manusia. Etika dialog orang muda Indonesia harus didasarkan pada “Persatuan Indonesia”. Dengan ini orang muda harus mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. Orang muda diarahkan untuk sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara apabila diperlukan, mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa, mengemnbangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia, dan hidup sebagai bangsa yang menghargai keragaman namun tetap satu, sebagaimana moto Bhineka Tunggal Ika. Etika dialog orang muda juga didasarkan pada sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang Dipimpim oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Dengan ini orang muda disadarkan bahwa sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Olehnya mereka tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain. Orang muda juga diarahkan untuk mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Mereka harus menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah. Orang muda dididik untuk mampu mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. Mereka juga perlu diajak untuk bermusyawarah akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. Orang muda perlu dididik untuk mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama. Etika selanjutnya didasarkan pada sila kelima Pancasila, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Orang muda dididik untuk mampu mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. Mereka harus bisa mengembangkan sikap adil terhadap sesama. Mereka dididik untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban dan bisa menghormati hak orang lain. Mereka perlu diarahkan untuk memberikan pertolongan bagi orang lain agar dapat berdiri sendiri. Orang muda perlu dilatih untuk tidak menggunakan Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 223 hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain, tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah dan tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum. Kebijakan Lokal Orang Manggarai Bottom of Form Pada bagian ini akan dijelaskan kebijakan lokal orang Manggarai yang dapat dipakai sebagai dasar berdialog bagi orang muda di Manggarai. Orang Manggarai termasuk satu suku bangsa yang sangat religius. Ini bisa dilihat dari begitu banyaknya ritus yang harus dirayakan pada setiap tahap, siklus hidup manusia dan dalam hampir dalam setiap aktivitas penting hidup sosioekonomi mereka. Orang Manggarai percaya bahwa ada satu wujud tertinggi yang merupakan asal-usul segala sesuatu yang ada, termasuk manusia sendiri. Dia adalah Pencipta (Allah). Orang Manggari percaya bahwa wujud tertinggi memiliki kuasa dan peran yang tidak tergantikan dalam menopang eksistrensi atau keberadaan mereka.Orang Manggarai percaya bahwa yang tinggi itu adalah penguasa alam semesta dan mengatur peredaran waktu dan musim. Orang Manggarai percaya bahwa mengabaikan Dia (Allah), misalnya dengan menunjukkan sikap tidak membutuhkan-Nya, akan mendatangkan konsekuensi-konsekuensi serius dalam hidup aktual atau hidup harian mereka. Dia (Allah) dianggap sebagai pribadi yang mau terlibat dalam semua aktivitas manusia, dan mudah merasa tersinggung dan marah kalau Dia tidak diundang atau tidak dilibatkan. Kendati demikian, orang Manggarai juga percaya bahwa yang tinggi yang mudah tersinggung dan murka itu, juga sebagai pribadi yang gampang memaafkan kalau manusia tahu mengambil hati-Nya dan meminta maaf. Untuk itulah orang Manggarai memiliki ritus-ritus khusus untuk meminta maaf, termasuk ritus menolak bala yang diakibatkan oleh murka Dia yang tertinggi itu. Hal yang hampir sama dalam hubungan manusia dengan rohroh dan leluhur. Mereka umumnya dihormati sebagai pengantara antara manusia dan yang tinggi. Namun, dalam praktik, kadang-kadang peran mereka disejajarkan dengan yang tinggi, khususnya yang berkaitan dengan peran yang tinggi sebagai penyelenggara. 