PARA PUTRA LENTERA
MENYOAL DIRINYA
DAN INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2014
TENTANG HAK CIPTA
(1)
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 1
Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk
nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 113
Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak
Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).
Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/
atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf e, dan/
atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
PARA PUTRA LENTERA
MENYOAL DIRINYA
DAN INDONESIA
Editor:
Dr. Agustinus W. Dewantara, S.S., M.Hum
Ignatius Rio Praseno
Aloysius Reza Amapoli
PENERBIT WINA PRESS
2020
PARA PUTRA LENTERA
MENYOAL DIRINYA DAN INDONESIA
Editor:
Dr. Agustinus W. Dewantara, S.S., M.Hum.
Ignatius Rio Praseno
Aloysius Reza Amapoli
© 2020 - PENERBIT WINA PRESS
PENERBIT WINA PRESS - Anggota IKAPI
Jl. Soegijopranoto, Tromol Pos 13
Madiun, Jawa Timur, 63137, INDONESIA
Telepon (0351) 463208; Fax. (0351) 483554
Cetakan ke:
Tahun:
Desain tata letak
Desain sampul
5
24
4
23
3
22
2
21
1
20
: Marcellius Ari Christy
: Marcellius Ari Christy
Image by Andres Zunino from Pixabay
https://pixabay.com/photos/lantern-sunset-lanterns-backlight-1940626/
ISBN 978-623-91562-1-3
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak karya tulis ini
dalam bentuk dan cara apa pun tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Pengantar Editor
STKIP Widya Yuwana tahun ini sudah berusia 61 tahun. Ini tentu
bukan usia yang muda lagi. Sudah banyak tenaga katekis, guru agama, dan
pembina spiritual yang berkarya di seluruh penjuru tanah air. Semangat
dan roh pendiri Rm. Jannsen, CM ketika mendirikan lembaga ini bertitik
tolak dari keprihatinan mendalam akan situasi Gereja dan Negara Republik
Indonesia pada masa awal kemerdekaan yang sedang membangun. Negara
sedang membutuhkan tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki semangat
membangun bangsa. Gereja juga membutuhkan tenaga kaum awam yang
terlibat dalam karya pewartaan dan pengembangan Gereja. Mendidik dan
membentuk orang-orang yang 100% katolik sekaligus 100% Indonesia adalah
misi awal dari berdirinya lembaga ini. Pendiri berkehendak menyiapkan
tokoh-tokoh Gereja yang terbuka dan terlibat aktif dalam pembangunan
bangsa dan negaranya (tokoh masyarakat).
Esensi buku ini dengan demikian adalah perenungan kembali misi
awal dan roh asali pendirian lembaga beserta segala perjuangannya untuk
kemudian berkarya di tengah dunia. Roh pelayanan, pengabdian seutuhnya
kepada Gereja dan negara, serta kasih kepada yang paling menderita harus
kembali digaungkan di tengah tampilnya gelombang individualisme, egoisme,
menghamba kepada uang/jabatan, hedonisme, dan semangat mencari
selamat sendiri. Perenungan untuk kembali ke dalam membuat kita semua
makin hebat berkarya ke luar.
Buku ini berisi karya-karya para mahasiswa (baik itu dari internal STKIP
Widya Yuwana) maupun yang berasal dari luar yang dihimpun dari lomba
karya tulis mahasiswa dalam rangka memperingati Dies Natalis STKIP
Widya Yuwana. Beberapa tulisan mengajak kita untuk kembali merenung ke
dalam untuk merenungkan spiritualitas pendiri dan evaluasi diri, maka di
sana ada pergulatan tentang aggiornamento dan spiritualitas pendiri tentang
katekis dan guru agama. Perenungan semacam itu akhirnya bermuara kepada
karya yang mengena bagi konteks Indonesia, maka di situ ada penggalian
soal inkulturisasi, dialog agama, katekese kebangsaan, dan multikulturalisme
Indonesia yang ber-Pancasila.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
v
Hampir semua penulis mengungkapkan kegelisahannya soal pentingnya
kedalaman hidup sebagai seorang pewarta dan kebijaksanaan untuk
mewartakan kabar gembira Kristus di tengah bumi Indonesia. Ternyata tidak
mudah untuk menjadi seorang pewarta yang baik, dan sama tidak mudahnya
untuk mengontekstualisasikan pewartaannya di tengah masyarakat Indonesia
yang diwarnai oleh keberagaman suku, bahasa, budaya, dan agama. Buku ini
dicirikhasi oleh idealisme, intelektualitas, dan kegairahan para penulis muda
(yang semuanya adalah mahasiswa) yang ingin selalu menembus batas. Lebih
dari itu, buku ini menawarkan ide-ide genial tentang bagaimana seharusnya
menghidupi diri menjadi seorang pewarta.
Akhir kata, terima kasih dan penghargaaan setinggi-tingginya kepada
para penulis yang sudah menyumbang butir-butir permata di tengah pergulatan keseharian dalam mencari pengetahuan dan kebenaran. Semoga
buku ini bisa menjadi persembahan dari para mahasiswa di tengah peziarahan
STKIP Widya Yuwana dalam menempa calon-calon pewarta di masa
mendatang. Semoga bermanfaat.
vi
Pengantar Editor
Daftar Isi
Pengantar Editor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Daftar Isi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
v
vii
Kembali kepada Spiritualitas Pendiri Refleksi tentang
61 Tahun Berdirinya STKIP Widya Yuwana Madiun . . . . . . . . .
Ignatius Rio Praseno
1
Aggiornamento Semangat Founding Fathers
STKIP Widya Yuwana bagi Jiwa Sosial Kemasyarakatan . . . . . .
Kasimirus
25
Spiritualitas Guru Agama Katolik
dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia . . . . . . . . . . . . . . .
Mathias Jebaru Adon
38
To Be Religious Today is To Be Inter-Religious
(Menenun Dialog Antar-Agama dalam Konteks Islam-Kristen)65
Hesikius Junedin
Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia. . . . . . . . . . .
Hubertus Herianto
82
Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan
dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput . . . . . . . . . . . . . . . . . . 103
Vinsensius Rixnaldi Masut
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
vii
Partisipasi Kaum Muda dalam Semangat Pancasila bagi
Kehidupan Bermasyarakat yang Humanis di Era Disrupsi. . . . . 131
Kasimirus
Urgensitas Peran Kaum Muda
bagi Dialog Antaragama di Indonesia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 148
Hironimus Edison
Generasi Muda yang Pancasilais . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 171
Mikael Ardi
Membangun Pendidikan Agama Katolik
yang Berbasis Pendidikan Multikultural dan Dialog Antarbudaya
berdasarkan Dokumen “Mendidik untuk Dialog Antarbudaya
di Sekolah-sekolah Katolik” . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 194
Ignatius Rio Praseno dan Maria Gorethi Vivi Wulandari
Kaum Muda dan Dialog Agama
dalam Konteks Manggarai – Flores. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 217
Patrisius Harsan
viii
Daftar Isi
Kembali kepada Spiritualitas Pendiri
Refleksi tentang 61 Tahun Berdirinya STKIP Widya Yuwana Madiun
Ignatius Rio Praseno
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Widya Yuwana
Pendahuluan
Sejak berdirinya pada tahun 1959, STKIP Widya Yuwana mengalami
berbagai dinamika yang dapat dibilang menarik untuk dibahas. Usia yang
telah menginjak 61 tahun menandakan bahwa lembaga ini telah lama
berjuang untuk memberikan sumbangsih bagi perkembangan Gereja dan
negara. Sumbangsih itu diwujudnyatakan lembaga ini dengan melahirkan
para pewarta sabda, yang senantiasa mewartakan iman dan kebenaran di
tengah dunia. Para pewarta sabda ini telah berkarya di berbagai pelosok
negeri ini untuk mewartakan cinta Allah kepada umat manusia secara nyata.
Aneka karya dan pelayanan sungguh dilakukan agar manusia mampu
merasakan cinta Allah, sehingga akhirnya Kerajaan Allah sungguh terbangun
dan dirasakan oleh banyak orang.
Seperti halnya Yesus yang menjadikan cinta sebagai dasar seluruh
pelayan-Nya, demikian juga lembaga ini juga menjadikan cinta sebagai
dasar karya pelayanannya. Rm. Janssen, CM, seorang misionaris Lazaris,
yang mendirikan lembaga ini pun didorong oleh cintanya kepada Allah dan
umat-Nya. Misi dan pelayanan yang dilakukan oleh Rm. Janssen, CM untuk
membangun lembaga ini–begitu pula karya misinya yang lain–merupakan
wujud nyata cintanya kepada Allah dan umat yang ada di daerah misi kala itu.
Cinta yang menjadi semangat awal dari berdirinya lembaga ini, kiranya
terus tumbuh dan berkembang hingga saat ini. Hal ini terwujud dalam
pelayanan lembaga ini kepada para mahasiswa dan kepada masyarakat
luas, cinta yang menjiwai lembaga ini dibuahkan lewat pelayanan di bidang
pendidikan dan karya lainnya. Lembaga ini telah membuka kesempatan agar
para pemuda dapat memperoleh pendidikan yang layak sehingga mereka pun
mampu berkarya bagi sesamanya. Cinta Allah yang diperoleh lembaga ini
terus dibagikan terus-menerus tanpa henti, hingga semakin banyak orang
dapat merasakan cinta Allah itu.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
1
Dengan demikian dapat dilihat bahwa Allah menganugerahi lembaga
ini cinta dan rahmat yang begitu besar, sehingga lembaga ini dapat terus
berdiri dalam usianya yang menginjak 61 tahun. Lembaga ini terus mampu
menghasilkan putra-putri yang siap diutus untuk mewartakan kabar baik
kepada seluruh bangsa. Lembaga STKIP Widya Yuwana terus ditantang
untuk mampu memberikan cinta dan pelayanan secara nyata sebagai bentuk
panggilan dan perutusan yang telah lama diembannya.
Perjalanan sejarah berdirinya lembaga ini hingga hari ini memiliki kisah
yang indah, menarik dan bermakna untuk direfleksikan. Maka penulis yang
juga merupakan salah satu mahasiswa dari lembaga pendidikan tinggi ini,
ingin merefleksikan kembali perjalanan sejarah STKIP Widya Yuwana beserta
bentuk pelayanan yang ada di dalamnya. Uraian refleksi dituangkan penulis
dalam karya tulis ini. Adapun karya tulis ini akan dibagi menjadi beberapa
bagian. Bagian pertama akan membahas mengenai sejarah awal berdirinya
STKIP Widya Yuwana. Bagian kedua akan membahas mengenai makna
atau nilai apa yang dapat dipetik dari perjalanan sejarah berdirinya STKIP
Widya Yuwana dan pengalaman selama berkuliah di STKIP Widya Yuwana.
Selanjutnya, pada bagian ketiga akan dibahas mengenai bagaimana relevansi
nilai-nilai yang telah diambil bagi kehidupan para mahasiswa STKIP Widya
Yuwana dalam berkarya bagi masyarakat dan Gereja.
Bagian I
Sejarah Awal Berdirinya STKIP Widya Yuwana
Berawal dari Misi dan Diutus untuk Bermisi
STKIP Widya Yuwana didirikan oleh Rm. Janssen, CM, imam Kongregasi
Misi (CM). STKIP Widya Yuwana didirikan pada tanggal 27 September 1960.
Awalnya lembaga ini bernama Akademi Lembaga Misionaris Awam (ALMA)
yang anggotanya berasal dari mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan (BP)
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Widya Mandala
Madiun sejumlah 12 orang. Para mahasiswa ini berniat untuk memberikan
diri bagi karya pelayanan dan pewartaan tanpa bayaran. Mereka berniat
untuk tidak menjadi katekis profesional namun menjadi awam yang tinggal
di tengah masyarakat, mewartakan Injil secara nyata dalam hidup sehari-hari.
2
Kembali kepada Spiritualitas Pendiri
Rm. Janssen menjelaskan, para mahasiswa ini mempersembahkan diri
dan berikrar di depan altar Gereja Cornelius Madiun untuk karya pewartaan
Injil ini. Kelompok ini pada awalnya belum merupakan suatu lembaga
pendidikan namun hanya sebuah kelompok awam yang mempersembahkan
hidup untuk karya pewartaan Injil tanpa meminta bayaran. Mereka bukan
hanya bekerja untuk memberikan pengajaran iman namun juga mewujudkan
pewartaan iman dalam pelayanan kepada orang cacat dan miskin yang
pada saat itu belum mendapat perhatian Gereja Indonesia. Selanjutnya Rm.
Janssen menyampaikan keberadaan kelompok ini kepada Nunsius Apostolik
saat berkunjung ke Madiun kala itu dan dengan baik Nunsius menerima
keberadaan kelompok ini.
Perlu disadari bahwa pada saat itu tenaga pelayanan para imam masih
sangat minim. Oleh karenanya Rm. Janssen pun merasa bahwa perlu
adanya tenaga yang mampu menjadi perpanjangan tangan imam untuk
penggembalaan umat, yang tidak hanya membantu secara sosial namun juga
membantu dalam pembinaan spiritual. Untuk mengatasi hal ini kemudian
tanggal 2 November 1960 didirikan Fakultas Pendidikan Kateketik dan
menjadi bagian dari Universitas Widya Mandala Madiun. Fakultas ini
didirikan dengan tujuan untuk membekali dan mempersiapkan para anggota
ALMA agar mereka dapat menjadi pekerja sosial yang sekaligus dapat
memberikan pendampingan iman bagi masyarakat. Maka para mahasiswa
ini nantinya akan mendapat dua ijazah sekaligus yakni Ijazah Kateketik dan
Ijazah Bimbingan dan Penyuluhan (BP).
Pada tahun 1962, ketika Rm. Janssen mengikuti Konsili Vatikan di Roma,
beliau menyampaikan pula keberadaan kelompok ini kepada Mgr. Hurts dari
Missio. Mgr. Hurts senang sekali dengan kemunculan kelompok ini dan
beliau bersedia meluaskan dan memberikan bantuan yang diperlukan agar
kelompok ini dapat terus berkembang. Mgr. Hurts kemudian memberikan
bantuan beasiswa bagi kelompok ini dalam menempuh pembinaan dan
pendidikan sebagai seorang misionaris awam.
Namun ternyata bantuan beasiswa yang diberikan oleh Missio membuat
banyak orang bergabung dengan kelompok ini bukan untuk menjadi
misionaris awam tanpa bayar namun malah membuat mereka menjadi katekis
profesional dengan mendapat ijazah Kateketik sekaligus mendapatkan ijazah
BP. Oleh karenanya, pada tanggal 8 September 1963, Rm. Janssen memisahkan
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
3
kelompok yang ingin menjadi misionaris awam dan yang mau menjadi katekis
profesional. Kelompok misionaris awam meneruskan perjuangan mereka
dengan menjadi Institut Sekular dengan nama Asosiasi Lembaga Misionaris
Awam (ALMA). Sedangkan para mahasiswa yang hendak menjadi katekis
profesional dimasukkan ke dalam Fakultas Pendidikan Kateketik Universitas
Widya Mandala Madiun yang pada saat itu disebut Akademi Kateketik
Indonesia (AKI) Madiun.
Mahasiswa dan mahasiswi AKI terus berkembang dan tetap menjadi
bagian dari FKIP Widya Mandala Madiun. Mereka tetap memilih menjadi
katekis paroki tanpa bayar dibandingkan guru agama di sekolah. Rm. Janssen
mengatakan bahwa mereka betul-betul menjadi katekis yang tidak mencari
uang dari pewartaannya. Mereka hidup dari usaha mereka sendiri. Kondisi
ini bertahan hingga sekitar tahun 1967.
Visi yang Bergeser dan Masa Kelam
Sekitar tahun 1968 oleh karena adanya bantuan beasiswa dari Missio dan
lembaga lain, ternyata muncul pergeseran misi awal berdirinya lembaga ini.
Hal ini ditandai dengan muncul banyaknya orang yang masuk AKI hanya
sekadar mencari ijazah BP dan menjadi katekis bayaran. Visi awal menjadi
kabur, hingga pada akhirnya di tahun ini Rm. Janssen dan beberapa misionaris
awam pindah ke Malang dan sekali lagi mencoba mewujudkan visi awal
dengan mendirikan Institut Pastoral Indonesia (IPI) Malang. Menurut Rm.
Janssen, ada beberapa faktor yang menyebabkan perubahan visi itu. Pertama,
para katekis mulai berorientasi mendapat ijazah dan bekerja sebagai katekis
bayaran, sebab ijazah guru kala itu memang dapat dipergunakan untuk
mencari uang. Kedua, mulai bergesernya lima pokok dasar dari Alma, yakni:
Meditasi Harian, Bacaan Kitab Suci, Ekaristi, Pembentukan Diri sebagai Rasul,
dan pembentukan Komunitas Basis Gerejani (KBG). Ketiga, ada kemudahan
mendapatkan pengangkatan guru kala itu untuk ditempatkan di SMP, SMA,
dan SPG. Hal inilah yang membuat orang berorientasi mencari uang dengan
ijazah yang mereka dapat.
Setelah ditinggal Rm. Janssen, lembaga ini goyah, tidak ada kepemimpinan
yang jelas. Pemimpin-pemimpin pada saat itu hanya merupakan pemimpinpemimpin darurat yang ditunjuk oleh Uskup. Setelah kepergian Rm. Janssen,
Uskup menunjuk Sr. Ansella, OSU, untuk memimpin lembaga ini. Namun
4
Kembali kepada Spiritualitas Pendiri
hanya beberapa bulan saja Sr. Ansella berkarya di tempat ini. Kemudian
Uskup menunjuk Romo Kumoro, Pr. dari Kediri untuk menggantikan Sr.
Ansella. Sayangnya Rm. Kumoro pun hanya datang seminggu sekali, maka
secara praktis segala urusan kelembagaan ditangani oleh Pak F.X. Djumadi
dan Pak Wardiyo. Lalu Uskup meminta Pak Djumadi untuk mencari tenaga
yang bersedia disekolahkan ke Yogyakarta, akhirnya diutuslah Pak Wardiyo
dan Pak Mitro untuk menjalankan tugas studi tersebut. Setelahnya Uskup
meminta Pak Djumadi untuk mencari tenaga lain menemani dirinya berkarya
di tempat ini. Pak Djumadi pun meminta Pak Sulimin dari Tulungagung
untuk menemaninya berkarya di lembaga ini. Oleh karenanya secara praktis
strategi demi strategi ditentukan oleh Pak Djumadi dengan kontrol dan
konsultasi dengan Uskup.
Membangun Harapan Baru
Pada tahun 1972 Rm. Kumoro digantikan dengan Rm. Dwijosusastro,
CM. Pada masa kepemimpinan Rm. Dwijo inilah mulai dipikirkan suatu
payung hukum bagi lembaga ini. Sejak ditinggalkan oleh Rm. Janssen di
tahun 1968 lembaga ini tidak memiliki sistem keorganisasian yang jelas, atau
boleh dikatakan masa 1968-1972 merupakan masa kegelapan bagi organisasi
lembaga ini. Dalam masa kepemimpinan Rm. Dwijo ini lahirlah Yayasan
Widya Yuwana. Pada tanggal 21 Desember 1972 secara resmi lembaga ini
dipisahkan dari Universitas Widya Mandala dan menjadi Akademi Kateketik
Indonesia “Widya Yuwana” Madiun yang berada di bawah naungan dan
pengelolaan Yayasan Widya Yuwana. Dengan diberikan nama “Widya
Yuwana” (Widya = Pengetahuan; Yuwana = Ajaran Keselamatan) diharapkan
lembaga ini mampu bergerak dalam bidang pewartaan ilmu keselamatan.
Seperti dikatakan di atas, periode tahun 1968 – 1972 merupakan masa
kegelapan bagi lembaga Kateketik ini. Selain karena sistem organisasi yang
tidak jelas, jumlah mahasiswa mengalami penurunan jumlah dari tahun ke
tahun. Menurut Pak Djumadi faktor yang menyebabkan masa kegelapan ini
karena terpecahnya konsentrasi pada pengurus lembaga ini dan jumlah dosen
yang sangat minim. Para pengurus lebih berkonsentrasi untuk membuat
lembaga ini tetap eksis, tentang cara mencari mahasiswa agar bertambah
bahkan tidak dipikirkan lagi.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
5
Di tahun 1975 Rm. Dwijo digantikan oleh Rm. Wignyo, dan dalam masa
kepemimpinan Rm. Wignyo inilah peningkatan jumlah mahasiswa menjadi
perhatian. Usaha Rm. Wignyo untuk meningkatkan jumlah mahasiswa
didasari oleh keadaan saat itu yang dapat dibilang cukup tragis. Mahasiswa
saat itu hanya berjumlah 28 orang saja. Hal pertama yang dilakukan oleh
Rm. Wignyo adalah membenahi gedung kampus Widya Yuwana. Menurut
beliau tampilan fisik gedung sangat berpengaruh besar terhadap mentalitas
mahasiswa. “Dengan situasi gedung yang kurang memadai akan punya
pengaruh terhadap mentalitas mahasiswa yang bersekolah di tempat itu.
Mereka akan menjadi minder, tertekan. Lalu untuk apa mereka dididik?”
ungkapnya. Langkah kedua yang dilakukan Rm. Wignyo adalah membenahi
tenaga pengajar. Pada saat itu dosen di lembaga ini hanya berjumlah tiga orang
saja, oleh karenanya Rm. Wignyo mengusulkan kepada Keuskupan untuk
menambah tenaga pengajar di lembaga ini. Sayangnya usul itu ditolak oleh
pihak Keuskupan, keuskupan menilai dengan empat orang (termasuk Rm.
Wignyo) sudah cukup untuk melakukan pendidikan di tempat ini. Ternyata,
di balik penolakan itu, keuskupan berencana menutup lembaga pendidikan
tinggi ini. Walaupun demikian Rm. Wignyo tetap mengusahakan agar lembaga
ini tetap hidup dan berkembang. Selanjutnya beliau menerapkan sistem
politik dagang sebagai strategi ketiganya menambah kuantitas mahasiswa.
Politik dagang itu dilakukan dengan cara mendidik lulusan sesuai dengan
kebutuhan di lapangan. Rm. Wignyo bekerja sama dengan keuskupankeuskupan dan memenuhi permintaan mereka mengenai lulusan seperti apa
yang mereka harapkan. Ternyata cara ini berhasil, dalam kurun waktu dua
tahun mahasiswanya meningkat drastis hingga mencapai 128 mahasiswa.
Kemudian aneka usaha mulai dikembangkan mulai dari pembenahan fasilitas
untuk mengembangkan minat bakat mahasiswa, membangun gedung baru
dan sebagainya. Untuk pembiayaannya, Rm. Wignyo berusaha mencari
donatur sendiri, tidak tergantung pada keuskupan.
Pada tanggal 23 Mei 1986, sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, lembaga ini berubah
menjadi Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) program
Diploma III. Dan akhirnya pada tanggal 23 Oktober 1996 lembaga ini
dipercaya untuk menyelenggarakan program pendidikan Strata Satu (S1).
Lembaga ini terus berjuang hingga hari ini untuk sungguh-sungguh mencetak
para alumnus yang mampu melayani umat dan mewartakan kerajaan Allah
6
Kembali kepada Spiritualitas Pendiri
di dalam karya-karyanya. Seperti yang terungkap dalam namanya, lembaga
ini terus menerangi para generasi muda dengan ilmu keselamatan sehingga
di kemudian hari para putra-putri lembaga ini juga mampu menerangi dunia,
mereka diutus untuk menjadi terang dunia.
Bagian II
Memetik Makna dari Sejarah dan Pengalaman
Perjalanan sejarah berdirinya STKIP Widya Yuwana ini merupakan
sebuah harta berharga dalam sejarah misi Gereja di Indonesia, terlebih sejarah
bagaimana Gereja hadir dalam karya pelayanan pendidikan. Kebermaknaan
sejarah itu sayang jika hanya dibiarkan begitu saja, maka dalam bagian ini
penulis akan mencoba merefleksikan kembali sejarah yang telah disampaikan
di bagian sebelumnya dalam kacamata iman. Refleksi ini bukan hanya
berdasarkan sejarah saja, namun juga bagaimana penulis mengalami
dinamika di dalam lembaga ini. Sejarah dan pengalaman akan menjadi tempat
di mana spiritualitas lembaga ini ditemukan, nilai-nilai apa saja yang sedari
awal diperjuangkan dan terus dipertahankan serta dikembangkan sehingga
menjadi ciri khas dari lembaga ini.
Setidaknya melalui permenungan, penulis menemukan tiga nilai
yang menjadi ciri khas dari lembaga ini. Ketiga nilai itu ialah: cinta kasih,
kepemimpinan yang melayani (servant leadership), serta keberpihakan kepada
orang miskin (option for the poor). Ketiga nilai ini tentunya tidak lepas dari
spiritualitas Yesus Kristus Sang Guru sejati dan spiritualitas St. Vincentius a
Paulo yang menjadi pelindung lembaga ini sekaligus tokoh yang diteladani
oleh Rm. Janssen, CM.
Cinta Kasih yang Menjadi Dasar
Sebagaimana telah disampaikan dalam pendahuluan, bahwa cinta kasih
menjadi dasar berdirinya lembaga ini. Mengapa cinta kasih? Tentu jawabannya
menjadi jelas ketika kita melihat ajaran utama yang diajarkan Yesus, yakni
cinta kasih. Yesus mengajarkan bahwa hukum yang terutama adalah hukum
kasih, mengasihi Allah dan sesama (bdk. Mrk 12:30-31). Cinta kasih menjadi
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
7
nilai utama dalam diri umat manusia, khususnya umat Kristiani. Cinta kasih
inilah yang juga menjadi tugas perutusan Gereja setelah Yesus naik ke surga.
Gereja diutus untuk mewartakan cinta Allah kepada dunia, menjadi tanda
keselamatan dan cinta Allah (LG. Art. 1). Gereja diutus mewartakan cinta itu
dengan mewartakan kabar sukacita kepada segala bangsa (bdk. Mat 28:19).
Lalu pertanyaan selanjutnya, “Model cinta kasih macam apa yang harus
menjadi dasar dalam dinamika kehidupan di lembaga ini?” Untuk menjawab
pertanyaan ini mungkin kita bisa menengok apa yang diajarkan oleh St.
Vincentius a Paulo mengenai kasih afektif dan efektif. St. Vincentius melihat
bahwa cinta itu harus afektif dan efektif, model inilah yang Vincentius
lihat dalam diri Yesus. St. Vincentius berkata, “Ada dua macam kasih, yaitu
kasih afektif dan kasih efektif. Kasih efektif berarti melakukan hal-hal yang
diperintahkan atau diharapkan oleh pribadi yang dikasihi. Mengasihi Tuhan
Yesus secara afektif berarti bukan hanya mengikuti pelbagai ajaran dan
pesannya, melainkan juga mengajak dunia menghargai dan mengasihi Yesus”.
Bagi Vincentius, Yesus adalah teladan dalam mewujudkan cinta yang afektif
sekaligus efektif. Cinta afektif adalah cinta yang melibatkan perasaan, rasa.
Sedangkan cinta efektif adalah cinta yang diungkapkan melalui tindakan
tepat guna. Yesus hidup untuk mengasihi Bapa dan juga manusia. Kasih-Nya
kepada Bapa diwujudkan secara afektif dengan membangun relasi yang erat
kepada Bapa dan secara efektif diwujudkan dalam kepatuhan-Nya terhadap
kehendak Bapa. Sedangkan kasih afektif-Nya kepada manusia diwujudkan
Yesus dalam bela rasa kepada penderitaan dan pengalaman hidup manusia.
Dalam Injil dikisahkan bahwa Yesus ikut menangis (Yoh 11:35), dan tersentuh
hatinya oleh belas kasih (Mat 20:34, Mrk 6:34, Mat 9:36). Yesus bukan hanya
berhenti dalam sikap bela rasa saja (mengasihi secara afektif) namun juga
berbuat sesuatu yang tepat guna, misalnya menyembuhkan orang sakit,
memberi makanan kepada yang lapar, dan membangkitkan orang mati. Kasih
afektif dan efektif senantiasa berjalan bersamaan, keduanya tidak terpisah
(Isharianto, 2014: 183).
Jika sejenak kita mengingat kembali sejarah berdirinya STKIP Widya
Yuwana, maka cinta kasih afektif dan efektif inilah yang juga diterapkan oleh
Rm. Janssen. Cintanya kepada tanah misi, kepada orang miskin, dan dunia
pendidikan membuat ia terdorong untuk mendirikan lembaga ini. Rm.
Janssen ingin dengan adanya lembaga ini semakin banyak orang miskin dan
8
Kembali kepada Spiritualitas Pendiri
membutuhkan terlayani dengan baik. Bukan hanya soal miskin secara materi,
namun juga miskin dalam konteks minim pengetahuan dan pembinaan iman.
Bukan hanya Rm. Janssen saja, begitu pula dengan Bapak Djumadi,
Rm. Dwijo, Rm. Wignyo, dan semua orang yang telah berjuang memajukan
lembaga ini, mereka semua terdorong oleh karena cinta yang sama. Cinta
mereka kepada Allah dan sesama manusia memampukan mereka berjuang
untuk menghadapi aneka tantangan dalam usaha mengembangkan lembaga
ini menjadi lembaga yang benar-benar membawa keselamatan bagi banyak
orang. Mereka semua berjuang dengan cinta afektif dan efektif untuk
menjadikan Widya Yuwana sebagai Widya Yuwana yang sejati, yang mampu
memberikan Ilmu Keselamatan dan akhirnya mampu menyelamatkan
banyak orang.
STKIP Widya Yuwana diutus untuk terlibat dalam karya misi Gereja,
mewartakan cinta Allah kepada dunia baik itu secara afektif dan efektif.
Perutusan inilah yang kiranya telah diperjuangkan lembaga ini selama 61
tahun. Semangat untuk mewujudkan cinta kasih yang afektif sekaligus efektif
ini terus diperjuangkan tanpa henti. Lembaga ini telah berhasil melihat bahwa:
pertama, masih banyak kaum muda yang memerlukan pendidikan; kedua,
jemaat memerlukan pengajar iman untuk membina iman mereka. Dengan
demikian lembaga ini turut merasakan kebutuhan dan kekhawatiran dunia
(umat dan masyarakat). Inilah cinta afektif dari lembaga ini. Cinta afektif itu
kemudian diwujudkan dalam cinta yang efektif. Lembaga ini mewujudkan
cinta kasih itu dalam bidang pendidikan serta juga pelayanan kepada umat.
Di bidang pendidikan lembaga ini berkomitmen untuk terus memberikan
layanan pendidikan dengan total terutama kepada mereka yang belum bisa
atau kurang mampu menempuh pendidikan. Aneka beasiswa dan keringanan
biaya diberikan agar semakin banyak kaum muda mampu merasakan
pendidikan yang layak sehingga kelak mereka mampu memperoleh
kehidupan yang cerah. Di sisi pastoral lembaga ini telah dan terus berusaha
mencetak para pengajar iman untuk membina iman umat Allah.
Oleh sebab itu STKIP Widya Yuwana memiliki tujuan mencetak
para pewarta sabda yang mampu mewartakan cinta kasih Allah secara
nyata. Mereka diutus untuk menjadi misionaris cinta kasih, pengajar ilmu
keselamatan, dan mewartakan kabar gembira di tempat mereka diutus.
Hakikat perutusan inilah yang diemban oleh STKIP Widya Yuwana dalam
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
9
karyanya di tengah Gereja dan masyarakat. Dan ketika cinta kasih menjadi
dasar lembaga ini berdiri, maka model yang diterapkan dalam dinamika
pembinaan adalah model cinta kasih yang afektif dan efektif.
Perutusan dan model pembinaan di atas tentunya memiliki konsekuensi
yang tidak mudah. Sebelum diutus sebagai misionaris cinta kasih dan
pewarta kabar gembira, tentunya mahasiswa harus memiliki kompetensi dan
karakter sebagai seorang utusan yang mampu mewartakan cinta dan karya
keselamatan Allah bagi umat manusia. Usaha membentuk pribadi mahasiswa
yang demikian tentunya tidak bisa hanya melalui bangku perkuliahan saja,
namun tentu diperlukan suatu suasana pembinaan integral yang penuh cinta.
Mahasiswa perlu terlebih dahulu mengalami pengalaman dicintai (baik
secara afektif dan efektif) sebelum mereka diutus untuk membagikan cinta
(Supriyadi, 2005:23). Baru setelah mereka merasakan cinta inilah, mereka
akan mampu mewartakan cinta. Tidak mungkin mereka membagikan apa
yang tidak mereka miliki (alami) kepada orang lain, seperti yang dikatakan
dalam pepatah Latin, “Nemo dat qoud non habet” (tidak ada yang dapat
memberi apa yang tidak mereka miliki).
Servant Leadership sebagai Model Kepemimpinan
Jika cinta kasih yang menjadi dasar kehidupan lembaga ini, lalu
bagaimana model kepemimpinannya? Model kepemimpinan yang ideal bagi
lembaga ini tentunya adalah model kepemimpinan yang melayani (servant
leadership). Mengapa? Model ini adalah model kepemimpinan Yesus sendiri,
Dalam penerapannya model ini menjunjung tinggi prinsip cinta kasih. Yesus
mengatakan bahwa dirinya diutus ke dunia bukan untuk dilayani melainkan
untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya bagi banyak orang (Mat 10:45;
20:28). Yesus pun memberikan teladan untuk para murid-Nya dengan
membasuh kaki mereka. Yesus mengajarkan, menjadi pemimpin bukan soal
memerintah, namun bagaimana menjadi pelayan bagi yang dipimpin. Yesus
bersabda, “Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan
dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku
telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat
sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. Aku berkata kepadamu:
Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, atau
pun seorang utusan dari pada dia yang mengutusnya” (Yoh 13:14-16).
10
Kembali kepada Spiritualitas Pendiri
Jika dilihat secara mendalam, kepemimpinan yang melayani merupakan
salah satu perwujudan cinta yang efektif. Keduanya sama-sama mengedepankan cara mencintai orang lain dengan tindakan nyata. Pelayanan adalah buah
dari cinta, seperti yang pernah diungkapkan oleh Santa Teresa dari Kalkuta.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa pada dasarnya pemimpin harus
mampu mencintai dan melayani. Cinta diwujudkan dalam pelayanan nyata.
Untuk melihat secara lebih detail mengenai bagaimana kepemimpinan
melayani (servant leadership), maka akan digunakan teori dari Robert K.
Greenleaf. Greenleaf merupakan salah satu tokoh yang mengembangkan
model dan teori kepemimpinan yang melayani (servant leadership). Greenleaf
mengatakan bahwa seorang pemimpin haruslah orang yang memiliki perasaan
dan kehendak untuk melayani. Seorang pemimpin adalah orang pertama dan
utama yang memiliki inisiatif untuk melayani. Seorang pemimpin harus mau
menjadi pelayan terlebih dahulu. Bagi Greenleaf (1977:13) kepemimpinan
yang melayani adalah suatu kepemimpinan yang berawal dari perasaan
tulus yang timbul dari dalam hati yang berkehendak untuk melayani, yaitu
untuk menjadi pihak pertama yang melayani. Greenleaf merumuskan bahwa
secara alamiah pada dasarnya seseorang pada awalnya ingin melayani, baru
kemudian muncul sebuah kesadaran untuk memimpin. Inilah ciri khas
yang membedakan model kepemimpinan yang melayani dengan model
kepemimpinan lainnya, yakni kehendak melayani muncul terlebih dahulu
sebelum munculnya keinginan untuk melayani (Iswanto, 2017:164).
Kepemimpinan yang melayani merupakan kepemimpinan yang mengutamakan pelayanan pada orang lain. Model kepemimpinan ini sangat mengedepankan prinsip moral dan kemanusiaan. Seorang pemimpin haruslah
memanusiakan semua anggota organisasi dan masyarakat. Kepemimpinan
yang melayani mendorong seseorang pemimpin untuk melayani dan
mengayomi orang lain sebagai upaya mencapai apa yang menjadi tujuan
utama (visi dan misi) organisasi (Iswanto, 2017, hlm. 163). Penekanan utama
kepemimpinan model ini adalah mengembangkan orang sebagai individu
yang lebih manusiawi bukan pada kekuasaan dan posisi dari diri sendiri.
Jadi tujuan utamanya adalah untuk “pertumbuhan” anggota organisasi dan
mengembangkan kerja tim (teamwork) dan keterlibatan semua anggota.
Greenleaf kemudian mengemukakan beberapa karakteristik dari model
kepemimpinan yang melayani. Kepemimpinan yang melayani haruslah
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
11
memiliki karakteristik sebagai berikut: humanity (kemanusiaan), relational
power (kekuatan relasi), autonomy (otonomi), moral development of followers
(pengembangan moral anggota), dan emulation of leader’s service orientation
(orientasi untuk menjadi teladan sebagai seorang pemimpin yang melayani)
(Jahidi & Hafid, 2017:226). Berangkat dari karakteristik kepemimpinan
yang melayani ini, Spears juga mengungkapkan beberapa karakteristik
lain, yakni: mendengarkan (listening), empati (empathy), penyembuhan
(healing), kesadaran (awareness), persuasi (persuasion), konseptualisasi
(conceptualization), kejelian (foresight), keterbukaan (stewardship), komitmen
untuk pertumbuhan (commitment to the growth of people), membangun
komunitas (building community) (Seksi Hukum dan Informasi, 2020).
Kepemimpinan yang melayani inilah yang kemudian juga menjadi
model kepemimpinan dari lembaga ini. Kisah sejarah di bagian pertama
memperlihatkan kepada kita bahwa lembaga ini ada untuk menjawab
kebutuhan umat dan niat baik para mahasiswa awal. Rm. Janssen melihat
bahwa tenaga pastoral untuk membina iman jemaat sangatlah minim.
Kemudian ia mencoba mendirikan lembaga ini agar kebutuhan umat sungguh
terlayani. Harapan itu memang kemudian menjadi nyata, bahwa memang
dengan adanya lembaga ini, banyak karya pembinaan iman dan pastoral
karitatif terealisasikan. Semakin banyak orang miskin dan membutuhkan
terlayani.
Hingga hari ini model kepemimpinan yang demikian masih tetap
dipertahankan dalam dinamika organisasi lembaga ini. Mungkin benar
bahwa sempat ada masa kelam, benar pula bahwa pernah terjadi visi–misi
awal tak tercapai. Perlu disadari bahwa lembaga ini pun terus bergerak
mengikuti perkembangan zaman dan tuntutan yang dituntutkan kepadanya
pun senantiasa berubah. Namun di balik itu semua, semangat dan model
kepemimpinan tetap dipelihara hingga hari ini. Lembaga ini tetap melayani
siapa pun yang membutuhkan pendidikan yang layak. Walaupun di tengah
situasi yang sulit dan banyak kekurangan di dalamnya, lembaga ini mampu
berkomitmen untuk menyelenggarakan pendidikan yang baik bagi siapa
pun. Aneka program pembinaan dan kebijakan dibuat agar mahasiswa
pun mampu menjadi seorang pemimpin yang melayani. Sedari diri mereka
dikenalkan dengan medan pewartaannya, bertemu dan menyapa umat yang
kelak dilayaninya.
12
Kembali kepada Spiritualitas Pendiri
Selain itu model kepemimpinan yang melayani ini diterapkan dalam
program pembentukan spiritual dan moral. Seperti yang dikatakan di atas
bahwa salah satu ciri kepemimpinan yang melayani adalah dengan juga
mengembangkan moral setiap anggotanya. Lembaga ini pun melakukan
hal yang serupa. Pembinaan spiritual diadakan agar spiritualitas dan moral
mahasiswa terbentuk. Kelima program yang dahulu dicanangkan oleh Rm.
Janssen dan mungkin sempat hilang, kini telah direvitalisasi. Kelima program
tersebut adalah Meditasi Harian, Bacaan Kitab Suci, Ekaristi, Pembentukan
Diri sebagai Rasul, dan pembentukan Komunitas Basis Gerejani (KBG).
Mungkin bentuknya sedikit berbeda namun pada dasarnya sama. Misalnya
KBG dan pembentukan diri sebagai rasul diintegrasikan dalam program
pastoral lapangan, baik itu di lingkungan, stasi, paroki, maupun sekolah. Hal
ini menunjukkan bahwa pembinaan kepribadian (baik spiritual dan moral)
mendapat perhatian khusus dalam lembaga ini.
Lembaga ini terus mewujudkan cita-cita Gereja yang diutus memberikan
pelayanan di bidang pendidikan, terutama pendidikan teologi. Lembaga ini
merupakan salah satu lembaga yang diharapkan Gereja untuk melakukan
tugas kerasulan di bidang pendidikan. Gereja menaruh harapan amat
besar atas kegiatan fakultas-fakultas teologi. Sebab kepada fakultas-fakultas
itulah Gereja memercayakan tugas yang berat sekali, yakni menyiapkan
para mahasiswanya bukan saja untuk pelayanan imam, tetapi terutama
untuk mengajar di lembaga-lembaga studi gerejawi tingkat tinggi, untuk
mengembangkan berbagai bidang ilmu atas jerih payah mereka sendiri, dan
menangani tugas-tugas kerasulan intelektual yang lebih berat (GE. Art. 11).
Pendidikan yang Berpihak kepada Kaum Miskin
(Option for The Poor)
Salah satu fenomena khas dari lembaga ini adalah keberpihakannya
kepada kaum miskin. Keberpihakan kepada orang miskin (option for the
poor) sendiri merupakan suatu prinsip yang diperjuangkan Gereja, lebihlebih dalam Ajaran Sosial Gereja (ASG). Prinsip atau ajaran ini merupakan
prinsip yang diajarkan Yesus sendiri. Dalam Injil Lukas 4:18-19 Yesus
bersabda, “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku,
untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah
mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
13
tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan
orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah
datang.” Yesus menegakkan bahwa diri-Nya diutus mewartakan Injil (kabar
gembira) kepada mereka yang miskin dan lemah. Prinsip ini jugalah yang
senantiasa diperjuangkan Gereja hingga hari ini. Gereja diutus untuk
mewartakan kabar baik kepada mereka yang miskin dan papa. Iman kita akan
Kristus, yang menjadi miskin, dan selalu dekat dengan kaum miskin dan
kaum tersingkir, adalah dasar kepedulian kita pada pengembangan seutuhnya
para anggota masyarakat yang paling terabaikan (EG. art. 186).
St. Vincentius a Paulo juga menaruh perhatian yang besar kepada
kaum miskin dan papa, bahkan, St. Vincentius mendapatkan gelar sebagai
bapa kaum miskin. Oleh Paus Leo XIII, St. Vincentius diangkat sebagai
pelindung semua karya dan perkumpulan cinta kasih. St. Vincentius pernah
berkata, “Jika di antara kita ada yang berpikir bahwa tugas kita hanya untuk
mewartakan Injil kepada kaum miskin, dan bukan untuk meringankan
penderitaan mereka, hanya untuk memenuhi kebutuhan rohani dan bukan
kebutuhan jasmani mereka, maka saya menegaskan bahwa kita harus
menolong mereka dan memastikan bahwa mereka ditolong dengan segala
cara, baik oleh kita sendiri maupun oleh orang-orang lain.... Melakukan hal ini
berarti mewartakan Injil baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatanperbuatan. Inilah cara yang paling sempurna.” Bagi Vincentius, salah satu
karya misi yang harus dilakukan adalah dengan melayani kaum miskin.
Baginya Tuhan hadir di dalam diri kaum miskin, dan oleh karenanya ia (dan
juga kita) diutus untuk melayani kaum miskin. Vincentius mengajarkan
kepada para imamnya, “Kasih terhadap orang miskin itu bukan hanya dengan
lembut, tetapi juga harus efektif... melayani orang miskin dengan efektif.”
Vincentius mengajarkan bahwa sebagai murid Kristus, kita memiliki tugas
untuk mengasihi kaum miskin, bukan hanya sekadar merasakan penderitaan,
namun juga ikut meringankan penderitaan mereka.
Rm. Janssen kiranya juga memiliki prinsip yang sama dalam membangun
lembaga ini. Cintanya kepada kaum miskin mendorongnya untuk mendirikan
lembaga ini. Hal ini terlihat di mana pertama kali, ALMA, yang menjadi cikal
bakal lembaga ini, memberi perhatian kepada mereka yang papa dan miskin.
Rm. Janssen berharap dengan adanya lembaga ini, semakin banyak orang
miskin yang terlayani.
14
Kembali kepada Spiritualitas Pendiri
Perjuangan untuk melayani kaum miskin tentunya terus diupayakan
hingga hari ini. Mengingat bahwa lembaga pendidikan Katolik memang
harus kepada mereka yang kecil dan miskin (Suparno, 2017:57). Lembaga
pendidikan Katolik diutus untuk memberikan layanan pendidikan yang
layak bagi kaum miskin dan terpinggir. Hal ini jugalah yang membuat STKIP
Widya Yuwana terus berupaya memberikan pendidikan dan pembinaan
terbaik kepada kaum muda, terutama mereka yang berasal dari keluarga
kurang mampu. Lembaga ini seperti telah dikatakan di atas, menyediakan
aneka keringanan biaya, beasiswa, dan perhatian kepada mereka yang
membutuhkan. Bahwa dalam prinsipnya orang harus tetap bisa mengenyam
pendidikan terlebih dahulu, soal biaya dapat diselesaikan kemudian. Prinsip
ini bukan berarti semua pendidikan di lembaga ini gratis, namun prinsip ini
ingin menjelaskan bahwa masalah biaya bisa diselesaikan di kemudian hari,
yang terpenting adalah mahasiswa mampu mengenyam pendidikan yang
baik terlebih dahulu.
Allah Memberkati Lembaga Ini
61 tahun bukanlah usia yang muda bagi suatu lembaga pendidikan.
STKIP Widya Yuwana sebagai suatu lembaga pendidikan, tentunya mengalami banyak suka duka dalam mewujudkan perutusannya di dunia. Sejarah
memberikan gambaran kepada kita tentang hal itu. Namun apa sebenarnya
yang dapat kita tangkap dari perjalanan sejarah lembaga ini, mulai dari
berdirinya hingga hari ini? Apa makna sebenarnya dari perjalanan sejarah
ini? Tak lain adalah bahwa Allah sendiri telah memberkati lembaga ini.
Allah memberkati lembaga ini dengan berbagai cara yang luar biasa.
Pertama, lembaga ini berdiri atas kesediaan 12 mahasiswa yang mau
melayani umat Allah dengan sukarela. Allah mengetuk hati mereka untuk
menjawab panggilan-Nya, membuka hati mereka untuk melihat apa yang
menjadi kebutuhan dunia. Situasi umat yang berkekurangan membuat
mereka terdorong melayani umat dengan ikhlas. Tuhan memanggil mereka.
Kedua, di tengah masa kelam lembaga ini Allah memberikan rahmat
yang luar biasa. Allah memang memberikan tantangan bagi lembaga ini
hingga titik terberat, namun Allah juga memberikan jalan yang harus
ditempuh agar lembaga ini dapat hidup kembali. Masa kelam membuat
seluruh anggota kembali berefleksi untuk menemukan panggilannya yang
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
15
autentik. Melalui masa kelam itu lembaga ini menemukan jati dirinya, yakni
sebagai Widya Yuwana, lembaga pendidikan yang diutus untuk mewartakan
ilmu keselamatan sehingga banyak orang diselamatkan.
Ketiga, Allah memberkati lembaga ini salah satunya dengan memberikan
donatur-donatur untuk menunjang proses pendidikan dan pembinaan para
mahasiswa. Allah mengetuk dan menggerakkan hati banyak orang untuk
peduli terhadap lembaga ini. Dalam sejarah kita melihat bahwa melalui Mgr.
Hurts dari Missio, Allah telah menganugerahkan rahmat yang luar biasa bagi
lembaga ini. Aneka beasiswa ditawarkan agar semakin banyak orang yang
mampu mengenyam pendidikan tinggi yang layak. Allah sungguh mengetuk
hati para donatur dan menggerakkan mereka untuk berbuat sesuatu bagi
lembaga ini. Allah membuat mereka mampu mencintai lembaga ini secara
afektif sekaligus efektif.
Keempat, Allah memberkati lembaga ini dengan tetap menyediakan
mahasiswa untuk dididik di tempat ini. Sempat hampir tutupnya lembaga ini
karena kekurangan mahasiswa, ternyata adalah cara Allah agar lembaga ini
merefleksikan kembali panggilannya beserta cara-cara yang harus ditempuh.
Melalui kepemimpinan Rm. Wignyo, Allah menganugerahkan mahasiswa
bagi lembaga ini. Politik dagang yang dijadikan strategi kala itu adalah cara
Allah agar lembaga ini melihat kebutuhan Gereja lokal, hingga lembaga
ini mampu menyiapkan diri untuk memenuhi kebutuhan itu. Strategi itu
kiranya bertahan hingga sekarang, juga ditambah strategi jemput bola. Kedua
strategi ini menunjukkan bahwa lembaga ini sungguh berkomitmen untuk
menciptakan mahasiswa yang unggul dan kontekstual, yang mampu melayani
umat sesuai dengan konteks dan kebutuhannya.
Keempat hal ini menunjukkan bahwa Allah memberkati lembaga ini.
Lalu mengapa Allah berbuat demikian? Jawabannya adalah karena lembaga
ini berkomitmen menyalurkan cinta Tuhan secara nyata. Lembaga ini berkomitmen untuk tiga nilai di atas: cinta kasih, pelayanan, dan peduli kepada
mereka yang miskin dan lemah. Allah peduli akan keberadaan lembaga ini.
Allah berfirman: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku
sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibr 13:5). Allah sungguh
memberkati setiap orang yang mengikuti panggilan-Nya. “Jika engkau
baik-baik mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan dengan
setia segala perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, maka
16
Kembali kepada Spiritualitas Pendiri
TUHAN, Allahmu, akan mengangkat engkau di atas segala bangsa di bumi.
Segala berkat ini akan datang kepadamu dan menjadi bagianmu, jika engkau
mendengarkan suara TUHAN, Allahmu” (Ul. 28:1-2). Sabda ini sungguh
menjadi semangat dan terwujud nyata dalam seluruh dinamika kehidupan
lembaga STKIP Widya Yuwana selama 61 tahun berdirinya.
Bagian III
Melayani dan Mewartakan Injil
kepada Orang Kecil dengan Cinta yang Besar
Setelah merefleksikan perjalanan sejarah lembaga ini hingga hari ini,
maka patutlah dibahas mengenai langkah ke depan yang harus diambil oleh
para mahasiswa untuk mewartakan Injil di era modern. Juga akan dijelaskan
apa saja kiranya yang akan menjadi tantangan bagi pewartaan Injil di era
modern ini. Oleh karenanya, pada bagian ini penulis akan merefleksikan
dan mencoba merevitalisasi nilai-nilai yang diperjuangkan lembaga ini bagi
mahasiswa untuk mempersiapkan diri berkarya di dunia pendidikan dan
Gereja masa depan.
Apa yang Kita Hadapi ke Depan?
Konteks Indonesia dewasa ini membuat kita memahami bahwa Gereja
dan dunia pendidikan kita sedang mengalami banyak perubahan. Arus
globalisasi membuat dinamika kehidupan bergerak dari budaya tradisional
menuju ke budaya modern. Kemajuan teknologi dan informasi, serta pola
hidup praktis menggeser seluruh tatanan kehidupan. Namun globalisasi
tidak selalu buruk. Ada hal baik yang dapat kita petik. Berkaitan dengan hal
ini Gereja dan tentunya juga lembaga pendidikan Katolik menghadapi aneka
tantangan sebagai dampak dari globalisasi itu sendiri. Berikut akan diuraikan
beberapa tantangan akibat Globalisasi yang akan kita hadapi.
a.
Munculnya Budaya Individualisme, Konsumerisme, dan Hedonisme
Globalisasi melahirkan berapa budaya baru yang dapat dibilang
merugikan kita. Budaya yang dimaksud adalah individualisme,
konsumerisme dan hedonisme. Ketiga budaya ini merupakan fenomena
yang menggeser budaya cinta kasih. Kemajuan ilmu pengetahuan,
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
17
teknologi dan komunikasi di tengah arus globalisasi saat ini telah
menciptakan ruang privasi yang semakin besar dan kuat dengan akibat
setiap individu semakin terlibat dan sibuk dengan urusan dan
kepentingan pribadi atau kelompok yang sempit. Rasa kekeluargaan,
solidaritas dan kolektif terkikis dari kehidupan masyarakat. Masyarakat
menjadi lebih individual (Wilhelmus O. R., 2013:40). Selain itu globalisasi
membuat orang terjebak dalam budaya hedonisme, ketergantungan dan
kecanduan terhadap produk tertentu. Sama halnya dengan budaya
konsumerisme yakni budaya di mana seseorang gemar mengonsumsi
materi, uang, barang secara berlebihan. Budaya konsumerisme ini akan
terus membangkitkan semangat bahkan nafsu untuk terus mencari,
mendapatkan dan memakai berbagai barang material bukan karena
membutuhkan tetapi demi kepuasan diri, status sosial, lifestyle dan
popularitas (Denny Firmanto & Yustinus dalam Wilhelmus, 2013:42).
b.
Kemerosotan Moral Masyarakat Modern
Kemerosotan moral dalam hidup masyarakat menjadi tantangan
tersendiri bagi kita yang mempersiapkan diri sebagai pendidik agama.
Kemerosotan moral memang bukan hal baru, tetapi merupakan sesuatu
yang berbahaya bagi kehidupan bangsa. Kemerosotan moral ini juga
merebak di dalam lingkup kehidupan anak-anak dan remaja. Merebaknya
isu-isu yang terjadi di kalangan siswa seperti penggunaan narkotika,
narkoba, tawuran antar siswa, pornografi, perkosaan, perjudian,
pelacuran, penipuan, pengguguran kandungan, dan pembunuhan,
menjadi tanda bahwa kemerosotan moral ini memang terjadi, bahkan di
kalangan kaum muda (Suharni, 2016: 242).
c.
Politik dan Birokrasi yang Berbelit
Tak bisa dimungkiri bahwa tantangan yang hebat juga datang dari
pemerintahan. Sistem berbelit penuh politik kotor membuat perkembangan lembaga pendidikan menjadi lamban. Apalagi posisi lembaga
Katolik yang dewasa ini adalah lembaga minoritas, yang kemungkinan
kecil mendapat perhatian pemerintah. Salah satu contoh yang tampak
adalah sistem kurikulum. Sistem kurikulum yang kaku membuat
lembaga pendidikan Katolik kurang leluasa dalam menerapkan sistem
yang berdasar pada nilai cinta kasih (Suparno, 2017: 54).
18
Kembali kepada Spiritualitas Pendiri
d.
Bergesernya Paradigma Agama dan Pendidikan
Agama dewasa ini mengalami perubahan makna. Kehidupan agama
yang dahulu sangat religius dan toleran kini telah bergeser. Agama
dewasa ini bisa jadi bertendensi ke arah destruktif. Para pemeluk agama
sering kali memeluk sistem doktrin, ritual maupun institusi secara
ekstrem (Sugiharto, 2010: 327). Apa yang hancur? Yang hancur tentunya
adalah nilai kemanusiaan dan rasa toleransi di antara umat beragama.
Orang beragama hanya sebagai kewajiban, untuk mengejar surga saja.
Sedangkan di bidang pendidikan pandangannya berupah ke arah
komersial. Pendidikan dipandang sebagai suatu komoditas. Program
studi, kurikulum dan manajemen pendidikan kita saat ini terus didorong
untuk penyesuaian diri dengan tuntutan dan kebutuhan pasar. Komersialisasi pendidikan memacu suburnya privatisasi lembaga-lembaga
pendidikan serta pendidikan itu sendiri ditempatkan sebagai barang
komersial yang bisa memberi banyak profit (Wilhelmus O. R., 2012:134).
e.
Masyarakat Miskin dan Anak Putus Sekolah
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin
pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang, meningkat 1,63 juta orang
terhadap September 2019 dan meningkat 1,28 juta orang terhadap Maret
2019. Hal ini menandakan bahwa negara kita masih memiliki masalah
dengan kemiskinan. Berkaitan dengan hal itu, kemiskinan juga membuat
angka putus sekolah di negara ini tergolong tinggi. Tercatat hingga Juli
2020 ada setidaknya 4,5 juta anak putus sekolah. Dari data yang dimiliki
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K),
jumlah anak usia 7-12 tahun di Indonesia yang tidak bersekolah berada
di angka 1.228.792 anak. Untuk kategori usia 13-15 tahun di 34 provinsi,
jumlahnya 936.674 anak. Sementara usia 16-18 tahun, ada 2.420.866
anak yang tidak bersekolah.
f.
Kurangnya Tenaga Pastoral dan Guru Agama Katolik
Kebutuhan akan tenaga pastoral dan guru agama Katolik sungguh
terlihat nyata dalam kehidupan Gereja Indonesia. Gereja sangat
membutuhkan kehadiran para petugas pastoral, katekis, dan guru agama
untuk menjalankan tugas perutusannya di dunia. Gereja membutuhkan
keterlibatan kaum awam, terutama katekis dan guru agama untuk
menjadi petugas pastoral, yang mampu membantu menggembalakan
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
19
umat Allah. Gereja melihat bahwa pelayanan para imam tidaklah cukup,
maka diperlukan perpanjangan tangan seperti katekis dan guru agama
untuk menunaikan tugas penggembalaan ini.
Mempersiapkan diri sebagai Misionaris Cinta Kasih
Aneka hal di atas sungguh menantang kita untuk makin bertumbuh
dan mempersiapkan diri bagi karya pelayanan di masa depan. Untuk itu
ada beberapa kompetensi dan penghayatan nilai yang harus dibangun agar
kita sungguh siap menghadapinya. Berangkat dari sejarah dan dinamika
kehidupan lembaga ini serta tantangan ke depan, kita dipanggil dan diutus
untuk menjadi misionaris cinta kasih. Kita diutus untuk mampu melayani dan
mewartakan Injil kepada orang kecil dengan cinta yang besar. Ada beberapa
hal yang perlu kita siapkan, antara lain:
a.
Menjadi Pribadi yang Integral
Pertama yang perlu dipersiapkan adalah pribadi kita. Kita perlu
mempersiapkan diri untuk menjadi pribadi yang utuh (integral). Menjadi
pribadi yang integral berarti memiliki keseimbangan dalam kedewasaan
intelektual, emosional, spiritual, dan bertindak. Kedewasaan intelektual
dapat kita kembangkan melalui berbagai pendidikan intelektual dan
budaya berpikir kritis. Tentunya setiap mata kuliah yang diberikan dapat
memacu kita untuk mengembangkan kedewasaan intelektual kita.
Kedewasaan emosional dan spiritual dapat kita kembangkan melalui
aneka bentuk latihan rohani, seperti Meditasi, Lectio Divina, Refleksi,
Ibadat, Bimbingan Rohani, dan terutama melalui Perayaan Ekaristi.
Latihan rohani inilah yang sebenarnya telah dilakukan dari awal
berdirinya lembaga ini. Tujuan diberikannya latihan rohani ini agar para
mahasiswa memiliki kedewasaan spiritual dan emosional, serta mampu
merefleksikan setiap pengalaman dalam kacamata iman. Kedewasaan
tindakan dapat kita kembangkan dengan menghayati setiap praktik
pastoral yang diberikan. Praktik pastoral adalah tempat di mana kita
mampu melihat situasi umat secara nyata. Kepribadian yang integral ini
menjadikan kita pribadi yang bermoral dan berakhlak, mampu menjadi
teladan bagi orang lain, masyarakat, peserta didik, dan umat. Kita
menjadi garam dan terang di tengah kemerosotan moral.
20
Kembali kepada Spiritualitas Pendiri
b.
Menjadi Pribadi yang mampu Mengasihi secara Afektif dan Efektif
Sebagai calon misionaris cinta kasih kita diharapkan mampu mencintai dan membagikan cinta. Hal pertama yang harus kita lakukan
adalah menyadari betapa besar cinta Allah kepada kita. Kita harus
mampu menyadari hal-hal baik apa yang telah kita terima dalam
kehidupan kita. Apa saja cinta yang telah kita terima dari keluarga kita,
teman-teman kita, komunitas kita, dan terutama saat menjalani pendidikan dan pembinaan di tempat ini, melalui dosen, karyawan, para
imam, donatur dan umat?
Setelah kita sadar betapa besar cinta itu, barulah kita mampu
membagikan cinta. Karena tidak mungkin kita membagikan apa yang
memang tidak pernah kita miliki dan rasakan. Sebagai misionaris cinta
kasih, kita bukan hanya dituntut untuk mencintai secara afektif saja,
namun lebih-lebih secara efektif, melakukan suatu tindakan nyata bagi
orang lain. Kita tidak cukup hanya merasa berbelaskasihan kepada umat
yang sedang mengalami penderitaan misalnya. Kita ditantang untuk
melakukan tindakan nyata kepadanya, entah dengan penghiburan, atau
suatu perbuatan sederhana untuk menolongnya. Cinta tidak pernah
akan menjadi nyata tanpa adanya perbuatan.
Cinta yang kita miliki ini dapat juga kita wujudkan kepada umat dan
anak-anak didik kita kelak. Mendidik dengan cinta merupakan suatu
model pengajaran yang memang dituntut dari kita sebagai pengajar
agama Katolik ini. Kita mampu memberikan pelayanan kepada mereka
yang tidak bisa memperoleh pendidikan. Selain itu cinta kasih yang kita
miliki dan akan kita ajarkan kelak diharapkan mampu memecah sifatsifat egoisme, individualisme, dan sekularisme yang saat ini sedang ada
dalam budaya manusia. Hanya dengan cintalah manusia akan dimanusiakan dan kembali menjadi manusia.
c.
Menjadi Pemimpin yang Melayani
Perutusan menjadi misionaris cinta kasih juga mengajak dan mendorong kita menjadi pemimpin yang mau dan mampu melayani. Sebagai
pemimpin kita diutus untuk melayani orang lain. Kita harus mampu
mendahulukan kepentingan orang lain, mendengarkan, berempati,
menjadi penyembuh, menyadari situasi, mampu menggerakkan orang
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
21
lain (persuasi), terbuka, dan mengembangkan sesama. Asas yang harus
dipijak adalah asas kemanusiaan, moral dan cinta kasih.
d.
Menjadi Pribadi yang Peduli kepada Kaum Miskin
Selanjutnya sebagai misionaris cinta kasih kita diminta untuk
melanjutkan misi Yesus yakni mewartakan Injil kepada kaum miskin.
Sebagai seorang pengikut Kristus kita diminta untuk mampu peduli
(mencintai secara afektif) dan menolong sesama kita yang miskin secara
nyata (mencintai secara efektif). Kita menyadari bahwa kita pun telah
ditolong oleh Allah dengan berbagai cara, maka kita pun diminta untuk
menolong sesama kita. Seperti apa yang diteladankan lembaga ini dan
oleh St. Vincentius juga, bahwa mencintai Allah secara nyata adalah
dengan cara mencintai orang miskin. Orang miskin bukan hanya bagi
mereka yang miskin secara materi saja, namun kepada mereka yang
miskin perhatian, kasih sayang, dan bahkan miskin iman. Dalam diri
orang-orang miskin inilah Allah ditemukan secara nyata. Marilah kita
mencintai Allah melalui diri orang miskin. Sebab sesungguhnya segala
sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang
paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku (Mat 25:40).
Penutup: Ad Multos Anos Almamaterku
Sejak berdirinya 61 tahun yang lalu, STKIP Widya Yuwana telah
berkarya bagi kehidupan bangsa dan Gereja. Widya Yuwana telah mengalami
dinamika kehidupan yang sungguh mengesankan, ada duka, ada suka, ada
susah, ada senang, semua telah dilalui. Kisah kelam dijadikan pelajaran, kisah
senang dijadikan semangat.
Setelah 61 tahun berdiri, Widya Yuwana konsisten berkomitmen
untuk menunjukkan dirinya secara nyata sebagai lembaga pendidikan yang
mengajarkan ilmu keselamatan agar banyak orang semakin diselamatkan.
Nilai cinta kasih, pelayanan, serta kepeduliannya kepada kaum miskin
menjadi semangat yang tak pernah padam untuk memanusiakan manusia,
membangun Kerajaan Allah secara nyata.
Kiranya semangat inilah yang akan terus tumbuh dan berkembang
dalam dinamika lembaga ini. Semangat inilah yang kiranya akan menjiwai
setiap orang di dalam lembaga ini, baik itu dosen, karyawan, para biarawan
22
Kembali kepada Spiritualitas Pendiri
dan biarawati, donatur dan terutama mahasiswa yang menempuh pendidikan
di tempat ini. Ketiga semangat ini yang menjadikan Widya Yuwana sebagai
Widya Yuwana.
Dan pada akhirnya, kita mahasiswa dan alumni Widya Yuwana pun
diharapkan meneladani semangat lembaga kita tercinta ini. Sebagai mahasiswa
di tempat ini kita sungguh-sungguh diharapkan dapat mewartakan Ilmu
keselamatan yang telah kita terima kepada banyak orang agar semakin
banyak orang diselamatkan. Keselamatan itu kita wartakan dalam karya kita
yang penuh cinta, pelayanan, dan kepedulian kepada mereka yang miskin.
Selamat ulang tahun Almamaterku, Almamater kita semua. Semoga
Perayaan Dies Natalis ke-61 tahun ini membuatmu semakin jaya, semakin
mampu melahirkan putra-putri yang mewartakan keselamatan Allah secara
nyata. Ad Multos Anos.
Daftar Pustaka
Greenleaf, Robert K. (1977). Servant Leadership A Journey into the Nature of
Legitimate Powerand Greatness. NewYork/Mahwah: Paulist Press.
Isharianto, R. (2014). Perwujudan Kasih Afektif dan Efektif. Malang: Widya
Sasana Publication.
Iswanto, Y. (2017). Kepemimpinan Pelayan Era Modern. Jurnal Administrasi
Kantor, 157-172.
Jahidi, I., & Hafid, M. (2017). Trnasformasional Leadershop dan Servant
Leadership: Tantangan Kepemimpinan dalam Menghadapi Era Global.
CosmoGov: Jurnal Ilmu Pemerintahan; Vol. 03 No. 02, 219-231.
Seksi Hukum dan Informasi. (2020, April 25). Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Dipetik September
12, 2020, dari Kepemimpinan yang Melayani (Servant Leadership)
Sebagai Gaya Kepemimpinan Kekinian: https://www.djkn.kemenkeu.
go.id/artikel/baca/13049/Kepemimpinan-yang-Melayani-ServantLeadership-Sebagai-Gaya-Kepemimpinan-Kekinian.html.
Sugiharto, B. (2010). Pergeseran Paradigma pada Sains, Filsafat dan Agama
Saat Ini. MELINTAS 26.3, 317-332.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
23
Suharni. (2016). Mencegah Kemerosotan Moral dan Perilaku Menyimpang
Melalui Konseling Berbasis Kearifan Lokal. Proceedings International
Seminar FoE (Faculty of Education) – Vol. 1 , 241-248.
Suparno, P. (2017). Idealisme Sekolah Katolik dalam Tantangan Zaman.
Dalam P. Suparno, C. K. Adi, B. Mardiatmadja, & T. sarkim, Lembaga
Pendidikan Katolik dalam Konteks Indonesia (hlm. 47-60). Yogyakarta:
Kanisius.
Supriyadi, A. (2005). Misteri di Balik Sistem Pendidikan di STKIP Widya
Yuwana - Madiun. Suara Wina Edisi Khusus, 22-24.
Wilhelmus, O. R. (2012). Tantangan Globalisasi Terhadap Dunia Pendidikan
Kita Saat Ini. JPAK: Jurnal Pendidikan Agama Katolik Vol. * Tahun ke-4,
131-142.
Wilhelmus, O. R. (2013). Komunitas Basis Gerejani Merespon Budaya Hidup
Individualisme, Konsumerisme dan hedonisme di Tengah Arus
Globalisasi. JPAK: Jumal Pendidikan Agama Katolik Vol. 10 Tahun ke 5,
30-48.
24
Kembali kepada Spiritualitas Pendiri
Aggiornamento Semangat Founding Fathers
STKIP Widya Yuwana
bagi Jiwa Sosial Kemasyarakatan
Kasimirus
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Widya Yuwana
Pengantar
Kata aggiornamento kentara digunakan dalam Konsili Vatikan II.
Aggiornamento adalah kata dalam bahasa Italia yang secara sederhana dapat
diartikan sebagai pembaruan. Pada masa itu, Bapa Gereja merasakan Gereja
mulai menyimpang dari semangat awal yang dimiliki. Keadaan tersebut
dapat dilihat dari hubungan antar Gereja Kristen sejak skisma Timur tidak
bersahabat lagi; masalah sosial (hubungan kaum buruh dengan majikan)
dan lain sebagainya. Ketika merefleksikan situasi itu, Gereja mengupayakan
pembaruan, misalnya pembaruan liturgis. Namun, apakah semangat awal
pengabdian kepada Allah diubah? Tentu tidak. Justru kunci pembaruan
berangkat dari semangat awal, yang mana semangat Gereja waktu itu sudah
tidak sesuai lagi dengan semangat awal. Ada anamnese dalam pembaruan.
Tidak menutup kemungkinan, problem yang demikian ditarik dari tema yang
akan dibahas ini. Ingatan kita disegarkan oleh roh awal, yang kita hadirkan di
sini dan saat ini. Semangat awal para pendiri dihadirkan di sini dan sekarang
dengan cara pandang baru (kekinian).
