TINDAK PIDANA KHUSUS PENCUCIAN UANG
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Tindak Pidana Khusus
Dosen Pengampu : Aryo Fadlian, S.H., M.H.
Di susun oleh
Annita Febriani Kusumah Putri 1910631010188
Selvy Cahya Safitri 1910631010053
Muhamad Rizki Ananda 1910631010241
Faiz Robiul Ahad 1910631010208
Fathurrahman Naufal 1910631010214
Muhammad Baharuddin Khalaf 1910631010037
Kelas 3 G
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
Jln. HS. Ronggo Waluyo Desa Puseurjaya Kecamatan Teluk Jambe Timur Kabupaten Karawang Jawa Barat
2019
TINDAK PIDANA KHUSUS PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)
1. Definisi Tindak Pidana Pencucian Uang
Sampai saat ini, tidak atau belum ada definisi yang universal dan komprehensif mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana pencucian uang atau money laundering, Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini menggarisbawahi, dewasa ini istilah money laundering sudah lazirn digunakan untuk menggambarkan usaha-usaha yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum untuk mekgalisasi uang "kotor", yang diperoleh dari hasil tindak pidana (Sjahdeini: 2004). Dalam Black's Law Dictionary karya Henry Campbell Black (1990), money laundering didefinisikan sebagai berikut. “Term used to describe investment or other transfer of money flowing from racketeering, drug transaction, and other illegal sources into legal channels so that its original source cannot be traced."
Ada beberapa pengertian lain dari money laundering yang penulis himpun dari berbagai sumber. Money laundering, menurut Sarah N. Welling (1992) :
"Money laundering is the process by which one conceals the existence, illegal source, or illegal application of income, and then disguises that income to make it appear legitimate".
(Pencucian uang adalah proses di mana seseorang menyembunyikan keberadaan sumber (pendapatan) ilegal atau aplikasi pendapatan ilegal dan kemudian menyamarkan sumber (pendapatan) tersebut agar terlihat seperti sesuai dengan aturan atau hukum yang berlaku).
Dalam definisi David Fraser (1992):
"Money laundering is quite simply the process through which 'dirty’ money (proceeds of crime), is washed through ‘clean’ or legitimate sources and enterprises so that the ‘bad guys’ may more safely enjoy their ill' gotten gains".
(Pencucian uang kurang lebih adalah proses di mana uang 'kotor' (hasil dari tindak pidana) dicuci menjadi "bersih" atau uang kotor yang dibersihkan melalui suatu sumber hukum dan perusahaan yang legal sehingga 'para penjahat' dapat dengan aman menikmati hasil jerih payah tindak pidana mereka).
Departemen Perpajakan Amerika Serikat (1960) mendefinisikan pencucian uang sebagai berikut.
"Pencucian uang adalah sebuah kegiatan memproses uang, yang secara akal sehat dlpercayai berasal dari tindakan pidana, yang dialihkan, ditukarkan, diganti, atau disatukan dengan dana yang sah, dengan tujuan untuk menutupi ataupun mengaburkan asal sumber, disposisi, kepemilikan, pergerakan, ataupun kepemilikan dari proses tersebut. Tujuan dari proses pencucian uang adalah membuat dana yang berasal dari atau diasosiasikan dengan, kegiatan yang tidak jelas menjadi sah."
Mengacu pada sejumlah definisi tindak pidana pencucian uang di atas teriihat jelas, walaupun terdapat persamaan tentang unsur adanya uang hasil dari tindak pidana, unsur-unsur lainnya dari tindak pidana pencucian uang memiliki perbedaan.
Dengan demikian secara umum, tindak pidana pencucian uang bisa didefinisikan secara beragam pula. Misalnya, tindak pidana pencucian uang sebagai proses di mana seseorang menutup-nutupi keberadaan uang ilegal, sumber uang yang ilegal, ataupun aplikasi ilegal dari uang, ataupun menutup-nutupi pendapatan agar pendapatan tersebut terlihat bersih atau sah menurut hukum dan tidak melanggar hukum.