224 Kaum Muda dan Dialog Agama dalam Konteks Manggarai – Flores Cukup menonjol, orang Manggarai berkeyakinan bahwa roh-roh dan leluhur ini memainkan peran besar dalam penyelenggaraan hidup manusia sehari-hari. Campur tangan mereka bisa dirasakan di mana-mana. Karena itu rasa hormat dan rasa takut manusia terhadap roh-roh dan leluhur terkesan lebih besar daripada rasa hormat dan rasa takut mereka terhadap Yang Tinggi. Orang Manggarai juga biasanya melakukan aksi mereka dengan memberikan makanan terhadap roh-roh dan leluhur pada saat melakukan upacara adat. Dan juga sebagai wujud hormat terhadap yang tinggi mereka juga mempersembahkan beberapa kurban untuk Yang Tinggi pada saat perayaan keagamaan (ngaji) di gereja. Selain dimensi religius ada pula dimensi sosial dalam kehidupan orang Manggarai. Sebagai masyarakat agraris yang bersifat komunal, orang Manggarai adalah tipe manusia yang tidak suka tinggal sendirian. Sebaliknya mereka selalu mencari teman untuk bisa tinggal bersama dalam satu kelompok tanpa memandang suku, ras dan gender. Kecenderungan untuk tinggal dan bersama orang lain itu tidak saja karena dorongan kebutuhan-kebutuhan yang hanya dapat dipenuhi dalam kehidupan bersama orang lain, tetapi juga dan terutama karena keyakinan bahwa seseorang akan menemukan makna hidupnya secara penuh justru dalam kebersamaannya dengan orang lain. Dalam kebersamaan itu, setiap anggota berusaha agar dapat menjadi berarti bagi orang lain. Di samping itu, ia menikmati maknanya ketika ia merasa bahwa orang membutuhkan dia dan kehadirannya. Karena itu, dalam kebersamaan seperti itu setiap orang diberi peran untuk memenuhi kebutuhan kelompok. Banyak hal tidak dapat diselesaikan dengan sempurna tanpa keterlibatan setiap anggota sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Prinsip utama masyarakat komunal adalah kebersamaan. Di kalangan orang Manggarai prinsip ini tersingkap jelas dalam beberapa ungkapan, seperti “mukucapu’unekawolengcurup, teucaambowolenglako”. Artinya satu kesepakatan tidak boleh disebarkan secara hoaks atau tidak benar, satu keluarga tidak boleh berjalan berpisah. Dalam ungkapan sederhana ini makna hidup seseorang ialah memelihara kebersamaan dan melestarikan persekutuan. Segala sesuatu yang terjadi pada individu tertentu yang menyebabkan dia gagal memenuhi fungsinya, akan mengganggu keharmonisan hidup bersama. Konsep hidup bersama sebagai satu organisme amat jelas dalam pola hidup komunal orang Manggarai. Organisme Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 225 merupakan satu sistem. Dan sebagai satu sistem, semua bagian yang membentuk organisme itu berkaitan satu sama lain dan saling mendukung dan memengaruhi keberadaan dan sepak terjang kelompok. Keberhasilan satu bagian adalah keberhasilan seluruh organisme. Sebaliknya, kemacetan atau kegagalan satu bagian merupakan kemacetan atau kegagalan semua. Di sanalah peran atau keterlibatan setiap orang menjadi mata rantai kunci keberhasilan bersama. Berdasarkan falsafah “mukucapu’unekawolengcurup” itu, relasi sosial orang Manggarai sangat menekankan pentingnya keterlibatan aktif dan nyata dari setiap orang yang menjadi bagian dari satu organisme, entah sebagai warga dusun, entah sebagai warga kampung, entah sebagai warga desa, atau sekarang dalam konteks hidup bergereja dalam wujud Komunitas Basis Gerejawi, lingkungan, stasi, atau paroki. Partisipasi atau keterlibatan setiap orang untuk menyukseskan kepentingan bersama sangat ditekankan. Untuk mencapai kesepakatan bersama, orang Manggarai mengenal apa yang dinamakan “keboro” atau “lontoleok” artinya “duduk melingkar dalam satu ruangan”. Bagi orang Manggarai, keboro atau lontoleok memiliki dua makna penting. Pertama, untuk menyatukan kata, dan kedua untuk menyatukan langkah. Sebagai satu forum musyawarah tradisional, keboro adalah ajang untuk merundingkan sesuatu secara bersamasama untuk mencapai kesepakan bersama. Keboro yang ideal dan dikatakan berhasil adalah keboro yang mampu menyamakan persepsi dan menyatukan aspirasi para peserta yang berbedabeda. Semua partisipan keboro diharapkan dapat “naicaanggit” yang artinya “satu hati yang murni” dengan sedapat mungkin menghindari kemungkinan untuk “wolengcurup” yang artinya “perbedaan menyebarkannya”. Dengan demikian, visi kelompok untuk kekompakan seperti “mukucapu’u” (bersatu dalam kesepakatan) terjamin atau terwujud. Makna keboro atau lontoleok yang kedua ialah untuk menyatukan langkah. Sebagai satu forum strategis, keboro menjadi medan untuk menyatukan langkah dan menyelaraskan derap atau irama gerak bersama. Pada tataran ini, setiap peserta keboro atau lontoleok, diharapkan untuk “tukacaleleng” yang artinya bersatu sebagai saudara, tidak berbeda arah dan sasaran perjuangan dengan berusaha menghindari kemungkinan untuk “wolenglako” yang artinya jalan berbeda. Dengan cara itu, penyelewengan 226 Kaum Muda dan Dialog Agama dalam Konteks Manggarai – Flores atau penyimpangan dalam tataran pelaksanaan apa yang sudah disepakati bersama dapat dihindari. Dengan demikian, visi kelompok untuk kekompakan seperti “teucaambo” (bersatu dalam kelompok) dapat tercapai atau terwujud. Semangat atau nilai kebersamaan yang dirumuskan dalam ungkapan “mukucapu’u” dan “teucaambo” secara simbolis dihayati dalam pola perkampungan dan cara berkebun. Orang Manggarai terkenal dengan sistem berkebun yang disebut “lingko” yang artinya “satu lingkaran kebun”. Lingko menjadi simbol kesatuan dan persatuan pada tataran makrokosmos berlatar ekologis. Berkebun dengan sistem jaring laba-laba terpusat pada satu titik pusat yang disebut “lodok” (pertengahan), begitu menjelaskan ide atau falsafah kesatuan atau kebersamaan itu. Dalam sistem berkebun dengan sistem jaring laba-laba itu setiap partisipan lingko diberi hak untuk menggarap sebidang lahan yang disebut “moso” yang artinya satu deretan kebun. Dalam sistem lingko, seseorang tidak saja memiliki hak dan keleluasan untuk menggarap moso-nya, tetapi juga ia memiliki kewajiban-kewajiban yang merupakan ungkapan makna dan fungsinya dalam sistem berkebun komunal ala lingko. Selain menjaga hubungan yang baik dengan tetangga yang baik dengan tetangga di kiri dan di kanan ia juga berkewajiban untuk menjaga keamanan komunal yang menjadi porsinya di “cicing” (batas) kebunnya. Dengan demikian, ideal keutuhan “lodokone, cicingpea’ang” yang artinya “pusat di tengah dan batasnya di luar” terjamin dan tercapai pula visi utama berkebun bersama. Ide kesatuan pada tataran makrokosmos secara sempurna direalisasikan dalam tataran hidup mikrokosmos di tingkat kampung tradisional yang berbentuk lingkaran dan model rumah asli Manggarai yang berbentuk bulat kerucut. Seperti lingko yang terpusat pada satu titik yang desebut lodok, bangunan perkampungan asli Manggarai juga terpusat pada satu titik sentral yang disebut “compang” (altar). Ide kesatuan ini, akhirnya diwujudkan juga dalam sistem-sistem perumahan. Atap rumah berbentuk kerucut dengan tampilan kerangkanya seperti jaring laba-laba juga amat jelas menggambarkan ide kesatuan dan persatuan. Sementara, tampilan lantainya pada tampang mendatar juga berbentuk lingkaran dengan satu titik pusat yang disebut “sapo” yang artinya tempat perapian/tempat masak. Pada rumah adat, titik sentral yang menjadi pusat rumah ialah “Tiang” yang berada di tengah. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 227 Dari segi ekologis, membaca makna hidup orang Manggarai dalam hubungannya dengan alam dan lingkungan hidup, tidak sulit. Ditilik dari praktik keagamaan yang berkaitan dengan alam, bisa dilihat betapa orang Manggarai itu sebanarnya akrab dengan alam lingkungannya. Bahkan, dalam beberapa kasus, orang Manggarai memandang alam itu sebagai satu wujud yang harus ditakuti dan dihormati. Beberapa contoh ditampilkan di sini untuk menjelaskan pandangan orang Manggari tentang alam, dan bagaimana mereka seharusnya bersikap. 1. 2. 3. 4. Hutan sebagai tempat diam yang kudus. Dulu, orang Manggarai umumnya takut dan segan masuk ke hutan. Takut tidak saja karena mereka melihat hutan sebagai tempat tinggal roh-roh jahat, seperti “potiwolo” yang artinya “setan raksasa” dan lain-lain, tetapi juga terutama karena mereka yakin hutan juga tempat bersemayam yang kudus. Karena itu, bagi mereka hutan itu kudus dalam arti keramat, yakin satu tempat di mana orang tidak boleh melakukan yang tidak pantas atau orang yang mengurangi rasa hormat terhadap “penghuni” hutan itu. Di hutan seseorang tidak boleh bertindak sembarangan karena dinilai merusak suasana harmonis atau keseimbangan hutan dan seluruh penghuninya. Oleh karenannya, ketika mereka hendak menebang pohon di hutan, misalnya untuk membuat rumah, mereka terlebih dahulu meminta izin kepada penghuni hutan dengan melaksanakan ritus-ritus tertentu. Kalau mereka hendak membuat hutan untuk berladang,mereka juga harus melakukanya dengan rasa hormat dan melalui prosedur yang relatif berbelit karena harus melaksanakan banyak upacara dan korban. Ketika mereka mau menangkap udang, belut, dan ikan-ikan di kali secara besar-besaran atau secara massal, mereka harus mendahuluinya dengan ritus meminta izin pada penjaga sungai. Ketika hendak membakar padang saat berburu pun, mereka melakukan upacara khusus untuk meminta izin padang agar terhindar dari risiko “dimurki” dan “balabala” yang menimpa sebagai konsekuensinya. Demikian pun kalau hendak memetik hasil sawah dan ladang, orang Manggarai mengawalinya dengan ritus-ritus penghormatan sebagai tanda respek terhadap padi dan jagung yang hendak mereka petik dan makan. 