Academia.eduAcademia.edu

sejarah hukum islam islam

Tidak diragukan lagi bahwa politik Islam merupakan masalah yang subtil dan kontroversial untuk dikaji. Biasanya, titik tolak diskusi masalah ini adalah keunikan Islam yang tidak memisahkan antara yang sakral dan yang sekular, yang religius dan yang politis. Sementara itu realitas menunjukkan hal yang agak beda: dalam sejarah Islam, kepemimpinan temporer lebih mengutamakan tajamnya pedang daripada otoritas spiritual. Hubungan agama dan politik selalu menjadi topik pembicaraan menarik, baik oleh golongan yang berpegang kuat pada ajaran agama maupun oleh golongan yang berpandangan sekuler. Bagi umat Islam, muculnya topik pembicaraan tersebut berpangkal dari permasalahan: apakah kerasulan Muhammad saw mempunyai kaitan dengan masalah politik; atau apakah Islam merupakan agama yang erat dengan urusan politik, kenegaraan dan pemerintahan; dan apakah sistem dan bentuk pemerintahan, sekaligus prinsip-prinsipnya terdapat dalam Islam?

Bab I Pendahuluan Latar belakang Dan jika kita berpindah dan melihat realita kontemporer kaum muslimin, kita akan melihat sebuah kenyataan yang tentu saja sangat jauh berbeda dengan kondisi Islam pada masa-masa sebelumnya. Perbedaan ini terwujud sangat nyata dalam “kemenangan” kekuatan sekularisme dalam pentas kehidupan sehari-hari.Interaksi kaum muslimin sendiri pun sangat jauh berubah terhadap Islam. Setelah sebelumnya agama memiliki kekuatan yang nyaris sempurna terhadap perilaku individu dan masyarakat, kini hampir dapat dikatakan bahwa kekuatan peran agama nyaris tidak melewati batas individu saja kecuali jika ingin mengecualikan beberapa kalangan masyarakat Islam, seperti sebagian masyarakat yang ada di Jazirah Arab misalnya, yang itupun memiliki tingkat kepatuhan dan keterpengaruhan pada Islam yang tidak sama satu dengan yang lain. Meskipun sekularisme (pemisahan agama dengan negara) jelas merupakan ide yang asing bagi umat Islam, namun “anehnya” secara pemikiran dan praktek ia begitu melekat dan mewabah di tengah mereka. Dan itu sampai pada taraf membuat “keinginan untuk menerapkan Syariat Islam” menjelma menjadi tuduhan menakutkan yang kemudian dilemparkan kepada kaum muslimin oleh kaum muslimin sendiri dan yang menyedihkan bahwa sebagian kaum cendekiawannya berperan sangat besar dalam hal ini.Atas dasar situasi yang dilematis inilah terjadi perbedaan pandangan di kalangan kaum muslimin, terutama para ulama, du’at dan aktifisnya, dalam menentukan sikap mereka. Hukum Islam sebagai hukum positif di Indonesia sepanjang sejarah telah memberikan kontribusi yang positif terhadap permasalahan hukum kontemporer di Indonesia. Dalam berbagai term hukum oleh para pakar, maka dapat dipahami bahwa hukum itu merupakan aspek budaya. Atas dasar itu maka karakteristik Hukum itu sendiri selalu berubah sesuai dengan perubahan masyarakat, bahwa sumber utama hukum nasional adalah hukum Islam, dimana hukum Islam dapat menjadi baku, penyaring, filter dan rujukan terhadap hukum-hukum lainnya. Dalam kaitan itu, Ahmad Rafiq menyatakan bahwa hukum Islam adalah hukum positif umat Islam dan bersifat fleksibel. Karenanya dengan sifat fleksibelitas hukum Islam, secara empiris hukum Islam telah dapat merespon berbagai permasalahan hukum kontemporer di Indonesia. Dalam hal ini peranan hukum Islam sangat jelas, dan dibuktikan dengan berlakunya hukum fiqih, fatwa ulama, dan keputusan pengadilan. Wacana umat Islam dalam masalah-masalah politik secara menakjubkan menguat selama abad ke-20, walaupun, menurut Graham Fuller, "Islam politik masih berada dalam tahapan bayi." Atau bahkan Islam politik telah gagal, demikian Olivier Roy. Walaupun begitu, wacana politik Islam terus menguat hingga kini. Tidak diragukan lagi bahwa politik Islam merupakan masalah yang subtil dan kontroversial untuk dikaji. Biasanya, titik tolak diskusi masalah ini adalah keunikan Islam yang tidak memisahkan antara yang sakral dan yang sekular, yang religius dan yang politis. Sementara itu realitas menunjukkan hal yang agak beda: dalam sejarah Islam, kepemimpinan temporer lebih mengutamakan tajamnya pedang daripada otoritas spiritual. Hubungan agama dan politik selalu menjadi topik pembicaraan menarik, baik oleh golongan yang berpegang kuat pada ajaran agama maupun oleh golongan yang berpandangan sekuler. Bagi umat Islam, muculnya topik pembicaraan tersebut berpangkal dari permasalahan: apakah kerasulan Muhammad saw mempunyai kaitan dengan masalah politik; atau apakah Islam merupakan agama yang erat dengan urusan politik, kenegaraan dan pemerintahan; dan apakah sistem dan bentuk pemerintahan, sekaligus prinsip-prinsipnya terdapat dalam Islam? Rumusan Masalah Dari latar belakang diatas maka makalah ini untuk bertujuan untuk mengetahui bagaimana wacana politik kontemporer dalam hokum islam ??? Bab II Pembahasan Pengertian Politik Islam Secara umum telah banyak sekali pengertian tentang politik yang diberikan para sarjana politik.  Diantara pengertian-pengertian politik tersebut adalah sebagai berikut.      1.     Menurut Asad (1954), politik adalah menghimpun kekuatan; meningkatkan kualitas dan kuantitas kekuatan; mengawasi dan mengendalikan kekuatan; dan menggunakan kekuatan, untuk mencapai tujuan kekuasaan dalam negara dan institusi lainnya. 2.     Dalam pandangan Abdulgani, perjuangan politik bukan selalu “de kunst het mogelijke” tapi seringkali malahan "de kunst van onmogelijke" (Politik adalah seni tentang yang mungkin dan tidak mungkin). Sering pula politik diartikan "machtsvorming en machtsaanwending" (Politik adalah pembentukan dan penggunaan kekuatan). 3.     