Academia.eduAcademia.edu

Modul hakikat akhlak islam

Memahami dan menghayati makna akhlak dalam Islam, pembagian dan berbagai aspeknya, serta mengidentifikasi macam macam akhlak terpuji dan tercela. 1. Mahasiswa PPG dapat menjelaskan hakikat akhlak Islam dan posisi akhlak dalam ajaran Islam. 2. Mahasiswa PPG dapat menjelaskan pembagian akhlak dalam Islam beserta dalilnya. 3. Mahasiswa PPG dapat menjelaskan pentingnya akhlak bagi umat Islam. 1. Definisi Akhlak 2. Pembagian Akhlak 3. Dalil-dalil Akhlak menurut Islam 1 Uraian Materi AKHLAK DALAM ISLAM 1. Definisi Akhlak a. Definisi Akhlak Secara Umum Perkataan akhlak secara etimologis, berasal dari bahasa Arab yang merupakan jama‘ dari bentuk mufradnya khuluqun (‫ )خلق‬dimana kata khuluqun (‫ )خلق‬memiliki arti: budi pekerti, perangai, tingkah laku, karakter atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan Khalqun (‫ )خلق‬yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan Khâliq (‫ )خالق‬yang berarti pencipta dan Makhluq (‫ )مخلوق‬yang berarti diciptakan. Pola bentuk defenisi akhlak diatas muncul sebagai mediator yang menjembatani komunikasi antar Khaliq (pencipta) dengan makhluk (yang diciptakan) secara timbal balik yang kemudian disebut sebagai hablum minallah. Dari produk hablum minallah yang benar, biasanya lahirlah pola hubungan antar sesama manusia yang disebut dengan hablum minannas (pola hubungan antar sesama makhluk). Makna akhlak juga bisa dilihat dari perspektif lain, yaitu sebagai ilmu. Pertama, diartikan sebagai ilmu tentang kebiasaan. Arti ini mengikuti pendapat dari para filusuf Yunani, namun definisi ini membatasi ruang lingkup ilmu akhlak yang terbatas pada perbuatan manusia yang sesuai dengan kehendaknya yang menjadi kebiasaan dan tradisi, padahal ilmu akhlak lebih luas daripada itu, di dalamnya juga meliputi petunjuk yang benar untuk perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk serta perintah untuk berpegang teguh pada tradisi dan kebiasaan yang benar. (Mu‘ti et.al, 2001: 33) Kedua, akhlak diartikan sebagai ilmu tentang manusia. Ini adalah pendapat dari seorang penulis berkebangsaan Prancis. Berbeda dengan definisi pertama yang membatasi ruang lingkup akhlak, maka definisi yang kedua ini justru lebih luas cakupannya karena dalam definisi ini meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia dari berbagai macam ilmu dan pengetahuan mulai dari ilmu kedokteran, ilmu jiwa, ilmu logika, sejarah dan segala macam ilmu yang berada di sekitar manusia ( Mu‘ti et.al, 2001:33-34) Pendapat ketiga menjelaskan bahwa akhlak adalah ilmu tentang baik dan 2 buruk. Akhlak juga diartikan sebagai studi tentang wajib dan kewajiban. Pengertian ini terlalu ringkas karena mengabaikan sisi yang terpenting dari aspek ilmu yaitu nilai-nilai dari perbuatan manusia yang berubah nilai baik dan buruk. (Mu‘ti et.al, 2001:34) Selanjutnya akhlak didefinisikan sebagai ilmu tentang keutamaan atau sifat-sifat yang utama dan bagaimana cara agar manusia senantiasa menghiasi diri dengan keutamaan tersebut, dan Ilmu yang membahas tentang keburukan-keburukan dan bagaimana cara menjaga diri agar menjauhi dari perbuatan buruk tersebut. Ini adalah pengertian menurut al-Bustani definisinya itu membatasi pada bagaimana manusia menghiasi diri dengan sifat-sifat utama serta menjauhkan diri dari sifat-sifat buruk dan tercela serta menerangkan contoh-contoh metode untuk mencapai hal tersebut. (Mu‘ti et.al, 2001:33-34) Beberapa kalangan pengkaji etika maupun akhlak seperti Poedjawiyatna menklasifikasi beberapa ukuran baik dan buruk seperti teori hedonisme, utilitarisme, vitalisme, sosialisme, religeosisme dan humanisme, dengan uraian sebagai berikut; 1) Hedonisme, yaitu sebuah aliran klasik dari Yunani yang menyatakan bahwa ukuran tindakan kebaikan adalah done, yakni kenikmatan dan kepuasan rasa. Tokoh utama pandangan ini adalah S. Freud. 