Academia.eduAcademia.edu

C0D020001 Daniel Tugas Makalah Konsep Biaya Dalam Akuntansi Pajak

TUGAS MATAKULIAH AKUNTANSI PERPAJAKAN DOSEN : Dr. Wirmie Eka Putra, S.E., M.Si., CIQnR, CSRS. Asmadi, S.E., BKP TUGAS INDIVIDU MAKALAH DENGAN JUDUL “KONSEP BIAYA DALAM AKUNTANSI PAJAK” DISUSUN OLEH : Daniel (C0D020001) PROGRAM STUDI DIPLOMA III PERPAJAKAN FAKULTAS EKONOMI & BISNIS UNIVERSITAS JAMBI 2020 KATA PENGANTAR Puji dan syukur atas hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan karuniaNya penulis dapat diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah dengan judul “Konsep Biaya Dalam Akuntansi Pajak”. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Akuntansi Perpajakan yang diampu oleh dosen Dr. Wirmie Eka Putra, S.E., M.Si., CIQnR, CSRS dan Asmadi, S.E., BKP. Makalah yang dibuat penulis bersumber dari buku dan artikel online yang berkaitan tentang Akuntansi Perpajakan, tak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada dosen pengajar dan rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat terselesainya makalah ini. Penulis berharap dari makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan kepada pembaca mengenai “Konsep Biaya Dalam Akuntansi Pajak”. Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka jika ada kritik dan saran dari pembaca terhadap makalah ini sangat berguna bagi penulis untuk perbaikan menuju kearah yang lebih baik lagi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Didasarkan pada pandangan bahwa Undang-Undang Pajak Penghasilan menganut pemajakan yang berbasis neto (net basis of taxation). Basis tersebut berarti pengenaan pajak didasarkan pada penghasilan bruto (gross income) dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran dan pengurangan lainnya yang diperkenankan oleh Undang-Undang. Secara komersial sebagaimana diatur dalam SAK bahwa dalam laporan laba rugi biaya diakui apabila terjadi penurunan manfaat ekonomis pada masa mendatang sehubungan dengan penurunan aset atau peningkatan kewajiban yang dapat diukur dengan modal. Alternatif lainnya, biaya juga diakui dengan mendasarkan pada analisis hubungan antara biaya yang timbul dan penghasilan tertentu yang diperoleh. Sehubungan dengan terdapat beberapa perbedaan perlakuan yang sering menimbulkan koreksi biaya. Pada kesempatan kali ini, akan disampaikan bagaimana praktik Akuntansi Komersial dalam membahas biaya sekaligus dikaitkan dengan Akuntansi Pajaknya serta teknik mengompensasikan kerugian yang menurut Undang-Undang Perpajakan memang diperkenankan. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa itu biaya menurut Undang-Undnag Perpajakan ? 2. Apa saja biaya yang tidak boleh dibebankan ? 3. Bagaimana klasifikasi biaya sesuai aturan pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan ? 4. Bagaimana bentuk dari kompensasi kerugian ? 1.3 Tujuan Penulisan 1. Mengenai pengertian biaya menurut Undang-Undang Perpajakan. 2. Mengetahui biaya-biaya yang tidak boleh dibebankan. 3. Mengetahui klasifikasi biaya yang sesuai dengan aturan pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan. 4. mengetahui bentuk dari kompensansi kerugian yang diperkenankan oleh Undang-Undang. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Biaya Menurut Undang-Undang Perpajakan Saat pengukuran biaya dalam ketentuan perpajakan pada umumnya disesuaikan dengan cara pencatatan yang dipakai dalam pembukuan perusahaan apakah metode kas (Cash Method) atau metode akrual (Accrual Method). Apabila menggunakan metode kas maka biaya diakui pada saat pembayaran. Sedangkan bagi perusahaan yang menggunakan metode akrual, maka biaya diakui pada saat terutangnya tanpa memperhatikan pembayaran. Dalam hal pembebanan biaya ini dilakukan pengaitan (matching) dengan penghasilan yang menggunakan 3 pendekatan, yaitu : a. Sebab akibat (Kausalitas) Pada pendekatan sebab akibat ini mengaitkan biaya ini secara langsung dengan penghasilan. Pengakuan biaya sebagai beban dalam periode diakuinya penghasilan. Contoh konkret yaitu persediaan sebagai penyebab dari hasil penjualan (penghasilan pada masa mendatang, diakuinya sebagai biaya alokasi harga pokok pada saat persediaan tersebut dijual). b. Alokasi sistematis dan rasional Pada pendekatan ini tidak mengaitkan secara langsung biaya dengan penghasilan, tetapi biaya dialokasikan secara sistematis dan rasional dengan penghasilan atas dasar masa manfaat. Contoh konkret terletak pada aset tetap, alokasi biayanya segera pada tahun tersebut sebagai pengurang terhadap penghasilan atau dilakukan penundaan atau dikurangkan dengan penghasilan di masa mendatang melalui alokasi penyusutan dan amortisasi. c. Pengakuan segera Pendekatan pengakuan segera ini yaitu terhadap biaya yang dapat dikaitkan dengan penghasilan melalui pendekatan kesatu atau pendekatan kedua akan dibebakan segera terhadap penghasilan pada tahun pengeluaran. Sebagai contoh konkret yaitu biaya pendirian, biaya emisi, dan lain sebagainya. Untuk tujuan perpajakan, yaitu atas dasar pertimbangan penerimaan dan pengaruh sosial ekonomi, tidak seluruh biaya dapat dikurangkan terhadap penghasilan sehingga apabila dibandingkan, komponen biaya menurut Akuntansi Komersial dapat dikoreksi yang mempengaruhi penghasilan. Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap dibagi dalam 2 golongan, yaitu : a. Beban/biaya yang mempunyai masa manfaat kurang dari 1 tahun. Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya. b. Beban/biaya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun. Pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan/amortisasi. Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak dibedakan menjadi : a. Pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya (deductible expense) Pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah pengeluaran yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran/selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. b. Pengeluaran yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya (non-deductible expense) Pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto/tidak dapat dibebankan sebagai biaya adalah pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak/pengeluaran yang dilakukan tidak dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagan yang baik. Oleh karena itu, pengeluaran yang melampaui batas kewajaran dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka pengeluaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Pasal 6 Undang-Undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi : a. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya yang berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan biaya pengolahan limbah, premi asuransi, dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan. b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh aset berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun. Terhadap pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh aset berwujud dan tidak berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun, dilakukan pembebanan selama masa manfaatnya melalui penyusutan untuk aset tidak berwujud. Sedangkan terhadap pengeluaran sebagai pembayaran di muka seperti pembayaran sewa di muka untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan melalui alokasi sesuai masa manfaatnya. c. Iuran kepada dana pensiun yang telah tegas dibatasi yaitu “yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan”. Oleh karena itu, terhadap iuran dana pensiun yang pembayarannya kepada dana pensiun dimana pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak diperkenankan untuk dibebakan sebagai biaya. d. Kerugian karena penjualan/pengalihan aset yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan/yang dimiliki untuk mengdapatkan,menagih dan memelihara penghasilan. Sering terjadi bahwa penjualan/pengalihan aset yang menurut tujuannya semula tidak dimaksudkan dijual/dialihkan kepada konsumen, namun untuk dimiliki dan digunakan dalam perusahaan/dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Apabila terjadi kerugian atas transaksi penjualan/pengalihan seperti itu, maka kerugian tersebut boleh dibebankan sebagai biaya. Kerugian karena penjualan/pengalihan aset yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, tentu tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. e. Kerugian selisih kurs mata uang asing. Kerugian selisih kurs mata uang asing ini diakibatkan adanya fluktuasi kurs sehari-hari, terutama dalam kondisis krisis moneter. Pembebanan selisih kurs dilakukan berdasarkan sistem pembukuan perusahaan yang dianut dengan syarat taat asas (konsisten) sesuai SAK yang berlaku di Indonesia. Kemungkinan dalam melakukan pembukuan, WP mendasarkan pada kurs tetap, maka pembebanan kerugian selisih kurs dilakukan pada saat realisasi perkiraan mata uang tersebut. Sebaliknya, apabila menggunakan kurs tengah BI/kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir akhir tahun, maka pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs tengah BI/kurs pad akhir tahun. Kerugian selisih kurs dibukukan dalam perkiraan sementara di neraca dan pembebanan secara bertahap sesuai realisasi mata uang tersebut. f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia. Pengeluaran perusahaan untuk penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi/sistem baru bagi pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan. Dengan diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya inilah diharapkan lebih meningkatkan masalah penelitian dan pengembangan IPTEK agar proses alih teknologi dapat dipercepat. g. Biaya beasiswa, magang dan pelatihan. Biaya-biaya ini lebih ditekankan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Oleh karenanya biaya beasiswa yang diberikan kepada pelajar, mahasiswa, dan pihak lain magang, dan pelatihan diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya dengan tetap memperhatikan kewajaran dan kepentingan perusahaan. h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat : 1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial. 2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak. 3. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri/instansi pemerintah yang menangani piutang negara/adanya Perjanjian Tertulis mengenai Penghapusan Piutang/Pembebasan Utang antara kreditor dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum/khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu. 4. Syarat bagaimana dimaksud pada huruf “c” tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf “k” Undang-Undang Pajak Penghasilan yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan/berdasarkan peraturan Menteri Keuangan. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya dengan syarat Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial dan telah dilakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal/terakhir. Pengertian penerbitan umum/khusus bukan berarti berskala nasional tetapi dapat pula penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya. i. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintahan. j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. k. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. l. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah. 2.2 Biaya Yang Tidak Boleh Dibebankan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur yaitu untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap tidak boleh dikurangkan, yaitu sebagai : a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. b. Biaya yang dibebankan/dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota. c. Pembentukan/pemumpukan dana cadangan, kecuali cadangan piutang tidak tertagih untuk usaha bank dan sewa dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syaratsyaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan abgi Wajib Pajak yang bersangkutan. e. Penggantian/imbalan sehubungan dengan pekerjaan/jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian/imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham/kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan. g. Harta yang dihibahkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan kepada badan keagamaan/badan pendidikan/badan sosial/pengusaha kecil (termasuk operasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan) serta bantuan/sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat/lembaga amil zakat yang dibentuk/disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak. h. Pajak Penghasilan yang dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Dalam penentuan tarif pajak terdapat teori yang dikenal dengan “Rate of tax reckoned on a tax-inclusive basis” yang berarti tarif pajak diterapkan atas penghasilan termasuk pajak itu sendiri. i. Biaya yang dibebankan/dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak/orang yang menjadi tanggungannya. Dalam praktik Akuntansi Komersial dikenal bahwa perlu dibedakan antara pengeluaran untuk memperoleh penghasilan (business expenditure) dengan pengeluaran yang dapat dikategorikan sebagai business expenditure yang diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya. Untuk kepentingan perpajakan karena bukan untuk memperoleh penghasilan tetapi konsumsi atas penghasilan, dan atas dasar pertimbangan mengedepankan hak negara untuk kepentingan pbulik, maka pengeluaran untuk kepentingan pribadi/yang menjadi tanggungan Wajib Pajak tidak diperkenankan dibebankan sebagai biaya. j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma/perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham. Dalam perpajakan anggota persekutuan firma/persekutuan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlukan sebagai satu kesatuan pemajakan (nontransgarency). Oleh karena perlakuannya bukan karyawan, imbalan berupa gaji tidak ada dan otomatis tidak diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya. k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan serta sanksi pidana. Dari sisi Akuntansi Pajak, tidak diperkenankan adanya pengeluaran-pengeluaran sebagai akibat sanksi administrasi perpajakn itu dibebankan sebagi biaya. Oleh karena sanski itu muncul akibat kesalahan. Wajib Pajak otomatis sanksi tersebut menjadi tanggung jawab Wajib Pajak. Ketentuan ini diberlakukan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak serta Wajib Pajak dapat bekerja lebih efisien. 