Tema besar yang dibahas dalam tulisan ini adalah menggali dimensi
sosial dari semangat awal Bapak Pendiri STKIP Widya Yuwana. Kita perlu
mengaktifkan ingatan kecil kita dengan melihat karya Rm. Janssen di sekitar
Madiun, seperti: Panti Asuhan Don Bosco yang memelihara orang cacat,
pendirian ALMA (Asosiasi Lembaga Misionaris Awam) yang sekarang
bernama STKIP Widya Yuwana, dan lain sebagainya. Karya-Karya tersebut
memperlihatkan pergerakkan jiwa sosial yang besar, suatu keprihatinan
Gereja akan kemanusian. Kita melihat posisi semangat awal pendiri, apakah
masih menjadi dasar perjalanan lembaga ini atau telah menyimpang selama
perjalanan itu berlangsung hingga kini. Bila memang menyimpang, maka
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
25
perlu diadakan peremajaan kembali melalui roh pendiri atau semangat awal
yang dimiliki lembaga ini sehingga lembaga mempunyai bahan introspeksi
diri setelah sekian insan yang dihasilkan bagi Gereja. Sekurang-kurangnya
tulisan ini diharapkan dapat menjadi rule of control bagi segala dinamika di
kampus ini. Tulisan ini merupakan hasil dari studi pustaka.
Pentingnya Kembali pada Semangat Awal Pendiri
Dalam perjalanan STKIP Widya Yuwana sekian lama, perlu diakui ada
banyak kekurangan, terutama bila melihat fakta lapangan dari sekolah atau
paroki tempat para alumni melayani. Itulah sebabnya pada momentum Dies
Natalis ke-61 kita diajak kembali pada roh pendiri lembaga ini.
Banyak orang berpandangan bahwa kembali semangat awal merupakan tindakan ketinggalan zaman, kolot, tidak modern, dan sejenisnya. Apakah demikian? Kapan kembali ke masa lalu menjadikan kita tidak bisa move
on, dan kapan kembali ke masa lalu menjadikan kita move on bahkan move
on dengan sangat baik? Pertanyaan penting yang kita renungkan secara
mendalam dari usaha untuk kembali kepada semangat awal pendirian STKIP
Widya Yuwana adalah apa yang dapat kita ambil di sana?
Baiklah melihat beberapa fakta sejarah agar sedikit mengerti arah pembahasan ini. Kita tentu mengenal bangsa Israel. Secara kuantitatif Israel
merupakan bangsa besar waktu itu. Tetapi bukan jumlah kuantitatif yang
perlu diperhatikan melainkan kualitatif. Secara kualitatif Israel adalah
bangsa yang besar dibuktikan dengan jumlah ilmuan dan pemikir besar yang
dihasilkannya, yang hingga saat ini memengaruhi hidup dunia. Padahal Israel
banyak ditindas oleh bangsa lain seperti Mesir di bawah kekuasaan Firaun,
dan pada masa Nazi Jerman di bawah kekuasaan Hitler yang membantai
jutaan orang Israel dalam peristiwa holocaust, suatu tragedi kemanusiaan
yang terbesar, dan beringas pada masa itu. Banyak sejarawan menafsirkan
bahwa bangsa Israel menjadi bangsa hebat meskipun ditindas karena mereka
memelihara ingatan kolektif (ingatan bersama) yaitu ingatan bahwa mereka
senasib sepenanggungan di bawah bimbingan YHWH.
Beralih pada bangsa Indonesia. Mengenai pentingnya melek sejarah,
Soekarno mengatakan, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Ungkapan ini
sering disingkat menjadi “jas merah.” Ungkapan ini merupakan ungkapan
26
Aggiornamento Semangat Founding Fathers STKIP Widya Yuwana
terkenal yang diucapkan Soekarno saat pidato terakhirnya pada HUT RI ke21 tahun 1966. Ungkapan Soekarno yang lain berkaitan dengan pentingnya
sejarah antara lain: “Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta.
Masa yang lampau sangat berguna sebagai kaca benggala daripada masa
yang akan datang ... bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati
jasa pahlawannya.” Nah, bagaimana kita dapat menghormati pahlawan bila
kita tidak mengenal mereka dan perjuangannya, demikian juga bagaimana
kita menghormati upaya dan semangat pendiri bila kita tidak mengenal dan
mengerti sejarah perjuangannya sampai lembaga ini ada di muka bumi.
Sangat penting bagi kita untuk melihat semangat awal (sejarah) agar kita
dapat maju dengan mata yang tidak buta. Menurut J.V. Bryce, sejarah adalah
catatan dari apa yang telah dipikirkan, dikatakan dan diperbuat oleh manusia.
Persoalannya adalah tahu dan pahamkah kita tentang apa yang dipikirkan,
dikatakan, dan diperbuat oleh Bapa Pendiri dari upaya mendirikan lembaga
ini? Semangat apa yang dihayatinya kala itu?
Kata semangat (awal) dapat juga disinonimkan dengan spirit. Secara
kolektif spirit disebut spiritualitas, yang secara sederhana berarti “bangun,
terjaga” (Mello, 2005:1). Secara sederhana dipahami spiritualitas adalah
semangat untuk sadar melakukan sesuatu dengan dasar tertentu. Heuken
(2006:12) mengatakan, spiritualitas dapat disebut cara mengamalkan
seluruh kehidupan sebagai seorang beriman yang berusaha merancang dan
menjalankan hidup ini semata-mata seperti Tuhan menghendakinya. Untuk
dapat menjalani hidup yang sesuai dengan kehendak Allah, seseorang harus
mempererat hubungan dengan Tuhan melalui mendengarkan sabda-Nya
dalam Injil, dan dalam hatinya (bdk. Heuken, 2006:12). Spiritualitas berkaitan
erat dengan anugerah Allah yang dilimpahkan kepada pribadi tertentu atau
kelompok tertentu (Komkat KWI, 1997:22).
Semangat founder father STKIP Widya Yuwana kita yakini ada dalam
bingkai pengertian spiritual di atas, artinya kita yakin bahwa lembaga ini
telah didirikan berdasarkan: (1) suatu bentuk “bangun, terjaga” dari Romo
Janssenyang waktu itu membaca tanda-tanda zaman, misalnya jumlah imam
yang merosot sehingga penting untuk memberdayakan kaum awam bagi
karya keselamatan, tetapi dapat diartikan juga bahwa dari proses pembinaan
kaum awam yang sedemikian rupa,diharapkan dapat memunculkan benih
panggilan hidup religius; (2) Pendiri lembaga ini berangkat juga dari
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
27
kebangunan rohani, yang rohnya sudah mengawali Konsili Vatikan II,
keterlibatan kaum awam dalam perkembangan Gereja dan misinya. Artinya
lembaga ini lahir dari kehidupan dan permenungan rohani mendalam dari
pendiri, suatu sari pertemuan mesra dengan Tuhan; (3) Lembaga ini adalah
hasil penemuan nilai diri (manusia) dan Tuhan dengan kehendak-Nya.
Artinya semangat awal pendirian lembaga ini adalah gerak Roh Allah.
Tidak menghargai semangat awal, apa lagi bias dari semangat awal
pendiri berarti tidak menghargai “evolusi kesadaran” pada waktu itu, tidak
menghargai buah konkret hidup suci, tidak menghargai nilai-nilai manusia
yang ditemukan dan tidak menghargai gerak Roh Allah pada waktu itu. Kita
mestinya sampai pada refleksi mendalam akan Roh awal pendirian lembaga
STKIP Widya Yuwana yang masih eksis hingga saat ini. Kita tidak semestinya
menyepelekan karya Roh Allah dalam proses pendirian lembaga ini. Siapakah
kita di hadapan Roh itu? Mengenai Roh itu, dikatakan:
“Karena kepada kita Allah telah menyatakannya oleh Roh, sebab
Roh menyelidiki segala sesuatu, bahkan hal-hal yang tersembunyi
dalam diri Allah. Siapa gerangan di antara manusia yang tahu, apa
yang terdapat di dalam diri manusia selain roh manusia sendiri yang
ada di dalam dia? Demikian pulalah tidak ada orang yang tahu, apa
yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah. Sebab: “Siapakah
yang mengetahui pikiran Tuhan, sehingga ia dapat menasihati Dia?”
Tetapi kami memiliki pikiran Kristus.” (1Kor 2:10; 2:16)
“Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran,
kemurahan, kebaikan, kesetiaan,kelemahlembutan, penguasaan
diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.” (Gal 5:22-23)
Ada tiga hal penting yang perlu digarisbawahi dari ketiga kutipan teks di
atas terkait dengan pentingnya kembali ke semangat awal Pendiri. Pertama,
lembaga ini telah berdiri sebagai karya Roh, di mana Roh itu menyelidiki
sesuatu dan tidak terselami. Kedua, tidak mungkin Roh yang membimbing
Bapa Pendiri tidak dapat memahami masa depan, tidak mengerti tantangan
dan peluang yang akan muncul di masa ini dan yang akan datang? Ketiga,
manusia memang tidak dapat mengetahui pikiran Allah, tetapi manusia
percaya kepada Kristus dan dimampukan memiliki pikiran Kristus. Romo
Janssen telah berpikir berdasarkan pikiran Kristus yang prihatin terhadap
28
Aggiornamento Semangat Founding Fathers STKIP Widya Yuwana
Gereja, dan kemanusiaan pada umumnya yang mengerucut pada pendirian
STKIP Widya Yuwana. Maka, kita tidak memiliki alasan apa pun untuk
meniadakan semangat awal, apalagi menggantinya dengan semangat lain
yang bersifat destruktif (seperti perebuatan kekuasaan atau takhta, kekayaan,
dan rupa-rupa dunia ini). Semangat Pendiri dibarui bukan pada semangat
awal tetapi dalam diri segenap Civitas academica STKIP Widya Yuwana,
sehingga kita bisa move on, bila kita belajar sesuatu dari pengalaman.
Sekilas Sejarah STKIP Widya Yuwana, Madiun
Pada pembahasan sebelumnya, kita telah dibawa pada refleksi mendalam
mengenai semangat awal pendirian lembaga STKIP Widya Yuwana, yang
intinya adalah spirit atau semangat awal ini merupakan buah karya Roh Kudus
dan Allah sendiri, yakni kasih dalam bentuk keprihatinan terhadap Gereja
dan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, segenap civitas academica harus
dipelihara dan disegarkan dalam hati masing-masing. Pada bagian sub tema
ini, kita sekalian diajak untuk mencicipi nostalgia sejarah awal STKIP Widya
Yuwana Madiun. Baiknya, para pembaca tidak memahaminya pertamatama sebagai laporan peristiwa melainkan sebagai bagian sejarah Allah
menyelamatkan manusia, sehingga kita dapat menemukan tujuan dari dasar
yang sama, atas tujuan dibangunnya lembaga ini. Kita diharapkan untuk
menemukan Roh Allah yang selalu membimbing lembaga ini.
Dalam kacamata iman Kristiani, sejarah tidak lepas dari rencana dan
campur tangan Tuhan. Oleh karena itu, sejarah merupakan suatu peradaban
penting yang selalu dipelajari kembali untuk melihat kekayaan dan kekurangannya demi menimba semangat awal, dan demi perkembangan ke
depan yang lebih pesat. Kehadiran STKIP Widya Yuwana di Madiun tidak
lepas dari maksud Gereja lokal, bahkan maksud Gereja universal untuk
menyebarluaskan Kerajaan Allah, dan dengan demikian tidak lepas juga
dari rencana Allah sebagai pemilik Gereja itu sendiri. Sejarah yang ditulis
diharapkan memberikan panorama makna di masa kini dengan tafsiran sesuai
perkembangan dan pemahaman zaman ini dalam bimbingan Roh Kudus.
Nama STKIP Widya Yuwana bukanlah nama yang dari awal dipakai. Saat
berdiri pertama kali pada 1 September 1959, STKIP Widya Yuwana memiliki
nama ALMA (Asosiasi Lembaga Misionaris Awam). Nama ALMA oleh
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
29
Paulus Janssen sebagai pendiri bermaksud menunjukkan tujuan dari lembaga
tersebut yaitu mendidik tenaga awam yang berkecimpung dalam bidang
keagamaan dan sosial (bdk. Tondowidjojo, 2001:243). Paulus Janssen
merasa tenaga imam (pastor) sangat kurang, begitu juga kaum awam yang
mau bekerja di bidang pembangunan masyarakat yang dibutuhkan oleh Gereja
dan negara yang sedang membangun sangat kurang (bdk. Tondowidjojo,
2001:243). Gedung pertama beroperasi di Jl. Ahmad Yani No. 7, belakang
pastoran Gereja Santo Cornelius, Madiun.
Pada tanggal 2 November 1960 berdasarkan SK. No. 71/Rek/1960
ALMA menjadi bagian dari Universitas Widya Mandala yang berpusat di
Surabaya, sehingga jurusannya menjadi bagian dari fakultas pendidikan yang
berada di Madiun, sehingga ALMA berubah menjadi fakultas pendidikan
kateketik (bdk. Tondowidjojo, 2001:244). Para mahasiswanya mengikuti dua
jurusan, yaitu jurusan bimbingan dan penyuluhan yang statusnya diakui oleh
pemerintah, dan jurusan kateketik (agama) yang statusnya (ijazah) lokal
(bdk. Tondowidjojo, 2001:244).
Tahun 1970 jurusan bimbingan dan penyuluhan dilepaskan, dan para
mahasiswa hanya mengikuti jurusan kateketik (keagamaan) sehingga fakultas
pendidikan diubah menjadi fakultas kateketik (bdk. Tondowidjojo, 2001:244).
Pada tanggal 21 Desember 1972 oleh Pimpinan Gereja Katolik Surabaya
dibuka sebuah Yayasan khusus untuk mengelolah pendidikan kateketik yaitu
Widya Yuwana, dengan demikian fakultas kateketik berubah nama menjadi
Akademi Kateketik Indonesia (AKI) “Widya Yuwana”, Madiun. Hingga kini,
masyarakat setempat lebih mengenal STKIP Widya Yuwana dengan sebutan
AKI. Pada tanggal 1 Januari 1973 Akademi Kateketik Indonesia Widya
Yuwana Madiun memperoleh status terdaftar di Direktorat Perguruan Tinggi
Agama Negeri di Jakarta dengan SK. No. D. VI/48/P/73 (bdk. Tondowidjojo,
2001:244). Kemudian, pada tanggal 14 Agustus 1974 AKI Madiun memperoleh status dari Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan dengan SK. No. 056/1/1974 (bdk. Tondowidjojo, 2001:244).
Pada 18 Februari 1985 dipertegas lagi status terdaftar tersebut dengan
SK. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 170/0/1985, sekaligus mengubah nama menjadi Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP)
“Widya Yuwana” dengan jenjang program Diploma III jurusan pendidikan
agama Katolik (kateketik), yang mulai dilaksanakan tahun akademik
30
Aggiornamento Semangat Founding Fathers STKIP Widya Yuwana
1985/1986 (bdk. Tondowidjojo, 2001:244). Pada tanggal 1986 STKIP Widya
Yuwana mengalami perubahan jenjang program dari Diploma III menjadi
Sarjana Strata 1 (S-1) dengan SK. Dirjen DIKTI Depdikbud RI. No. 508/
DIKTI/Kep/1986, sekaligus mengubah program studi pendidikan agama
Katolik (kateketik) menjadi program studi ilmu pendidikan teologi (bdk.
Tondowidjojo, 2001:244). Pada tanggal 10 Agustus 2000 STKIP Widya
Yuwana Madiun mendapat Surat Keputusan Badan Akreditasi Nasional
Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional dan dinyatakan
Terakreditasi dengan SK. No. 019/BAN-PT/AK-IV/VIII/2000 dan pada
tanggal 2 September 2000 Uskup Surabaya Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr.,
menyatakan bahwa STKIP Widya Yuwana Madiun harus beroperasional
(bdk. Tondowidjojo, 2001:244). Hingga saat ini tetap beroperasi, dan sudah
terakreditasi “B”, termasuk sebagai institusi sudah mendapat akreditasi “B”
pula oleh BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi). Saat ini,
para lulusan STKIP Widya Yuwana ada di beberapa pelosok nusantara untuk
melayani Gereja dan negara sebagaimana roh awal berdirinya lembaga ini.
Catatan sejarah STKIP Widya Yuwana di atas memperlihatkan bahwa
lembaga ini tidak berdiri semudah membalik telapak tangan. Perubahan
demi perubahan yang dilakukan dapat diyakini tanda kepedulian, kepekaan
jiwa sosial, kedalaman permenungan pendiri dan sahabatnya sehingga
menghasilkan keputusan ini dan itu.
Pada uraian singkat sejarah STKIP Widya Yuwana di atas tidak ditemukan perubahan semangat awal. Perubahan ada pada nama, jurusan, dan status
dari lembaga. Esensi dari lembaga ini tetap dipertahankan, yaitu membentuk
insan awam bagi Gereja dan sosial masyarakat. Sekali lagi dipertegas tujuan
awal pendirian lembaga STKIP Widya: Mendidik tenaga awam yang berkecimpung dalam bidang keagamaan dan sosial. Namun, kadang kala kita
merasakan kemajuan yang pesat maupun kemunduran yang memilukan. Hal
ini bukan terletak pada perubahan semangat, melainkan apakah segenap
civitas academica STKIP Widya Yuwana menghayati atau belum menghayati
semangat itu. Oleh sebab itu, sudah semestinya lembaga STKIP Widya Yuwana
berupaya membentuk insan awam dengan dua kualitas utama, yaitu: mampu
hidup sebagai warga Gereja Allah dan sebagai warga manusia. Sebelum
mereka menjadi pelayan bagi sesama yang menjadikan mereka warga Allah
dan warga masyarakat yang berjiwa sosial.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
31
Program Pembentukan Katekis dari Visi dan Misi Terbaru
Lembaga STKIP WidyaYuwana, Madiun
Lembaga STKIP Widya Yuwana merupakan lembaga pendidikan yang
kecil, namun memiliki cita-cita besar yang terungkap pada visi dan misinya.
Berikut akan dijelaskan bagaimana program pembentukan katekis menurut
maksud visi dan misi STKIP Widya Yuwana.
Pertama, Visi lembaga STKIP Widya Yuwana Madiun adalah “Unggul
dan Kontekstual (bdk. STKIP Widya Yuwana, 2019:1). Keunggulan dan
kekontekstualan yang dimaksud adalah mampu menguasai, mengembangkan dan mengaplikasikan teori melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi;
mampu menghadirkan pembinaan yang mengembangkan kedewasaan
pribadi, hidup beriman, semangat merasul, keterlibatan hidup masyarakat;
sanggup mengenali, menganalisis dan menanggapi kebutuhan atau persoalan
Gereja dan masyarakat; memiliki keterampilan mengaplikasikan dan
mengimplementasikan teori dan konsep secara benar dan kontekstual dalam
rangka pengabdian atau pelayanan secara efektif kepada masyarakat (bdk.
STKIP Widya Yuwana, 2019:1).
STKIP Widya Yuwana memiliki misi untuk sampai pada visi antara lain:
membentuk pribadi yang memiliki kematangan manusiawi, hidup Kristiani,
intelektual, semangat kerasulan dan tanggap terhadap panggilan; membentuk
pribadi yang menyadari dan meyakini jati diri katekis yang merupakan bentuk
jawaban atas panggilan Allah dalam kesatuan dengan perutusan Gereja;
mengembangkan ilmu dan teknologi di bidang pendidikan, keguruan, dan karya
pewartaan Gereja melalui penelitian dan pengembangan yang menghasilkan
karya akademik dan temuan-temuan; menerapkan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang berguna bagi pengembangan karya kerasulan dan pewartaan
Gereja sehingga menjadi Kabar Gembira bagi masyarakat; menjadikan
STKIP Widya Yuwana sebagai pusat informasi di bidang kajian katekese;
mengembangkan kerja sama dengan berbagai lembaga dalam rangka
pengembangan kependidikan, karya katekese, penelitian, dan pengabdian
masyarakat (bdk. STKIP Widya Yuwana, 2009:vii).
Dari visi dan misi yang telah disebutkan, mahasiswa diharapkan:
menguasai ilmu pendidikan dan keagamaan Katolik secara benar dan
bertanggung jawab, mampu mengaplikasikan ilmu yang dimiliki dalam
32
Aggiornamento Semangat Founding Fathers STKIP Widya Yuwana
hidup masyarakat; mampu menghasilkan karya ilmiah yang kontekstual
dalam perspektif pendidikan dan keagamaan Katolik; memiliki integritas diri
yang tinggi dan aspek moral dan etika (bdk. STKIP Widya Yuwana, 2019:13).
Dalam strategi pencapaian, pada bagian penataan integritas diri, mahasiswa
melaksanakan pembinaan yang berkelanjutan melalui rekoleksi dan retret;
melakukan evaluasi diri yang dibantu oleh pembimbing (bdk. Widya Yuwana,
2019:14). Visi dan Misi STKIP Widya Yuwana Madiun dapat diringkas
dengan beberapa poin penting seperti menguasai teori, membentuk pribadi
yang dewasa iman dan sebagai manusia seutuhnya, mampu melakukan
analisis dan menanggapi kebutuhan dan persoalan, serta menghasilkan karya
penelitian yang kontekstual bagi masyarakat.
Kedua, STKIP menghidupi visi itu dengan berbagai program yang
tentunya menjadikan seorang manusia unggul dan kontekstual khususnya
dalam bidang pendidikan keagamaan Katolik dan katekis. Itulah sebabnya,
keberhasilan pembinaan hingga menjadi katekis tidak pertama-tama
dipandang lembaga pada tinggi intelektual (IQ) tetapi pada proses. Kendali
pun begitu, lembaga STKIP Widya Yuwana tetap melakukan seleksi calon
secara baik, dengan identitas kenegaraan dan keagamaan yang dapat dipastikan
sebagai titik awal informasi tentang calon, yang kemudian diproses lembaga
dalam pembinaan personal. Proses pembinaan dilaksanakan berdasarkan
prinsip-prinsip Kristiani, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945, serta
kebudayaan bangsa Indonesia (bdk. STKIP Widya Yuwana, 2009:1).
Mahasiswa melewati proses pembinaan dan pendidikan diawali dengan
seleksi memadai, itulah sebabnya diadakan beberapa tes seleksi seperti logika,
questioner, wawancara, dan matrikulasi, dan sebagainya hingga OSPEK.
Seusai diterima sebagai mahasiswa, mahasiswa dibina dan dididik. Program
pembinaan meliputi pembinaan kepribadian, hidup rohani, intelektual,
kerasulan dan panggilan (bdk. STKIP Widya Yuwana, 2009:5). Pembinaan
dilaksanakan baik secara harian maupun berkala. Program pembinaan harian
dilaksanakan pada hari senin sampai dengan Sabtu. Pembinaan berkala
meliputi rekoleksi, retret, pelatihan, seminar dan sebagainya (bdk. STKIP
Widya Yuwana, 2009:5).
Bentuk perkuliahan terdiri dari perkuliahan teori yaitu perkuliahan
yang berupa pengkajian dan penguasaan teori; perkuliahan praktik atau
responsi yaitu kegiatan yang berupa pelatihan atau bantuan dari dosen untuk
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
33
mahasiswa dalam memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan teori;
praktik laboratorium studio, yaitu aplikasi atau pengujian teori dalam situasi
dan kondisi yang terbatas; program pengalaman lapangan (PPL) lingkungan
jemaat sekitar Madiun, maupun di stasi (di luar teritorial paroki di Madiun),
dan magang (KKN) 3 bulan di luar kota; pembinaan rohani, kepribadian dan
keterampilan (bdk. STKIP Widya Yuwana, 2009:pasal 7).
Spiritualitas Sosial-Kemasyarakatan Kaum Awam
Kaum awam didorong oleh Gereja untuk terlibat dan menghayati
panggilannya yang khas di dalam keduniawian (profan). Yohanes Paulus
II, dalam Pontificio Consilium pro Laicis, Testimoni di Cristo nella comunita
politica, menegaskan, “keterlibatan ... sosial merupakan bentuk perwujudan
dimensi sosial kasih Kristiani” (bdk. Olla. 2002:151). Sebelumnya, Bapak
Pendiri sudah menyadari pentingnya kaum awam dalam karya Gereja.
Oleh karena itu jugalah ia mendirikan lembaga ini. Ia pasti mengharapkan
supaya awam Katolik memiliki semangat hidup sosial yang tinggi. Berikut ini
diuraikan secara singkat spiritualitas sosial-politik.
Ada beberapa bentuk spiritualitas yang harus dipegang oleh umat
Katolik dalam keterlibatan sosial. Pertama, spiritualitas historis-inkarnatif,
adalah spiritualitas sosial-politik yang lahir dari keyakinan mendasar bahwa
Allah masuk dalam sejarah konkret manusia untuk menyelamatkan manusia
secara integral (bdk. Olla. 2002:58). Keyakinan akan penyelamatan Kristus
tidak dapat dibatasi dalam lingkup pengalaman interior atau batiniah saja,
melainkan mesti masuk dalam dimensi sosial-politik.
Kedua, spiritualitas kasih-inspiratif, adalah spiritualitas yang mendorong
umat terlibat dalam sosial-politik berdasarkan kasih. Hidup batin dan keterlibatan sosial-politik diukur dari pencerahan yang dialami ketika berhadapan
dengan masalah-masalah sosial-politik nyata (bdk. Olla. 2002:63). “Spiritualitas sosial-politik yang didasarkan pada kasih menjadi sumber pencerahan
dalam menghadapi masalah-masalah sosial-politis” (Olla. 2002:64).
Ketiga, spiritualitas bela rasa-memihak, adalah spiritualitas yang mendorong orang melayani masyarakat khususnya yang kecil dan tertindas.
Yesus prihatin dan mengidentikkan diri dengan mereka yang menderita dan
tersingkir. Seluruh hidup Yesus adalah inspirasi bagi spiritualitas politis yang
berbela rasa dan bersifat memihak kaum tertindas (bdk. Olla. 2002:65).
34
Aggiornamento Semangat Founding Fathers STKIP Widya Yuwana
Hidup sosial harus menguduskan hidup. Hidup sosial yang menguduskan
hidup memiliki syarat yaitu: Pertama, karya pelayanan sosial harus
mewujudkan iman yang sekuler, artinya memperjuangkan manusia dan
kepentingan umum, dan tidak secara langsung bergerak untuk kepentingan
penyelamatan Gereja. Semua orang Kristiani dipanggil dan didorong untuk
berjuang menghapus dan mengubah struktur kehidupan masyarakat yang
tidak melayani kepentingan umum (bdk. Olla, 2014:71). Kedua, pelayanan
sosial harus mengusung nilai-nilai moral, artinya moral menjadi syarat menghindarkan pelayanan sosial dari pragmatisme dan utopisme, sebab moral
bisa saja menjadi utopia dan dapat dibeli untuk kepentingan sendiri (bdk.
Olla, 2014:72-76). Ketiga, keterlibatan sosial-politik merupakan dorongan
cinta akan keadilan dan perdamaian. Kesucian hidup dalam pelayanan sosial
harus diwujudkan dengan memperjuangkan keadilan dan perdamaian (Olla,
2014:77). Keempat, petugas sosial harus mengabdi kepentingan umum.
Orang Kristiani ditantang bukan supaya menyangkal usaha orang Kristiani
untuk memperoleh afirmasi dari rakyat pemilih melainkan usaha menata
kecenderungan alamiah (mencari uang, takhta, dan popularitas) untuk
kebaikan yang lebih tinggi yaitu mengusung kepentingan umum di atas
kepentingan diri sendiri seturut kehendak Kristus (bdk. Olla, 2014:79-80).
Kelima, bila dalam pelayanan sosial dipercaya menjadi yang dituakan, ia
harus berkuasa melalui pelayanan kasih. Setiap petugas sosial Kristiani harus
belajar dari kepemimpinan Yesus yang melayani.
Iman sangat sulit sekali diukur. Salah satu cara mengukur kualitas iman
adalah dengan melihat praktik hidup dan keterlibatan dalam kehidupan
bersama di masyarakat. Ada beberapa peristiwa yang menunjukkan kualitas
iman atau keimanan seseorang. Pertama, adanya kerinduan untuk mengalami
keselamatan melalui sakramen permandian dan memperjuangkan rahmat
baptisan di tengah tantangan dan halangan dari masyarakat. Kedua,
merayakan iman dengan gembira, tidak terhadap kekuatan penguasa dunia,
melainkan mengalahkannya dengan kekuatan kebenaran dan keadilan. Ketiga,
iman dilihat juga dari ketaatan umat percaya kepada Gereja di mana Kristus
sebagai kepala dalam personalisasi imam-Nya. Keempat, memperjuangkan kebenaran dan keadilan dengan gerakan bersama (bdk. Tondowidjojo, 2001:57).
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
35
Penutup
Dalam rangka Dies Natalis STKIP Widya Yuwana, sebagai kampus
yang kita cintai bersama, hendaklah memperbarui semangat Bapak Pendiri
di dalam hati kita masing-masing. Pemahaman sejarah lembaga ini harus
sungguh dimengerti sebagai karya Allah yang belum selesai, dan kemajuan
serta perkembangannya dipercayakan kepada para pendidik, pengajar,
mahasiswa dan segenap warga kampus ini. Inti dari semangat awal pendirian
lembaga ini adalah mendidik tenaga awam yang berkecimpung dalam bidang
keagamaan dan sosial. Menyadari pentingnya mengetahui semangat awal
lembaga ini, diharapkan pada saat Masa Orientasi Pengenalan Kampus ada
alokasi waktu 1-2 sesi presentasi tentang sejarah STKIP Widya Yuwana
Madiun. Lembaga hendaknya tidak berfokus pada urusan administrasi, sosial,
takhta dan kekuasaan, soal uang, soal golongan dan lain-lain yang sifatnya
merusak dan melenceng dari roh awal lembaga ini didirikan. Sebagaimana
Gereja memahami bahwa harta Gereja adalah manusia dan keselamatannya
merupakan karya Roh demikian juga lembaga berfokus pada manusia dan
keselamatannya dalam bimbingan Roh Kudus pula. Mahasiswa, selama kuliah
di lembaga ini menyadari dan menghayati semangat itu dengan sungguh belajar
di lembaga ini yakni membentuk pribadinya menjadi anggota Gereja yang
pantas oleh Roh Kudus, dan berjiwa sosial (menyelamatkan) bagi sesamanya.
Mahasiswa diharapkan belajar sebagai proses hidup yang membahagiakan,
bukan sebagai momok yang membuat stres. Prinsipnya adalah membentuk
pribadi sebagai warga Gereja yang baik dan benar, membentuk pribadi
berjiwa sosial yang baik dan benar, baru kemudian menjadikan orang lain
sebagai warga Gereja, dan menjadikan orang lain berjiwa sosial.
36
Aggiornamento Semangat Founding Fathers STKIP Widya Yuwana
Daftar Pustaka
Anthony de Mello. 2005. Awareness: Butir-Butir Mutiara Pencerahan. Jakarta:
Gramdia Pustaka Utama.
Heuken, A. 1994. Ensiklopedi Gereja (IV Ph-To). Jakarta: Yayasan Cipta Loka
Caraka.
Komisi Kateketik KWI, 1997. Pedoman Untuk Katekis. Kanisius: Yogyakarta.
____________. 2005. Identitas Katekis di Tengah Arus Perubahan Jaman.
Jakarta: Komisi Kateketik KWI.
LAI. 2008. Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
Olla, Paulinus Yan. 2002. Spiritualitas Politik: Kesucian Politik dalam Perspektif
Kristiani. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
STKIP Widya Yuwana. 2009. Pedoman Mahasiswa Sekolah Tinggi Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Widya Yuwana Madiun. Madiun: STKIP Widya
Yuwana Madiun.
___________. 2019. Pedoman Akademik Program Studi Ilmu Pendidikan
Teologi. Madiun: STKIP Widya Yuwana.
Tondowidjojo, John. 2001. Sejarah Perkembangan Keuskupan Surabaya Jilid 4
A. Surabaya: Yayasan Sanggar Bina Tama.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
37
Spiritualitas Guru Agama Katolik
dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia
Mathias Jebaru Adon
Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana
Pendahuluan
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat kompleks dan heterogen
karena terdiri dari berbagai macam budaya daerah, etnis agama dan ras
namun satu jua dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika di bawah falsafah
negara Pancasila. Keanekaragaman ini menjadi kekayaan dan ciri khas bangsa
Indonesia di mata dunia. Kekayaan kebangsaan Indonesia tidak hanya tampil
dalam keanekaragaman budaya-budaya elit misalnya; musik klasik, opera,
teater serius, kesusteraan atau seni seperti; tarian-tarian etnis dan ritus-ritus
tradisional, hasil-hasil kerajinan eksotis dan berbagai artefak. Tetapi juga
dalam kekayaan kecakapan dan prestasi manusia Indonesia dalam menyiasati
hidupnya yang tersembul dalam kebijaksanaan lokal yang tersembunyi dalam
tradisi hidup sehari-hari, dalam mitologi, dalam sastra yang indah, dalam
bentuk-bentuk ritual penghormatan, dalam wujud nilai-nilai simbolik bentuk
rumah dan dalam “lokalitas” indah lainnya (Riyanto, dkk., 2015:29).
Nilai-nilai itu pada hakikatnya adalah aset bangsa yang sudah berabadabad hidup dan dihidupi oleh masyarakat Indonesia. Di sisi lain kekayaan
keberagaman ini sering kali dianggap sebagai ancaman bagi keutuhan bangsa
dan negara. Munculnya fragmentasi dan diferensiasi yang tidak terelakkan
menyebabkan ancaman bagi lemahnya integritas nasional. Hal yang sering
terjadi adalah pengaturan sebagai respon atas keberagaman sering menjadi
arena dominansi kebudayaan mayoritas. Akhirnya respons tersebut terjebak
dalam bentuk monokulturalisme. Ketika kebudayaan dipahami sebagai
sesuatu yang mandiri, utuh, murni, citra yang terbangun pada akhirnya
adalah sebuah pluralitas budaya yang terpisah satu sama lain. Pada gilirannya,
cara tersebut membentuk sebuah pengukuhan terhadap keterpisahan budaya.
Penafsiran yang salah terhadap semboyan Bhinneka Tunggal Ika dari
warisan Orde Baru merupakan kasus yang menggambarkan pengelolaan
38
Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia
multikultural yang mengabaikan pemahaman multikultural itu sendiri.
Akibatnya era pasca Suharto ditandai oleh lepasnya Timor-timur dari
pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terjadi kerusuhan di banyak
daerah disertai keinginan untuk merdeka lepas dari RI. Juga banyak bagian
dari suatu provinsi ingin membentuk provinsi baru tersendiri. Di Aceh dan
Papua tersulut untuk merdeka misalnya tidak pernah padam (Susilo, 2007:5).
Dominansi kebudayaan mayoritas, warisan dari persepsi dan pengelolaan Bhinneka Tunggal Ika yang kurang tepat di masa lalu berdampak pada
berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Senyatanya, sampai
hari ini, masalah SARA (suku, agama, dan ras) menjadi suatu titik yang sangat
rawan. Rawan karena kalau masalah ini disentuh sedikit saja, masalah
kemudian akan meledak dengan begitu besar. Masih hangat dalam ingatan
masyarakat Indonesia kasus penistaan agama yang dialami oleh Basuki
Tjahaja Purnama yang dituduh memelintir ayat Al-Quran, padahal ia
mengkritik kaum puritan yang menggunakan sentimen agama untuk
menjatuhkan lawan politik. Berulang kali media menyatakan bahwa pidato
Ahok bukanlah penghinaan terhadap agama (bdk. Majalah Tempo Edisi 1723 April 2017:29). Hal ini disebabkan karena adanya arogansi akibat dominasi
kebudayaan mayoritas yang menimbulkan kurangnya pemahaman dalam
berinteraksi dengan budaya maupun orang lain.
Kurangnya pemahaman multikultural yang komprehensif selanjutnya
menyebabkan degradasi moral generasi muda. Sikap dan perilaku yang
muncul sering kali tidak simpatik, bahkan sangat bertolak belakang dengan
nilai-nilai budaya luhur nenek moyang. Sikap-sikap seperti kebersamaan,
penghargaan terhadap orang lain, kegotongroyongan mulai pudar. Beberapa
kejadian pada masa lalu sampai saat ini bisa disebut dengan bahaya. Salah
satunya radikalisme yang akhir-akhir ini menjadi semakin kuat. Salah satu
penelitian yang diadakan oleh departemen Agama dan Wahid Foundation
menunjukkan adanya bahaya radikalisme ini di kalangan anak Sekolah
Menengah. Dari 1.626 murid yang menjadi responden, 41 persen menyetujui
Indonesia diubah menjadi negara Islam dan menggunakan konsep khalifah.
“Ada 60 persen responden menyatakan siap berjihad di masa mendatang,”
kata direktur Wahid Foundation Zannuba Arifah Chafasoh (bdk. Majalah
Tempo Edisi 19-25 Juni 2017:50).
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
39
Potensi radikalisme yang sedang marak ini di sisi lain bisa menimbulkan
bentuk radikalisme balasan. Radikalisme balasan itu berkembang dari
perasaan jengkel atau tidak suka dengan gerakan-gerakan atau konsepkonsep radikal yang sedang berkembang saat ini. Gejala ini sangat kentara
ketika orang mudah sekali tersinggung ketika disentuh, diejek atau pun
dicemoohkan dalam hal-hal tertentu yang terkait dengan suku, agama, dan
ras (Gaudiawan & Wijaya, 2018:206). Peristiwa kerusuhan asrama mahasiswa
Papua pada Agustus 2019 yang lalu, menjadi salah satu bukti bahwa persoalan
rasis dapat menyulut emosi massa yang besar.
Pengaruh perkembangan teknologi ditengarai turut mengaduk-aduk
kondisi sosial ini. Di media sosial, ujaran kebencian terhadap kelompok
tertentu, apalagi yang berbau radikal cenderung sangat kentara. Di media
sosial, bahkan berkembang istilah kaum bumi datar, kaum serbet, kaum
sumbu pendek, dan istilah lain yang mau mengejek kelompok-kelompok
masyarakat tertentu (Gaudiawan & Wijaya, 2018:212). Tidak dapat dimungkiri
di dalam kelompok umat Katolik sendiri, mulai berkembang ujaran kebencian
terhadap kelompok agama lain. Hal ini menguat karena situasi sosial politik
yang cenderung memanfaatkan sentimen agama, yang bila dibiarkan, NKRI
hanya akan menjadi catatan dalam sejarah.
Dengan fakta yang demikian, masyarakat Indonesia harus menerima
dan mengembangkan pendidikan multikulturalisme. Pendidikan multikultural adalah keseluruhan upaya pengembangan sikap dan perilaku
manusia untuk saling menghargai perbedaan dan keragaman dalam hidup
bersama di tengah masyarakat (Wilhelmus, 2018:14). Pendidikan ini
mempunyai arti dan peranan yang sangat penting dalam masyarakat
Indonesia yang multikultural, karena dapat membangun sikap saling
menerima dan menghargai satu sama lain. Pendidikan ini tidak mengakui
adanya dominasi budaya mayoritas dan tirani minoritas. Sekolah sebagai
salah satu lembaga formal pelaksanaan pendidikan mengorientasikan pada
pemahaman multikultural. Melalui proses pengajaran, sekolah menekankan
dan menanamkan bahwa keberagaman sebagai kekayaan bangsa yang pantas
untuk dipahami secara komprehensif (Kusmaryani, 2006:50).
Berhadapan dengan tuntutan ini, Gereja Katolik dituntut untuk ambil
bagian dalam usaha mewujudkan pelaksanaan pendidikan multikultural di
tanah air. Gereja Katolik selama ini memandang masalah multikultural atau
40
Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia
keberagaman menjadi suatu pembahasan yang penting. Sedemikian
pentingnya hal ini sehingga masalah keberagamaan dan persaudaraan antara
umat beragama disajikan dengan banyak muatan pada pembelajaran kelas
XII Sekolah Menengah Atas/Kejuruan (Gaudiawan & Wijaya, 2018:213).
Meski demikian tetap ada bahaya bahwa konsep-konsep agama Katolik
tentang multikulturalisme hanya berhenti pada pengetahuan semata, belum
menjiwai sanubari murid sehingga output-nya belum tampak.
Agar pendidikan multikultur dapat terlaksana di Indonesia, maka
diperlukan sebuah sinergi mulai dari kurikulum, materi ajar yang lebih
menekankan persatuan budaya di Indonesia, atau dengan mengadakan
kegiatan yang mencirikan kebudayaan masing-masing daerah di Indonesia.
Oleh karena itu, para pendidik diharapkan mampu menanamkan sikap
toleransi dan cinta kepada kebudayaan yang lain kepada peserta didik
(Permana, 2018:8). Dalam hal ini guru sebagai pendidik diharapkan memiliki
profesionalitas dalam mendidik dan kepekaan terhadap pluralisme bangsa.
Artinya dari seorang guru dituntut tidak hanya kecakapan ilmu tetapi juga
kreativitas dalam menerapkan bahan ajar yang dikonfrontasikan dengan
persoalan hidup bangsa saat ini.
Hal yang sama dituntut dari guru Katolik yang mengajarkan iman dan
ajaran Katolik memainkan peranan yang sangat penting dalam mewujudkan
pendidikan multikultural. Guru Katolik sebagai pendidik bukan hanya orang
profesional yang secara sistematis dan terampil yang dapat memindahkan
sekumpulan pengetahuan kepada siswa. Tetapi seorang yang menjadikan Injil
Kristus sebagai dasar dan sumber bagi segala usahanya demi perkembangan
siswanya menjadi manusia berkepribadian utuh, bertanggung jawab dan
sanggup memilih secara bebas. Selain itu seorang guru Katolik adalah seorang
yang mampu meresapkan Injil serta berani melaksanakannya dalam kehidupan nyata serta mampu menghubungkan imannya dengan kebudayaan
orang lain.
Untuk sampai pada tujuan besar ini, guru Katolik harus memiliki spiritualitas kristiani yang bersumber dari Kristus Sang Guru sejati yang
melayani dan mengajari semua orang dari berbagai penjuru tanpa pandang
bulu. Dengan semangat ini seorang guru agama Katolik lebih fleksibel,
terbuka pada pluralisme budaya, dan memiliki cakrawala yang luas tentang
pluralisme di Indonesia. Karena itu calon guru-guru agama Katolik dididik
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
41
dan disiapkan dengan matang mengenai ajaran iman Katolik yang benar dan
tepat, sehingga mereka dapat mendidik orang muda secara kreatif sesuai
dengan konteks Indonesia. Harapannya adalah terbangunnya sikap dan
perilaku moral yang simpatik dalam diri orang muda sehingga menjadi solusi
bagi permasalahan degradasi moral bangsa.
Berdasarkan hal tersebut tulisan ini akan menguraikan pertama-tama
bagaimana pendidikan multikultural dijalankan di Indonesia. Kedua,
profesionalitas dan spiritualitas guru agama Katolik dalam mengajarkan iman
Katolik. Dalam hal ini diandaikan calon-calon guru agama Katolik dipersiapkan secara matang, tidak hanya pengetahuan tentang ajaran iman Katolik
tetapi juga cara pandang Gereja Katolik berhadapan keanekaragaman budaya
bangsa-bangsa di dunia.
Pada bagian selanjutnya akan diuraikan bagaimana guru agama Katolik
memupuk spiritualitas kristiani dan menghayatinya dalam tugas perutusannya
sebagai murid Kristus yang diberi mandat Gereja untuk mengajar dan
mewartakan iman Katolik. Di sini guru agama Katolik berperan sebagai agen
pastoral diberi ruang yang luas bagi terciptanya pendidikan multikultural.
Penerapan Pendidikan Multikultural di Indonesia
Salah satu kenyataan sosial yang tidak dapat disangkal adalah adanya
keberagaman (diversity) di dalam masyarakat. Keberagaman tampak pada
adanya beberapa perbedaan seperti misalnya usia, ras, etnis, gender maupun
orientasi seksual. Kondisi ini menciptakan masyarakat yang multikultural. Di
Indonesia kesadaran multikultural sudah disadari sejak awal pembentukan
NKRI. Terdapat berbagai suku bangsa, agama dan ratusan dialek bahasa yang
tersebar di antara pulau-pulau yang terbentang antara benua Asia dan
Australia. Adanya sikap gotong royong, saling menghargai satu sama lain,
mendahulukan kepentingan bersama dan kebersamaan merupakan pola
perilaku yang mendarah daging kala itu. Itulah sebabnya para pendiri bangsa
menjadikan Pancasila sebagai Philosopische Grondslag.
Hal ini berbeda dengan sejarah bangsa lain yang terjadi sebagai akibat
dari adanya arus mobilitas dan informasi yang berkembang dengan pesat.
Apalagi globalisasi memberikan konsekuensi terciptanya dunia tanpa tapal
batas. Hubungan antar negara, antar daerah, antar budaya bahkan antar
42
Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia
individu begitu mudah. Nilai-nilai budaya dari luar tentu saja mengalir
mengikuti arus tersebut dan memberikan dampak baik positif maupun
negatif (Kusmaryani, 2006:50). Kemajemukan hidup masyarakat dan bangsa
ini mengharuskan masyarakat Indonesia untuk menerima dan mengembangkan pendidikan multikulturalisme.
Pendidikan multikultural awalnya merupakan gerakan reformasi pendidikan di Amerika Serikat untuk meniadakan (setidaknya mengurangi)
diskriminasi rasial dan etnis serta kultur yang ada, serta upaya agar semua
orang memperoleh kesempatan yang setara untuk mendapatkan pendidikan.
Pada saat itu, di Amerika Serikat sangat kental diskriminasi rasial, etnisitas,
dan kultural, bahkan gender bahkan masih tersisa hingga saat ini.
Prudence Crandall (1890) yang pertama kali mengembangkan pendidikan multikultural di Amerika, secara intensif menekankan pentingnya
pemahaman tentang latar belakang perbedaan budaya, etnik dan agama
seseorang dalam proses pendidikan di Amerika (Wilhelmus, 2018:14).
Gerakan pendidikan multikultural di Amerika tersebut sesungguhnya adalah
gerakan untuk mereformasi lembaga-lembaga pendidikan agar memberikan
peluang yang sama kepada setiap orang, tanpa melihat asal-usul etnis, budaya,
dan jenis kelaminnya, untuk sama-sama memperoleh pengetahuan,
kecakapan (skills), dan sikap yang diperlukan untuk bisa berfungsi secara
efektif dalam negara-bangsa dan masyarakat dunia yang beragam etnis dan
budaya. Waktu itu, di Amerika betapa sulitnya orang kulit berwarna
mendapatkan kesetaraan hukum, sosial, dan politik sebagai warga negara
Amerika Serikat. Mereka bisa secara hukum tersisihkan sebagai (untuk
menjadi) warga negara.
Berdasarkan hal itu, implementasi pendidikan multikultural di Indonesia
memerlukan pengkajian yang cermat dengan melihat realita kehidupan
bangsa, masyarakat, dan budaya Indonesia. Ada prinsip-prinsip umum yang
bisa diadopsi dari gerakan pendidikan multikultural Amerika Serikat, tetapi
ada yang tidak perlu menjadi bahan perhatian pendidikan Indonesia (Amirin,
2012:2). Dengan kata lain, jika pendekatan pendidikan multikultural akan
diimplementasikan di Indonesia, haruslah berdasarkan realita Indonesia dan
kearifan lokal (local wisdom atau indigenous knowledge) bangsa Indonesia
sendiri. Dalam lingkup yang luas berarti memperhatikan karakteristik bangsa
dan budaya Indonesia sendiri.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
43
Hal dengan sensitivitas tinggi di Indonesia adalah multireligi, bukan
multikultur. Benturan antar pemeluk agama, bahkan antar penganut mazhab,
aliran, atau sekte dalam satu agama sering terjadi. Penyerangan terhadap
jemaah Ahmadiyah di Lombok Timur pada Sabtu (19/5/2018) dan Minggu
(20/5/2018) oleh sesama umat muslim menjadi salah satu bukti. Faktor
benturan lain bisa beragam, bisa karena kepentingan politik, bisa karena
faktor in group dan out group yang terlampau kental. Demo besar-besaran
sebelum pilkada di Jakarta yang menuntut keadilan bagi Ahok karena dinilai
kelompok tertentu menista agama menunjukkan bahwa banyak orang begitu
gampang tersulut emosi dengan pernyataan-pernyataan yang berbau
sentimen agama, sehingga momentum ini dimanfaatkan oleh kelompok
tertentu demi kepentingan politik.
Konflik agama yang juga lazim muncul adalah karena adanya anggapan
penodaan kesucian agama, misalnya oleh aliran-aliran kepercayaan yang
mengatasnamakan agama. Konflik berdarah di Poso, Sampit, gerakan Papua
Barat merupakan beberapa peristiwa berdarah yang terekam dalam lembaran
sejarah Indonesia, sekaligus peristiwa yang tidak terlepas dari isu agama.
Berkaitan dengan kultur, sebagian besar kultur Indonesia merupakan isolated
culture yang jarang bersentuhan apalagi bersinggungan dengan budaya lain,
sehingga konflik budaya sangat amat jarang terjadi, seperti juga konflik etnis.
Jika ada konflik etnis, sebenarnya bukan karena etnisnya, melainkan karena
ada faktor lain (sengketa tanah, politik, persoalan pribadi, dan sebagainya)
(Amirin, 2012:2).
Karena itu, pendidikan multikultural di Indonesia lebih tepat jika dilakukan dengan pendekatan yang mengupayakan nilai-nilai budaya kedaerahan
(suku bangsa) dan agama di Indonesia dapat dipahami, dihargai, dan
dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan kebangsaan-kewarganegaraan
berlandaskan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” dan falsafah Pancasila,
dengan mengedepankan toleransi dan kerukunan antar budaya dan pemeluk
agama. Tilaar (2002) sebagaimana dikutip Ola Rogan Wihelmus (2018:15),
menegaskan bahwa program pendidikan multikultural tidak hanya terfokus
pada persoalan ras, agama dan budaya, tetapi juga menaruh perhatian pada
pendidikan antar-budaya. Pendidikan antarbudaya ini memberi penekanan
khusus terhadap pemberdayaan sikap saling mengerti dan toleransi antara
individu dan antara kelompok masyarakat.
44
Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia
Hal yang mesti disadari dalam pendidikan multikultural adalah bahwa
isu keberagaman perlu ditanggapi sebagai hal yang positif sebagai identitas
keunikan bangsa Indonesia di mata dunia, bukan sebagai ancaman.
Heterogenitas yang terjadi di masyarakat saat ini merupakan sebuah anugerah
atau kekayaan yang perlu dihargai dan dilestarikan. Harapan ini tentu saja
tidak akan dapat berjalan mulus tanpa ada upaya pembudayaan paradigma
mengenai keberagaman. Perubahan budaya tampaknya dimulai dari sekolah,
mengingat sekolah memiliki peran strategis dalam proses pembelajaran,
selain keluarga dan masyarakat (Kusmaryani, 2006:52).
Pendidikan diharapkan mampu memberikan wawasan baru yang dapat
menciptakan budaya baru yang bersikap toleran terhadap budaya yang lain.
Oleh karena itu, pendidikan berbasis multikultural akan menjadi salah satu
jalan untuk menanamkan sikap toleransi terhadap budaya yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia sekaligus memberikan pembelajaran agar peserta didik
mampu memahami dirinya, orang lain, lingkungan masyarakat serta segala
perbedaan yang ada di lingkungannya. Dengan cara ini seseorang dapat
bersikap toleran kepada semua perbedaan yang ada di lingkungan masyarakat
(Permana, 2018:4).
Menurut M. Amirin pendidikan multikultural Indonesia dalam implementasinya dapat dilihat atau diposisikan dalam 3 hal. Pertama, sebagai
falsafah pendidikan; yaitu pandangan bahwa kekayaan keberagaman budaya
Indonesia dimanfaatkan untuk mengembangkan dan meningkatkan sistem
pendidikan dan kegiatan belajar-mengajar di Indonesia guna mencapai
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Kedua, sebagai pendekatan
pendidikan kontekstual yang memperhatikan keragaman budaya Indonesia.
Ketiga, menjadi bidang kajian studi yang dibantu oleh sosiologi dan
antropologi pendidikan yang menelaah dan mengkaji aspek-aspek kebudayaan, terutama nilai-nilai budaya dan perwujudannya misalnya; norma,
etiket atau tata krama, adat-istiadat atau tradisi dan lain-lain (Amirin, 2012:6).
Hasil telaah dan kajian ini akan menjadi bidang studi yang diajarkan secara
operasional dan kontekstual kepada para calon pendidik yang mungkin akan
berhadapan dengan keragaman budaya.
Hambatan dalam pemahaman keragaman sering terjadi karena pemahaman multikultural yang tidak komprehensif seperti; Prasangka negatif
terhadap suku, ras, kebudayaan dan agama tertentu. Kesukuan, yaitu sikap
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
45
primordial yang cenderung superioritas yang menganggap rendah kebudayaan lain. Hal ini juga berkaitan dengan agama, etika sopan santun dalam
bertutur kata. Contoh; masyarakat dari kebudayaan Jawa memiliki kebiasaan
menerima dan memberi sesuatu selalu menggunakan tangan kanan. Bila
menggunakan tangan kiri, akan dianggap tidak sopan. Hal ini menjadi
kesulitan bagi orang dari luar Jawa misalnya Flores yang tidak memiliki
tradisi demikian. Sterotype, yaitu suatu pandangan yang cenderung negatif
terhadap kebudayaan lain yang diterapkan secara universal terhadap semua
anggota kelompok. Diskriminasi, perlakuan tidak ada terhadap individu atau
kelompok tertentu karena latar belakangnya, seperti; agama, budaya, ras dan
warna kulit. Gangguan, yaitu perlakuan tidak menyenangkan yang dilakukan
secara verbal maupun fisik seorang individu karena keanggotaan pada
kelompok tertentu.
Berhadapan dengan sikap primordial ini, dalam pendidikan multikultural
diterapkan penanaman moral kepada peserta didik, mengingat nilai-nilai
moral akan keberagaman sedang mengalami krisis yang berkepanjangan.
Karena itu, dalam pendidikan multikultural, nilai-nilai kesetaraan dan
kebersamaan perlu ditanamkan. Sikap superioritas terhadap budaya sendiri
perlu dihilangkan. Hal ini sering kali terkait dengan kesukuan, ras, agama,
jender dan sebagainya. Kelompok tertentu diharapkan tidak merasa lebih
tinggi dari kelompok lain. Sebaliknya dalam pendidikan multikultural kerja
sama dan kolaboratif dikembangkan secara aktif sehingga memberikan
kesadaran akan kesetaraan dan kebersamaan. Hal ini akan mendorong
seseorang membiasakan diri untuk berinteraksi dengan kelompok lain yang
memiliki perbedaan. Dengan cara ini seseorang akan belajar bagaimana
menyelesaikan tugas-tugas bersama-sama, meski dari kelompok yang
berbeda-beda (Kusmaryani, 2006:54).
Untuk mencapai tujuan tersebut dalam implementasinya pendidikan
multi-kultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:
1.
Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang
merepresentasikan pandangan dan perspektif berbagai kebudayaan
beserta landasan teori dan solusi.
Kurikulum dicapai sesuai penekanan analisis komparatif yang seimbang
dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
2.
46
Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia
3.
4.
Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinsip pokok
dalam memberantas pandangan tentang perbedaan ras, budaya dan
agama (Permana, 2018:9).
Dengan demikian arah dan manfaat pendidikan multikultural seperti
yang dikatakan oleh Ola Rogan Wihelmus, proses pendidikan dan
pembelajaran multikultural di Indonesia diarahkan kepada pengakuan
dan penghargaan seseorang terhadap realitas perbedaan yang ada di
tengah masyarakat demi terwujudnya kedamaian, ketenangan,
kerjasama, kemajuan dan kesejahteraan bersama. Seluruh proses
pendidikan multikultural karenanya didesain sebagai suatu sarana efektif
untuk menetralisir dominasi budaya dan etnik tertentu (Wilhelmus,
2018:15). Hal ini dapat dilakukan dengan pendidikan multikultural yang
ditanamkan kepada anak-anak lewat pembelajaran di sekolah maupun
di rumah. Pendidik dalam hal ini guru bertanggung jawab dalam melihat
perkembangan hidup mereka sehari-hari.
Pendidikan multikultural memang sebuah konsep pendidikan yang
dirancang dengan tujuan untuk menciptakan murid-murid yang menghargai
dan mengakui perbedaan ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya sebagai
suatu kekayaan. Selain itu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural
adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap
dan keterampilan yang diperlukan, dan berperan seefektif mungkin pada
masyarakat demokrasi pluralistik sehingga dapat berinteraksi, bernegosiasi,
dan berkomunikasi dengan warga dari kelompok masyarakat yang beragam.
Dengan begitu terciptalah sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan
mewujudkan kebaikan bersama (Permana, 2018:9). Karenanya aktivitas
mendidik atau pendidikan merupakan bagian integral dari kebudayaan.
Hal itu berarti dalam aktivitas didik mendidik pendidik (guru) mesti
melaksanakan pembelajaran yang kreatif joyful learning. Pembelajaran kreatif
dan menyenangkan dalam pelaksanaannya memang memerlukan berbagai
keterampilan. Keterampilan mengajar merupakan kompetensi profesional
yang cukup kompleks, sebagai bagian integrasi dari berbagai kompetensi
guru secara komprehensif holistik (Kosasih, 2010:261). Karena itu, pada
bagian selanjutnya akan dibahas profesionalitas dan Spiritualitas Guru dalam
mewujudkan pendidikan Multikultural.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
47
Spiritualitas dan Profesionalitas Guru Katolik
dalam Pendidikan Multikultural
Proses pendidikan dan pembelajaran multikultural di Indonesia
diarahkan pada penanaman nilai-nilai dan cara hidup yang jujur, toleran,
saling menerima, menghormati dan menghargai di tengah masyarakat
Indonesia yang pluralistik. Hal ini menjadi angin segar karena konflik antar
etnis, agama dan budaya telah menciptakan ketakutan luar biasa dalam hidup
masyarakat Indonesia. Fenomena demonstrasi 411 dan 212 di Jakarta tahun
2016 oleh banyak kalangan dinilai sebagai sesuatu yang memprihatinkan.
Peristiwa itu menegaskan kalau Indonesia tidak lagi dapat menjadi contoh
bagi dunia tentang toleransi. Situasi ini menjadikan pendidikan multikultural
menjadi hal yang mendesak untuk dilaksanakan guna menyelamatkan situasi
bangsa yang mengalami degradasi.
UU No. 20 tahun 2003, Pasal 4 ayat (1) tentang Sistem Pendidikan
Nasional menyebutkan, “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.” Dari sini
ditarik kesimpulan bahwa pendidikan multukultural menjadi salah satu
perhatian di dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Cita-cita akan
terwujud jika guru selaku unsur penting dalam pendidikan memiliki landasan
dan pemahaman yang memadai menyangkut pluralisme bangsa. Dalam
undang-undang No. 20 tentang Sisdiknas, guru , dosen, konselor, dan pamong
belajar, adalah tenaga berkualitas yang bertugas mendidik, mengajar dan atau
melatih secara penuh pada unit instansi pemerintahan atau dan pelatihan
seperti tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan
kekhususannya.
Dalam pendidikan multikultural tugas utama itu akan menjadi efektif
bila guru mempunyai profesionalitas kebangsaan sesuai kompetensi disertai
dengan kode etik. Menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 kompetensi yang harus dimiliki guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Empat
kompetensi itu dalam praktiknya merupakan kesatuan utuh. Sebagaimana
dari namanya guru adalah orang yang digugu dan ditiru. Guru adalah
metafora peralihan dari kegelapan (Gu) menuju terang (Ru). Demikian juga
dalam pendidikan multikultural anak-anak didik dan disadarkan dari cara
48
Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia
berpikir yang ekslusif tentang diri, kelompok, agama kepada cara berpandang
yang inklusif yang terbuka pada kebudayaaan lain. Di sinilah tugas utama
seorang guru membantu anak didik menjadi manusia utuh dan membebaskan
manusia dari kegelapan menuju terang. Seorang guru karenanya memiliki
kepercayaan dan profesionalitas dalam sikap dan perilaku.
Dengan kata lain, pandangan yang melihat bahwa guru itu mencari uang,
tentu keliru. Harus diakui menjadi seorang guru yang melayani sepenuh hati
tidaklah mudah. Berbagai tantangan harus siap dihadapi dan diatasi seorang
guru seperti melayani semua lapisan masyarakat tanpa pandang bulu. Seorang
guru tidak hanya mengajar dengan kata-kata tetapi juga sejalan dengan sikap,
tingkah laku dan perbuatannya sehari-hari yang menghargai keunikan dan
keberagaman siswa. Dan yang tidak kalah penting adalah memperlakukan
secara adil bagi setia siswa. Profesionalitas panggilan tersebut akan terintegrasi
dalam diri seorang guru jika guru tersebut menghayati spiritualitas guru.
Spiritualitas Guru
Spiritualitas berasal dari kata latin “spiritus” yang berarti semangat,
spirit, jiwa, atma, sukma, roh. Sedangkan kata spiritual berarti kejiwaan,
rohani batin, mental dan moral (KBBI). Spiritualitas ini dapat dimiliki oleh
semua kelompok atau golongan yang sedang berjuang untuk mencapai tujuan
atau cita-cita mereka. Spiritualitas seorang guru diwujudkan dalam penghayatan profesionalitas guru. Profesionalitas itu sebagaimana diungkapkan
dalam UU Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen dikatakan bahwa
profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan yang didalamnya
terdapat tugas tugas dan tanggung jawab (terhadap Tuhan dan sesama
manusia) yang harus diemban berdasarkan keahlian di bidang pekerjaannya,
yang mampu mengembangkan karya secara ilmiah serta mampu menekuni
profesinya selama hidupnya. Pokok pikiran tersebut dapat pula disarikan
menjadi tiga hal yang terkait dengan profesionalitas guru yaitu: (a) Keahlian,
(b) Komitmen dan (c) Keterampilan (Salikin, 2011:259). Profesi sendiri harus
dipahami sebagai suatu pekerjaan di mana membutuhkan keahlian khusus
dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Mengingat guru adalah
sebuah profesi yang membutuhkan keahlian khusus maka menjadi guru juga
dituntut profesionalisme kerja (Gaudiawan & Wijaya, 2020:102).
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
49
Dengan profesionalitas ini, guru ditantang menumbuhkan kecakapankecakapan yang harus dimiliki siswa dalam menghadapi problem kehidupan
plural. Ini mengandaikan guru sendiri memiliki kemampuan profesional
dalam menciptakan pembelajaran yang berkualitas (Priatna, 2011:2).
Guru yang profesional dalam mendidik memiliki karakteristik sebagai
berikut. Pertama, dedikatif dan komitmen terhadap panggilan mengajar dan
kesetiaan dalam proses dan hasil kerja, serta sikap continuous improvement
(kemajuan berkelanjutan). Kedua, keahlian dalam menguasai ilmu yang
diembannya dan kecakapan mengembangkannya, serta kemampuan menjelaskan fungsinya dalam kehidupan nyata. Artinya guru tidak hanya menjelaskan dimensi teoritis suatu ilmu melainkan juga praksisnya, atau tidak
hanya melakukan transfer ilmu/pengetahuan tetapi juga internalisasi, serta
implementasinya. Ketiga, menyiapkan peserta didik agar kreatif serta mampu
mengatur dan memelihara hasil kreasinya agar tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya sendiri, masyarakat, dan sekitarnya. Keempat, guru menjadi model atau sentral identifikasi diri, atau menjadi panutan, teladan, bagi
peserta didiknya. Kelima, seorang guru memiliki kepekaan intelektual dan
informasi, serta meng-update pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan sesuai dengan tuntutan zaman. Keenam menghidupkan dan
menggerakkan serta memberikan daya tahan dan kekuatan kepada setiap
peserta didik sehingga mampu melaksanakan tugas sesuai tanggung jawab
masing-masing.
Dengan spiritualitas profesional ini setiap guru menyadari bahwa dirinya adalah pribadi yang dipanggil mendampingi dan menemani peserta didik
dalam proses belajar. Ia terus-menerus mengembangkan pengetahuannya
tentang bagaimana peserta didik harus belajar. Perwujudannya, jika terjadi
kegagalan pada peserta didik, guru terpanggil untuk menemukan akar penyebabnya dan mencari solusi bersama peserta didik, bukan mendiamkannya
atau malahan menyalahkannya.
Spiritualitas Guru Katolik
Di awal tulisan ini telah diungkapkan bahwa bangsa Indonesia sedang
mengalami degradasi dalam hal toleransi. Media sosial dan ruang-ruang
publik diwarnai dengan berbagai aksi ujaran kebencian, hujatan terhadap
50
Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia
tokoh dan keyakinan lain, yang berpotensi menimbulkan konflik. Perbedaan
agama, mazhab, suku dan pandangan politik adalah beberapa alasan yang
melegalkan aksi intoleransi. Persoalan ini merupakan masalah serius karena
dapat merusak tatanan, juga harmoni hidup berbangsa dan bernegara. Boleh
dikatakan Indonesia saat ini berada dalam posisi darurat toleransi. Sikap
intoleransi bahkan merambah ke sekolah-sekolah negeri. Kewajiban berjilbab
dan intimidasi terhadap keyakinan murid non-muslim adalah contoh yang
kini berkembang di sekolah-sekolah di tanah air. Murid-murid dari kepercayaan lain termasuk sekolah Katolik pun tidak tinggal diam, melakukan
intimidasi balasan dalam bentuk ujaran kebencian yang berseliweran di
media sosial. Berhadapan dengan kecenderungan ini guru Katolik menjadi
ujung tombak perubahan murid.
Tugas guru untuk mengajar pendidikan agama memang tidak mudah.
Seorang guru agama dituntut tidak hanya memiliki semangat profesionalitas
sebagai guru tetapi juga semangat imannya. Alih-alih memecahkan masalah
bangsa, pendidikan agama justru menjadi bagian dari fanatisme agama yang
kerap kali menjadi sumber konflik. Pendidikan agama yang sifatnya eksklusif
ternyata belum memekarkan semangat hidup bersama yang inklusif
(Dewantara, 2015:641).
Berkaitan dengan hal itu, guru Katolik dituntut mendalami spiritualitas
sehingga dapat melihat profesi mengajar sebagai suatu panggilan untuk
melayani Gereja, sekolah, siswa dalam rangka terciptanya masyarakat yang
damai dan harmonis. Spiritualitas itu menjadi roh yang menghidupkan dan
menggerakkan serta memberikan daya tahan dan kekuatan kepada setiap
guru agama sehingga mampu mendidik muridnya di tengah pluralisme
bangsa. Spiritualitas guru Katolik mesti bersumber pada katekis ulung yakni
Yesus Kristus. Dialah Guru Sejati, Gembala Agung yang mengajar dengan
sempurna baik perkataan dan perbuatan kepada umat-Nya.
Kesadaran itu diungkapkan guru agama Katolik dalam kesadaran bahwa
panggilannya sebagai guru Katolik bertumpu pada Sabda Allah, dan dalam
kesetiaan pada tradisi Gereja sehingga dapat mendidik murid-murid dengan
tepat. Dalam melaksanakan tugasnya seorang guru agama Katolik mempunyai
peran yang ganda yaitu, sebagai pendidik dan pewarta. Pendidik adalah orang
dewasa yang bertanggung jawab terhadap perkembangan dan kesejahteraan
anak. Sebagai seorang pewarta berarti guru agama yang dalam hal ini sebagai
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
51
pendidik menjalankan amanat Yesus. Selain itu, nilai-nilai yang diajarkan
diungkapkannya secara konkret melalui peri hidupnya sehari-hari.
Dalam pelaksanaan tugas sebagai pendidik, guru-guru agama Katolik
hendaknya bekerja sama, terutama dengan para orang tua, masyarakat dan
berusaha membangkitkan dalam diri siswa kemampuan bertindak secara
mandiri, dan juga setelah para siswa tamat para guru tetap mendampingi
mereka dengan nasihat-nasihat. Inilah spiritualitas panggilan guru agama
Katolik. Panggilan guru Katolik dapat dirangkum sebagai berikut:
1.
Agen Pastoral
Dalam tradisi Gereja Katolik, guru adalah orang yang dipanggil dan
diutus Tuhan sendiri. Pribadi yang karena baptisan bersatu dengan
Kristus dan ia adalah umat Allah atau warga Gereja yang ambil bagian
dalam Tri Munera Christi: imam, nabi dan raja (LG 31). Pendidik yang
terlibat aktif dalam pewartaan Gereja: teladan, pemberi kesejukan, jaga
rahasia; saksi nilai-nilai kristiani, aktif dalam evangelisasi dan jadikan
Gereja lebih Misioner. (GE 5) Singkatnya, guru Katolik adalah pribadi
yang memiliki spiritualitas Katolik yang baik (Sinurat, 2019).
Berdasarkan tugas mulia ini guru agama Katolik dengan sendirinya
menjadi agen pewarta atau sebagai misionaris yang melaksanakan
misinya di sekolah maupun dalam hidup bersama di tengan masyarakat.
Keterlibatan guru agama Katolik dalam dunia pendidikan masyarakat
membuat mereka dengan sendirinya menjadi agen pastoral. Keterlibatan
mereka membawa kabar baik karena membawa pembaruan hidup umat
di sekitar mereka. Guru agama sebagai agen pastoral di sekolah
memainkan peran yang amat penting dalam pewartaan iman bagi
peserta didik. Berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan multikultural,
guru Katolik hendaknya selalu bertumpu pada Kitab suci.