2) Utilitarisme, yaitu aliran yang menyatakan bahwa yang baik adalah yang berguna. Karena ini jika berbuatan itu dilakukan atas diri sendiri maka itu disebut individual, dan jika terhadap kepentingan orang banyak disebut sosial. 3) Vatalisme, yaitu aliran yang berpandangan bahwa ukuran perbuatan baik itu adalah kekuatan dan kekuasaan, bahwa yang baik adalah mencermikan kekuatan dalam hidup manusia. 4) Sosialisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa baik nya sesuatu ditentukan oleh masyarakat. Jadi, masyarakatlah yang menentukan baik dan buruknya tindakan seseorang bagi anggotanya. 5) Religiosisme, aliran yang mengatakan bahwa baik dan buruk itu adalah sesuai dengan kehendak Tuhan. Lantas, manakah yang menjadi kehendak Tuhan itu?, ini adalah tugas para theolog dalam memberikan gambaran. 6) Humanisme, yaitu aliran yang berpandangan bahwa baik dan buruknya sesuatu itu adalah sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri, atau kemanusiaannya. Dari sejumlah aliran dalam mengukur baik buruknya sesuatu di atas, Islam tentu saja memiliki sikap tersendiri. Islam berpandangan bahwa baik dan buruk itu adalah sesuai dengan kehendak Allah. Meski demikian, tidak mudah menjawabnya. Jika muncul 3 pertanyaan yang manakah yang dikehendaki Tuhan? Sebagai antaran awal, guna menjawab pertanyaan ini, bahwa kehendak Tuhan tentu saja adalah apa-apa yang difirmankan di dalam al-Qur‘an dan ajaran praktis para utusan-Nya, khususnya terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Lebih dari itu, pemahaman tentang kebaikan dan keburukan, atau yang dikehendaki oleh Allah dan yang tidak dikehendakiNya dapat pula diperoleh melalui akal, jiwa dan hati yang jernih. b. Definisi Akhlak Secara Istilah Akhlak yang berasal dari kata khuluq secara hahasa menurut ibnu mundzir: berarti Ad-diin wa at-thab’u, wa as-sajiyah. Sementara Azhari mengatakan At-thabi’atu dan kholiqotu serta saliqotu mempunyai makna yang sama. Menurut istilah ada beberapa definisi tentang akhlak. Pertama, adalah kemampuan yang menimbulkan pekerjaan-pekerjaan dengan mudah tanpa harus berfikir dan terbebani (al-abd, Nd) Definisi kedua akhlak adalah kumpulan dari makna-makna dan sifat-sifat yang bersemayam di dalam jiwa yang darinya perbuatan seseorang menjadi baik atau buruk (al-Kharaiti, 14). Definisi yang ketiga akhlaq adalah perumpamaan dari kondisi jiwa yang bersih yang memunculkan perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan pikiran. Jika keadaan jiwa itu menimbulkan perbuatan yang baik, baik secara akal maupunsyariat dengan mudah, maka akhlak itu disebut dengan akhlak yang baik, dan jika yang muncul adalah perbuatan yang jelek maka disebut dengan akhlak yang buruk. Akhlak juga diartikan sebagai perilaku manusia sebagaimana mestinya sesuai dengan teladan yang baik sehingga akal manusia condong untuk mengikutinya bukan sebagai tujuan tetapi karena itu wajib. Ibnu Athir dalam bukunya An-Nihayah memberikan komentar sebagai berikut: “Hakikat makna khuluq itu adalah gambaran batin manusia (yaitu jiwa dan sifatsifatnya), sedang khalqun merupakan gambaran bentuk luarnya (raut muka, warna