Bluntschli (1935) memandang  politik  sebagai "Politik is more an art a science and to do with the practical conduct or guidance of the state" (Politik lebih merupakan seni daripada ilmu tentang pelaksanaan tindakan dan pimpinan (praktis negara)).  4.     Isjwara (1967) Politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan; teknik menjalankan kekuasaan; masalah-masalah pelaksanaan dan kontrol kekuasaan;  atau pembentukan kekuasaan. . http://10109472.blog.unikom.ac.id/pengertian-politik.1rm Politik Islam di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah.Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama dikenal istilah siyasah syar’iyyah. Alsiyasah juga berarti mengatur, mengendalikan,mengurus,atau membuat keputusan,mengatur kaum, memerintah, dan memimpinya. Secara tersirat dalam pengertian siyasah terkandung dua dimensi yang berkaitan satu sama lain, yaitu: 1.     “Tujuan” yang hendak di capai melalui proses pengendalian, 2.     “Cara” pengendalian menuju tujuan tersebut Secera istilah politik islam adalah pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan syara’. Pengertian siyasah lainya oleh Ibn A’qil, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Qayyim, politik Islam adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipunRasullah tidak menetapkannya dan (bahkan) Allah SWT tidak menentukanya. . A. Djazuli,Fiqih Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Rambu-rambu Syariah, Jakarta:Prenada Media Grup, 2007, h. 28-27 Pandangan politik menurut syara’, realitanya pasti berhubungan dengan masalah mengatur urusan rakyat baik oleh negara maupun rakyat.Sehingga definisi dasar menurut realita dasar ini adalah netral.Hanya saja tiap ideologi (kapitalisme, sosialisme, dan Islam) punya pandangan tersendiri tentang aturan dan hukum mengatur sistem politik mereka.Dari sinilah muncul pengertian politik yang mengandung pandangan hidup tertentu dan tidak lagi “netral”. . http://tomysmile.wordpress.com/category/kajian-fiqh/ Karakteristik Politik Kontemporer Kajian yang berangkat dari asumsi mengenai determinisme dan 'hukum kausal universal'. Pengetahuan sebab akibatlah yang disebut pengetahuan ilmiah. Membedakan fakta dan nilai. Fakta didasarkan atas observasi empiris, dan karena itu dapat diuji kebenarannya. Sistem nilai dianggap tidak pernah ada karena berbagai nilai yang ada serta secara penalaran dan yang satu konflik dengan yang lain. Ilmu. politik dapat mendeskripsikan nilai tanpa membuat penilaian yang satu lebih baik daripada yang lain. Membuat perbedaan yang logis antara ilmuwan yang memiliki nilai sendiri dan mempelajari setiap pendapat yang didasari oleh nilai-nilai tertentu. Untuk itu, ilmuwan dianjurkan tidak bertindak sebagai aktor politik melainkan sebagai pengamat politik. Tujuan ilmu pengetahuan ialah membangun teori dengan melakukan generalisasi hubungan kausal diantara pengetahuan faktual. Fungsi teori ialah menjelaskan mengapa fenomena tertentu terjadi seperti itu, dan bahkan meramatkan peristiwa apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang berdasarkan teori tersebut. Manakala ilmuwan politik tertarik mengkaji kebijakan publik, ia tidak merumuskan nilai-nilai dasar dan tujuan masyarakt melainkan memberikan pertimbangan nilai yang bersifat instrumental. Yang diberikan adalah jawaban atas pertanyaan mengenai sarana dan cara yang paling efesien untuk mencapai tujuan, tetapi berupaya mencapai tujuan itu sendiri, dengan memberikan penjelasan mengapa kondisi-kondisi sejumlah tindakan tertentu akan menyebabkan mencapai tujuan tersebut. Politik dalam Pandangan Cendekiawan dan Ulama Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Siyasah as-Syar’iyyah, hal 168 menjelaskan: “Wajib diketahui bahwa mengurusi dan melayani kepentingan manusia merupakan kewajiban terbesar agama dimana agama dan dunia tidak bisa tegak tanpanya. Sungguh bani Adam tidak akan lengkap kemaslahatannya dalam agama tanpa adanya jamaah dan tidak ada jamaah tanpa adanya kepemimpinan. Nabi bersabda: ‘Jika keluar tiga orang untuk bersafar maka hendaklah mereka mengangkat salah satunya sebagai pemimpin’ (HR. Abu Daud). Nabi mewajibkan umatnya mengangkat pemimpin bahkan dalam kelompok kecil sekalipun dalam rangka melakukan amar ma’ruf nahi munkar, melaksanakan jihad, menegakkan keadilan, menunaikan haji, mengumpulkan zakat, mengadakan sholat Ied, menolong orang yang dizalimi, dan menerapkan hukum hudud.”                  Lebih jauh Ibnu Taimiyyah –mengutip Khalid Ibrahim Jindan- berpendapat bahwa kedudukan agama dan negara ”saling berkelindan, tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama berada dalam bahaya, sementara tanpa wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik.” Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa kekuasaan penguasa merupakan tanggung jawab yang harus dipenuhi dengan baik. Penguasa harus mengurusi rakyatnya seperti yang dilakukan pengembala yang dilakukan kepada gembalaanya. Penguasa disewa rakyatnya agar bekarja untuk kepentingan meraka, kewajiban timbal balik kepada kedua belah pihak menjadikan perjanjian dalam bentuk kemitraan. . Mumtaz Ahmad, Maslah-masalah Teori Politik Islam, Bandung;Mizan, 1996, h. 82 Pendapat Ibnu Aqil seperti yang dikutip Ibnu Qayyim mendefinisikan: “Siyasah syar’iyyah sebagai segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan, sekalipun Rasul tidak menetapkan dan Allah tidak mewahyukan. Siyasah yang merupakan hasil pemikiran manusia tersebut harus berlandaskan kepada etika agama dan memperhatikan prinsip-prinsip umum syariah”. Imam Al Mawardi dalam “Ahkamus Sultaniyyah Wal Walayatud Diniyah” menjelaskan siyasah syar’iyah sebagai: “Kewajiban yang