Definisi lain, tindak pidana pencucian uang adalah tindakan memproses sejumlah besar uang ilegal hasil tindak pidana menjadi dana yang kelihatannya bersih atau sah menurut hukum, dengan menggunakan metode yang canggih, kreatif, dan kompleks. Atau, tindak pidana pencucian uang sebagai suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang atau harta kekayaan, yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah.
Apapun definisinya, pada hakikatnya pencucian uang menunjuk pada upaya pelaku untuk mengurangi ataupun menghilangkan risiko ditangkap ataupun uang yang dimilikinya disita sehingga tujuan akhir dari kegiatan ilegal itu yakni memperoleh keuntungan, mengeluarkan serta mengkonsumsi uang tersebut dapat terlaksana, tanpa terjerat oleh aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian menyimpan uang hasil kegiatan ilegal adalah sama dengan mencuci uang tersebut, walaupun si pelaku tindak pidana sendiri hanya menyimpan uang tersebut dan tidak mengeluarkan uang tersebut karena belum "dicuci".
2. Modus Tindak Pidana Pencucian Uang
Jeffrey Robinson, dalam bukunya the Laundryman, Simon dan Schuster 1994, menuliskan agar asal-usul uang yang 'dicuci' tidak dapat diketahui atau dilacak Oleh penegak hukum, para pelaku (seseorang dan/atau badan hukum) umumnya memakai tiga tahap pencucian uang sebagai berikut.
Penempatan Uang (Placement)
Upaya menempatkan dana tunai yang dihasilkan dari suatu pidana dalam bentuk yang lebih mudah untuk dipindahkan dan tidak dicurigai untuk selanjutnya diproses ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan. sehingga jejak seputar asal-usul dana tersebut dapat dihilangkan.
Pada tahap placement ini, pelaku tindak pidana pencucian uang memasukkan dana ilegalnya ke rekening perusahaan fiktif seperti perusahaan bidang perhiasan batu berharga, atau mengubah dana menjadi monetary instruments seperti traveler's cheques, money order, dan negotiable instruments lainnya kemudian menagih uang itu serta mendepositokannya ke dalam rekening-rekening perbankan (bank accounts) tanpa diketahui.
Pelapisan Uang (Layering)
Jumlah dana yang sangat besar dan ditempatkan pada suatu bank tentu akan menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan pihak otoritas moneter negara bersangkutan akan asal-usulnya. Karena itu, pelaku melakukan pelapisan (layering) atau yang juga disehut heavy soaping melalui beberapa tahap transaksl keuangan untuk memutuskan/memisahkan hubungan antara dana yang tersimpan di bank dan tindak pldana yang menjadi sumber dana tersebut. Tujuannya, untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana.
Metode pelapisan uang yang paling umum digunakan adalah dengan mengirimkan dana ke negara yang menjadi 'surga' bagi dunia perbankan, seperti Cayman Islands, Panama, Bahama, Netherlands Antilles. Pada saat dana tersebut keluar dari negara tempat tindak pidana, didukung kuatnya tingkat kerahasiaan bank, asal dari dana sulit dilacak Untuk menambah kompleksitas, dana sebelumnya dialihkan kepada perusahaan fiktif, atau dengan dalih utang ataupun pinjaman.
Adanya jumlah uang yang berbeda-beda dengan frekuensi transfer dana yang tinggi semakin mempersulit proses pelacakan. Perpindahan dana tersebut tidak dilakukan satu kali saja melainkan berkali-kali dengan tujuan mengacaukan alur transaksi, sehingga tidak dapat dikejar ataupun diikuti alurnya. Setidaknya, dalam proses pelapisan uang, ada dua atau tiga jurisdiksi negara yang dilibatkan.
Penyatuan Uang (Integration/Repatriation/Spin Dry)
Upaya menggunakan kekayaan yang telah tampak sah secara hukum, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, untuk membiayai kegiatan-kegiatan bisnis yang sah, atau bahkan untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana.
Penyatuan uang melibatkan pemindahan sejumlah dana yang telah melewati proses pelapisan yang teliti dan kemudian disatukan dengan dana yang berasal dari kegiatan legal ke dalam arus perputaran dana global yang begitu besar. Mengingat adanya berbagai instrumen keuangan, seperti letters of credits, pinjaman, asuransi, bill of lading, bank notes, dan surat berharga lainnya, keberadaan awal dari dana tidak terdeteksi. (Aziz Syamsuchin: 2007).