kulit, tinggi rendah tubuhnya, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan sikap dan perbuatan hamba)”. Pendapat Ibnu Athir ini sejalan dengan Imam Al-Ghazali yang menyatakan.bahwa: “Bilamana orang mengatakan si A itu baik khalqunya dan khuluqnya, berarti si A baik sifa-sifat lahirnya dan sifat-sifat batinnya. Jadi, berdasarkan sudut pandang kebahasaan, defenisi akhlak dalam pengertian sehari-hari disamakan dengan ―budi pekerti‖, kesusilaan, sopan santun, tata karma dan karakter (versi bahasa Indonesia), sedang dalam Bahasa Inggrisnya disamakan dengan 4 istilah moral atau etic. Dalam bahasa Yunani istilah ―akhlak dipergunakan istilah ethos atau ethikos atau etika (tanpa memakai huruf H) yang mengandung arti ―Etika adalah Bahasa Indonesia untuk memakai akal budi dan daya pikirnya dalam memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi baik. Dan etika itu adalah sebuah ilmu bukan sebuah ajaran. Dalam sebuah kitab yang ditulis oleh Abd. Hamid Yunus dinyatakan: ‫ا ألخالق هو صفات الانسان ا ألدابية‬ Artinya: “Akhlak ialah segala sifat manusia yang terdidik” Ungkapan tersebut memberikan pemahaman bahwa sifat/potensi yang dibawa setiap manusia sejak lahir: artinya, potensi tersebut sangat bergantung dari cara pembinaan, latihan/pembiasaan dan pembentukannya. Apabila pengaruhnya posotif, outputnya adalah akhlak mulia; sebaiknya apabila pembinaaannya negatif, yang terbentuk adalah akhlak mazmumah (tercela). Lingkungan keluarga, masyarakat dan situasi negara sangat mempengruhi akhlak seseorang, sebagai individu dan warga negara, karena secara potensial dan aktual Allah telah membentangkan jalan yang benar dan jalan yang salah. Firman Allah surat Al-Syam: 8 ‫ورهَا َوت َۡق َو ٰى َها‬ َ ‫فَأ َ ۡل َه َم َها فُ ُج‬ Artinya: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kepasikan dan ketakwaannya”. Pemahaman tentang akhlak dapat diperoleh dari para para tokoh moralis Islam. Berikut ini dikemukakan defenisi akhlak menurut beberapa pakar, yaitu sebagai berikut: 1) Ibn Miskawaih ‫حال للنفس داعية هلا اىل افعاهلا من غري فكر وروية‬ Artinya: “Keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran (lebih dulu) 2) Iman Al-Ghazali ‫اخللق عبارة عن هيئة ىف النفس راسخة عنها تصدر األفعال بسهولة ويسر من غري حاجة إىل فكر وروية‬ Artinya: “Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (lebih dulu). 3) Ahmad Amin ‫عرف بعضهم اخللق ابنه عادة اإلرادة يعىن أن اإلرادة إذا اعتادت شيئا فعائدهتا هي املسماة ابخللق‬ Artinya: “Sebagian orang mengartikan bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang 5 dibiasakan( karakter). Artinya, kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak”. Menurut Ahmad Amin, kehendak ialah ketentuan dari beberapa keinginan manusia setelah bimbang, sedang kebiasaan merupakan perbuatan yang diulang- ulang sehingga mudah melakukannya. Masing-masing dari kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan, dan gabungan dari dua kekuatan itu menimbulkan kekuatan yang lebih besar. Kekuatan yang besar inilah yang bernama akhlak. Akhlak darmawan umpamanya, semula timbul dari keinginan berderma atau tidak. Dari kebimbangan ini tentu pada akhirnya timbul, umpamanya, ketentuan memberi derma. Ketentuan ini adalah kehendak, dan kehendak ini bila dibiasakan akan menjadi akhlak, yaitu akhlak dermawan. Betapapun semua definisi akhlak diatas berbeda redaksinya, tetapi sebenarnya tidak berjauhan maksudnya, bahkan artinya berdekatan satu dengan yang lain, sehingga Prof. K.H. Farid Ma‘ruf membuat kesimpulan