Perjanjian Baru mencatat salah satu inti utama pengajaran Tuhan
Yesus yang berkaitan dengan toleransi adalah mengasihi sesama manusia
seperti diri sendiri. Tuhan Yesus dalam pengajaran-Nya menempatkan
manusia sebagai sesama yang harus dipandang dan diperlakukan sebagai
objek kasih. Ukuran perlakuannya pun tidak mengenal batas agama,
suku dan ras tetapi didasarkan pada kasih (Butar-Butar, dkk. 2019:93).
Sebagai agen pastoral sekolah tugas yang diemban oleh guru sebagai tim
52
Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia
pastoral sekolah, antara lain: menyebarluaskan pengetahuan dan pemahaman akan keberagaman manusia sebagai anak-anak Allah. Memberi
inspirasi, membangkitkan motivasi dan mempertahankan semangat
cinta kasih sebagaimana diajarkan Kristus, serta mengusahakan terwujudnya pelaksanaan pendidikan multikultural.
2.
Guru Katolik sebagai Pendidik dan Rasul
Panggilan untuk mengajar adalah panggilan untuk memberi teladan
yang dimulai dari diri sendiri. Maka setiap guru Katolik perlu menyadari
bahwa panggilan menjadi guru tentu karena hikmat dari Allah. Guru
melayani murid karena panggilan yang dimandatkan kepadanya sebagai
hikmat dari Tuhan. Maka cara hidup guru harus baik, karena menjadi
ukuran untuk orang lain. Perlu menjadi kesadaran bahwa siswa belajar
kadang-kadang bukan karena tertarik kepada pelajaran tetapi pertamatama kepada gurunya. Maka, guru memang harus menjadi teladan.
Sebagai rasul guru Katolik pertama-tama mengenal Yesus (Mrk 8:
27-29). Pertanyaan Yesus, “Siapakah Aku?” merupakan pertanyaan yang
mesti dijawab oleh guru Katolik. Menjawab pertanyaan ini berarti seorang guru Katolik memiliki pemahaman yang cukup dan komprehensif
mengenai iman dan ajaran Katolik, baik magisterium Gereja maupun
warisan Tradisi Gereja universal, dan yang terutama mengenal adalah
sabda serta visi dan misi Yesus. Seorang guru Katolik yang baik adalah
seorang yang mampu menjelaskan ajaran iman Katolik secara lugas.
Menjadi rasul juga berarti berusaha untuk menjadi seperti/serupa
dengan-Nya. Mengenal keprihatinan Yesus. Hal ini akan terjadi jika guru
Katolik membangun hidup berpolakan pada pribadi Yesus Kristus yang
berani memperjuangkan keadilan dan perdamaian. Berkaitan dengan
panggilan guru di tengah pluralisme bangsa Indonesia, guru Katolik
dipanggil mengikuti teladan para rasul yang berani mewartakan dan
menghidupi Injil di berbagai tempat yang mereka kunjungi.
3.
Guru Katolik sebagai Katekis
Panggilan menjadi Katekis pada dasarnya adalah panggilan semua
umat beriman kristiani yang telah dibaptis. Berkat pembaptisan semua
murid Kristus dipanggil dan diutus Allah menjadi pewarta Sabda. Tugas
mewartaan Sabda Allah adalah konsekuensi panggilannya sebagai
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
53
murid-murid Kristus. Hal itu diperintahkan oleh Yesus kepada muridmurid-Nya: “Pergilah jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah
mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka
melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu (Mat
28:19).
Dalam pelaksanaan tugas pewartaan ini pastor paroki adalah Katekis
utama (Katekis dari para Katekis) dalam parokinya yang bertugas
mengajar agama dan moral kristiani kepada umat yang dipercayakan
kepadanya. Sering Pastor sibuk dan kurang waktu bagi pembinaan, maka
Katekislah yang mengajar umat beriman. Katekis adalah umat awam
yang telah melalui pembentukan/kursus dan hidup sesuai dengan Injil.
Secara ringkasnya, Katekis adalah seorang yang telah diutus oleh Gereja,
sesuai dengan keperluan setempat, yang bertugas membawa umat untuk
lebih mengenal, mencintai dan mengikuti Yesus. Itulah sebabnya seorang
guru yang mengajar iman Katolik adalah seorang Katekis. Selain karena
pengetahuan yang dalam dan komprehensif tentang iman Katolik
seorang guru agama Katolik adalah seorang yang telah diuji kualitas
kekatolikkanya.
Dalam pelaksanaan sebagai Katekis seorang guru Katolik bukan saja
memberi katese bagi para orang tua tetapi mulai dari anak-anak sampai
dengan kakek-nenek, semua usia, semua golongan agar iman yang telah
mulai tumbuh pada waktu pembaptisan semakin berkembang menjadi
dewasa. Sebab katekese adalah sebuah proses pengajaran agama dan
moral kristiani kepada umat. Tujuannya adalah agar umat beriman
semakin diteguhkan, diperkaya, dibarui sehingga mampu menjadi saksi
dari ajaran-Nya.
Tujuan katekese tercapai bila Katekis tidak hanya memberi pengetahuan ajaran, informasi, gagasan melainkan juga kesaksian hidup dari
Katekisnya. Maka dengan momen katekese ini diharapkan setiap pribadi
umat sungguh mengalami perkembangan iman ke arah yang semakin
dewasa. Dengan katekese, umat makin bersatu dalam Kristus, makin
menjemaat, makin tegas mewujudkan tugas Gereja setempat dan mengokohkan Gereja semesta sehingga sanggup memberikan kesaksian
tentang Kristus dalam hidup.
54
Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia
Berkaitan dengan kemajemukan bangsa Indonesia, tugas seorang
Katekis dalam berkatekese hendaknya mengikuti sikap Yesus yang
menghormati dan menghargai keyakinan orang lain. Sumber utama
masalah kemajemukan adalah sikap menganggap agama dan keyakinan
sendiri yang paling baik, paling benar, paling sempurna. Akibatnya
memandang rendah ajaran, agama dan keyakinan orang lain. Yesus
dalam hidupnya sangat menghormati Hukum Taurat yang menjadi dasar
dan landasan dari kehidupan Orang Yahudi. Dengan tegas Tuhan Yesus
menyatakan sikap dan pandanganNya terhadap hukum Taurat sebagai
dasar keyakinan iman orang Yahudi. Yesus berkata bahwa tujuan
kedatanganNya bukan untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para
nabi. Tetapi tujuan kedatanganNya melainkan untuk menggenapinya
(Matius 5:17). Tuhan Yesus menjelaskan tentang posisi hukum Taurat
dalam pandanganNya. Bahkan satu iota atau satu titikpun tidak akan
ditiadakan dari Hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi (Matius 5:1718). Lebih lanjut Ia mengatakan barang siapa yang meniadakan salah
satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan
mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat
yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan
dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan
menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga (Matius 5:19).
Memelihara Spiritualitas Guru Katolik
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya panggilan guru Katolik dalam
mendidik tidak hanya terbatas pada penyaluran informasi sebanyakbanyaknya dari guru kepada murid. Guru Katolik dalam proses mendidik
juga membekali dan membentuk iman dan spiritualitas muridnya. Iman dan
spiritualitas ini tidak saja mencakup pengajaran agama secara teoritis, tetapi
juga pembentukan watak, karakter dan moralitas tiap-tiap murid sehingga
murid mampu beradaptasi di tengah masyarakat yang plural.
Melalui spiritualitas yang ditularkan guru, tindakan dan pola prilaku
murid dapat beradptasi di tengah pluralisme bangsa. Maka menghidupi
spiritualitas sangatlah penting bagi setiap guru. Dengan demikian setiap guru
mampu memberi perubahan dalam dunia pendidikan. Karena itu, dengan
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
55
penghayatan spiritualitas, guru Katolik tidak hanya sekadar hadir namun
memberi diri dan hati sehingga sungguh menyentuh kedalaman hidup
muridnya. Tanpa spiritualitas, guru tidak mungkin menjalankan misi untuk
mewujudkan visi kedatangan Kerajaan Allah.
Spiritualitas iman Katolik yang ada dalam diri guru Katolik merupakan
buah karya Roh Kudus. Oleh sebab itu, guru-guru Katolik diberi tanggung
jawab untuk menjaga dan mengembangkan spiritualitas yang dikaruniakan
oleh Allah kepada mereka, seperti dalam perumpamaan hamba-hamba yang
diberi talenta (Mat 25:14-30).
Guna memelihara spiritualitas itu guru Katolik senantiasa mengarahkan
pandangannya kepada Yesus Kristus, Sang Guru Agung, melalui;
1.
Doa
Doa menjadi unsur hakiki panggilan guru Katolik. Kekhususannya
sebagai pendidik terletak pada penghayatan hidup rohaninya. Sebab
ilmu yang diajarkannya bukan ilmu biasa tetapi hal-hal yang menyangkut
iman. Doa memang terkesan sederhana tetapi memberikan pengaruh
besar bagi spiritualitas guru agama Katolik. Hal ini penting karena
sebagai seorang Katolik, para guru harus menjalin relasi dan berkomunikasi dengan Allah. Salah satu jalannya adalah dalam doa. Untuk lebih
mengenalnya guru agama Katolik rajin dan tekun mengikuti perayaan
Ekaristi. Yesus dalam pengajaran dan pewartaan-Nya menempatkan doa
sebagai hal yang pertama (bdk. Mrk 1:36, 6:46, 9:29, dsb.).
2.
Lectio Divina (Meditasi dan Kontemplasi) Sabda Allah
Spiritualitas guru Katolik pertama-tama bersumber pada Yesus
Kristus, Sang Gembala agung yang mengajar dengan sempurna baik
perkataan dan perbuatan diungkapkan oleh guru agama Katolik adalah
kesetiaannya terhadap Sabda Allah. Karena itu, setiap guru perlu
melakukan Lectio Divina (meditasi dan kontemplasi) yang dilakukan
secara teratur dan terencana. Dengan Lectio Divina guru agama Katolik
dapat mengolah, menyadari dan merasakan keterlibatan Sabda Allah
yang menjadi pokok pengajarannya. Meditasi dan kontemplasi dapat
dilakukan secara pribadi atau bersama-sama dengan murid 5-10 menit
sebelum pelajaran dimulai. Tanpa pengolahan meresapkan Sabda Allah,
guru Katolik akan kehilangan arah dan kekuatan.
56
Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia
3.
Kepekaan atau Keprihatinan Sosial
Sabda Allah yang sungguh direnungkan secara pribadi atau
kelompok akan membuka hati seseorang sehingga hatinya peka dengan
keprihatinan sosial. “Sabda Allah itu seperti hujan dan salju yang turun
dari langit dan tidak kembali ke situ, melainkan mengairi bumi,
membuatnya subur dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberikan benih kepada penabur dan roti kepada orang yang mau makan”
(bdk. Yes 55:10). Sebab itu, hasil lectio divina harus diwujudkan dalam
suatu tindakan nyata berupa kepedulian atau keterlibatan sosial. Sabda
Allah baru akan menjadi sumber spiritualitas apabila ia berfungsi
menjadi inspirasi bagi setiap kepedulian dan tindakan sosial.
4.
Sharing Kitab Suci
Sharing Kitab Suci dalam kelompok adalah unsur penting untuk
memupuk spiritualitas. Tujuannya untuk saling menguatkan, memberikan ilham dan inspirasi satu sama lain. Dan yang penting untuk saling
menopang sangatlah berguna dalam menghadapi krisis spiritualitas.
Melalui sharing dan berbagi pengalaman, guru Katolik memberi solusi
atas tantangan-tantangan hidup yang sedang dialami. Sharing ini dapat
dilakukan antara sesama guru, dengan murid atau dalam keluarga.
5.
Mempertajam Visi Pelayanan
Selain membaca dan merenungkan Sabda Allah, Guru Katolik perlu
mempertajam visi pelayanan dengan membaca buku, mengikuti diskusi
atau mengikuti seminar-seminar. Membentuk komunitas yang dijiwai
semangat para rasul. Sebab kesendirian dalam perjuangan sering
menyebabkan orang mudah patah semangat.
Mencetak Guru Katolik yang Memiliki Semangat Pluralisme
Esensi dasar perilaku multikulturalisme adalah sikap saling mengerti
dan saling memahami antarsesama manusia. Adapun proses untuk membangun pengertian dan pemahaman tersebut dapat dimulai dari penciptaan
kohesivitas dan inklusi sosial dalam bentuk transfer pengetahuan. Oleh
karena itu, pendidikan menjadi wahana yang sangat penting untuk mewujudkan kohesivitas dan inklusi sosial. Pendidikan semacam ini menjadi landasan
pendidikan multikultural. Dalam pendidikan multikultural diciptakan rasa
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
57
nyaman dan tentram sehingga membentuk mekanisme pertahanan diri
peserta didik dalam pengalaman dan perjumpaan berbagai budaya.
Guru sebagai ujung tombak pendidikan multikultural mesti dibimbing
dan dididik untuk merumuskan serangkaian konsep, petunjuk tingkah laku
dan arena yang secara resmi diformulasi melalui kurikulum, regulasi dan
metode pembelajaran siswa. Kurikulum dan metode pembelajaran semacam
ini hendaknya menjiwai seluruh bahan pelajaran, dengan tetap mempertahankan disiplin ilmu yang diajarkan. Maksudnya, setiap materi pelajaran yang
diajarkan mengedepankan isu keberagaman yang menjadi inti dari pendidikan
multikultural. Isu keberagaman hendaknya mendapat porsi yang lebih banyak
dalam pendidikan agama. Dalam pelaksanaan pun sebaiknya pendidikan
agama menekankan pada penanaman moral dibandingkan dengan pola-pola
pendidikan birokratis yang lebih mengorientasikan pada tampilan kecerdasan
pikiran.
Hal yang sama berlaku bagi pelajaran agama Katolik dibutuhkan kreativitas dan sensitivitas mengenai isu keberagaman bangsa. Sensitivitas ini
dibangun sesuai ajaran dan teladan hidup Tuhan Yesus Kristus. Pengajaran
Tuhan Yesus tentang toleransi, sikap dan ajaran Gereja Katolik mengenai
toleransi harus menjadi bahan pelajaran agama Katolik di sekolah. Karena itu
pendidikan dan kurikulum pendidikan guru agama Katolik dirancang untuk
memenuhi tujuan tersebut. Calon guru Katolik yang baik tidak hanya
memiliki pengetahuan yang luas mengenai isi dan ajaran Katolik tetapi juga
kepekaan sosial mengenai isu keberagaman yang menjadi salah satu isu
penting bangsa Indonesia saat.
Sehubungan dengan itu, maka pembelajaran multikultural perlu
diberikan juga bagi para calon guru agama Katolik. Melalui pembelajaran
multikultural diharapkan para calon guru lebih peka dengan keberagaman
bangsa sehingga kehadirannya sangat kontekstual. Pembelajaran multikultural
dapat dilakukan dengan mempelajari beberapa mata kuliah yang berhubungan
dengan keberagaman dan sikap Gereja mengenali keberagaman, seperti
dialog intereligius, filsafat perbandingan agama, kearifan lokal Pancasila dan
teologi konteks.
Harus diakui, beberapa mata kuliah ini sudah diajarkan di berbagai
perguruan tinggi entah negeri atau swasta tetapi kerap hanya pada unsur
kognitif, belum dijiwai dan membentuk pola pikir mahasiswa sehingga
58
Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia
output-nya belum tampak. Akibatnya ketika harus membimbing siswa, tingkat kepercayaan guru saat mengajar tidak tampak. Siswa yang dibimbing
kehilangan roh soal keberagaman. Tidak mengherankan jika kemudian
radikalisme dan intoleransi berkembang subur di kalangan siswa menengah.
Menjawab persoalan tersebut, bagian ini akan membahas bagaimana
nilai multikultural dijalankan dalam mata kuliah-mata kuliah ini di perguruan tinggi. Pembahasannya pun tidak disasar dari bahan kuliah bersangkutan tetapi bagaimana agar mata kuliah yang bersangkutan di
integrasikan dalam kehidupan mahasiswa calon guru Katolik.
1.
Dialog Intereligius
Dalam kuliah Dialog Intereligius para mahasiswa tidak hanya
dibekali dengan pengetahuan tentang bagaimana dialog intereligius itu
dijalankan, dasar teologi ajaran Gereja tentang dialog Intereligius tetapi
bagaimana mahasiswa dituntun untuk memahami semangat dan roh
dialog intereligius, panggilan dan perutusan orang kristiani untuk
berdialog. Semangat dasar dialog diperoleh jika dialog intereligius
dikembalikan pada cara Allah berdialog yang tampak dalam cara Yesus
berdialog. Ketika semangat dasar ini di pegang mahasiswa maka akan
memudahkan baginya untuk berkreativitas tanpa terpaku pada
metodologi dan cara-cara lama yang kadang-kadang usang.
Di sini mahasiswa diberi ruang seluas-luasnya untuk menemukan
dialog yang cocok sesuai dengan konteks sosial masyarakat tempat
asalnya. Untuk mempertajam pemahamannya dari mahasiswa dituntut
untuk mengadakan riset dialog. Riset yang dijalankan sebaiknya tidak
hanya didasarkan pada studi Pustaka atau komparatif tetapi pada juga
pada keterlibatan nyata dalam kehidupan sehari-hari mahasiswa
bersangkutan. Dengan cara ini mahasiswa tidak hanya memiliki
pengetahuan teoritis tentang dialog tetapi juga cara praktis berdialog.
2.
Filsafat Perbandingan Agama
Filsafat perbandingan agama tidak mempunyai kepentingan untuk
membandingkan agama atau aliran kepercayaan satu dengan yang lain.
Filsafat perbandingan agama menyediakan semacam lapangan yang luas
di mana setiap orang bebas untuk mengkaji setiap agama dan aliran
kepercayaan tanpa punya tedensi untuk menghakimi, menilai apalagi
mejelekkan agama atau aliran kepercayaan yang bersangkutan. Tetapi
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
59
seorang peneliti diberi ruang yang seluas-luasnya mendekatinya dengan
metode pendekatan filsafat untuk menggali sedalam-dalamnya kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya.
Mahasiswa dapat melakukan riset dengan meneliti agama dan
kepercayaan lain dengan pendekatan ilmu perbandingan agama.
Tujuannya agar dalam diri terbentuk menghargai, memahami karena
mengenal konteks ajaran agama bersangkutan. Sehingga sikap
mengurangi sikap superioritas atas agama dan aliran kepercayaan
tertentu. Tindakan nyata yang dapat dilaksanakan mahasiswa dapat
berupa kegiatan Live-in di pesantren atau lain-lain. Dan di akhir kegiatan
Live-in tersebut diberi tugas untuk merefleksikan hal-hal indah, dan
kebijaksanaan yang dapat diteladani dari komunitas bersangkutan.
Dengan demikian terbentuklah sikap moderat dalam diri mahasiswa.
3.
Studi Kearifan Lokal Pancasila
Studi Kearifan Lokal Pancasila menjadi sangat available di Indonesia
karena pluralisme bangsa Indonesia. Indonesia tidak kaya akan
keanekaragaman budaya tetapi setiap kebudayaan yang tersebar dari
Sabang sampai Merauke mengandung Kebijaksanaan lokalnya masing
sesuai dengan locus di mana kebudayaan itu tersembul. Para mahasiswa
dituntut untuk mengkaji kebudayaan sebanyak-banyaknya dalam bentuk
riset filosofis dan mendiskusikannya dalam kegiatan cangkrukan ilmiah
yang diselenggarakan kampus secara berkala.
4.
Studi Teologi Kontekstual
Teologi yang yang baik adalah teologi yang menjawab persoalan
hidup masyarakat. Teologi dalam perkembangannya tidak pernah lepas
dari konteks. Pendekatan teologi selalu diwarnai oleh keprihatinan sosial
yang sedang terjadi, misalnya teologi pembebasan, lahir dari konteks
kemiskinan masyarakat Amerika Latin. Demikian juga dalam konteks
Indonesia yang multikultural. Dengan kata lain, teolog yang baik ialah
orang yang peka dengan keprihatinan sosial politik setempat.
Seorang guru Katolik juga adalah seorang teolog karena dia
mengajarkan iman dan memberikan kesaksian nyata dan langsung di
tengah masyarakat. Karena itu teologi yang diajarkan guru Katolik mesti
teologi yang kontekstual.
60
Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia
Seorang mahasiswa calon guru Katolik mesti pandai membaca
konteks sosial masyarakat yang dilayani atau tempatnya bertugas. Caranya seorang mahasiswa calon guru Katolik mesti selalu meng-update
informasi dan ilmunya dengan cara membaca koran, mendengarkan
berita di televisi dan majalah. Guna mempertajam ilmunya, guru Katolik
senantiasa membaca buku dan mengikuti seminar-seminar dan pelatihan
entah yang diselenggarakan oleh kampus atau Bimas Katolik.
Penutup
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural. Pluralitas bangsa Indonesia
dalam sejarah perkembangannya membawa kebanggaan luar biasa bagi dunia
karena kekayaan keanekaragaman budaya bangsa, yang tersebar di seluruh
jajaran pulau Nusantara. Namun di sisi lain keberagaman itu menyimpan
potensi disintegrasi bangsa. Indonesia dalam sejarah dikenal sebagai bangsa
yang toleran, semuanya bersatu dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika di
bawah falsafah negara Pancasila. Tetapi semangat keberagaman itu, akhirakhir ini seolah-olah memudar karena sentimen agama yang ditiupkan oleh
kelompok tertentu demi kepentingan politik. Kelompok ini menggunakan isu
SARA untuk menyulut emosi masa. Kehidupan berbangsa pun digerogoti
oleh bahaya radikalisme.
Kencangnya terpaan radikalisme ini menghantam lembaga pendidikan
sebagai wahana penting bagi kohesivitas dan inklusi sosial. Latar belakang
budaya bangsa yang beragam yang berpotensi konflik serta bahaya radikalisme
yang menyemai dan bertumbuh di sekolah-sekolah tanah air, mengharuskan
bangsa Indonesia menerapkan pendidikan multikultural. Penerapan
pendidikan multikultural menjadi salah satu respon positif untuk menangkal
yang bertumbuh subur, mengingat sekolah adalah lembaga resmi negara
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hanya saja dalam konsep pendidikan
multikultural di Indonesia perlu dikaji secara mendalam dan tidak terburuburu karena konteks masyarakat Indonesia berbeda dengan bangsa lain.
Di Indonesia sesungguhnya yang terjadi bukan konflik akibat benturan
kebudayaan atau persamaan keadilan. Konflik itu terjadi karena sentimen
keagamaan yang dibalut oleh kepentingan politik kelompok tertentu. Konflik
ini kemudian menyebar menjadi lebih kompleks dan mengancam integritas
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
61
bangsa Indonesia. Berhadapan dengan situasi ini, guru sekolah ujung tombak
perubahan murid dituntut profesionalitas dalam mendidik orang muda.
Kehadiran guru menjadi sangat penting di samping orang tua dan masyarakat
karena profesinya sebagai orang digugu dan ditiru. Mereka tenaga adalah
profesional dalam bidang yang menuntun orang muda keluar dari kegelapan
menuju terang. Tidak mengherankan jika dari guru-guru dituntut
profesionalitas dan spiritualitas sebagai pendidik.
Profesionalitas dan spiritualitas yang sama dituntut dari guru-guru
Katolik. Mereka adalah agen pastoral, rasul awam, dan saksi iman Gereja
yang bertugas mencerahkan orang muda sesuai keahliannya. Di bahu guruguru Katolik diemban tugas Gereja yang besar, mewartakan, mendidik dan
sekaligus memberi kesaksian tidak hanya pengetahuan teoritis mengenai
iman dan ajaran Gereja Katolik tetapi juga peri hidup mereka sehari-hari.
Berkaitan tugas yang besar dan suci, dari guru Katolik dituntut tidak hanya
profesionalitas kerja guru tetapi spiritualitas. Spiritualitas itu didasarkan pada
Yesus Kristus Sang Guru Agung yang mengajar dengan penuh kuasa, dan
yang menjadi inti pengajaran guru Katolik.
Seperti halnya Kristus dalam pengajaran-Nya sangat menghargai hukum
Taurat dan kebiasaan orang Yahudi, demikianlah guru-guru agama Katolik
mengembangkan sikap toleransi itu dalam tugasnya. Sebagaimana Kristus
mengajarkan bahwa mencintai sesama seperti mencintai diri sendiri demikian
jugalah guru Katolik mencintai dan mengajar peserta didik untuk mencintai
siapa saja tanpa pandang latar belakang. Tugas ini dihayati oleh guru bukan
hanya sebagai panggilannya sebagai guru untuk menyukseskan pendidikan
multikultural tetapi juga sebagai perwujudan imannya. Spiritualitas ini akan
menjiwai guru-guru Katolik bila bertumpu pada Yesus dalam kesetiaannya
terhadap Sabda Allah dan tugasnya sebagai Katekis. Karena itu, Guru Katolik
mesti senantiasa memelihara kesuburan spiritualitas ini dengan selalu berdoa
dan merenungkan Kitab Suci entah secara pribadi atau bersama-sama. Sebab
dalam doa Allah menyingkap rahasia misteri Kerajaan Allah.
Guna memupuk semangat toleransi dan jiwa multikultural dalam diri
guru Katolik, para calon guru Katolik hendaknya belajar bersikap dan berpikir
terbuka dengan kebudayaan melalui studi perbandingan agama dan studi
antropologi. Hal ini sesuai dengan dokumen Nostrae Aetate, yang mengungkapkan bahwa Gereja Katolik mengakui bahwa di dalam agama dan
62
Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia
kepercayaan lain terdapat berbagai cara hidup, kaidah kehidupan, maupun
ajaran-ajaran yang tidak jarang memantulkan sinar Kebenaran yang
menerangi semua orang (Nostrae, art. 1. par. 2). Karena itu, panggilan guru
Katolik untuk mewujudkan pendidikan multikultural di Indonesia adalah
juga panggilan murid Gereja bagi guru-guru Katolik sebagai salah satu bentuk
pelaksanaan tugas perutusannya sebagai orang yang dibaptis.
Daftar Pustaka
Amirin, Tatang M. “Implementasi Pendekatan Pendidikan Multikultural
Kontekstual Berbasis Kearifan Lokal Indonesia”. Jurnal Pembangunan
Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, Vol. 1 No. 1 (2012). https://doi.
org/10.21831/jppfa.v1i1.1047
Butar-Butar, Rikardo Dayanto Ester Lina Situmorang, Jabes Pasaribu dan
Manahan Uji Simanjuntak. “Pengajaran Tuhan Yesus Mengenai Toleransi
Dan Implementasinya Ditengah Masyarakat Majemuk”. Jurnal Teologi
Dan Pendidikan Agama Kristen, Vol 4, No 1 (Maret 2019).
Deni Wijaya, Albert I Ketut dan Antonius Virdei Eresto Gaudiawan. “Dampak
Pembelajaran Reflektif Bagi Calon Guru Agama Katolik Terhadap
Panggilan Keguruan.” JPAK: Jurnal Pendidikan Agama Katolik, Vol. 20
No. 1 (2020).
Dewantara,Agustinus Wisnu “Pancasila Sebagai Fondasi Pendidikan Agama
Di Indonesia”, Jurnal ilmiah CIVIS, Volume V, No 1, (Januari 2015).
https://doi.org/10.26877/civis.v5i1/Januari.626
Gaudiawan, Antonius Virdei Eresto Albert I Ketut Deni Wijaya. “Dampak
Pembelajaran Multikultural Dalam Pelajaran Agama Katolik Kelas XII
Bagi Pengembangan Multikulturalisme”. JPAK: Jurnal Pendidikan Agama
Katolik. Vol 20 No 10 (Oktober 2018). https://doi.org/10.34150/jpak.
v20i10.216
Kosasih, A. “Creative and Joyful learning Sebagai Bentuk Evangelisasi Baru”.
dalam 12 Bentuk Evangelisasi: Menebar Garam di Atas Pelangi, eds.
Hipolitus K. Kewuel dan Gabriel Sunyoto, Madiun: Wina Press, 2010.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
63
Kusmaryani, Rosita Endang. “Pendidikan Katolik Sebagai Alternatif
Penanaman Nilai Moral”, Jurnal Paradigma, No. 02 Th. I, (Juli 2006).
Kusmaryani, Rosita Endang. “Pendidikan Multikultural sebagai Alternatif
Penanaman Nilai Moral dalam Keberagaman”. Jurnal Jurusan Psikologi
Pendidikan dan Bimbingan, No. 02 Th. I, (Juli 2006).
Liputan Khusus Tempo. “Konservatisme; Menyemai Radikalisme di Sekolah.”
Majalah Tempo, 19-25 Juni, 2017.
Opini Tempo. “Main Agama Politik Jakarta.” Majalah Tempo, 17-23 April
2017.
Permana, Natalis Sukma. “Membangun Sistem Pendidikan Multikultural di
Indonesia”. JPAK: Jurnal Pendidikan Agama Katolik, Vol. 19, No. 10,
(April 2018).
Priatna, Asep “Pengaruh Profesionalitas Guru Terhadap Kualitas Pembelajaran
Pada SMA Di Kota Bandung”. Jurnal Pendidikan Indonesia, Vol. 14, No. 2
(2011). https://doi.org/10.17509/jap.v14i2.6415
Riyanto, Armada. “Kearifan Lokal-Pancasila: Butir-butir Filsafat
“Keindonesiaan”, dalam Kearifan Lokal Pancasila Butir-Butir Filsafat
Keindonesiaan, eds. Armada Riyanto, Johanis Ohoitimur, dkk, Yogyakarta:
Kanisius, 2015.
Salikin, Hairus. “Profesionalitas Guru dan Pembelajaran Kontekstual”. Jurnal
Pengembangan Pendidikan, Vol. 8, No. 1, (2011).
Sinurat, Lusius “Spiritualitas Guru Beragama Katolik Spiritualitas Guru
Beragama Katolik”, Pena Sinergi, (29 Nov 2019).
Susilo, S. Rekso. Filsafat Wawasan Nusantara. Malang: Widya Sasana.
Wilhelmus, Ola Rongan. “Pendidikan Multikultural di Indonesia: Arah dan
Manfaatnya”. JPAK: Jurnal Pendidikan Agama Katolik. Vol. 19, No. 10,
(April 2018). https://doi.org/10.34150/jpak.v20i10.216
64
Spiritualitas Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Multikultural di Indonesia
To Be Religious Today is To Be Inter-Religious
(Menenun Dialog Antar-Agama
dalam Konteks Islam-Kristen)
Hesikius Junedin
Fakultas Teologi Weda Bhakti Yogyakarta
Pengantar
Judul artikel ini mendapatkan bentuknya dari salah satu sub bab, When
Mystic Masters Meet, karya Shafa’atun Almirzanah, Ph.D., D.Min: “To be
religious is to be inter-religious” Ini dapat diparalelkan dengan parafrase
populer John Dunne: “Tidak ada manusia yang seperti sebuah pulau”, yang
dikontekstualisasi menjadi: “Tidak ada agama yang seperti sebuah pulau” –
“No religion is an island”. Dalam realitas aktual, tidak sulit rasanya untuk
mengakui bahwa tentu saja tidak ada agama yang sama sekali terpisah dari
agama lainnya, bagai sebuah pulau terpisah dari pulau yang lainnya. Islam
tidak bisa menghilangkan hubungannya dengan agama Kristen, begitu pun
dengan Yahudi. Ada jembatan antara Yudaisme dan Kekristenan. Agama
Buddha terkait dengan agama Hindu dan ada hubungan intrinsik antara
Jainisme dan Hindu (Ucho, 2019).
Melalui artikel ini, tanpa bermaksud mengesampingkan relasi agama
Kristen dengan agama lainnya, saya hendak menampilkan seberapa urgennya
dialog yang mesti dibangun antara kedua tradisi besar, Islam di satu pihak
dan Kristen di pihak lainnya. Pokok kajian yang dapat saya bagikan ini
berpusat pada relasi dialogal antara Islam-Kristen, dengan beberapa gagasan
dasar: pertama, panorama relasi keduanya – Islam dan Kristen; kedua,
urgensitas bagi dialog Islam-Kristen; ketiga, tantangan dan asumsi dasar pradialog; keempat, arah dasar bagi dialog antaragama; kelima, sumber-sumber
utama bagi semangat dialogal dalam Islam dan Kristen; lalu keenam,
dilengkapi dengan cakrawala baru bagi generasi muda sebagai tenunan
paradigma dalam hidup beragama masa kini.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
65
Panorama Relasi Islam-Kristen
Potret sejarah ihwal dua agama besar dunia, Islam-Kristen memang berada dalam pusaran magnet yang hebat. Tidak bisa ditutupi bahwa pada masamasa awali, perjumpaan kedua agama tersebut secara historis, baik dalam
konteks teologis maupun dalam laku politik kekuasaan, adalah perjumpaan
seteru, sebuah kontestasi dalam sejarah yang saling melenyapkan. Karena
masa-masa itu menjadi medan perebutan legitimasi bagi kedua kelompok
untuk mengklaim otoritas kebenaran sejarah dan doktrin masing-masing.
Dari data-data sejarah tentang perjumpaan Islam-Kristen, memang
diakui bahwa begitu banyak tersaji pengalaman, baik pahit atau pun manis,
perseteruan maupun kedamaian, konflik laten hingga kisah rukun hidup
bertetangga. Medan seteru ini akhirnya saling menutupi beberapa fakta dan
data sejarah yang semestinya bisa dibuka secara proporsional, dan ruang bagi
dialog yang karib sebagai jalan untuk memahami perbedaan yang ada seakan
dirasa terlampau sakral dan menemui jalan buntu.
Urgensitas bagi Dialog Islam-Kristen
Dialog agama menjadi topik kontemporer yang paling aktual yang terus
dibicarakan di mana-mana oleh kalangan yang semakin luas, baik dalam
lingkup formal akademis maupun pembicaraan non-formal di banyak tempat,
semisal restoran maupun di beranda rumah. Sebagaimana fenomena lainnya,
dialog agama dihasilkan pula oleh faktor-faktor khusus yang melatarinya.
Yang terpenting adalah adanya krisis akan pemahaman mengenai pluralitas
agama. Setidaknya fenomena ini mudah terbaca dari relasi Islam-Kristen.
Karena alasan ini, pertanyaan tentang penting tidaknya dialog menjadi
kurang menarik, sebaliknya yang lebih banyak dibicarakan adalah pendekatan
seperti apa yang paling tepat dalam dialog antaragama. Diasumsikan bahwa
kualitas maupun intensitas dialog di masa mendatang akan semakin
meningkat, yang juga akan melibatkan semakin banyak pihak. Ekspektasi
besar pun ditempatkan di pundak kaum muda yang diyakini mampu
membawa perubahan yang nyata di tengah masyarakat akar rumput, bukan
hanya di kalangan kaum elit dan intelektual.
Salah satu persoalan pokok dalam pemahaman diri orang Kristen adalah
tentang hubungan mereka dengan agama-agama lain. Setelah pendekatan
66
To Be Religious Today is To Be Inter-Religious
misioner eksklusif yang dilancarkan agama Kristen beberapa ratus tahun
terakhir, pluralisme lalu menjadi tantangan yang sedemikian mendesak.
Kepustakaan yang berkembang pesat sebagai akibat dari perjumpaan dengan
agama-agama lain, mengantar banyak teolog Kristen pada kesimpulan bahwa
teologi Kristen tidak dapat terus dirumuskan terpisah dari agama-agama lain.
Dan sesungguhnya, menurut Paul Tillich (1966:31), perkembangan teologi
Kristen di masa mendatang merupakan hasil langsung dari dialog yang serius
dengan agama-agama lain.
Hari ini banyak peristiwa menampilkan kenyataan bahwa terdapat
bentrokan antara identitas kelompok tertentu melawan kelompok lainnya
yang dilakukan secara terbuka, keras dan berkelanjutan. Politik identitas
seakan menjadi ciri baru yang dipraktikkan dalam dunia perpolitikan kita
saat ini. Indonesia yang dibangun di atas cita-cita besar akan kesatuan dalam
keberagaman – terutama keberagaman agama dan sistem kepercayaan – oleh
para pendiri bangsa (Founding Fathers) belum luput dari upaya untuk
dilepaskan dari rongrong politik pragmatis yang berusaha melepaskan
ikatannya sebagai bangsa yang besar dan majemuk.
Setiap ketegangan komunal yang dimunculkan dari kenyataan pluralitas
agama, ada kemungkinan bahwa sentimen agamalah yang disalahgunakan.
Agama yang terlampau berbicara soal perasaan dan kepekaan terdalam dari
individu dan komunitasnya selalu membawa kenangan sejarah yang mendalam dan sering menarik simpati bagi solidaritas atas nama agama yang
dilakukan secara tidak kritis. Bagi Dr. Hans Ucko (2019) relasi dan dialog
antaragama dimaksudkan untuk membantu agama agar dapat bebas dari
penyalahgunaan seperti itu, dan agar dapat menghadirkan peluang bagi umat
beragama untuk saling berkontribusi dalam kehidupan bersama sebagai agen
pembangunan dan rekonsiliasi. Di sejumlah negara dunia, tak terkecuali di
Indonesia – melalui wadah FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) –
terdapat mitra dialog yang mampu bekerja sama lintas agama dalam upaya
nyata mewujudkan perdamaian. Ada juga kasus di mana para pemimpin
agama diundang untuk memainkan peran yang terlihat dalam inisiatif
perdamaian yang disponsori negara.
Bertolak dari keadaan itu, beberapa teolog menekankan urgensitas
dialog sebagai tugas utama teologi dalam perjumpaan dengan agama-agama
dunia lainnya. R. Whitson (1971:32) berpendapat bahwa teologi bertugas
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
67
membuka agama seseorang terhadap agama-agama lain. John S. Dunne
(1972) menganjurkan “passing over” yakni mengalami agama lain dan
kemudian mengadakan refleksi untuk memperkaya agama sendiri. Jika
suasana saling memupuk dapat berlangsung, kebijaksanaan rohani agama
lain akan memperkaya pengalaman mengenai agama sendiri.
Tantangan dan Asumsi Dasar Pra-Dialog
Kita sadar bahwa ada perbedaan amat tajam dan mendasar dalam agamaagama, terkhusus dalam Islam dan Kristen. Kita ketahui pula bahwa garis
pemisah tidak selalu terjadi di antara komunitas-komunitas agama dimaksud,
tetapi sering kali justru terjadi di dalam komunitas-komunitas religius itu
sendiri. Perbedaannya mungkin bukan hanya seputar persoalan teologis,
tetapi berkaitan pula dengan masalah sosial, politik, maupun moral.
Dikarenakan berbagai alasan, kita menemui pertentangan dalam beberapa
hal dengan beberapa dari mereka yang berkeyakinan sama. Jika harus diakui,
faktanya adalah bahwa seseorang kadang-kadang mungkin merasa lebih
dekat dengan orang yang beragama lain daripada dengan orang di sebelah
bangku di mana ia duduk. Seseorang mungkin tidak memiliki iman yang
sama tetapi dapat terjalin ikatan dan hubungan yang melampaui batas-batas
agama. Ernst Simon (dalam Ucko, 2019) mencoba merumuskan paradoks ini
dalam pernyataan yang menarik: “Orang-orang yang dengannya saya berdoa
bersama, saya tidak bisa bicara; dan orang-orang yang bisa saya ajak bicara,
dengannya saya tidak bisa berdoa bersama.”
Ternyata, tantangan dalam dialog itu tidak saja datang dari luar (interreligius), tetapi dapat juga berasal dari dalam (intra-religius). Demi
menjembatani ini, dalam konteks dialog antaragama, perlu usaha sungguhsungguh untuk menjumpai ‘yang lain’ secara terbuka dan lapang dada. Sebab,
dapat diandaikan bahwa dalam perjumpaan itu tidak hanya terjadi proses
memberi dan memperkaya, tetapi juga menerima dan diperkaya. Karena itu,
proses dialog yang dimaksud mesti mensyaratkan tanpa adanya ekses dan
tendensi berkontestasi demi memenangkan kepentingan tradisi (agama)
sendiri, pun tidak untuk mengklaim kebenaran satu terhadap yang lainnya,
melainkan sebagaimana diungkapkan John S. Dunne: ber-passing over;
melintasi tradisi ‘yang lain’ dan kembali memperkaya kepercayaan sendiri.
68
To Be Religious Today is To Be Inter-Religious
Namun, sebagaimana diingatkan Raimundo Panikkarn (2004:51), iman
seorang pelaku passing over haruslah cukup kuat, terbuka dan mendalam.
Iman itu mesti juga ‘cukup telanjang’ untuk dikenai berbagai bentuk pakaian
tanpa perasaan khawatir akan tergelincir ke dalam bidaah atau murtad. Ini
penting, dan terlebih ditekankan dalam dialog hidup, yang mana mensyaratkan
adanya interaksi dan kontak langsung dengan tradisi keagamaan lain.
Melintas tanpa tersesat, lalu kembali. Mengenai kesamaan biarkan itu sama
dan yang beda biarkan itu tetap beda.
Sejak tahun 622 M agama Kristen mendapat tantangan dari Islam sebagai
agama yang lebih muda dan lebih giat. Dalam satu abad para penguasa Islam
telah menguasai separuh dari dunia Kristen. Muhammad mengenal agama
Kristen dan menghormati Yesus sebagai nabi, namun menolak inkarnasi.
Perbedaan paling pokok antara Islam dan Kristen tetap ada. Dalam pandangan
Islam jurang antara Allah dan manusia terlalu lebar untuk dapat dijembatani
oleh Yesus atau oleh yang lain. Pada abad-abad permulaan, beberapa orang
Kristen menganggap agama Islam sebagai salah satu bidaah Kristen. Orang
Islam menyangkal hal ini, karena mereka mengakui agamanya wahyu baru
dari Allah dan merupakan agama terakhir (Dunne, 2003:46). Ekspansiekspansi abad pertengahan yang dilancarkan Kristen, sejalan dengan
kecenderungannya yang eksklusif. Kristen menutup diri terhadap setiap
kontak yang berarti dengan agama-agama lain. Islam dilihat oleh orang
Kristen Barat sebagai musuh politik dan agama yang harus dibasmi (Dunne,
2003:46).
Pendekatan Dialogis
Perjumpaan agama Kristen modern dengan agama-agama lain agaknya
mendorong para teolog Kristen, untuk pertama kalinya sejak konsili Calcedon
untuk menilai kembali dengan serius sikap eksklusif tradisional doktrin
Kristen. Dalam tubuh Gereja Katolik, beberapa keputusan Konsili Vatikan II
menjadi tonggak sejarah yang menumbuhkan sikap yang lebih positif
terhadap agama-agama lain (Dunne, 2003:47).
Ada kelompok pemikir Kristen yang mengedepankan pendekatan
dialogis, di tengah kebuntuan relasi agama Kristen dengan kepercayaan lain
di luarnya. Dialog beranjak dari anggapan bahwa tiap-tiap agama mempunyai
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
69
tuntutan mutlak yang tidak dapat dinisbikan (Dunne, 2003:75). Perumusan
kembali tidak akan menghilangkan perbedaan. Namun, seperti ditandaskan
Harold Coward, dengan membiarkan pembahasan teologi kita dipengaruhi
teologi agama lain, kita terpaksa menjadi makin jujur dan lebih memperdalam
kehidupan rohani kita. Prasyarat untuk dialog bukanlah penyelarasan semua
keyakinan, melainkan sebuah pengakuan bahwa tiap-tiap orang beragama
memiliki keyakinan yang teguh dan mutlak, dan bahwa keyakinan ini berbeda. Orang-orang Kristen merasa terikat pada Allah melalui Kristus.
Sedangkan kaum muslim pada Al-Quran sebagai firman Allah yang paripurna. Pendekatan dialogis, bagi John V. Taylor, membutuhkan kematangan
ego yang memadai “untuk membiarkan lawan dialog hidup berdampingan
tanpa merasa bahwa mereka dapat disesuaikan (Dunne, 2003:76).
Beberapa tokoh yang mendukung upaya pendekatan dialogis, di
antaranya yakni Stanley Samartha dan Raimundo Panikkar. Dialog bagi S.
Samartha (dalam Coward, 2003:77) adalah “upaya untuk memahami dan
menyatakan partikularitas kita bukan hanya dalam kaitan dengan warisan
kita sendiri, tetapi juga dalam hubungan dengan warisan rohani tetanggatetangga kita.” Sedangkan, R. Panikkar (dalam Coward, 2003:79) meyakini
bahwa melalui dialog akan terjadi perluasan dan pendalaman setiap
pengalaman partikular mengenai kebenaran Ilahi. Ia mengakui bahwa
“apabila suatu kebenaran agama diakui oleh kedua belah pihak (dalam dialog)
dan dengan demikian berarti dimiliki oleh kedua belah pihak, maka masingmasing pihak akan menyebut kebenaran itu dengan nama yang cocok bagi
tradisi partikular yang mengakuinya.” Dalam dialog, hubungan antaragama
bukanlah hubungan asimilasi, atau hubungan substitusi (konversi) melainkan
hubungan yang saling menyuburkan.
Motivasi Religius dari Dialog
Motivasi religius atau teologis adalah hal paling mendasar dari pelbagai
motivasi pendorong dialog, baik yang muncul dari pihak Gereja Katolik
maupun Islam. Menyadari diri sebagai makhluk atau ciptaan Allah yang
Mahakuasa, maka dituntut sikap tunduk, taat, sembah kepada Allah dan
bergantung pada-Nya secara bebas, aktif, dan tanpa paksaan (Tule, 1992:69).
Relasi personal antar manusia dengan pencipta-Nya adalah suatu misteri
yang terbuka ke arah suatu perspektif rahmat dan keselamatan.
70
To Be Religious Today is To Be Inter-Religious
Dialog tidak hanya perlu menjadi kesempatan untuk berdamai dengan
masalah keberagaman. Mesti semakin disadari oleh banyak pihak bahwa
dialog akan layu jika kita hanya bertemu dalam konteks menghadapi persoalan yang memecah-belah. Sebab, dialog juga menawarkan kemungkinan
dan menyediakan ruang untuk berkolaborasi dalam masalah-masalah yang
menjadi perhatian bersama antara orang-orang dari agama yang berbeda.
Sangatlah penting untuk mencari mitra semacam itu dan mengeksplorasi
cara membangun kembali kredibilitas dialog yang memungkinkan orang
untuk memasuki hubungan yang saling menghormati dan keterbukaan dalam
membahas aneka polemik keagamaan dalam masyarakat.
Karena itu, dialog antaragama membutuhkan dialog intra-agama. Di
sinilah letak nilai religius yang paling nyata. Perlu usaha untuk memunculkan
pentingnya bekerja secara internal (intra-agama) berdasarkan temuantemuan dari relasi antaragama kita. Komunitas religius kita perlu diberi tahu
tentang temuan kita di dalam dan melalui hubungan antaragama. Setelah
“passing over”, kata John Dunne, kita pun mesti melakukan “coming back“
demi memperkaya tradisi religius kita sendiri. Tanpa refleksi ini, sebuah
dialog belum akan berbuah dan berimplikasi nyata dalam hidup keagamaan.
Semangat Dialogal dalam Islam
Sikap dialogal yang digagas oleh tokoh-tokoh atau lembaga-lembaga
moderat muslim umumnya didasarkan pada beberapa ayat suci Al-Quran,
antara lain: Ayat Q. 5,48: tentang berlomba-lomba berbuat kebajikan,
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu
umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya
kepada Allahlah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”
Ayat Q. 40,4: tentang menghindari diskusi agama,
“Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali
orang-orang kafir”; Ayat Q. 109,6: “Bagimu agamamu dan bagiku
agamaku” (lih. Q. 8,29); Ayat Q. 60,8: “Allah tiada melarang kamu
untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
71
memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari
negerimu.”
Ayat Q. 5,82-83: tentang sikap bersahabat dengan orang Nasrani,
“…sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya
dengan orang-orang beriman ialah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya kami ini adalah orang Nasrani’. Yang demikian itu disebabkan
karena di antara mereka itu terdapat pendeta-pendeta dan rahibrahib, karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.”
Menurut Al-Quran, pada mulanya manusia bersatu, namun berselisih
sebagai akibat dari adanya bermacam-macam versi dari “Satu Kitab” yang
diperkenalkan oleh nabi-nabi yang berbeda (Coward, 2003:93). Warta yang
disampaikan oleh nabi-nabi yang berbeda, Abraham, Musa, Yesus, dan lainlain, semuanya berasal dari sumber satu-satunya yang oleh Al-Quran disebut
dengan nama “Asal Kitab” (Q. 43:4; 13:39) dan “Kitab yang Terlindung” (Q.
56:78). Seperti dinyatakan dalam Al-Quran bahwa Muhammad tidak hanya
beriman pada Taurat dan Injil, tetapi ia “beriman pada Kitab apa saja yang
diturunkan Allah” (Q. 42:15). Menurut Al-Quran, kebenaran dan bimbingan
Allah tidak dibatasi, melainkan tersedia secara universal bagi semua orang:
“Tiada bangsa yang tidak didatangi juru-ingat” (Q.35:24); “Karena tiap-tiap
bangsa mempunyai seorang pemimpin” (Q.13:7) (Coward, 2003:92-94).
Semangat Dialogal dalam Gereja Katolik
Sebagai buah dari refleksi mendalam tentang hubungannya dengan
agama-agama lain dalam terang zaman modern, Gereja Katolik dan para
penganutnya telah meninggalkan adagium lama: extra ecclesiam nulla salus
(tidak ada keselamatan di luar Gereja). Gereja semakin menyadari bahwa
dialog adalah kebutuhan fundamentalnya yang terpanggil untuk bekerja
sama dalam rencana keselamatan Allah lewat aneka bentuk kehadirannya,
melalui cinta dan penghargaan terhadap semua orang (Tule, 1992:73).
Meskipun kata dialog tidak ditemukan dalam Alkitab, hubungan yang
hangat dan perjumpaan pribadi yang penuh perhatian jelas terdapat dalam
seluruh Alkitab. Pendekatan dialogis ini diperlihatkan dalam cara Yesus
memperlakukan pribadi-pribadi baik dalam kalangan Yahudi, maupun non72
To Be Religious Today is To Be Inter-Religious
Yahudi, seperti Nikodemus, wanita Samaria, perwira Roma, wanita SiroFenisia, dan murid-murid-Nya. Dengan demikian, cara dialog–bukan
‘paksaan teologis’–merupakan tuntutan bagi orang-orang Kristen dalam
dunia yang pluralistik dewasa ini (Coward, 2003:77).
Dalam perspektif Kristiani, beberapa bagian dalam Alkitab memberikan
dukungan terhadap dialog agama dan hidup bersama secara damai. Di
antaranya yang kerap diacu: Kejadian 1:27: “Maka Allah menciptakan
manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya
dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Gambaran awal akan
inklusifitas Kitab Suci Kristiani menampilkan gagasan penting bahwa semua
manusia diciptakan Tuhan dari gambaran yang sama, yakni Citra Allah
sendiri. Semua manusia bersumber dari Allah yang sama–setidaknya
demikian dimaksudkan Kitab Kejadian.
Kitab Yehezkiel 37:22 menampilkan pula: “Aku akan menjadikan mereka
satu bangsa di tanah mereka, di atas gunung-gunung Israel, dan satu raja
memerintah mereka seluruhnya; mereka tidak lagi menjadi dua bangsa dan
tidak lagi terbagi menjadi dua kerajaan.” Allah menghendaki persatuan bagi
bangsa-bangsa, seperti halnya Ia tidak menghendaki perpecahan terjadi
dalam bangsa Israel.
Adapun Penginjil Markus berbicara tentang menerima perbedaan
sebagai bagian dari usaha untuk hidup bersama dalam damai: “Barang siapa
tidak melawan kita, ia ada di pihak kita” (Mrk. 9:40). Dan Lukas 9:50
menegaskan dalam nada yang sama bahwa kata-kata itu keluar dari mulut
Yesus sendiri: “Yesus berkata kepadanya: “Jangan kamu cegah, sebab barang
siapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu.”
Selain data-data biblis yang masih banyak lagi untuk kita rujuk, Konsili
Vatikan II menjadi tonggak sejarah yang menandai era baru dalam hubungan
Gereja dengan agama-agama lain. Arah dialog yang hendak dibangun Gereja,
secara khusus terhadap umat Islam termuat dalam dokumen-dokumen
penting Konsili Vatikan II dan surat apostolik para Paus setelahnya. Di
antaranya termaktub dalam: Lumen Gentium no. 16:
“Akhirnya mereka yang belum menerima Injil dengan berbagai alasan
diarahkan kepada Umat Allah. Terutama bangsa yang telah dianugerahi perjanjian dan janji-janji, serta merupakan asal kelahiran
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
73
Kristus menurut daging, (lih. Rm. 9:4-5), bangsa terpilih yang amat
disayangi karena para leluhur; sebab Allah tidak menyesali kurniakurnia serta panggilan-Nya (lih. Rm. 11:28-29). Namun, rencana
keselamatan juga merangkum mereka, yang mengakui Sang Pencipta;
di antara mereka terdapat terutama kaum Muslimin, yang
menyatakan bahwa mereka berpegang pada iman Abraham, dan
bersama kita bersujud menyembah Allah yang tunggal dan
maharahim, yang akan menghakimi manusia pada hari kiamat.”
Nostra Aetate no. 3 juga mencatat:
“Gereja juga menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satusatunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belaskasihan dan
mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada
umat manusia. Kaum muslimin berusaha menyerahkan diri dengan
segenap hati kepada ketetapan-ketetapan Allah juga yang bersifat
rahasia, seperti dahulu Abraham–iman Islam dengan sukarela
mengacu kepadanya–telah menyerahkan diri kepada Allah....”
Ad Gentes no. 12 menulis:
“Cinta kasih Kristiani ditujukan kepada semua orang tanpa membedabedakan suku-bangsa, keadaan sosial atau agama; cinta kasih tidak
mengharapkan keuntungan atau ungkapan terima kasih.”
Paus Paulus VI dalam Ensiklik Ecclesiam Suam (1964), membedakan
adanya lingkaran-lingkaran konsentris dari empat kelompok manusia yang
dengannya Gereja harus berdialog. Lingkaran pertama dan yang terluas
mencakup semua manusia. Lingkaran kedua mencakup semua orang
beriman. Gagasan dalam membina dialog dengan kaum Teistis, khususnya
Islam termaktub dalam lingkaran ini. Lingkaran ketiga mencakup semua
orang Kristen. Dan lingkaran keempat (terdalam) mencakup anggota Gereja
Katolik ke dalam. Paus Yohanes Paulus II melalui Ensiklik Redemptor Hominis
juga melihat adanya nilai-nilai luhur dan positif dari agama-agama bukan
Kristen, “dalam pelbagai agama itu terdapat banyak perenungan tentang satu
kebenaran benih-benih Sabda, yang menegaskan bahwa sekalipun jalur yang
ditempuh mungkin berbeda-beda, terdapatlah hanya satu tujuan yang
74
To Be Religious Today is To Be Inter-Religious
menjadi aspirasi terdalam roh manusia sebagaimana terungkap dalam
usahanya mencari Allah…”
Menenun Paradigma Berdialog Umat Muslim-Kristiani
Pandangan umum yang bisa dikatakan, bahwa dari semua kitab suci, AlQuran adalah yang paling dekat dengan Alkitab orang Kristen, tanpa
mengabaikan perbedaan besar dari segi isi di antara keduanya. Perbedaan
tersebut terutama menyangkut pribadi Yesus Kristus dan pertanyaan
mengenai Trinitas (Milot, 2003:9).
Bagi kaum Muslim, sebagaimana disaksikan Al-Quran, Yesus bukanlah
“Putra Allah”, melainkan “Putra Maria”. Yesus tidak diakui sebagai Allah yang
menjelma, Sabda yang menjadi daging sebagaimana dipercaya dan diimani
oleh orang Kristen. Jika bagi kaum Muslim, Allah adalah satu dan unik, maka
Dia tidak bisa memiliki seorang putra atau pun pribadi yang sederajat denganNya. Karena itu, mereka percaya bahwa Al-Quran adalah peringatan terakhir
dari wahyu-wahyu sebelumnya yang mengandung pesan abadi dari Allah
terhadap umat manusia (Milot, 2003:10). Pesan Allah itu dipercayakan
kepada nabi-nabi terdahulu, termasuk Yesus, yang kemudian berpuncak
dalam diri Muhammad sebagai nabi terakhir. Dengan sikap yang sama
terhadap persepsi Islam, orang Kristen menantang karakteristik Al-Quran
yang terungkap serta misi Nabi Muhammad. Karena, bagi umat Kristen,
Perjanjian Barulah yang merupakan meterai terakhir semua wahyu, sehingga
berkonsekuensi terhadap penolakan bahwa Muhammad bukan Nabi sejati
sebagaimana pula Al-Quran bukan merupakan wahyu yang sebenarnya
(Milot, 2003:10).
Di samping perbedaan mendasar itu, kontak langsung penyebaran
budaya dan peradaban antara kedua tradisi tetap tidak terhindarkan. Dari
sekian banyak titik jumpa yang ditemukan antara Islam-Kristen, terdapat
butir-butir mendasar yang dapat diacu bagi terjadinya dialog sebagai
konsekuensi praksisnya, di antaranya: Pertama, interpretasi atas Kitab Suci
sebagai tradisi tertulis hendaknya dilakukan secara inklusif, bukan eksklusif.
Kedua, perbedaan bukan sesuatu yang mutlak, melainkan sesuatu yang relatif
dan kebetulan sebagai konsekuensi logis dari keragaman perspektif dan
historisitas.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
75
Pada aras ini, perjumpaan dialogis amat mungkin terjadi karena secara
spiritual, setiap umat beragama merindukan perjalanan langsung menuju
Allah melalui jalan yang paling sesuai seturut ajaran dan kredonya. Seperti
halnya dalam dialog, mereka merindukan pertemuan secara langsung dari
muka ke muka, tanpa adanya halangan untuk menyatakan iman, konsepkonsep intelektual, dan doktrin-doktrin (Milot, 2003:18). Pengalamanpengalaman ini diperkuat oleh pengetahuan-pengetahuan intuitif dan intim
dari suatu Yang Absolut, yang ciri-cirinya melebihi perbedaan pengakuan
iman dan kategori-kategori yang relatif digunakan manusia dalam usaha
untuk menjelaskan tentang Allah (Milot, 2003:18).
Diakui bahwa perbedaan akan tetap ada, tetapi fokus perhatian terhadap
perbedaan-perbedaan itu sedapat mungkin diperkecil dan tidak menjadikan
itu sebagai pembenaran terjadinya polemik-polemik doktrinal yang memang
terlampau sulit didamaikan. Dengan dialog dan penghayatan religius umat
Muslim maupun Kristiani lebih memberikan ruang yang lapang dalam
melihat kesamaan daripada perbedaan. Kalaupun ada perbedaan, itu lebih
sebagai akibat sejarah dan konteks sosial tertentu daripada konsekuensi
penghayatan iman yang perlu. Ditilik dari perspektif ini, perbedaan
pandangan antara Muslim dan Kristen seharusnya dilihat sebagai sesuatu
yang relatif dan kebetulan ketimbang sesuatu yang mutlak perlu. Perbedaan
itu nyata, tetapi bukanlah realitas secara keseluruhan, dan mungkin saja
perbedaan-perbedaan itu tidak menjadi bagian yang terpenting dari realitas
sesungguhnya (Milot, 2003:27). Inilah yang terjadi ketika dikatakan bahwa
hakikat dialog tidak membicarakan tentang bagaimana rumusan (doktrin)
yang tepat yang bisa dikatakan tentang Allah, melainkan berbincang tentang
bagaimana manusia berkenan kepada Allah, memuliakan-Nya melalui
pengembaraan batin ke dalam jantung agamanya dan dalam relasi personal
dengan Allahnya.
Penyair India yang pernah memenangkan nobel, Rabindrath Tagore
(1861-1941) mengatakan bahwa cinta tidak terdapat dalam melihat kepada
satu sama lain, tetapi dalam sama-sama melihat ke arah yang sama (Milot,
2003:83). Demikian halnya, orang Islam dan Kristen bisa saja saling melihat
satu sama lain sambil mengakui adanya kebutuhan akan pertukaran dan
dialog tentang iman mereka. Ini akan mengembangkan kepedulian bersama
mereka akan kesejahteraan umat manusia terpisah dari iman atau ras mereka.
76
To Be Religious Today is To Be Inter-Religious
Ini tidak berarti bahwa mereka harus menanggalkan keyakinan-keyakinan
personal mereka sendiri, justru sebaliknya, keteguhan imanlah yang
mendorong mereka untuk mengambil bagian dalam langkah ini.
Hal ini kian tampak dalam kenyataan bahwa para pelaku dialog interreligius tidak melihat pengalaman perjumpaan itu sendiri sebagai puncak, di
mana orang sudah sampai pada tujuan dan berhenti, melainkan sebagai
momen untuk kembali dan memperkaya tradisi keagamaannya. John S.
Dunne menganjurkan “passing over” yakni mengalami agama lain dan
kemudian mengadakan refleksi untuk memperkaya agama sendiri. Jika
suasana saling memupuk dapat berlangsung, maka kebijaksanaan rohani
agama lain akan memperkaya pengalaman mengenai agama sendiri.
Bagi pelaku dialog yang terbuka, jujur dan spiritual, kerinduan akan
Allah serentak melahirkan kerinduan yang sama kuatnya untuk memperbaiki
nasib umat manusia bukan hanya di kehidupan berikutnya (eskatologis),
melainkan juga di dunia sekarang ini. Dari sinilah dasar bagi terjalinnya
perjumpaan dan dialog kehidupan yang sesungguhnya; dialog yang lebih
karib dan akrab; yang lebih erat dan terlibat. Atas dasar inilah dialog
kehidupan yang jauh dari ekses saling curiga; yang lebih hidup dan dialogal
dapat sungguh-sungguh terjadi dan dihayati.
Kontekstualisasi Dialog Islam-Kristen bagi Generasi Muda
Kurangnya informasi yang akurat adalah hambatan utama untuk memahami agama-agama lain. Para sarjana Islam menganalisis agama Yahudi
dan Kristen sering tidak berdasarkan pada agama-agama itu sendiri melainkan berdasarkan ajaran mengenai agama Yahudi dan Kristen sebagaimana
digambarkan dan dinilai dalam Al-Quran. Banyak informasi yang diperoleh
dari orang-orang yang pindah ke agama Islam dan lebih banyak dari diskusidiskusi polemis (Coward, 2003:111). Demikian pun sebaliknya, persepsi
Kristen dalam memandang Islam. Fenomena ini amat mudah kita temukan
saat ini. Media sosial menjadi penyumbang terbesar dalam menggiring opini
publik mengenai banyak topik. Salah satu isu yang paling banyak beredar
adalah isu-isu agama. Tidak diragukan bahwa akses terbesar media sosial
dikendalikan oleh kaum muda (milenial). Maka, tanpa kematangan yang
cukup dalam menyerap serangan era digital ini, dapat dipastikan kebencian
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
77
antar agama, cara pandang yang menekankan perbedaan, dan tafsir yang
bebas atas wilayah privat agama lain berdasarkan data tidak lengkap dan utuh
akan berdampak signifikan terhadap berkurangnya perkembangan pemahaman generasi muda kita akan relasi dengan agama lain.
Sekiranya melalui sajian informasi terdahulu dapat memberi kita
gambaran sekaligus meletupkan gagasan baru–terutama generasi muda yang
sedang dikepung dengan aneka fakta mengenai keberagaman sebagai akibat
dari terbukanya dunia dalam era digital ini–dalam melihat peluang untuk
berdialog secara nyata dengan agama lain. Karena itu, pada bagian ini akan
ditampilkan beberapa poin mengapa saat ini–berkat jangkauan teknologi
yang semakin melampaui ruang–sumbangan konkret bagi dialog antar agama
mesti semakin digalakkan.
Pertama, teknologi menambah wawasan dan memperdalam informasi
yang kurang mengenai agama lain dengan berpatokan pada sumber-sumber
yang akurat dan valid. Benar bahwa kurangnya informasi yang akurat menjadi
hambatan utama untuk memahami agama-agama lain. Pemahaman seperti
apa yang dibutuhkan? Pertama-tama barangkali memahami bahwa perbedaan
itu adalah realitas mutlak dalam keberagaman. Perbedaan tidak berarti bahwa
sesuatu itu lebih baik atau lebih buruk, melainkan perbedaan terjadi hanya
karena itu berbeda. Saat ini justru muncul banyak usaha untuk menegaskan
perbedaan dengan membanding-bandingkan ajaran agamanya dengan agama
lain. Bahkan dalam batasan yang lebih serius seakan “mempertandingkan”
realitas-realitas yang berbeda dalam agama lain berdasarkan sudut pandang
agamanya. Jelas ini keliru dan mengabaikan disiplin kajian yang sifatnya
objektif. Namun, ironis bahwa inilah yang kerap terjadi dan dilakukan justru
oleh pihak (tokoh agama) yang darinya kita harapkan lebih untuk berkontribusi dalam hubungan antaragama.
Kedua, relasi virtual yang tanpa sekat menjadi nafas kaum milenial
karena peran sosial media yang menerobos setiap zona privat dan arena
hidup masyarakat. Dapat dikatakan bahwa media massa termasuk internet
memiliki pengaruh dan efek terhadap masyarakat secara langsung ataupun
tidak, khususnya bagi kaum muda yang masih relatif labil dalam struktur
sosial masyarakat. Menurut Castells, sebagaimana dikutip Alfin Khosyatillah
(2018:35), “Internet bukanlah samudra tanpa bentuk yang individu-individu
bisa menyelam ke dalamnya, tetapi justru suatu galaksi berisi sub-sub media
78
To Be Religious Today is To Be Inter-Religious
yang diatur internet telah disesuaikan oleh praktik sosial, dalam suasana
keberagamannya, walau penyesuaian ini memang punya efek khusus pada
praktik sosial itu sendiri”. Bagaimanapun, komunikasi virtual yang tanpa
wajah itu masih kurang memadai, perlu dilengkapi dengan komunikasi antar
wajah sebagai bentuk perjumpaan dalam pluralitas yang sesungguhnya.
Ketiga, dialog dapat membina suatu hubungan. Membangun ikatan
hubungan dengan mereka yang dianggap ‘yang lain’ adalah tujuan dari semua
dialog antaragama, tak terkecuali dialog antar Islam-Kristen. Namun,
membentuk ikatan seperti itu selalu tidak mudah atau pun dapat dengan
cepat dibangun. Karena itu kesabaran disertai ketekunan sangat penting
dalam praktik dialog. Dialog biasanya mendorong semua komunitas untuk
mengkritik diri sendiri (baca: agama sendiri) dan memikirkan kembali caracara mereka menafsirkan tradisi agama mereka. Sebuah dialog yang jujur dan
sungguh-sungguh selalu menyertakan perubahan di dalam pengalaman
iman, juga membantu orang untuk memperdalam dan bertumbuh dalam
iman melalui cara yang tak terduga. Situasi konkret kehidupan sehari-hari
memberikan setiap kita kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang dari
agama yang berbeda. Berkat perjumpaan itu terjadi pernikahan antar agama,
persahabatan pribadi lintas iman, berdoa bersama untuk tujuan bersama,
mengusahakan perdamaian ataupun mencari solusi bersama dalam polemik
tertentu. Kenyataan ini sungguh semakin menegaskan betapa hubungan dan
dialog antaragama itu amat urgen dan tidak elitis, ini menyentuh semua orang
dalam ruang dan waktu yang tak terbatas.
Keempat, dialog membentuk prilaku keagamaan. Terciptanya kepribadian
dan prilaku keagamaan seseorang terbentuk dan dipengaruhi oleh dua faktor,
yakni faktor intern dan ekstern. Yang merupakan faktor intern bahwa manusia
adalah homo religiosus (makhluk beragama), karena manusia sudah memiliki
potensi untuk beragama. Dalam setiap jiwa manusia yang lahir terbawa suatu
karakter, yakni ingin mengabdi dan menyembah sesuatu yang dianggapnya
Transenden. Ini terjadi secara kodrati, meski ada orang yang ingin
menyangkalnya. Sedangkan faktor ekstern yang menentukan perkembangan
kepribadian dan keagamaan seseorang dapat berupa lingkungan keluarga,
pergaulan, wilayah aktivitas harian, juga yang paling aktual adalah media
massa baik cetak maupun elektronik. Dialog atau perjumpaan nyata dengan
yang lain turut pula memberi andil yang besar bagi kematangan hidup religius
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
79
seseorang. Spiritualitas tidak saja berdimensi sosial, melainkan karakter
spiritual seorang beragama dibentuk pula oleh realitas sosial yang
mendahuluinya, sebab, seperti diyakini John Dunne, “no religion is an island”.
Kelima, dengan melibatkan diri dalam dialog setiap pelakunya dapat
meningkatkan keprihatinan akan realitas sosial sekaligus memperkaya pengalaman spiritual mereka sendiri. Banyak kesempatan telah membuktikan
adanya berbagai bentuk doa di antara orang-orang dari agama yang berbeda.
Bagi sebagian orang, berdoa bersama bisa menjadi kesempatan yang
memperkaya secara spiritual – meski tanpa terhindarkan - bagi yang lain itu
adalah perbuatan tercela dan terkutuk yang mesti dihindari. Misalnya, dalam
doa bersama terjadi suatu undangan untuk berelasi secara personal atau
membangun persahabatan dengan yang Ilahi. Ini adalah undangan untuk
masuk ke dalam misteri Yang Maha Tinggi, yang berada di luar jangkauan
pemahaman dan penalaran manusia. Ini hanya mungkin jika pelakunya
mengakui bahwa kenyataan keberagaman agama tidak lain merupakan
misteri teologis yang menyelubungi setiap umat beragama.