228 Kaum Muda dan Dialog Agama dalam Konteks Manggarai – Flores Demikian, sekadar menyebut beberapa contoh. Semua itu mau menunjukkan bahwa orang Manggarai pada dasarnya memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap alam dan lingkungan hidup serta seluruhnya isinya. Mereka memiliki respek yang sangat tinggi terhadap alam dan seluruh isinya, hutan, sungai, laut dan sumber-sumber daya alam lainnya. Di sana, manusia memiliki tugas dan fungsi untuk mengatur dan menjaga keseimbangan dan memelihara keharmonisan hubungan antara: 1) manusia dengan alam dan Yang Tinggi; 2) alam dengan Yang Tinggi; dan 3) keseimbangan hubungan antara bagian-bagian yang membentuk alam dan lingkungan secara keseluruhan, seperti keseimbangan antara hutan dan padang, sungai dan laut, hewan dan binatang liar dan sebagainya. Ini adalah deskripsi kekayaan lokal orang Manggarai. Lantas, bagaimana hal ini dikaitkan dengan dialog orang muda lintas agama? Tentu saja jelas, orang muda Manggarai bisa memanfaatkan kearifan lokal yang sifatnya religius, sosial dan ekologis sebagai etika, selain etika Pancasila. Mereka juga bisa mengemban persahabatan lintas dengan berbasis kekuatan sosial, keyakinan dan lingkungan dengan mereka yang berbeda agama, baik dalam lingkungan Manggarai sendiri maupun di luar Manggarai. Dewasa ini, budaya lokal juga bisa menjadi tandingan dalam mengatasi kelimpahan dan ketidakjelasan informasi di media sosial. Nilai-nilai yang kerap kali tidak bermakna dan kabur di media sosial yang bisa memecah belah dapat diubah dengan belajar pada nilai-nilai lokal. Maka kekayaan lokal menjadi modal untuk dialog orang muda di dalam konteks lokalnya. Penutup Orang muda adalah harapan bangsa dan negara. Negara Indonesia adalah negara yang plural di mana keragaman agama menjadi fenomena yang sangat kuat. Pluralisme agama bisa menjadi kekayaan bagi bangsa ini. Namun bisa juga pluralisme itu menjadi sumber konflik. Hal ini tergantung dari masyarakat Indonesia sendiri. Secara khusus tergantung dari generasi muda itu. Kalau orang muda Indonesia dihantui oleh pikiran yang kolot lagi diskriminatif, intoleran maka, Negara ini bisa hancur. Sebaliknya jika orang muda mampu menjadi agen pembawa damai, maka negara ini memiliki harapan akan menjadi bangsa yang besar. Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia 229 Dalam konteks Indonesia, orang muda harus diberdayakan dengan dilibatkan dalam dialog antar agama. Dialog bisa dilakukan dengan empat jalan yakni dialog kehidupan, dialog karya, dialog teologis dan dialog iman. Selain menjalankan dialog, hal ini juga harus dilakukan dengan etika yang baik. Bagi orang Indonesia, etika harus didasarkan pada Pancasila. Namun dalam konteks lokal, orang muda harus mampu juga menemukan kebijakan lokal di dalam komunitasnya masing-masing agar dialognya sesuai dengan nilai dan falsafah kehidupan lokal. Nilai-nilai adat setempat perlu dikembangkan menjadi dasar dalam dialog orang muda lintas agama. Dengan ini dialog semakin baik dan bermutu. Daftar Pustaka Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar, Masalah-masalah pokok-pokok filsafat moral, Yogyakarta: PT Kanisius (anggota IKAPI), 1985. Martin Chen dan Charles Suwendi, Iman, Budaya dan Pergumulan Sosial, Jakarta: penerbit OBOR (angggota IKAPI), 2012. Palito Media, UUD RI 1945 Amandemen disertai penjelasan bagian-bagian yang diamandemen serta proses peubahannya secara lengkap. Poespoprodjo W. Logika Scientifika, pengantar dialektika dan ilmu, Bandung: CV. Pustaka Setia (anggota IKAPI cabang Jawa Barat), 2015. 230 Kaum Muda dan Dialog Agama dalam Konteks Manggarai – Flores ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________