tentang definisi akhlak ini sebagai berikut: “Kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu”. Dalam pengertian yang hampir sama dengan kesimpulan di atas, Dr. M. Abdullah Darroz, mengemukakan definisi akhlak sebagai berikut: “Akhlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak yang berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (dalam hal akhlak yang baik) atau pilihan yang jahat (dalam hal akhlak yang jahat)”. Selanjutnya menurut Abdullah Darraz, bahwa perbuatan-perbuatan manusia dapat dianggap sebagai menifestasi dari akhlaknya, apabila memenuhi dua syarat, yaitu: 1) Perbuatan-perbuatan itu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama sehingga menjadi kebiasaan, 2) Perbuatan-perbuatan ini dilakukan karena dorongan emosi-emosi jiwanya, bukan karena adanya tekanan-tekanan yang datang dari luar, seperti paksaan dari orang lain yang menimbulkan ketakutan, atau bujukan dengan harapan- harapan yang indah-indah, dan lain sebagainya. Sesungguhnya akhlak mempunyai peran yang penting dalam perilaku manusia dan apa yang dimunculkannya. Perilaku manusia sesuai dengan apa yang bersemayam di dasar jiwanya dari nilai-nilai dan sifat-sifat. Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan manusia selalu berhubungan dengan jiwanya, artinya adalah bahwa baiknya perbuatan seseorang itu dikarenakan karena baiknya akhlak orang tersebut. 6 Oleh karena itu metode yang paling tepat untuk memperbaiki perilaku manusia adalah dengan memperbaiki jiwa-jiwa dan mensucikannya serta menanamkan akhlak akhlak yang utama. Islam sudah menjelaskan bahwa perubahan keadaan seseorang itu mengikuti perubahan jiwanya. Allah berfirman dalam Surat Ar Radu ayat 11: ُ َ‫ت ِّم ۢن َب ۡي ِّن َيدَ ۡي ِّه َو ِّم ۡن خ َۡل ِّفِّۦه َي ۡحف‬ٞ ‫لَهۥُ ُم َع ِّق ٰ َب‬ َ ‫ٱّلل ِّإ َن‬ ‫ٱّللَ ََل يُغ َِّي ُر َما ِّبقَ ۡو ٍم َحت َ ٰى يُغ َِّي ُرواْ َما ِّبأَنفُ ِّس ِّه ۡ ِۗم‬ ِّ ِۗ َ ‫ظونَهۥُ ِّم ۡن أَمۡ ِّر‬ َ َ‫َو ِّإذَآ أَ َراد‬ ‫س ٓو ٗءا فَ ََل َم َردَ لَ ۚهۥُ َو َما لَ ُهم ِّمن دُونِِّّۦه ِّمن َوا ٍل‬ ُ ‫ٱّللُ ِّبقَ ۡو ٖم‬ “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia” Akhlak yang terpuji merupakan kebutuhan primer dari suatu masyarakat. Sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa yang kuat dan maju adalah bangsa yang memiliki akhlak yang baik. 2. Dasar Ilmu Akhlak Akhlak sebagaimana hal-hal lainnya memiliki dasar-dasar. Adapun dasar dari akhlak di dalam aqidah Islamiyah adalah: Pertama: Dasar I’tiqadi Dasar I’tiqadi ini meliputi tiga hal: a. Iman dan percaya kepada Allah (bahwa Allah itu ada dan nyata) yang menciptakan mati dan hidup, manusia dan alam semesta, Dialah Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatu, yang telah lalu, saai ini dan yang akan datang. b. Sesunggguhnya Allah sejak menciptakan manausia di dunia ini telah mengenalkannya kepada Diri (jiwa) nya, dan mengenalkan jalan yang baik dan buruk, mengenalkan yang haq dan yang batil melalui risalah dan wahyu. Allah juga memberikan kemampuan kepada manusia untuk memahami hakikat tersebut, serta memberikan petunjuk kaarah hal tersebut di dalam alam ini yang barang siapa mau merenungkan dan mencarinya maka akan dapat menemukannya. c. Adanya kehidupan setelah mati. Kehidupan setelah mati ini ada yang penuh kenikmatan namun sebaliknya ada juga yang penuh derita. Kenikmatan setelah mati dapat diperoleh dengan mengikuti kebenaran. Sedangkan mereka yang 7 mengikuti kebatilan akan mendapatkan kehidupan setelah mati yang sangat pedih. Akhlak Islam mengarahkan