dilakukan kepala negara pasca kenabian dalam rangka menjaga kemurnian agama dan mengatur urusan dunia (hirosatud din wa raiyyatud dunya).” Al Ghazali melukiskan hubungan antara agama dengan kekuasaan politik dengan ungkapan : ” Sultan (disini berarti kekuasaan politik) adalah wajib untuk ketertiban dunia; ketertiban dunia wajib untuk ketertiban agama; ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat. Inilah tujuan sebenarnya para Rasul.. Jadi wajib adanya imam merupakan kewajiban agama dan tidak ada jalan untuk meninggalkannya.” . Muhammad Iqbal, Amin Husaen Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta:Prenada Media Grup, 2010, h. 28-29 Asyahid Imam Hasan Al Banna menjelaskan politik adalah, “Hal memikirkan persoalan internal (yang mencakup diantaranya: mengurusi persoalan pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya, memerinci hak dan kewajibannya, melakukan pengawasan terhadap penguasa) dan eksternal umat (yang meliputi diantaranya: memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa, mengantarkan bangsanya mencapai tujuan yang diidamkan dan membebaskan bangsanya dari penindasan dan intervensi pihak lain).” Dr. V. Fitzgerald menjelaskan bahwa, ” Islam bukanlah semata-mata agama (a religion) namun juga merupakan sebuah sistem politik( a political syistem). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam yang mengklain sebagai kalangan modernis, yang berusah memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangaun di atas pundamen bahwa kedua sisi itu saling bergandengan selaras dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.” . Rahmat Tohir, dkk. Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insan Press. 2001,h. 5 Definisi dan pembahasan ruang lingkup politik Islam (as-siyasah syar’iyyah) dalam pandangan para ulama dan cendekiawan Islam setidaknya mencakup tiga isu utama, yakni: 1.        Paradigma dan konsep politik dalam Islam, yang secara garis besar mencakup kewajiban mewujudkan kepemimpinan Islami (khalifah) dan kewajiban menjalankan Syariah Islam (Hukum Islam). 2.     Regulasi dan ketetapan hukum yang dibuat oleh pemimpin atau imam dalam rangka menangkal dan membasmi kerusakan serta memecahkan masalah-masalah yang bersifat spesifik, yang masuk dalam pembahasan fiqh siyasah. 3.     Partisipasi aktif setiap Muslim dalam aktivitas politik baik dalam rangka mendukung maupun mengawasi kekuasaan. . http://xs-kombi.blogspot.com/2012/04/politik-dalam-pandangan-islam.html POLITIK DALAM PERSPEK Sistem politik sekuler modern yang diperkenalkan lewat proses kolonialisme oleh bangsa-bangsa Eropa, telah menempatkan sistem politik Islam termarginalkan di negara- negara muslim sendiri. Hal ini tampak misalnya dalam tataran empirik sulit mencari sebuah negara muslim yang bisa dijadikan model sistem politik Islam yang sesuai dengan praktik-praktik politik kenabian dan para sahabat. Iran, sering disebut sebagai sebuah negara Islam yang bisa dijadikan model terhadap praktik Islam politik kontemporer, sekaligus menjadi alternatif terhadap sistem politik barat. Namun, sistem politik Islam sendiri pada dasarnya masih terbuka terhadap dinamika perubahan. Karena, secara substantif hal ini berada di wilayah ijtihadi yang sifatnya tidak monolitik. Oleh sebab itu, sistem politik Islam Iran merupakan salah satu saja dari varian praktik sistem politik Islam yang luas. Konsepsi Kekuasaan Politik Istilah politik pertama muncul dalam literatur Yunani klasik lewat karya Plato yang terkenal, Politea. Dalam perkembangannya, politik dalam literatur Barat mengalami banyak penafsiran. Menurut Abdul Muin Salim (2002) ada dua kecenderungan dalam pendefinisian politik. Pertama, pandangan yang mengaitkan politik dengan negara; kedua, pandangan yang mengaitkannya dengan kekuasaan, otoritas atau dengan konflik. Oleh sebab itu, politik memiliki definisi yang variatif. Laswell (1936) mendefinisikan politik sebagai who gets what, when and how (siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimnana). Easton (1979) menyebutnya sebagai "the authoritative allocation of value” (kekuasaan untuk mengalokasikan sumber-sumber yang terbatas) Sementara Jouvenal menyebut politik sebagai "man moving man" (siapa memerintah siapa). Semua pendefinisian tersebut cenderung meletakkan politik sebagai mekanisme atau seni untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan, menurut Talcot Parsons (1957) adalah "The capacity to mobilize the resources of society for attainment of goals for which a general public commitment…may be made" (kemampuan untuk memobilisasi sumber daya yang ada dalam masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan umum yang telah disepakati bersama). Sementara, kalangan Neo-Marxist seperti Poulantzas (1973) mengatakan bahwa kekuasaan adalah “kemampuan sebuah kelas sosial untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan kepentingan mereka”. Definisi-definisi ini menggambarkan bahwa seluruh tafsir tentang politik dan kekuasaan dalam perspektif Barat dibangun di atas fondasi materialisme.Oleh karena persoalan politik merupakan persoalan yang amat penting dalam pengaturan kehidupan manusia, perdebatan tentang relasi agama dan politik juga muncul dalam Islam. Setidaknya ada tiga aliran utama dalam wacana intelektual muslim dalam melihat Islam dan politik. Pertama, aliran yang menganggap Islam dan politik tidak bisa dipisahkan sama sekali, karena Islam tidak mengenal pemisahan antara kekuasaan negara dan agama. Aliran ini terkenal dengan konsep al-Islamu al-din waal-daulah (Islam adalah agama dan negara). Sebagai konsekuensi logis dari paham ini, mereka berpandangan