3. Pengaturan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang
Tindak pidana pencucian uang di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya ditulis UU No. 8 Tahun 2010).
UU No. 8 Tahun 2010 diundangkan pada 22 Oktober 2010 menggantikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tindak Pidana Pencucian Uang, yang sebelumnya juga telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang dinilai tidak sesuai Iagi dengan perkembangan kebutuhan penegakan hukum, praktik, dan standar internasional.
Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010 Pasal 1 ayat (1), yang dimaksud dengan tindak pidana pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
Adapun yang dimaksud dengan hasil tindak pidana pencucian uang adalah harta kekayaan yang diperoleh dari berbagai tindak pidana asal (predicate offense):
a. tindak pidana korupsi;
b. tindak pidana penyuapan;
c. tindak pidana narkotika;
d. tindak pidana psikotropika;
e. tindak pidana penyelundupan tenaga kerja;
f. tindak pidana penyelundupan migran;
g. tindak pidana di bidang perbankan;
h. tindak pidana di bidang pasar modal;
i. tindak pidana di bldang perasuransian;
j. tindak pidana kepabeanan;
k. tindak pidana cukai;
l. tindak pidana perdagangan orang;
m. tindak pidana perdagangan senjata gelap;
n. tindak pidana terorisme.
o. tindak pidana penculikan;
p. tindak pidana pencurian;
q. tindak pidana penggelapan;
r. tindak pidana penipuan:
s. tindak pidana pemalsuan uang;
t. tindak pidana perjudian;
u. tindak Pidana prostitusi;
v. tindak pidana di bldang perpajakan;
w. tindak pidana di bidang kehutanan;
x. tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
y. tindak pidana di bidang kelautan dan perikanan atau
z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih;
yang dilakukan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau di luar wilayah NKRI, dan tindak-tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. (Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010).
4. Unsur – Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang
Berdasarkan ketentuan pasal 3,4,5,6,7,8,9, dan 10 UU No. 8 Tahun 2010 yang termasuk kedalam unsur-unsur tindak pidana pencucian uang adalah pertama : setiap orang baik orang preseorangan maupun korporasi dan personil pengendali korporasi.
Kedua, menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibah, menitipkan, membawa keluar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak-tindak pidana sebagaimana ditentukan dalam pasal 2 ayat 1 UU No. 8 Tahun 2010.
Ketiga, menerima atau menguasai penempatan pentransferan pembayaran hibah sumbangan penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya patut diduganya merupakan hasil tinda-tindak pidana sebagimana ditentukan dalam pasal 2 ayat 1 UU No. 8 Tahun 2010.
Keempat, Bertujuan menyembunyikan atau menyamakan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak-tindak pidana sebagaimana ditentukan dalam pasal 2 ayat (1) UU No.8 Tahunn 2010.
Adapun sanksi hukum yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana pencucian uang berupa pidana penjara dan pidana denda (diatur dalam ketentuan pasal 3,pasal 4, pasal 5 ayat (1) ,pasal 6 ayat (1) dan (2) , pasal 7 ayat (1) dan (2), pasal 8 ayat (1),pasal 9 ayat (1) dan (2) , dan pasal 10 UU No.8 tahun 2010.
Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 berbunyi :
“setiap orang yang menempatkan, mentransfer,mengalihkan, membelanjakan, membayar, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal ususl harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 tahun (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 4 UU No.8 Tahun 2010 berbunyi :
“Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi ,peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (Lima miliar rupiah) “
Pasal 5 UU No.8 Tahun 2010 berbunyi :
“Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, penstransferan ,pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaiamana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu miliar rupiah)”
Pasal 6 UU ayat (1) No.8 Tahun 2010 berbunyi :
“Dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, 4, dan pasal 5 dilakukan oleh korporasi pidana dijatuhkan terhadap Korporasi/Personil Pengendali Korporasi”
Pasal 6 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2010 berbunyi :
“Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana pencucian uang :
Dilakukan atau diperintahkan oleh personil Pengendali Korporasi
Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi
Dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah dan
Dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.”