manusia untuk mengikuti yang benar guna meraih kebahagiaan di dunia dan setelah mati (Yaljin, 1392: 119-121). Kedua, Dasar Ilmiah Islam adalah agama yang moderat. Islam mengambil posisi ditengah diantara dua kelompok yang bertolak belakang. Kelompok pertama meyakini dan mengarahkan orientasi hidupnya hanya pada kehidupan dunia ini saja dan mengabaikan (bahkan mengingkari) kehidupan setalah kehidupan di dunia ini. Kelompok kedua sebaliknya berorientasi pada kehidupan setelah kematian mengambil jalan kehidupan ruhani dan mengabaiakan kehidupan dunia. Sedangkan Islam mengambil posisi ditengah tengah dengan menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Ketiga, (Menjaga) Tabiat Manusia Hal ini dikarenakan adanya hubungan yang erat antara perilaku (perbuatan) manusia dengan tabiat (perangai) manusia, maka untuk dapat membentuk akhlak yang baik para ulama menaruh perhatian pada aspek tabiat manusia. Akhlak manusia secara umum dibagi menjadi tiga, akhlak manusia dengan Tuhannya, akhlak manusia dengan dirinya, dan akhlak manusia kepada masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu tanggunng jawab akhlak adalah mengarahkan manusia pada nilai-nilai dan usaha-usaha dalam perbuatannya, baik positif atau negativ untuk dipertanggung jawabkan dihadapan Allah, dirinya sendiri dan dalam masyarakat sosialnya (yaljin, 1392: 327). Berdasarkan uraian di atas nilai tanggung jawab akhlak ini didasarkan pada tiga dasar: a. Iman kepada Allah, karena pilihan untuk berpegang pada akhlak yang utama dan meninggalkan akhlak tercela tidak dapat terwujud kecuali dengan keyakinan yang mantap yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan. Begitu juga pertimbangan untuk melakukan atau tidak melakukan tidak akan muncul kecuali dengan keyakinan yang bersih, dan keyakinan ini adalah iman kepada Allah. b. Dasar Rasional (akal). Hal ini karena akal diciptakan bagi manusia agar dapat membedakan perkara benar dan salah, baik dan buruk sehingga manusia siap menerima perintah dan larangan, juga manusia memperoleh akibat-akibat dari perbuatannya (Al-Muhasibi, 1420: 252). Akal juga bisa memberikan isyarat dan menunjukkan pada kebenaran (al-asfahany, 1408: 102). Akal juga menjadi media untuk membuat pertimbanagan dalam menentukan pilihan. c. Dasar intuisi (hati), hati bisa menjadi dasar pertimbangan perbuatan manusia, seseorang yang mau merenungkan perbuatannya dengan bertanya pada hatinya 8 maka akan menemukan ketenangan dalam hatinya jika dia melakukanperbuatan baik. Atau hatinya menjadi bingung dan takut perbuatannya diketahuiorang lain jika melakukan perbuatan buruk. 3. Objek Kajian Ilmu Akhlak Sebelum sampai kepada pembahasan inti tentang objek akhlak, sebaiknya perlu dipahami dahulu apa sebenarnya ilmu akhlak itu. Ilmu akhlak ialah ilmu untuk menetapkan segala perbuatan manusia. Baik atau buruknya, benar atau salahnya, sah atau batal, semua itu ditetapkan dengan mempergunakan ilmu akhlak sebagai petunjuknya. Ahmad Amin lebih mempertegas lagi dalam kitabnya Al-Akhlak dengan menyatakan bahwa Ilmu Akhlak adalah: ‫علم يوضح معىن اخلري والشر ويبني معاملة الناس بعضهم بعضا ويشرح الغاية الىت ينبغى أن‬ ‫يقصدها ما ىف أعماهلم ويبني السبيل لعمل ما ينبغى‬ Artinya: “Ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, dan menerangkan apa yang harus diperbuat oleh sebagian manusia terhadap sesamanya dan menjelaskan tujuan yang hendak dicapai oleh manusia dan perbuatan mereka dan menunjukkanyang lurus yang harus diperbuat”. Jadi, menurut definisi