bahwa menjadi kewajiban orang seluruh muslim untuk menegakkan negara berdasarkan sistem politik Islam. Mereka mengusung beragam konsep sistem politik, dari sistem negara Madinah hingga sistem khilafah (Rizwan, 2001). Kedua, kalangan yang berpandangan bahwa doktrin-doktrin tentang negara Islam tidak disebutkan secara detail dan tuntas dalam Islam, Islam hanya memperkenalkan beberapa konsep tentang nilai dan etika bernegara (Hasbi Amiruddin, 2000). Akibatnya, kalangan ini berpendapat bahwa sebuah negara menjadikan Islam atau bukan Islam sebagai dasar negara, bukanlah hal yang penting. Yang utama adalah terpenuhinya nilai-nilai dan etika yang dianjurkan dalam Islam. Kelompok ini termasuk kelompok yang menganjurkan gerakan Islam kultural dan menolak Islam politik. Ketiga, kelompok yang secara keras mengatakan bahwa tidak ada hubungan sama sekali antara Islam dan negara. Islam sama sekali tidak mengatur persoalan ketatanegaaraan. Islam sebagai agama harus dijauhkan dari politik. Pandangan ini berada di gerbong sekularisme yang memang menganut doktrin pemisahan antara agama dan negara. Konsekuensi dari varian pandangan tersebut sangat mempengaruhi konsepsi kekuasaan politik dalam wacana Islam politik sendiri. Dalam kepustakaan Islam, kata politik sering diidentikkan dengan perkataan al-Siyasah. Kata ini terdiri huruf Sin, Wau dan Sin dengan makna pokok "kerusakan sesuatu" dan "tabiat atau sifat dasar". Dari makna pertama terbentuk kata kerja sasayusu-sausan yang berarti " menjadi rusak atau banyak kutu", dan dari makna kedua terbentuk kata sasuyasusu-siyasatan yang berarti "memegang kepemimpinan masyarakat, menuntun atau melatih hewan, dan mengatur dan memelihara urusan". Makna "memimpin masyarakat" ditemukan dalam hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah dari Abi Hurairah tentang kepemimpinan atas Bani Isra`il. Rekrutmen Politik Dalam Islam Dalam konsep sistem politik modern, rekrutmen politik merupakan sebuah fungsi politik bagi partai politik untuk melakukan proses penempatan orang-orang tertentu dalam jabatan politik tertentu. Proses penjaringan, pengusungan dan pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik dan pemerintahan dikenal sebagai sebagai rekrutmen politik. Dalam hal ini, rekrutmen politik menjadi proses penting, karena orang-orang yang dipilih untuk ditempatkan dalam kekuasaan politik merupakan orang-orang yang akan "memimpin masyarakat" atau akan memproduksi kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat secara luas. Pengangkatan orang-orang tertentu untuk mengisi kekuasaan politik dalam Islam pun tidak bebas dari perselisihan pendapat. Dalam pandangan ulama Sunni seperti Imam al-Mawardi, rekrutmen politik atau penentuan seorang kepala pemerintahan dapat terjadi dengan salah satu dari dua cara: pertama, dengan ditunjuk langsung oleh pemimpin sebelumnya kepada seseorang; kedua, dengan pembai`atan yang dilakukan oleh dewan pemilih (ahl al-ikhtiyar) atau ahl al-hilli wa al-`aqdi. Menurut al-Mawardi penunjukkan oleh khalifah sebelumnya sah menurut ijma` dan para ulama sepakat untuk membenarkannya berdasarkan sandaran argumentatif pada dua preseden pergantian khulafa u al-rasyidin dalam sejarah Islam (Rizwan, 2001). Sementara Ibnu Hazmin mengatakan bahwa rekrutmen politik dan pengangkatan pemimpin sah dilakukan menurut tiga cara; pertama, lebih utama dan lebih sahih dengan penunjukkan oleh imam yang sedang berkuasa kepada seseorang yang dipilihnya; kedua, ketika seorang imam wafat dan dia tidak menunjuk salah seorang penggantinya, maka hendaklah seseorang yang berhak untuk memangku jabatan imamah dengan cepat memproklamirkan dirinya sebagai imam; ketiga, imam ketika merasa ajalnya telah dekat menyerahkan persoalan penggantinya kepada sebuah lembaga yang akan bertugas memilih pengganti (Yusuf Musa, 1988). Sementara Ibnu Taimiyah mengatakan, bahwa untuk pengangkatan seorang dalam jabatan pemerintahan haruslah yang paling ashlah (paling layak dan sesuai) karena ia akan bertugas untuk mengelola persoalan kaum muslimin. Kesalahan penyerahan jabatan pemerintahan akan mengakibatkan penderitaan kaum muslimin. Oleh sebab itu, kata Ibnu Taimiyah, tidak dibolehkan menyerahkan kekuasaan kepada orang yang memintanya (Ibnu Taimiyah, 1998). Dewan pemilih yang bertugas mendapatkan mandat untuk memilih pemimpin (melakukan rekrutmen politik) harus memiliki tiga kriteria legal: Adil dengan segala syarat-syaratnya. Pengetahuan (ilmu) yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak menjadi imam sesuai dengan kriteria-kriteria yang ada. Berwawasan dan memiliki sikap bijaksana yang membuatnya mampu memilih siapa yang paling tepat menjadi imam, paling efektif dan paling ahli dalam mengelola semua kepentingan ummat. Sementara menurut Hasan Al-Banna (Yusuf Musa, 1988), secara implisit para ulama melukiskan sifat-sifat yang cocok bagi orang-orang yang duduk dalam lembaga pemilihan adalah: Para ulama yang punya kapabelitas untuk memberikan fatwa dalam hukum agama. Para pakar dalam urusan umum. Orang-orang yang memiliki integritas kepemimpinan di kalangan masyarakat. Sistem yang kita gambarkan di atas, bisa dikategorikan  dalam dua bentuk, yaitu sistem politik putra mahkota atau pewarisan, dan sistem politik perwakilan. Dalam sistem penunjukkan oleh pemimpin sebelumnya, maka sangat jelas bahwa prinsip keterlibatan para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat dan politik sangatlah terbatas, sehingga mengesankan bahwa kekuasaan politik merupakan sebuah wilayah yang bersifat privat. Padahal, kekuasaan pemerintahan merupakan wilayah umum karena berkaitan langsung dengan persoalan