Pasal 7 ayat (1) UU No.8 Tahun 2010 berbunyi :
“Pidana Pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah Pidana denda paling banyak Rp.100.000.000.000,00 (Seratus miliar rupiah).”
Pasal 7 ayat (2) UU No.8 Tahun 2010 berbunyi :
“Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa :
Pengumuman putusan hakim
Pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi
Pencabutan izin usaha
Pembubaran atau pelarangan Korporasi
Perampasan asset Korporasi untuk negara
Pengambilalihan Korporasi oleh Negara.”
Pasal 8 UU No. 8 tahun 2010 berbunyi :
“Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan. “
Pasal 9 ayat (1) UU no.8 Tahun 2010 berbunyi :
“Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan.”
Pasal 9 ayat (2) UU no.8 Tahun 2010 berbunyi :
“Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.”
Pasal 10 UU No.8 Tahun 2010 Berbunyi :
“Setiap Orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau Permufakatan Jahat untuk melakukan tindak pidana Pencucian Uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.”
5. Contoh Kasus Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang
Pencucian Uang Anas Urbaningrum Anas Urbaningrum lahir di Blitar, 47 tahun silam. Dulunya ia adalah Ketua Umum DPP Partai Demokrat, sejak 23 Mei 2010, hingga resmi diberhentikan pada 30 Maret 2013. Sebelumnya, ia adalah Ketua Fraksi Demokrat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Anas terpilih menjadi anggota DPR RI pada Pemilu 2009 dari Daerah Pemilihan Jawa Timur VI (Kota Blitar, Kabupaten Blitar, Kota Kediri, Kabupaten Kediri dan Kabupaten Tulungagung) dengan meraih suara terbanyak.
Sejak ia menjabat sebagai anggota DPR, banyak hal yang ia lakukan. Bukan karena prestasinya di DPR, tetapi suatu tindakan yang mengarah pada perbuatan melawan hukum. Sejak terpilih menjadi ketua partai, ia mengundurkan diri dari jabatannya di DPR. Ia ingin fokus membesarkan partainya, tetapi hanya dua tahun berselang semua rencananya buyar dan terhenti seketika. Anas ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 22 Februari 2012. Ia didakwa terjerat kasus korupsi sekaligus kejahatan pencucian uang, dengan tuntutan 15 tahun penjara, denda Rp500 juta, uang pengganti sebesar Rp 94,18 miliar dan USD 5,26 juta, dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan politik.
Sejak ia menjabat sebagai anggota DPR RI, ada upaya dengan sengaja menyembunyikan atau menyamarkan hasil kekayaan yang diperoleh dari perbuatan korupsi. Proyek-proyek pemerintah diatur sedemikian rupa sehingga terjadi mark-up, penyuapan, penerimaan gratifikasi, dan penyalahgunaan wewenang, sehingga berimbas pada gagalnya pelaksanaan beberapa proyek yang bernilai puluhan bahkan ratusan milyar di Kemenpora, Kemendiknas dan BUMN.
Tahun 2008, ia bergabung dengan Permai Group bersama M. Nazaruddin untuk menggarap proyek-proyek pemerintah. Lalu pada tahun 2009, setelah Anas menjadi anggota DPR, ia juga membentuk kantong-kantong dana yang bersumber dari proyek pemerintah dan BUMN. Ia dibantu oleh Yulianis dan Mindo Rosalina Manulang untuk proyek di Kemendiknas dan Kemenpora, Munadi Herlambang untuk menggarap proyek pemerintah bidang Konstruksi dan BUMN, dan Machfud Suroso untuk menggarap proyek di Universitas dan juga proyek Hambalang. Selain itu, ia juga bersekongkol dengan beberapa rekannya di partai Demokrat diantaranya Mahyudi (Ketua Komisi X DPR RI) dan Angelina Sondakh (Koordinator Banggar) untuk memuluskan rencananya.