tersebut ilmu akhlak itu mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. Menjelaskan pengertian baik dan buruk; b. Menerangkan apa yang seharusnya dilakukan seseorang serta bagaimana cara kita bersikap terhadap sesama; c. Menjelaskan mana yang patut kita perbuat, dan d. Menunjukkan mana jalan lurus yang harus dilalui. Berdasarkan beberapa bahasan yang berkaitan dengan ilmu akhlak, maka dapat dipahami bahwa objek (lapangan/sasaran) pembahasan ilmu akhlak itu ialah tindakantindakan seseorang yang dapat diberikan nilai baik/buruknya, yaitu perkataan dan perbuatan yang termasuk dalam kategori perbuatan akhlak. Dalam hubungan ini, Dr. Ahmad Amin mengatakan bahwa ―etika itu menyelidiki segala perbuatan manusia kemudian menetapkan hukum baik atau buruk. J.H. Muirhead meyebutkan bahwa pokok pembahasan (subject matter) etika adalah penyelidikan tentang tingkah laku dan sifat manusia. Muhammad Al-Ghazali mengatakan bahwa daerah pembahasan ilmu akhlak 9 meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (perseorangan)maupun kelompok (masyarakat). Untuk jelasnya, bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu dapat dibagi dalam tiga macam perbuatan. Dari yang tiga ini ada yang masuk perbuatan akhlak dan ada yang tidak masuk perbuatan akhlak. a. Perbuatan yang dikehendaki atau disadari, pada waktu dia berbuat dan disengaja. Jelas, perbuatan ini adalah perbuatan akhlak, bisa baik atau buruk, tergantung pada sifat perbuatannya. b. Perbuatan yang tidak dilakukan tidak dikehendaki, sadar atau tidak sadar diwaktu dia berbuat, tetapi perbuatan itu diluar kemampuannya dan dia tidak bisa mencegahnya. Perbuatan demikian bukan perbuatan akhlak. Perbuatan ini ada dua macam: 1) Reflex action, al-a’maalu-mun’akiyah Umpamanya, seseorang keluar dari tempat gelap ketempat terang, matanya berkedip-kedip. Perbuatan berkedip-kedip ini tidak ada hukumnya, walupun dia berhadap-hadapan dengan seseorang yang seakan-akan dikedipi. Atau seseorang karena digigit nyamuk, dia menamparkan tangan pada yang digigit nyamuk tersebut. 2) Automatic action, al-a’maalu ‘aliyah Model ini seperti halnya degup jantung, denyut urat nadi dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan reflex actions dan automatic actions adalah perbuatan di luar kemampuan seseorang, sehingga tidak termasuk perbuatan akhlak. c. Perbuatan yang samar-samar, tengah-tengah, mutasyabihat. Yang dimaksud samar-samar/tengah-tengah, mungkin suatu perbuatan dapat dimasukkan perbuatan akhlak tapi bisa juga tidak. Pada lahirnya bukan perbuatan akhlak, tapi mungkin perbuatan tersebut termasuk perbuatan akhlak, sehingga berlaku hukum akhlak baginya, yaitu bahwa perbuatan itu baik atau buruk. Perbuatan-perbuatan yang termasuk samar-samar, umpamanya lupa, khilaf, dipaksa, perbuatan diwaktu tidur dan sebagainya. Terhadap perbuatan-perbuatan tersebut ada hadis-hadis rasul yang menerangkan bahwa perbuatan-perbuatan lupa, khilaf, dipaksa, perbuatan diwaktu tidur dan sebagainya, tidak termasuk perbuatan akhlak. Selanjutnya, dalam menetapkan suatu perbuatan yang muncul dengan kehendak dan disengaja hingga dapat dinilai baik atau buruk, ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan: (1) situasi dalam keadaan bebas, sehingga tindakan dilakukan dengan sengaja dan (2) pelaku tahu apa yang dilakukan, yakni mengenai nilai baik buruknya. 