Karena itu, seperti yang kerap diungkapkan Dr. Hans Ucho bahwa doa
antaragama dapat dipandang sebagai jembatan relasional: antara orangorang, maupun antara komunitas umat beragama. Doa antaragama dapat
menuntun kita untuk mengakui yang suci yang hadir dalam pengalaman
religius yang lain. Kegiatan doa antar-agama adalah akhir yang pas untuk
perjalanan kita melalui potensi dan jebakan dalam dialog antaragama.
Kendati jalan keluarnya tidak mudah terlihat, kita dapat saling mengingatkan
akan arti kepekaan sehubungan dengan doa, ibadah, dan disiplin spiritual.
Mendiang Paus Yohanes Paulus II dalam pertemuan para pemimpin
agama seantero dunia di Asisi pada Oktober 1986, meringkas pandangan
Gereja yang umum di kalangan teologi Kristiani tentang dialog dan pluralitas
agama, “Agama itu banyak dan beraneka, dan semuanya merefleksikan hasrat
serta keinginan manusia, baik laki-laki maupun perempuan di sepanjang
abad untuk menjalin hubungan dengan Wujud Absolut.” Keyakinan ini
menjadi gambaran hubungan yang paling dalam dari setiap kaum beriman
dengan Yang Ilahi, bahwa tindakan dialogis kita harus mengakar dalam
tradisi keagamaan kita, dalam kerinduan spiritual kita dan dalam penghayatan
keagamaan bahwa yang Mahatinggi selalu menjadi alasan pertama mengapa
kita hidup, bahkan hidup dalam keberagaman.
80
To Be Religious Today is To Be Inter-Religious
DAFTAR PUSTAKA
Dokumen Gereja
Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (21
November 1964), dalam R. Hardawiryana, SJ (penerj.), Dokumen Konsili
Vatikan II, (Jakarta: Obor, 1993).
______, Nostra Aetate, Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan AgamaAgama Bukan Kristen (28 Oktober 1965), dalam R. Hardawiryana, SJ
(penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II, (Jakarta: Obor, 1993).
______, Ad Gentes, Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja (7 Desember
1965), dalam R. Hardawiryana, SJ (penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II,
(Jakarta: Obor, 1993).
Paus Paulus VI, Ecclesiam Suam, Ensiklik (6 Agustus 1964).
Paus Yohanes Paulus II, Redemptor Hominis, Ensiklik (04 Maret 1979).
Buku Referensi
Almirzanah, Shafa’atun. When Mystic Masters Meet (Jakarta: PT Gramedia,
2009).
Coward, Harold. Pluralisme: Tantangan bagi Agama-Agama, (Penerj.: Bosco
Carvallo), (Yogyakarta: Kanisius, 2003).
Khosyatillah, Alfin. “Dampak Media Sosial Terhadap Perilaku Keagamaan
(Skripsi), (Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2018): hlm.
35; dalam http://digilib.uinsby.ac.id/ 25022/1/ Alfin%20Khosyatillah_
E82214032.pdf.
Milot, Jean-Rene. Meretas Akar-Akar Permusuhan Islam Kristen, (Jakarta:
Obor, 2003).
Panikkar, Raimundo. Dialog Intra Religius, (Yogyakarta: Kanisius, 2004).
Tule, Philipus. “Bermisi dalam Semangat Dialog dengan Islam”, dalam Pustaka
Misionalia Candraditya, Seri I/1 1992, (Maumere: Ledalero).
Ucko, Hans, “The Urgency of Inter-Religious Dialogue: How to Fight Against
Communalism” dalam ”http://www.irenees.net/ bdf_fiche-analyse-872_
en.html.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
81
Inkulturasi:
Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia
Hubertus Herianto
Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana
Pendahuluan
Iman harus selalu hidup, dihidupi, dihayati dan diamalkan dalam konteks
sosio-budaya umat. Artinya iman harus selalu dihayati dan diungkapkan
selaras dengan citarasa budaya dan konteks umat yang menerima dan
menghidupi iman akan pewahyuan diri Allah (Mariyanto, 1995:15). Fakta
bahwa iman harus dihidupi sesuai dengan konteks sosio-budaya umat, dari
sendirinya, menunjukkan bahwa iman memiliki keterkaitan dengan
kebudayaan. Relasi erat iman dan kebudayaan mengharuskan adanya
pembudayaan iman. Tujuannya ialah agar iman itu melekat dalam diri umat
yang menerimanya dan mampu menjiwai seluruh aspek kehidupan mereka,
termasuk kebudayaannya. Melalui pembudayaan, iman bisa mengakar dan
dihidupi umat tanpa perlu merasa asing dengannya.
Dalam sejarah dan kehidupan Gereja, pembudayaan iman mewujud
dalam penghayatan iman bangsa Israel yang menjadikan kebudayaannya
sebagai sarana pengungkapan iman akan Allah. Hal ini, misalnya, dilakukan
dalam wujud persembahan yang diberikan kepada Allah. Selain itu,
pembudayaan iman juga tampak dalam ungkapan iman orang Kristen di
Yunani dan Romawi, yang mana keduanya tetap mempertahankan kebudayaannya (melalui penggunaan bahasa dan busana tertentu) sendiri
dalam menghayati iman. Kedua contoh ini membuktikan bahwa iman senantiasa dan harus dihayati sesuai dengan konteks umat yang menerimanya.
Melihat pentingnya pembudayaan iman dalam Gereja, maka sudah
selayaknya Gereja Indonesia mengusahakan hal serupa. Usaha ini memang
tidak mudah karena terdapat perbedaan dan malahan pertentangan antara
apa yang berkembang dalam kebudayaan Indonesia, dengan apa yang
bertumbuh dan melekat dalam iman yang telah mendapat pengaruh budaya
lain, khususnya budaya Eropa. Mengatasi persoalan ini, hal yang dilakukan
82
Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia
adalah dengan menelanjangi iman yang diterima dari pengaruh budaya lain,
lalu mengenakan padanya busana baru yang cocok dengan konteks sosiobudaya masyarakat Indonesia (Mariyanto, 1995:17). Namun pertanyaannya,
dengan cara apakah Gereja Indonesia menelanjangi iman ini, sehingga esensi
dan autentisitas iman masih terjaga, serta agar iman mampu menjiwai
kehidupan budaya yang beragam di Gereja Indonesia. Menurut penulis cara
yang paling tepat untuk mewujudkan hal ini adalah dengan melakukan
inkulturasi. Inkulturasi adalah transformasi nilai-nilai kebudayaan secara
mendalam melalui proses integrasi mereka ke dalam kekristenan dan
meresapnya kekristenan ke dalam berbagai kebudayaan umat manusia
(Martasudjita, 2006:179). Definisi ini menunjukkan bahwa melalui inkulturasi
iman dan kebudayaan dapat diintegrasikan, sehingga iman menjiwai
kebudayaan dan kehidupan umat. Pengintegrasian keduanya memungkinkan
iman itu melekat dan menjiwai kehidupan konkret umat, serta memampukan
mereka untuk menghidupi imannya secara otentik, dalam corak khas
budayanya. Penjelasan mengenai peran inkulturasi ini mengantar penulis
pada sebuah kesimpulan bahwa inkulturasi adalah sebuah jalan pembudayaan
iman yang perlu diterapkan Gereja Indonesia. Tujuannya agar iman dan
penghayatannya semakin mengakar, terutama dalam konteks Indonesia yang
multikultural.
Kesimpulan di atas membuat penulis tertarik untuk mengkaji secara
mendalam tentang inkulturasi sebagai jalan pembudayaan iman dalam Gereja
Indonesia. Ada beberapa pertanyaan penuntun yang hendak dielaborasi
penulis yakni: Apakah inkulturasi itu? Apa itu pembudayaan iman dalam
konteks Gereja Indonesia? Bidang-bidang apakah yang perlu diinkulturasi
dan bagaimana melakukannya? Dan siapakah pelaku inkulturasi di Indonesia?
Inkulturasi sebagai Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia
Pertanyaan tentang apa itu inkulturasi tidak hanya mengacu pada
definisi. Sebab untuk mengetahui apakah inkulturasi itu, perlu disinggung
juga sejarah dan dasar-dasar teologis penerapannya. Kedua hal ini penting
dibahas agar setiap orang memiliki pemahaman yang lebih mendalam
mengenai inkulturasi. Oleh karena itu, sebelum menjelaskan arti inkulturasi,
penulis terlebih dahulu mengulas sejarah dan dasar-dasar teologis
penerapannya dalam Gereja.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
83
Sejarah Inkulturasi dalam Gereja
Praktik inkulturasi dalam Gereja telah berkembang sejak zaman Gereja
Perdana (bdk. Kis 2: 41-47). Gereja Perdana menjadi tonggak dimulainya inkulturasi karena ia tumbuh dan berkembang dalam konteks budaya Yahudi.
Dari budaya Yahudi, iman kemudian masuk dalam kebudayaan Yunani dan
pada akhirnya menyatu serta mengakar dalam kebudayaan Latin-Romawi.
Akan tetapi pada saat itu istilah inkulturasi belum dikenal umat meskipun
mereka telah menerapkannya dalam kehidupan iman konkret. Pengalaman
serupa juga terjadi dalam diri para Bapa Konsili, terutama dalam Konsili
Vatikan II (1962-1965). Dalam konsisli ini, melalui beberapa poin dalam
Konstitusi Liturgi (Sacrosantum Concilium), mereka menyebutkan bahwa
pembudayaan iman itu perlu dan mendesak untuk diterapkan. Perlu dicermati
bahwa dalam poin ini mereka menyebutnya dengan istilah pembudayaan
iman bukan dengan sebutan inkulturasi. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan
Sacrosantum Concilium no. 37 berikut:
“Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan segenap
jemaat, Gereja dalam Liturgi pun tidak ingin mengharuskan suatu keseragaman yang kaku. Sebaliknya Gereja memelihara dan memajukan kekayaan
yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebiasaan
para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhayul atau ajaran sesat,
oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin
dipeliharanya dalam keadaan baik dan utuh. Bahkan ada kalanya Gereja
menampungnya dalam Liturgi sendiri, asal saja selaras dengan hakikat
semangat Liturgi yang sejati dan asli.”
Meskipun tidak gamblang menyebut inkulturasi, Konstitusi Liturgi di
atas pada dasarnya menekankan bahwa Gereja tidak boleh mengikatkan diri
kepada satu kebudayaan tertentu (Stolk, 1995:63). Artinya Gereja mesti
terbuka dan bahkan harus bertumbuh sesuai dengan konteks umat yang
menerima iman akan Kristus. Dengan kata lain, kehidupan Gereja mengharuskan adanya inkulturasi guna menumbuhkan iman sesuai konteks umat.
Melengkapi penjelasan Sacrosanctum Conscilium, salah satu Dokumen
Konsili Vatikan II lainnya yakni Dekrit Tentang Kegiatan Misioner Gereja
(Ad Gentes) menyebutkan bahwa Gereja dan iman perlu dihidupi sesuai
dengan konteks kebudayaan umatnya (iman memerlukan penyesuaian)
karena kebudayaan tersebut tidak dipertentangkan dengan iman, melainkan
84
Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia
dimurnikan melalui iman yang dibawa oleh Gereja. Dokumen ini dengan
lugas menyebutkan bahwa apa pun yang baik, yang terdapat dalam hati dan
budi orang-orang, atau dalam adat-kebiasaan serta kebudayaan-kebudayaan
khas para bangsa: disembuhkan, diangkat dan disempurnakan oleh Gereja
demi kemuliaan Allah (AG 9). Dalam rumusan yang kedua ini, para Bapa
Konsili juga belum menggunakan istilah inkulturasi. Mereka menyebut
pembudayaan iman dengan istilah penyesuaian dengan konteks dan budaya
umat di mana Gereja itu bertumbuh. Meski demikian yang dimaksudkan
dengan penyesuaian selalu bergandengan dengan inkulturasi bahkan
inkulturasi adalah hal yang lebih mendalam dari penyesuaian.
Harus diakui, penggunaan kata penyesuaian dalam dokumen-dokumen
ini tidak sama dengan inkulturasi. Halnya terjadi karena inkulturasi lebih
dari sebatas penyesuaian atau adaptasi. Selain itu, penggunaan kata adaptasi
mengandaikan ada yang dikorbankan, entah itu iman yang dibawa oleh
Gereja atau budaya umat, di mana iman itu diterima. Artinya, jika ada ajaran
iman yang bertentangan dengan kebudayaan umat, maka akan ada opsi
memaksakan iman dan membuang sebagian dari kekayaan budaya, atau
memilih budaya dan merelakan ajaran iman itu dieliminasi. Kedua opsi ini
memiliki konsekuensi yang besar, yakni yang satu membuat iman masuk
dalam diri umat namun merasa asing dengannya, sedangkan yang lain
membuat iman kehilangan autentisitasnya. Konsekuensi ini, membuat penggunaan kata adaptasi menjadi kurang tepat bila dikenakan dalam konteks
pembudayaan iman. Satu-satunya yang tepat ialah inkulturasi, sebab di
sanalah pengintegrasian iman dan budaya terjadi.
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sejak
pendirian Gereja hingga Konsili Vatikan II istilah inkulturasi belum dikenal
dalam Gereja, meskipun telah diterapkan. Dalam sejarahnya, istilah inkulturasi digunakan pertama kali pada tahun 1962 oleh Joseph Masson. Istilah
ini kemudian digunakan dalam bidang misiologi oleh G. L. Barney pada
tahun 1973. Barney mengatakan bahwa “di tanah misi nilai-nilai Injil yang
mengatasi kultur dan yang mau diwartakan kepada orang-orang setempat,
haruslah diinkulturasikan dalam budaya orang setempat, sehingga dapat
terbentuk satu budaya baru yang bersifat Kristen.”
Istilah inkulturasi kemudian digunakan dalam Kongres Jenderal Yesuit
pada tahun 1974/1975, dalam kaitannya dengan daya upaya yang dilakukan
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
85
oleh para Misionaris Serikat Yesus dalam misinya ke daerah-daerah lain. Dari
sana, istilah ini terus berkembang dan digunakan pula dalam sinode para
uskup di Roma pada tahun 1977, yang membahas tentang katekese dan
inkulturasi (Banawiratma, 1995:19). Sinode ini mengeluarkan naskah ‘Pesan
kepada Umat Allah’ yang menyerukan agar warta dan iman Kristiani mesti
berakar dalam kebudayaan-kebudayaan umat yang menerimanya dan untuk
itu penyampaian pesan tersebut mesti sanggup untuk tidak hanya memengaruhi kebudayaan umat melainkan juga harus menerima hal-hal
tertentu dari kebudayaan-kebudayaan yang ada, terutama yang mendukung
pengakaran iman. Berikut adalah pendapat pembesar umum Serikat Yesus,
Pedro Arrupe (dalam Banawiratma, 1995:19) dalam sinode tersebut.
Inkulturasi terjadi kalau hidup beriman digerakkan sungguh-sungguh
oleh Roh Kudus. Yesus Kristus adalah Juru Selamat bagi semua orang dengan
semua kebudayaan mereka. Inkulturasi merupakan dialog terus-menerus
antara Sabda Allah, termasuk iman, dengan manusia dalam banyak segi dan
cara kehidupannya.”
Sampai pada titik ini, inkulturasi sudah semakin dikenal secara universal
dan tumbuh kesadaran untuk menerapkannya.
Gereja universal secara resmi menggunakan istilah inkulturasi berkat
Paus Yohanes Paulus II. Bapa Suci menggunakan istilah ini dalam ensiklikensiklik (Slavorum Apostoli dan Redemptoris Missio) dan anjuran apostoliknya
(Catechesi Tradendae). Dalam anjuran Catechesi Tradendae ia menghubungkan
istilah inkulturasi dengan inkarnasi dan katekese. Menurutnya, inkarnasi
merupakan sebuah bentuk inkulturasi di mana Kristus menghadirkan diri
dalam konteks sosio-budaya masyarakat tertentu, masyarakat Yahudi. Dengan
bersandar pada misteri inkarnasi, beliau berpendapat bahwa hal yang sama
juga mesti terjadi dalam katekese sebagai sarana pewartaan iman. Katekese
mesti membudaya karena menggunakan metode, sarana dan nilai-nilai dari
adat kebiasaan atau cara hidup setempat untuk menjelaskan, memahami dan
menghayati misteri keselamatan yang diwujudkan oleh Yesus Kristus. Dengan
demikian iman yang diwartakan melalui katekese dapat diterima dengan
mudah oleh umat. Hal ini selaras dengan pandangan Yohanes Paulus II
tentang inkulturasi yakni inkarnasi Injil dalam pelbagai kebudayaan yang
otonom dan sekaligus memasukkan kebudayaan-kebudayaan tersebut ke
dalam kehidupan Gereja atau merupakan transformasi mendalam dari nilai86
Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia
nilai budaya, yang diintegrasikan ke dalam kristianitas dan penanaman
kristianitas ke dalam aneka budaya manusia.
Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa lewat inkulturasi Injil dan
kebudayaan terintegrasi. Hal ini diterangkannya dalam Ensiklik Redemptoris
Missio no. 52 ringkasnya berbunyi:
“The process of the Church’s insertion into peoples’ cultures is a lengthy
one. It is not a matter of purely external adaptation, for inculturation
means the intimate transformation of authentic cultural values
through their integration in Christianity and the insertion of
Christianity in the various human cultures.”
Penggunaan oleh Paus Yohanes Paulus II inilah yang menandai puncak
penggunaan istilah inkulturasi Gereja. Dari sini pula bermula penerapan
inkulturasi oleh Gereja terutama dalam Gereja-Gereja lokal. Perlu dipahami
bahwa inkulturasi yang dimaksud bukan hanya menyangkut hal-hal lahiriah,
melainkan lebih pada usaha untuk menjiwai kebudayaan dengan semangat
iman Kristianidan dengannya iman itu berakar dalam diri umat.
Pokok yang dapat disimpulkan dari pembahasan mengenai sejarah
inkulturasi dan penggunaan istilah inkulturasi dalam Gereja ialah bahwa
inkulturasi telah berlangsung sejak awal dalam kehidupan Gereja dan Gereja
mesti menyatu dengan kebudayaan di mana ia dibangun demi pengakaran
iman. Inkulturasi adalah sesuatu yangharus dilakukan Gereja. Tanpa
inkulturasi iman tidak akan bertumbuh dengan subur. Ketiadaan inkulturasi
berpotensi menumbuhkan perasaan keterasingan umat akan imannya,
terutama jika iman telah didandani kebudayaan lain.
Dasar-Dasar Teologis Penerapan Inkulturasi
Pelaksanaan inkulturasi dalam Gereja muncul bukan terutama karena
konteks zaman maupun tuntutan pewartaan semata. Inkulturasi sebenarnya
telah lama berkembang dalam Gereja, sejak Gereja itu ada dan bahkan sejak
Kristus menjelma menjadi manusia. Adapun dasar-dasar teologis pelaksanaan inkulturasi dalam Gereja ialah sebagai berikut.
Pertama, peristiwa Inkarnasi. Dalam peristiwa Inkarnasi, Allah menjadi
manusia (bdk. Luk 1: 26-38), sebenarnya telah terkandung inkulturasi.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
87
Melalui Inkarnasi, Allah menerima, memakai dan mengangkat seluruh segi
kehidupan manusia dengan segenap kebudayaannya sebagai medan pertemuan dan komunikasi manusia dengan diri-Nya (Martasudjita, 2005: 137).
Melalui inkarnasi, Allah sebenarnya menginkulturasikan diri ke dalam
budaya manusia, khususnya budaya Yahudi. Masuknya Allah dalam realitas
manusia menunjukkan bahwa Allah pertama-tama menyatukan diri dengan
situasi konkret hidup manusia dan kemudian mengangkat mereka dalam
sebuah relasi yang intim dengan-Nya melalui iman. Peristiwa Inkarnasi
menunjukkan bahwa Allah hendak menyucikan kebudayaan manusia dan
menjadikannya sebagai sarana yang akan mengantar manusia kepada-Nya.
Hal ini ditopang pendapat Paus Yohanes Paulus II dalam Catechesi Tradendae
yang menggarisbawahi inkarnasi sebagai sebuah bentuk inkulturasi, di mana
Kristus menghadirkan diri dalam konteks sosio-budaya masyarakat tertentu,
untuk kemudian menjiwainya dan mengangkat manusia lengkap dengan
segala kebudayaannya kepada-Nya. Kenyataan bahwa Allah, melalui Kristus,
menjelma menjadi manusia mengingatkan keharusan adanya inkulturasi.
Jika Kristus, sebagai mempelai Gereja, telah lebih dahulu menginkulturasikan
diri, dari sendirinya Gereja yang adalah mempelai-Nya mengarah ke sana.
Dengan kata lain, penerapan inkulturasi menjadi mungkin karena adanya
peristiwa inkarnasi yakni penginkulturasian diri Allah dalam kebudayaan
dan realitas hidup manusia.
Kedua, Misteri Paskah. Misteri Paskah memang merupakan penebusan
manusia dari dosa oleh Allah melalui Yesus Kristus. Tetapi penebusan tersebut
sebenarnya mencakup seluruh dimensi hidup manusia termasuk kebudayaannya. Penebusan dalam peristiwa Paskah turut menebus kebudayaan manusia.
Melalui Paskah, Yesus menyucikan seluruh ruang kehidupan manusia termasuk kebudayaannya (Martasudjita, 2005:137). Pemurnian dan penyucian
kebudayaan inilah yang juga memungkinkan adanya inkulturasi sebagai jalan
pembudayaan iman. Alasannya jelas yakni penebusan oleh Allah menjadikan
kebudayaan sebagai sarana pengungkapan iman. Dengan iman yang melekat
pada kebudayaan yang ditebus, manusia masuk dalam kesucian dan dengan
cara yang sama mereka juga akan semakin berakar dalam iman.
Ketiga, Misteri Pentakosta. Hadirnya Roh Kudus dalam Pentakosta (Kis
2: 1-12) merupakan penanda keharusan inkulturasi dalam Gereja. Hal ini
tampak dalam Peran Roh Kudus yang memampukan para murid berbicara
88
Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia
dalam pelbagai bahasa (Kis 2:4). Penggunaan bermacam-macam bahasa
mengisyaratkan agar pewartaan mesti melibatkan suatu dimensi kebudayaan.
Pewataan iman yang melibatkan sisi kebudayaan ini terjadi dalam inkulturasi.
Melalui inkulturasi semua orang dapat memahami Sabda Allah yang
diwartakan dan melaluinya pula mereka diantar pada iman yang kokoh akan
Kristus. Pada titik ini inkulturasi memampukan orang untuk membuka diri
dan hati bagi Karya Keselamatan Allah. Mengenai keterbukaan untuk
menerima pewartaan atau dalam bahasa Lukas (penulis Kisah Para Rasul)
‘orang-orang yang menerima pewartaannya itu memberi diri dibaptis’ (Kis 2:
41) ini, E. Martasudjita (2005:138) mengatakan berkomentar demikian:
“Keterbukaan hati dan kesediaan diri untuk dibaptis menunjukkan
bahwa segala bangsa dengan segala kebudayaannya adalah orangorang yang memiliki kerinduan hati akan berita keselamatan Allah
melalui Yesus Kristus. Dengan kata lain, segala bangsa, dengan
segala kebudayaannya, memiliki kesesuaian dengan Injil Yesus
Kristus berkat karunia Roh Kudus. Roh kudus itulah yang
membagikan dan menghadirkan Karya Keselamatan Allah kepada
setiap orang.”
Bila ditelisik lebih jauh, pernyataan ini menekankan sisi inkulturasi yang
selalu dijiwai oleh Roh Kudus. Berkat Roh Kudus, inkarnasi menjadi berdaya
guna yakni menjadikan iman akan Kristus itu ada dan mengakar dalam diri
umat yang berasal dari beragam kebudayaan.
Uraian di atas menegaskan kemutlakan penerapan inkuluturasi dalam
Gereja. Memang tidak dapat dimungkiri bahwa pelaksanaan inkulturasi
selalu mendapat tantangan. Salah satunya adalah umat atau Gereja itu sendiri
yang tidak mau kehilangan imannya yang otentik. Penjelasan tentang dasardasar teologis ini sekiranya membuka wawasan umat akan arti dan alasan
pelaksanaan inkulturasi dalam Gereja.
Makna Inkulturasi
Dewasa ini, upaya inkulturasi masif dilakukan dalam Gereja terutama
oleh Gereja-Gereja lokal seperti halnya Gereja Indonesia. Di saat yang sama
pemahaman anggota Gereja terhadap inkulturasi masih kurang. Ketika umat
ditanya mengenai apa itu inkulturasi, mereka hanya fokus pada hal-hal
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
89
lahiriah. Contohnya saat ditanya mengenai apa itu misa inkulturasi umat
akan menerangkannya sebagai suatu Perayaan Ekaristi yang melibatkan kekayaan budaya setempat semisal imam menggunakan pakaian adat (Sarjan:
dalam adat jawa), nyanyian misa dinyanyikan dalam bahasa daerah dan
adanya tari-tarian dalam ritus tertentu (Martasudjita, 2006:176). Pemahaman
demikian tidak sepenuhnya salah, tetapi dari sendirinya menghilangkan
alasan mendasar diadakannya inkulturasi dalam Gereja. Artinya bahwa
inkulturasi tidak lagi dipandang sebagai sarana agar umat memiliki iman
yang kokoh, melainkan hanya upaya memasukan nuansa budaya dalam ritus
dan pelayanan Gereja. Pemahaman semacam ini perlu diluruskan.
Dalam KBBI, kata inkulturasi dipadankan dengan kata enkulturasi yang
artinya pembudayaan. Jika ditarik dari pengertiaan ini dapat dikatakan bahwa
inkulturasi (dalam Gereja) adalah pembudayaan hidup menggereja atau iman
gereja. Pengertian ini sekiranya belum lengkap sebab tidak mencakup semua
kekayaan makna dan pemaknaan inkulturasi dalam Gereja. Oleh karena itu
berikut akan diberikan beberapa definisi inkulturasi baik yang diberikan oleh
dokumen Gereja maupun oleh tokoh-tokoh yang punya perhatian dalam
bidang inkulturasiGereja.
Pertama, menurut Paus Yohanes Paulus II. Dalam ensiklik Redemptoris
Missio art. 52 Paus Yohanes Paulus II mendefinisikan inkulturasi sebagai
sebuah proses transformasi intim dari nilai-nilai budaya otentik melalui
integrasi mereka dalam agama Kristen dan penyisipan agama Kristen dalam
berbagai budaya manusia (The intimate transformation of authentic cultural
values through their integration in Christianity and the insertion of Christianity
in the various human cultures). Defenisi ini merujuk pada pemahaman bahwa
inkulturasi adalah upaya menyatukan iman Gereja dengan kebudayaan di
mana ia berkembang. Inkulturasi dipandang sebagai suatu pengintegrasian
pengalaman Kristiani ke dalam kebudayaan setempat sedemikian rupa,
sehingga pengalaman tersebut tidak hanya mengungkapkan diri di dalam
unsur-unsur kebudayaan bersangkutan, melainkan juga menjadi kekuatan
yang menjiwai, mengarahkan dan memperbarui kebudayaan bersangkutan
dan dengan demikian menciptakan suatu kesatuan dan ‘communio’ baru,
tidak hanya di dalam kebudayaan tersebut, melainkan mencakup juga Gereja
sejagat. Tujuan inkulturasi yang demikian ialah agar umat mudah menerima
pewartaan Gereja dan mampu berakar dalam imannya. Ini bisa diwujudkan
90
Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia
melalui inkulturasi karena di dalamnya apa yang dibawa Gereja begitu dekat
dengan umat dan bukan merupakan kebudayaan daerah lain. Inkulturasi
oleh Gereja juga dapat menyucikan dan memurnikan kebudayaan umat,
sehingga menjadi sarana yang layak bagi pemuliaan Allah.
Kedua, Martasudjita. Martasudjita (2005:131) mendefinisikan inkulturasi
sebagai suatu proses yang terus-menerus, dalam mana Injil diungkapkan ke
dalam suatu situasi sosio-politis, religius-kultural dan sekaligus Injil itu menjadi daya dan kekuatan yang mengubah serta mentransformasikan situasi dan
kehidupan orang-orang setempat. Martasudjita memaksudkan bahwa dengan
mengadakan inkulturasi, semangat injili dan iman yang dibawa Gereja masuk
dalam realitas masyarakat setempat dan menjadi semacam roh yang menghidupkan budayanya. Singkatnya, iman mengakar dan membudaya dalam
diri umat serta di saat yang sama kebudayaannya dimurnikan. Pemurnian ini
menjadikan kebudayaan sebagai sarana pengungkapan iman akanAllah.
Ketiga, menurut Petrus Maria Handoko. Definisi Handoko tidak jauh
berbeda dengan pendapat sebelumnya. Menurut Handoko (2012), inkulturasi
berarti usaha-usaha Gereja untuk menghayati iman Katolik yang diungkapkan
dalam kekhasan dan kekayaan setiap budaya. Budaya-budaya tersebut tidak
hanya digunakan sebagai pakaian luar atau “bedak”, tetapi masuk dan
menyentuh nilai-nilai khasnya yang diangkat dan disempurnakan dalam
penghayatan iman. Tujuan inkulturasi menurut beliau ialah terjadinya
persenyawaan antara iman Katolik dan nilai-nilai luhur budaya, sehingga
pernyataan iman menyatu dalam ungkapan-ungkapan budaya. Handoko
mengartikan inkulturasi dalam Gereja sebagai saat di mana iman dan Gereja
masuk dalam budaya tertentu dan kemudian menyatu dengannya.
Dari beberapa definisi di atas, inkulturasi dapat dikatakan sebagai sebuah
peristiwa masuk dan meresapnya iman ke dalam konteks umat, terutama
realitas budayanya. Inkulturasi dilakukan agar iman diterima, dihidupi serta
mengakar dan menjiwai kehidupan konkret umat termasuk kebudayaannya.
Definisi ini memuat tiga hal penting yaitu:
a)
Inkulturasi bukan hanya soal pengungkapan iman Gereja universal
dalam tata cara budaya tertentu, melainkan mencakup penghayatan hidup konkret yang secara mendasar diubah dan ditransformasikan oleh
Injil Kristus yang diimani. Inkulturasi tidak hanya tampak di luar,
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
91
melainkan mesti terpancar dalam hidup nyata umat beriman. Perwujudan inkulturasi hendaknya mendorong umat makin beriman,
memandang ritus-ritus budayanya dari sudut pandang iman dan
menggunakannya sepenuh-penuhnya untuk memuji Allah dan
menyerupai Kristus dalam segala hal.
b) Inkulturasi membutuhkan penghayatan iman. Perayaan atau bentuk pelayanan Gereja yang diwarnai budaya tidak hanya mendekatkan orang
dengan budayanya sendiri, melainkan mesti membentuk umat agar
matang dan dewasa dalam iman. Dalam misa inkulturasi misalnya, umat
mestinya tidak hanya sampai pada penggunaan bahasa daerah dan
busana adat. Maksudnya melalui instrumen yang ada mereka harusnya
semakin sadar dan matang dalam (ber)iman. Bukti kematangan iman ini
misalnya ditunjukkan dengan mengikuti Perayaan Ekaristi secara pantas,
menaruh kepercayaan penuh pada kehadiran Kristus dalam rupa Roti
Anggur dan dalam perayaan yang ada mampu mewujudkan persekutuan
dengan Allah dan sesama.
c) Inkulturasi mencakup proses transformasi budaya yang didorong,
diarahkan dan dijiwai oleh Injil dan iman akan Kristus. Artinya budayabudaya yang ada dan diterapkan mesti berakar pada Injil dan iman.
Arti Pembudayaan Iman
dalam Konteks Inkulturasi Gereja Indonesia
Iman harus membudaya (Pareira, 2012:29). Artinya iman mesti masuk
dan mengakar dalam diri penerimanya. Pernyataan ini mengandung pemahaman mengenai apa itu pembudayaan iman. Pembudayaan iman
ringkasnya adalah proses masuknya iman dalam budaya dan melaluinya
iman mengakar atau menjadi semacam budaya baru yang dihidupi umat.
Dalam Gereja Katolik, termasuk Gereja Indonesia, pembudayaan iman
diwujudkan melalui inkulturasi. Pembudayaan iman dalam konteks
inkulturasi oleh Gereja Indonesia adalah upaya memasukan iman dalam
kebudayaan sekaligus menarik hal-hal tertentu dari padanya. Tujuannya agar
iman mampu diterima dan mengakar pada umat melalui penghayatan
konkretnya. Pembudayaan iman oleh dan dalam Gereja Katolik Indonesia
bukan hanya soal terbangunnya budaya baru dalam kerangka iman, tetapi
bagaimana kebudayaannya yang beragam menjadi jalan bagi pengungkapan
iman dalam kehidupan konkret. Inkulturasi sangat dibutuhkan di Indonesia
92
Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia
yang beragam, plural atau lebih jelasnya multikultural, karena melaluinya
iman di Gereja lokal (keuskupan) akan bertumbuh. Inkulturasi menjadikan
iman tidak bertentangan dengan kebudayaan masyarakat dan lebih jauh
mencegah penyeragaman yang kadangkala membuat umat merasa terasing
dari imannya sendiri. Penyeragaman di sini misalnya penggunaan lagu-lagu
bernuansa Jawa di seluruh Indonesia. Hal ini tentu dapat menimbulkan
persoalan bagi umat kebudayaan lain (luar Jawa) yang memiliki corak
nyanyian khas, semisal umat di Flores.
Bidang dan Langkah Penerapan Inkulturasi di Indonesia
a.
Bidang Persaudaraan (Koinonia)
Kisah Para Rasul dengan jelas melukiskan kehidupan Jemaat Kristen
Perdana yang hidup sehati sejiwa, berkumpul untuk memecahkan roti
dan menjual kepunyaan mereka demi kepentingan bersama. Kehidupan
Jemaat Perdana ini menunjukkan adanya persekutuan diantara mereka
yang terwujud karena Kristus hadir di dalamnya (Banawiratma, 1995:23).
Praksis hidup Jemaat Kristen Perdana tentu tidak lahir begitu saja.
Adanya persekutuan sebagai pengamalan ajaran Kristus pertama-tama
terjadi karena penyertaan Roh Kudus dan kemudian karena umat merasa
dekat dengan apa yang disabdakan Injil. Perasaan ini tumbuh ketika
iman hadir dalam wujud yang dapat diterima. Dalam hal inilah
inkulturasi berperan. Melalui inkulturasi, umat dengan berbagai kebudayaan merasa dekat dengan iman, karena iman menghadirkan diri
dalam budaya yang mudah dipahami dan diterima. Peran inkulturasi ini
terlihat jelas dalam umat Kristen di Yunani, yang mana dalam membentuk
persekutuan berlandaskan iman, mereka tetap mempertahankan budaya
aslinya terutama bahasa. Mereka menggunakan produk budaya tersebut
untuk membangun persekutuan dengan sesamanya. Selain dalam Jemaat
Kristen Yunani, hal serupa juga terjadi dalam diri umat Kristen Yahudi di
mana mereka berhasil membentuk persekutuan yang kuat karena budaya
Yahudi juga ada disana. Contohnya ialah kebiasaan makan bersama,
berkumpul dan memecahkan rotidalam Jemaat Perdana telah lebih
dahulu ada dalam kebudayaan Yahudi (bdk. Kis. 2:41-47).
Dalam perkembangan Gereja Indonesia, inkulturasi bidang
persekutuan sangat tampak. Ajaran Kristus untuk hidup sehati sejiwa
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
93
misalnya dengan mudah diterima ketika ia dimasukkan dalam budaya
gotong-royong yang telah berkembang dalam diri umat. Pengakaran
iman dalam gotong royong ini terwujud dalam penghayatan iman
konkret umat semisal dengan membantu umat yang kesusahan, gotong
royong membangun tempat ibadah, dan berbagai aksi lainnya.
b.
Bidang Pewartaan (Kerygma)
Kehidupan Gereja lahir dari Peristiwa Sabda (1Ptr 1:23), berkembang karena Pewartaan Sabda, dan merupakan jawaban manusia atas
Peristiwa Sabda (Pareira, 2012:32). Kehidupan Gereja yang bersandar
pada Pewartaan Sabda menunjukkan peran penting pewartaan dalam
Gereja. Peran ini mewujud dalam penyebarluasan Injil dan Karya
Keselamatan yang dibawa Kristus. Karena pewartaan memiliki peran
esensial dalam memberitakan Injil dan Karya Keselamatan Allah, sudah
selayaknya jika hal tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tepat.
Sasarannya tentu agar pewartaan tentang Karya Allah mudah diterima
dan dicerna umat. Kemampuan umat menerima pewartaan memungkinkan kelahiran Gereja di tempat yang baru. Merealisasikan tujuan ini
tidaklah mudah sebab pewartaan selalu melibatkan si pewarta dan yang
menerima pewartaan. Kedua tokoh yang terlibat dalam pewartaan ini
tentu memiliki budaya dan situasi sosialnya masing-masing. Mengatasi
perbedaan yang ada, dalam memberi kesaksian tentang Injil seorang
pewarta harus bertitik tolak dari budaya si penerima Kabar Gembira.
Ketika pewarta dapat masuk dalam situasi setempat, dengan sendirinya
Injil dan iman yang diberitakannya bisa diterima dan dihidupi.
Hal-hal di atas mendapat tempatnya dalam inkulturasi. Dengan
inkulturasi seorang pewarta masuk dalam kebudayaan tertentu dan
menggunakan produk kebudayaan tersebut untuk menyampaikan Kabar
Gembira yang dibawanya. Inkulturasi dalam bidang pewartaan ini
ditunjukkan pertama-tama melalui penggunaan bahasa daerah setempat
oleh si pewarta. Para misionaris awal di Indonesia misalnya berusaha
untuk menggunakan Bahasa Indonesia atau pun bahasa daerah seperti
Bahasa Jawa dalam mewartakan Injil.
Selain penggunaan bahasa, inkulturasi dalam konteks pewartaan
juga ada dalam wujud lain seperti dalam katekese. Mengikuti seruan
94
Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia
Yohanes Paulus II dalam Catechesi Tradendae, para pewarta hendaknya
sebisa mungkin menggunakan instrumen budaya dalam berkatekese,
sehingga pewartaannya mampu diterjemahkan umat dalam kehidupan
konkret. Cara yang samamembuat iman yang diwartakan dapat
memurnikan budaya dan mengangkatnya menjadi sarana pemuliaan
Tuhan. Contoh penggunaan instrumen budaya dalam katekese
ditunjukkan oleh Keuskupan Ruteng, Flores. Gereja Keuskupan Ruteng
melakukan katekese yang disebut katekese Lonto Leok (duduk bersama).
Dalam katekese ini umat membahas persoalan seputar iman melalui
tahap yang disebut pembeberan dan pendalaman masalah dalam terang
kebajikan Kristen (Habur, 2016:222). Kedua tahap ini dilakukan guna
menemukan jalan keluar dari masalah yang dihadapi atau pun menemukan solusi untuk mencegahnya.
c.
Bidang Perayaan Iman (Leitourgia)
Sebelum Konsili Vatikan II perayaan liturgi Gereja Katolik terkesan
kaku. Ini tampak dalam keharusan untuk merayakan Ekaristi dengan
bahasa dan ‘nuansa’ Latin. Pelaksanaan upacara liturgis dalam nuansa
budaya lain membuat umat kesulitan, terutama jika tidak dapat
memahami arti bahasa atau makna setiap rumusan liturgis yang ada.
Dampaknya umat mengikuti perayaan dengan kehampaan dan belum
masuk sungguh-sungguh dalam misteri yang dirayakan dan dalam iman
itu sendiri. Persoalan seperti inilah yang mengharuskan adanya
inkulturasi, sebab melalui inkulturasi, iman itu dirayakan dalam nuansa
budaya setempat, sehingga umat mudah masuk dalam misteri yang
dirayakan dan pada akhirnya dengan mudah menerjemahkan imannya
dalam kehidupan sehari-hari.
Inkulturasi bidang liturgi di Indonesia semakin berkembang
terutama mewujud dalam adanya Misa Inkulturasi. Misa inkulturasi
terbuka untuk dimasuki unsur-unsur budaya dalam ritus-ritusnya,
asalkan tidak bertentangan dengan kaidah Gereja Universal.Model
inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi (liturgi) di Indonesia tampak dalam
penggunaan bahasa daerah (semisal Bahasa Jawa, Manggarai, dan
Kalimantan) selama perayaan berlangsung, adanya tarian pada ritus
tertentu dan penggunaan busana adat.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
95
Upaya inkulturasi ini penting agar umat mampu meghayati iman
dengan lebih baik. Hanya perlu ditegaskan agar inkulturasi yang dilaksanakan tidak hanya terbatas pada segi lahiriah semata, melainkan
harus sampai pada penghayatan iman secara konkret.
Langkah Penerapan Inkulturasi
Menurut Martasudjita penerapan inkulturasi dalam Gereja Indonesia
dilakukan dalam empat tahap, yakni tahap pengambil alihan (imposition),
penerjemahan, penyesuaian, dan inkulturasi (Martasudjita, 2005:130). Akan
tetapi dalam pembahasan ini penulis akan menyatukan tahap inkulturasi
dengan tahap penelanjangan iman dari pengaruh budaya asing dan pengenaan
busana baru padanya sesuai konteks budaya setempat. Penyatuan ini terjadi
karena inkulturasi lahir dari ‘penelanjangan’ iman tanpa menghilangkan
keasliannya.
a.
Pengambil Alihan (Imposition)
Menurut Martasudjita imposition adalah tahap di mana orang
mengambil alih atau menggunakan begitu saja rumusan iman atau teksteks yang berhubungan dengannya sesuai rumusan asalinya (Martasudjita,
2005:130). Tahap pertama ini tampak dalam perayaan atau teks-teks
iman sebelum Konsili Vatikan II di mana semua yang berkaitan dengan
iman dan pengungkapannya tetap menggunakan Bahasa Latin. Tahap
yang pertama ini sebetulnya belum bisa dikategorikan dalam tahap
inkulturasi, meskipun tetap mengarah ke sana, karena umat masih
menggunakan produk budaya lain seperti halnya bahasa. Meski
demikian, yang patut diperhatikan ialah penghayatan umat dalam
mengikuti upacara yang bernuansa asing itu tentu memiliki kekhasan
tersendiri yang senada dengan kebudayaannya. Perayaan iman yang
dilakukan orang Indonesia tidak mungkin persis nuansanya dengan
yang dirayakan umat bangsa lain kendati keduanya menggunakan bahasa
atau rumusan yang sama.
b.
Penerjemahan
Penerjemahan adalah tahap yang lebih mendalam dari pengambilalihan. Pada tahap ini iman dengan segala rumusannya mulai diterjemahkan ke dalam konteks budaya setempat. Gereja Indonesia melaksanakan
tahap ini dengan menerjemahkan bahasa-bahasa liturgis ke Bahasa
96
Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia
Indonesia atau bahasa daerah di mana Gereja itu ada dan berkembang.
Penerjemahan juga tampak dalam pelaksanaan karya pewartaan dan
persekutuan yang menggunakan aneka kearifan lokal suatu masyarakat.
Contohnya katekese ala Lonto Leok dalam Gereja Katolik Manggarai dan
perwujudan persekutuan yang kuat antarumat melalui gotong-royong.
Dalam penerjemahan, iman belum sepenuhnya meresap ke dalam diri
umat, kendati mereka mulai mengerti dan memahami arti rumusan
iman yang diungkapkannya. Alasannya dalam penerjemahan hanya ada
pengalihan rumusan agar mudah dicerap umat dan belum sampai pada
penyesuaian-penyesuaian yang membuat iman itu meresap secara mendalam dalam diri dan kebudayaan umat Gereja Lokal.
c.
Penyesuaian
Penyesuaian (adaptation) adalah langkah yang lebih maju ketimbang
penerjemahan (Martasudjita, 2005:139). Istilah adaptasi dalam pembudayaan iman telah lama digemakan Gereja terutama dalam Konsili Vatikan II
saat Gereja mulai terbuka dengan dunia dan segala kekhasannya.
Penyesuaian dalam tahapan inkulturasi ditunjukkan dengan penerimaan
bagian-bagian tertentu dari budaya yang selaras dengan iman atau dalam
konteks inkulturasi liturgi sejalan dengan semangat dan keaslian liturgi
itu sendiri. Contoh pelaksanaan penyesuaian ialah adanya tarian pada
ritus tertentu dalam Misa, menyanyikan nyanyian liturgi menurut
nuansa musik daerah, penggunaan pakain adat dalam perayaan iman,
pelaksanaan pewartaan yang sesuai konteks masyarakat seperti katekese
Lonto Leok dalam Gereja Manggarai dan penggunaan rumusan adat
dalam upacara iman semisal penggunaan Torok ketika perarakan
persembahan dalam Misa di Gereja Manggarai.
Meskipun lebih maju dari penerjemahan, penyesuaian memiliki arti
yang hampir sama dengannya dan belum menjangkau hakikat inkulturasi.
Sama seperti penerjemahan, penyesuaian lebih berat ke aspek lahiriah
semata. Penyesuaian menyibukkan diri dengan mempertimbangkan hal
mana yang mesti diterima atau ditolak. Hal ini memunculkan pengaburan
arti inkulturasi. Inkulturasi disempitkan pada adanya nuansa budaya
dalam iman. Dengan kata lain, budaya tidak menjadi sarana pengungkapan iman dan praksisnya tidak lagi dijiwai iman. Budaya dipandang
sebagai yang mendasari iman bukan sebaliknya. Inilah pandangan keliru
yang lahir dari penyesuaian.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
97
d.
Penelanjangan dan Pemakaian Busana Baru pada Iman: Inkulturasi
Iman yang diwartakan dan sampai ke tengah-tengah umat di
Indonesia mendapat pengaruh budaya lain khususnya budaya Eropa.
Contoh pengaruh ini nyata dalam gaya bangunan tempat ibadah, model
pakaian liturgi dan lain sebagainya. Kenyataan ini tidak mengherankan
karena iman dan Gereja lebih dahulu membudaya di Eropa(Pareira,
2012:31). Dalam menghadapi persoalan inilah tahap penelanjangan
iman dari pengaruh budaya asing berperan. Dengan penelanjangan
iman dari budaya lain, Gereja Indonesia berusaha melepaskan diri dari
pengaruh kultur Eropa. Penelanjangan iman artinya iman itu dilepaskan
dari embel-embel kebudayaan lain, tanpa menghilangkan keasliannya,
dan kemudian Gereja di tempat yang baru mengenakan pada iman
busana baru yang sesuai dengan adat dan tata cara kebudayaannya.
Menurut penulis dalam tahap penelanjangan iman inilah inkulturasi
terwujud. Hal ini terjadi karena penelanjangan iman dari budaya asing
dan pengenaan busana baru padanya mengarah ke tujuan inkulturasi
yakni agar iman itu mengakar, membudaya, menjiwai kebudayaan dan
tampak dalam penghayatan konkret. Dengan demikian, inkulturasi
identik dengan penelanjangan iman dan sebaliknya penelanjangan iman
identik dengan inkulturasi atau merupakan inkulturasi itu sendiri. Lebih
dari tahap-tahap sebelumnya inkulturasi (penelanjangan iman dari
busana budaya lain) tidak lagi terbatas pada hal lahiriah melainkan pada
penyatuan antara iman dan budaya. Dalam inkulturasi budaya ditransformasikan ke dalam iman dan sebaliknya iman menjiwai ritus-ritus atau
ungkapan kebudayaan secara menyeluruh. Berkat inkulturasi iman
mampu dihayati dan mengakar dalam diri umat dan kebudayaannya.
Penyatuan iman dan kebudayaan membuat Kristus dan sabda-Nya dapat
dengan mudah diterima dan dicerna umat karena mereka merasa dekat
dengannya. Sebagai yang mengalir dan tak terpisahkan dari penelanjangan
iman, inkulturasi membuat iman meresap dan identik dengan corak
budaya setempat tanpa kehilangan autentisitasnya.
Sebagaimana Gereja Universal, prinsip utama inkulturasi di Indonesia adalah kesesuaian dengan Injil dan dalam persekutuan dengan Gereja
Universal. Adapun ciri khas inkulturasi adalah unsur budaya setempat
tetap tetapi roh dan maknanya diterangi iman dan Injil Kristus. Contoh
98
Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia
perwujudan inkulturasi ialah upacara teing hang (acara penghormatan
leluhur) dalam masyarakat Manggarai yang sebelumnya dipandang
sebagai ‘penyembahan berhala’ kini telah dimasuki unsur iman. Hal ini
tampak dalam tujuan diadakannya acara tersebut yakni berdoa kepada
Tuhan melalui perantaraan mereka yang telah meninggal. Kepengantaraan leluhur ini dilukiskan dengan kata-kata: le meu koes podod ngger le
ranga de Morin (kalianlah yang meneruskannya ke hadirat Tuhan).
Pelaku Inkulturasi
Dalam anjuran Catechesi Tradendae Paus Yohanes Paulus II sedikitnya
menyentil (secara tak langsung) pihak yang terlibat dalam memperkenalkan
sekaligus mendorong penerapan inkulturasi di tengah umat. Dalam
berkatekese (baca: mewartakan iman akan Allah) kita mesti menggunakan
metode, sarana dan nilai-nilai dari adat kebiasaan atau cara hidup setempat
untuk menjelaskan, memahami dan menghayati misteri keselamatan yang
diwujudkan oleh Yesus Kristus. Pernyataan ini mengetengahkan bahwa yang
menjadi agen utama inkulturasi adalah para katekis.
Katekis, menurut, Mgr. Dr. Edmund Woga, CSsR adalah orang yang ikut
ambil bagian secara khusus pada pelaksanaan perutusan yang disampaikan
oleh Tuhan Yesus kepada para rasul, yakni tugas untuk mengajar (komkatkwi.org, 2019). Dikatakan khusus karena tugas ini sebenarnya menjadi
tanggung jawab setiap anggota Gereja yang telah dikuduskan sekaligus
ditugaskan oleh Allah untuk mewartakan Kabar Gembira atau iman Kristiani
kepada semua bangsa. Mereka yang termasuk dalam ruang lingkup katekis
atau pengajar iman adalah orang-orang yang dipilih dan dipanggil secara
khusus oleh Allah. Dalam konteks Gereja Katolik peran mengajar ini pertamatama dilakukan para uskup dan oleh para imam. Peran keduanya sangat
kentara dan dengan mudah ditemukan dalam sejarah Gereja.
Selain dua kelompok ini, katekis juga mencakup mereka yang mengabdi
secara khusus demi pewartaan dan pengajaran iman. Mereka yang termasuk
dalam golongan ini adalah guru agama dan para pengajar iman sukarela.
Di Indonesia, pengajaran iman pertama-tama dilakukan para misionaris
dan kemudian pengajaran mereka ini mendapat dukungan yang berdaya
guna dari guru-guru agama atau mereka yang kerap disebut katekis. Sejarah
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
99
Gereja Indonesia, tidak terkecuali di mana pun, berkembang dan mengakar
terutama karena peran para guru agama dan katekis. Mereka adalah penerus
karya pewartaan paramisionaris di lingkungan umat. Di berbagai Gereja
lokal di Indonesia, guru agama mendapat tempat yang sentral karena
merekalah yang menerjemahkan pengajaran para misionaris kepada umat.
Sehubungan dengan inkulturasi, dalam Gereja Indonesia guru agama
(katekis) memiliki peran besar dan menentukan. Merekalah yang mengadakan
inkulturasi pertama kali (kepertamaan dalam penggunaan instrumen budaya
lokal, mereka lebih ‘lihai’ dari misionaris asing) dengan cara membahasakan
atau menjelaskan hal ihwal mengenai iman melalui instrumen kebudayaan
setempat. Salah satu instrumen yang mereka gunakan adalah bahasa. Para
guru agama dan katekis berusaha menjelaskan iman dengan bahasa lokalnya,
sehingga iman yang diwartakan dapat dipahami dan diterima oleh umat.
Terkait perannya ini, Redemptoris Missio (no. 73, Bab VI) menyebutkan:
“Among the laity who become evangelizers, catechists have a place of
honor. The Decree on the Missionary Activity of the Church speaks of
them as “that army of catechists, both men and women, worthy of
praise, to whom missionary work among the nations owes so much.
Imbued with the apostolic spirit, they make a singular and absolutely
necessary contribution to the spread of the faith and of the Church by
their strenuous efforts” (Di antara kaum awam yang menjadi
penginjil, para katekis mendapat tempat terhormat. Dekrit tentang
Kegiatan Misionaris Gereja berbicara tentang mereka sebagai
“pasukan katekis, baik pria maupun wanita, layak dipuji, kepada
siapa pekerjaan misionaris di antara bangsa-bangsa berhutang
begitu banyak. Dijiwai dengan semangat apostolik, mereka membuat
satu kontribusi yang mutlak diperlukan untuk penyebaran iman dan
Gereja melalui upaya keras mereka).
Penegasan ini tentu saja berhubungan dengan inkulturasi karena ranah
pengajaran mereka ada di sana, yakni mengajar dan mewartakan iman
dengan memanfaatkan instrumen budaya (seperti bahasa). Pengajaran yang
kontekstual-budaya membuat iman membudaya, menjadi bagian dari budaya
yang dihidupi dalam kepercayaan penuh pada Allah. Melaluinya nilai-nilai
luhur budaya yang sejalan dengan ajaran iman diangkat.
100
Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia
Penjelasan ini menunjukkan bahwa pelaku inkulturasi dalam Gereja,
terutama Gereja Indonesia,ialah para katekis atau pengajar iman, baik yang
dipanggil secara khusus (imam dan uskup yang termasuk dalam hierarki)
maupun mereka yang secara sukarela membaktikan diri demi pengajaran dan
penjelmaan iman kepada umat, yakni guru agama.
Penutup
Pembudayaan iman dalam Gereja itu perlu, karena iman mesti dihidupi
sesuai konteks umat termasuk budayanya dan mesti membudaya agar dapat
mengakar dalam diri penerimanya. Dalam Gereja Katolik, pembudayaan
iman dilakukan melalui inkulturasi. Inkulturasi adalah upaya menyatukan
iman dan budaya dengan tujuan agar iman mengakar dan dihidupi dalam
konteks budaya, iman menjiwai kebudayaan dan budaya menjadi aspek yang
dapat menjadi sarana pengungkapan iman. Inkulturasi telah berkembang
dalam Gereja sejak awal dan penerapannya memiliki dasar-dasar teologis.
Dasar-dasar pelaksanaan inkulturasi dalam GerejaialahPeristiwa Inkarnasi,
Paskah Kristus dan Peristiwa Pentakosta.
Seperti Gereja di tempat lain, Gereja Indonesia juga mengusahakan
adanya inkulturasi. Tujuannya agar iman dengan mudah diterima umat
karena merasa dekat dengannya (iman hadir dalam kebudayaan mereka) dan
agar iman mengakar, membudaya dan umat menjadikan kebudayaan sebagai
salah satu ungkapan iman yang konkret. Inkulturasi dalam Gereja Indonesia
(seperti dalam Gereja Universal) mencakup tiga bidang yakni persekutuan,
pewartaan dan liturgi. Penerapan inkulturasi dalam tiga bidang ini dilakukan
melalui lima tahap yaitu pengambil alihan, penerjemahan, penyesuaian dan
penelanjangan budaya asing dan pemakaian busana baru pada iman
(inkulturasi). Pelaku inkulturasi adalah anggota Gereja secara umum dan
para katekis atau pengajar iman secara khusus seperti uskup, imam, guru
agama dan pengajar iman (katekis) yang mengabdi secara sukarela.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
101
Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal
B. Banawiratma, J. “Menjernihkan Inkulturasi.” Dalam Bina Liturgia I:
Inkulturasi, disunting oleh Komisi Liturgi MAWI, 19-28. Jakarta: Obor,
1995.
Manfred Habur, Agustinus. “Model Lonto leok Dalam Katekese Kontekstual
Gereja Lokal Manggarai.” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Vol.
8 No. 2 (2016): 217-226.
Mariyanto, Ernest. “Iman dan Kebudayaan.” Dalam Bina Liturgia I: Inkulturasi,
disunting oleh Komisi Liturgi MAWI, 14-18. Jakarta: Obor, 1995.
Martasudjita, E. “Misa Inkulturasi.” Dalam Liturgi Autentik dan Relevan,
diedit oleh Bernardus B. Ujan & Georg Kirchberger, 175-191. Maumere:
Ledalero, 2006.
_____________.“Inkulturasi Gereja Katolik Di Indonesia.” Jurnal Studia:
Philosophica et Theologica, Vol. 5 no. 2 (Oktober 2005): 127-145.
Pareira Berthold, Anton. Mari Berteologi. Yogyakarta: Kanisius, 2012.
Stolk, Harry C. “Inkulturasi: Menuju Epifani Gereja Di Indonesia.” Dalam
Bina Liturgia I: Inkulturasi, disunting oleh Komisi Liturgi MAWI, 61-74.
Jakarta: Obor, 1995.
Dokumen Gereja
Konsili Ekumenis Vatikan II. Konstitusi Tentang Liturgi Suci Sacrosanctum
Conscilium. Dalam Dokumen Konsili vatikan II. Penerj. R. Hardawiryana.
Jakarta: Dokpen KWI-Obor, 1993.
Konsili Ekumenis Vatikan II. Dekrit Tentang Kegiatan Misoner Gereja Ad
Gentes. Dalam Dokumen Konsili Vatikan II. Penterj. R. Hardawiryana.
Jakarta: Dokpen KWI-Obor, 1993.
102
Inkulturasi: Jalan Pembudayaan Iman di Indonesia
QUO VADIS KATEKIS:
Katekese Kebangsaan
dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput
Vinsensius Rixnaldi Masut
Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana
Pendahuluan
Manusia adalah makhluk sosial. Ia selalu membutuhkan manusia lain
untuk mewujudkan dirinya.Karena itu filsuf Yunani klasik, Aristoteles
menjelaskan manusia adalah zoon politicon atau menurut Adam Smith, homo
homini socius. Bahkan Yesus sendiri pun mengartikan kehadiran orang lain
dalam societas sebagai tanda kehadiran-Nya: “Di mana dua atau tiga orang
berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat
18:20). Hal ini berarti orang lain adalah sesama yang kehadirannya patut
dihargai dan dihormati. Adapun perwujudannya yang paling sederhana ialah
melalui spiritualitas kehadiran.
Panggilan menjadi warga negara Indonesia (WNI) sekaligus menjadi
umat Katolik di Indonesia juga menuntut spiritualitas kehadiran; hadir
sebagai warga negara Indonesia (WNI) dan pada saat yang sama juga hadir
sebagai umat Katolik. Hal ini sesuai dengan makna Gereja disebut Katolik,
yaitu karena keterbukaannya (untuk siapa saja), menyeluruh (lengkap
berkaitan dengan ajarannya) dan tersebar ke seluruh dunia. Itulah arti kata
Katolik yang disimpulkan dari pernyataan Santo Igantius dari Antiokhia
(Suharyo, 2009:18-19). Konsekuensi logis selanjutnya ialah penghayatan
iman Katolikdi Indonesia hendaknya tidak hanya terarah pada praktik liturgi
semata atau persekutuan ke dalam Gerejatetapi juga menuntut keterlibatan
aktif dalam hidup berbangsa dan bernegara atau dalam ranah yang paling
konkret adalah kehidupan bermasyarakat.
Direktur Jendral (Dirjen) Bimbingan Masyarakat (Bimas) Katolik yang
baru, Yohanes Bayu Samodro seperti yang dikutip dari Majalah Hidup Edisi
30 Agustus 2020, hlm. 4, menjelaskan bahwa umat Katolik cenderung pasif
dalam menjalankan tugas sosial, seperti menjadi ketua RT, RW, Lurah atau
kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya. Menurutnya penghayatan iman
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
103
mereka lebih cenderung terarah pada persekutuan ke dalam, bukan ke luar.
Padahal panggilan untuk menjadi umat Katolik di Indonesia juga menuntut
keterlibatan aktif dalam hidup bersama. Kenyataan lain yang juga terjadi
selama ini menunjukkan bahwa panggilan Gereja untuk membangun bangsa
rupanya hanya menjadi tugas hierarki Gereja, kaum religius, kaum akademis,
tokoh masyarakat ataupun institusi-institusi Katolik. Umat Katolik akar
rumput dinilai masih menutup diri dengan pergulatan-pergulatan tersebut.
Hemat Penulis, di sinilah makna penting kehadiran para Katekis yang
berjiwa kebangsaan. Mereka menjadi promotor dan penggerak utama dalam
mewartakan Kristus yang “membayar pajak kepada Kaisar” (Mat 22:21).
Kenyataan menjadi agama minoritas hendaknya tidak menjadi sebuah alasan
bagi umat Katolik akar rumput untuk bersikap pasif dan apatis dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, pembentukkan dan
pendampingan para Katekisdengan muatan kebangsaan menjadi suatu yang
niscaya untuk segera dilakukan.
Pendasaran Biblis dan Ajaran Gereja
mengenai Keterlibatan Gereja
a)
Kitab Suci
Kitab suci adalah buku kumpulan teologi-teologi kontekstual yang
ditulis di bawah bimbingan Roh Kudus oleh berbagai pengarang dari
pelbagai zaman untuk menanggapi berbagai persoalan iman yang
dihadapi (Pareira, 2012:45). Kitab suci menjadi sumber dan pegangan
utama Gereja dalam berteologi, termasuk diskursus seputar keterlibatan
Gereja dalam kancah Pembangunan Nasional. Oleh karena itu, penulis
akan menampilkan tiga teks biblis sebagai pendasaran yang kuat akan
urgensinya peran Gereja dalam membangun bangsa ini.
Pertama, ajaran dan kehidupan Yesus Kristus. Yesus adalah Putra
Allah yang diutus Bapa untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Pada
waktu hidup-Nya, Ia dikenal sebagai Guru yang berwibawa dan
mempunyai banyak pengikut karena ajaran-Nya, termasuk tentang
kewajiban sebagai warga negara yang baik. Ketika orang Farisi menjebak
Yesus dengan sebuah pertanyaan paradoks tentang membayar pajak
kepada Kaisar, Yesus berkata: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib
104
Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput
kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu
berikan kepada Allah (Mat 22:21). Hal ini menjelaskan bahwa umat
Katolik hendaknya selalu menjalankan tugas dan kewajibannya kepada
negara dan juga kepada Gereja.
Kedua, tulisan Rasul Paulus: “Tiap-tiap orang harus takluk kepada
pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak
berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan
oleh Allah. Sebab itu barang siapa melawan pemerintah, ia melawan
ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan
hukuman atas dirinya (…) karena pemerintah adalah hamba Allah” (Rm
13:1-2;4a). Konsekuensi praktis dari ajaran ini ialah kesadaran untuk
memandang pemerintah sebagai penabur benih kasih Allah. Benihbenih kasih itu mewujud dalam rupa-rupa ketetapan yang disusun
pemerintah. Maka, pemerintah patut diberikan “penghormatan” dengan
menjalankan apa yang menjadi ketetapan bersama.
Ketiga, tulisan Rasul Petrus: “Tunduklah, karena Allah, kepada
semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan
yang tertinggi, maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk
menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orangorang yang berbuat baik. Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan
seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk
menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai
hamba Allah” (1Ptr 2:13-14;16). Seruan kenabian ini menegaskan umat
Katolik untuk hidup sebagai orang-orang merdeka. Artinya, umat
Katolik diarahkan sedemikian rupa untuk terlibat aktif mengisi
kemerdekaan dengan kekayaan-kekayaan yang ada dalam diri mereka.
b) Ajaran Gereja
Pada poin ini penulis akan menampilkan beberapa ajaran Gereja
tentang keterlibatannya dalam membangun dunia, khususnya dalam
kaitannya dengan pemerintahan negara.
Pertama, Ensiklik Sapientiae Christianae (1980): “Hukum kodrat
memerintahkan kita untuk mencintai dengan sungguh-sungguh dan
untuk membela negara tempat kita dilahirkan dan dibesarkan, maka
setiap warga negara yang baik jangan ragu-ragu untuk mati demi tanah
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
105
airnya (Paus Leo XIII dalam Widharsana, 2018:130).” Melalui ajaran ini,
umat Katolik dibawa pada kesadaran mendalam akan adanya benihbenih iman dalam hidup bersama. Artinya, pergulatan-pergulatan yang
dialami bangsa juga menjadi bagian dan tools penghayatan imannya.
Dengan kata lain, pergulatan dalam hidup bersama (berbangsa)
dipandang sebagai salib menuju kedewasaan iman.
Kedua, The Catechism of the Catholic Church (No. 2239): “It is the
duty of citizens to contribute along with the civil authorities to the good of
society in a spirit of truth, justice, solidarity and freedom. The love and
service of one’s country follow from the duty of gratitude and belong to the
order of charity. Submission to legitimate authorites and service of the
common good require citizens to fulfil their roles in the life of the political
community.” Ada empat pilar yang diserukan dalam Katekismus Gereja
Katolik di atas; semangat kebenaran, keadilan, solidaritas, dan kebebasan.
Empat pilar ini menggarisbawahi pentingnya kesadaran untuk menjalankan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa sebagaimana
mestinya.
Ketiga, Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ: “Jika kita merasa sebagai
orang Kristen yang baik, kita semestinya juga menjadi seorang patriot
yang baik. Karenanya, kita merasa bahwa kita 100% patriotik sebab kita
juga merasa 100% Katolik. Malahan, menurut perintah keempat dari
Sepuluh Perintah Allah, sebagaimana tertulis dalam Katekismus, kita
harus mengasihi negara dengan segenap hati” (Widharsana, 2018:133).
Yang ditekankan ialah totalitas dalam menjalani hidup berbangsa.
Totalitas yang dimaksud mengarah pada spiritualitas kehadiran yang
penuh dan menyeluruh dalam kancah pembangunan nasional.
Keterlibatan Gereja dari Masa Perjuangan
sampai Mengisi Kemerdekaan
Kiprah manusia sebagai makhluk beragama, budaya, individu dan sosial
sangat menentukan peradaban (civilization). Dinamika peradaban selalu
berproses menuju yang terbaik (Binsasi dalam Widharsana, 2018:9). Umat
Katolik sebagai sebuah bangsa yang khas juga mempunyai dinamika
peradabannya tersendiri.
106
Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput
Jika membuka sejarah perkembangan bangsa ini, kehadiran umat Katolik
juga turut memberi warna tersendiri. Ada banyak peristiwa penting dalam
sejarah bangsa Indonesia yang menunjukkan partisipasi aktif Gereja(pada
umumnya) dan umat Katolik (khususnya) dalam membangun bangsa, baik
langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada bagian selanjutnya,
penulis akan menampilkan beberapa sumbangan tersebut.
a)
Momen Sumpah Pemuda Tahun 1928
Sidang pertama Pemuda Indonesia tanggal 27 Oktober 1928 berlangsung di gedung Pemuda Katolik yang terletak di belakang Gereja
Jakarta yang sekarang menjadi aula Katedral. Berlangsungnya sidang
pertama sumpah pemuda di gedung tersebut menunjukkan bahwa
Gereja Katolik Indonesia mempunyai peran dalam sejarah penting
negara ini (Majalah HIDUP Edisi 26 November 2017 hlm. 12).
b) Peran Uskup Agung Semarang, Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ
Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ adalah uskup pribumi pertama
bangsa ini. Ia dikenal sebagai tokoh nasionalis yang memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Pada masa itu, Mgr. Soegijapranata melakukan
diplomasi kepada Vatikan untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Hal
ini terwujud tahun 1947 ketika Vatikan mengutus Apostolik Delegatusnya
ke Indonesia. Penting untuk ditegaskan di sini bahwa Vatikan menjadi
negara kedua yang mengakui kemerdekaan Indonesia setelah Mesir.
Selain itu peran Gereja yang tidak kalah penting saat itu adalah
ketika Mgr. Soegijapranata memindahkan kantor pusat pelayanannya
dari Semarang ke Yogyakarta. Hal ini dilakukannya sebagai bentuk
perhatian Gereja terhadap bangsa ini yang pada saat itu sedang terdesak
oleh agresi militer Belanda. Gereja tidak tinggal diam dan menjadi
penonton yang apatis dengan situasi yang melanda negara. Mgr.
Soegijapranata menunjukkan bahwa Gereja sebagai bagian dari bangsa
Indonesia juga hadir dan berpartisipasi membangun negara.
c)
Peran Para Pahlawan Nasional yang Beragama Katolik dalam Mempertahankan Negara
Pertama, Mgr. Albertus Soegijapranata. Gelar pahlawan disematkan
padanya pada tahun 1963 karena keberanian dan totalitasnya dalam
mendukung kemerdekaan Indonesia.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
107
Kedua, Letkol Ignatius Slamet Riyadi. Ia adalah eks tentara PETA
yang dipercaya melawan Belanda dalam agresi militer Belanda II,
penumpasan PKI di Jawa Utara, penumpasan kelompok Abdul Aziz di
Makasar dan Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon. Ia digelari
Pahlawan Nasional pada tahun 2007.
Ketiga, Marsekal Muda Agustinus Adi Sucipto, bapak penerbang
pertama Indonesia. Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaan, ia mendirikan sebuah sekolah penerbangan di Lapangan
Udara Maguwo, Yogyakarta. Ia gugur dalam peristiwa agresi militer
Belanda I ketika pulang mengumpulkan obat-obatan dari India dan
Singapura. Ia digelari Pahlawan Nasional pada tahun 1974.