umat. Sementara sistem perwakilan politik merupakan sistem yang memberi ruang keterlibatan ulama, tokoh masyarakat dan politik dan para inteleketual untuk menentukan kepada siapa kekuasaan politik harus diserahkan. Berdasarkan sistem perwakilan politik ini, rekrutmen politik untuk memilih pemimpin sebenarnya bisa diperluas menjadi mekanisme yang melibatkan masyarakat secara luas melalui pemilihan umum. Menurut Lukman Taib (2001), penyerahan kekuasaan politik kepada lembaga yang bertugas melakukan pemilihan kepala pemerintahan merupakan formula kontraktual yang sesuai dengan sistem perwakilan politik. Oleh karena sistem kontraktual ini pernah berlangsung dan dipraktikkan pada masa awal Islam, maka sesuai dengan perkembangan pengetahuan manusia, sistem kontraktual ini bisa diperluas menjadi sistem pemilihan umum. Hal ini bersandar pada ayat al-qur`an (al-syura:38) "dan urusan mereka (kaum muslimin) diputuskan dengan musyawarah diantara mereka", serta surah Ali Imran: 159, "bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan ini". perbedaan pendekatan terhadap politik Islam Berikut adalah klasifikasi yang bisa diambil dari fenomena-fenomena politik Islam. Pendekatan Muslim Konservatif Pendekatan kebanyakan umat Islam biasanya menekankan pada kewajiban untuk kembali pada versi Islam yang belum ternoda untuk menghadapi permasalahan politik hari ini. Secara tipikal, mereka mengeluhkan fakta bahwa dunia telah dekaden, di mana manusia telah diperbudak oleh kediktatoran, teknologi, dan seks, dan disertai oleh ketundukkan negara-negara kepada ideologi-ideologi asing dan kekuatan superpower. Para penguasa politik sudah tidak lagi melindungi kehidupan, kepemilikan dan martabat warga negaranya. Mereka telah menjadi "para koruptor", yang menjadi budak kekuasaan. Mereka bahkan telah pula memanipulasi sentimen agama untuk melegitimasi kekuasaan mereka. Apa yang didengungkan untuk mengobatinya adalah bahwa kebebasan mereka terletak pada agama: "pembebasan dari tirani mereka terletak pada mengatributkan semua otoritas pada Tuhan". Mereka harus juga memahami bahwa Islam adalah agama terbaik; agama yang menyelamatkan secara imanen sekaligus secara transenden, karena ia adalah agama yang praktis, yang membimbing masalah politik, sosial, ekonomi, dan internasional. Politik Islam akan terwujud jika Islam itu sendiri terwujud dan hal ini hanya akan terjadi dengan cara keimanan dan pengorbanan. Jika umat Islam hari ini mendapatkan kembali semangat umat Islam awal, mereka akan melakukan perubahan sesuai dengan perubahan yang telah dilakukan oleh generasi Islam awal tadi. Mereka yang berpendapat seperti ini mempunyai asumsi dasar tentang Islam, politik, dan masa depan. Pertama, mereka berasumsi bahwa Islam merupakan pemikiran yang terbaik dalam kerangka peradaban, sekaligus sebagai kekuatan yang utuh. Di sini mereka menghadapkan Islam dengan Barat secara diametral. Kedua, karena mereka menekankan adanya penyatuan agama (din) dan negara (daulah), mereka berasumsi bahwa tidak ada manfaatnya untuk melakukan pembatasan terhadap politik. Ketiga, mereka tidak begitu mempedulikan detail-detail masa depan -bahwa, bagaimana regenerasi politik dihubungkan dengan regenerasi Islam. Dengan demikian, diperlukan adanya "spiritualisasi" politik. Pendekatan Muslim Progresif Pendekatan konservatif di atas, jika diringkaskan adalah sebuah pendekatan yang membuat politik yang lebih religius (Islami). Selain pendekatan ini, terdapat pula pihak-pihak yang menyerukan agama untuk lebih bersifat politis. Pendekatan ini memusatkan pada pentingnya ideologisasi doktrin agama kepada tujuan-tujuan politik yang radikal. Pendekatan ini bianya memperlihatkan bahwa selama ini pemikiran keagamaan bersifat konservatif: bahwa Tuhan itu berada di atas kita dan jauh, kurang memperhatikan ketidakadilan dan ketimpangan yang terjadi pada manusia. Dengan lebih memfokuskan pada transendensi Tuhan dan kepasifan-Nya, para ulama telah membantu dan menyenangkan kelas feodal, yang bahagia jika kita semua berpikir bahwa kepasifan itu adalah sebuah hal yang alamiah. Maka adalah sangat penting bagi umat Islam untuk menjadikan agama sebuah ideologi yang menekankan imanensi daripada transendensi, dan melakukan gerakan linier, bukan hirarkis: "Semangat peradaban adalah semangat bangsa, semangat ketuhanan yang menyejarah." Teologi dan agama secara umum perlu menyediakan "logika" bukan dalam kerangka kapitalisme seperti apa yang terjadi pada masa lalu, tetapi sosialisme revolusioner. Kita dapat membandingkan asumsi pendekatan ini dengan pendekatan lain. Pertama, Islam di sini dilihat sebagai sebuah ideologi, program dan aktivitas kebenaran, yang dapat membangkitkan umat Islam dengan gairah komitmennya untuk keadilan sosial dan kejelasan tantangannya pada status quo. Kedua, politik bukanlah hanya bagian tertentu dari Islam, tetapi ia adalah sebab utamanya (raison d'etre). Di sini nampak bahwa Islam diperlukan baik oleh para penguasa yang menggunakannya sebagai opium bagi rakyat, atau oleh mereka yang menyerukan "perjuangan kaum tertindas". Ketiga, dalam hubungannya dengan masa depan, penegasan kembali atau penafsiran kembali keimanan itu tidaklah cukup, walaupun sangat penting. Dalam bentuknya yang terakhir, yaitu fundamentalisme (sebut saja begitu), Islam dipandang tidak lagi hanya sebagai "mesianisme murni": "Umat Islam sedang menunggu perubahan radikal" dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan kewargaan mereka, dan kelompok-kelompok Islam harus memenuhi harapan masyarakat dan memimpin revolusi. Demikian, misalnya pendapat Ali Syari'ati. Ringkasnya, pendekatan ini memandang bahwa Islam