10 Oleh sebab itu, suatu perbuatan dapat dikatakan baik buruknya manakala memenuhi syarat-syarat diatas. Kesengajaan merupakan dasar penilaian terhadap tindakan seseorang. Sebagai contoh, seorang prajurit yang membunuh musuh dimedan perang tidak dikatakan melakukan kejahatan, karena ia dipaksa oleh situasi perang. Seorang anak kecil yang main api didalam rumah hingga berakibat rumah itu terbakar, tidak dapat dikatakan bersalah, karena ia tidak tahu akibat perbuatannya itu. Dalam Islam faktor kesengajaan merupakan penentu dalam penetapan nilai tingkah laku/tindakan seseorang. Seorang muslim tidak berdosa karena melanggar syariat, jika ia tidak tahu bahwa ia berbuat salah menurut hukum Islam. Erat kaitannya dengan permasalahan di atas, Rasulullah saw telah memberikan penjelasan bahwa kalaulah suatu tindakan itu dilakukan oleh seseorang yang didasari karena kelalaian (di luar kontrol akal normal) atau karena dipaksa, betapapun adaukuran baik/buruknya, tidak dihukumi sebagai berdosa. Ini berarti diluar objek ilmu akhlak. Dalam hubungannya dengan problem di atas, Rasulullah saw telah mengeluarkan sabdanya yang diriwatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Hakim dari Umar bahwa Rasulullah saw. berdabda: ‫رفع القلم عن اجملنون املغلوب على عقله حىت يربأ وعن النائم حىت يستيقظ وعن الصيب‬ ‫حىت حيتلم‬ Artinya: “Tidak berdosa seorang muslim karena tiga perkara: (1) orang gila hingga sembuh dari gilanya, (2) orang yang tidur hingga terbangun dan (3) seorang anak hingga ia dewasa”. Berdasarkan hadis tersebut, perbuatan lupa atau khilaf tidak diberi hukum dan tidak termasuk perbuatan akhlak. Perbuatan tersebut umpamanya perbuatan diwaktu tidur dan yang dipaksa. Namun, menurut ayat Al-Qur‘an, kita diperintahkan berdo’a kepada Allah, untuk minta ampun, agar Allah tidak menghukum dan menyiksa kita apabila kita berbuat lupa dah khilaf yang dianggap salah, sehingga mendapat hukuman siksa. Jadi meskipun demikian lupa atau khilaf termasuk perbuatan akhlak. Dalam hal ini para ahli etika menyimpulkan bahwa perbuatan lupa dan khilaf dan sebagainya ada dua macam: a. Apabila perbuatan itu sudah dapat diketahui akibatnya atau patut diketahuiakibatakibatnya, atau bisa juga diikhtiarkan untuk terjadi atau tidak terjadinya. Oleh karena itu, perbuatan mutasyabih demikian disebut perbuatan ikhtiari atau ghair ta’adzur, sehingga dimasukkan perbuatan akhlak. Umpamanya, kalau kita tahu bahwa dikhawatirkan kalau tidur akan berbuat yang tidak diinginkan, maka hendaknya sebelum tidur kita harus menjauhkan benda-benda yang 11 membahayakan, senjata harus diamankan, api dipadamkan, pintu-pintu dikunci dan sebagainya. b. Apabila perbuatan ini tidak kita ketahui sama sekali dan diluar kemampuan manusia, walaupun sudah diikhtiarkan sebelumya, tapi toh terjadi juga, perbuatan demikain disebut ta’adzury (diluar kemampuan manusia). Perbuatan demikian tidak termasuk perbuatan akhlak. Rasulullah saw telah mengisyaratkan hal ini sebagai berikut: ‫إن هللا تعاىل جتاوز ىل وعن امىت اخلطأ والنسيان وما استكرهوا عليه‬ Artinya:“Sesungguhnya Allah member maaf bagiku dari umatku yang khilaf, lupa dan terpaksa”. 