Atas berbagai aksi dan manuvernya itu, Anas menerima kekayaan antara lain:
Penerimaan gratifikasi berupa uang sebesar Rp 2 milyar dari PT Adhi Karya;
Penerimaan gratifikasi berupa uang dari Nazaruddin (Permai Group) sebesar Rp 84,516 milyar dan USD 36 ribu untuk keperluan persiapan pencalonan ketua umum Partai Demokrat;
Penerimaan gratifikasi berupa uang dari Nazaruddin (Permai Group) sebesar Rp 30 milyar dan USD 5,2 juta untuk keperluan pelaksanaan pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat;
Penerimaan gratifikasi berupa 1 unit mobil Toyota Harrier seharga Rp 670 juta
Penerimaan gratifikasi lainnya senilai ratusan juta rupiah.
Jika ditotal, lebih dari Rp 117 miliar dan USD 5,5 juta (jika dirupiahkan sekitar Rp71,5 miliar) uang yang dikumpulkan Anas dari hasil korupsi proyek-proyek pemerintah, sekaligus merupakan bentuk kejahatan pencucian uang. Ia mengumpulkannya hanya dalam waktu beberapa bulan di tahun 2010.
KPK memberikan dakwaan berlapis kepada Anas, yakni dijerat dengan UU Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Dakwaan kesatu primer, Anas dijerat dengan Pasal 12 huruf-a jo Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. Lalu dakwaan subsidair kesatu, Anas dijerat dengan Pasal 11 jo Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Dakwaan subsidair kedua, Anas dijerat dengan Pasal 3 UU RI No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 65 ayat (1), yang berbunyi:
"Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)."
Dakwaan subsidair ketiga, Anas dijerat dengan Pasal 3 ayat (1) huruf c UU RI No. 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 tentang perubahan atas UU RI No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang berbunyi:
"Setiap orang yang dengan sengaja: (c) membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah)."
Mengacu pada pasal-pasal yang didakwakan kepada Anas, dan berdasar pada tuntutan yang diajukan KPK kepada Majelis Hakim, Mahkamah Agung kemudian menyatakan Anas bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. MA menjatuhkan vonis pidana penjara 14 (empat belas) tahun dikurangi masa tahanan, denda Rp5 miliar subsidair 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan kurungan, uang pengganti Rp57,59 miliar dan USD 5,26 juta subsidair 4 (empat) tahun penjara. Pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan politik.
Pada umumnya, pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar hartanya sulit ditelusuri dan mereka dapat dengan leluasa memanfaatkan harta kekayaan tersebut untuk kegiatan yang sah ataupun tidak sah. Oleh karena itu, untuk membuktikan asal-usul harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana tersebut hanya dapat melalui 3 cara, yaitu:
Dengan mengetahui dan meminta keterangan dari para saksi, ahli, dan menggali fakta dari alat bukti, surat dan petunjuk serta keterangan dari pelaku tindak pidana asal tentang asal usul harta kekayaan yang dimaksud; Dengan mendasarkan pada keterangan berupa pengakuan tersangka atau terdakwa atau menggunakan penjelasan pasal 5 ayat 1 tentang makna patut diduganya yaitu suatu kondisi yang memenuhi setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan atau tujuan pada saat terjadinya transaksi yang diketahuinya, yang mengisyaratkan adanya pelanggaran hukum; Menggunakan instrumen pasal 77 UU nomor 8 tahun 2010 tentang pembalikan beban pembuktian, yang berbunyi, "Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana."
Pengungkapan tersebut harus tertuang di dalam berkas acara pemeriksaan dengan ketentuan teknik pengungkapannya tidak bersifat self-incrimination bagi diri terdakwa. Selain itu, penyidik dalam mengumpulkan alat bukti di tingkat penyidikan atau pembuktian di tingkat penuntutan oleh penuntut umum, tidak ada kewajiban bagi penyidik untuk mencari alat bukti yang mendukung pembuktian atas seluruh unsur pidana asal, begitu pun bagi penuntut umum, cukup yang diungkap adalah bahwa harta kekayaan yang dimiliki oleh terdakwa yang memenuhi rumusan pasal 3, 4, dan 5 tersebut diketahuinya atau patut diduganya berasal dari tindak pidana (tidak perlu dibuktikan siapa pelaku tindak pidana asal tersebut).
DAFTAR PUSTAKA
Syamsuddin, Aziz. 2011. Tindak Pidana Khusus. Jakarta : Sinar Grafika