harus dipolitisasikan. Cara pandang seperti ini telah begitu banyak percabangannya. Pandangan ini melihat agama telah dilemahkan dalam kehidupan publik. Dengan demikian, diperlukan adanya emansipasi agama. Pandangan ini menjelaskan alasan kemunculan kelompok-kelompok seperti Ikhwanul Muslimin sebagai akibat dari adanya penjualan besar-besaran dari kaum feodal dan nasionalis borjuis kepada para imperialis. Inilah yang menimbulkan reaksi terutama di kalangan kelas bawah kota dan para mahasiswa. Tetapi tidak berakhir di situ saja, dan tentu saja terlihat bahwa masa depan "materialisme dan nasionalisme" akan menggantikan "idealisme dan metafisika". Garis historis betul-betul menakjubkan: Islam nampaknya akan dipaksa untuk tidak diberi ruang. Inilah dampak dari analisis Francis Fukuyama bahwa ideologi sudah berakhir (the end of ideology). Yang lain lebih mendukung ide pemisahan agama dari politik, tetapi dapat dibedakan menjadi dua jalan. Mereka tidak merujuk pada kualitas-kualitas yang buruk dari agama. Mereka lebih menunjuk pada kualitas-kualitas sejarah Islam sendiri yang tidak menguntungkan. Kemudian, mereka tidak membicarakan pemisahan itu secara positif, tetapi lebih bersifat saran atau keinginan saja. Sebagian, misalnya, menemukan dalam politik Arab sebuah aliansi yang tidak suci antara kekuatan politik reaksioner dengan otoritas religius reaksioner. Memang tidak sepenuhnya begitu, tetapi energi original Islam yang diturunkan menjadi "Islam rakyat" lebih populer. Islam seperti ini membuat adanya penyatuan agama dan negara lebih berbahaya karena ia mengizinkan ulama atau otoritas keagamaan menjadi kelas keturunan yang mengklaim monopoli pengetahuan dan mendapatkan pendapatan dari wakaf. Demikian pula, nilai-nilai yang mereka sampaikan, seperti ketundukan pada Allah dan takdir, hanya membuat fatalisme. Hasilnya adalah bahwa agama dan negara tidak dapat dipersatukan. Walaupun banyak varian-nya, para pendukung pemisahan agama dan negara itu mempunyai asumsi-asumsi yang sama. Pertama, mereka tidak berpikir bahwa Islam itu sebuah peradaban atau ideologi, seperti dalam dua pendekatan lain, tetapi sebagai masalah yang sulit dan perlu diselesaikan. Kedua, mereka melihat politik sebagai wilayah utama aktivitas, di mana setiap hal yang penting dapat diputuskan; yang dalam hal ini terdapat kesamaan dengan mereka yang ingin mempolitisasikan Islam. Ketiga, sementara "para politisi" mengajukan masa depan yang religius dalam cara yang revitalistik, kelompok "para pemisah" ini berbeda, karena mereka melihat abad modern secara esensial itu sekular dan dengan demikian merekomendasikan pemisahan agama dan politik. Ciri khas pandangan kaum sekular. Pendekatan Ilmu Sosial Para ilmuwan sosial juga mempunyai variasi cara pandang terhadap politik Islam secara tersendiri. Kebanyakannya mereka berasumsi bahwa pemisahan Islam dan politik itu memang diinginkan. Kenyataan menunjukkan bahwa kebanyakan setuju pada pandangan bahwa Islam itu stagnan, rigid, atau merupakan suatu masalah; bahwa politik merupakan pusat utama aktivitas, dan bahwa masa depan modernisasi berdasarkan pada pembentukan tatanan sekular. Tetapi yang lain menganggap masalah ini secara berbeda. Satu kelompok, misalnya, berpikir bahwa politik di negara-negara berkembang itu dipengaruhi lebih oleh identifikasi keluarga, etnis, dan pasar daripada oleh kebijakan birokratis dan pembangunan institusi. Bertentangan dengan Barat, sumber-sumber otoritas formal di negara-negara ini sangat jarang menjadi satu-satunya sumber loyalitas dan kekuasaan yang efektif. Di negara-negara mayoritas Muslim, otoritas dan tradisi Islam seringkali tidak proporsional pada peran sosial yang diakui secara resmi; mereka lebih sering menerjemahkan politik dalam artian informal. Walaupun terdapat persaingan dan keseimbangan kekuasaan yang tetap di kelas ulama yang membuat pemerintah mudah untuk mengeksploitasinya, sementara para ulama itu menyerah pada pemerintah, mereka tetap mempunyai pengikut setia di masyarakat. Bersamaan dengan itu, yang lain menyatakan bahwa informalitas politik Islam tidak begitu banyak bermanfaat. Argumennya di sini adalah bahwa politik di negara-negara Islam tertinggal dalam perkembangan institusional karena Islam kekurangan dalam mengorganisasikan keulamaan. Hal ini akan menimbulkan dua konsekuensi. Salah satunya adalah bahwa sejarah Islam tidak begitu memerlukan adanya Pembaharuan. Karena tidak ada gerakan yang meruntuhkan kekuasaan ulama. Konsekuensi kedua adalah bahwa ulama tidak pernah secara riil membentuk suatu kekuasaan yang mantap. Ulama selalu dalam keadaan diam terhadap status quo. Betapapun banyak perbedaannya, mereka yang berpandangan politik informal biasanya sama dalam memandang Islam, politik, dan masa depan. Pertama, Islam dalam pandangan ini dipandang sebagai sebuah ideologi, suatu keimanan yang mungkin mempengaruhi perilaku tetapi menyediakan kesempatan kecil untuk tindakan independen. Islam lebih bersifat "variabel dependen" yang manuvernya dialamatkan pada konteks politik -pandangan yang berbeda dari mereka yang bersifat "politis". Kedua, hampir sama dengan pendekatan politik informal, pendekatan utilitarian ini menyatakan bahwa politik merupakan jaringan perhubungan sosial yang kaya yang berdasarkan pada umur, keluarga, posisi resmi, dan pengetahuan; dengan demikian pemikiran ini menunjukkan kehalusan politik itu sendiri. Hal ini dikatakan oleh seorang peneliti politik Indonesia antara 1948 hingga 1962, "Loyalitas tradisional menimbulkan struktur politik, dan proses politik modern hanyalah merupakan organisme temporer yang mengadaptasikan diri pada mekanisme sosial