2.3 Klasifikasi Biaya Sesuai Aturan Pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan a. Biaya Program Jamsostek Dalam program Jamsostek berkaitan dengan pembayaran premi/iuran : 1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM). Besarnya premi yang dibayarkan oleh perusahaan dapat dibebankan dan bagi karyawan sebagai penghasilan sehingga sebagai objek PPh Pasal 21. Sedangkan karyawan/keluarganya penerima penggantian pengobatan/santunan yang diterima keluarga bukan objek PPh Pasal 21. 2. Jaminan Hari Tua (JHT). Besarnya premi yang dibayar perusahaan dapat dibebankan sebagai biaya/pengurang penghasilan bruto dan bagi karyawan bukan merupakan objek PPh Pasal 21. Karyawan yang menerima pesangon merupakan penghasilan objek PPh Pasal 21 yang pengenaannya bersifat final. Tata cara pemotongannya memperhatikan Keputusan Menteri Keuangan No. 112/KMK.03/2001. b. Biaya Pengobatan Pembebanan biaya pengobatan ini perlu diperhatikan cara pembayarannya yaitu : a. Biaya pengobatan karyawan yang dibayar perusahaan langsung ke rumah sakit/dokter dan apotek, pembayaran tersebut sebagai biaya pemberian kenikmatan sehingga tidak boleh dibiayakan dan bukan objek PPh Pasal 21 bagi penerimanya. b. Biaya penggantian pengobatan, pemberian tunjangan pengobatan, uang pengobatan sebagai biaya yang dapat dikurangkan terhadap penghasilan bruto (deductible expenses) dan objek PPh Pasal 21. c. Biaya rekreasi dan olahraga, biaya ini dianggap sebagai kenikmatan sehingga tidak dapat dibebankan ke dalam deductible expense. d. Biaya perumahan tidak diperkenankan untuk dibebabkan tetapi dikecualikan apabila karyawan yang bersangkutan diberikan tunjangan sewa rumah. e. Biaya kendaraan dinas sebagai operasional yang tidak dibawa pulang, segala biaya yang melekat pada kendaraan seperti penyusutan, pemeliharaan dan lain-lain boleh dibebankan kepada perusahaan. Namun untuk kendaraan termasuk sedan yang digunakan karyawan tertentu karena jabatannya dan dibawa pulang oleh karyawan yang bersangkutan, pembebanannya diperkenankan hanya 50% yang mulai berlaku 18 April 2022 (Kep.220/PJ./2002). f. Telepon seluler karyawan mengikut Kep.220/Pj./2002 yang diberlakukan mulai 18 April 2002 terhadap telepon seluler yang dimiliki dan digunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan/pekerjaannya, pembebanan biaya yang diperkenankan adalah biaya penyusutan sebesar 50% dengan kelompok 1. Sedangkan untuk biaya pulsa, pembebanannya diperkenankan juga 50%. g. Sesuai Pasal 3 PP No. 138 Tahun 2000, yaitu Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan berdasarkan Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang PPN dan PPnBM dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, kecuali : 1. Pajak Masukan sesuai Pasal 9 ayat (8) huruf f dan huruf g Undang-Undang PPN dan PPnBM, sepanjang tidak dapat dibuktikan bahwa Pajak Masukan tersebut benar-benar telah dibayar. 2. Pajak Masukan berkenaan dengan pengeluaran yang tidak dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak sesuai Pasal 9 ayat (1) UndangUndang Pajak Penghasilan. h. Pajak Masukan (PP No. 138 Tahun 2000) diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) sehubungan dengan pengeluaran untuk memperoleh aset berwujud serta biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun sesuai Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang terlebih dahulu harus dikapitalisasi dengan pengeluaran tersebut dan dibebankan melalui penyusutan/amortisasi. i. Pasal 4 PP No. 138 Tahun 2000 yaitu pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap termasuk : 1. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak. 2. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final. 3. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan Norma Perhitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Norma Perhitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan. 4. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali pajak atas penghasilan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan tetapi tidak termasuk dividen sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam perhitungan dasar untuk pemotongan pajak. 