Keempat, Komodor Yosafat Sudarso. Beliau adalah seorang komandan kapal yang gugur pada saat berpatroli di Laut Aru oleh armada laut
Belanda. Ia mendapat gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1973.
Kelima, Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono. Ia adalah salah
satu tokoh yang gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sebelum
kemerdekaan. Pada saat Indonesia sudah merdeka, beberapa kali ia
menjabat sebagai menteri dan menjadi salah satu pendiri Partai Katolik
Indonesia. Oleh karena pengabdian dan perjuangannya, Paus Yohanes
Paulus II menganugerahinya Bintang Ordo Gregorius Agung dan negara
Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2011.
d) Tiga Pelayanan Utama Gereja
Tiga pelayanan utama Gereja untuk bangsa Indonesia yang tetap
berlangsung sampai saat ini adalah pendidikan, kesehatan, dan sosial
karitatif (Aman, 2017:14). Gereja melalui ketiga pelayanan utama ini
terus mengabdikan dirinya untuk kemajuan bangsa Indonesia. Bahkan
ada banyak dari ketiga pelayanan ini yang berulang kali mendapatkan
apresiasi dan penghargaan pemerintah karena kualitas pelayanannya.
Berdasarkan fakta sejarah di atas dan peran Gereja yang terus berlangsung
saat ini, dapat disimpulkan bahwa Gereja sebagai bagian dari bangsa Indonesia
turut berpartisipasi aktif dalam kancah pembangunan nasional. Gereja adalah
bangsa Indonesia itu sendiri.
108
Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput
Spiritualitas yang Meredup
Jika meneliti peran Gereja dalam sejarah pembangunan bangsa
Indonesia, akan tampak dengan sangat jelas sebuah fakta yang cukup
mengejutkan. Partisipasi Gereja dalam pembangunan tersebut rupanya hanya
didominasi oleh hierarki Gereja, kaum religius, tokoh masyarakat, kaum
akademis, dan institusi Katolik. Sedangkan umat Katolik akar rumput
cenderung bersikap pasif dan menarik diri dari hidup bermasyarakat. Hemat
penulis, salah satu faktor utamanya ialah kurangnya penanaman nilai-nilai
kebangsaan dalam keluarga.
Keluarga adalah unit terkecil dalam societas. Tetapi justru dalam kekecilannya itu, keluarga menjadi tempat persemaian dasar yang intensif bagi
pertumbuhan manusia-manusia yang berkualitas di kemudian hari. Keluarga
menjadi sekolah pertama di mana nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan
diajarkan. Oleh karena perannya yang substansial ini, pendidikan di dalam
keluarga menjadi suatu hal yang niscaya.
Namun kenyataan yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa
penanaman nilai-nilai kebangsaan sering kali hanya menjadi tugas sekolah
dan Gereja. Keluarga dinilai terlalu memperhatikan pengajaran iman dan
rohani kepada anak-anak dan kurang mengajarkan nilai-nilai kebangsaan.
Hal ini tidak salah tetapi tendensi yang demikian akan menciptakan
ketidakseimbangan dalam hidup bermasyarakat. Di satu sisi persekutuan
umat Katolik dalam Gereja sangat kuat, tetapi pada saat yang bersamaan
bersikap apatis dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Lebih parah
lagi, ketidakseimbangan ini bisa mengarah pada eksklusivitas yang
mengerucut pada radikalisme dalam beragama.
Direktur Jenderal Bimas Katolik, Yohanes Bayu Samodro, mengamati
sedikit sekali orang Katolik yang merasa terpanggil untuk terlibat dalam
kehidupan sosial masyarakat. Secara hidup rohani mungkin tidak diragukan
lagi tetapi keterlibatan dalam masyarakat sangat minim. Pertanyaannya,
bagaimana orang tua Katolik bisa memperkenalkan nilai-nilai kemasyarakatan kepada anak? Sebab pendidikan kemasyarakatan itu tumbuh dan
berkembang di tengah keluarga, bukan dari sekolah atau Gereja (dikutip dari
Majalah HIDUP Edisi 30 Agustus 2020, hlm. 14).
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
109
Hemat penulis, inilah kebenaran yang terjadi dalam kehidupan berbangsa
umat Katolik. Partisipasi aktif GerejaKatolikIndonesia dalam membangun
bangsa ini rupanya hanya menjadi tugas para pemimpin Gereja sedangkan
partisipasi umat Katolik akar rumput pada kenyataannya masih seperti jauh
panggang dari api. Oleh karena itu di sinilah katekese kebangsaan mutlak
diperlukan oleh Gereja Katolik Indonesia. Katekese kebangsaan menjadi
sarana untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan dalam beriman di negara
ini. Tetapi sebelum masuk lebih dalam tentang katekese kebangsaan, penulis
akan menguraikan sedikit Quo Vadis Katekis yang menjadi “mesin penggerak
utama” keberhasilan sebuah katekese.
Quo Vadis Katekis
Penyelenggaraan katekese oleh Gereja Katolik selalu dipandang sebagai
salah satu tugasnya yang amat penting. Hal ini pun dapat ditinjau dari usaha
Gereja dalam sejarah panjangnya yang menempatkan katekese dalam posisi
yang urgen. Sejak zaman apostolik dan patristik, tema katekese selalu menjadi
tema sentral. The Catechism of The Catholic Church menggambarkan hal
tersebut dengan sangat jelas.
“Periods of renewal in the Church are also intense moments of
catechesis. In the great era of the Fathers of the Church, saintly bishops
devoted an important part of their ministry to catechesis. St. Cyrl of
Jerusalem and St. John Chrysostom, St. Ambrose and St. Augustine,
and many Fathers wrote catechetical works that remain models for us.”
Puncaknya ketika tema katekese ini diangkat dalam konsili Trente (15451563) yang menjadi sumber Katekismus Romawi danKatekismus-Katekismus
masa kini.
Seiring perkembangannya, Gereja menyadari bahwa panggilan untuk
mewartakan Kristus bukan hanya menjadi tugas hierarki Gereja. Semua umat
Katolik yang telah dibaptis mempunyai panggilan yang sama, yaitu
menghadirkan Yesus yang bangkit ke dalam hidup sehari-hari. Oleh karena
itu,Gereja juga memercayakan misi katekese ini kepada semua umat awam
agar“berperan serta dalam tugas Kristus sebagai Imam, Nabi, dan Raja”
(Apostolicam Actuositatem 10).
110
Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput
Jika membaca perkembangan sejarah awal Gereja Indonesia, tidak dapat
dimungkiri peran sentral para Katekis awam. Bersama para misionaris
perintis mereka menjadi penggerak ajaran iman bagi umat-umat Katolik awal
dengan mengajar doa, melatih lagu, mengajarkan iman, memimpin ibadat,
bahkan menjadi guru dan tenaga kesehatan. Perkembangan Gereja Indonesia
di Flores, Kalimantan, Jawa, tidak pernah terlepas dari pengabdian para
Katekis yang tanpa gentar menjelajahi daerah-daerah pedalaman untuk
mewartakan Kristus. Alhasil, kehadiran para Katekis sangat membantu tugas
pelayanan pastoral Gereja.
Pada saat ini ketika perkembangan zaman telah mengubah wajah fisik
dunia, peran para Katekis sudah tidak seperti dulu lagi. Cerita mewartakan
Kristus di daerah pedalaman hanya terdengar di daerah-daerah tertentu
karena banyak daerah yang sudah terjamah perkembangan teknologi.
Namun, hal tersebut bukan berarti pelayanan Katekiszaman ini tanpa
tantangan. Sebaliknya, katekese di zaman modern ini menuntut kreativitas
dan inovasi-inovasi baru dengan terus memperhatikan konteks dan tuntutan
zaman yang terus berubah. Hal ini penting agar muatan katekese mampu
mendarat dalam kehidupan umat. Dengan demikian, Gereja bersama para
Katekis hendaknya selalu memperhatikan rancangan yang matang dengan
metode-metode tertentu untuk pelayanan. Adapun untuk konteks Indonesia
saat ini, katekese kebangsaan yang dicanangkan oleh Dirjen Bimas Katolik
sangat menjawabi tuntutan zaman umat Katolik Indonesia. Maka mempersiapkan Katekis berkualitas dengan pendekatan yang berkebangsaan harus
mendapatkan perhatian yang intesif dari Gereja.
Namun, sebelum menjelaskan tentang pentingnya perhatian Gereja
untuk para Katekis, penulis akan menguraikan sedikit tantangan dan kesulitan
yang dihadapi oleh para Katekis zaman ini.
a)
Kurangnya Pengetahuan dan Keterampilan
Para Katekis adalah ujung tombak pewartaan Gereja. Pengajaran
dan pewartaan mereka sangat berperan penting dalam menghidupi iman
akan Kristus. Oleh karena itu muatan katekese mereka harus bermutu
agar membawa transformasi rohani maupun sosial individu. Semakin
matang muatan katekesenya, semakin banyak pula buah-buah yang
dihasilkannya.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
111
Tetapi kenyataan yang seringkali dikeluhkan ialah para Katekis
belum mempunyai pengetahuan dan kualitas yang mumpuni dalam
bidangnya. Yeremias Jena,dalam tulisannya Antusiasme menjadi Katekis
mengungkapkan salah satu tantangan besar para Katekis, yaitu fakta
bahwa para Katekis belum memiliki keterampilan memadai, baik aspek
akademis maupun teknis (skills) sebagai Katekis. Karena itu, para Katekis
hendaknya masih harus diperkaya dengan berbagai pendidikan, seminar,
dan pelatihan di bidang katekese, metodologi, teologi, Kitab Suci,
konsep-konsep dasar ilmu sosial untuk analisis sosial dan andragogi.
Hemat penulis, kurangnya pengetahuan dan keterampilan para
Katekis harus menjadi perhatian serius Gerejauntuk mempertahankan
antusiasme mereka. Hal ini penting agar tantangan ini tidak menjadi
batu sandungan yang akan mengganggu kualitas pelayanan mereka.
b)
Kesejahteraan Para Katekis
Panggilan menjadi Katekis adalah sebuah panggilan yang sangat
mulia. Mereka mengorbankan banyak hal untuk satu tugas yang kudus,
yaitu mengajarkan iman akan Kristus kepada semua umat. Ada begitu
banyak tantangan yang senantiasa menghalangi karya bakti mereka.
Namun mereka merelakannya demi tugas yang mulia ini, yaitu untuk
pertumbuhan iman Gereja.
Mingguan Katolik Majalah HIDUP pernah membahas secara
eksplisit tantangan menjadi Katekis zaman ini. Sajian khusus itu diberi
judul “Jalan Salib Katekis” untuk menggambarkan perjuangan mereka
dalam tugas pelayanan Gereja. Bahwa bayangan yang selalu menyertai
kata Katekis adalah mereka yang berjalan kaki puluhan kilometer, siang
dan malam, hingga ke pedalaman Kalimantan atau Papua untuk
memimpin ibadat. Intisarinya adalah kata ‘Katekis’ selalu diidentikkan
dengan medan berat dan tugas nonprofit. Oleh karena itu, Gereja perlu
memperhatikan kesejahteraan mereka atau pun memfasilitasi perjalanan
mereka. Hal ini penting supaya tugas pewartaan tidak buntung
akomodasi. Pada akhirnya yang dipilih dan bersedia menyampaikan
Kabar Baik tidak hanya terhibur oleh kekayaan imajiner, tetapi juga
berkecukupan dalam kebutuhan primer. Hemat penulis, perhatian
Gereja terhadap kesejahteraan para Katekis merupakan pemantik yang
menyalakan antusiasme mereka dalam berkarya.
112
Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput
Namun tantangan-tantangan di atas bukanlah tanda matinya
katekese di bumi Indonesia. Sebaliknya, tantangan-tantangan tersebut
justru menjadi batu pijakan untuk melompat pada kematangan katekese
yang sebenarnya. Kenyataan kurangnya pengetahuan dan keterampilan
yang memadai hendaknya menjadi tolok ukur untuk mempersiapkan
Katekisdan metode yang akan digunakan. Semua tugas ini lahir dari
keyakinan bahwa mutu setiap kegiatan pastoral akanmenghadapi resiko
bila kegiatan ini tidak bersandar pada personel yang sungguh-sungguh
kompeten dan terlatih. Pertanyaannya, Quo Vadis Katekis untuk mencapai titik kematangannya?
Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostoliknya, Catechesi Tradendae,
menganjurkan ciri katekese yang mengindahkan hal-hal berikut ini.
“Katekese harus bersifat sistematis, bukan hasil improvisasi,
melainkan sungguh berencana untuk mencapai tujuan tertentu;
Katekese harus mengkaji hal-hal yang pokok, tanpa berpretensi mau
menangani segala soal yang diperdebatkan atau mau berubah
menjadi penelitian teologis atau eksegese ilmiah;Tetapi katekese
harus cukup lengkap juga, tidak membatasi diri pada pewartaan
awal misteri Kristen seperti dalam “kerygma”; Katekese harus
merupakan inisiasi Kristen integral, terbuka bagi semua faktor
hidup kristen lainnya” (CT 21).
Ciri katekese di atas merupakan jawaban Paus Yohanes Paulus II
terhadap pandangan keliru mengenai katekese “karena di berbagai
kalangan ada kecendrungan untuk menganggap katekese tidak penting
lagi” (CT 21). Akibatnya perhatian terhadap katekese diabaikan.
Hemat saya Gereja harus sungguh menyadari, katekese kebangsaan
merupakan sebuah gebrakan baru yang bersifat sosial. Karena itu, hal ini
mengandaikan adanya pendekatan yang integral dengan disiplin-disiplin
ilmu lain, khususnya sosiologi, antropologi dan psikologi sosial. Para
Katekis kebangsaan tidak cukup berbasiskan teologi, seperti Kitab Suci
dan ajaran Gereja dalam melaksanakan tugas pelayanannya. Analisis
sosial berbasis data empiris dan metodologi yang tersistematis harus
menjadi perhatian Gereja dalam mempersiapkan tenaga Katekis agar
katekese kebangsaan sungguh-sungguh menjawabi tuntutan zaman.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
113
Selain mempersiapkan katekese kebangsaan yang tersistematis, Gereja
juga hendaknya memperhatikan on going formation bagi para Katekisnya. Hal
ini penting untuk tetap menjaga antusiasme pewartaan mereka yang selalu
berhadapan dengan banyak tantangan zaman yang terus berubah. Di samping
itu, on going formation juga bisa menjadi bahan evaluasi bagi para Katekis
untuk terus memperbarui diri dan muatan katekese melalui evaluasi bersama.
Ketua Komisi Kateketik (Komkat) Konferensi Wali Gereja Indonesia
(KWI), Mgr Paskalis Bruno Syukur, OFM, juga menjelaskan hal yang sama. Ia
mengungkapakan bahwa Komkat KWI telah dan akan melakukan beberapa
on going formation bagi para Katekis melalui kerja sama dengan lembaga
Bimbingan Masyarakat (Bimas) Katolik, Komkat Keuskupan, dan Paroki.
Tujuannya ialah untuk melatih para Katekis agar memahami serta terampil
mengajar berdasarkan kurikulum baru, memberi retret bagi mereka, dan
bersama seksi pewartaan paroki melatih para Katekis untuk memimpin
Komunitas Basis Gereja (KBG). Komkat KWI juga mengadakan pertemuan
nasional bagi Katekis lapangan setiap lima tahun sekali dan bersama Komisi
Seminari KWI mengadakan pertemuan para dosen kateketik untuk membekali mereka dengan pemikiran-pemikiran baru di bidang katekese. Begitu
juga bersama Komisi Keluarga, Komkat KWI memberi lokakarya tentang
katekese digital kepada Katekis yang terlibat dalam kerasulan keluarga.
Hemat penulis kedua hal di atas, yaitu katekese kebangsaan yang tersistematis dan on going formation sangat menentukan arah pewartaan dan
pengajaran katekese kebangsaan di zaman ini. Perhatian Gereja yang intensif
melalui persiapan dan formasi lanjutan bagi para tenaganya sangat
menentukan keberhasilan atau tidaknya katekese tersebut. Dengan demikian
problem seputar kesejahteraan para Katekis dan kualitas diri mereka mampu
teratasi dengan baik.
Historisitas Katekese: Sebuah Kebutuhan dan Tugas Wajib
Perjalanan panjang Gereja Katolik universal tidak pernah terlepas dari
makna penting pastoral katekese. Banyak konferensi para uskup di seluruh
dunia yang telah memberikan perhatian luar biasa untuk katekese, khususnya
melalui Katekismus dan garis pedoman pastoral dengan penyelidikan
kateketik. Usaha-usaha seperti ini telah memperlihatkan hasil dan
114
Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput
memberikan banyak sumbangan bagi praksis katekese dalam gereja-gereja
partikular. Ritus “Inisiasi Kristen untuk Orang Dewasa” yang diterbitkan oleh
kongregasi untuk Ibadat Ilahi pada tanggal 6 Januari 1972 telah menunjukkan
kegunaan untuk pembaharuan katekese. Secara khusus juga harus disebutkan
pelayanan Paus Paulus VI terhadap perkembangan katekese. Bahkan Paus
Yohanes Paulus II menyebutnya sebagai “Katekismus agung” abad modern.
Pertemuan Umum Sinode Para Uskup pada Oktober 1974 dengan tema
Evangelisasi dalam Dunia Dewasa Ini merupakan tonggak sejarah yang
menentukan bagi pertumbuhan katekese. Proposisi yang disusun oleh sinode
diserahkan kepada Paus Paulus VI yang mengumumkan Anjuran Apostolik
Evangelii Nuntiandi pada tanggal 8 Desember 1975 sesudah sinode. Di antara
dokumen-dokumen lainnya, anjuran apostolik ini menyebut sebuah prinsip
yang amat penting, yakni katekese sebagai karya pemakluman Kabar Gembira
dalam konteks misi Gereja. Oleh karena itu, katekese hendaknya dipandang
sebagai salah satu perhatian dari amanat misioner Gereja untuk zaman ini.
Menerima warisan kateketik ini, pada tahun 1978 Paus Yohanes Paulus II
mengadakan orientasi-orientasi yang pertama untuk katekese dalam Anjuran
Apostolik Catechesi Tradendae pada tanggal 18 Oktober 1979. Anjuran ini
menempatkan katekese dalam konteks pemakluman Kabar Gembira.
Di lain pihak, Sidang Umum Sinode Para Uskup, baik yang biasa maupun
yang luar biasa, sungguh sangat penting bagi katekese. Berkaitan dengan hal
ini penting untuk disebutkan sinode-sinode pada tahun 1980 dan 1987 yang
berbicara tentang tugas dan tanggung jawab keluarga dan panggilan kaum
awam. Salah satu buah yang paling konkret dari sejarah panjang ini ialah
lahirnya Katekismus Gereja Katolik pada tanggal 11 Oktober 1992 yang sangat
membantu pertumbuhan iman umat di seluruh dunia.
Katekese Kebangsaan Berjiwa Pancasila
Pada bagian sebelumnya dijelaskan makna katekese kebangsaan sebagai
kebutuhan wajib bagi Gereja Indonesia dewasa ini. Berlandaskan pada
pemakluman Kabar Gembira Yesus Kristus, katekese kebangsaan menuntun
umat Katolik pada pengamalan nilai-nilai kebangsaan dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, katekese kebangsaan tidak boleh mengungkung
diri, melainkan hendaknya berintegrasi dalam keseluruhan misi jemaah,
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
115
merasuki kenyataan lingkungannya dengan ragi Injil. Tegangan antara
konsolidasi “ke dalam” dan gerak “ke luar” (sekularitas)–yang sebenarnya
dapat menunjang pertumbuhan yang sehat kalau terjadi proses saling
menjiwai dan saling membuahi–selalu dirasa sebagai tantangan (Komisi
Kateketik KWI, 1995:107). Artinya ada keseimbangan, keharmonisan antara
hidup beragama sebagai umat Katolik dan hidup berbangsa sebagai warga
negara Indonesia. Meminjam istilah Mgr. Soegijapranata, menjadi 100%
Katolik dan 100% Indonesia yang mana keduanya adalah utuh dan bukan
paradoks. Adapun katekese kebangsaan yang penulis uraikan dalam tulisan
ini ialah katekese yang berjiwa Pancasila.
Pancasila adalah philosophice grondslag (dasar filosofis) dan weltanschauung (pandangan hidup) bangsa Indonesia. Sebagai sebuah dasar filosofis
dan pandangan hidup, pancasila menjadi sumber pegangan utama bangsa
Indonesia dalam hidup berbangsa dan bernegara. The founding fathers
Indonesia telah merumuskan Pancasila dengan sangat matangke dalam 5 sila:
Ketuhanan Yang Mahaesa; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; Persatuan
Indonesia; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan; Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Menarik bahwa kelima sila di atas sangat sesuai dengan nilai-nilai Injil
yang dipegang teguh oleh Gereja Katolik. Semuanya terpenuhi dalam ajaran
Kristus tentang cinta kasih, yaitu mengasihi Tuhan dan sesama (bdk. Mrk
12:28-34).Oleh karena itu, sebagaimana fakta sejarah yang telah penulis
paparkan di bagian awal, Gereja Katolik Indonesia saat ini juga terus dipanggil
untuk terlibat aktif dalam mengisi kemerdekaan bangsa ini dengan cara
mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Gaudium et Spes artikel 76 menjelaskan
elaborasi tersebut sebagai proses untuk mencapai bonum commune.
“Di bidang masing-masing, Negara dan Gereja bersifat otonom, tidak
saling tergantung. Tetapi keduanya, kendati atas dasar yang berebeda, melayani panggilan pribadi dan sosial orang-orang yang sama. Pelaksanaan itu
akan semakin efektif jika dijalankan oleh keduanya demi kesejahteraan
umum, dengan semakin menjalin kerja sama yang sehat, dengan mengindahkan situasi setempat dan semasa. Manusia tidak terkungkung dalam
tata duniawi melulu, melainkan sementara mengarungi sejarah manusiawi
yang sepenuhnya mengabdi kepada panggilannya untuk kehidupan kekal.
116
Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput
Gereja yang bertumpu pada cinta kasih Sang Penebus, menyumbangkan
bantuannya, supaya di dalam kawasan sendiri dan antara bangsa-bangsa
makin meluaslah keadilan dan cinta kasih. Dengan mewartakan kebenaran
Injil, dan dengan menyinari semua bidang manusiawi melalui ajaran-Nya dan
melalui kesaksian umat Kristen, Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warga negara.”
Hemat penulis katekese kebangsaan yang dijalankan oleh Gereja Katolik
Indonesia merupakan salah satu elaborasi penting Gereja dan negara seturut
“madah” Gaudium et Spes di atas. Bahwa meskipun keduanya otonom, Gereja
dan negara secara bersama-sama membidani kelahiran bonum commune.
a)
Sila Pertama: Katekese Dialogis
Sejak awal GerejaKatolik Indonesia menyadari keberadaannya di
tengah-tengah agama dan kepercayaan lain di negara ini. Kesadaran
tersebut mendapatkan pengakuan yang definitif dan makna baru dalam
Konsili Vatikan II (1962-1965). Hal ini kemudian melahirkan banyak
pembaharuan besar-besaran, baik Gereja universal maupun partikular
dalam memandang dunia. Jika prakonsili Gereja menganut extra
ecclesiam nulla salus, maka Gereja pascakonsili membuka jendelanya
lebar-lebar untuk memandang dunia dan membiarkan angin segar
masuk dalam tubuh Gereja. Tentang pluralitas agama, Gereja menuliskan:
“GerejaKatolik tidak menolak apa pun yang benar dan suci di dalam
agama-agama ini. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta
ajaran-ajaran yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa
yang diyakininya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar
Kebenaran, yang menerangi semua orang. Maka Gereja mendorong
para putranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui
dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain,
sambil memberi kesaksian tantang iman serta perihidup kristiani,
mengakui, memelihara, dan mengembangkan harta-kekayaan
rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada
mereka.”
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
117
Di Indonesia angin segar Konsili Vatikan II juga membawa dampak
sangat besar. Sebagaimana perubahan dalam tubuh Gereja universal,
Gereja Indonesia juga membuka diri untuk menjalin komunikasi dan
dialog dengan agama-agama lain. Pada kurun waktu tersebut sampai
tahun 1970-an, perhatian Gereja Indonesia tercurah pada usaha-usaha
menggalang dialog, baik dengan Gereja-Gereja Kristen yang lain maupun
dengan agama-agama bukan Kristen. Hubungan GerejaKatolik dengan
agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan lain dimulai secara konkret
dalam pendirian PWI Ekumene pada tahun 1966. PWI ekumene inilah
yang mewakili MAWI atau Majelis Agung Wali Gereja Indonesia dalam
masalah-masalah hubungan antaragama dan kepercayaan dalam
berbagai kesempatan (Riyanto, 2010:384-385).
Hemat penulis, di sinilah katekese kebangsaan dialogal mendapatkan perannya. Bahwa Gereja menterjemahkan sila Ketuhanan Yang
Maha Esa bukan dengan cara radikalisme atau eksklusivitas dalam hidup
beragama melainkan dengan sebuah dialog horizontal.
b) Sila Kedua: Katekese Kemanusiaan
Manusia adalah makhluk yang unik. Ia mempunyai historisitasnya
tersendiri yang membentuknya menjadi manusia yang unik dan utuh. Ia
dibentuk oleh beragam nilai, konsep, cara hidup, lingkungan, serta
semua hal yang berkaitan langsung dengan keberadaannya. Karena itu,
mengakui dan menerima kemanusiaannya adalah sebuah keharusan
dalam hidup societas meskipun dalam bingkai pluralitas.
Gereja Katolik Indonesia sebagai bagian bangsa ini juga mengajarkan nilai-nilai yang sama. Dalam beberapa dokumen resminya, Gereja
dengan sangat tegas menekankan prinsip kemanusiaan ini. Apa pun latar
belakang suku, ras, agama, dan budaya, Gereja tetap mengakuinya
sebagai ciptaan Allah yang sederajat dengan manusia yang lainnya.
“Being in the image of God the human individual possesses the dignity
of a person, who is not just something, but someone. He is capable of
self-knowledge, of self-possession and of freely giving himself and
entering into communion with other persons. And he is called by grace
to a covenant with his Creator, to offer him a response of faith and love
that no other creature can give his stead.”
118
Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput
Dengan demikian, Gereja dengan sangat tegas menolak segala
macam bentuk tindakan yang melanggar kemanusiaan, seperti rasisme,
diskriminasi, intoleransi, politik SARA, korupsi, pelanggaran HAM, dan
segala macam bentuk ketidakmanusiawian lainnya. Hemat penulis,
dalam konteks inilah katekese kemanusiaan diajarkan oleh para Katekis.
Bahwa kendati berbeda asal-usul dan ragamnya, berlainan bahasa dan
adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semuanya merupakan
satu keluarga besar (umat manusia) (Soegijopranata dalam Widharsana,
2018:118).”
c)
Sila ketiga: Katekese Multikultural
Indonesia adalah negara yang majemuk. Beragam suku, agama dan
kepercayaan, ras, bahasa, budaya dan bangsa menghias negara ini dari
Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote. Menurut data yang
dibagikan oleh BPS tahun 2010, terdapat 1.211 bahasa daerah, 300
kelompok etnis, 1.340 suku dengan adat-istiadatnya masing-masing dan
memiliki 17.504 pulau (Widharsana, 2018:125). Semua keberagaman
tersebut tunduk pada semboyan Bhineka Tunggal Ika yang menjadi
perekat keberagaman. Bahwa meskipun datang dari banyak latar
belakang yang berbeda, bangsa Indonesia tetap berdiri kokoh menjadi
sebuah bangsa yang satu, yaitu persatuan Indonesia.
Sifat dasar Gereja adalah persekutuan (communio) dan tanpa
persekutuan, Gereja kehilangan makna dasarnya. Adapun kata kunci
persekutuan tersebut adalah semangat kasih Kristus kepada seluruh
dunia (Murjoko, 1985:35). Dengan demikian, persekutuan dalam cinta
kasih tidak dapat dilepaspisahkan dari semangat dasar Gereja. Hal ini
penting untuk ditegaskan karena prinsip persatuan dalam sila ketiga
Pancasila menuntut Gereja untuk bersatu padu membangun bangsa ini.
Segala macam sekat karena perbedaan suku, ras, agama, dan
antargolongan disingkap menjadi sebuah persekutuan cinta kasih.
Kenyataan yang terjadi di akar rumput selama ini menjelaskan
bahwa kesan sebagai kelompok eksklusif masih terasa kental, apalagi
seringkali bersamaan dengan eksklusivitas ras atau etnis. Orang Katolik
dinilai giat melakukan kegiatan “ke dalam”, tapi tampaknya masih
gamang ketika harus berkegiatan ke luar (Widharsana, 2018:116). Hemat
penulis inilah poin yang harus diperhatikan oleh para Katekis dalam
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
119
berkatekese kebangsaan. Para Katekis hendaknya mewartakan Kristus
yang menyelamatkan semua bangsa yang berada di bawah kolong langit
bukan saja orang-orang Yahudi. Dengan demikian,persekutuan cinta
kasih Gereja harus melampaui sekat-sekat pluralitas untuk menciptakan
masyarakat yang multikultural.
d) Sila Keempat: Katekese Demokrasi
Indonesia adalah negara demokrasi dengan rakyat menjadi
pemegang kekuasaan tertinggi. Abraham Lincon, presiden ke-16
Amerika Serikat mendefinisikan demokrasi itu dengan sangat baik, yaitu
pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dengan
demikian keterlibatan rakyat dalam kehidupan berbangsa menjadi kunci
berjalannya demokrasi. Pemerintah hanya menjadi perpanjangan tangan
rakyat untuk mengatur hidup bersama.
Gereja sebagai bagian dari warga negara Indonesia (WNI) juga
bertanggung jawab penuh atas berjalannya demokrasi di negara ini.
Semua umat Katolik dipanggil untuk menjalankan tugas sesuai peranan
dan tanggung jawabnya masing-masing. Contoh yang paling konkret
ialah dengan pemberian hak suara dalam pesta demokrasi, kebebasan
berpendapat ataupun menjadi politisi aktif. Namun tantangan yang
sering terjadi ialah umat Katolik di akar rumput cenderung apatis dengan
kehidupan demokrasi bangsa ini. Politik sering kali diidentikan dengan
“itu yang kotor” dan karenanya tidak selaras dengan nilai-nilai Injili.
Anggapan ini tentu tidak sepenuhnya benar. Paus Yohanes Paulus II
dalam ensiklik Centesimus Annus (1991) Art. 46 menjelaskan bahwa
Gereja menghargai sistem demokrasi karena membuka wewenang yang
luas bagi warga negara untuk berperan serta dalam penentuan kebijakankebijakan politik. Hal ini berarti panggilan untuk menjalankan tugas
sebagai warga negara yang baik merupakan bentuk lain dari pengabdian
Gereja kepada negara. Tindakan konkretnya dapat dilaksanakan dengan
menjadi penyelenggara dan aparatur negara yang baik.
e)
Sila kelima: Katekese Kaum Duafa
Hakikat dari sila kelima ini ialah terwujudnya suatu masyarakat
yang adil dan makmur, tanpa penghinaan, penindasan, dan peghisapan
manusia oleh manusia (exploitation de l’homme par l’homme) seperti
120
Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput
yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Di samping itu, keadilan
sosial sering kali merujuk pada proses untuk memastikan bahwa setiap
orang menjalankan hak dan kewajibannya. Dari sisi pemerintah, keadilan
sosial juga dapat diukur dari bagaimana pemerintah menjalankan
pemerataan pembangunan demi kesejahteraan rakyat (Widharsana,
2018:178).
Petrus Danan Widharsana (2018:178) dalam buku Mengamalkan
Pancasila dalam Terang Iman Katolik melihat bahwa perhatian Gereja
akan pentingnya keadilan sosial tidak terlepas dari kepeduliaannya
kepada kaum kecil, lemah, miskin, tersisih, dan difabel (KLMTD). Hal
ini sesuai dengan prinsip martabat manusia dan hukum cinta kasih yang
selalu digemakan oleh Gereja. Bahkan Yesus sendiri pun mengidentifikasikan diri-Nya dengan kaum KLMTD ini atau kaum duafa: “Aku berkata
kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah
seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya
untuk Aku” (Mat 25:40). Dengan demikian katekese keadilan sosial bagi
kaum duafa ini adalah “preferential option for the poor”, yaitu membela
mereka yang kecil, lemah, miskin, tersisih, dan difabel (KLMTD).
Akhirnya, katekese kebangsaan yang berjiwa Pancasila merupakan
sebuah elaborasi yang menarik untuk dijalankan dalam konteks
Indonesia saat ini. Umat Katolik terpanggil untuk menjalankan imannya
dengan tetap memperhatikan dialog agama, kemanusiaan, pluralitas,
persekutuan ke luar, dan keadilan bagi kaum duafa. Umat Katolik akar
rumput harus memahami hal ini karena Gereja dalam sejarah panjangnya
tidak pernah menolak nilai-nilai Pancasila.
“Gereja yakin bahwa Pancasila, yang telah teruji dan terbukti
keampuhannya dalam sejarah republik ini, merupakan wadah kesatuan
dan persatuan nasional, asalkan tidak digunakan sebagi topeng untuk
melindungi kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan
tertentu. Umat Katolik menerima landasan yang sungguh-sungguh dapat
menjadi wadah pemersatu pelbagai golongan dalam masyarakat, yakni
Pancasila. Maka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, umat
Katolik menerima Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945. Umat Katolik mendukung Pancasila bukan hanya sebagai
sarana pemersatu, melainkan juga sebagai ungkapan nilai-nilai dasar
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
121
hidup bernegara, yang berakar di dalam budaya dan sejajar dengan sukusuku bangsa kita. Pancasila, baik sebagai keseluruhan maupun ditinjau
sila demi sila, mencanangkan nilai-nilai dasar hidup manusiawi, sejalan
dengan nilai yang dikemukakan oleh ajaran dan pandangan Gereja
Katolik” (Suharyo, 2009:51-52)
Maka, katekese kebangsaan dengan semangat Pancasila hendaknya
terus dikobarkan oleh para Katekis. Ini adalah momentum yang tepat
untuk membangkitkan kembali antusiasme umat Katolik agar kembali
berpartisipasi aktif dalam kehidupan bangsa ini sebagaimana “Kristus
yang membayar pajak kepada Kaisar” (Mat 21:22).
Katekese Kebangsaan di Akar Rumput
Apabila melihat uraian makna katekese kebangsaan di atas penulis sangat
optimis dengan kemajuan kehidupan Gereja selanjutnya. Elaborasi yang
simultan spiritualitas Kristiani dengan semangat Pancasila mampu menjadi
fondasi dasar bagikatekekse kebangsaan.Namun kesadaran-kesadaran seperti
inirupanya hanya menjadi kesadaran hierarki Gereja, kaum religius, kaum
akademis, tokoh masyarakat, dan institusi Katolik. Umat Katolik di akar
rumput masih belum sampai kepada kesadaran semacam itu. Adapun
tantangan terbesar yang penulis temukan di sini ialah kurangnya sosialisasi
praktis yang berkelanjutan antara Gereja dan umat Katolik akar rumput. Di
sinilah makna penting kehadiran Katekis. Katekese kebangsaan yang sudah
diprogramkan oleh Dirjen Bimas Katolik hendaknya diteruskan ke dalam
ranah praktis oleh para Katekis. Perjumpaan langsung dan terus-menerus
dengan perhatian yang intensif akan mampu membangkitkan transformasi
sosial dalam kehidupan umat Katolik.
Pendampingan dalam Gereja
Katekese kebangsaan dalam Gereja dapat dijalankan dalam setiap
momen persiapan penerimaan sakramen. Materi yang diajarkan hendaknya
tidak hanya berbicara tentang iman Gereja semata tetapi juga mengajarkan
nilai-nilai Pancasila, seperti toleransi, kemanusiaan, tanggung jawab
berpolitik, musyawarah, dan nilai-nilai lainnya. Pendampingan ini sangat
penting karena menjadi dasar untuk kehidupan selanjutnya.
122
Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput
Dirjen Bimas Katolik, Yohanes Bayu Samodro menjelaskan, katekese
kebangsaan harus dimulai dari pengajaran iman pertama kali, yaitu melalui
rekoleksi pembaptisan. Orang tua sebagai wakil anak yang mau dibaptis
memahami perannnya sebagai Katekis kepada anak sejak menerima
Sakramen Baptis, Ekaristi, Krisma, hingga kursus persiapan perkawinan dan
menikah sampai memiliki keturunan. Dengan demikian, makna kebangsaan
bisa diwariskan turun temurun melalui katekese kebangsaan dalam keluarga
(dikutip dari Majalah HIDUP edisi 30 Agustus 2020)
Selain itu, pendampingan dalam Gerejajuga dapat dijalankan dalam
kelompok-kelompok kategorial dan Komunitas Basis Gereja (KBG). Masingmasing ketua kelompok kategorial dan wilayah bisa menjadi Katekis yang
mengajarkan nilai-nilai kebangsaan kepada anggota-anggotanya. Kelompokkelompok ini merupakan “daya hidup Gereja” dan oleh karena itu, tidak
berhenti pada kenyamanan kelompoknya melainkan terbuka untuk
menggalang persekutuan “ke luar”.
a)
Pendidikan Informal dalam Keluarga
Orang tua adalah Katekis pertama dari seorang anak berkat rahmat
pembaptisannya, yaitu menjadi Katekis yang mewartakan Kristus. Selain
itu, dalam janji suci pernikahan para orang tua juga sudah berjanji untuk
mendidik anak-anaknya dalam iman Katolik, termasuk nilai-nilai
kebangsaan yang seirama dengan nilai-nilai injili. Dalam keluarga, orang
tua mengajarkan kepada anak-anak semangat penghargaan terhadap
sesama yang berbeda keyakinan, kerja sama dalam kelompok lingkungan,
toleransi, dan nilai-nilai kebangsaan lainnya. Dengan demikian, keluarga
menjadi Gereja rumah tangga (ecclesia domestica) atau locus katekese
kepada anak-anaknya di mana keluarga memiliki privelese unik untuk
meneruskan Injil dengan membuatnya berakar dalam konteks-konteks
nilai-nilai manusiawi yang mendalam (bdk. GS 52; FC 37a).
b) Pendidikan Formal di Sekolah
Sekolah menjadi ruang lingkup kedua yang sangat besar pengaruhnya dalam membentuk kepribadian seseorang. Tidaklah mengherankan
apabila misi pelayanan di sekolah-sekolah juga menjadi fokus perhatian
Gereja. Tidak sedikit sekolah-sekolah di Indonesia yang berada di bawah
naungan misi (khususnya Gereja Katolik). Bahkan kehadiran sekolahsekolah Katolik telah menjadi oase segar dalam dunia pendidikan di
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
123
Indonesia, semisal menjadi sekolah favorit dan berhasil meraih prestasi
baik di tingkat daerah, nasional atau malah internasional. Lantas, adakah
kontinuitas dari misi pelayanan di sekolah-sekolah terhadap hidup
beriman siswa?
Hemat penulis, di sinilah pintu masuknya katekese terbuka lebar.
Gereja telah menyiapkan sarana yang sangat vital dengan mendirikan
sekolah-sekolah Katolik. Maka ke-Katolik-an sekolah-sekolah itu mesti
diberi perhatian yang cukup serius. Salah satu rupa ke-katolik-annya
ialah pendalaman di bidang katekese.
Di sekolah-sekolah Katolik pengajaran iman kepada anak usia
sekolah, baik SD, SMP, maupun SMA, pada umumnya dilaksanakan oleh
seorang guru agama. Berbeda dengan katekese lainnya, ketekese kebangsaan kepada anak-anak usia sekolah tidak cukup sulit dilaksanakan
karena sekolah selalu mengajarkan nilai-nilai kebangsaan dalam
beberapa mata pelajaran tertentu. Guru agama di sekolah hanya perlu
memperhatikan materi dan cara pengajarannya agar dapat diterima
dengan baik oleh siswa. Berkaitan dengan hal ini, Paus Yohanes Paulus II
sangat memuji metode pendidikan yang diajarkan di sekolah-sekolah
Katolik, terutama karena pengintegrasian nilai-nilai kristiani dengan
nilai kebangsaan ke dalam pedagogi iman siswa (CT art. 69). Perpaduan
yang terukur dan sitematis ini menjadi loncatan pasti menuju pemenuhan
cita-cita katekese kebangsaan.
c)
Katekese Dunia Maya
Bila Gereja yakin bahwa evangelisasi juga menjamah “penduduk”
dunia maya, maka harus disiapkan Katekis-Katekis maya yang mengalokasikan tenaga dan pikiran untuk datang “mengunjungi” mereka. Di
era millennia ini, jarak tempuh sudah tidak terkalkulasi lagi dan jumlah
pendengar tidak lagi terkategorisasi. Sebab Gereja mengajarkan,
“evangelisasi berarti membawa Kabar Baik kepada segala tingkat
kemanusiaan, dan melalui pengaruh Injil mengubah umat manusia dari
dalam dan membuatnya menjadi baru” (Evanglii Nuntiandi, 18).
Paus Yohanes Paulus II, dalam Anjuran Apostolik, Catechesi
Tradendae juga mengajarkan hal yang sama berkaitan dengan katekese
dunia maya ini.
124
Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput
“Dari pengajaran lisan para Rasul maupun surat-surat yang beredar
di antara Gereja-Gereja, hingga upaya-upaya yang paling modern,
katekese tiada hentinya mencari cara maupun sarana-sarana yang paling
cocok bagi perutusannya, didukung oleh peran serta aktif jemaatjemamaat, dan atas desakan para gembala. Langsung kami berpikir
tentang peluang-peluang besar yang tersedia berkat komunikasi sosial
dan media komunikasi dalam kelompok (group media): televisi, radio,
media cetak, piringan hitam, rekaman tape-seluruh deretan media
audio-visual” (CT art. 46)
Dengan demikian, katekese kebangsaan dunia maya menjadi salah
satu sarana yang cocok untuk diimplementasikan dalam konteks zaman
ini. Konsekuensinya, persiapan atas katekese dunia maya juga harus
mendapatkan perhatian yang khusus.
Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput
Pada bagian awal penulis sudah menjelaskan bahwa manusia adalah
makluk sosial; manusia yang selalu hidup bersama orang lain untuk mencapai
pemenuhan dirinya. Karena itu hal ini mengandaikan juga adanya sikap
saling menghargai, kerja sama, toleransi, dan persatuan, demi tercapainya
keamanan bersama. Tanpa hal ini, kehadiran orang lain hanya menjadi homo
himini lupus.
Gereja Katolik Indonesia pun menyadari bahaya ini. Kenyataan menjadi
bagian dari negara Indonesia menuntutnya untuk terus memperbaharui diri
(ecclesia semper reformande) seturut nilai-nilai kebangsaan. Oleh karena itu,
katekese kebangsaan yang digagas oleh Dirjen Bimas Katolik merupakan
salah satu wujud gebrakan baru yang memantik antusiasme umat Katolik
dalam hidup berbangsa. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah umat
Katolik akar rumput semakin menyadari pentingnya spiritualitas kehadiran
dalam kehidupan bersama.
a)
Hadir Membangun Persaudaraan
Katekese kebangsaan yang dijalankan oleh para Katekis hendaknya
sampai pada kesadaran baru untuk hadir membangun persaudaraan
dalam hidup bersama. Isu SARA yang selama ini melahirkan banyak
konflik horisontal hendaknya bisa diatasi dengan membangun budaya
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
125
atau sikap toleransi yang menghargai perbedaan. Bukankah Gereja pada
dasarnya adalah persekutuan cinta kasih yang menjunjung tinggi prinsip
persekutuan dan persaudaraan? Oleh karena itu, segala macam tindakan
yang bertentangan dengan spiritualitas kristiani dan Pancasila hendaknya
ditangkal dengan katekese kebangsaan ini.
b) Hadir menjadi Penyelenggara Negara dan Aparatur Negara yang Aktif
Pandangan lama umat Katolik tentang politik yang kotor seringkali
melahirkan sikap apatis dalam berdemokrasi. Politik yang kotor atau elit
pemerintahan yang tidak berintegritas menjadi alasan untuk mengambil
jarak dari kehidupan berbangsa. Selama ini mereka membuat pemisahan
yang tegas antara Gereja dan negara. Karena itu, para Katekis hendaknya
hadir untuk mewartakan “Yesus yang membayar pajak kepada kaisar”
(Mat 22:21). Bahwa Gereja melalui banyak ajarannya telah menganjurkan
agar umat Katolik berpartisipasi aktif dalam menjalankan tugas dan
tanggung jawabnya sebagai warga negara. Hal tersebut dapat diwujudkan
dengan berpartisipasi aktif dalam pesta demokrasi dan menjadi
penyelenggara dan aparatur negara, seperti PNS, TNI, Polri dan berbagai
macam profesi lainnya. Selain itu, dalam konteks yang paling kecil bisa
dinyatakan dengan menerima tanggung jawab menjadi ketua RT, RW,
pemimpin lingkungan atau pun organisasi kemasyarakatan.
c)
Hadir untuk Melestarikan Alam
Panggilan untuk mencintai tanah air menjadi tugas dan kewajiban
semua warga negara. GerejaKatolik sebagai bagian dari negara ini pun
dipanggil untuk mewujudkan patriotismenya dalam kehidupan konkret.
Salah satunya ialah dengan berpartisipasi aktif dalam menjaga dan
melestarikan lingkungan hidup. Kenyataan semakin parahnya kerusakan
lingkungan hidup di Indonesia hendaknya menjadi alasan yang kuat bagi
para Katekis untuk giat mewartakan katekese lingkungan hidup. Gereja
bersama para Katekis bisa menjalin kerja sama dengan pemerintah
ataupun lembaga JPIC Gereja.
d) Hadir memperjuangkan Kemanusiaan
Gereja melalui banyak ajarannya sangat keras bersuara untuk
memperjuangkan hak-hak kemanusiaan yang selama ini terabaikan oleh
karena ketidakadilan. Istilah SDM (Sumber Daya Manusia) yang sering
digunakan tidak boleh mengabaikan kebenaran bahwa nilai manusia tak
126
Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput
hanya terletak dalam kegunaannya. Martabat manusia Indonesia harus
dihargai sepenuhnya dan tidak boleh diperalat untuk tujuan apapun,
termasuk tujuan politik (Suharyo, 2009:61). Di Indonesia pelanggaran
atas nilai-nilai kemanusiaan sudah seringkali terjadi. Pelanggaran HAM,
diskriminasi SARA, kemiskinan dan seterusnya menjadi kenyataan yang
mewarnai perjalanan bangsa ini. Hemat penulis, di sinilah umat Katolik
akar rumput hadir untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusian
tersebut dalam masyarakat. Para Katekis melalui katekese kebangsaannya
menegaskan bahwa manusia mempunyai nilai dalam dirinya sendiri dan
tidak pernah boleh diperalat oleh siapa pun. Bukankah manusia
diciptakan menurut citra Allah, diperbaharui oleh Yesus Kristus yang
dengan karya penebusan-Nya mengangkat manusia menjadi anak Allah?
(Suharyo, 2009:61).
Katekis: Pelayan dan Misioner Gereja dan Bangsa
Posisi Gereja dalam tata keselamatan manusia ialah sebagai pelayan
Kerajaan Allah. Gereja disebut pelayan Kerajaan Allah karena hidupnya
dibaktikan untuk pelayanan, pewartaan, dan pemenuhan (meskipun tidak
sempurna) Kerajaan Allah (Riyanto, 2010:207). Menyadari posisi ini, Gereja
terus berusaha menampilkan dirinya sebagai garam dan terang dunia dalam
seluruh karya perutusannya.
Apabila meninjau kembali Quo Vadis Katekis dari zaman ke zaman,
penulis menemukan dengan sangat jelas suatu sifat dasar mereka yang khas,
yaitu sebagai pelayan dan misioner Gereja dalam dunia. Mereka adalah
gambaran langsung dari garam dan terang itu. Dengan meneladani Kristus
dan para Rasul, para Katekis hadir untuk melayani umat Allah dengan
mewartakan Kabar Baik di tengah-tengah dunia. Kenyataan selama ini
menunjukkan bahwa banyak Katekis yang menjadi sukarelawan untuk
membantu pastor paroki, seperti mempersiapkan umat yang dibaptis, komuni
pertama dan krisma, pelajaran agama Katolik, dan membimbing pertemuan
Aksi Puasa Pembangunan (APP) dan Adven.
Dalam konteks katekese kebangsaan, sifat dasar para Katekis sebagai
pelayan dan misioner Gereja mendapat arti baru. Mereka tidak lagi sekadar
menjadi pelayan dan misioner dalam Gereja, melainkan juga menjadi pelayan
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
127
dan pewarta negara. Dengan demikian muatan katekese mereka sudah
bergerak ke ranah yang lebih luas, yaitu nilai-nilai injili dan Pancasila sebagai
dasar negara bangsa Indonesia. Kesadaran yang baru ini sangat penting untk
membentuk identitas yang utuh dalam diri para Katekis. Patut dimengerti
bahwa keterlibatan kaum awam dalam hidup menggereja bukan sekadar
untuk memenuhi kebutuhan “kekurangan tenaga imam”, tetapi terutama
bagaimana Gereja mengungkapkan dan mewujudkan dirinya dalam pelayanan (Murjoko, 1985:3).
“Those who with God’s help have welcomed Christ’s call and freely
responded to it, are urged on by love of Christ to proclaim the Good
News everywhere in the world. This treasure, received from the
apostles, has been faithfully guarded by their successors. All Christ’s
faithful are called to hand it on from generation to generation, by
professing the faith, by living it in fraternal sharing, and by celebrating
it in liturgy and prayer” (cf. Acts 2:42)
Hal ini pun ditegaskan pula oleh Ketua Komisi Kateketik (Komkat)
Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM
yang menilai katekese sebagai karya strategis untuk mengubah wajah serta
kualitas iman umat Katolik Indonesia (Majalah HIDUP Edisi 19 Februari
2017 hlm. 14). Mereka adalah pelayan dan pewarta yang menghadirkan
transformasi rohani maupun sosial individu dalam kehidupan menggereja
maupun berbangsa.
Penutup
Katekese kebangsaan merupakan suatu hal yang niscaya untuk segera
dilakukan dalam konteks umat Katolik akar rumput. Mereka hendaknya
sungguh memahami makna kehadirannya di tengah masyarakat sebagai
bagian dari bangsa ini karena partisipasi mereka merupakan tanda kehadiran
Gereja sebagai garam dan terang dunia.
Membangun persekutuan yang kuat dan intens ke dalam Gereja memang
baik, tapi akan menjadi lebih baik lagi apabila persekutuan tersebut
diseimbangkan dengan keaktifan dalam kehidupan bermasyarakat atau
berbangsa. Nah, di sinilah peran Katekis yang berkebangsaan menjadi sangat
128
Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput
penting. Dengan menghadirkan spiritualitas Kristiani dan nilai-nilai
Pancasila, para Katekis berjuang membidani transformasi sosial dan rohani
umat Katolik akar rumput, yaitu berpartisipasi aktif dalam membangun
bangsa.
Oleh karena itu, mempersiapkan Katekis yang berkebangsaan hendaknya mendapatkan perhatian yang serius dan terus-menerus dari Gereja
Katolik Indonesia. Sebab tanpa hal ini Quo Vadis Katekis hanya akan terus
menjadi retorika belaka.
Daftar Pustaka
Dokumen Gereja
Dokumen Konsili Vatikan II.Apostolicam Actuositatem(Kegiatan Merasul).
Penterj. R. Hardawiryana. Jakarta: Dokpen KWI, 2006.
Dokumen Konsili Vatikan II.Gaudium et Spess(Kegembiraan dan Harapan).
Penterj. R. Hardawiryana. Jakarta: Dokpen KWI, 1992.
Dokumen Konsili Vatikan II. Nostra Aetate (Pada Zaman Kita). Penerj. R.
Hardawiryana. Jakarta: Dokpen KWI, 1992.
Yohanes Paulus II. Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae (Penyelenggaraan
Katekese). Penterj. Robert Hardawiryana. Jakarta: Dokpen KWI, 1992.
Yohanes Paulus II. Ensiklik Centesimus Annus (Ulang Tahun Ke Seratus).
Penterj. R. Hardawiryana. Jakarta: Dokpen KWI, 1991.
Paulus VI. Evangelii Nuntiandi (Mewartakan Injil). Penterj. J. Hadiwikarta.
Jakarta: Dokpen KWI, 2005.
Congregation For The Clergy. Petunjuk Umum Katekese (Judul Asli: General
Directory For Catechesis). Penterj. Komisi Kateketik KWI. Jakarta:
Dokpen KWI, 2000.
The Catechism of The Catholic Church. Kenya: Paulines Publications, 1994.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
129
Buku
Danan Widharsana, Petrus. Mengamalkan Pancasila dalam Terang Iman
Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 2018.
Komisi Kateketik KWI. Katekese Umat dan Evanglisasi Baru. Yogyakarta:
Kanisius, 1995.
Murjoko, M. Yuwono. Katekese Integratif. Seri Pradnyawidya, vol. 17.
Yogyakarta: Sekolah Tinggi Kateketik Pradnyawidya, 1985.
Pareira, Berthold Anton. Mari Berteologi: Sebuah Pengantar Teologi.
Yogyakarta: Kanisius, 2012.
Riyanto, Armada. Dialog Interreligius: Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah.
Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Suharyo, Ignatius. The Catholic Way, Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita.
Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Artikel
C. Aman, Peter. “Menyucikan Dunia, Mengamalkan Pancasila,” HIDUP, 26
November 2017.
Jena, Yeremias. “Antusiasme Menjadi Katekis”, HIDUP, 26 November 2017.
130
Quo Vadis Katekis: Katekese Kebangsaan dan Spiritualitas Kehadiran Akar Rumput
Partisipasi Kaum Muda
dalam Semangat Pancasila
bagi Kehidupan Bermasyarakat yang Humanis di
Era Disrupsi
Kasimirus
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Teologi Widya Yuwana
Pendahuluan
Perjuangan kesetaraan dapat terungkap melalui bentuk tertentu. Prancis
misalnya, telah melahirkan revolusi dengan semboyan liberte, egalite, dan
fraternite(kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Tujuan rakyat dalam
revolusi Prancis adalah keadilan. Sumpah Pemuda berbicara perjuangan yang
serupa. Sumpah Pemuda bicara soal kesetaraan dalam kerangka keadilan
yang melampaui letak geografis, suku bangsa, dan bahasa. Tidak bisa
dimungkiri bahwa kaum muda telah menjadi bintang bangsa masa itu. Saat
ini, militansi kaum muda tampak meredup dalam partisipasi mengisi sejarah
kemerdekaan sebagai historierecite (sejarah yang dituturkan), dan lewat ikhtiar
membangun masa depan bangsa yang cerah (the golden future).
Namun dewasa ini perlu disadari bahwa “Gaya Barat” kian deras melanda
kaum muda, ideologi asing begitu kuat menancap di kalbu beberapa kaum
muda. Kalbu adalah pangkal perasaan batin.Kaum muda menjadi mudah
diprovokasi untuk aksi-aksi perpecahan. Unjuk rasa massa di beberapa pusat
pemerintahan Papua yang dipicu oleh rasisme terhadap mahasiswa Papua di
Jawa, khususnya Surabaya, Jawa Timur pada Dirgahayu RI ke-74, pada
umumnya pelakunya adalah kaum muda.
Negara dalam personalisasi lembaga aparat, dan warga pada saat itu,
yang seharusnya menjaga keharmonisan dan meredam perpecahan justru
melontarkan kata- kata rasisme kepada anak bangsa dari Papua di jalan
Kalasan Sabtu sore 17 Agustus 2019. Papua terluka, Indonesia pilu. Sayatan
luka Papua tidak mudah diobati, sekalipun aparat telah mengantongi nama
Benny Wenda sebagai dalang kerusuhan di Papua, sebab yang dilukai adalah
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
131
martabat kemanusiaan. Jadi, persoalannya bukan rasisme terhadap Papua
saja tetapi rasisme terhadap ideologi Pancasila, rasisme terhadap seluruh
bangsa Indonesia, sebab Pancasila lahir dari filsafat hidup suku bangsa
manusia Indonesia. Benny Wenda pun memberikan keterangan bahwa sikap
aparat pemerintah tidak lain sebagai pengalihan perhatian dari tindakan
rasisme terhadap mahasiswa Papua. Apa yang terjadi, siapa yangbenar?
Kemajuan teknologi dan pengetahuan era disrupsi pun kadang menjadi
pemantik api perpecahan. Era disrupsi membuat perjumpaan face-to-face,
komunitas dengan komunitas jarang terjadi lagi. Aktivitas manusia yang
awalnya dilakukan dalam dunia nyata beralih ke dunia maya melampaui
batas buku bangsa di seluruh dunia. Pancasila seakan dianggap ketinggalan
zaman. Era disrupsi adalah miliknya kaum muda saat ini. Kemajuan teknologi
dan pengetahuan bagai pisau yang bisa dipakai untuk aktivitas masak, atau
melukai manusia. Pisau itu sekarang selalu ada di depan gadget yaitu jari
setiap manusia, dan hanya dengan “klik‟ sudah beroperasi untuk menghancurkan atau memanusiakan manusia. Kekayaan era disrupsi seharusnya
semakin menjadikan kaum muda sebagai subjek pembangun bangsa
Indonesia.
Pola kerja cepat, profesional, berpikir lintas batas, berwawasan global
adalah milik anak muda saat ini. Ideologi Pancasila yang merangkum semua
yaitu manusia sebagai subjek perubahan peradaban perlu diangkat, disadari,
dan dihayati; bahwa Pancasila tidak pernah ketinggalan era. Oleh karena itu,
karya ilmiah ini digagas tidak lepas dari konteks era disrupsi dan nilai
Pancasila dalam realitas kaum muda saat ini yang antipati dengan Pancasila,
dan disorientasi serta distorsi kekayaan era disrupsi. Kaum muda memang
harus bangkit menjadi garda terdepan untuk menjaga dan mempercantik
kesatuan semua manusia Indonesia dari Sabang sampai Merauke di bawah
ideologi Pancasila. Metode penulisan karya ini adalah studi pustaka. Studi
pustaka dari tulisan ini menjawab: (1) apa semangat Pancasila dalam
kaitannya dengan kaum muda; (2) bagaimana kaum muda menghayati
semangat Pancasila di era disrupsi untuk hidup bermasyarakat yang humanis.
Kaum muda diharapkan mengolaborasi Pancasila dengan kekayaan era
disrupsi menjadi uptodate bagi pembangunan bangsa.
132
Partisipasi Kaum Muda dalam Semangat Pancasila
Pancasila sebagai Rumah Bersama NKRI
Gambaran Pancasila sebagai rumah bersama tidaklah berlebihan. Rumah
merupakan tempat bernaung, beraktivitas, tatap muka, kasih-mengasihi di
antara para anggota keluarga. Oleh karena itu, rumah harus dijamin
kenyamanannya oleh para anggota keluarga sendiri, terutama kedua orang
tua. Tempat paling nyaman adalah rumah sendiri, sekalipun rumah tetangga
bergelimangan harta. Pancasila adalah rumah setiap warga negara Indonesia.
Semangat Pancasila akan dilihat sebagai wadah lahirnya manusia Indonesia,
sebagai sumber pendidikan moral dan cita-cita bersama.
Pancasila Wadah Lahirnya Manusia Indonesia
Pancasila merangkum semua. Pidato Soerkarno 1 Juni 1945 memperlihatkan impian membentuk Indonesia sebagai rumah bersama yang merangkum semua kalangan yang berbeda budaya, bahasa, bahkan berbeda
filosofi hidup. Soekarno (dalam Dewantara, 2017:94) mengatakan, “Kita
mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya, semua
buat semua!” Kutipan tersebut menunjukkan bahwa masa perjuangan terjadi
perang ideologi dalam mencari fondasi rumah bersama yang kokoh bagi
Indonesia merdeka (Dewantara, 2017:59).
Di dalam rumah ada kemerdekaan, maka tidak mengherankan bila
Soekarno ketika menyampaikan gagasan dasar negara ia pertama-tama
menggugah hati semua orang bahwa tidak ada harapan yang lebih besar
selain kemauan untuk merdeka. Secara harfiah, merdeka berarti bebas.
Kebebasan dapat dipahami dalam dua arti ‘bebas dari’ dan ‘bebas untuk’.
Dalam pengertian yang mendalam tentang kebebasan, ‘bebas dari’ dan ‘bebas
untuk’saling mengandaikan. Manusia akan bebas untuk bertindak sesuatu,
bila ia bebas dari ‘syarat bebas untuk’. Sebaliknya, manusia ‘bebas dari sesuatu’
bila ia bebas dari ‘syarat bebasdari’.
Kebebasan atau ketidakbebasan dialami secara istimewa dan berkesan di
dalam rumah (keluarga). Dewantara (2017: 60) mengatakan: Kehendak
merdeka harus mendahului keadaan geografis, buta huruf, kaya-miskin.
Keterbatasan dan ketidaksempurnaan manusia, atau ras suatu suku bangsa
dialami dalam keluarga. Kehidupan keluarga tidak pertama-tama melihat
kaya-miskin, buta huruf, tetapi kebebasan (kemerdekaan), kenyamanan.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
133
Budaya Indonesia membenarkan kenyataan itu, bahwa orang nyaman di
rumah sendiri, bebas menambah makan bila belum kenyang makan hanya
sepiring, bisa minum semaunya karena sudah menjadi haknya. Di dalam
keluarga, anggota keluarga makan apa yang menjadi haknya, bukan memakan
jatah anggota keluarga yang lain, apa lagi merampas hak tetangga.
Setiap anggota keluarga yang lahir diterima oleh keluarga, demikian juga
setiap manusia suku bangsa diterima dengan penuh kasih oleh negara.
Malahan, keluarga yang lahir lemah, tidak normal harus diperhatikan secara
istimewa oleh anggota keluarga yang kuat. Negara pun demikian, seharusnya
perhatian besar negara ada pada mereka yang lemah dan miskin. Penguasa
negara sebagai personifikasi seorang ayah sekaligus ibu dalam keluarga harus
membangun kerja sama yang baik untuk mewujudkan keharmonisan.
Namun, sering kali yang dijumpai, Pancasila sebagai rumah bersama
dimaknai beda dari roh asalinya. Para penguasa sering kali memeras,
memperdaya dan menindas rakyat yang lemah. Mirisnya, konglomerat
diangkat dan lebih didahulukan oleh penguasa. Dengan demikian, kualitas
Pancasila sebagai rumah ditentukan oleh para penguasa, dan bukan Pancasilanya atau rumahnya yang menyebabkan ketidaknyamanan.
Di negara Indonesia kerja sama untuk mewujudkan harmoni hidup
bersama disebut gotong royong. Gotong royong adalah roh dari Pancasila.
Wadah tumbuh berkembangnya manusia Indonesia yang sehat harus wadah
yang hidup dalam semangat gotong royong. Ketika meneropong demokrasi
Pancasila, Dewantara (2017:31) menyebutkan: pertama, bila semangat gotong
royong itu di dunia ekonomi, ekonomi harus dikelola dalam prinsip
aksesibilitas, transparansi, dan akuntabilitas. Kedua, bila gotong royong itu
terkait kekuasaan, kekuasaan tidak diartikan sebagai kepemilikan melainkan
kepengaturan, penguasa sebagai regulator kehidupan bersama.
Gotong royong mengandaikan cinta, sama seperti analogi cinta di dalam
sebuah keluarga. Cinta menyangkut soal hati. Hatinya Indonesia sangat peka.
Hati Indonesia dibentuk oleh natura. Pancasila merupakan kristalisasi hati
Indonesia. Hati bukan hanya soal perasaan (afektif). Dalam pemikiran
Indonesia, hati juga menyangkut pikiran (pertimbangan akal budi, nalar).
Itulah sebabnya, kalau dikatakan, pilih sesuai hati nurani berarti mengandaikan
134
Partisipasi Kaum Muda dalam Semangat Pancasila
adanya sebuah refleksi. Refleksi bukan tanpa pertimbangan akal budi, sebab
dalam refleksi terjadi penghadiran realitas, data, konsep dan konflik dalam
regulatif pikiran.
Soekarno, sebagaimana digambarkan Driyarkara (dalam Sudiarja, 2006:
833) mengatakan bahwa Pancasila didapatkan dengan menggali dalam
manusia Indonesia, artinya meneliti sejarah, keadaan sosiologis, serta watakwatak dan psike manusia Indonesia. Meneliti manusia Indonesia membawa
kita ke pemikiran tentang apa manusia itu? Dalam eksistensinya yang konkret,
cara berada manusia adalah bahwa manusia tidak berdiri sendiri, melainkan
serba terhubung dalam segala-galanya (Sudiarja, dkk., 2006: 839). Pancasila
sebagai rumah bersama tampak juga dari kesamaan daerah, perjuangan yang
sama, nasib, cita-cita, makan dalam satu periuk Indonesia.
Pemikiran di atas membawa gambaran mengenai Pancasila. Pancasila
adalah gambaran manusia Indonesia, yang dipahami dan memahami diri
sebagai yang terhubung dengan roh di luar dirinya. Roh itu bersifat melampaui,
maka muncullah sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Manusia Indonesia juga
memahami dirinya terhubung dengan sesama yang melahirkan sila
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan sila Kerakyatan
Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
Perwakilan. Sila pertama hingga sila keempat menjamin hidup bersama yang
tidak saling melukai oleh naluri kebinatangan. Manusia Indonesia juga
memahami diri sebagai ada dalam tujuan yaitu keadilan, yang memunculkan
sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sila ini menjadi tujuan
berangkat dari keadilan yang diartikan kesejahteraan bersama (bonum
commune).
Pancasila muncul dari natura manusia Indonesia, sehingga mempunyai
nilai yang tetap, konstan yang secara universal dan radikal menyentuh secara
keseluruhan (Dewantara, 2017: 38). Gagasan Pancasila menunjukkan bahwa
Pancasila tetap bisa eksis dan relevan pada era mana pun, sebab Pancasila
memuat nilai universal, radikal menyentuh secara keseluruhan. Pancasila
sebagai rumah bersama akan tetap berdirikokoh di tengah gejolak era
disrupsi, sebab oleh nilai-nilai Pancasila batas geografis, suku, bahasa dan
bangsa menjadi luluh.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
135
Pancasila Rumah Pendidikan Moral Hidup Bermasyarakat
Pancasila sebagai rumah bersama sudah dibahas. Pada bagian ini
Pancasila dilihat sebagai rumah pendidikan. Pancasila sebagai rumah tidak
hanya sekadar tempat melahirkan manusia Indonesia dalam arti biologis
tetapi dalam arti nilai karakter. Pendidikan mendasar dan sangat menentukan
dimulai dari keluarga, dari rumah. Pancasila sebagai rumah bersama pun
harus menjadi sumber pendidikan etika. Etika merupakan cakupan filsafat
moral: bagaimana hidup harus dijalani dan mengapa harus hidup demikian,
terutama dalam kaitannya dengan hidup bersama (bdk. Rachels, 2004: 17).
Basis pendidikan sosial ada pada keluarga yang menjadikan anak-anak bisa
bersosialisasi, mengabdi dan melayani di masyarakat. Kehidupan keluarga
menjadi cermin kehidupan bermasyarakat.
Moral selalu berkaitan dengan orang banyak, jadi hidup sosial juga
berkaitan dengan keterlibatan dalam sosial-politik yang benar. Keterlibatan
mengurus hidup orang banyak adalah ranah politik. Pendidikan politik harus
ditanamkan sejak kecil di dalam keluarga. Bashori (SUKMA, 02.7.2018: 292306) menyebutkan ada empat tempat sosialisasi politik yaitu keluarga,
sekolah, agama, asosiasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan media. Di
sini dibahas dua hal. Pertama, sosialisasi di dalam keluarga dan sosialisasi di
melalui media. Pembahasan dua tempat ini tidak lain adalah analogi tentang
Pancasila sebagai rumah pendidikan moral bersama.
Keluarga di era disrupsi atau modern cenderung memiliki pola hubungan
yang lebih demokratis, dengan peran masing-masing yang setara (Boshori,
SUKMA. 02.7.2018: 294). Anak berada pada daya tarik antara orang tua atau
kerabat (teman sebaya). Kecenderungan ketertarikan ditentukan oleh
seberapa tertarik atau seberapa dekat anak dengan orang tua, atau seberapa
dekat anak dengan teman sebaya. Jika anak lebih dekat dan lebih tertarik
dengan orang tua, maka anak akan cenderung ikut pilihan orang tua, namun
bila anak lebih dekat dengan teman sebaya, maka anak cenderung mengikuti
pilihan teman sebaya. Kedua, ketertarikan anak juga dipengaruhi sejauh
mana orang tua sepakat dalam satu hal. Kesepakatan dalam sekata,
seperbuatan akan lebih menentukan dalam pengambilan keputusan anak
dalam partisipasi kemasyarakatan daripada faktor lain seperti demografi,
karakteristik pribadi (ras, jenis kelamin, agama, golongan dan lain-lain).
136
Partisipasi Kaum Muda dalam Semangat Pancasila
Gagasan di atas dapat ditarik dalam pemikiran Pancasila sebagai rumah
pendidikan moral. Bila ingin Pancasila dijadikan rumah pendidikan bersama
yang mumpuni, maka ada dua kriteria dasar yang harus dipenuhi. Pertama,
penguasa harus menunjukkan keelokan dari Pancasila. Kedua, penguasa
harus sependapat bahwa Pancasila sebagai dasar negara, artinya, penguasa
harus bersama-sama bahwa kelima Pancasila sudah merupakan nilai tetap,
konstan yang secara universal dan radikal menyentuh keseluruhan. Kedua
kriteria itu dapat dirangkum menjadi satu sistem pendidikan Pancasila, yaitu
keteladanan. Keteladanan memang lebih sesuai di Indonesia dalam
pendidikan daripada pengertian gagasan yang begitu bagus tentang nilainilai Pancasila. Mengapa keteladanan?