tradisional dalam budaya politik Sunda". Jika Islam merupakan variabel dependen, maka begitu pula politik. Ketiga, mengenai masalah masa depan, nampak bahwa, dengan majunya modernisasi, isi dan konfigurasi kekuatan sosial akan berubah. Ketika hal ini terjadi, akan terdapat juga perubahan-perubahan dalam menentukan siapa yang memegang kekuasaan dan bagaimana mereka menjalankannya, dan ini juga dalam konteks perubahan yang saling berhubungan bahwa kita dapat mengevaluasi pentingnya politik Islam secara khusus. Demikianlah berbagai arus pemikiran terjadi pada diri umat Islam. Semua ini merupakan respons terhadap modernisasi yang begitu massif. Dan sebagai penutup, menarik apa yang diungkapkan oleh Natsir yang menyebutkan: bahwa aplikasi model politik Islam apapun bisa dipakai, termasuk demokrasi -- selama jika dengan demokrasi ini bisa mendatangkan manfaat yang besar buat Islam dan umatnya. Dalam konteks ke-Indonesia-an hari ini, politik Islam mestilah bisa ditampilkan dengan semangat Islam yang menzaman, cerdas, lugas dan berpihak pada upaya tegaknya nilai-nilai keadilan sosial yang kini makin jauh dari harapan umat. Dan syari'ah Islam mesti berupaya untuk mewujudkannya. Dan pada akhirnya setiap pemikiran politik Islam akan diuji oleh kontekstualisasi di mana pemikiran politik Islam itu hidup. Hubungan Agama dan Negara dalam pemikiran politik kontemporer Munculnya permasalahan tersebut menurut Suyuti Pulungan (1999:XI) dipadang wajar, karena risalah Islam yang dibawa nabi Muhammad saw adalah agama yang penuh dengan ajaran dan undang-undang yang bertujuan membangun manusia guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Artinya, Islam menekankan terwujudnya keselarasan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi. Karena itu Islam mengandung ajaran yang integratif antara tauhid, ibadah, akhlak dan moral, serta prinsip-prinsip umum tentang kehidupan bermasyarakat. Sejarah mencatat bahwa permasalahan pertama yang dipersoalkan oleh generasi pertama umat Islam setelah Muhammad saw wafat adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti beliau yang akan memimpin umat, atau juga lazim disebut persoalan imamah. Al-Qur’an sebagai acuan utama disamping sunnah Nabi tidak sedikitpun menyiratkan petunjuk tentang pengganti Nabi atau tentang sistem dan bentuk pemerintahan serta pembentukannya. Sejarah politik umat Islam, sebagai satu kesatuan, secara umum dapat dibagi menjadi empat periode: 1. Sejak hijrah Nabi Muhammad saw ke Madinah hingga akhir kekhalifahan rasyidin 2. Sejak berdirinya Dinasti Umayyah hingga keruntuhan kekaisaran-kekaisaran dan negara-negara muslim pada abad 18 hingga 19 M 3. Kolonisasi dan penaklukan atas negara-negara Muslim oleh kekuatan-kekuatan imperialis Barat selama dua abad terakhir 4. Berdirinya kembali negara-negara muslim yang independen dan berdaulat sejak pertangahan adab 20. Tentang hubungan agama dan negara terdapat tiga kelompok pemikiran, menurut Suyuti Pulungan (1999:XII), yaitu: Kelompok pertama, berpendapat bahwa negara adalah lembaga keagamaan dan sekaligus lembaga politik. Karena itu kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Kelompok kedua mengatakan bahwa negara adalah lembaga keagamaan tapi mempunyai fungsi politik. Karena itu kepala negara mempunyai kekuasaan agama yang berdimensi politik. Kelompok ketiga menyatakan bahwa negara adalah lembaga politik yang samasekali terpisah dari agama. Kepala negara, karenanya, hanya mempunyai kekuasaan politik atau penguasa duniawi saja. Sementara itu menurut Prof. Dr. Syed Husain Mohammad Jafri (2003:27), ada dua pandangan yang berseberangan tentang fungsi dan karakter agama: Pandangan pertama membatasi peran agama hanya sebatas bidang spiritual dan etika. Pandangan ini menganggap agama tak ada urusanya dengan aspek-aspek temporal dan duniawi kehidupan dan masyarakat. Pandangan kedua memandang agama memiliki fungsi yang luas. Fungsi ini mencakup setiap aspek kehidupan manusia baik itu aspek duniawi maupun aspek spiritual atau ukhrawi. Sayyid Qutb, penulis tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, juga berpendapat bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan amat lengkap sebagai suatu sistem kehidupan yang tidak saja meliputi tuntunan moral dan peribadatan, tetapi juga sistem politik termasuk bentuk dan ciri-cirinya, sistem masyarakat, sistem ekonomi dan sebagainya. (Sayyid Qutb, 1974:1) Yusuf al-Qardhawi (1997:34) berpendapat bahwa, para imperialis dan kaki tangannya terus berusaha untuk menanamkan satu pemikiran bahwa Islam tidak memiliki hubungan dengan politik dan negara. Sementara pada saat yang sama orang-orang yang hendak melakukan pembenahan, dan berusaha untuk mengajarkan “Universalitas Islam”, atau dengan istilah lain, untuk mengembalikan kepada mereka apa yang sudah ada dan ditetapkan selama berabad-abad yang lalu, tepatnya sebelum masuknya missi imperialisme dan invasi pemikiran ke negeri-negeri muslim. Artinya Islam meliputi seluruh sisi kehidupan manusia, dengan syariat dan petunjukknya, yang secara vertikal dimulai sejak dia dilahirkan hingga meninggal. Sebab di sana ada hukum-hukum yang berkaitan dengan janin dan hukum-hukum yang berkaitan dengan manusia setelah meninggal dunia. Adapun secara horizontal, Islam menunjuki orang Muslim dalam kehidupan individunya, keluarga, sosial dan politiknya, dari adab istinja hingga ke penerapan hukum serta hubungan antara perdamaian dan perang. Hasil dari jihad ini jelas sekali, yaitu adanya pijakan yang luas untuk mengamankan universalitas dan seruan kepada Islam, akidah maupun syariat, agama maupun daulah, yang berlaku untuk semua wilayah