5. Kerugian dari harta/utang yang tidak dimiliki dan tidak digunakan dalam usaha/kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak. j. Pemberian natura/kenikmatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan dapat dibebankan (deducitble) dan bukan merupakan objek PPh Pasal 21. Sesuai Keputusan Menteri Keuangan No. 446/KMK.04/2000 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep. 213/PJ/2001 perlu diperhatikan : Daerah terpencil Harus mendapatkan persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak, dalam kondisi : 1. Tempat tinggal termasuk perumahan bagi pegawai dan keluarganya, sepanjang di lokasi kerja tidak ada tempat tinggal yang dapat disewa. 2. Pelayanan kesehatan, sepanjang di lokasi kerja tersebut tidak ada sarana kesehatan. 3. Pendidikan bagi pegawai dan keluarganya, sepanjang di lokasi kerja tersebut tidak ada sarana pendidikan yang setara. 4. Pengangkutan bagi pegawai di lokasi kerja, sedangkan untuk keluarga terbatas pada kedatangan pertama dan kepergian pegawai karena terhentinya hubungan kerja. 5. Olahrag bagi pegawai dan keluarganya tidak termasuk boling, golf atau pacuan kuda sepanjang tidak tersedia sarana dimaksud. k. Biaya entertainment, representasi, jamuan tamu dan sejenisnya sesuai SE27/PJ.22/1986 tidak diperkenankan untuk dibebankan, tetapi apabila dibebankan disyaratkan adanya daftar normative (bukti) yang dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh. l. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak sepanjang memenuhi syarat yang memenuhi ketentuan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; berkaitan langsung dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan objek yang dikenakan Pajak Penghasilan tidak bersifat final dan/atau tidak berdasarkan norma perhitungan penghasilan neto; dan tidak termasuk sanksi berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan. 2.4 Kompensasi Kerugian Terdapat 2 macam kompensasi kerugian, yaitu : a. Kompensasi Horizontal Kompensasi ini diterapkan apabila Wajib Pajak dalam tahun pajak yang bersamaan memperhitungkan kompensasinya antara penghasilan suatu bidang usaha dengan kerugian dan bidang usaha lainnya. b. Kompensasi Vertikal Dalam kompensasi vertikal ini dilakukan yaitu dengan jalan Wajib Pajak mengompensasikan penghasilan suatu tahun pajak dengan kerugian tahun sebelumnya. Undang-Undang Pajak Penghasilan menganut kompensasi vertikal. Apabila penghasilan bruto dari Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap setekah dilakukan pengurangan-pengurangan sesuai dengan pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan seperti di atas didapat kerugian, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto/laba fiskal selama 5 tahun berturut-turut dimulai sejak tahun pajak berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Deductible expense yang dimana ini merupakan sebuah kebijakan atas biaya yang harus dikurangkan dengan cara menagih, mendapatkan dan memelihara penghasilan (3M). Dengan berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dikatakan bahwa deductible expense merupakan suatu kebijakan biaya yang telah telah diatur untuk mengurangi penghasilan kena pajak/penghasilan bruto dengan tujuan mendapatkan, menagih, serta memelihara penghasilan pajak. Deductible expense merupakan kebijakan yang berlaku Wajib Pajak dalam negeri dalam Bentuk Usaha Tetap. Biaya ini pula yang akan dikurangkan Wajib Pajak untuk dapat mengetahui besaran penghasilan neto sebagai dasar dari perhitungan Pajak Penghasilan (PPh). Non Deductible expense adalah biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dan tidak menjadi koreksi fiksal. Dengan demikian biaya pengurang penghasilan bruto akan disebut sebagai positif list, sebaliknya jika biaya yang tidak dapat menjadi pengurang penghasilan bruto disebut negative list. Pada non deductible expense adalah suatu biaya yang menjadi pengurangan pajak dan sabagai koreksi angka negative pada SPT tahunan perusahaan. Terdapat 2 macam kompensasi kerugian, yaitu : a. Kompensasi Horizontal Kompensasi ini diterapkan apabila Wajib Pajak dalam tahun pajak yang bersamaan memperhitungkan kompensasinya antara penghasilan suatu bidang usaha dengan kerugian dan bidang usaha lainnya. b. Kompensasi Vertikal Dalam kompensasi vertikal ini dilakukan yaitu dengan jalan Wajib Pajak mengompensasikan penghasilan suatu tahun pajak dengan kerugian tahun sebelumnya. Undang-Undang Pajak Penghasilan menganut kompensasi vertikal. DAFTAR PUSTAKA https://www.academia.edu/62137037/MAKALAH_KONSEP_DAN_PENCATATAN_A KUNTANSI_PAJAK_DARI_HARGA_POKOK_PENJUALAN_DAN_BEBAN_OPER ASIONAL Waluyo. 20014. Akuntansi Pajak. Jakarta: Salemba Empat.