Pancasila sebagai rumah pendidikan moral hidup bermasyarakat harus
menjadi rumah keteladanan nilai-nilai luhur Pancasila. Mari mencermati
latar belakang pemikiran pendidikan lewat keteladanan dalam dunia
ketimuran.
Kata filsafat di Timur dikenal dengan nama anviksiki atau darsana
(Sudiardja, dkk., 2006: 1053). Sistem berpikir orang Timur agak berbeda
dengan berpikir Barat. Belajar filsafat di Timur dilakukan dengan ngelmu
(berguru), artinya belajar praktis cara bertindak bijak dalam hidup, sedangkan
filsafat Barat (khususnya filsafat modern) sangat menekankan ke-ilmuan-an
yaitu sangat objektif, rasional, dan teknis. Filsafat Timur lebih sesuai dengan
arti philosophia awal dalam hal mengajari orang bertindak (praktis) (Sudiardja,
dkk., 2006: 1053). Filsafat Timur sangat subjektif, menekankan afektif, dan
hati terbuka pada realitas ajaib yang mengatasi segalanya serta yang dihormati
dengan kurban dan upacara-upacara (Sudiardja, dkk., 2006: 1053). Kedekatan
filsafat Timur dengan filsafat yang diawali oleh Plato dan Aristoteles, terutama
Sokrates sebagai filsafat yang sesungguhnya dapat dilihat dari definisi tentang
‘kebenaran’.
Kebenaran pada umumnya dimengerti sebagai adanya kesesuaian antara
perkataan dengan perbuatan, kesesuaian konsep dengan realitas (Lorens,
2002:412-413). Pandangan kebenaran tersebut berasal dari Aristoteles:
“Veritas est adaequatio intelectu set rhei” (Kebenaran adalah persesuaian
antara pikiran dan kenyataan). Teori kebenaran ini disebut juga teori
penggambaran atau korespondensi, yang berpanggal dari mazhab realisme
atau materialisme (Lorens, 2002: 413). Pandangan tentang kebenaran ini
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
137
sesuai dengan pola pikir filosof Timur, khususnya dalam Hinduisme, yaitu
kebenaran terkait dengan apa yang kelihatan dan berguna (realis dan
materialis). Suatu abstraksi yang logis, sitematis dan rasional selalu dikaitkan
dengan kenyataan. Kualitas teori dinilai bagus, baik dan benar kalau
praktiknya bagus, baik dan benar. Jadi, seorang guru nyantrik atau ngelmu
yang baik dan benar bukan diukur dari hasil pikiran tetapi dari hidupnya
yang baik sehari-hari (Dewantara, 2018:93).
Berdasarkan pemikiran di atas, Pancasila sebagai rumah bersama harus
dikelola oleh guru-guru yang menghayati nilai-nilai Pancasila. Konsekuensi
dari pemikiran tersebut adalah sejauh rumah pendidikan dikelola oleh
pendidik-pendidik tidak bermoral jangan bermimpi gotong royong yang
begitu luar biasa menjadi milik generasi bangsa.
Dalam negara berpancasila sebagai rumah pendidikan, nilai keadilan,
nilai kejujuran, nilai kebebasan, nilai menghargai hak orang merupakan hal
pokok dan mendasar. Jika ingin menjadikan anak sebagai politikus yang baik,
nilai keadilan, kejujuran, menghargai hak orang lain harus ditanamkan. Anak
harus dilatih kebebasan yang bertanggung jawab, dilatih untuk menghargai
hak-hak orang karena nantinya akan bekerja dengan banyak orang. Anak
harus dididik untuk tahu mana haknya dan mana hak orang lain yang tidak
boleh dimakan, hak rakyat yang tidak boleh diambil. Pendidikan di sekolah,
pendidikan di dalam agama, pendidikan di masyarakat tidak lain adalah
penguatan akan nilai-nilai yang ditanamkan dalam keluarga.
Pancasila sebagai Cita-cita Bersama
Pancasila diangkat dari sari hidup bangsa Indonesia. Pancasila bukanlah
ideologi yang sudah selesai dalam arti penghayatan, meskipun diperas dari
hidup Indonesia. Pancasila sebagai nilai sudah selesai, tetapi sebagai cita-cita
tidak akan pernah selesai. Mengapa demikian? Karena Pancasila diangkat
dari cara beradanya manusia. Manusia itu adalah ‘makhluk yang menjadi’.
Penggalian demi penggalian nilai-nilai kearifan bangsa Indonesia tidak lain
adalah pekerjaan para pencinta kebijaksanaan (philosophia). Nilai-nilai
seperti Pancasila adalah kebijaksanaan. Kehidupan bersama yang diwarnai
oleh ketidakselarasan dengan Pancasila menunjukkan juga bahwa Pancasila
adalah cita-cita bersama yang selalu menjadi beyond, harus diperjuangkan
138
Partisipasi Kaum Muda dalam Semangat Pancasila
bersama. Pancasila sebagai cita-cita bukanlah sesuatu yang mustahil dicapai
dan juga bukan sesuatu yang dekat. Pancasila sebagai cita-cita merupakan
sesuatu yang dekat tak tersentuh sekaligus sesuatu yang jauh tetapi dirasakan
dan menginspirasi dalam hidup bersama. Pemikiran ini pun menunjukkan
bahwa Pancasila dapat selalu eksis di segala era.
Pancasila adalah thelos tiap warga Indonesia. Pancasila merupakan potret
manusia Indonesia yang ideal. Manusia yang ideal menurut Pancasila adalah
percaya kepada Allah yang satu dan Esa, hidup sosial yang beradab, hidup
berkomunitas yang harmonis, bijaksana dalam mengelola kehidupan bersama, dan bertanggung jawab mewujudkan bonum commune. Pandangan itu
menunjukkan posisi Pancasila yang terbuka. Menurut, Irhandayaningsih
(2012: 1) Pancasila menjadi sebuah ideologi yang terbuka karena dimensi
nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu nilai ideal dan nilai aktual. Nilai
Pancasila mencakup nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praktis. Nilai
ideal dan nilai aktual dipengaruhi oleh nilai yang dihayati oleh global sehingga
terjadi pergeseran. Pergeseran yang terjadi menyebabkan juga pergeseran
peradaban yang berdampak pada perubahan pemaknaan Pancasila
(Irhandayaningsih, HUMANIKA, 16.7.2012: 3). Dengan demikian, pemaknaan Pancasila berbeda-beda untuk setiap generasi tetapi tetap satu, banyak
ragam tetapi tetap mewujudkan persatuan.
Gambaran Pancasila di atas menunjukkan bahwa Pancasila sanggup
menyesuaikan diri dengan perubahan peradaban kapan pun dan di mana
pun. Pancasila sebagai nilai menunjukkan juga identitasnya sebagai ideologi
yang meng-universal, artinya, nilai Pancasila bisa dihayati bagi siapa saja
manusia di seluruh dunia. Keterikatan dengan dunia global yang tidak
diragukan menunjukkan bahwa Pancasila sebagai ideologi ditarik dari esensi
dan eksistensi manusia. Oleh karena itu, Pancasila sebagai cita-cita tidak
mungkin menjadi usang layaknya cita-cita biasa dalam kehidupan seharihari, asalkan diperbarui dengan menghayatinya dalam kehidupan bermasyarakat yang humanis.
Arus kencang yang menerpa keteguhan Pancasila sebagai nilai yang
selalu eksis adalah peradaban baru manusia yang disebut era disrupsi.
Goyangan terhadap Pancasila akibat menelan budaya modern secara mentahmentah menghasilkan manusia Indonesia sekularistik yang terkadang ditunggangi pragmatisme. Penerimaan ideologi lain akibat ketidakpercayaan
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
139
terhadap Pancasila, dan memperjuangkan keinginan buta yangmembunuh
multikulturalisme disebut radikalisme. Sedangkan prilaku memegang
Pancasila, dan tidak mencoba mencari bentuk-bentuk baru dalam
menghayatinya akibat kekhawatiran-kekhawatiran yang mengesampingkan
nalar disebut konservatisme. Oleh karena itu, pendidikan Pancasila ini
merupakan hal yang penting bagi keberlangsungan hidup bermasyarakat
yang berdasar Pancasila. Sri Edi Swarsono, dalam Irhandayaningsih
(HUMANIKA, 16.7.2012: 3), mengatakan, bila pemuda-pemudi Indonesia
tidak mampu berwawasan nusantara, maka ini merupakan cacat embrional
bagi nasionalisme Indonesia.
Kaum Muda dalam Era Disrupsi
Pertama, kaum muda adalah agen perubahan. Masa muda adalah masa
peralihan dari masa kanak-kanak ke tahap menjelang dewasa. Pada usia
muda tersebut terjadi perkembangan pesat dan tidak terduga. Jean Piegat,
dalam (Hardiwardaya, 1994:179-180) menggagas teori penting mengenai
perkembangan kognitif, perkembangan moral, dan iman kaum muda.
Perkembangan kognitif disebabkan oleh dua fungsi pribadi, yakni fungsi
organisasi dan fungsi adaptasi. Organisasi menjadi tempat mengolah
informasi dan menjadikannya milik pribadi. Kaum muda pun, melalui
kekayaan kognitif yang baru, menyesuaikan diri dengan realitas. Menurut
Piaget, dalam Hadiwardaya (1994:180) menyebutkan bahwa perkembangan
kognitif dapat lebih dipicu oleh rangsangan positif dari luar.
Kedua, kaum muda mengalami perkembangan penalaran moral. Teori
Piaget tentang perkembangan kognitif mendorong Lawrence Kolberg.
Kolberg melihat dan mengelompokkan perkembangan kesadaran moral
dalam lima tahap. Tahap pertama, tahap di mana pribadi menyesuaikan diri
dengan aturan dan adat kebiasaan yang berlaku. Penilaian atas baik atau
buruk didasarkan pada akibat fisik. Orientasi tahap ini adalah hukuman dan
ketaatan. Tahap kedua adalah tahap di mana orientasinya adalah pemuasan
kebutuhan. Tindakan dinilai baik kalau memuaskan kebutuhan diri sendiri,
dan kadang-kadang kebutuhan orang lain. Tahap ketiga adalah tindakan
dinilai baik atau buruk bila membantu orang lain, sesuai dengan apa yang
140
Partisipasi Kaum Muda dalam Semangat Pancasila
disetujui orang lain. Tindakan moral sangat konformitas, ikut suara banyak.
Tahap keempat adalah tindakan dinilai bermoral bila menjalankan kewajiban,
menghormati yang berwibawa, dan menjalankan aturan tanpa pertanyaan
(Sutrisno, 2006: 74). Tahap kelima adalah tindakan baik dan atau buruk dinilai
bermoral bila mengambil sikap utilitaristis yaitu tindakan yang sesuai norma
yang telah diperiksa secara kritis dan disetujui masyarakat. Tahap keenam,
tindakan yang bermoral disebut bermoral bila tindakan yang dilakukan
sesuai dengan keputusan suara hati, berdasarkan prinsip-prinsip moral yang
logis, universal. Manusia bermoral berdasarkan Pancasila ada pada tahap
perkembangan moral yang kelima dan keenam.
Ketiga, kaum muda mengalami perkembangan iman. Perkembangan
iman telah diteliti oleh Fowler yang masih di bawah pengaruh kajian Piaget
dan Kolberg. Iman berkembang dalam beberapa tahap: tahap iman proyektif,
tahap iman mitisliteral, tahap iman sintesis konvensional, tahap iman reflektif
individuatif, tahap iman konduktif, tahap iman kunjungtif, dan tahap iman
yang diuniversalkan (Hadiwardaya, 1994: 74). Tahap-tahap perkembangan
iman harus disikapi oleh kaum muda dengan baik. Usaha dari tahap 3 ke
tahap 4 sering mengalami kesulitan dan harus dilakukan dengan perjuangan
yang berat. Kaum muda usia sekolah lanjutan memperjuangkan iman dalam
dunia yang semakin kompleks tetapi seringkali masih sering bersandar pada
tokoh- tokoh yang dipujanya. Orang muda berkembang dalam kemampuan
abstraksi dan refleksi.
Perkembangan kognitif, moral, dan iman mengalami tantangan di era
disrupsi, era yang penuh kejutan dan hal baru. Era ini tidak hanya perubahan
biasa tetapi juga mendasar dan hampir dalam semua aspek kehidupan.
Tatanan lama digantikan dengan tatanan baru yang kadang tidak siap
dihadapi. Pilihan yang ada di era ini adalah berubah atau punah, dengan
demikian tidak ada pilihan lain. Literasi lama seperti membaca, menulis, dan
matematika tidak cukup untuk bertahan hidup, menjadi kaum muda yang
baik. Di era ini dibutuhkan literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia.
Orang dapat memanfaatkan MOOC (Massive Open Online Course) dan AI
(Artificial Intellegence) (bdk. Bashori, SUKMA. 2.07.2018: 2).
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
141
Kaum Muda dalam Semangat Pancasila di Era Disrupsi
Semangat Pancasila di kalangan kaum mudah sudah ada sejak gagasan
dan perjuangan Sumpah Pemuda. Perjuangan kaum muda dalam Sumpah
Pemuda yang dilakukan dengan bersama-sama meskipun berasal latar
belakang yang berbeda menunjukkan inti dari Pancasila. Inti dari Pancasila
adalah gotong royong: kebersamaan membentuk persatuan untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Gerakan kaum muda pra-kemerdekaan telah
menghabiskan waktu untuk mengurusi kepentingan masyarakat, sudah
mengurusi masalah-masalah politik yang menyangkut gagasan kemerdekaan,
perlawanan terhadap imperialisme dan gerakan sosial yang melindas manusia
Indonesia. Gerakan kaum muda di bawah Perhimpunan Indonesia (PI) pada
tahun 1925 memiliki tiga tujuan (Jurdi, Jurnal Sosiologi Reflektif, 8.2.2016: 3031). Pertama, berupaya menyadarkan kaum muda dan mahasiswa agar
mengusahakan kemerdekaan Indonesia, karena mereka yang akan menjadi
elite-elite bangsa apa lagi Indonesia merdeka. Kedua, menghilangkan kesan
bahwa kemajuan sosial ekonomi rakyat Indonesia bukanlah atas kebaikan
pemerintah kolonial Belanda. Ketiga, menciptakan suatu ideologi gerakan
yang kuat dan bebas dari pembatasan yang bersifat sektarian (Jurdi, Jurnal
Sosiologi Reflektif, 8.2.2016: 30-31).
Gerakan kaum muda pra-kemerdekaan memiliki cita-cita yang jelas dan
idealisme yang kuat yakni mewujudkan Indonesia merdeka. Basis ideologi
gerakan kaum muda adalah kesatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi
(kemerdekaan adalah hasil kerja keras dan bukan hadiah dari penjajah), dan
swadaya. Jurdi (Jurnal Sosiologi Reflektif, 8.2.2016:31), mengatakan bahwa
aspek moralitas dan etika gerakan kaum muda amat menonjol dalam
kontestansi antar elemen pemuda pada masa pra-kemerdekaan, mereka memiliki kelebihan tertentu dan kemampuan pribadinya dalam mengorganisir
kekuatan rakyat yang memungkinkan lahirnya keberanian untuk menghadapi
penjajah dengan ideologi-ideologinya.
Kata merdeka bukan hanya primadona masa perjuangan, tetapi juga
primadona era disrupsi, yaitu kebebasan. Kaum muda era disrupsi tidak mau
dikendalikan, ingin bebas sesuai maunya, ingin selalu cepat, instan, tidak
repot, praktis. Kaum muda (atau manusia pada umumnya) di era disrupsi ini
selalu kritis. Sifat kritis ini ada dalam kerangka pikir perilaku selektif,
meskipun selektifnya berkaitan dengan pragmatis, konsumeristis dan
142
Partisipasi Kaum Muda dalam Semangat Pancasila
bermental instan. Sedangkan kritis yang diharapkan dalam semangat
Pancasila adalah mempertimbangkan nilai, budaya, peristiwa dalam realitas
seturut kaca mata Pancasila. Sikap kritis ini hanya mungkin bila kaum muda
Indonesia menempatkan diri sebagai subjek pembangunan di atas era
disrupsi. Omong kosong bila kaum muda mengeluarkan celoteh “gaul men”
namun tidak bisa memanajemen diri. Kaum muda tidak cukup tahu
mengoperasikan teknologi tetapi mengerti tujuan setiap ‘klik’ yang dilakukannya dalam kekayaan era disrupsi. Dalam hal inilah, memegang tujuan
yang baik dan benar di era disrupsi merupakan hal penting untuk bertahan
hidup. Modalnya bukanlah modal uang atau barang (money capital),
melainkan modal manusia (human capital). Human capital terdiri dari
kemampuan literasi lama seperti membaca, menulis, dan matematika, dan
kemampuan yang mutlak di era disrupsi untuk bertahan hidup yaitu literasi
data, literasi teknologi, dan literasi manusia.
Kekayaan era disrupsi mengikat kita pada pilihan untuk berubah, sebab
jika tidak, kita akan punah. Artinya, era disrupsi membuat manusia sangat
terikat dan tergantung. Handphone kita, tanpa kita sadari telah mengikat kita.
Kita harus mengisi pulsa atau paket data internetnya jika tidak ingin macet
dalam komunikasi dengan pacar atau teman dekat. Runtutan penderitaannya
banyak: kehilangan komunikasi akan kehilangan teman, kehilangan teman
akan kehilangan dunia saat ini, kehilangan dunia saat ini akan kehilangan
diri, kehilangan diri akan menghasilkan kegalauan dan kepuhan. Kekayaan
era disrupsi sama-sama memiliki daya ikatnya dengan Pancasila. Kehilangan
penghayatan nilai Pancasila menyebabkan kehilangan arah dan tujuan.
Kehilangan arah dan tujuan menyebabkan penderitaan dan kepuhan.
Kepuhan yang dimaksud tentu bukan pertama-tama dalam arti fisik (mati)
tetapi jiwa Indonesia bangsa Indonesia mati, sebab kehilangan penghayatan
Pancasila adalah kehilangan kemanusiaan. Perlu diingat bahwa manusia
hanya dapat dimengerti bila terhubung dengan segalanya, alam ciptaan dan
Tuhan. Pancasila mestinya dipandang sebagai teknologi yang begitu canggih.
Salah satu turunan Pancasila adalah undang-undang. Undang-Undang
no. 40/2009 mendefinisikan kaum muda. Menurut Undang-Undang no.
40/2009, kaum muda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode
penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas)
sampai 30 (tiga puluh) tahun. Secara geografis dan antropologis, generasi
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
143
kaum muda dibagi ke dalam usia persiapan masuk dunia kerja, atau usia
produktif yakni usia 15-40 tahun. Menurut sudut pandang sosial budaya,
generasi muda saat ini memiliki sifat majemuk dengan aneka ragam etnis,
agama, ekonomi, domisili, dan bahasa (Irhandayaningsih, HUMANIKA.
16.9.2012: 5). Pasal 7 menggambarkan pelayanan kepemudaan diarahkan
untuk menumbuhkan patriotisme, dinamika, budaya prestasi dan semangat
profesionalitas dan meningkatkan partisipasi dan peran aktif dalam
membangun dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Manusia kini terhubung dan tergantung oleh kepentingan perdagangan,
investasi dan budaya interaksi lain dalam media komunikasi yang begitu
canggih. Ketergantungan tersebut disebut globalisasi. Globalisasi sendiri
berarti suatu fenomena dari mana batasan antara negara seakan memudar
karena terjadinya berbagai perkembangan di segala aspek kehidupan, khususnya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (Irhandayaningsih, HUMANIKA,
16.9.2012: 4). Kaum muda diharapkan menjadi subjek pengembangan nilainilai Pancasila yang diharapkan menjadi aktor dan pelaku pembangunan
nasional. Menurut Rjasa, dalam Irhandayaningsih (HUMANIKA, 16.9.2012:
6), kaum muda berperan mengembangkan karakter nasionalisme melalui
tiga proses yaitu pembangunan karakter positif (kemauan keras untuk
menjunjung tinggi nilai moral dan menginternalisasikannya dalam dunia
nyata; pemberdaya karakter yaitu berinisiatif membangun kesadaran kolektif
dengan kohesivitas tinggi, misalnya menyerukan penyelesaian konflik. Ketiga,
perekayasa karakter yaitu berperan dan berprestasi dalam ilmu pengetahuan
dan kebudayaan, serta terlihat dalam proses pembelajaran dalam pengembangan karakter positif bangsa Indonesia sesuai dengan perkembangan
zaman. Pengembangan yang dilakukan terhadap kaum muda dan
pembangunan yang dilakukan kaum muda bagi bangsa Indonesia haruslah
berdasar kepada Pancasila. Nilai moral yang dijunjung dan dihidupi selalu
selaras dengan Pancasila sebagai cita-cita bersama.
Kaum muda, tidak bisa dimungkiri adalah pelopor utama pergerakan
mengusahakan kemerdekaan republik Indonesia di bawah organisasi Pemuda
Indonesia (Jurdi, JSR. 8.Iss2.2016: 3). Bagaimana tidak, Soekarno, Tan Malaka,
Sunarjo, Kahar Muzakkir, Sutan Syahrir, Sukiman, Natsir, Kasman, Farid
Ma’ruf, yang didukung oleh tokoh senior seperti Tjokroaminoto, Agus Salim,
Mas Mansur, dan tokoh-tokoh Boedi Oetomo (BO) seperti Ki Hajar
144
Partisipasi Kaum Muda dalam Semangat Pancasila
Dewantara, Tjipto Mangun Kusumo adalah penentu sendiri nasib bangsa
Indonesia (Jurdi, JSR. 8.Iss2. 2016: 4). Mereka telah menghidupi demokrasi
lebih awal sebelum demokrasi dijadikan sebagai sistem pemerintahan dan
menjelang mengusung Pancasila menjadi ideologi negaraIndonesia.
Kaum muda merupakan fase dalam perkembangan psikologis manusia
yang ditandai dan didominasi oleh semangat militansi, idealis, kritis dan
penuh ambisi. Pemikiran kaum muda selalu melampaui batas geografis, batas
kesukuan, budaya, etnis dan agama. Realitas di tanah air yang menunjukkan
pemikiran visioner kaum tersebut terlukis dalam ide ketiga Sumpah Pemuda
yang selalu diperingati pada 28 Oktober. Bunyi dari ketiga sumpah pemuda
itu tidak lain adalah ekspresi bagian dari gagasan Pancasila: mengaku tanah
air Indonesia sebagai tanah tumpah darah, mengaku sebagai bangsa yang satu
yaitu bangsa Indonesia, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa
Indonesia. Jiwa pemuda saat itu mendahului era disrupsi, sebab di dalam
Sumpah Pemuda tidak ditemukan lagi kamu dari daerah mana, etnis apa, dan
bahasa apa. Manusia harus dikasihi. Sutrisno (2004: 78) melukiskan, “Ketika
menikmati mata air religiositas Zen di Jepang dan kita terkoyak oleh tragedi
bom atom Hiroshima dan Nagasaki, rasanya semakin jelas jalan humanis
yang harus saya tempuh. Ini suatu perjuangan panjang agar setiap orang –
lepas dari beda agama, suku dan ras – harus dihormati sebagai manusia yang
berharkat.” Karol Wojtyla (dalam Pandor, 2013:46-52), menyatakan bahwa
prinsip partisipasi haruslah berakar pada kesadaran bahwa orang lain adalah
“aku-yang-lain”. Perintah kasih adalah panggilan untuk berpartisipasi dalam
kemanusiaan sesama yang dikonkretkan dalam pribadi sesama yang sama
dengan pribadiku sendiri.
Penutup
Kaum muda adalah prototipe perkembangan bangsa. Kualitas Indonesia
kelihatan di dalam pribadi kaum muda, sebab kaum muda bangsa adalah
agen perubahan. Tolak ukur kemajuan bangsa seharusnya diukur dari kaum
muda dalam item indikator ekonomi, pendidikan, pembangunan, karakter
bangsa. Pancasila adalah ukuran bagi kemajuan peradaban bangsa dalam
kaum muda. Bila kualitas kaum muda menurun berdasarkan indikator yang
dipasang yaitu nilai-nilai Pancasila maka negara sebagai penyelenggara
pendidikan harus memberikan penyadaran bahwa Pancasila merupakan
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
145
rumah bersama, harus melihat regulasi pendidikan yang dipakai, dan
bagaimana visi pendidikan kaum muda yang diupayakan.
Ukuran keberhasilan kaum muda bukan tingginya intensitas kaum muda
ikut tren modern atau kekayaan era disrupsi melainkan Pancasila, sebab
Pancasila sendiri nilai universal yang selalu eksis dalam era mana pun bila
digali dan dipahami kekayaannya. Kaum muda yang dapat bertahan dan
layak dikategorikan eksis pada era disrupsi adalah manusia Indonesia yang
Pancasila, sebab human capital yang menentukan eksistensi manusia di era
disrupsi secara ideal ada di dalam jiwa semua sila Pancasila. Pancasila tidak
dengan sendirinya dapat mendidik generasi muda yang super power di
hadapan disrupsi, tetapi Pancasila menyediakan diri menjadi sebuah konsep
dan sekaligus ukuran manusia yang berkeutamaan di era disrupsi tersebut.
Kaum muda yang diperlukan di era disrupsi adalah kaum muda yang
menguasai literasi data, literasi teknologi dan literasi manusia, artinya
memerlukan manusia yang matang kognitif, moral dan berimanteguh.
Kematangan kognitif yang dituntut adalah kaum muda mampu
menyusun hipotesis, dan generalisasi dan gagasan abstrak, dengan kata lain
selalu kritis terhadap peradaban yang bergulir. Ideologi lain dan budaya
modern akan muda difilter dengan pikiran kritis anak bangsa. Kematangan
moral yang diupayakan adalah menilai dan bertindak baik dengan mengambil
sikap utilitaristis yaitu tindakan yang sesuai norma yang telah diperiksa
secara kritis dan disetujui masyarakat, serta bertindak sesuai dengan
keputusan suara hati, berdasarkan prinsip-prinsip moral yang logis, universal.
Prinsip moral bangsa yang logis dan universal ada di dalam Pancasila.
Menurunnya partisipasi kaum muda bagi pembangunan bangsa yang
Pancasilais terletak pada rendahnya pemahaman tentang ideologi Pancasila
karena rendahnya keteladanan soal bagaimana meragakan sila-sila Pancasila.
Maka, negara harus maksimal mendidik karakter muda anak bangsa seturut
Pancasila. Kemauan maksimalisasi diri sudah merupakan tindakan melek era
disrupsi. Maksimalisasi diri seturut Pancasila dibutuhkan di era disrupsi
karena dalam Pancasila ada gambaran manusia yang hebat, manusia ideal;
dan kekayaan era disrupsi dibutuhkan untuk mendukung pembentukan
manusia Pancasila. Pancasila adalah ideologi terbuka, dan pendidikannya
hanya berdaya guna bila diteladankan, dihayati. Cinta ideologi Pancasila
harus digalakkan untuk mencapai cita- cita Pancasila, yaitu bonum commune.
146
Partisipasi Kaum Muda dalam Semangat Pancasila
Daftar Pustaka
Bashori, Khoiruddin. “Pendidikan Politik di Era Disrupsi”. SUKMA: Jurnal
Pendidikan 02.7 (2018): 287-310.
Dewantara, Agustinus W. 2017. Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini.
Yogyakarta: Kanisius.
-------. 2018. “Diktat Kuliah Perbandingan Agama”. Madiun: STKIP
WidyaYuwana.
Hadiwardaya, Aloysius Purwa. 1994. Menuju Masa Depan: Spiritualitas Orang
Muda (dalam Teologi dan Spiritualitas). Yogyakarta: Kanisius.
Irhandayaningsih, A. “Peranan Pancasila dalam Menumbuhkan Kesadaran
Nasionalisme Generasi Muda di Era Global”. HUMANIKA, 16.7 (2012):19.
Jurdi, Syarifuddin. “Dinamika Politik Kaum Muda Indonesia: Dialektika
Politik Nasional dan Lokal”. Jurnal Sosiologi Reflektif, 8.Iss2 (2016): 2941.
Keene, Michael. 2006. Agama-Agama Dunia: Induisme, Yudaisme, Buddhisme,
Kristianitas, Islam, Sikhrisme, Konfusianisme, Taosisme, Zoroastrianisme,
Shintoisme, Kepercayaan Baha’i(terj. F. A. Soeprapto). Yogyakarta:
Kanisius (hlm. 10-36).
Lorens, Bagus. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Rachels, James. 2004. Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius (hlm.187212).
Sudiarja, dkk. (penyunting). 2006. Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai
Filsafat Pemikir yang Terlibat dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama (hlm. 1035-1141).
Sutrisno, Mudji. 2004. Ide-Ide Pencerahan. Jakarta: Obor., (bagian kedua:
Politik, Kekuasaan dan Krisis Kemanusiaan) (185-190, 373-376).
Widodo, Sutejo K. “Memaknai Sumpah Pemuda.” HUMANIKA, 16.9 (2013):
1-11.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
147
Urgensitas Peran Kaum Muda
bagi Dialog Antaragama di Indonesia
Hironimus Edison
Sekolah Tinggi Filsasat Teologi Widya Sasana
Pendahuluan
Dinamika hidup berbangsa dan bertanah air akhir-akhir ditandai dengan
beragam masalah dan persoalan. Permasalahan dan persoalan itu sering kali
menyita perhatian seluruh masyarakat Indonesia. Akibatnya, keamanan dan
kestabilan kehidupan berbangsa dan bernegara terganggu baik dalam skala
nasional maupun regional. Permasalahan dan persoalan yang dimaksud bisa
berupa persoalan sosial, ekonomi, politik, lingkungan, dan bahkan relasi
antarumat beragama.
Tak sedikit media mainstream melaporkan beragam masalah yang
fondasinya ada pada persoalan agama. Antarumat beragama beradu gagasan
perihal agama mana yang benar dan tidak. Tak sedikit juga yang berdebat
perihal umat agama mana yang masuk surga dan tidak. Konsekuensinya
ialah, ayat-ayat suci mulai diperjualbelikan di ruang publik. Hal inilah yang
melahirkan krisis bagi kehidupan bersama di Indonesia. Yang mengerikan
ialah krisis itu lahir dan berfondasikan pada persoalan perbedaan agama.
Harus disadari bahwa untuk konteks Indonesia, pluralitas agama merupakan sebuah keniscayaan. Undang-undang negara ini telah mengakomodasi
keberagaman agama yang ada di tanah air. Kita mengenal agama Islam,
Agama Katolik, Agama Kristen Protestan, Agama Hindu, Agama Budha, dan
Agama Konghucu, di samping adanya keberagaman aliran kepercayaan. Bisa
dibayangkan terciptanya situasi yang chaos di Indonesia jika semua agama itu
terjebak dalam perdebatan-perdebatan kusir sebagaimana yang ditulis
sebelumnya. Lahirnya tuntutan akan adanya dialog antaragama di Indonesia
merupakan hal yang mendesak dan harus segera dipenuhi. Mega Hidayati
(2016: 15) menulis, “keterbukaan terhadap yang lain adalah kunci bagi dialog
antaragama yang sejati, dan bahwa dialog antaragama yang sejati adalah
kunci bagi masa depan Indonesia”.
148
Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia
Saat ini, kaum muda secara kuantitatif menduduki jumlah populasi
terbanyak dalam rasio jumlah penduduk yang ada di Indonesia. Dari total
270,6 juta jiwa, jumlah populasi kaum mudanya ialah 143 juta jiwa. Itu berarti,
kesadaran dan penerimaan kaum muda saat ini akan realitas pluralitas agama
yang ada di Indonesia menjadi faktor penentu terciptanya stabilitas nasional
dalam segala dimensinya. Di tangan kaum muda juga diletakkan tanggung
jawab untuk menjaga kerukunan antarumat beragama. Mereka yang
memegang kunci utama untuk menciptakan hidup yang penuh toleransi
antarumat beragama dalam sejarah bangsa ini ke depan. Melihat peluang
yang besar akan pentingnya peran kaum muda bagi sejarah bangsa ini ke
depan maka saya mengangkat tema, “Urgensitas Peran Kaum Muda Bagi
Dialog Antaragama di Indonesia” bagi karya ilmiah ini.
Metodologi Penulisan
Dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, penulis menggunakan metode
kualitatif yang berdasar pada studi pustaka. Langkah pertama yang penulis
lakukan ialah mengumpulkan buku-buku dan artikel-artikel (cetak dan
online) yang secara khusus berbicara tentang dialog antarumat beragama.
Mengingat banyaknya terbitan artikel yang tersedia, maka penulis membatasi
diri pada artikel-artikel yang bersumber pada jurnal-jurnal yang akuntabel
dan reliabel dan yang ditulis pada medio (Januari-Juli) 2019. Selain itu,
penulis juga membatasi jumlah artikel yang dipilih berdasar pada hubungan
langsung antara kaum muda dengan dialog antarumat beragama. Hal ini
bertujuan untuk membatasi penulis guna melihat realitas dialog antarumat
beragama yang ada dalam realitas kehidupan bangsa akhir-akhir ini.
Langkah kedua ialah melakukan seleksi akan artikel-artikel yang dipilih.
Demi kemudahan maka penulis mendasarkan seleksi itu pada judul dan isi
tulisannya. Artikel-artikel yang dipilih ialah artikel-artikel yang secara
langsung berbicara tentang kaum muda dan dialog antaragama. Isi artikel
dibaca penulis lewat abstrak yang mereka tulis. Dasarnya, rangkuman seluruh
isi artikel umumnya termuat dalam abstraknya. Pada langkah ini penulis
berhasil mengumpulkan:
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
149
Tabel 1: Sumber-sumber bacaan
Penulis
Ahmad
Shobiri
Muslim
dan Saiful
Mujab
Judul Tulisan
Jurnal
Kearifan Lokal
EMPIRISMA,
dan Peran Elit
2019, 28.1.
Agama Dalam
Merawat Toleransi
Antar Umat
Beragama di Akar
Rumput
Isi
Kerukunan antaragama merupakan
suatu yang telah diwariskan dan dipertahankan sejak lama
melalui pernikahan
antaragama, kearifan
lokal, dan para
sesepuh.
M Thoriqul
Huda,
Isna Alfi
Maghfiroh
Pluralisme Dalam
Pandangan
Pemuda Lintas
Agama di
Surabaya
Satya Widya:
Jurnal Studi
Agama Juni
2019
Generasi muda
sebagai penerus
bangsa harus mampu
menjaga kesatuan
dan persatuan umat,
agar tidak mudah
untuk dipecah belah.
Dengan bersatu
padunya remaja dalam
membagun negara
maka akan tercipta
suatu keinginan
luhur bangsa yaitu
dapat hidup rukun,
damai, aman, tentram,
dan nyaman dalam
perbedaan.
Ananda
Ulul
Albab
Interpretasi Dialog antar Agama
dalam Berbagai
Prespektif
Al-Mada;
Jurnal Agama,
Sosial dan
Budaya Januari
2019
Agama ada, bukan
untuk mengajarkan
perpecahan
melainkan untuk
mengantar setiap umat
menjunjung tinggi
kemanusiaan.
150
Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia
Walaupun setiap
agama berbeda dalam
pengajarannya, tetap
saja ada aspek-aspek
yang sama dalam hal
kemanusiaan, seperti
mengajarkan cinta
kasih, kasih sayang,
pengorbanan, saling
menghormati antar
sesama, memberi
tanpa pamrih, dan
masih banyak lagi halhal baik yang diajarkan
oleh agama.
Syamsul
Ma’arif
PENDIDIKAN
ISLAM
PLURALIS
Menampilkan
Wajah Islam
Toleran dalam
Pendidikan Islam
TOLERANSI
10.2 (2019)
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
Dalam prespektif
filsafat progresivisme,
posisi kurikulum
adalah untuk
membangun
kehidupan masa
depan di mana
kehidupan masa lalu,
masa sekarang, dan
berbagai rencana
pengembangan dan
pembangunan bangsa
dijadikan dasar untuk
mengembangkan
kehidupan masa
depan. Dari sinilah
sangat memungkinkan
untuk mengajarkan
prinsip-prinsip ajaran
151
Islam yang humanis,
demokratis dan
berkeadilan kepada
peserta didik. Sebuah
prinsip-prinsip
ajaran Islam yang
sangat relevan untuk
memasuki masa
depan dunia yang ditandai dengan adanya
keanekaragaman
budaya dan agama.
Langkah ketiga ialah melakukan analisis untuk menemukan urgensitas
kaum muda bagi dialog antaragama di Indonesia. Hal itu menjadi penemuan
penulis dalam karya ilmiah ini. Langkah keempat berupa kesimpulan.
Temuan
1.
Fenomena Perjumpaan Antarumat Beragama
Pluralitas agama di Indonesia merupakan fakta riil yang tidak dapat
diperdebatkan. Yang harus dilakukan ialah penerimaan dan pengakuan
antara satu dengan yang lain. Penerimaan dan pengakuan itu berdasar
pada fakta bahwa dalam keberagaman agama, perjumpaan antarumat
beragama tidak dapat dihindari. Perjumpaan itu yang menjadi dasar dari
pentingnya dialog antarumat beragama.
Armada Riyanto (2010: 238) menulis, “Pertemuan antarumat beragama telah menandai bangkitnya teologi dialog.... Dewasa ini setiap
orang adalah tetangga dekat bagi yang lainnya. Tetangga dalam arti
sebagai komponen masyarakat sekaligus dalam arti sebgai tetangga
rohani.... Agama-agama asing sudah menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari.” Dalam konteks Indonesia, hal ini mudah dimengerti.
Hadirnya umat yang berbeda agama di samping kiri-kanan dan
depan-belakang rumah menjadi undangan bagi setiap orang untuk
saling berdialog satu sama lain. Semangat dialog adalah semangat
152
Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia
kebersamaan dan semangat sharing satu sama lain. Konflik, permusuhan,
pertengkaran tidak akan pernah terjadi jika dalam kebersamaan hidup
harian tercipta kerukunan dan keharmonisan satu sama lain.
Keharmonisan dan kerukunan akan tercipta jika dalam keseharian hidup
saling menaruh rasa hormat satu sama lain teristimewa akan keberagaman
agama yang dianut. Konsep dialog interreligius ditekankan terutama
dalam konteks kerukunan. Dan dengan kerukunan, dimaksudkan
keserasian dan keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
(Armada Riyanto, 2010:376).
Pertanyaannya sekarang ialah, apakah dalam fenomena perjumpaan
antarumat beragama konflik dan pertentangan dapat dihindari? Tidak
mudah untuk menjawab pertanyaan ini. Alasannya demikian. Pada sisi
yang satu, dalam perjumpaan antaraumat beragama sering kali dijumpai
fenomena yang rukun, damai, dan saling menghormati. Pada sisinya
yang lain, tidak sedikit juga kekerasan, kebencian, konflik, pertengkaran
atas nama perbedaan agama yang kita jumpai dalam keseharian hidup.
Dalam konteks Indonesia akhir-akhir ini, fenomena yang kedualah yang
sering kita jumpai. Hal itu yang tidak jarang menyebabkan terganggunya
stabilitas nasional dan regional dalam berbagai lini kehidupan.
“SETARA mencatat hingga Juni 2018 ada 109 tindak intoleransi
dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan.” Saya tidak punya intensi
untuk masuk dalam jenis dan bentuk intoleransi. Yang perlu dicatat,
tingginya angka ini dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan menjadi bom waktu bagi peziarahan bangsa ke depannya. Padahal tidak ada
saat atau waktu bagi bangsa ini untuk tidak berjumpa dengan sesama
yang beda agama dan keyakinan. Angka itu menjadi bukti implisit tentang belum mengakarkuatnya pemaknaan semangat toleransi dalam diri.
Hardawiryana berpendapat bahwa istilah toleransi tidak masuk
dalam kamus dialog interreligius dan hubungan antragama, melainkan
hubungan antarmanusia (yang beragama) (Armada Riyanto, 2010: 400).
Kemampuan untuk mengembangkan semangat toleransi pertama-tama
bukan karena kita menganut agama tertentu, melainkan karena kemampuan itu melekat erat dalam kodrat manusiawi manusia. Karenanya,
toleransi memacu kerja sama dan saling pengertian satu sama lain di
antarumat beragama (Armada Riyanto, 2010: 401).
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
153
Semangat toleransi, jika diterapkan dalam konteks Indonesia ada
pada garis yang sama dengan semangat budaya Timur. Dalam budaya
Timur, pihak yang kuat (atau yang tidak sedang dalam kesulitan)
menaruh sikap-sikap “ikut memikul beban” pihak-pihak yang lemah
(yang sedang dalam kesusahan) (Armada Riyanto, 2010: 401). Poin yang
ingin diungkapkan ialah unsur kodrati manusia yang akan selalu tergerak
mengulurkan tangan kepada sesama tanpa memandang perbedaan, apa
pun namanya. Pada poin ini, peribahasa “berat sama dipikul, ringan
sama dijinjing” menemukan aktualitas makna yang sejati.
Peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (No.
8 Tahun 2006) secara khusus menaruh perhatian pentingnya menjaga
toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Dalam pasal 1, ayat 1
ditulis, “Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama
umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling
menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran
agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”.
Dalam perturan yang sama, ditekankan juga peran serta semua
umat beragama dalam menjaga dan menciptakan kerukunan dan
toleransi. “Pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya bersama umat beragama dan pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan,
dan pemberdayaan umat beragama” (Pasal 1 ayat 2). Artinya ialah, segala
konflik, pertentangan, dan permasalahan atas nama agama dapat
terhindarkan jika semua orang saling menjunjung tinggi rasa hormat
satu sama lain serta terlibat aktif dalam membangun dan menjaga
toleransi.
2.
Menyadari Pentingnya Dialog Antarumat Beragama
Perjumpaan antarumat beragama di tengah fakta pluralisme agama
yang ada di Indonesia in se menuntut keterbukaan satu sama lain untuk
berdialog. Akan tetapi, usulan akan adanya dialog antaragama tidak
serta merta dapat diterima semua kalangan. Karenanya, timbul kelompok
yang memiliki pandangan pro dan kontra akan pentingnya semangat
dialog antaragama.
154
Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia
Syamsuddin Arif (2010:160-161) menuturkan, “Mereka yang pro
dialog kerap mengutarakan alasan sebagai berikut: dialog bertujuan
mengenyahkan salah paham, prejudices, dan kebencian antara satu sama
lain; dialog adalah upaya menjalin tali persahabatan dengan pemeluk
agama lain, mengendurkan ketegangan, mendorong kerjasama, saling
hormat dan saling mengerti.... Adapun mereka yang kontra dialog
melihat aktivis dialog antaragama umumnya tidak menyadari bahwa
dialog semacam itu secara halus menggiring mereka kepada confusion,
kompromisme, sinkretisme, relativisme dan pluralisme agama, sehingga
terbentanglah jalan bagi pemurtadan (proselytization)”. Tentu kedua
pandangan di atas akan senantiasa ditemui dalam setiap fenomena
perjumpaan antaragama yang menuntut sebuah dialog yang sejati dalam
kehidupan bersama.
Guna menciptakan sebuah semangat dialog antaragama yang sejati
dan sangat mendalam maka sikap-sikap yang perlu diperhatikan ialah,
“Dialog meminta keseimbangan sikap, dialog meminta kemantapan dan
menolak indiferentisme, dialog tidak menghendaki teologi universal”
(Armada Riyanto, 2010: 216-218). Ketiga poin itu akan dijelaskan secara
rinci pada uraian selanjutnya.
Dialog meminta keseimbangan sikap (Armada Riyanto, 2010:216217) memaksudkan tuntutan agar mereka yang terlibat dalamnya tidak
boleh (dan jangan sampai) bersikap tidak jujur. Juga hendaknya
dihindarkan kecenderungan yang mengkritik, biarpun untuk itu
didukung dengan kutipan-kutipan dari Kitab Sucinya dan berdasar
wahyu tertulis sekalipun. Sikap-sikap yang terbuka, mau mendengarkan,
tidak egois, tidak berprasangka perihal perbedaan-perbedaan yang
muncul, haruslah dipupuk dan diusahakan dalam persahabatan yang
mantap. Oleh karena itu, aneka kecenderungan untuk menganggap diri
paling benar karena alasan-alasan mendangkal (misalnya sebagai
mayoritas atau sebagai agama yang paling banyak dianut di seluruh
dunia) maupun alasan-alasan yang lebih mendalam (misalnya karena
kelogisan pandangan teologis atau keakuratan dalam mencerna
pengalaman imannya), haruslah dicegah dan ditanggalkan dengan
penuh kerendahan hati.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
155
Dialog meminta kemantapan dan menolak indiferentisme (Armada
Riyanto, 2010: 217-218). Dialog interreligius tidak mungkin dijalankan
dalam keragu-raguan mengenai imannya. Ia menuntut kemantapan.
Dalam konteks iman Kristiani hal ini dijelaskan demikian, “Bila orangorang Kristen memupuk keterbukaan dan membiarkan diri mereka
diuji, mereka akan dapat mengumpulkan buah-buah dialog. Mereka
akan menemukan, dengan penuh kekaguman, semua yang telah
dilaksnakan karya Allah melalui Yesus Kristus di dalam Roh-Nya dan
terus dilaksanakan di dunia dan di seluruh umat manusia. Dialog sejati,
bukannya akan melemahkan mereka, tetapi akan memperdalam iman
mereka. Mereka akan semakin menyadari identitas mereka sebagai orang
Kristen. Iman mereka akan mendapatkan dimensi baru pada saat mereka
menemukan kehadiran yang aktif dari misteri Yesus Kristus di luar batasbatas Gereja yang kelihatan dan jemaat Kristen”. Lebih lanjut, seraya
mengusahakan pandangan yang terbuka dan positif terhadap agamaagama lain, setiap orang Kristen harus menghindarkan dan membuang
sikap-sikap indiferentisme. Indiferentisme harus dicegah, sebab
pandangan ini selain mengantar kepada sikap acuh tak acuh mengenai
tuntutan-tuntutan imannya, juga menampilkan sikap menggampangkan
sekaligus menyederhanakan (simplifikasi) pandangan tentang agamaagama sebagai sama saja semuanya. Memandang semua agama sebagai
sama saja, justru sangat merugikan imannya. Menolak indiferentisme
tentu berlaku bagi semua umat beragama. Tujuannya jelas ialah untuk
menghilangkan cara berpikir yang berkarakter relativistis dalam
kehidupan beragama.
Dialog tidak menghendaki teologi universal (Armada Riyanto,
2010:218) memaksudkan bahwa dalam dialog interreligius–dalam
paham Gereja Katolik–justru tidak (atau kurang) menghendaki usaha
menguniversalkan teologi dari agama-agama yang terlibat dalam dialog.
Gereja tidak menghendaki teologi universal tentang agama-agama (yang
pada prinsipnya memandang semua agama sama saja biarpun dikatakan
dalam pemahaman teologis yang kompleks), sebab dapat membawa
kecenderungan-kecenderungan sikap indiferent. Di lain pihak, Gereja
tidak menghendaki kepelbagaian dan keanekaragaman pandangan
teologis dari agama-agama sebagai sumber pemecah belah kesatuan
umat manusia. Itu berarti bahwa, dalam dialog interreligius, keunikan
156
Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia
dan kekhasan teologi dari pihak-pihak yang terlibat dalam dialog
antaragama tetap dipertahankan. Jika keunikan dan kekhasan itu terus
dan senantiasa dikembangkan maka akan memperkaya satu sama lain
dalam mengembangkan bentuk kehidupan yang saling membela hidup
satu sama lain.
Ketiga sikap di atas, yang memungkinkan lahirnya dialog sejati
antarumat beragama jika sungguh diperhatikan maka keharmonisan
dan keselarasan hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia akan
tercipta. Kembali pada angka intoleransi di atas, serta melihat fakta yang
terjadi di dalam ruang publik Indonesia akhir-akhir ini, bisa disimpulkan
bahwa toleransi, hormat akan keberagaman agama, serta keseriusan
dalam meningkatkan semangat dialog antarumat beragama masih sangat
jauh panggang dari api.
Hal apa yang menyebakan tingginya angka intoleransi itu? Penulis
meyakini bahwa semua orang punya jawabannya masing-masing yang
sangat beragam. Meski demikian, penulis mengikuti apa yang ditulis
Armada Riyanto (2010: 219) dalam menunjukkan hambatan-hambatan
dialog antarumat beragama. Hambatan-hambatan itu meliputi:
•
•
•
•
•
•
•
Tidak cukupnya dasar kemantapan seseorang
Tidak cukup memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang
agama-agama lain secara benar dan seimbang, akan menyebabkan
kurangnya penghargaan sekaligus dengan gampang muncul sikapsikap curiga yang berlebihan.
Perbedaan kebudayaan karena tingkat pendidikan yang tidak sama;
juga masalah bahasa yang sangat peka dalam kelompok-kelompok
tertentu.
Faktor-faktor sosial politik dan beban ingatan sejarah yang
traumatis.
Pemahaman yang salah mengenai beberapa istilah yang bisa muncul
dalam dialog, misalnya pertobatan, pembaptisan, dialog, dan
seterusnya.
Merasa diri cukup atau paling sempurna, sehingga menyebabkan
sikap-sikap defensif dan agresif
Kurang yakin terhadap nilai-nilai dialog interreligius, yang oleh
beberapa orang dianggap sebagai suatu tugas khusus para ahli dan
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
157
•
•
•
orang lain melihat dialog sebagai salah satu tanda kelemahan dan
malahan pengkhianatan iman.
Kencenderungan untuk berpolemik bila mengungkapkan keyakinan
gagasannya.
Ciri-ciri tertentu dalam suasana keagamaan pada jaman sekarang
ini, misalnya, bertumbuhnya materialisme, sikap acuh tak acuh
dalam hidup agama, dan banyaknya sekte-sekte keagamaan yang
menimbulkan kebingungan dan menimbulkan persoalan-persoalan
tertentu.
Sikap tidak toleran yang kerap kali diperparah karena dihubungkan
dengan faktor-faktor politik, ekonomi, ras, etnis, dan aneka
kesenjangan lainnya.
Rangkaian daftar hambatan di atas harus diakui dialami dalam
kehidupan riil masyarakat Indonesia saat ini. Semua itu menjadi cikal
bakal bertumbuh suburnya beragam konflik yang berdasar pada alasan
keagamaan di panggung nyata kehidupan bangsa ini. Karenanya, semua
orang diundang dan dipanggil untuk secara khusus menyadari perannya
dalam menjaga dan meningkatkan toleransi dan kerukunan di antara
umat beragama sebagaimana keputusan bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri di atas.
Agar hambatan-hambatan dialog antarumat beragama di atas dapat
diatasi maka berikut akan disampaikan 10 prisnip dialog interreligius (L.
Swidler,1983:348-351). Prinsip-prisnip itu ialah: Perintah pertama:
Tujuan utama dialog adalah untuk mengubah dan tumbuh dalam
persepsi dan pemahaman realitas dan kemudian bertindak sesuai
dengannya. Perintah kedua: Dialog antaragama harus menjadi proyek
dua sisi – di dalam setiap komunitas agama dan di antara komunitas
agama. Perintah ketiga: Setiap peserta harus berdialog dengan penuh
kejujuran dan ketulusan hati. Perintah keempat: Setiap peserta harus
mengasumsikan kejujuran dan ketulusan lengkap yang sama pada mitra
lainnya. Perintah kelima: Setiap peserta harus mendefinisikan dirinya
sendiri. Perintah keenam: Setiap peserta harus datang ke dialog tanpa
asumsi keras dan cepat tentang di mana titik-titik ketidaksetujuan
berada. Perintah ketujuh: Dialog hanya dapat terjadi di antara yang
sederajat (par cum pari). Perintah delapan: Dialog hanya dapat dilakukan
158
Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia
atas dasar rasa saling percaya. Perintah kesembilan: Orang-orang yang
masuk ke dalam dialog antaragama harus setidaknya mengkritik diri
sendiri dan tradisi agama mereka sendiri. Perintah kesepuluh: Setiap
peserta akhirnya harus berusaha untuk mengalami agama pasangan
“dari dalam” (from within).
Semua poin itu tentu tidak lahir begitu saja. Semuanya lahir dari
sebuah pergulatan yang sangat dalam berhadapan dengan adanya
pluralitas agama. Semuanya bertujuan untuk menciptakan sebuah
bentuk dialog yang sangat menjunjung tinggi rasa saling menghormati
satu sama lain di antara mereka yang berbeda agama. Jika tidak dijalankan
maka taruhannya ialah sejarah masa depan bangsa ini. Telah diuraikan
sebelumnya bahwa untuk konteks Indonesia, panggilan untuk
meningkatkan semangat dialog antarumat beragama guna menjaga
kerukunan, toleransi, dan keharmonisan memiliki taruhannya yang
tidak mudah, yaitu masa depan Indonesia dan masa depan generasi
bangsa ini.
3.
Mengenal Model-model Dialog Antarumat Beragama
Saya meyakini bahwa setiap orang ingin terlibat penuh dalam
menjaga kerukunan, keharmonisan, dan keselarasan hidup di tengah
fakta pluralisme agama yang ada di Indonesia. Dalam uraian sebelumnya,
kita melihat bahwa fakta perjumpaan antarumat yang berbeda agama
menuntut agar adanya semangat dialogis satu sama lain. Dasar, prinsip,
dan hambatan yang ada di sekitar fenomena dialog antarumat agama
telah diuraikan panjang lebar. Tujuannya ialah agar semua orang bisa
mengenal apa pentingnya tuntutan untuk mengembangkan semangat
dialog yang sejati antarumat beragama. Selain itu, semua orang juga
diingatkan perihal hambatan dan godaan dalam dialog agar bisa
mengantisipasi diri sejak dini guna menumbuh dan mengembangkan
semangat dialog yang sejati.
Pertanyaannya sekarang ialah, bagaimanakah cara agar setiap orang
bisa terlibat dalam dialog antarumat agama? Dalam poin ini, saya akan
menguraikan model-model dialog yang bisa dijalankan guna melibatkan
diri dalam perjuangan untuk menjaga toleransi, keharmonisan, dan
kerukunan dalam kehidupan sehari-hari. Model-model dialog kemudian
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
159
terungkap dalam padangan Mukti Ali (Ananda Ulul Albab, 2019:28)
yang berpendapat, bahwa dialog antaragama itu yang Pertama,
pertemuan hati dan pikiran antar pemeluk berbagai agama. Kedua,
merupakan komunikasi antara orang-orang yang percaya pada tingkat
agama. Ketiga, dialog merupakan jalan bersama untuk mencapai
kebenaran dan kerjasama dalam proyek-proyek yang menyangkut
kepentingan bersama. Selanjutnya, dialog antaragama merupakan suatu
perjumpaan umat beragama di mana harus saling menghormati, serta
saling mencintai antara pemeluk dengan tujuan supaya memperoleh titik
temu dalam berbagai perbedaan dalam kenyataan pluralitas agama.
Poin-poinnya yang ditekankan ialah, dalam dialog itu ada model tukar
pikiran, komunikasi dalam kapasitas pengalaman iman, kerja sama
dalam usaha untuk mencapai kepentingan umum, memberikan rasa
hormat akan perbedaan.
Samartha pada sisi yang lain mengusulkan model-model dialog
seperti: kesediaan untuk terbuka dalam mengembangkan dialog yang
berdasar pada “sharing” keunikan masing-masing, kerjasama untuk
membangun kesejahteraan masyarakat, dan membiarkan kepelbagaian
keyakinan kebenaran. Sedangkan Pannikar mengusulkan bahwa yang
penting dalam dialog itu ialah kesediaan untuk men-sharing-kan
pengalaman iman (Armada Riyanto, 2010: 301).
Armada Riyanto (2010:210-214) meringkas model-model dialog
antarumat beragama ke dalam poin-poin: Dialog Kehidupan (bagi semua
orang), Dialog Karya (untuk bekerja sama), Dialog Pandangan Teologis
(untuk para ahli), dan Dialog Pengalaman Keagamaan (dialog iman).
Uraian berikut mengikuti apa yang diringkas Armada Riyanto (2010:
210-214) perihal model-model dialog antarumat beragama itu.
1)
160
Dialog Kehidupan (bagi semua orang)
“Dialog kehidupan diperuntukkan bagi semua orang dan
sekaligus merupakan level dialog yang paling mendasar (bukan
paling rendah!). Ciri kehidupan sehari-hari dalam masyarakat
majemuk yang paling wajar dan mendasar ialah ciri dialogal. Dalam
aneka kehidupan sehari-hari, aneka pengalaman yang menyusahkan,
mengancam dan menggembirakan dialami bersama-sama. Dialog
menjadi ciri khasnya yang melekat. Dalam model dialog yang
Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia
pertama ini yakni tidak adanya perspektif agama yang disentuh.
Maksudnya dialog dijalankan bukan karena tuntutan agama
melainkan oleh karena sebuah kesadaran etis untuk bersikap solider
satu sama lain. Dialog kehidupan memang seringkali tidak langsung
menyentuh perspektif agama. Ia lebih digerakkan oleh sikap-sikap
solider dan kebersamaan yang melekat” (Armada Riyanto, 2010:
212).
Dalam uraian sebelumnya telah dikatakan, fenomena perjumpaan antarumat yang berbeda agama dengan sendirinya menuntut
semangat dialogal. Maksudnya ialah perjumpaan itu menuntut
untuk adanya semangat berkomunikasi satu sama lain.
Dalam dialog kehidupan, pengalaman hidup harian menjadi
basis pergulatannya. Harapan, kegembiraan, duka, dan kecemasan
hidup manusia menjadi medium keterlibatan orang lain guna
mengambil bagian dalam kehidupan bersama. Artinya ialah,
amatlah mustahil bila mengharapkan sebuah kehidupan bersama
yang tidak dianimasi oleh semangat dialogal ini.
Pertanyaannya sekarang ialah, apakah dalam dialog kehidupan
per se menanggalkan identitas orang beragama dari iman yang
dianutnya? Jawabannya demikian: Biarpun persepektif agama tidak
disentuh dalam dialog kehidupan, sebagai orang beriman, solidaritas
dan kebersamaan yang lahir dalam kehidupan sehari-hari tak
mungkin dipisahkan apalagi dilucuti dari kehidupan iman mereka.
Hemat penulis yang hendak ditonjolkan dari poin tersebut ialah,
menjadikan pengalaman hidup harian sebagai medan kesaksian
iman. Maksudnya ialah, iman dari orang-orang yang menganut
agama berbeda itu menjadi basis dan jiwa yang menganimasi hidup
harian. Segala bidang kehidupan seperti ekonomi, sosial, politik,
budaya, pendidikan, kesenian, agama, dengan segala varian kerja di
dalamnya menjadi panggung bagi aktualisasi kehidupan iman.
Nilai-nilai seperti cinta kasih, kasih sayang, pengorbanan,
saling menghormati antar sesama, memberi tanpa pamrih, damai,
keadilan, kejujuran, dan nilai-nilai luhur lainnya menjadi patokanpatokan sekaligus barometer bagi manifestasi penghayatan iman
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
161
dalam panggung kehidupan sehari-hari. Sebab, kehidupan seharihari menjadi locus penghayatan iman orang-orang yang beragama.
2)
Dialog karya (untuk bekerja sama)
“Dialog karya memaksudkan kerja sama yang lebih intens dan
mendalam dengan para pengikut agama-agama lain. Dialog karya
dapat dikatakan sebagai dialog yang memiliki bobot sedikit di atas
dialog kehidupan. Sasaran yang hendak diraih jelas dan tegas, yakni
pembangunan manusia dan peningkatan martabat manusia. Dialog
karya menjelma dalam kerjasama organisasi-organisasi berskala
regional, nasional, dan internasional. Dalam Gereja Katolik
misalnya, untuk tingkat internasional ada: komisi kepausan untuk
keadilan dan perdamaian (The pontifical Commission for Justice and
Peace) yang bertugas untuk mempromosikan perdamaian
internasional. Dewan Kepausan Cor Unum yang bertugas untuk
memberikan pelayanan kepada dunia, antara lain memperhatikan
para pengungsi, korban perang, bencana kelaparan, dan seterusnya.
Juga ada komisi tentang kebudayaan yang bertugas mempromosikan
dialog antarkebudayaan” (Armada Riyanto, 2010: 213).
Untuk konteks Indonesia (nasional) kita memiliki Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Tugasnya, menurut Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, ialah: Forum
Kerukunan Umat Beragama, yang selanjutnya disingkat FKUB,
adalah forum yang dibentuk masyarakat dan difasilitasi Pemerintah
dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat
beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan (pasal 1 ayat 6).
Untuk tingkat regional (provinsi dan kabupaten/kota), tugas
FKUB ialah: Untuk tingkat Provinsi (Pasal 9 ayat 1) berbunyi,
“FKUB provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
mempunyai tugas: a. melakukan dialog dengan pemuka agama dan
tokoh masyarakat; b. menampung aspirasi ormas keagamaan dan
aspirasi masyarakat; c. menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan
masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan
gubernur; dan d. melakukan sosialisasi peraturan perundangundangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan
dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat”.
162
Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia
Untuk tingkat Kabupaten/Kota (Pasal 9 ayat 2), tugas FKUB
ialah, “FKUB kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) mempunyai tugas: a. melakukan dialog dengan pemuka
agama dan tokoh masyarakat; b. menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat; c. menyalurkan aspirasi ormas
keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai
bahan kebijakan bupati/walikota; d. melakukan sosialisasi peraturan
perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang
berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan
masyarakat; dan e. memberikan rekomendasi tertulis atas
permohonan pendirian rumah ibadat”.
Hal yang hendak dikatakan dari kutipan-kutipan di atas ialah
keyakinan dan kesadaran akan pentingnya kerja sama dalam karya
yang mendukung kemajuan martabat dan kesejahteraan manusia.
Perjuangan akan terciptanya keadilan, perdamaian, kerukunan,
kesejahteraan, tentu tidak hanya menjadi tanggung jawab agama
tertentu. Tugas-tugas itu menjadi tanggung jawab semua manusia,
tidak peduli apa pun agamanya, sebab semuanya itu menjadi
tanggung jawab bersama yang hanya dapat diwujudkan lewat kerja
sama dalam karya-karya.
3)
Dialog Pandangan Teologis (untuk Para Ahli)
“Dialog pandangan teologis berkaitan dengan soal-soal teologis
yang tidak jarang rumit. Karenanya dibutuhkan kapasitas keahlian
bagi mereka yang terlibat di dalamnya. Dalam dialog teologis, orang
diajak menggumuli, memperdalam, dan memperkaya warisanwarisan keagamaan masing-masing sekaligus untuk mengetrapkan
pandangan-pandangan teologis dalam menyikapi persoalanpersoalan yang dihadapi umat manusia pada umumnya” (Armada
Riyanto, 2010: 214). Hal penting yang harus dibaca dari uraian ini
ialah orientasi dari dialog itu. Tujuannya dengan sangat gamblang
disebut, yakni untuk menyikapi persoalan-pesoalan yang dihadapi
umat manusia. “Karenanya, dialog pandangan teologis tidak (dan
tidak boleh) berpretensi apa-apa, kecuali untuk saling memahami
sharing pandangan teologis agama masing-masing dan penghargaan
terhadap nilai rohani masing-masing” (Armada Riyanto, 2010:214).
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
163
Terkadang timbul pertanyaan dalam diri, jika yang terlibat
dalam dialog ini ialah para ahli, dengan sudut pandang agamanya
masing-masing, apakah itu tidak menyebabkan terjadinya
pertarungan ide, pandangan, dan konsep yang saling bertentangan?
Hal itu, secara potensial terjadi. “Namun hendaklah diingat bahwa
dialog teologis tidak boleh dimaksudkan untuk menyerang
pandangan sesama rekan dialog. Dialog teologis meminta
keterbukaan dari masing-masing untuk menerima dan mengadakan
perubahan-perubahan yang makin sesuai dengan nilai-nilai
rohaninya” (Armada Riyanto, 2010:214). Nilai-nilai rohani itu
hendaknya menjadi jiwa yang menganimasi dorongan-dorongan
baru dan inovatif demi membangun tata hidup bersama yang
semakin rukun, damai, tenteram, dan menyejahterakan.
4)
Dialog pengalaman keagamaan (Dialog Iman)
“Dialog pengalaman keagamaan atau lebih baik disebut
pengalaman iman merupakan dialog tingkat tinggi. Dialog
pengalaman iman dimaksudkan untuk saling memperkaya dan
memajukan penghayatan nilai-nilai tertinggi dan cita-cita rohani
masing-masing pribadi. Dalam dialog ini, pribadi-pribadi yang
berakar dalam tradisi-tradisi keagamaan masing-masing berbagi
pengalaman doa, kontemplasi, meditasi, bahkan pengalaman iman
dalam arti yang lebih mendalam (pengalaman mistik, misalnya).
Dialog pengalaman iman sangat mengandaikan iman yang mantap
dan mendalam. Dalam banyak hal, dialog pengalaman iman merupakan ujian kesabaran yang meminta ketabahan yang panjang,
juga termasuk kesabaran terhadap Allah” (Armada Riyanto, 2010:
214-215).
Penulis memaknai pernyataan ini demikian. Pengalaman iman
itu bukan berkaitan dengan pengetahuan atau perasaan. Artinya,
pengalaman iman bukan soal berapa ayat suci yang dihafal dari
buku yang disebut dengan Kitab Suci. Pengalaman iman juga bukan
soal apa yang didengar dari khotbah atau dakwah para pengkhotbah
dan pendakwah. Pengalaman iman tentunya tidak berkaitan juga
dengan jumlah deretan doa yang dihafal di luar kepala.
164
Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia
Pengalaman iman juga bukan tentang perasaan sentimentil
semata. Artinya ialah tentang perasaan-perasaan subjektif atau
komunal akan hal-hal yang suci. Juga bukan perkara disposisi batin
yang penuh gembira, sukacita, sedih, atau duka ketika melakukan
ritual-ritual keagamaan.
Pengalaman iman yang otentik itu berkaitan bukan saja
kesadaran yang mendalam akan kehadiran Allah melainkan juga
berkaitan pengenalan apa yang menjadi Kehendak Allah dalam
hidup. Dan hal ini tidak mudah. Pengalaman iman tidak mungkin
dialami tanpa keheningan, doa, meditasi, kontemplasi, mati raga,
dan pendalaman yang terus-terus akan usaha untuk mengenali
kehendak Allah bagi hidup dan dunia ini.
4.
Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaraumat Beragama di
Indonesia
Kita telah melihat fenomena perjumpaan anatrumat beragama,
kesadaran akan pentingnya dialog antarumat beragama, dan modelmodel dialog antarumat beragama. Ketiga poin itu menjadi fondasi yang
kokoh untuk meneropong urgensitas peran kaum muda bagi dialog
antarumat beragama. Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, dialog
antarumat beragama menjadi semacam taruhan sejarah bangsa ini ke
depannya. Dan yang menarik bahwa, Indonesia dari segi populasi
penduduknya, menempatkan kaum muda sebagai populasi yang
terbanyak. Artinya, kiprah kaum muda dalam menjaga semangat
toleransi, mengembangkan pola dialog antarumat beragama yang
semakin dalam, dan gerakan sejenisnya menjadi ujian demi terciptanya
persatuan atau tidak bagi bangsa ini di masa yang akan datang.
Kaum muda memiliki sepak terjang yang menentukan bagi
perkembangan sejarah bangsa Indonesia ke depannya. Karenanya,
hendaknya kini disadari bahwa pluralitas agama menjadi fakta yang
tidak boleh diingkari dalam sejarah peradaban bangsa Indonesia.
Pluralitas agama hendaknya tidak menjadi sandungan bagi setiap
perjuangan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia.
Pluralitas itu hendaknya diterima sebagai sebuah anugerah yang istimewa
bagi sebuah negara yang bernama Indonesia.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
165
Generasi muda sebagai penerus bangsa harus mampu menjaga
kesatuan dan persatuan umat, agar tidak mudah untuk dipecah belah.
Dengan bersatunya remaja dalam membangun negara maka akan
tercipta suatu keinginan luhur bangsa yaitu dapat hidup rukun, damai,
aman, tenteram, dan nyaman dalam perbedaan (M. Thoriqul Huda, Isna
Alfi Maghfiroh, 2019: 1). Itulah sebabnya, taruhan sejarah bangsa ini ke
depan ada pada generasi muda yang berani dan mau berjuang untuk
menciptakan dialog dan mempromosikan semangat toleransi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat pluralis ini.
Fakta menunjukkan bahwa pluralitas agama acap kali menjadi
sumber segala pertentangan dan masalah negara ini. Fakta perbedaan
agama dijadikan sebagai kunci yang memengaruhi panggung kehidupan
publik bangsa ini. Kehidupan publik kemudian dijadikan oleh para
pemuka agama sebagai arena merebut pengaruh. Ayat-ayat suci diperjualbelikannya dengan menjadikan Yang ilahi dan Surga sebagai taruhan.
Fakta intoleransi berbasiskan perbedaan agama sebagaimana yang
dilaporkan SETARA Institue di atas menjadi fakta yang menunjukkan
angka yang sangat mengerikan.