Islam. Kembalinya orang-orang yang menjadi mangsa pemikiran yang sengaja dilancarkan orang-oang Barat dan munculnya shahwah Islam yang memadukan pemikiran dan politik, telah membalik timbangan kekuatan. Keadaan ini memaksa pihak asing yang datang dari Barat maupun Timur berusaha menyelenggarakan berbagai seminar, kongres dan studi fenomena Islam yang dianggap berbahaya ini. Hasan Al-Banna berkata tentang hubungan agama dengan politik, “Tentunya engkau jarang menemukan orang yang berbicara tentang politik dan Islam. Alau pun ada, paling banter dia menyajikan sedikit uraian antar keduanya, lalu meletakkan masing-masing pada dua makna yang berdiri sendiri-sendiri, karena keduanya tidak pernah bertemu dan berkumpul menjadi satu menurut pandangan orang banyak. Oleh karena itu organisasi semacam ini disebut organisasi Islam nonpolitis, atau organisasi keagamaan di luar politik. Sehingga tidak jarang dalam butir-butir aturan berbagai macam organisasi Islam ditemukan satu poin yang berbunyi “organisasi tidak akan bersinggungan dengan politik”Menurut Yusuf Al-Qardhawi (2000: 37), berpendapat b ahwa ada dua masalah yang penting, dalam bahasan Islam dan politik, yaitu: Ada perbedaan yang jauh antara partai dan politik. Kadang keduanya bertemu dan kadang berpisah. Seseorang bisa disebut politikus dengan segela pengertian yang terkandung di dalam kata ini, tanpa ada kaitannya sedikit pun dengan suatu partai. Seseorang bisa disebut partisannya sedikit pun dengan suatu partai. Seseorang bisa disebut partisan (aktivis atau pengikut partai) dan sama sekali tidak mengenal politik. Dua sebutan ini bisa berkumpul menjadi satu, sehingga seseorang disebut politikus dan partisan atau partisan politikus. Kalau kami berbicara tentang politik, maka yang kami maksud adalah politik secara mutlak, yaitu pandangan tentang kondisi internal dan eksternal umat, tanpa terkait dengan partai, dalam keadaan bagaimanapun. Tatkala orang-orang non muslim tidak mengetahui Islam, atau mereka bisa menyadari masalah Islam, keberadaannya di dalam jiwa para pemeluknya, kemantapannya di dalam sanubari orang-orang mukmin, kesiapan setiap orang muslim untuk mengorbankan jiwa dan hartanya, memang mereka tidak berusaha melukai jiwa orang-orang muslim dengan nama Islam, penampakan dan penampilannya, tetapi mereka justru berusaha membatasi maknanya dalam lingkup yang sempit, sehingga tiadak ada lagi artinya sisi-sisi yang kuat dan praktis yang terkandung didalamnya BAB III Penutup Kesimpulan Politik merupakan pemikiran yang mengurus kepentingan masyarakat.Pemikiran tersebut berupa pedoman, keyakinan hokum atau aktivitas dan informasi. Beberapa prinsip politik islam berisi: mewujudkan persatuan dan kesatuan bermusyawarah, menjalankan amanah dan menetapkan hokum secara adil atau dapat dikatakan bertanggung jawab, mentaati Allah, Rasulullahdan Ulill Amr (pemegang kekuasaan) dan menepati janji. Korelasi pengertian politik islam dengan politik menghalalkan segala cara merupakan dua hal yang sangat bertentangan. Islam menolak dengan tegas mengenai politik yang menghalalkan segala cara. Pemerintahan yang otoriter adalah pemerintahan yang menekan dan memaksakan kehendaknya kepada rakyat. Setiap pemerintahan harus dapat melindungi, mengayomi masyarakat.Sedangkan penyimpangan yang terjadi adalah pemerintahan yang tidak mengabdi pada rakyatnya; menekan rakyatnya. Sehingga pemerintahan yang terjadi adalah otoriter. Yaitu bentuk pemerintahan yang menyimpang dari prinsip-prinsip islam.Tujuan politik islam pada hakikatnya menuju kemaslahatan dan kesejahteraan seluruh umat. Hukum Islam harus bisa merespon masalah-masalah hukum kontemporer yang berkembang ditengah-tengah masyarakat, oleh karena itu memahami nas-nas secara kontekstual adalah sebuah paradigma untuk dapat mengistinbathkan hukum terhadap permasalahan kontemporer. Ayat-ayat al-Qur'an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka dia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat. Sehubungan dengan uraian di atas, maka eksistensi hukum Islam di Indonesia sering berhadapan dengan permasalahan hukum kontemporer, sejak awal masuknya Islam di Indonesia sampai sekarang. Daftar Pustaka Abd. Mu’in Salim, 2002, Fiqih Siyasah:Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al Quran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Abul A’la Al-Maududi, 1995, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, Djazuli, 2007, Fiqih Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Rambu-rambu Syariah, Jakarta:Prenada Media Grup, http://10109472.blog.unikom.ac.id/pengertian-politik.1rm http://arsippresentnunu.blogspot.com/2012/11/makalah-tentang-politik-ham-dan.html http://gudangariepinokio.blogspot.com/2012/01/makalah-sistem-politik-dalam-islam.html http://gudang-ilmu1.blogspot.com/2011/12/makalah-politik-dalam-islam.html http://ibnuazmiasy-syafii.blogspot.com/2009/01/politik-menurut-islam.html http://kamalsukses.blogspot.com/2012/01/makalah-politik-islam.html http://tomysmile.wordpress.com/category/kajian-fiqh/ http://xs-kombi.blogspot.com/2012/04/politik-dalam-pandangan-islam.html Muhammad Iqbal, Amin Husaen Nasution, 2010, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta:Prenada Media Grup Mumtaz Ahmad, 1996, Maslah-masalah Teori Politik Islam, Bandung;Mizan, Nanang Tahqiq, Politik Islam, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 12-13 Rahmat Tohir, dkk. 2001, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insan Press. Syarifuddin Jurdi, 2008, Pemikiran Politik Islam Indonesia,Yogyakarta:Pustaka Belajar Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam, Jakarta: Bulan Bintang 17