Berhadapan dengan fakta intoleransi yang berlandaskan perbedaan
agama dalam panggung publik Indoneisa saat ini, pertanyaan yang
paling eksistensial bagi kaum muda Indonesia saat ini ialah: Apa yang
bisa dikerjakan oleh kaum muda dalam merawat kerukunan dan toleranis
di Indonesia? Apa kontribusi yang bisa diberikan oleh kaum muda demi
menjaga tali perekat yakni kesatuan di tengah banyaknya fenomena
saling memfintah, mengucilkan, bertengkar atas nama agama di bumi
pertiwi ini?
a.
166
Meningkatkan Promosi Toleransi melalui Media Sosial
Kepala Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan Kemnaker,
Suhartono, Sabtu (31/3) mengatakan bahwa berdasarkan data BPS,
dari 143 juta jiwa anak muda, 54 persen (https://www.merdeka.
com) itu sudah menggunakan internet. Berarti, mayoritas kaum
muda saat ini melek internet dan media sosial sebagai variannya.
Apa hubungannya dengan dialog antaragama?
Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia
Saat ini, media sosial, entah apa pun namanya telah menjadi
panggung penyebaran kebencian atas nama agama. Media sosial
telah begitu ampuh perannya sebagai sarana untuk menyebarkan
hoax, fitnah, perselisihan, dan kebencian atas nama perbedaan
agama. Kaum muda, dengan persentase jumlah pengguna internet
yang terbanyak disadari atau tidak cepat atau lambat akan terjebak
dan jatuh pada pendangkalan pikiran dan ikut terseret pada pahampaham intoleransi.
Berangkat dari realitas di atas, sudah saatnya kaum muda
Indonesia saat ini menjadi perintis-perintis baru dalam memajukan
semangat toleransi. Caranya ialah dengan meningkatkan semangat
mempromosikan toleransi dan kerukunan antarumat beragama
melalui media-media sosial. Sudah saatnya dunia virtual (mediamedia sosial) menjadi panggung baru dalam mempromosikan dan
memperjuangkan semangat toleransi antarumat beragama. Di
tengah dunia yang dipenuhi dengan kebisingan informasi ini,
pilihan bijak untuk membuat postingan-postingan yang mengedepankan semangat kerukunan dan penghargaan akan perbedaan
agama dan keyakinan menjadi hal yang ditunggu-tunggu.
Ketika sejarah bangsa ini ke depannya ditentukan oleh dialog
antaragama yang sejati maka promosi akan nilai-nilai toleransi dan
penghormatan akan perbedaan keyakinan menjadi langkah yang
tepat. Karenanya, kaum muda Indonesia yang sangat melek internet
dapat tampil sebagai generasi yang mengonter segala hoax, fitnah,
dan sebaran kebencian yang merajai panggung internet dan mediamedia sosial.
b.
Aktif Terlibat dalam Forum-forum Dialog Antaragama
Indonesia memiliki FKUB sebagai wadah yang mengakomodasi
usaha untuk menjaga kerukunan dan dialog antarumat beragama.
Selain FKUB tentu masih ada banyak organisasi lain yang berusaha
untuk mewadahi semua usaha baik dalam menjaga dan meningkatkan toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Harapannya
ialah, kaum muda mulai berpartisipasi aktif dalam organisasiorganisasi lintas agama itu.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
167
Generasi muda sebagai penerus bangsa harus mampu menjaga
kesatuan dan persatuan umat, agar tidak mudah dipecah belah.
Dengan bersatu padunya remaja dalam membagun negara
terciptalah suatu keinginan luhur bangsa yaitu dapat hidup rukun,
damai, aman, tenteram, dan nyaman dalam perbedaan. Keutamaankeutamaan yang demikian sangat penting untuk dipupuk sejak dini
sebab yang menjadi taruhannya ialah persatuan Indonesia dalam
sejarahnya yang akan datang. Karenanya, model-model dialog
antarumat beragama yang telah diuraikan sebelumnya menjadi
basis bagi pengembangan paratisipasi aktif itu.
Nilai-nilai seperti cinta kasih, kasih sayang, pengorbanan,
saling menghormati antar sesama, memberi tanpa pamrih, damai,
keadilan, kejujuran, dan nilai-nilai kebajikan manusia lainnya
menjadi nilai bersama yang harus diperjuangkan dan itu
membutuhkan partisipasi yang aktif dari kaum muda untuk terlibat
dalam organisasi-organisasi lintas agama. Dengan demikian, persatuan bangsa ini di tengah pluralitas agama masih tetap terjamin
dan terjaga.
Kedua bentuk partisipasi di atas merupakan cara yang hemat saya
bisa ditempuh oleh kaum muda Indonesia saat ini. Hal-hal itu menjadi
jalan yang sangat efektif dalam mengembangkan dialog antaragama, di
samping terlibat secara penuh dalam kehidupan bermasyarakat.
Harapannya ialah, dengan terlibat penuh dalam dialog kehidupan, dialog
karya, dan juga dialog pengalaman iman, pluralisme agama yang ada di
tanah air dapat menjadi kekayaan yang patut disyukuri.
Kesimpulan
Mega Hidayati (2016: 15) menulis, “keterbukaan terhadap yang lain adalah kunci bagi dialog antaragama yang sejati, dan bahwa dialog antaragama
yang sejati adalah kunci bagi masa depan Indonesia”. ‘Yang lain’ mencakup
mereka yang bukan aku. ‘Aku’ menjadi terminologi yang merujuk pada diri
saya, keluarga saya, suku saya, daerah saya, dan bahkan agama saya. ‘Yang
lain’ dengan sendirinya merujuk kepada yang bukan saya, bukan keluarga
saya, bukan suku saya, bukan daerah saya, dan bahkan bukan seagama dengan
168
Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia
saya. Dengan demikian, kesanggupan untuk menerima dan terbuka akan
‘yang lain’ itu menjadi tuntutan bagi masyarakat Indonesia untuk menciptakan
dialog antarumat beragama guna tercapainya semangat toleransi, saling
menghormati, kerukunan, dan kedamaian di Indonesia.
Indonesia merupakan negara yang oleh Tuhan dianugerahi kekayaan
yang luar biasa. Bukan hanya alamnya yang kaya melainkan juga suku, bahasa,
dan bahkan agama yang tampil dengan keberagamaan yang luar biasa.
Sayangnya, dalam dekade terakhir ini, bangsa Indonesia dikuatirkan dan
ditakutkan oleh tampilnya semangat intoleransi, konflik, dan pertengkaran
yang basisnya adalah perbedaan agama. Yang menakutkan ialah terancamnya
integrasi dan kesatuan bangsa.
Agar ketakutan dan kekhawatiran akan pecahnya konflik dan semangat
intoleransi atas nama perbedaan agama dan keyakinan dalam sejarah bangsa
ini ke depannya maka panggilan bagi kaum muda untuk mempromosikan
nilai-nilai toleransi, rasa hormat akan perbedaan agama, dan kerukunan–
untuk konteks Indonesia–menjadi panggilan yang mendesak. Panggilan yang
mendesak itu hanya dapat diwujudkan lewat semangat dialog antaragama. Di
atas telah diuraikan secara panjang lebar dasar adanya dialog antaragama,
hambatan-hambatan dialog antaragama, dan bentuk-bentuk dialog antaragama yang bertujuan untuk membangkitkan gairah kaum muda dalam
menjaga dan merawat semangat toleransi, persatuan, dan kerukunan
antarumat beragama dalam sejarah bangsa ini ke depan.
Kunci yang akan tetap membuka gembok toleransi, kerukunan, dan
perstauan antarumat beragama di Indonesia ada dalam tangan kaum muda.
Mengapa kaum muda? Jawabannya ada pada data statistisk jumlah penduduk
Indonesia saat ini. Tidak hanya itu. Mayoritas kaum muda Indonesia yang
melek internet menjadi dasar lain mengapa kunci toleransi, kerukuan, dan
persatuan bangsa ini ke depannya ada dalam tangan mereka. Dengan
demikian, dialog antaragama yang sejati adalah kunci bagi terciptanya
kerukunan, keharmonisan, dan persatuan masa depan Indonesia. Kunci itu
kini ada pada kaum muda.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
169
Daftar Pustaka
Albab, Ananda Ulul. “Interpretasi Dialog Antar Agama Dalam Berbagai
Prespektif.” Al-Mada: Jurnal Agama, Sosial, dan Budaya 2.1 (2019):2234.
Hidayati, Mega. Jurang di Antara Kita: Tentang Keterbatasan Manusia dan
Problema Dialog dalam Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: Kanisius,
2016.
Huda, M. Thoriqul, and Isna Alfi Maghfiroh. “Pluralisme Dalam Pandangan
Pemuda Lintas Agama di Surabaya.” Satya Widya: Jurnal Studi Agama 2.1
(2019):1-21.
Ma’arif, Syamsul. “PENDIDIKAN ISLAM PLURALIS Menampilkan Wajah
Islam Toleran dalam Pendidikan Islam.” TOLERANSI: Media Ilmiah
Komunikasi Umat Beragama [Online], 10.2 (2018): 176-200. Web. 15
September 2019
Muslim, Ahmad Shobiri, and Saiful Mujab. “Kearifan Lokal dan Peran Elit
Agama dalam Merawat Toleransi Antar Umat Beragama di Akar
Rumput.” EMPIRISMA 28.1 (2019).
Riyanto, E. Armada. Dialog Interreligius. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Swidler, Leonard. “The dialogue decalogue: Ground rules for interreligious
dialogue.” Horizons 10.2 (1983): 348-351.
170
Urgensitas Peran Kaum Muda bagi Dialog Antaragama di Indonesia
Generasi Muda yang Pancasilais
Mikael Ardi
Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana
Pendahuluan
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, negara kita telah
meletakkan nilai-nilai luhur kehidupan berbangsa dan bernegara, baik yang
sifatnya komunal (kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan dan
keadilan), maupun personal dalam arti yang menjadi khas dari Indonesia
sendiri, yakni nilai permusyawaratan dan ketuhanan. Pancasila adalah “jiwa”
bangsa Indonesia (Riyanto, 2015:18). Pengkristalisasian nous (Latin) yang
artinya “jiwa” ini adalah sila-sila yang terkandung dalam Pancasila.
Adapun model penelitian yang digunakan dalam proses pemahaman
tema ini adalah penelitian kualitatif filosofis. Fokus utama tulisan ini adalah
Pancasila sebagai panduan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.Target
yang hendak disasar adalah generasi muda. Harapan, tulisan ini dapat
menumbuhkan semangat nasionalisme, dan menjadi tameng pembela
kebenaran dalam diri generasi muda.
Pengumpulan data dilakukan melalui sumber kepustakaan. Sumber
utama yang menjadi acuan penulis adalah pembahasan tentang pasal-pasal
yang termuat dalam Pancasila, yang kemudian dikorelasikan dengan
kepincangan-kepincangan dalam hidup bersama, yang terjadi di Indonesia
pada lima tahun belakangan ini. Sumber utama ini diterbitkan oleh Sekretariat
Jendral MPR RI tahun 2012 dengan judul “Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.” Penelitian yang sifatnya kualitatif ini
menggunakan pisau bedah (metode) analisis hermeneutik. Tujuannya agar
dapat memahami maksud esensial pasal-pasal yang termuat dalam Pancasila,
dan kemudian dipahami terkait tata cara “etika” perealisasiannya dalam
kehidupan konkret dalam konteks Indonesia.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
171
Bagian 1
Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Latar Belakang Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
Bukan sesuatu yang mudah ketika kita hendak berbicara tentang nilainilai Pancasila pada era reformasi ini, karena ketika dicabutnya Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau yang kita kenal dengan sebutan
Eka Prasetya Panckarsa sebagai panduan tentang pengamalan Pancasila
dalam perealisasianya bagi hidup berbangsa dan bernegara, belum ada
konsistensi panduan pengganti yang dapat memberikan penjelasan dan
pemahaman terkait dengan Pancasila. Hal ini terbukti dengan adanya
beberapa perubahan yang dilakukan, seperti yang disebutkan di atas yakni
tidak diberlakukannya lagi ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Eka
Prasetya Pancakarsa yang menjabarkan kelima asas dalam Pancasila kemudian
menjadi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan
Pancasila (Widharsana & Hartono, 2017:675). Belum adanya konsistensi itu
juga dapat dilihat dari polemik yang sedang hangat diperbincangkan oleh
publik saat ini, di antaranya:revisi UU KPK. Revisi Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Dan Rancangan Undang-Undang Pertahanan.
Kembali ke tahun 1999 hingga tahun 2002, di mana sebagai bagian dari
penerapan salah satu tuntutan reformasi khususnya pada tahun 1998, MPR
melakukan perombakan terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945. Terselesaikannya perombakan itu, memiliki arti bahwa sistem
politik adalah produk dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 telah dikonsolidasikan dengan harapan agar mampu menerima
dan mengarahkan sistem atau dinamika politik seraya terus melandasi proses
demokrasi dan reformasi berkelanjutan.
Hal yang penting diketahui bahwa ada lima prinsip paten yang harus
dipatuhi dalam proses perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang dilakukan oleh MPR. Kelima prinsip paten
tersebut ialah: 1) tidak merubah Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945; 2) tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik
172
Generasi Muda yang Pancasilais
Indonesia; 3) mempertegas sistem pemerintahan presidensial; 4) penjelasan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang termuat
di dalamnya hal-hal yang normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal;
dan 5) melakukan perubahan dengan cara adendum(tetap mempertahankan
naskah asli).
Menelisik Penjabaran Pasal-Pasal
dalam Undang-Undang Dasar 1945
Tindakan mencermati pasal-pasal dalam UUD 1945 yang memuat
penjabaran nilai-nilai yang ada dalam Pancasila, merupakan cara yang paling
sederhana bagi kita untuk lebih memahami tentang arti maupun makna dari
Pancasila itu sendiri. Mengapa demikian? Hal isi sudah dijelaskan secara baik
pada bagian atas, di mana yang kita ketahui bersama bahwa hingga sekarang
belum ada konsistensi panduan terkait dengan pengamalan Pancasila yang
benar-benar rinci.
Demikian akan dipaparkan rumusan Pancasila yang resmi dan pasalpasalnya yang ada dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Pemaparan terkait dengan pasal-pasal yang ada dalam
Pembukaan UUD 1945 ini, hampir seluruhnya disadur dari tulisan Petrus
Danan Widharsana & Victorius Rudy Hartono dalam buku Pengajaran Iman
Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 2017:675-689), khususnya pada bab V
“Memahami dan Menghayati Nilai-Nilai Pancasila”. Berikut pemaparannya:
1.
Sila pertama: “Ketuhanan Yang Maha Esa”
Berikut penjabaran pasal-pasal terkait sila pertama:
Pasal 28E:
Ayat 1:
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
173
Ayat 2:
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Pasal 29:
Ayat 2:
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,
Ayat 2:
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Dalam sila yang pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha
Esa”, pada dasarnya mau memberikan kesadaran kepada seluruh rakyat
Indonesia, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah negara
yang bertuhan. Hal itu dapat kita lihat dari realita yang ada, di mana
dalam negara Indonesia memiliki enam agama resmi (yang diakui):
Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Perlu juga
diketahui bahwa dalam sejarahnya dan bahkan realitanya, negara
Indonesia juga memiliki bermacam ragam suku yang berbeda (dalam
hal budaya: bahasa, adat istiadat). Maka, meskipun ada enam agama
yang diakui oleh negara Indonesia, hal yang tentunya tidak boleh luput
dari pandangan kita adalah bahwa dalam tiap-tiap suku, budaya dan
adat-istiadat terdapat juga aliran-aliran kepercayaan (agama-agama
lokal) yang dihidupi secara turun-temurun dan bahkan telah ada terlebih
dahulu daripada agama-agama resmi yang diakui oleh negara.
2.
Sila kedua: “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”
Berikut dijabarkan terkait dengan pasal-pasal yang berkorelasi
dengan sila kedua:
Pasal 14:
Presiden yang memberi grasi, rehabilitasi, amnesti, abolisi.
174
Generasi Muda yang Pancasilais
Pasal 18B ayat 2:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 28:
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undangundang.
Pasal 28A:
Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup.
Pasal 28B:
Hak untuk berkeluarga dan perlindungan atas anak.
Pasal 28C:
Hak untuk mengembangkan diri, mendapat pendidikan, memperjuangkan hak untuk mengembangkan masyarakat, bangsa dan
negara.
Pasal 28D:
Hak mendapatkan kepastian hukum dan kesamaan di mata hukum,
mendapatkan imbalan yang adil dalam kerja, kesempatan yang
sama dalam pemerintahan.
Pasal 28E:
Hak untuk bebas memeluk agama dan beribadah, dan hak untuk
berserikat.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
175
Pasal 28F:
Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Pasal 28G:
Hak atas perlindungan diri pribadi, atas rasa aman dan perlindungan bebas dari penyiksaan.
Pasal 28H:
Hak atas hidup sejahtera, bertempat tinggal, persamaan dan keadilan, hak milik pribadi.
Pasal 28I:
Hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif, dipenuhi hak
asasi.
Pasal 28J:
Wajib menghormati hak asasi orang lain, wajib tunduk pada
undang-undang.
Pasal 29 ayat (2):
Jaminan negara atas kebebasan beragama dan beribadat.
Pasal 30 ayat (1):
Hak dan wajib membela negara.
Pasal 31 ayat (1):
Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran.
Pasal 34:
Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
176
Generasi Muda yang Pancasilais
Sila kedua, “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”, pada dasarnya
memberikan sebuah pemahaman kepada kita bahwa setiap orang, siapa
pun dia, apa pun golongan, agama, suku, bahasa, dan budayanya, tetaplah
bahwa mereka adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak penuh
untuk diperlakukan sebagai manusia, demikian juga sebaliknya. Melalui
sila kedua ini juga, kita diamanatkan untuk senantiasa bersikap hormat
kepada sesama manusia (universal) dan tentunya kepada sesama warga
negara Indonesia. Tidak ada istilah membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Tidak ada tindakan diskriminatif antara satu dengan
yang lainnya, baik dalam hal agama, suku (ras), budaya, dan bahasa.
Dalam hal ini, selayaknya kita mensyukuri apa yang telah digagas
oleh para pendiri Republik Indonesia ini. Asas kemanusiaan adalah
sesuatu hal yang amat penting dan menjadi pusat perhatian bersama,
yang tentunya memiliki arah dan tujuan yakni kesejahteraan bersama.
Terkait dengan ini, mantan wakil presiden pertama Indonesia, Moh.
Hatta (dalam Kaelan, 2018:67) pernah mengatakan bahwa:
“...negara pada hakikatnya adalah berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa serta kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai landasan
moral, yang mewajibkan kepada pelaksana dan penyelenggara negara
agar memegang teguh moral ketuhanan dan kemanusiaan yang luhur,
agar negara tidak terjerumus ke dalam kekuasaan diktator.”
Apa yang digagas atau yang diungkapkan oleh mantan wakil Presiden
pertama Indonesia, Moh. Hatta, pada dasarnya mau memberikan kesadaran kepada kita bahwa kehidupan dan perilaku yang baik, yang sesuai
dengan moral adalah konsekuensi dari apa yang disebut sebagai hakikat
dari bangsa ini, yakni kemanusiaan yang juga nantinya pasti bermuara
pada Allah Yang Esa.
Ada pepatah mengatakan: “Jangan mengatakan bahwa dirimu ber-Tuhan
apabila dalam kehidupan sehari-hari engkau tidak mencerminkan tindakan
ketuhanan.” Pesan moral yang hendak disampaikan adalah perbuatan maupun
sikap yang kita tampilkan dalam hidup sehari-hari harus menjadi bagian dari
representasi dari apa yang kita yakini atau imani.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
177
Apa yang kita imani adalah apa yang kita hidupi, dan yang kita imani
pada dasarnya adalah kebijaksanaan (semua agama adalah baik).
Kebijaksanaan adalah hidup. Oleh karena itu, kebijaksanaan hidup harus
diteruskan dalam kehidupan nyata, diwartakan, dan diterjemahkan dalam
keseharian (Riyanto, 2018:197).
3.
Sila Ketiga: Persatuan Indonesia.
Berikut penjabaran sila ketiga ini dalam UUD 1945.
Pasal 25A:
Negara kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas
dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 35:
Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih.
Pasal 36:
Bahasa Negeri adalah bahasa Indonesia.
Pasal 36A:
Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika.
Pasal 36B:
Lagu kebangsaan ialah Indonesia Raya
Hal yang hendak ditegaskan pada sila ketiga “Persatuan Indonesia”
ini adalah bahwa kita diharapkan memiliki cinta kepada tanah air
(bangsa Indonesia). Dalam arti yang lebih esensial, cinta adalah sebuah
perjumpaan, yang artinya: cinta berasal dari penerimaan dan penyambutan. Kehadirannya berhiaskan senyuman dan mimpi-mimpi (Riyanto,
2018:373). Dengan demikian, menjadi warga negara Indonesia artinya
178
Generasi Muda yang Pancasilais
mengalami seluruh dinamika hidup, berjalan bersama, berelasi antara
satu dengan yang lainnya, tidak membeda-bedakan latar belakang (suku,
agama, dan ras).
Kebersamaan tidak dimaksudkan sebagai bentuk di mana orang
harus menutup diri terhadap yang lain, kelompok atau agama yang satu
membenci agama yang lain. Kebersamaan itu dimaksudkan untuk
membangun hubungan timbal balik atas dasar kesamaan kedudukan
(Suseno, 2000:589).
4.
Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Berikut penjabaran pasal-pasal dari sila keempat dalam Pancasila:
Pasal 2:
Ayat 1
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota
Dewan Perwakilan, Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari
daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang
ditetapkan dengan Undang-undang.
Ayat 2
Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam
lima tahun di ibukota Negara.
Ayat 3
Segala Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan
dengan suara yang terbanyak.
Pasal 3:
Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan undang-undang
Dasar dan garis-garis besar daripada haluan Negara.
Pasal 6 ayat 2:
Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat dengan suara yang terbanyak.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
179
Pasal 19:
Ayat 1
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan
umum.
Ayat 2
Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang.
Ayat 3
Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam
setahun.
Sila keempat “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan Perwakilan” dalam Pancasila ini, pada dasarnya
mau memberikan sebuah kesadaran kepada kita bahwa yang menjadi
ujung tombak dan penentu nasib bangsa ini adalah rakyat. Rakyat adalah
kita, bukan penguasa. Permusyawaratan Perwakilan adalah mereka yang
menjadi juru bicaranya rakyat, menyuarakan aspirasi rakyat, mendengar
keluh-kesah rakyat, dan menjadi pelayan rakyat. Mereka adalah rakyat
yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
5.
Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sila kelima dalam Pancasila memberikan sebuah pemahaman
penting kepada kita bahwa cita-cita yang menjadi prinsip dan komitmen
bangsa ini adalah kesejahteraan. Komitmen itu akan dapat terwujud
apabila dalam diri masing-masing rakyat Indonesia memiliki roh untuk
mau saling menghargai, memperhatikan, dan mengutamakan keadilan
antara satu dengan yang lain.
180
Generasi Muda yang Pancasilais
Bagian 2
Beberapa Contoh Terkait Sikap-sikap Terpuji
dalam Hidup Bersama
Peduli Sungai Demi Anak dan Cucu Kelak1∗
Berawal dari kebetulan, Misman (60) dan Bachtiar (49), dua orang yang
berasal dari Kota Samarinda yang dipertemukan oleh alam semesta dalam
dua hal, yaitu sungai dan sahabat. Pada tahun 2014, Misman yang berprofesi
sebagai wartawan di Kota Samarinda sering kali menyempatkan diri untuk
membersihkan dan memungut sampah di sekitar Sungai Karang Mulus.
Bentangan sungai yang sekitar 40 kilometer, selain menjadi sumber irigasi
masyarakat, ternyata juga menjadi pemasok utama kebutuhan masyarakat
akan air bersih.
Misman yang lahir dan tumbuh di Samarinda ingat bahwa ia pernah
menghabiskan waktu untuk berenang dan mencari ikan di sungai itu. Namun,
karena seiring berkembangnya kota, sungai yang awalnya jernih perlahanlahan menghitam dan dipenuhi banyak sampah. Bahkan yang lebih parahnya
lagi adalah ketika musim penghujan, pemukiman warga tergenang air
menjadi pemandangan yang biasa bagi masyarakat di sana.
Melihat realita yang demikian, Misman merasa bahwa ada sesuatu yang
tidak beres dengan masyarakat, terutama ketidakberesan dalam hal merawat
dan memperlakukan lingkungan. Baginya, sungai meluap saat hujan lebat
adalah hal yang biasa. “Seharusnya manusia yang hidup menyesuaikan diri
dengan sungai. Bangunlah rumah panggung atau menjauh dari daerah aliran
sungai.”
Hal yang Misman lakukan terkait dengan keprihatinan itu adalah memungut sampah dengan menyusuri sungai dengan perahu. Selain itu juga, ia
memublikasikan apa yang dilakukannya ke media sosial, yang harapannya
adalah agar masyarakat memiliki rasa dan keprihatinan atas apa yang sedang
terjadi.
1 Diolah dari koran KOMPAS, Selasa 17 September 2019, pada kolom Sosok “Misman dan
Bachtiar- Gerakan Bersih Sungai”, hlm. 12.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
181
Di sudut Sungai Karang Mulus lain, Bachtiar, pemuda yang akrab disapai
Iyau, pun memiliki keprihatinan yang sama. Sama seperti Misman, Iyau juga
memiliki pengalaman ketika kecil yaitu bermain di Sungai Karang Mulus.
Atas rasa prihatin itu, Iyau pun juga melakukan hal yang sama seperti yang
dilakukan oleh Misman yaitu dengan perahu kayu, ia memungut sampahsampah yang bertebaran di sepanjang aliran sungai. Hal itu ia kerjakan secara
berulang-ulang, dan beberapa temannya juga turut membantunya.
Awal tahun 2015, Iyau dan Misman pun akhirnya dipertemukan. Siapa
yang mempertemukan keduanya? Mungkin “keprihatinan”. Dalam pertemuan itu, keduanya memiliki harapan dan komitmen yang sama, yakni
menyelamatkan sungai untuk masa depan anak dan cucu mereka kelak.
Adim (54), Memberi Terang bagi Orang-orang di Sekitarnya2
Adalah Adim (54), salah seorang warga dari Desa Citengah, Sumedang
Selatan, Jawa Barat yang memiliki perhatian besar dalam hidup bersama.
Sebagai seorang yang berlatar belakang pendidikan Sekolah Dasar di Cisewu,
Garut (tidak lulus), ia bersama salah satu sahabatnya, Alit (35), sebelum
Matahari tenggelam keduanya berjalan menyusuri areal kebun teh menuju ke
hulu Sungai Cisoka yang tujuannya tidak lain adalah melihat dan mengontrol
kincir air yang dibuatnya sendiri 16 tahun yang lalu.
Seperti diperkirakan Adim, bukan karena kincir kayu dan dinamo yang
rusak, melainkan karena debit air sungai yang berkurang akibat kemarau.
Faktor inilah yang membuat pasokan listrik ke rumah berkurang. Padahal
biasanya empat lampu yang bisa menyala, sekarang hanya satu,” ujarnya.
Hingga tahun 1985, Cisoka tidak berpenghuni. Kehadiran Adim serta
teman-temannya, membuat dataran tinggi kaki Gunung Buligir itu dihuni
manusia. Dari hanya beberapa orang, mereka pun akhirnya beranak-pinak.
Sekarang jumlah penduduk yang bermukim di Cisoka ada 74 orang. Dan
sebagai perintis, tentu keterbatasan jadi kudapan. Mulai dari membangun
rumah, akses air bersih, hingga penerangan. Masalah paling pelik adalah soal
penerangan (listrik). Jadi, bertahun-tahun mereka hanya mengandalkan
lampu minyak tanah sebagai sumber penerangan pada saat malam.
2 Diolah dari sumber asli, yaitu koran KOMPAS, Jumat 16 Agustus 2019, pada kolom
Sosok “Adim, Jaga Kincir Tetap Bergulir”, hlm. 16.
182
Generasi Muda yang Pancasilais
Berangkat dari keprihatinan itu, Adim pun maju dan menawarkan ide
cemerlangnya. Berbekal pengalaman pernah membuat kincir air untuk
pembangkit listrik saat masih tinggal di Cisewu, Garut, ia pun menerapkan
itu di Cisoka.
Usaha Adim pun berbuah manis, listrik pun akhirnya masuk dan menyinari malam gelap Cisoka. Uri Suhri (68), warga yang tinggal di kawasan
Margawindu, dusun tetangga, merasakan keahlian Adim sejak tahun 2006.
“Dengan adanya kincir ini, jadi ada penerangan di saung saya. Kalau lewat
jalan sini malam hari tidak gelap lagi,” imbuhnya.
Kegigihan Putri Betawi Mempertahankan Ulayat Leluhurnya3
Aryani Dwi Agustina Sito, yang akrab dipanggil Tina, sejak kecil sudah
terbiasa tinggal dikelilingi keluarga besarnya di tanah milik kakeknya, guru
Minan. Tanah yang berada di Kampung Terogong yang diapit oleh kawasan
elite Pondok Indah dan Fatmawati, Jakarta Selatan, itu dulu dipenuhi oleh
pepohonan nan rindang. Tina bersama keluarganya hidup rukun bersama
keluarga besarnya. Mereka biasa berkumpul dan makan bersama dengan
menu-menu yang menjadi khas Betawi. Namun, ketika hendak memasuki
awal 2000-an, kampung tercinta ini menjadi incaran para pengusaha atau
pengembang apartemen dan perkantoran. Dan akhirnya, satu per satu tanah
milik tetangganya dijual kepada para pengusaha atau pengembang itu.
“Kami menyaksikan bagaimana bangunan-bangunan baru mulai mengelilingi kampung. Ibu saya cemas, tanah keluarga besar kami bakal kena
gusur juga,” imbuh Tina. Tina tak ingin tanah keluarganya berpindah tangan
dan keluarganya tercerai berai ke pinggiran Jakarta. Karena itu, ia tetap gigih
mempertahankan apa yang sudah ada itu. Banyak cara yang dilakukan Tina
dalam menanggapi persoalan itu, misalnya membuka rumah baca bagi anakanak yang keberadaannya tidak bertahan lama, karena tidak disetujui oleh
keluarganya. Kemudian, hal lain lagi yang ia lakukan dan hingga hari ini
bertahan adalah membuka usaha batik Betawi. Usaha Tina ini pun ternyata
tidaklah sia-sia, tanah keluarga yang awalnya menjadi kekhawatiran baginya
dan kini selamat dan bahkan menjadi salah satu pusat batik Betawi.
3 Diolah dari sumber asli, yaitu koran KOMPAS, Kamis 12 September 2019, pada kolom
Sosok “Kegigihan Putri Betawi”, hlm. 16.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
183
Bagian 3
Proses Intepretasi Data
Berdasarkan Teori Demokrasi Deliberatif
dan Kekuatan Warga David Mathews
Adapun landasan teori yang penulis gunakan dalam rangka melakukan
proses intepretasi atau menganalisis data-data yang ada adalah menggunakan
teori David Mathews, demokrasi Deliberatif dan Kekuatan Warga. David
Mathews adalah seorang suami, ayah, kakek, tukang kebun, dan anggota
Clarke Country Historical Society. Ia pernah menjadi pejabat dalam
pemerintahan Presiden Ford (Sekretaris Bidang Kesehatan, Pendidikan, dan
Kesejahteraan). Namun kini ia non-partisan. Ia juga pernah menjabat sebagai
presiden Universitas Alabama, di mana ia mengajar mata kuliah sejarah.
Presiden organisasi riset “Kettering Foundation” ini telah menulis banyak
buku, dan salah satu karyanya yang berjudul “Politics for People” telah
diterjemahkan ke dalam delapan bahasa.
Menumbuhkan Semangat Nasionalisme
dalam Diri Generasi Muda
Term “nasionalisme” adalah kombinasi dari dua kata Inggris, yakni
“nation” (=bangsa) dan “ism” (=paham). Berdasarkan arti ini, maka arti dari
kata nasionalisme adalah sebuah paham yang menjunjung tinggi rasa dan
semangat kebangsaan atau cinta dan semangat akan bangsa dan tanah air
(Christino, 2019). Dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
nasionalisme diartikan sebagai suatu paham (ajaran) untuk mencintai bangsa
dan negara sendiri dan kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang
secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan
mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu;
semangat kebangsaan.
Perkembangan ragam teknologi yang semakin mengglobal pada era ini
sungguh merupakan sebuah tantangan bagi siapa saja yang terlibat di
dalamnya. Problem ini menjadi sangat menarik apabila dikaitkan dengan
184
Generasi Muda yang Pancasilais
semangat nasionalisme, patriotisme, dan semangat kebersamaan (solidaritas)
yang ada dalam diri masing-masing warga negara Indonesia, khususnya para
generasi muda, terutama mengenai jiwa untuk mau terlibat. Keterlibatan
yang dimaksudkan bisa mengacu pada banyak hal, salah satunya adalah
terlibat dalam politik elektoral konvensional.
David Mathews (2018:3) menyebutkan bahwa problem sistemik pertama
di jantung demokrasi ialah: warga tidak cukup terlibat, mereka selalu berada
di pinggiran. Dan hal semacam ini, persis seperti yang disebutkan di atas
ialah masyarakat enggan terlibat dalam politik elektoral konvesional.
Rendahnya suara pemilih di bilik suara kemudian ditambah lagi dengan
budaya “Golput”. Persoalan demikian diperkirakan mungkin karena ada
sedikit alasan tentang mengapa mereka harus bersama, toh dalam
kenyataannya suara mereka juga seolah-olah diabaikan. Mungkin juga
keadaan ini disebabkan oleh sistem politik yang telah mendorong mereka
untuk berada di areal pinggiran. Kelicikan atau kecurangan politik, telah
mengondisikan suara mereka tidak dihitung. Atau mungkin juga karena
mereka sendiri yang melakukannya, sehingga menjauh dengan cara pergi
dari keramaian karena frustrasi atau bahkan karena sinisme. Dan dalam hal ini,
David mengatakan bahwa apa pun penyebabnya, berhentinya orang-orang untuk
mau berpikir sebagai warga negara adalah problem serius bagi demokrasi.
Terkait dengan hal ini, Sila kelima“Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia” dalam Pancasila sudah sangat jelas memuat bahwa kesejahteraan
bersama yang menjadi komitmen dan cita-cita bersama bangsa ini.
Kesejahteraan bersama akan terwujud apabila di dalam diri masing-masing
rakyat Indonesia memiliki roh untuk saling memberi dan mengutamakan
keadilan antara satu dengan yang lain. Pengertian memberi salah satunya bisa
diartikan sebagai tindakan “memberikan suara”.
Semangat memberi dan mengutamakan keadilan adalah indikasi bahwa
pribadi tersebut dewasa. Kata “dewasa” tidak dimaksudkan sebatas ranah
biologis semata, melainkan sebuah proses “mendewasakan” artinya bahwa di
sana terdapat unsur inteligensi dan kepribadian yang matang. Rene Descartes,
seorang bapak filsafat modern, dalam kekhasannya mengatakan bahwa
pikiran (inteligensi) adalah diriku yang ada (eksis). Maka tidak heran kita
mendengar semboyannya yang amat fenomenal yakni: “Cogito Ergo Sum”
(aku berpikir, maka aku ada) (Hardiman, 2007:37). Dengan demikian,
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
185
menjadi generasi muda yang nasionalis berarti menjadi pribadi yang bijak
dalam hal berperilaku dan berpikir.
Mereka yang Hidup Biasa Saja
tetapi Melakukan Banyak Hal Luar Biasa
“Sandi pulang ke kampung halamannya di sebuah desa kecil setelah
pensiun dari pekerjaan yang sukses di pusat kota yang bermil-mil jauhnya. Ia
masih ingin melakukan sesuatu yang berguna, sehingga mengambil pekerjaan
mengajar matematika di sekolah tempat dulu belajar ketika masih muda.
Namun, ia terkejut dengan temuannya, sehingga satu tahun kemudian ia
meninggalkan sekolah itu. Murid-muridnya benar-benar runyam: banyak
yang diluluskan tanpa pernah benar-benar bisa membaca, menulis, atau
menguasai aritmatika paling sederhana. Orang tua mereka tampak tidak
peduli; banyak di antara mereka meninggalkan sekolah pada kelas delapan.
Selain walikota, hanya sedikit pejabat kota yang tampak marah mengenai
bagaimana buruknya kondisi sekolah. Sandi mengambil kesimpulan bahwa
obatnya bukan di sekolah tetapi di masyarakat, tetapi ia tidak yakin apa yang
bisa dilakukannya untuk menghadapi ketidakpedulian yang meluas itu.
Menurutnya, ketidakpedulian itu adalah gejala dari suatu masalah yang lebih
mendalam: publik telah menjadi terdiskoneksi dari sekolah. Ketika mereka
melintasi gedung sekolah, mereka menyebutnya “sekolah itu”, bukan “sekolah
kita”. Dan atas keprihatinan itu, Sandi tidak hanya sekadar melangkah pada
persoalan terkait dengan sekolah, melainkan melangkah dari sekadar sebagai
guru menjadi pembangun komunitas, yang dengan posisi itu ia menciptakan
koalisi warga untuk menangani berbagai masalah masyarakat yang efeknya
tumpah ruah di sekolah-sekolah.” (The Ecology of Democracy karya David
Mathews, 2018:xv).
Warga masyarakat seperti Sandi, Adim (45), Alit (35), Aryani Dwi
Agustina Sito (Tina), Misman (60) dan Bachtiar (49), seperti yang telah kita
lihat, telah melakukan banyak hal yang bermanfaat atau berkontribusi bagi
kehidupan banyak orang.
David Mathews memberikan catatan kritis terkait dengan model warga
demikian. Baginya, bahwa warga yang bekerja untuk memecahkan problem
di dalam masyarakat tidak semuanya adalah orang-orang baik yang senantiasa
186
Generasi Muda yang Pancasilais
mengorbankan diri. Mereka bisa saja gagal, dan tidak kebal dari kesedihan,
bahkan keragu-raguan. Akan tetapi, dari pandangan sinis David Mathews
terhadap apa yang dilakukan oleh para heroik kebaikan ini, ternyata terkandung makna yang amat esensial, yakni meskipun dalam keadaan yang
seperti itu, mereka adalah orang-orang yang memiliki keyakinan membuat
masyarakat menjadi lebih baik. Ini adalah sebuah tindakan kewarganegaraan.
Memperjuangkan Demokrasi yang Berpusat pada Warga (Rakyat)
Demokrasi yang menjadi bahan dasar dalam penjelasan pada poin ini,
pertama-tama didasarkan pada konsep yang ditangkap dari dua akar kata:
demo dan cracy. Demos adalah warga, dan cracy (Latin: kratos) adalah
kekuatan/kedaulatan untuk mengatur atau memberlakukan (aturan-aturan).
Maka demokrasi adalah pemerintahan yang didasarkan pada kedaulatan
rakyat untuk membangun masa depan mereka sendiri. Warga negara ada di
pusat, kendati selalu merupakan perjuangan untuk mempertahankan mereka di
posisi itu (Mathews, 2018:xv).
Selain itu juga, David Mathwes memberikan konsep terkait pemahaman
konvensional mengenai demokrasi. Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan representatif yang diciptakan melalui pemilihan umum. Dalam hal ini
David meyakini bahwa jenis pemerintahan representatif keberadaannya
memang sangat penting, tetapi harus disadari betul bahwa mereka ini berada
di atas landasan kewarganegaran yang tidak lebih dari sekadar suara untuk
memilih para pemimpin (wakilnya). Dan dalam hal ini, posisi rakyat adalah
posisi integral dalam sebuah negara.
Apa yang dikemukakan oleh David Mathews, khususnya berkaitan
dengan kedudukan warga yang menjadi sentral sebuah pemerintahan, juga
selaras dengan apa yang termuat dalam Pancasila, khususnya sila keempat,
yaitu, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.” Poin esensial yang dimaksud dalam sila keempat ini
adalah rakyat. Sekali lagi bahwa, Permusyawaratan Perwakilan atau wakil
rakyat adalah mereka yang menjadi juru bicaranya rakyat, menyuarakan
aspirasi rakyat, mendengar keluh-kesah rakyat, dan menjadi pelayan rakyat.
Mereka adalah rakyat yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
187
Perbedaan yang Menghasilkan Perubahan
Kekuatan yang datang dari kemampuan orang-orang untuk menciptakan
atau membangun sesuatu secara bersama-sama adalah kekuatan sesungguhnya. Dalam hal ini kekuatan lembaga sebagian besar berasal dari sumber daya
mereka dan otoritas. Di mana makin mampu masyarakat menggerakkan
kekuatan bersama, makin mereka tidak bergantung terhadap keberadaan
lembaga. Dalam arti ini, dibutuhkan sebuah kerja sama yang efektif untuk
menghindarkan diri dari sikap-sikap yang berlawanan dengan norma-norma
hidup bersama, misalnya sikap mengutamakan kelompok tertentu dan
mempersalahkan kelompok lain. Jadi David Mathews dalam hal ini telah
menyumbangkan sebuah cara berpikir yang sangat relevan terutama dalam
konteks Indonesia yang multikultural. Negara memberikan jaminan kepada
warganya untuk memeluk kepercayaannya masing-masing dan beribadat
sesuai dengan apa yang diyakininya.
Atas jaminan ini, tentu tindakan yang diharapkan antar satu warga
negara dengan yang lainnya adalah menjunjung tinggi sikap untuk saling
menghormati. Penghormatan yang dimaksud adalah penghormatan yang
tidak hanya dilakukan dalam kelompok atau komunitasnya sendiri, melainkan
melampaui komunitas atau kelompok-kelompok (keagamaan, budaya, dll.)
lainnya. Dengan demikian negara juga bertindak untuk memberikan jaminan
kepada warga negaranya untuk memeluk kepercayaannya masing-masing
dan beribadat sesuai dengan apa yang diyakininya. Hal ini merupakan tanda
di mana demokrasi adalah sebuah mekanisme politik demi terwujudnya
kepentingan umum, serta menunjukkan suatu sifat demokrasi yang dewasa.
Sila kelima Pancasila memberikan pemahaman penting kepada kita
bahwa cita-cita yang menjadi komitmen bangsa ini adalah kesejahteraan.
Komitmen itu dapat terwujud bila masing-masing rakyat Indonesia memiliki roh
untuk mau saling menghargai, memperhatikan dan mengutamakan keadilan
antara satu dengan yang lain.
188
Generasi Muda yang Pancasilais
Bagian 4
Menjadi Generasi yang Pancasilais
Menjadi Generasi yang Pancasilais berarti menjadi pribadi yang bijak
dalam hal perealisasian kelima (5) asas atau nilai dalam Pancasila:
Bijak dalam Hal Ber-Tuhan
Bijak dalam hal ber-Tuhan berarti menjadi pribadi yang beriman.
Beriman bukan dalam arti formal dangkal, sejauh beragama atau bahkan
sejauh identitas dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) saja. Berimanberarti
“Aku” berelasional dengan Dia (Tuhan, “Yang Transenden”) yang mengatasi
kehidupan. Beriman bukan berarti “frontal”, mengklaim agama “Aku” yang
benar dan “Others” yang salah. Beriman berarti eksisdalam agama yang
dianutnya dan tidak mewajibkan apalagi memaksa masyarakat untuk
beragama menurut dalil-dalil tertentu (Suseno, 2000:588). Bersikap hormat
terhadap agama atau kepercayaan tertentu adalah tanda penghormatan
terhadap martabat manusia dan sadar bahwa “Aku” ber-Tuhan. Hormat
terhadap agama = hormat atas manusia. Hormat terhadap manusia = hormat
terhadap kemahadaulatan Allah (Suseno, 2000:17).
Bijak dalam Hal Memanusiakan Manusia
Seluruh pasal yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945,
khususnya sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, memberikan
penekanan pada hak-hak asasi manusia. Tindakan menjunjung tinggi hakhak atau martabat manusia tentunya dapat digunakan dan bahkan menjadi
power pamungkas guna menangkal tindakan radikalisme. Selain itu, indikasi
dasar bahwa suatu negara disebut maju adalah ketika ada prinsip pengutamaan
hak-hak atau martabat masyarakatnya (manusia), dan kita patut mensyukuri
itu bahwa Bangsa Indonesia sedari awal sudah menghidupi prinsip tersebut.
Maka dari itu, tindakan diskriminatif sama sekali tidak dikenal dan bahkan
tidak ada dalam konsep manusia Indonesia.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
189
Bijak dalam Hal Membangun Hubungan Timbal Balik
atas Dasar Kesamaan Kedudukan
Sikap atau tindakan untuk mau membangun hubungan timbal balik
terhadap sesama adalah indikasi bahwa pelakunya adalah pribadi yang
menyadari eksistensi (tujuan) keberadaannya. Fichte adalah salah seorang
filsuf yang mengutarakan bahwa refleksi terhadap diriku atau tentang ‘Aku”
identik dengan apa yang aku lakukan “tindakanku”. Sehingga dalam hal ini,
kesadaran tentang “Aku” merupakan kesadaran tentang keberadaanku dan
tindakanku bersama orang lain (Riyanto, 2018:190).
Bijak dalam Berdemokrasi
Sila keempat “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan Perwakilan”, pada dasarnya mengungkapkan sebuah
kesadaran dan cita-cita para bapa pendiri di mana kedaulatan untuk mengatur bangsa Indonesia berada pada rakyat. Peran rakyat (warga) menjadi
sangat penting. Dan dalam hal ini kita bisa melihat bahwa para bapa pendiri
benar-benar sadar dan memiliki kepekaan terutama untuk menciptakan
pemerintahan yang demokrasi: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Seperti yang dikatakan oleh David Mathews, bahwa persoalan-persoalan
esensial dalam hal berdemokrasi mustahil diselesaikan tanpa keterlibatan
warga (rakyat). Bahkan pernyataan ini semakin dipertegas dengan apa yang
dikatakan oleh Abraham Lincoln (dalam David Mathew, 2018:8), “Dengan
Sentimen Publik, takkan ada yang gagal, tanpanya, takkan ada yang berhasil.”
Berkaitan dengan tata cara penghayatannya, maka hal yang menjadi
keutamaan adalah memperjuangkan dan menerapkan dalam diri masingmasing (pribadi) untuk senantiasa menghidupi prinsip “Subsidiaritas”.
Artinya bahwa kita semua diajak untuk memiliki sikap penghormatan atas
hak-hak, baik dalam hal keluarga maupun dalam kelompok kecil.
Menjadi Generasi Muda yang Bijak dalam Hal Menciptakan
Bonum Commune (Kesejahteraan Bersama)
Terciptanya bonum commune (kesejahteraan bersama) adalah hakikat
dari eksistensinya sebuah negara. Mustahil berdirinya sebuah negara apabila
orang-orang yang ada di dalamnya menerapkan prinsip “hukum rimba”, siapa
menang berarti berkuasa.
190
Generasi Muda yang Pancasilais
Dalam hidup bermasyarakat dalam sebuah kelompok besar (terdiri dari:
suku, agama, dan budaya yang beraneka ragam), hal esensial yang harus dilakukan adalah perlunya sikap adil. Sikap adil perlu ada antara individu satu
dengan individu lain, antara individu dengan kelompok masyarakat, antara
kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain,
antara warga negara dengan negaranya, antara pemerintah dengan rakyatnya.
Penutup
Mengutip apa yang dikatakan David Mathews dalam tulisAnnya, “Saya
tidak mengatakan bahwa hanya merekalah (orang-orang yang mendedikasikan
hidupnya bagi negara) yang patut disebut sebagai warga negara sejati, dan
yang lain bukan. Saya yakin bahwa kadang kala banyak orang yang memainkan
peran sebagai warga, bahkan ketika mereka tidak berpikir bahwa apa yang
mereka lakukan adalah tindakan kewargaan.”
Pernyataan David Mathews ini pada dasarnya memberikan kesadaran
kepada kita bahwa kita diajak untuk merefleksikan kembali seluruh tindakan
yang telah kita lakukan terutama yang berkaitan dengan dedikasi kita bagi
negara ini. Kita tentunya tidak boleh puas dengan tindakan-tindakan yang
telah kita realisasikan, melainkan kita harus lebih meningkatkannya dengan
realisasi yang lebih berbobot (berkualitas).
Menjadi generasi yang Pancasilais, tidak cukup hanya bergaung di bibir,
juga tidak hanya cukup pada praksis-praksis yang telah berjalan. Generasi
yang Pancasilais adalah generasi yang menghidupi dan menjiwai nilai-nilai
Pancasila dan senantiasa merealisasikannya dalam hidup sehari-hari. Praksispraksis yang akan dan sudah dilakukan bukan hanya formalitas belaka,
melainkan sebagai tindakan yang bersumber dari kesadaran akan “Aku” yang
adalah warga negara Indonesia. kesadaran akan “Aku” mengandaikan bahwa
pribadi yang bersangkutan sadar akan kodratnya yang bukan hanya rasional
melainkan juga relasional. Artinya kita harus menyadari bahwa kodrat kita
tidak mungkin sendirian. Kita selalu akan bersama dengan “other”.
Mengutip apa yang dikatakan Prof. Dr. F.X. Armada Riyanto (2018:381),
ketua asosiasi filsuf Katolik Indonesia, “semakin manusia ‘menyeberang’ ke
orang lain, dia semakin menjadi dirinya. Dan, sebaliknya, semakin dia
mengurung diri sendiri (dengan cara menolak, memojokkan, dan melenyapkan orang lain) semakin tidak manusiawi.”
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
191
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia, 2007.
Kaelan, H. Etika Kehidupan Berbangsa. Yogyakarta: Paradigma, 2018.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekreatariat Jendral
MPR RI, 2012.
Mathews, David. The Ecology of Democracy. Barikatul Hikmah. Trj. Ekologi
Demokrasi. Jakarta: PARA Syndicate, 2018.
Riyanto, Armada. Relasionalitas-Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks,
Liyan, Fenomen. Yogyakarta: Kanisius, 2018.
Suseno, Franz Magnis. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia, 2000.
Widharsana, Petrus Danan dan Victorius Rudy Hartono. Pengajaran Iman
Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 2017.
Artikel (cetak)
Armada Riyanto. “Kearifan Lokal-Pancasila Butir-butir Filsafat
“Keindonesiaan””. Dalam Armada Riyanto, dkk. (ed). 2015. Kearifan
Lokal Pancasila-Butir-butir Filsafat Keindonesiaan. Yogyakarta: Kanisius,
18.
“Misman dan Bachtiar- Gerakan Bersih Sungai”, dalam KOMPAS, Selasa, 17
September 2019, hlm. 12.
“Adim, Jaga Kicir Tetap Bergulir”, dalam KOMPAS, Jumat, 16 Agustus 2019,
hlm. 16.
“Kegigihan Putri Betawi”, dalam KOMPAS, Kamis, 12 September 2019, hlm.
16.
Ino Christino. “Menumbuhkan Semangat Nasionalisme dalam Keluarga”,
dalam KANA, Juli-Agustus-September 2019.
192
Generasi Muda yang Pancasilais
“Menolak Tunduk, Kembalikan Martabat”, dalam JAWA POS, Sabtu, 14
September 2019, hlm.1.
“Janji RUU KUHP Bebas Pasal Karet”, dalam JAWA POS, Selasa, 17 September
2019, hlm. 2.
“RUU Pertahanan Melenceng dari Rasa Keadilan”, dalam KOMPAS, Senin, 16
September 2019, hlm. 1.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
193
Membangun Pendidikan Agama Katolik
yang Berbasis Pendidikan Multikultural
dan Dialog Antarbudaya berdasarkan Dokumen
“Mendidik untuk Dialog Antarbudaya
di Sekolah-sekolah Katolik”
Ignatius Rio Praseno dan Maria Gorethi Vivi Wulandari
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Widya Yuwana
Pendahuluan
Pada tanggal 28 Oktober 2013, Kongregasi untuk Pendidikan Katolik
mengeluarkan Dokumen berjudul “Mendidik untuk Dialog Antarbudaya di
Sekolah-Sekolah Katolik” dalam rangka memperingati 48 tahun dipromulgasikannya Deklarasi Konsili Vatikan II Gravissimum Educationis. Dokumen ini
secara khusus mengajak, mendorong dan membimbing agar di sekolahsekolah Katolik dan lembaga-lembaga pendidikan Katolik terjadi pendidikan
dialog antarbudaya. Pendidikan dialog antarbudaya ini diperlukan sebagai
upaya untuk membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik di tengah
kemajemukan budaya yang ada.
Kemajemukan budaya di satu sisi berdampak positif, namun di sisi lain
bisa juga berdampak negatif. Kemajemukan budaya berdampak positif
manakala kehadirannya menjadi sarana perjumpaan antar pribadi dan menjadikan manusia semakin kaya. Namun, di sisi lain kemajemukan budaya ini
bisa berdampak negatif manakala kehadirannya menjadi akar dari konflik
dan masalah sosial lainnya. Menyelaraskan budaya-budaya manusia bukan
perkara yang mudah sebab budaya satu dan yang lainnya memiliki perbedaan
walau terkadang memiliki kesamaan.
Dewasa ini, pendidikan multikultural telah didengung-dengungkan
dalam sistem pendidikan negara kita, Indonesia. Indonesia yang sedari awal
terkenal dengan keragaman budayanya memiliki tantangan tersendiri dalam
membangun paham multikulturalisme di tengah masyarakat. Pendidikan
194
Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural
multikultural dipandang sebagai suatu solusi untuk mengembangkan paham
multikulturalime di tengah masyarakat, khususnya para siswa dan mahasiswa.
Mulikulturalisme membuat masyarakat sadar akan kehadiran sesamanya
yang berasal dari budaya lain dan dengan demikian mampu bekerja sama
dengan mereka membangun kehidupan yang lebih baik. Diharapkan nantinya
dengan terbangunnya multikulturalisme di tengah masyarakat, kehidupan
masyarakat menjadi lebih damai dan sejahtera.
Berkaitan dengan dua hal di atas, yakni dikeluarkannya dokumen tentang
dialog antarbudaya dan pentingnya pendidikan multikultural, maka pendidikan agama Katolik di sekolah memiliki peran yang penting dalam mewujudkan cita-cita bersama tersebut. Pendidikan agama Katolik berperan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan multikultural sekaligus mewujudkan
apa yang diharapkan oleh Gereja, yakni membangun dialog antarbudaya.
Selain itu kondisi Indonesia yang multikultural ini juga menuntut pengajaran
agama di sekolah menumbuhkan kesadaran multikulturalisme dalam diri
siswa, sehingga nantinya siswa memiliki sikap yang terbuka, toleran, inklusif,
dan mampu bekerja sama dengan orang lain.
Berangkat dari masalah di atas, maka penulis merasa bahwa dewasa ini
dibutuhkan suatu usaha untuk membangun atau menciptakan sebuah
pendidikan agama Katolik yang membangun pemahaman multikulturalisme
dalam konteks masyarakat Indonesia yang multikultural. Karya tulis yang
disajikan ini adalah upaya penulis menguraikan gagasannya mengenai
permasalahan di atas. Dokumen “Mendidik untuk Dialog Antarbudaya di
Sekolah-Sekolah Katolik” dijadikan sebagai landasan utama untuk menciptakan suatu pendidikan agama Katolik yang mampu menumbuhkan
multikulturalisme.
Manusia dan Budaya
Manusia pada hakikatnya tidak pernah terlepas dari budaya. Manusia
dan budaya adalah dua hal yang saling terkait sepanjang sejarah kehidupan
manusia itu sendiri. Ketika dilahirkan manusia pasti berada dalam suatu
kebudayaan tertentu. Namun sebenarnya apa budaya itu, dan mengapa
kehidupan manusia selalu diwarnai oleh kebudayaan?
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
195
Secara etimologi kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta, “Buddhi”
(bentuk tunggal) atau buddhayah (bentuk jamak), yang berarti budi, pikiran,
atau akal. Tak lepas dari arti ini maka kebudayaan dimaknai sebagai segala hal
ihwal tentang alam pikiran manusia. Sedangkan dalam bahasa Inggris budaya
diartikan sebagai culture yang berasal dari bahasa Latin colore yang berarti
mengolah atau mengajarkan, yaitu mengolah tanah atau bertani. Maka kata
culture diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah
dan mengelola alam (Mahdayeni, Alhaddad, & Saleh, 2019: 157).
E.B. Taylor mendefinisikan budaya sebagai keseluruhan kompleks yang
meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat
istiadat, dan kemampuan lain serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai
anggota masyarakat (Mahdayeni, Alhaddad, & Saleh, 2019:157). Kebudayaan
dan adat istiadat yang dimiliki masyarakat merupakan alat pengatur dan
pemberi arah kepada setiap tindakan, perilaku, dan karya manusia yang
menghasilkan benda-benda kebudayaan. Kebudayaan yang ada pada
masyarakat juga memengaruhi pola-pola perbuatannya, bahkan juga cara
berpikir dari setiap masyarakat (Umanailo, 2016:31). Kedua pengertian di
atas serupa dengan yang didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
“Kebudayaan adalah: 1) hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi)
manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat; 2) keseluruhan
pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk
memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman
tingkah lakunya.” Maka, kebudayaan senantiasa berkaitan dengan akal budi,
perilaku (aktivitas manusia), serta hasil karya dari aktivitas manusia dalam
eksistensinya sebagai makhluk sosial yang berada dalam sebuah masyarakat.
Dalam dokumen “Mendidik untuk Dialog Antarbudaya di SekolahSekolah Katolik” disebutkan bahwa budaya merupakan ungkapan khas
manusia dalam menunjukkan keberadaannya. Kebudayaan yang dimiliki
manusia sejak lahir merupakan sarana baginya untuk berkembang secara
seimbang dan tenang dalam hubungan yang sehat dengan dengan orang lain
dan lingkungannya. Ikatan manusia dengan budayanya merupakan suatu hal
yang penting, namun ikatan itu tidak memaksa orang menjadi egois dan
tertutup (Art.1).
196
Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural
Keberagaman Budaya Manusia
Tidak bisa dimungkiri bahwa dewasa ini kehidupan manusia diwarnai
dengan berbagai kebudayaan. Setiap ras, negara, kota, bahkan kelompokkelompok terkecil dalam masyarakat memiliki kebudayaan yang berbeda.
Keanekaragaman budaya ini dikarenakan manusia membentuk kelompokkelompok tertentu dalam masyarakat. Kelompok-kelompok masyarakat yang
dibatasi oleh wilayah teritorial tertentu biasanya memiliki kebudayaan yang
berbeda dari kelompok lainnya. Setiap kelompok masyarakat memiliki
budayanya yang khas, yang kadang kala tidak ditemukan di kelompok
masyarakat lainnya. Karena kebudayaan muncul dari hasil aktivitas manusia
untuk berpikir dan berefleksi, tentulah tidak sulit memahami bahwa akan
muncul banyak budaya dalam hidup manusia, sebab pemikiran manusia
yang satu dan yang lainnya kadang kala tidaklah sama dalam memandang
suatu hal.
Keanekaragaman budaya tidak menunjukkan suatu perpecahan
antarmanusia namun merupakan fenomena munculnya percampuran
populasi yang terus-menerus terjadi, yakni percampuran ras (hibridasi)
keluarga manusia sepanjang perjalanan sejarah. Dengan demikian tidak ada
budaya yang sungguh-sungguh “murni”. Kondisi lingkungan, sejarah dan
masyarakat yang berbeda telah memperkenalkan kebinekaan yang luas dalam
satu komunitas manusia. Keragaman budaya dalam kehidupan manusia
harus dipahami secara benar sebagai suatu kekayaan dan sebagai ungkapan
kesatuan fundamental umat manusia (Art. 1,3).
Keanekaragaman Budaya dan Masalahnya
Globalisasi yang terjadi dewasa ini membuat hubungan antarbudaya
semakin mudah terjadi. Perjumpaan antarbudaya ini menimbulkan suatu
ambivalensi. Di satu sisi perjumpaan antarbudaya akan menimbulkan
fenomena penyeragaman budaya dalam skala besar. Di sisi lain hal ini berarti
menggerus apa yang menjadi ciri khas dari budaya lokal. Budaya lokal akan
kehilangan identitasnya (Art. 4). Sebagai contoh adalah fenomena westernisasi,
yakni fenomena di mana masyarakat timur mengadopsi budaya barat dalam
beragam aspek kehidupannya. Akibatnya budaya-budaya lokal tergeser
posisinya, bahkan kehilangan identitasnya sebagai suatu budaya. Atau contoh
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
197
yang sering kita jumpai dewasa ini dalam kehidupan generasi muda bangsa
kita adalah munculnya Hallyu atau Korean Wave, yakni masuknya budaya
Korea dalam kebudayaan negara-negara lain, termasuk Indonesia tentunya.
Fenomena Hallyu ini muncul sebagai suatu fenomena globalisasi budaya
versi Asia khususnya Korea Selatan (Larasati, 2018:111).
Selain permasalahan mengenai penyeragaman budaya, keragaman
budaya juga dapat menimbulkan sikap fundamentalisme, fanatisme,
etnosentrisme dan ketertutupan egois dalam diri. Sering kita mendengar ada
orang-orang yang berpendapat bahwa perbedaan menurut kodratnya
menyebabkan perpecahan. Karena itu pluralisme budaya, tradisi, adatistiadat, dan bahasa–yang dari sifatnya harusnya menghasilkan pengayaan
dan pengembangan timbal balik antarindividu–malah dapat menyebabkan
kekeliruan pemahaman mengenai makna kebudayaan. Kebudayaan dipahami
sebagai suatu yang bersifat mutlak, paling benar dan eksklusif bagi dirinya
dan orang lain sehingga memicu perselisihan dan konflik (art. 4). Namun
bukan berarti bahwa keberagaman budaya selalu menyebabkan konflik dalam
masyarakat. Kenyataannya, budaya sering kali digunakan sebagai alat politik
untuk memicu konflik-konflik di tengah masyarakat. Kelompok-kelompok
tertentu menggunakan isu-isu konflik budaya sebagai alat pencapaian
kepentingan politik, ekonomis, agama, dan wilayah tertentu. Dengan kata
lain pluralisme yang ada diperalat untuk pemenuhan hasrat dan kepentingan
pribadi semata. (Art. 5).
Permasalahan di atas membuat kita mengerti bahwa dewasa ini telah
terjadi pergeseran penghayatan akan makna keberagaman budaya. Keberagaman budaya sejatinya membuat manusia semakin kaya dan mendorongnya
untuk mampu membangun relasi antarindividu dan kelompok yang semakin
dalam. Namun dewasa ini keberagaman budaya yang ada dijadikan alat untuk
memenuhi kepentingan pribadi, kelompok, agama atau negara tertentu.
Entah itu agar budaya lokal hilang sehingga salah satu budaya menjadi budaya
global sehingga menguntungkan pihak-pihak tertentu atau entah berkaitan
dengan urusan politik dan ekonomi negara tertentu.
198
Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural
Hubungan antara Agama dan Budaya
Budaya pada hakikatnya lebih luas daripada agama. Sebab budaya lebih
dahulu muncul daripada agama, sehingga agama sering kali dalam praktik
penyebarannya melakukan yang namanya inkulturasi. Inkulturasi agama
adalah praktik pembudayaan agama tertentu atau penyesuaian ajaran agama
dengan kebudayaan yang ada. Aziza (2016:7) mengatakan bahwa dalam
inkulturasi agama “ada kompromi nilai atau simbol antar agama yang masuk
dengan kebudayaan asal, yang menghasilkan bentuk baru dan berbeda
dengan agama atau budaya asal. Dengan demikian, suatu agama yang masuk
pada masyarakat tidak pernah bisa ditemukan sebagaimana bentuk aslinya
secara utuh, selalu ada pelenturan nilai-nilai (fluiditas)”.
Terkait pernyataan Aziza di atas, dokumen “Mendidik untuk Dialog
Antarbudaya di Sekolah-Sekolah Katolik” menegaskan hal yang sama:
“Agama dapat dikatakan untuk menunjukkan dimensi budaya yang
transenden dan dalam cara tertentu adalah jiwanya. Agama-agama
tentu saja telah menyumbang pada kemajuan budaya dan pengembangan masyarakat manusia.” Agama diinkulturasikan, dan budaya
menjadi lahan subur bagi kemanusiaan yang lebih kaya yang
memenuhi panggilan khas dan mendalamnya agar terbuka pada
sesama dan Allah. Maka, “inilah saatnya…untuk memahami secara
lebih mendalam bahwa inti yang menghasilkan setiap budaya
autentik didasari oleh pendekatannya terhadap misteri Allah, yang
di dalam dirinya sendiri tatanan sosial yang berpusat pada martabat
dan tanggung jawab pribadi manusia mendapatkan landasannya
yang tak tergoyahkan.” (art. 7).
Ditegaskan bahwa agama merupakan jiwa dari budaya. Agama
mengembangkan budaya agar manusia mampu menemukan panggilan dan
perutusannya di dunia sesuai dengan kehendak Allah. Agama membuat
budaya menjadi lebih humanis, membuat manusia lebih bermartabat dan
membawa unsur-unsur budaya kepada sifat religiusnya. Agama berfungsi
untuk membangun sebuah komunitas masyarakat menjadi komunitas yang
mampu menghormati kebaikan bersama dan dengan maksud memajukan
setiap manusia. Oleh karenanya, setiap pemegang kekuasaan dipanggil untuk
mempertimbangkan dengan hati-hati segala peluang emansipasi dan inklusi
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
199
universal yang ditunjukkan dan dipengaruhi oleh setiap budaya dan agama.
Kriteria yang harus dipegang adalah apakah agama atau budaya mampu
secara efektif untuk menunjukkan nilai dan pengembangan seluruh pribadi
manusia (Art. 10).
Salah satu peran agama dalam kebudayaan adalah dengan membangun
suatu dialog antarbudaya. Agama dapat memberikan sumbangannya dalam
dialog antar budaya hanya jika agama mampu menemukan Allah dalam
kebudayaan itu (bdk. Art.11). Dialog yang dilakukan pun harus sebisa
mungkin diarahkan bagi pembentukan secara integral pribadi manusia
sehingga tujuan dari masyarakat pun dapat terlaksana. Sebab manusia pada
dasarnya memang dipanggil oleh Allah untuk berkembang dan melayani
sesamanya. Dialog yang dilakukan berusaha menemukan nilai-nilai Ilahi
dalam budaya dan mengamalkan nilai itu demi pembentukan pribadi setiap
orang dan kesejahteraan masyarakat.
Gereja dalam Memandang Keberagaman Budaya Manusia
Sama halnya dengan agama-agama dunia, Gereja (Katolik) memiliki
pandangan yang khas terhadap budaya. Gereja dalam Nostra Aetate
menyatakan, “Semua bangsa merupakan satu masyarakat, mempunyai satu
asal, sebab Allah menghendaki segenap umat manusia mendiami seluruh
muka bumi. Semua juga memiliki satu tujuan akhir, yakni Allah, yang
penyelenggaraan-Nya, bukti-bukti kebaikan-Nya dan rencana penyelamatanNya meliputi semua orang. (NA, Art.1). Gereja menyadari bahwa Allah
menyatakan diri-Nya dengan berbagai cara, termasuk di dalam kebudayaan
dan agama manusia. Gereja menyadari bahwa Allah tidak hanya dapat
ditemukan dalam tubuh Gereja saja, namun dalam setiap kebudayaan dan
agama manusia, bahkan Allah dapat ditemukan dalam seluruh alam semesta.
Gereja tidak memandang dirinya sebagai kebenaran yang satu-satunya.
Kebenaran iman memiliki berbagai bentuk dan jalan. Oleh karenanya, Gereja
dengan tegas “mengecam setiap diskriminasi antara orang-orang atau
penganiayaan berdasarkan keturunan atau warna kulit, kondisi hidup atau
agama (Gaudiawan & Wijaya, 2018: 210).
Sepanjang sejarah Allah mewahyukan dan menawarkan karya
keselamatan bukan hanya kepada bangsa Israel saja, namun juga kepada
bangsa-bangsa lain. Pewahyuan diri Allah dan karya keselamatan Allah itu
200
Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural
sungguh nyata dalam diri Yesus, yang wafat bukan hanya untuk menebus
dosa bangsa Israel saja, namun dosa seluruh umat manusia (bdk. Mat 6:12;
Ibr 9:15; Kol 2:13-14). Yesus pun juga mengutus Gereja untuk mewartakan
karya keselamatan itu kepada segala bangsa, “Karena itu pergilah, jadikanlah
semua bangsa murid-Ku ... ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang
telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu
senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat 28:19-20).
Sejatinya manusia adalah makhluk sosial, bahkan sejak penciptaannya.
Kisah penciptaan yang termuat dalam Kejadian menunjukkan bahwa manusia
adalah makhluk yang senantiasa membangun relasi. Berfirmanlah Allah:
“Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya
mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas
ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di
bumi”. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut
gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya
mereka. (Kej 1:26-27). Kutipan ayat di atas menunjukkan bahwa setiap
manusia dipanggil kepada persekutuan karena kodratnya yang diciptakan
dalam gambar dan rupa Allah. Manusia sejak semula bukanlah makhluk
(individu) yang terasingkan, melainkan sebagai pribadi yang pada hakikatnya
merupakan makhluk relasional. Persekutuan manusia terjalin dalam dua
segi, segi vertikal dan horizontal. Segi vertikal menunjukkan hubungan
manusia dengan Allahnya, sedangkan segi horizontal menunjukkan
hubungan antar pribadi manusia (art. 34). Sekali lagi bahwa manusia pada
hakikatnya adalah makhluk sosial, makhluk relasional dan oleh karenanya
manusia juga merupakan makhluk yang senantiasa membangun relasidialog, baik kepada Allah maupun kepada sesama manusia.
Gereja katolik sendiri menekankan bahwa dewasa ini dialog antarbudaya
dan antar agama penting kehadirannya. Dialog semacam ini membantu
orang untuk masuk dalam hubungan dengan agama dan kebudayaan lain.
Dialog tidak hanya sekadar berbicara, melainkan menyangkut segala
hubungan lintas agama dan budaya yang bermanfaat dan bersifat konstruktif.
Dialog bukan hanya membangun sebuah relasi namun juga membangun
suatu kerja sama antarindividu maupun kelompok dari berbagai agama dan
budaya untuk mencapai suatu pemahaman timbal baik dan aksi membangun
kesejahteraan bersama.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
201
Dialog yang dilakukan didasarkan pada paham bahwa semua manusia
adalah ciptaan Allah, sehingga Allah berkarya pada setiap manusia. Allah
menunjukkan kepada manusia nilai-nilai universal untuk mencapai kebaikan
bersama, keadilan dan perdamaian. Maka dialog yang dilakukan diarahkan
untuk menemukan kesamaan nilai di antara keragaman budaya dan agama
yang ada. Dengan dialog ini diharapkan setiap pribadi manusia menemukan
dan mengerti secara mendalam nilai-nilai luhur yang berasal dari kebudayaan
dan agama lain dari sesamanya. Pemahaman yang demikian dalam praktiknya
mendorong berkembangnya rasa hormat, saling menghargai, saling
memahami, saling percaya dan menumbuhkan rasa persahabatan di antara
sesama manusia.
Oleh karenanya sebagai orang katolik, dialog dan pemahaman akan
sesama yang beragama atau berkebudayaan lain harus senantiasa dikembangkan agar setiap kita mampu hidup berdampingan dan membangun suatu
peradaban kasih. Dialog dengan agama dan budaya lain bahwa yang diperjuangkan di dalamnya adalah suatu humanisme integral, yang menunjukkan suatu penghargaan akan budaya, agama, dan hidup setiap orang (art.
20). Dialog adalah sebuah usaha bagi kita untuk memanusiakan sesama kita
secara penuh. Di samping itu kita juga mengembangkan diri kita sendiri
untuk menjadi manusia seutuhnya. Dialog akan berkembang jika didasarkan
pada kesadaran akan martabat setiap individu dan kesatuan orang-orang
dalam sebuah kemanusiaan bersama, dengan tujuan berbagi dan membangun
bersama-sama suatu nasib bersama (art. 21).
Aneka Pendekatan terhadap Pluralisme Budaya
Ada beberapa pendekatan dalam proses memahami pluralisme budaya.
Setidaknya ada tiga pendekatan yang dibahas, yakni pendekatan relativisme,
pendekatan asimilasi, pendekatan antarbudaya. Dua pendekatan pertama,
yakni pendekatan relativisme dan asimilasi merupakan pendekatan yang
tidak lengkap namun tetap memiliki aspek-aspek yang bermanfaat. Sedangkan
pendekatan antarbudaya adalah pendekatan yang kiranya cocok untuk menumbuhkan dialog antarbudaya yang digagas di atas. Penjelasan mengenai
ketiganya diuraikan di bawah ini:
202
Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural
a.
Pendekatan Relativisme
Relativisme budaya merupakan sebuah pandangan yang menyatakan
bahwa semua keyakinan, adat istiadat, dan etika bersifat relatif bagi
setiap orang, tergantung konteks sosialnya sendiri. Pendekatan relativisme budaya berpandangan bahwa setiap budaya memiliki keunikannya
masing-masing dan oleh karenanya penilaian moral “benar” dan “salah”
tergantung kepada budaya masing-masing. Relativisme merupakan
aliran yang menentang prinsip universalitas, yang menyatakan bahwa
penilaian moral didasarkan pada martabat manusia sebagai manusia,
bukannya pada kebudayaannya (Jaya & Arafat, 2017: 57).
Sisi positif relativisme adalah adanya penghormatan akan perbedaan antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya. Model ini
didasarkan pada prinsip toleransi sehingga adanya kebebasan setiap
budaya untuk berkembang sesuai dengan apa yang menjadi tujuannya.
Namun di sisi lain model relativisme menyebabkan hilangnya dialog
antarbudaya, sebab budaya-budaya dipisahkan ke dalam lingkup yang
sangat otonom, dan menjadikan budaya terisolasi dari ruang dialog.
Walaupun benar model ini menekankan prinsip toleransi, namun
akibatnya penerapan model ini membuat relasi antar individu dari
budaya yang berbeda sangat terbatas, bahkan tidak memungkinkan
adanya pengakuan timbal balik antar individu dari budaya yang berbeda.
Relativisme budaya membuat kelompok-kelompok budaya yang
berdampingan tetap terpisah, tanpa dialog autentik dan karenanya tidak
ada integrasi yang sesungguhnya (art. 22-23).
b.
Pendekatan Asimilasi
Asimilasi budaya adalah peleburan atau penyesuaian dua kebudayaan atau lebih yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli
sehingga membentuk kebudayaan baru. Asimilasi budaya adalah
fenomena perubahan pola-pola kebudayaan ke arah penyesuaian
terhadap kebudayaan kelompok mayoritas (Poerwanto, 1999, hlm. 32).
Pendekatan asimilasi budaya ditandai dengan tuntutan agar orang lain
menyesuaikan diri dengan lingkungan atau budaya mayoritas. Dalam
model ini seorang pendatang (orang liyan/asing) harus melepaskan
budayanya dan mengikuti budaya kelompok atau negara penerima.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
203
Kekurangan dari pendekatan ini ada pada sisi penyeragaman budaya dan
penerimaan sama rata terhadap berbagai tingkah laku dan gaya hidup
sehingga tidak memungkinkan berkembangnya identitas budaya asli
seseorang. Akhirnya kelompok minoritas dituntut untuk melebur ke
dalam budaya mayoritas (Art. 24-25).
c.
Pendekatan Antarbudaya
Pendekatan antarbudaya muncul untuk menjawabi pekarangan di
antara kedua pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini memungkinkan
terjadinya suatu dialog antar budaya atau lintas budaya. Prinsip dasar
yang dipegang adalah dialog harus dimulai dari kesadaran mendalam
atas adanya identitas khusus dari berbagai budaya. Pluralisme dalam
pendekatan antar budaya dipandang sebagai sumber daya dan sebuah
peluang untuk membuka seluruh sistem kepada semua perbedaan asal
usul, hubungan antara laki-laki dan perempuan, status sosial, dan sejarah
pendidikan. Pendekatan ini juga didasarkan pada prinsip bahwa budaya
itu dinamis, tidak tertutup pada dirinya sendiri atau tidak memandang
keanekaragaman budaya sebagai suatu stereotip dan flokoristik4.
Pendekatan ini memungkinkan terjadinya: 1) perjumpaan perjumpaan
atau dialog antar pribadi; 2) hubungan timbal balik; 3) kesempatan untuk
hidup berdampingan; 4) kemungkinan untuk mengatasi dan meminimalkan konflik antarbudaya. Pendekatan ini bertujuan untuk mewujudkan integrasi budaya dalam pengakuan timbal balik (art. 27-28).
Ada setidaknya empat landasan yang mendasari pendekatan antarbudaya.
Keempat landasan itu antara lain: landasan ajaran Gereja, landasan teologis,
landasan antropologi dan landasan pedagogis.
Pertama, landasan ajaran Gereja. Gereja memiliki panggilan universalitas atau “katolik”. Gereja dewasa ini gemar melakukan dialog dengan berbagai
agama dan budaya. Gereja berpandangan bahwa dialog antarbudaya
dimaksudkan bukan hanya sekadar membangun suatu sikap menghargai
perbedaan, namun juga menolong setiap orang untuk hidup berdampingan
secara damai (art. 29). Gereja melalui Konsili Vatikan II menyatakan bahwa
manusia hanya dapat menuju kepenuhan kemanusiaannya yang sejati melalui
kebudayaan (GS art. 53). Budaya adalah cara khas ‘berada’ dan ‘mengada’
manusia. Di tengah keragaman budaya yang ada tersimpan juga nilai-nilai
4 Pandangan bahwa keanekaragaman budaya sebagai dongeng, mite, atau legenda.
204
Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural
luhur kehidupan. Gereja oleh karenanya membuka diri akan nilai-nilai luhur
itu. Keterbukaan itu terjadi secara nyata dalam bentuk dialog Gereja dengan
agama dan budaya-budaya manusia.
Kedua, landasan teologis. Allah Trinitas merupakan Pribadi-Pribadi
dalam suatu persekutuan. Allah Trinitas terbentuk dalam suatu relasionalitas
murni yang tak terpisahkan. Manusia pada hakikatnya juga diciptakan
sebagai makhluk yang senantiasa membangun relasi. Manusia senantiasa
membangun relasi dengan Allah dan sesamanya. Secara khusus dalam
dokumen “Mendidik untuk Dialog Antarbudaya di Sekolah-Sekolah Katolik”
art. 37 dijelaskan sebagai berikut:
“Perspektif ini diterangi dengan sangat jelas dalam hubungan antara
Pribadi-pribadi Trinitas dalam satu Hakikat ilahi. Trinitas adalah
kesatuan mutlak karena ketiga Pribadi Ilahi itu merupakan
relasionalitas murni. Transparansi timbal balik antara ketiga Pribadi
ilahi itu total dan ikatan satu sama lain sempurna, karena Mereka
adalah satu kesatuan yang unik dan mutlak. Allah juga berkehendak
mempersatukan kita ke dalam realitas persekutuan ini: ‘Supaya
menjadi satu sama seperti Kita adalah satu’ (Yoh. 17:22). Gereja
adalah tanda dan sarana dari persekutuan ini. Demikian juga, relasi
antara manusia sepanjang sejarah tidak dapat tidak diperkaya
dengan mengacu pada model ilahi ini. Terutama, dalam terang
misteri pewahyuan Trinitas, kita mengerti bahwa keterbukaan sejati
bukan berarti kehilangan identitas pribadi, tetapi saling menyatu
secara mendalam.”
Dengan demikian manusia pada hakikatnya dipanggil untuk berelasi
dengan Allah dan sesamanya. Dialog yang dilakukan pada pendekatan
antarbudaya menghantar manusia untuk mencapai kepenuhannya sebagai
ciptaan Allah dan manusia seutuhnya.
Ketiga, landasan antropologis. Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa
membutuhkan sesamanya. Manusia adalah makhluk relasional yang tidak
dapat hidup atau mengembangkan potensi mereka tanpa berelasi dengan
sesamanya (art. 39). Manusia sejatinya selalu berelasi dengan pribadi lain
dalam kehidupan, membutuhkan kehadiran, perhatian dan cinta dari
sesamanya. Cinta merupakan bentuk relasi terdalam dari bangsa manusia.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
205
Cinta membebaskan manusia dari sifat egoisme dan mendorong manusia
untuk mampu menyatukan diri dengan sesamanya. Kasih membuat manusia
memiliki sikap untuk saling mendengarkan, memperhatikan, dan memberikan penghargaan (art. 41). Dengan demikian sejatinya manusia dipanggil
untuk berdialog, berelasi dan mencintai sesamanya secara total untuk menciptakan suatu perdamaian.
Keempat, landasan pedagogis. Usaha untuk membumikan dialog antarbudaya tidak lepas dari usaha mendidik pribadi manusia itu sendiri. Melalui
pendidikan dialog antarbudaya ini dapat dibangun. Melalui pendidikan yang
berdialog inilah kemudian manusia akan mulai mempertanyakan pemahaman
mereka dan mendiskusikannya dengan orang lain. Pendidikan antarbudaya
ini dapat dimengerti sebagai suatu proses manusia untuk: 1) mencari jati
dirinya sebagai makhluk berbudaya; 2) membangun dialog dengan sesamanya;
dan 3) saling belajar seumur hidup.
Fenomena Multikultural dan Multikulturalisme di Indonesia
Setelah dibahas mengenai seluk beluk keanekaragaman budaya dan
bagaimana peran Gereja di dalamnya, maka pada bagaikan ini pembahasan
akan difokuskan pada konteks Indonesia. Indonesia merupakan negara
multikultural. Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku, ras, golongan,
adat-istiadat, dan bahasa. Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik
atau suku bangsa, lebih tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa di Tanah Air
menurut sensus BPS tahun 2010 (Indonesia.go.id, 2017). Keragaman agama
juga menjadi salah satu bentuk multikultural bangsa Indonesia. Masyarakat
Indonesia setidaknya terbagi dalam enam agama besar yakni agama Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan agama lainnya. Selain itu
keragaman penduduk Indonesia selanjutnya terlihat dari penggunaan bahasa
daerah yang cukup besar dalam kehidupan sehari-hari. Sebesar 79,5%
penduduk Indonesia berdasarkan Sensus Penduduk 2010 menggunakan
bahasa daerah sebagai bahasa keseharian dan rumah tangga. Sedangkan
19,9% menggunakan bahasa Indonesia, sisanya sebesar 0,3% menggunakan
bahasa asing (Indonesia.go.id, 2018).
Keragaman budaya di Indonesia di satu sisi merupakan berkah, namun
juga pada kenyataannya dapat menimbulkan konflik. Menurut Hakim (2020)
206
Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural
ada beberapa konflik yang pernah terjadi di Indonesia yang disebabkan oleh
perbedaan pandangan dari beberapa kelompok, dan suku bangsa Indonesia:
1) tragedi Sampit pada tahun 2001; 2) Konflik antaragama di Ambon tahun
1999; 3) konflik antar etnis pada tahun 1998 akibat krisis moneter antara
etnis Pribumi dan Tionghoa; 4) Konflik antargolongan dan pemerintah
seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS), dan
Organisasi Papua Merdeka (OPM). Selain keempat kasus itu juga ada
fenomena-fenomena konflik antaragama yang kerap dijumpai, bahkan hingga
sampai pada tindak terorisme.
Konflik-konflik di atas menunjukkan bahwa paham multikulturalisme
masyarakat kita masih rendah. Multikulturalisme menurut Afandi & Munif
(2018:5) adalah “suatu gagasan yang mengungkapkan keberagaman budaya
yang dimiliki oleh suatu bangsa, kelompok masyarakat di mana keberagaman
tersebut menjadi satu kebanggaan dan wajib dilestarikan dengan tetap
memegang teguh prinsip keberagaman dan kebersamaan”. Rendahnya paham
multikultural ini dapat mengakibatkan perpecahan di tengah bangsa kita.
Cita-cita yang dituangkan dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” bisa saja
nantinya tidak akan terwujud jika tidak ada usaha untuk menumbuhkan
pemahaman multikulturlisme dan sikap toleransi, penghargaan serta
keterbukaan antar masyarakat yang multikultural ini. Multikultural tanpa
multikulturalisme akan menjadi bumerang yang menghancurkan kesatuan
negeri ini.
Urgensi Pendidikan Multikultural
untuk Menumbuhkan Multikulturalisme
Pendidikan Multikultural dapat diharapkan menjadi salah satu solusi
untuk menumbuhkan paham multikulturalisme dalam diri masyarakat,
terutama generasi muda. Lalu apa itu pendidikan multikultural? Pendidikan
multikultural merupakan pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam
merespons perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat
tertentu bahkan dunia secara keseluruhan (Arifudin, 2007:2). Fatmawati,
Pratiwi, & Erviana (2018:82) mengatakan, “Pendidikan multikultural mengajarkan tentang menghargai semua siswa tanpa memandang latar belakang,
jenis kelamin, kelas sosial, etnis, ras, agama, dan budayanya. Semua siswa
memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah”. Sedangkan Sutono
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
207
(2016:8) mengatakan, “Pendidikan Multikultural akan dapat mengarahkan
anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif terhadap
realitas masyarakat yang beragam, baik dalam hal budaya, suku, ras, etnis
maupun agama. Hal ini akan menghindarkan diri dari munculnya sikap
eksklusif yang secara laten hadir untuk menguatkan klaim kebenaran
kelompok dan ideologinya sendiri (claim of truth)”. Dengan demikian
pendidikan multikultural merupakan pendidikan untuk menumbuhkan
paham multikulturalisme dengan cara: 1) membekali siswa (atau masyarakat
pada umumnya) dengan pengetahuan akan keragaman budaya; 2) menjunjung
tinggi persamaan hak dan martabat setiap individu tanpa memandang latar
belakang; 3) menumbuhkan kesadaran dan sikap menghargai, toleransi,
peduli terhadap terhadap realitas masyarakat yang beragam.
Urgensi pendidikan multikultural di Indonesia disebabkan oleh berapa
faktor: 1) realitas bangsa Indonesia yang beragam; 2) terjadinya konflikkonflik antarsuku, ras, golongan, agama; 3) munculnya paham radikalisme
dan fanatisme yang mengancam persatuan bangsa, terutama paham yang
disebarkan pada anak-anak usia sekolah; 3) globalisasi yang mengakibatkan
identitas budaya lokal luntur; dan 4) keragaman budaya dan agama dijadikan
alat politik, bisnis, komersialisasi dan kapitalis yang mengutamakan golongan
atau orang tertentu.
Lembaga Pendidikan Katolik, Pendidikan Multikultural,
dan Dialog Antarbudaya
Gereja mengharapkan lembaga pendidikan Katolik mampu menjadi
tempat terjadinya pendidikan multikultural yang di dalamnya memungkinkan terjadi dialog antarbudaya. Seperti dikutip dari dokumen “Mendidik
untuk Dialog Antarbudaya di Sekolah-Sekolah Katolik” art. 50 di bawah ini:
“Karena itu, para pendidik Katolik, para guru dan para siswa yang berada
di dalam jenis sekolah apa pun, yang bersatu dalam seni mengasihi yang
sama, juga harus menerima ajakan ini.... Sekolah dipercayakan dengan
tanggung jawab sangat besar untuk pendidikan antarbudaya. Selama proses
pembinaan mereka, para siswa berinteraksi dengan aneka budaya, dan
membutuhkan alat-alat yang perlu untuk memahami budaya-budaya tersebut
dan menghubungkannya dengan budaya mereka sendiri. Sekolah harus
208
Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural
terbuka terhadap perjumpaan dengan kebudayaan-kebudayaan lain. Mereka
bertugas untuk mendukung individu-individu sehingga setiap pribadi
mengembangkan identitasnya sendiri dengan menyadari kekayaan dan
tradisi budayanya”.
Dengan demikian Gereja mengharapkan lembaga pendidikan (sekolah),
khususnya lembaga pendidikan Katolik menjadi tempat perjumpaan antar
individu dari berbagai budaya. Sekolah menjadi tempat perjumpaan penuh
kasih antar individu, baik bagi para guru, siswa atau tenaga kependidikan
lainnya. Interaksi antara beraneka kebudayaan itu pada prinsipnya bukan
untuk meleburkan budaya, namun mengenal aneka budaya dengan tetap
mempertahankan identitas budaya asli. Malahan diharapkan interaksi yang
dilakukan di sekolah diharapkan memperkuat identitas budaya dari masingmasing individu dan sekaligus mampu membuat budayanya dikenal banyak
orang serta mereka sendiri mengenal budaya orang lain tanpa sikap
diskriminasi. Sekolah menjadi tempat interaksi, sekaligus dialog antarbudaya
yang ditandai dengan hubungan hangat antara semua warga sekolah tanpa
prasangka terhadap budaya, jenis kelamin, kelas sosial atau agama.
Sekolah-sekolah Katolik memiliki kewajiban untuk mengembangkan
pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural yang dapat diterapkan
sesuai dengan anjuran dokumen “Mendidik untuk Dialog Antarbudaya di
Sekolah-Sekolah Katolik” adalah pendidikan multikultural yang berbasiskan
dialog antar budaya. Jadi dalam penerapannya, pendidikan semacam itu
memungkinkan adanya dialog atau perjumpaan antar individu dari berbagai
macam kebudayaan. Pendidikan multikultural perlu mengembangkan iklim
dialog dan penghormatan timbal balik antarindividu, yang meningkatkan
kemampuan mereka dan itu semua dilakukan demi mengusahakan suatu
kebaikan bersama. Iklim tersebut dapat dikembangkan dengan menumbuhkan
dan membiasakan sikap saling percaya, kesiapsediaan untuk melayani, sikap
mau menjadi pendengar yang baik. Perlu juga dikembangkan di dalam
pembelajaran kelas: 1) dialog antara guru dan siswa dan antar siswa sendiri;
2) peningkatan andil pribadi para siswa dalam pencarian bersama; 3)
pengajaran interdisipliner yang menunjang pendidikan multikultural.
Nilai dasar yang dikembangkan dalam pendidikan multikultural berbasis
dialog antarbudaya adalah nilai cinta kasih. Kasih terhadap Allah dan sesama
menjadi dasar untuk terjalinnya suatu dialog. Kasih membuat setiap individu
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
209
terbuka terhadap sesamanya, terbuka terhadap pluralitas. “Pengalaman menunjukkan bahwa agama Katolik mengerti cara menjumpai, menghormati,
dan menghargai budaya-budaya yang berbeda-beda. Kasih terhadap semua
laki-laki dan perempuan tentu juga adalah kasih kepada kebudayaan mereka.
Sekolah-sekolah Katolik, menurut panggilan mereka sendiri, bersifat
antarbudaya (art. 61).
Dalam dokumen “Mendidik untuk Dialog Antarbudaya di SekolahSekolah Katolik” art. 63, Kongregasi untuk Pendidikan Katolik menegaskan
ada tujuh bidang pendidikan yang harus dikembangkan dalam pendidikan
multikultural berbasis dialog antarbudaya ini:
Kriteria identitas Katolik: pendidikan katolik berpangkal pada Kristus.
Sekolah-sekolah Katolik diutus untuk mewartakan nilai-nilai Injil ke dunia.
Mewartakan Injil dan pengembanan misi kristianitas menjadikan sekolah
Katolik memiliki kekatolikannya.
1.
2.
3.
4.
Pengembangan visi bersama: peran sekolah dewasa ini adalah mengembangkan dialog yang memungkinkan terjadinya komunikasi di antara
orang-orang yang berbeda, dan dengan demikian membantu mereka
menerjemahkan cara berpikir dan merasa mereka. dengan demikian
sekolah katolik sungguh membantu orang lain kembali ke kebudayaan
mereka sendiri, dengan kebudayaan orang lain sebagai titik pangkal
mereka. Dengan kata lain, membantu orang lain berefleksi tentang
dirinya sendiri dalam perspektif “keterbukaan pada kemanusiaan”.
Keterbukaan yang masuk akal terhadap globalisasi: Gereja mengharapkan
sekolah Katolik untuk mewartakan kepada para siswa suatu pengetahuan
akan kondisi dunia saat ini, kondisi yang dicirikan dengan banyaknya
ketergantungan timbal balik.
Pembentukan identitas pribadi yang kuat: sekolah bertugas untuk
membentuk identitas pribadi dan budaya yang kuat. Tugas ini pertamatama harus dimulai dengan pembentukan kesadaran atas kebudayaannya
sendiri, setiap pribadi meyakini dan bangga akan budayanya sendiri.
Kesadaran inilah yang menjadi titik awal yang membuat seseorang
mampu berdialog dan mampu menghargai serta mengakui kesetaraan
martabat orang lain.
Pembiasaan merefleksikan pengalaman: refleksi akan pengalaman hidup
dikembangkan agar setiap pribadi mampu merenungkan perilakunya
210
Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural
5.
6.
sendiri, dan menjadi semakin sadar akan apa yang dirasakan dan rencana
apa yang akan dilakukan ke depannya.
Penghormatan nilai-nilai budaya dan agama lain: sekolah harus menjadi
tempat di mana orang bisa belajar berdialog tentang makna yang ada
dari pelbagai agama dan budaya dengan kekhasan mereka masingmasing. Hal ini memungkinkan orang berbagi nilai-nilai universal,
seperti solidaritas, toleransi, perdamaian dan kebebasan.
Pendidikan yang mengembangkan sikap berbagi dan bertanggung jawab:
Gereja juga mengharapkan agar sekolah menjadi tempat di mana siswa
memahami akan situasi kehidupan masyarakatnya dan oleh karenanya
sekolah mendorong para siswa untuk berusaha bertanggung jawab
memperbaiki situasi yang ada. Sekolah bukan hanya tempat pengajaran
saja. Sekolah harus memperhatikan setiap aspek kehidupan para siswa
baik yang formal (prestasi, diskusi, seminar), yang informal (perayaan/
pesta, kegembiraan, kegelisahan) dan pengalaman religius (liturgi dan
spiritualitas). Sekolah menjadi tempat siswa berbagi pengalaman hidup.
Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis
Pendidikan Multikultural dan Dialog Antarbudaya
Pendidikan Agama Katolik di sekolah secara otomatis memiliki tempat
yang penting dalam pengembangan pendidikan multikultural yang berbasis
dialog antarbudaya. Pendidikan agama Katolik menjadi tanda nyata bahwa
dialog antarbudaya dapat diterapkan dalam pembelajaran di sekolah untuk
menumbuhkan paham dan semangat multikulturalisme, tanpa kehilangan
kekatolikannya. Pendidikan agama Katolik sebagai bentuk penerapan pendidikan multikultural yang berbasis dialog antarbudaya haruslah menjadi
pembelajaran yang mengembangkan humanisme integral. Apa maksudnya?
Agama Katolik tanpa kehilangan identitas imannya, mampu menumbuhkan
sikap penghargaan akan unsur agama dan budaya lain, penghargaan terhadap
hidup sedari pembuahan hingga wafatnya, penghormatan kepada keluarga,
masyarakat, pendidikan dan pekerjaan orang lain, keterbukaan untuk
berdialog dengan orang lain. Pembelajaran yang mengembangkan humanisme
dan dialog akan mendorong setiap siswa kepada apa yang baik dan benar,
yang memampukan mereka menghadapi: penolakan sentimen keagamaan,
ateisme, dan agnotisime (Art. 72).
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
211
Pendidikan Agama Katolik juga harus tetap mengusahakan pembinaan
moral, pengembangan tanggung jawab pribadi dan sosial, serta pengembangan
nilai-nilai luhur demi kebaikan bersama. Pendidikan Agama Katolik dengan
demikian bertugas untuk membentuk siswa sebagai pribadi yang bukan
hanya kuat dalam pengetahuan iman, tapi bagaimana juga membentuk siswa
yang mampu mengamalkan hidupnya dalam hidup kemasyarakatan.
Pendidikan Agama Katolik memberikan kepada para siswa pengetahuan
tentang identitas Kristianitas dan kehidupan Kristiani. Tujuannya untuk
memperluas rasionalitas siswa, membukanya kembali kepada persoalanpersoalan lebih besar tentang kebenaran dan kebaikan, menghubungkannya
dengan berbagai disiplin ilmu. Dengan demikian Pendidikan Agama Katolik
diharapkan mampu memberikan kontribusi pada seluruh pembinaan pribadi
dan memungkinkannya mengubah pengetahuan menjadi kebijaksanaan hidup.
Selanjutnya, Pendidikan Agama Katolik dalam rangka membangkitkan
multikulturalisme haruslah mengembangkan laboratorium budaya. Kongregasi untuk Pendidikan Katolik menjelaskan:
“Karena itu, dengan pengajaran agama Katolik, “sekolah dan
masyarakat diperkaya dengan laboratorium kebudayaan dan
kemanusiaan yang benar di mana, dengan menafsirkan kontribusi
penting Kristianitas, pribadi dimampukan untuk menemukan
kebaikan dan berkembang dalam tanggung jawab, untuk mencari
perbandingan-perbandingan dan memperhalus perasaan kritisnya,
untuk mengambil dari anugerah masa lalu agar dapat memahami
masa kini dengan lebih baik dan agar mampu merencanakan masa
depan secara bijaksana.”
Dengan kata lain, Pendidikan Agama Katolik bukan hanya berbicara
mengenai pengajaran iman, namun juga bagaimana pengajaran mampu
menjawabi permasalahan di tengah masyarakat, serta dapat digunakan untuk
menemukan makna akan nilai-nilai hidup dalam memperjuangkan
kesejahteraan bersama, dengan tetap berpegang pada ajaran iman kristiani.
Berangkat dari semua pembahasan di atas maka ada beberapa hal yang
harus dikembangkan dalam Pendidikan Agama Katolik sehingga mampu
secara nyata membangun suatu pendidikan multikultural yang berbasis pada
dialog antarbudaya.
212
Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural
Pertama, dalam bidang kognitif. Pendidikan Agama Katolik harus
mampu membekali siswa dengan pengetahuan tentang keragaman budaya
yang dimiliki bangsa Indonesia. Pengetahuan yang diberikan hendaknya
menumbuhkan sikap positif yang mendorong siswa untuk menghargai
keanekaragaman budaya yang ada. Pengetahuan yang diberikan diarahkan
sebagai sarana untuk memperkaya siswa akan pengetahuan budayanya
sendiri juga budaya orang lain, dan bukan terarah pada pembandingan
budaya negatif yang menimbulkan sikap intoleran dan kebencian.
Kedua, dalam bidang afektif. Pendidikan Agama Katolik harus mengembangkan sikap-sikap positif, terutama sikap saling mencintai, menghormati,
toleransi, mampu mendengarkan dan menghargai orang lain. Sikap-sikap
demikian adalah sikap yang berlandaskan pada prinsip cinta kasih. Setiap
siswa harus mampu merasakan penghargaan dan kasih sayang dari guru dan
teman-temannya. Bahwa dalam hal ini, sikap intoleransi tidak pernah
diharapkan kehadirannya, sebaliknya sikap penuh penghargaan dan
penghormatan akan pribadi dan keagamaan budaya berkembang dengan
baik. Sehingga tidak ada siswa yang merasa ditinggalkan, kesepian bahkan
merasa dikucilkan dari komunitas kelas atau sekolahnya. Setiap siswa mampu
mengasihi sesamanya sebagai pribadi yang utuh, yang unik dan yang beragam.
Keberagaman mampu dipandang oleh para siswa sebagai sebuah anugerah
dan oleh karenanya mereka mampu bersyukur atas keberagaman yang ada.
Keberagaman yang ada membuat siswa terdorong untuk menumbuhkan
sikap persatuan dalam perbedaan.
Ketiga, dalam bidang psikomotorik. Pendidikan Agama Katolik diharapkan mampu mendorong siswa untuk berdialog secara nyata dengan sesamanya, mampu berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan teman atau
gurunya yang berasal dari kebudayaan lain. Selain itu dalam bidang ini, siswa
juga diharapkan sungguh mampu menunjukkan aksi keterlibatannya dalam
pembangunan masyarakat serta menunjukkan sikap terbuka, penuh kasih,
dan penghargaan terhadap sesamanya yang berasal dari kebudayaan atau
agama lain.
Keempat, dalam bidang spiritual keagamaan. Jelas bahwa Pendidikan
Agama Katolik tetaplah harus mengembangkan kehidupan spiritual keagamaan para siswa. Siswa diarahkan untuk menghayati keberagaman dan multikulturalisme dalam ranah iman Katolik. Siswa hendaknya diajak untuk
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
213
memahami bahwa kebersamaan adalah anugerah Allah sendiri, dengan
demikian siswa mampu bersyukur dan mau terbuka, dan berdialog dengan
sesamanya untuk menemukan kehendak Allah dalam diri sesamanya itu.
Sehingga pada akhirnya siswa mampu bekerja sama dengan siapa pun untuk
mewujudkan kebaikan bersama, menyatakan Kerajaan Allah dan mewartakan
kabar baik kepada orang lain.
Kelima, membuka ruang dialog. Akhirnya, Pendidikan Agama Katolik
harus mengusahakan dialog antarbudaya antara siswa dan gurunya, maupun
siswa dengan siswa lainnya. Dialog diarahkan untuk menemukan kebenarankebenaran yang memungkinkan siswa untuk menambah pengetahuannya
akan budaya lain, membangkitkan sikap toleransi dan multikulturalisme,
serta menumbuhkan pemahamannya akan misteri Allah yang senantiasa
hadir dalam hidup manusia melalui segala keberagaman yang ada.
Penutup
Di tengah anugerah multikultural yang ada di Indonesia, perlulah dikembangkan sikap multikulturalisme. Sikap ini diharapkan dapat mendorong
bangsa Indonesia kepada persatuan dan kesatuan. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan Gereja melalui Pendidikan Agama Katolik di Sekolah adalah
dengan mengimplementasikan pembelajaran multikultural yang berbasis
dialog antarbudaya dalam Pendidikan Agama Katolik itu sendiri. Pendidikan
Agama Katolik dipandang sebagai suatu pendidikan iman dalam konteks
multikulturalisme. Pendidikan Agama Katolik berusaha membangun dialog
antara agama dan budaya masyarakat.
Diharapkan Pendidikan Agama Katolik dengan model pendidikan
kultural ini mampu menumbuhkan paham multikulturalisme dalam diri
siswa, dengan tetap berpegang pada jati dirinya sebagai seorang Katolik dan
kekhasan budaya yang dimilikinya. Sehingga nantinya siswa dan generasi
muda masa depan bangsa ini mampu sungguh-sungguh menciptakan suatu
peradaban yang penuh dengan sikap saling mengasihi, saling terbuka, saling
peduli, saling menghargai dan menghormati, untuk mewujudkan suatu perdamaian dan kesejahteraan bersama. Keberagaman akhirnya dapat dipandang
sebagi suatu anugerah dari Allah agar manusia mampu menemukan kehendak
Allah itu dalam keberagaman yang ada.
214
Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural
Daftar Pustaka
Afandi, & Munif. (2018). Potret Masyarakat Multikultural di indonesia.
JournalMULTICULTURAL of Islamic Edication Vol. 2, No. 1, 1-9.
Arifudin, I. (2007). Urgensi Implementasi Pendidikan Multikultural di
Sekolah. INSANIA: JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF PENDIDIKAN
Vol. 12 No. 2, 1-9.
Aziza, A. ( 2016). Relasi Agama dan Budaya. Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah
Vol. 15 No. 30, 1-9 .
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. (2020). Mendidik untuk
Dialog Antarbudaya di Sekolah-Sekolah Katolik. Jakarta: Departemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI.
Fatmawati, L., Pratiwi, R. D., & Erviana, V. Y. (2018). Pengembangan Modul
Pendidikan Multikultural Berbasis Karakter Cinta Tanah Air dan
Nasionalis pada Pembelajaran Tematik. Scholaria: Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, Vol. 8 No. 1, 80-92.
Gaudiawan, A. V., & Wijaya, A. I. (2018). Dampak Pembelajaran Agama
katolik Kelas XII bagi Pengembangan Multikulturalisme. JPAK: Jurnal
Pendidikan Agama Katolik Vol. 20, Tahun ke-10, 205-228.
Hakim, N. R. (2020, Mei 01). Binus University. Dipetik September 29, 2020,
dari TANTANGAN NEGARA MULTIKULTUR DAN SOLUSINYA:
https://binus.ac.id/character-building/2020/05/tantangan-negaramultikultur-dan-solusinya/
Hardawiryana, R. (Penterjemah). (1993). Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta:
Dokpen KWI & Obor.
Indonesia.go.id. (2017). Indonesia.go.id. Dipetik September 29, 2020, dari
Suku Bangsa: https://indonesia.go.id/profil/suku-bangsa
Indonesia.go.id. (2018, Agustus 16). Indonesia.go.id. Dipetik September 29,
2020, dari Keragaman Indonesia: https://indonesia.go.id/ragam/budaya/
kebudayaan/keragaman-indonesia
Jaya, B. M., & Arafat, M. R. (2017). Universalism Vs. Cultural Relativism dan
Implementasinya dalam Hak Kebebasan Beragama di Indonesia. Pena
Justisia: Media Komunikasi dan Kajian Hukum Vol. 17 No. 1,, 56-65.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
215
Larasati, D. (2018). Globalisasi Budaya dan Identitas: Pengaruh dan Eksistensi
Hallyu (KoreanWave) versus Westernisasi di Indonesia. Jurnal Hubungan
Internasional, Tahun XI, No.1,, 109-120.
Mahdayeni, Alhaddad, M. R., & Saleh, A. S. (2019). Manusia dan Kebudayaan.
TADBIR: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam , 154-165.
Poerwanto, H. (1999). Asimilasi, Alkulturasi dan Integrasi Nasional.
Humaniora No. 12, 29-37.
Sutono, A. (2016). Pendidikan Multikultiural dan Multikulturalisme di
indonesia (Realitas, Tantangan, dan Harapan). JPAK: Jurnal Pendididkan
Agama Katolik Vol. 15, Tahun ke-8, 3-11.
Umanailo, M. C. (2016). Ilmu Sosial Budaya Dasar. Namlea: FAM Publishing.
216
Membangun Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis Pendidikan Multikultural
Kaum Muda dan Dialog Agama
dalam Konteks Manggarai – Flores
Patrisius Harsan
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng
Pendahuluan
Belakangan ini marak sekali pemberitaan tentang tingkah laku anak
muda generasi abad 21 atau yang sering disebut sabagai generasi milenial.
Ada banyak kaum muda yang keliru dalam membuat hipotesis, terutama
dalam mengunakan media sosial yang mengakibatkan dampak buruk bagi
orang lain (reader/listener). Seperti contoh yang paling konkret adalah
menyebarkan dan memprovokasikan berita hoax (berita bohong) yang
mengakibatkan terjadinya konflik sosial di tengah masyarakat. Sebagai
contoh, belum lama ini kita mendengar kasus hoaks tentang mahasiswa
Papua yang dampaknya menciptakan kerusuhan besar dan berkepenjangan.
Hoaks banyak dilakukan oleh orang muda dan dampaknya juga mengena
pada orang muda. Maka, di sini pendidikan bagi kaum muda sangat penting
perananya. Melalui proses pedagogis mereka bisa disadarkan akan bahaya
menyalahgunakan media sosial secara tidak bertanggung jawab.
Demikian juga kalau bicara soalan agama. Orang muda yang kurang
memahami masalah agama dalam perjumpaan dengan komunitas lain dan
dalam pergaulan di media sosial bisa membawa kehancuran bagi orang muda
itu sendiri maupun bagi bangsa dan negara. Kita bisa menemukan banyak
contoh di mana orang muda menjadi radikal, ekstrem dan tidak toleran
(intoleran) dalam menghadapi perbedaan agama. Media sosial telah dipakai
orang muda untuk memprovokasi dan merong-rong kebenaran agama lain.
Indonesia adalah negara yang plural. Keragaman agama adalah fenomena
yang nyata. Oleh karena itu perjumpaan orang muda dengan pemeluk agama
lain, termasuk orang muda yang beragama lain sangatlah nyata. Maka jangan
sampai orang muda menjadi kelompok yang intoleran dan radikal. Sifat
seperti ini bisa menjadi pemecah dan penghancur bangsa. Kenyataan ini
sudah banyak terjadi di dalam sejarah bangsa Indonesia.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
217
Melihat masalah ini sangat urgen, artikel ini bermaksud mendeskripsikan bagaimana peran orang muda dalam dialog agama di Indonesia. Secara
khusus dalam konteks di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dengan ini, artikel berusaha untuk mengedukasi kaum muda, secara pedagogis mengajak mereka untuk mampu mengimplementasikan pendidikan
sesuai dengan tujuannya yang otentik.
Artikel ini berargumentasi bahwa dalam diri orang muda harus dibangun semangat berdialog dan terbuka dengan mereka yang beragama lain.
Dialog harus dijalankan dengan kritis (menggunakan critical thinking), kreatif
(creativity), komunikasi yang memadai (communicative), dan dengan kerja
sama dan kolaborasi yang bagus (collaboration).
Secara khusus pula, paper ini akan mengaitkan persoalan ini dengan
konteks lokal yakni dalam situasi orang Manggarai, Flores NTT. Komunitas
ini memiliki aneka kebijakan dan kearifan lokal yang bisa dipakai orang muda
sebagai modal dan sarana dialog antar agama.
Orang Muda: Sebuah Peluang bagi Dialog
Kaum muda adalah harapan bangsa dan negara di masa yang akan
datang, harapan generasi yang akan datang serta harapan orang tua dan
masyarkat. Orang muda memiliki potensi yang besar untuk membangun
bangsa dan negara. Mereka adalah kelompok yang memiliki rasa ingin tahu
yang besar, idealisme yang tinggi, militansi yang kuat, mudah bergaul dan
terbuka pada ide-ide baru. Oleh karena itu, mereka dapat menjadi aktor yang
baik untuk mengembangkan dialog termasuk dialog antar agama.
Namun, sayangnya banyak orang muda tidak menyalurkan dengan baik
gairah masa muda mereka. Mereka menjadi kelompok dan pribadi yang
tertutup, suka bergaul dengan geng mereka sendiri dan tidak terbuka pada
perbedaan dan perubahan. Orang muda pada umumnya adalah kelompok
yang sedang mengeyam pendidikan. Namun, sekalipun terdidik, mereka
kerap mengabaikan ilmu pengetahuan, tidak kritis, tidak kreatif dan menjadi
orang yang ikut-ikutan saja. Mereka bisa tersesat di dalam logika yang salah
yang berasal dari sumber-sumber yang tidak edukatif dan tidak terpercaya.
218
Kaum Muda dan Dialog Agama dalam Konteks Manggarai – Flores
Pendidikan bagi orang muda sebenarnya sudah banyak dilakukan.
Termasuk yang dilakukan keluarga, orang tua, masyarakat dan agama.
Namun, semua ini bisa gagal jika tidak dilakukan terus-menerus dan kreatif.
Orang muda harus terus-menerus diingatkan bahwa mereka adalah pemilik
masa sekarang dan masa depan. Mereka adalah yang berkarya dan mempunyai
kekuatan di dalam diri mereka sendiri. Mereka memiliki potensi yang besar
sebagai tokoh dan aktor yang bisa membawa perubahan bagi masyarakat,
bangsa dan negara.
Secara khusus ketika masuk dalam persoalan relasi antar agama. Orang
muda yang pandai bergaul sebenarnya menjadi kekuatan bagi terjalinnya
hubungan yang baik antara agama. Orang muda dengan potensinya bisa
menjadi jembatan untuk menghubungkan mereka yang berbeda satu sama
lain, termasuk perbedaan agama. Orang muda dapat pula diandalkan dan
dipakai agama-agama sebagai pembawa damai, agen toleransi dan dialog.
Jenis Dialog Orang Muda
Keterlibatan orang muda dalam dialog antar agama bisa dilakukan
dengan aneka jalan. Kita mengenal beberapa jenis dialog yakni: dialog
kehidupan, karya, dialog iman, dan dialog teologis. Orang muda, dengan
potensinya masing-masing bisa memainkan peran mereka dalam aneka jenis
dialog itu, walau dengan kadar dan kedalaman yang berbeda-beda.
Pertama, dialog yang paling umum adalah dialog kehidupan. Di sini
orang muda, tanpa didesain secara khusus, secara otomatis akan hidup bersama dengan pemuda lainnya yang berbeda agama. Mereka akan berjumpa
dalam pengalaman konkret peristiwa kehidupan masing-masing. Mereka
akan bercerita mengenai kehidupan mereka seperti pendidikan, pergaulan,
keseharian, cita-cita dan aktivitas mereka dengan pemuda lainnya yang
berbeda agama. Ketika perjumpaan ini terjadi dengan baik maka dialog
kehidupan terjalin dengan baik. Di sini agama bukan masalah teologis atau
doktrin tetapi keyakinan yang dimiliki, yang tidak menjadi halangan dalam
kehidupan. Jika perjumpaan itu berjalan dengan baik, maka dialog kehidupan
berjalan dengan mulus. Di sini orang muda harus dididik agar dalam perjumpaan dengan orang muda lainnya agar mereka mampu besikap toleran
atau menghargai agama temannya, tidak membuat mereka tersinggung dan
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
219
tidak melecehkan agama yang dianut temannya. Jika peran ini bisa dimainkan,
orang muda sudah terlibat dalam dialog kehidupan. Dialog kehidupan bisa
pula diwujdukan dengan saling silahturahmi, memberi sedekah, berkumpul
saling menyampaikan pendapat, membagikan hadiah pada saat perayaan
besar keagamaan, mengucapkan salam dan bahkan saling berjabatan tangan
satu sama lain.
Kedua, dialog karya. Di sini orang muda lintas agama terlibat dalam
karya bersama untuk membangun kehidupan lebih baik. Sebagai contoh,
orang muda berbeda agama bisa menciptakan karya seni bersama. Melalui
seni, mereka berkarya dan hubungan antara agama semakin baik. Contoh
lainnya adalah mereka bisa menciptakan animasi di media sosial bersama
yang membantu menyebarkan pesan-pesan perdamaian. Jika dilakukan
dengan baik, bukan hanya karya dan kualitas karya mereka semakin baik,
tetapi juga relasi dengan orang lain semakin baik pula.
Ketiga, dialog teologis. Di sini memang cukup sulit dilakukan. Karena
dialog ini biasanya dilakukan para ahli agama. Namun dalam kesederhanaan
orang muda, mereka bisa berbagi ajaran yang sederhana, misalnya pandangan
masing-masing agama mereka tentang hal yang baik. Mereka tidak perlu
berdebat dan berdiskusi, dengan bercerita bagaimana agama mereka
memandang hal baik dan positif dalam hidup saja sudah menjadi sebuah
dialog teologis sederhana bagi orang muda.
Keempat, dialog iman. Orang muda saling menguatkan iman dengan
rekan-rekannya. Ketika mereka mengalami keterpurukan dan masalah,
mereka bisa saling menguatkan dan mendoakan. Dengan ini mereka telah
menjadi rekan dialog iman lintas agama.
Dialog merupakan salah satu cara yang efektif dan produktif untuk mencapai terciptanya saling pengertian dan kerukunan antarumat beragama.
Dialog bisa dilakukan baik secara formal maupun secara informal. Suatu hal
yang sangat penting dan ditekankan adalah bahwa tujuan dialog itu tercapai
dengan baik.
Dewasa ini, dialog antar umat beragama di berbagai belahan dunia,
termasuk di Indonesia, memperlihatkan intensitasnya yang semakin luas dan
melibatkan berbagai komunitas agama. Oleh karena itu, orang-orang yang
terlibat dalam dialog ialah mereka yang mengerti betul tentang berdialog,
220
Kaum Muda dan Dialog Agama dalam Konteks Manggarai – Flores
terutama dalam berdialog agama untuk dapat mendatangkan hasil yang baik.
Orang-orang tersebut adalah mereka yang mengerti dengan beberapa syarat
seperti mereka harus mengenal maksud dan tujuan untuk apa mereka
berdialog. Dialog juga memang mengandaikan ada kesetaraan di antara
mereka yang berdialog. Maka, dengan demikian dialog antar orang muda
sangat dianjurkan. Untuk membantu orang muda memahami dan menghargai
perbedaan, termasuk perbedaan agama, maka orang mudalah yang sebaiknya
dipakai sebagai agen dan aktor dialog.
Dialog juga hendaknya mempunyai kehendak baik untuk mencari
kebenaran dan mampu bersikap terbuka, tidak memihak dan tidak berprasangka. Orang muda yang terlibat di dalam dialog juga hendaknya mampu
menciptakan suasana damai dan tenang, jauh dari emosi dan rasa superior.
Mereka perlu diajarkan untuk menyampaikan gagasan dengan jelas, dan
boleh dengan semangat, tetapi dengan nada yang menyenangkan dan bijak.
Selanjutnya, dialog harus dilakukan dengan sikap jujur, tulus, tidak manipulatif, mencari-cari kelemahan rekan dialog, dan percaya bahwa hal-hal
yang dibahas dalam dialog tidak dimanfaatkan di luar dialog untuk tujuantujuan lain demi keuntungan diri.
Jika dialog bisa dilakukan, ada banyak manfaat yang bisa diemban. Pada
level pribadi, orang bisa saling memahami dan menerima, serta mengembangkan kebersamaan dan hidup yang damai saling menghormati dan saling
percaya. Jika mereka bekerja atau berkarya, dialog dapat membantu kelancaran perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kerja. Di dalam masyarakat,
dialog dapat menjadi sarana untuk saling memahami, menerima dan kerja
sama antar berbagai kelompok masyarakat yang berbeda latar belakang
budaya, pendidikan, tingkat ekonomi, ideologi, kepercayaan, dan agama.
Etika Berdialog yang Pancasilais
Dialog harus dilakukan dengan etis. Maka selalu ada etika dalam berdialog. Etika adalah ilmu yang mencari orientasi. Sebelum kita dapat melakukan sesuatu apa pun, pertama-tama kita harus mencari orientasi dulu.
Kita harus tahu di mana kita berada, dan ke arah mana kita bergerak untuk
mencapai tujuan kita. Etika dipandang sebagai sarana orientasi bagi usaha
manusia untuk menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
221
Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas. Etika pada
hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberi
ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma
dan pandangan moral secara kritis. Etika menuntut pertanggungjawaban dan
mau menyingkapkan kerancuan/kekacauan. Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral begitu saja, melainkan menutut agar pendapatpendapat moral yang dikemukakan, dipertanggungjawabkan. Etika berusaha
untuk mejernihkan masalah moral.
Pokok pemikiran mengenai etika di atas bisa dipakai sebagai rujukan
bagi orang muda dalam mengembangkan dialog. Secara khusus dalam konteks Indonesia, etika dialog orang muda selalu dikaitkan dengan Pancasila.
Sila-sila Pancasila dengan jelas memperlihatkan bahwa nilai-nilai itu adalah
dasar dan fundamen bagi setiap orang Indonesia termasuk orang muda dalam
mengembangkan dialog.
Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, menegaskan bahwa semua
orang Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan
ini membawa orang Indonesia pada sikap dan etika untuk terus menghargai
kepercayaan orang lain menurut dasar kemanusiaan yang beradab. Sila ini
sekaligus menjadi landasan etis agar mampu membina kerukunan di antara
sesama umat beragama dan berkepercayaan. Etika lainnya adalah orang
muda tidak boleh memaksakan kepercayaan kepada pihak lainnya. Mereka
juga harus menghargai peribadatan kelompok beragama lainnya.
Sila kedua, “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” menandaskan bahwa
dialog harus diarahkan agar manusia makin beradab dan bermartabat. Dialog
orang muda juga harus memampukan orang muda untuk mengakui
kesetaraan sebagai mahluk Tuhan. Sebagai orang beragama, mereka harus
mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap
manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan,
jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan sebagainya.
Orang muda juga dibantu untuk mengembangkan sikap saling mencintai
sesama manusia, mengembangkan sikap saling tengggang rasa dan tepa selira,
mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain, menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan,
berani membela kebenaran dan keadilan. Orang muda yang demikian akan
222
Kaum Muda dan Dialog Agama dalam Konteks Manggarai – Flores
mampu menghargai perbedaan agama dan merasa sebagai bagian dari bangsa
Indonesia maupun bagian dari seluruh umat manusia.
Etika dialog orang muda Indonesia harus didasarkan pada “Persatuan
Indonesia”. Dengan ini orang muda harus mampu menempatkan persatuan,
kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai
kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. Orang muda
diarahkan untuk sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan
negara apabila diperlukan, mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan
bangsa, mengemnbangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air
Indonesia, dan hidup sebagai bangsa yang menghargai keragaman namun
tetap satu, sebagaimana moto Bhineka Tunggal Ika.
Etika dialog orang muda juga didasarkan pada sila keempat Pancasila,
“Kerakyatan yang Dipimpim oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Dengan ini orang muda disadarkan bahwa sebagai
warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai
kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Olehnya mereka tidak boleh
memaksakan kehendak kepada orang lain. Orang muda juga diarahkan untuk
mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan
bersama. Mereka harus menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan
yang dicapai sebagai hasil musyawarah. Orang muda dididik untuk mampu
mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan
golongan. Mereka juga perlu diajak untuk bermusyawarah akal sehat dan
sesuai dengan hati nurani yang luhur. Orang muda perlu dididik untuk
mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral
kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan
kesatuan demi kepentingan bersama.
Etika selanjutnya didasarkan pada sila kelima Pancasila, “Keadilan Sosial
bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Orang muda dididik untuk mampu
mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan
suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. Mereka harus bisa mengembangkan sikap adil terhadap sesama. Mereka dididik untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban dan bisa menghormati hak orang lain.
Mereka perlu diarahkan untuk memberikan pertolongan bagi orang lain agar
dapat berdiri sendiri. Orang muda perlu dilatih untuk tidak menggunakan
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
223
hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain,
tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan
gaya hidup mewah dan tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan
dengan atau merugikan kepentingan umum.
Kebijakan Lokal Orang Manggarai Bottom of Form
Pada bagian ini akan dijelaskan kebijakan lokal orang Manggarai yang
dapat dipakai sebagai dasar berdialog bagi orang muda di Manggarai. Orang
Manggarai termasuk satu suku bangsa yang sangat religius. Ini bisa dilihat
dari begitu banyaknya ritus yang harus dirayakan pada setiap tahap, siklus
hidup manusia dan dalam hampir dalam setiap aktivitas penting hidup sosioekonomi mereka.
Orang Manggarai percaya bahwa ada satu wujud tertinggi yang
merupakan asal-usul segala sesuatu yang ada, termasuk manusia sendiri. Dia
adalah Pencipta (Allah). Orang Manggari percaya bahwa wujud tertinggi
memiliki kuasa dan peran yang tidak tergantikan dalam menopang eksistrensi
atau keberadaan mereka.Orang Manggarai percaya bahwa yang tinggi itu
adalah penguasa alam semesta dan mengatur peredaran waktu dan musim.
Orang Manggarai percaya bahwa mengabaikan Dia (Allah), misalnya dengan
menunjukkan sikap tidak membutuhkan-Nya, akan mendatangkan konsekuensi-konsekuensi serius dalam hidup aktual atau hidup harian mereka. Dia
(Allah) dianggap sebagai pribadi yang mau terlibat dalam semua aktivitas
manusia, dan mudah merasa tersinggung dan marah kalau Dia tidak diundang
atau tidak dilibatkan.
Kendati demikian, orang Manggarai juga percaya bahwa yang tinggi
yang mudah tersinggung dan murka itu, juga sebagai pribadi yang gampang
memaafkan kalau manusia tahu mengambil hati-Nya dan meminta maaf.
Untuk itulah orang Manggarai memiliki ritus-ritus khusus untuk meminta
maaf, termasuk ritus menolak bala yang diakibatkan oleh murka Dia yang
tertinggi itu. Hal yang hampir sama dalam hubungan manusia dengan rohroh dan leluhur. Mereka umumnya dihormati sebagai pengantara antara
manusia dan yang tinggi. Namun, dalam praktik, kadang-kadang peran
mereka disejajarkan dengan yang tinggi, khususnya yang berkaitan dengan
peran yang tinggi sebagai penyelenggara.
224
Kaum Muda dan Dialog Agama dalam Konteks Manggarai – Flores
Cukup menonjol, orang Manggarai berkeyakinan bahwa roh-roh dan
leluhur ini memainkan peran besar dalam penyelenggaraan hidup manusia
sehari-hari. Campur tangan mereka bisa dirasakan di mana-mana. Karena itu
rasa hormat dan rasa takut manusia terhadap roh-roh dan leluhur terkesan
lebih besar daripada rasa hormat dan rasa takut mereka terhadap Yang Tinggi.
Orang Manggarai juga biasanya melakukan aksi mereka dengan memberikan
makanan terhadap roh-roh dan leluhur pada saat melakukan upacara adat.
Dan juga sebagai wujud hormat terhadap yang tinggi mereka juga mempersembahkan beberapa kurban untuk Yang Tinggi pada saat perayaan
keagamaan (ngaji) di gereja.
Selain dimensi religius ada pula dimensi sosial dalam kehidupan orang
Manggarai. Sebagai masyarakat agraris yang bersifat komunal, orang
Manggarai adalah tipe manusia yang tidak suka tinggal sendirian. Sebaliknya
mereka selalu mencari teman untuk bisa tinggal bersama dalam satu kelompok
tanpa memandang suku, ras dan gender. Kecenderungan untuk tinggal dan
bersama orang lain itu tidak saja karena dorongan kebutuhan-kebutuhan
yang hanya dapat dipenuhi dalam kehidupan bersama orang lain, tetapi juga
dan terutama karena keyakinan bahwa seseorang akan menemukan makna
hidupnya secara penuh justru dalam kebersamaannya dengan orang lain.
Dalam kebersamaan itu, setiap anggota berusaha agar dapat menjadi berarti
bagi orang lain. Di samping itu, ia menikmati maknanya ketika ia merasa
bahwa orang membutuhkan dia dan kehadirannya. Karena itu, dalam kebersamaan seperti itu setiap orang diberi peran untuk memenuhi kebutuhan
kelompok. Banyak hal tidak dapat diselesaikan dengan sempurna tanpa
keterlibatan setiap anggota sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Prinsip utama masyarakat komunal adalah kebersamaan. Di kalangan
orang Manggarai prinsip ini tersingkap jelas dalam beberapa ungkapan,
seperti “mukucapu’unekawolengcurup, teucaambowolenglako”. Artinya satu
kesepakatan tidak boleh disebarkan secara hoaks atau tidak benar, satu
keluarga tidak boleh berjalan berpisah. Dalam ungkapan sederhana ini
makna hidup seseorang ialah memelihara kebersamaan dan melestarikan
persekutuan. Segala sesuatu yang terjadi pada individu tertentu yang
menyebabkan dia gagal memenuhi fungsinya, akan mengganggu
keharmonisan hidup bersama. Konsep hidup bersama sebagai satu organisme
amat jelas dalam pola hidup komunal orang Manggarai. Organisme
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
225
merupakan satu sistem. Dan sebagai satu sistem, semua bagian yang
membentuk organisme itu berkaitan satu sama lain dan saling mendukung
dan memengaruhi keberadaan dan sepak terjang kelompok. Keberhasilan
satu bagian adalah keberhasilan seluruh organisme. Sebaliknya, kemacetan
atau kegagalan satu bagian merupakan kemacetan atau kegagalan semua. Di
sanalah peran atau keterlibatan setiap orang menjadi mata rantai kunci
keberhasilan bersama.
Berdasarkan falsafah “mukucapu’unekawolengcurup” itu, relasi sosial
orang Manggarai sangat menekankan pentingnya keterlibatan aktif dan nyata
dari setiap orang yang menjadi bagian dari satu organisme, entah sebagai
warga dusun, entah sebagai warga kampung, entah sebagai warga desa, atau
sekarang dalam konteks hidup bergereja dalam wujud Komunitas Basis
Gerejawi, lingkungan, stasi, atau paroki.
Partisipasi atau keterlibatan setiap orang untuk menyukseskan kepentingan bersama sangat ditekankan. Untuk mencapai kesepakatan bersama,
orang Manggarai mengenal apa yang dinamakan “keboro” atau “lontoleok”
artinya “duduk melingkar dalam satu ruangan”. Bagi orang Manggarai, keboro
atau lontoleok memiliki dua makna penting. Pertama, untuk menyatukan
kata, dan kedua untuk menyatukan langkah. Sebagai satu forum musyawarah
tradisional, keboro adalah ajang untuk merundingkan sesuatu secara bersamasama untuk mencapai kesepakan bersama.
Keboro yang ideal dan dikatakan berhasil adalah keboro yang mampu
menyamakan persepsi dan menyatukan aspirasi para peserta yang berbedabeda. Semua partisipan keboro diharapkan dapat “naicaanggit” yang artinya
“satu hati yang murni” dengan sedapat mungkin menghindari kemungkinan
untuk “wolengcurup” yang artinya “perbedaan menyebarkannya”. Dengan
demikian, visi kelompok untuk kekompakan seperti “mukucapu’u” (bersatu
dalam kesepakatan) terjamin atau terwujud.
Makna keboro atau lontoleok yang kedua ialah untuk menyatukan
langkah. Sebagai satu forum strategis, keboro menjadi medan untuk
menyatukan langkah dan menyelaraskan derap atau irama gerak bersama.
Pada tataran ini, setiap peserta keboro atau lontoleok, diharapkan untuk
“tukacaleleng” yang artinya bersatu sebagai saudara, tidak berbeda arah dan
sasaran perjuangan dengan berusaha menghindari kemungkinan untuk
“wolenglako” yang artinya jalan berbeda. Dengan cara itu, penyelewengan
226
Kaum Muda dan Dialog Agama dalam Konteks Manggarai – Flores
atau penyimpangan dalam tataran pelaksanaan apa yang sudah disepakati
bersama dapat dihindari. Dengan demikian, visi kelompok untuk kekompakan
seperti “teucaambo” (bersatu dalam kelompok) dapat tercapai atau terwujud.
Semangat atau nilai kebersamaan yang dirumuskan dalam ungkapan
“mukucapu’u” dan “teucaambo” secara simbolis dihayati dalam pola
perkampungan dan cara berkebun.
Orang Manggarai terkenal dengan sistem berkebun yang disebut “lingko”
yang artinya “satu lingkaran kebun”. Lingko menjadi simbol kesatuan dan
persatuan pada tataran makrokosmos berlatar ekologis. Berkebun dengan
sistem jaring laba-laba terpusat pada satu titik pusat yang disebut “lodok”
(pertengahan), begitu menjelaskan ide atau falsafah kesatuan atau kebersamaan itu.
Dalam sistem berkebun dengan sistem jaring laba-laba itu setiap
partisipan lingko diberi hak untuk menggarap sebidang lahan yang disebut
“moso” yang artinya satu deretan kebun. Dalam sistem lingko, seseorang tidak
saja memiliki hak dan keleluasan untuk menggarap moso-nya, tetapi juga ia
memiliki kewajiban-kewajiban yang merupakan ungkapan makna dan
fungsinya dalam sistem berkebun komunal ala lingko. Selain menjaga
hubungan yang baik dengan tetangga yang baik dengan tetangga di kiri dan
di kanan ia juga berkewajiban untuk menjaga keamanan komunal yang
menjadi porsinya di “cicing” (batas) kebunnya. Dengan demikian, ideal
keutuhan “lodokone, cicingpea’ang” yang artinya “pusat di tengah dan batasnya
di luar” terjamin dan tercapai pula visi utama berkebun bersama.
Ide kesatuan pada tataran makrokosmos secara sempurna direalisasikan
dalam tataran hidup mikrokosmos di tingkat kampung tradisional yang
berbentuk lingkaran dan model rumah asli Manggarai yang berbentuk bulat
kerucut. Seperti lingko yang terpusat pada satu titik yang desebut lodok,
bangunan perkampungan asli Manggarai juga terpusat pada satu titik sentral
yang disebut “compang” (altar). Ide kesatuan ini, akhirnya diwujudkan juga
dalam sistem-sistem perumahan. Atap rumah berbentuk kerucut dengan
tampilan kerangkanya seperti jaring laba-laba juga amat jelas menggambarkan
ide kesatuan dan persatuan. Sementara, tampilan lantainya pada tampang
mendatar juga berbentuk lingkaran dengan satu titik pusat yang disebut
“sapo” yang artinya tempat perapian/tempat masak. Pada rumah adat, titik
sentral yang menjadi pusat rumah ialah “Tiang” yang berada di tengah.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
227
Dari segi ekologis, membaca makna hidup orang Manggarai dalam
hubungannya dengan alam dan lingkungan hidup, tidak sulit. Ditilik dari
praktik keagamaan yang berkaitan dengan alam, bisa dilihat betapa orang
Manggarai itu sebanarnya akrab dengan alam lingkungannya. Bahkan, dalam
beberapa kasus, orang Manggarai memandang alam itu sebagai satu wujud
yang harus ditakuti dan dihormati.
Beberapa contoh ditampilkan di sini untuk menjelaskan pandangan
orang Manggari tentang alam, dan bagaimana mereka seharusnya bersikap.
1.
2.
3.
4.
Hutan sebagai tempat diam yang kudus. Dulu, orang Manggarai
umumnya takut dan segan masuk ke hutan. Takut tidak saja karena
mereka melihat hutan sebagai tempat tinggal roh-roh jahat, seperti
“potiwolo” yang artinya “setan raksasa” dan lain-lain, tetapi juga terutama
karena mereka yakin hutan juga tempat bersemayam yang kudus. Karena
itu, bagi mereka hutan itu kudus dalam arti keramat, yakin satu tempat di
mana orang tidak boleh melakukan yang tidak pantas atau orang yang
mengurangi rasa hormat terhadap “penghuni” hutan itu. Di hutan
seseorang tidak boleh bertindak sembarangan karena dinilai merusak
suasana harmonis atau keseimbangan hutan dan seluruh penghuninya.
Oleh karenannya, ketika mereka hendak menebang pohon di hutan,
misalnya untuk membuat rumah, mereka terlebih dahulu meminta izin
kepada penghuni hutan dengan melaksanakan ritus-ritus tertentu. Kalau
mereka hendak membuat hutan untuk berladang,mereka juga harus
melakukanya dengan rasa hormat dan melalui prosedur yang relatif
berbelit karena harus melaksanakan banyak upacara dan korban.
Ketika mereka mau menangkap udang, belut, dan ikan-ikan di kali secara
besar-besaran atau secara massal, mereka harus mendahuluinya dengan
ritus meminta izin pada penjaga sungai. Ketika hendak membakar
padang saat berburu pun, mereka melakukan upacara khusus untuk
meminta izin padang agar terhindar dari risiko “dimurki” dan “balabala” yang menimpa sebagai konsekuensinya.
Demikian pun kalau hendak memetik hasil sawah dan ladang, orang
Manggarai mengawalinya dengan ritus-ritus penghormatan sebagai tanda respek terhadap padi dan jagung yang hendak mereka petik dan makan.
228
Kaum Muda dan Dialog Agama dalam Konteks Manggarai – Flores
Demikian, sekadar menyebut beberapa contoh. Semua itu mau
menunjukkan bahwa orang Manggarai pada dasarnya memiliki rasa hormat
yang tinggi terhadap alam dan lingkungan hidup serta seluruhnya isinya.
Mereka memiliki respek yang sangat tinggi terhadap alam dan seluruh isinya,
hutan, sungai, laut dan sumber-sumber daya alam lainnya. Di sana, manusia
memiliki tugas dan fungsi untuk mengatur dan menjaga keseimbangan dan
memelihara keharmonisan hubungan antara: 1) manusia dengan alam dan
Yang Tinggi; 2) alam dengan Yang Tinggi; dan 3) keseimbangan hubungan
antara bagian-bagian yang membentuk alam dan lingkungan secara
keseluruhan, seperti keseimbangan antara hutan dan padang, sungai dan laut,
hewan dan binatang liar dan sebagainya.
Ini adalah deskripsi kekayaan lokal orang Manggarai. Lantas, bagaimana hal
ini dikaitkan dengan dialog orang muda lintas agama? Tentu saja jelas, orang
muda Manggarai bisa memanfaatkan kearifan lokal yang sifatnya religius,
sosial dan ekologis sebagai etika, selain etika Pancasila. Mereka juga bisa
mengemban persahabatan lintas dengan berbasis kekuatan sosial, keyakinan
dan lingkungan dengan mereka yang berbeda agama, baik dalam lingkungan
Manggarai sendiri maupun di luar Manggarai.
Dewasa ini, budaya lokal juga bisa menjadi tandingan dalam mengatasi
kelimpahan dan ketidakjelasan informasi di media sosial. Nilai-nilai yang
kerap kali tidak bermakna dan kabur di media sosial yang bisa memecah
belah dapat diubah dengan belajar pada nilai-nilai lokal. Maka kekayaan lokal
menjadi modal untuk dialog orang muda di dalam konteks lokalnya.
Penutup
Orang muda adalah harapan bangsa dan negara. Negara Indonesia
adalah negara yang plural di mana keragaman agama menjadi fenomena yang
sangat kuat. Pluralisme agama bisa menjadi kekayaan bagi bangsa ini. Namun
bisa juga pluralisme itu menjadi sumber konflik. Hal ini tergantung dari
masyarakat Indonesia sendiri. Secara khusus tergantung dari generasi muda
itu. Kalau orang muda Indonesia dihantui oleh pikiran yang kolot lagi
diskriminatif, intoleran maka, Negara ini bisa hancur. Sebaliknya jika orang
muda mampu menjadi agen pembawa damai, maka negara ini memiliki
harapan akan menjadi bangsa yang besar.
Para Putra Lentera Menyoal Dirinya dan Indonesia
229
Dalam konteks Indonesia, orang muda harus diberdayakan dengan
dilibatkan dalam dialog antar agama. Dialog bisa dilakukan dengan empat
jalan yakni dialog kehidupan, dialog karya, dialog teologis dan dialog iman.
Selain menjalankan dialog, hal ini juga harus dilakukan dengan etika yang
baik. Bagi orang Indonesia, etika harus didasarkan pada Pancasila.
Namun dalam konteks lokal, orang muda harus mampu juga menemukan
kebijakan lokal di dalam komunitasnya masing-masing agar dialognya sesuai
dengan nilai dan falsafah kehidupan lokal. Nilai-nilai adat setempat perlu
dikembangkan menjadi dasar dalam dialog orang muda lintas agama. Dengan
ini dialog semakin baik dan bermutu.
Daftar Pustaka
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar, Masalah-masalah pokok-pokok filsafat
moral, Yogyakarta: PT Kanisius (anggota IKAPI), 1985.
Martin Chen dan Charles Suwendi, Iman, Budaya dan Pergumulan Sosial,
Jakarta: penerbit OBOR (angggota IKAPI), 2012.
Palito Media, UUD RI 1945 Amandemen disertai penjelasan bagian-bagian
yang diamandemen serta proses peubahannya secara lengkap.
Poespoprodjo W. Logika Scientifika, pengantar dialektika dan ilmu, Bandung:
CV. Pustaka Setia (anggota IKAPI cabang Jawa Barat), 2015.
230
Kaum Muda dan Dialog Agama dalam Konteks Manggarai – Flores
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________