4. Sumber Akhlak Islam Sebagaimana ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur‘an dan Hadits maka akhlak Islam juga demikian bersumber pada dua sumber ajaran Islam tersebut yaitu: al-Qur‘an dan hadits (Sunnah). Dalil yang menerangkan hal tersebut misalnya Q.S al-Ahzab:31: ْ ُ‫َو َمن يَ ْقن‬ ‫صا ِّل ًحا نُؤْ تِّ َهآ أَ ْج َرهَا َم َرتَي ِّْن َوأَ ْعتَ ْدنَا‬ ُ ‫ت ِّمن ُك َن ِّ َّللِّ َو َر‬ َ ‫سو ِّل ِّه َوتَ ْع َم ْل‬ ‫لَ َها ِّر ْزقًا َك ِّري ًما‬ Artinya: ―dan barang siapa diantara kamu sekalian (isteri-isteri Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscata Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezki yang mulia” Atau Sabda Nabi saw.: ‫امنا بعثت ألمتم مكارم األخالق‬ Artinya: Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik (HR. Muslim) )‫أكمل املؤمنني امياان احسنهم خلقا وخياركم خياركم لنسائهم (رواه الرتمذى‬ Artinya: Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan yang terbaik diantara kalian adalah yang paling baik (perlakuannya) kepada wanita (istri)nya. (HR. Tirmidzi) 12 5. Tujuan Akhlak Akhlak yang diberi penekanan cukup besar dalam agama Islam tentu memiliki tujuan yang ingin dicapai. Diantara tujuan dari akhlak adalah: a. Menjadikan manusia memiliki derajat tinggi dan sempurna. b. Akhlak menjadikan manusia senantiasa menghiasi diri dengan akhlakul karimah dalam berhubungan dengan Allah dan sesamanya. c. Akhlak membedakan manusia dengan makhluk lainnya. d. Akhlak yang baik menjadikan manusia bahagia di dunia dan beruntung di akhirat. e. Dengan akhlak yang baik maka keberlangsungan umat manusia akan tetap terjaga. f. Akhlak yang baik menjadikan iman seorang mukmin menjadi sempurna. (Mu‘ti et.al, 2001:37-38) 6. Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak Akhlak adalah mutiara hidup yang membedakan makhluk manusia dengan makhluk hewani. Manusia tanpa akhlak akan hilang derajat kemanusiaannya sebagai makhluk Allah yang paling mulai, menjadi turun kemartabat hewani. Manusia yang telah lari dari sifat insaniyahnya adalah lebih berbahaya dari binatang buas. Di dalam surat AlTiin ayat 4-6, Allah mengajarkan bahwa: “sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya; kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka); kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”. Menurut Iman Al-Ghazali dalam bukunya Mukasyafatul Qulub, Allah telah menciptakan makhluk-Nya terdiri atas tiga kategori. Pertama, Allah menciptakan malaikat dan diberikan kepadanya akal dan tidak diberikan kepadanya elemen nafsu (syahwat). Kedua, Allah menjadikan binatang dan tidak dilengkapi dengan akal, tetapi dilengkapi dengan syahwat saja. Ketiga, Allah menciptakan manusia (anak Adam) lengkap dengan elemen akal dan syahwat (nafsu). Oleh karena itu, barang siapa yang nafsunya dapat mengalahkan akalnya, maka hewan melata misalnya lebih baik dari manusia. Sebaliknya bila manusia dengan akalnya dapat mengalahkan nafsunya, derajatnya diatas malaikat. Sedangkan menurut Prof. John Oman, Morality without religion lacks awide heaven to bearth in (moral tanpa agama kehilangan tempat yang luas 13 untuk bernafas). Akhlak sangat urgen bagi manusia. Urgensi akhlak ini tidak saja dirasakan oleh manusia dalam kehidupan perseorangan, tetapi juga dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, bahkan juga dirasakan dalam kehidupan berbangsa atau bernegara. Akhlak adalah mustika hidup yang membedakan makhluk manusia dan makhluk hewani. Manusia tanpa akhlak adalah manusia yang telah ―membinatang, sangat berbahaya. Ia akan lebih jahat dan lebih buas dari pada binatang buas itu sendiri. Jika akhlak telah lenyap dari diri masing-masing manusia, kehidupan ini akan kacau balau, masyarakat menjadi berantakan. Orang tidak lagi peduli soal baik atau buruk, halal atau haram. Dalam al-Qur‘an ada peringatan yang menjadi hukum besi sejarah (sunnatullah), yaitu firman Allah dalam surat al-Araf Ayat 182: ُ ‫سنَ ْستَ ْد ِّر ُج ُهم ِّم ْن َحي‬ ‫} َوأ ُ ْم ِّلي‬١٨٢{ َ‫ْث َلَيَ ْعلَ ُمون‬ َ ‫َوالَذِّينَ َكذَبُوا ِّبئَايَاتِّنَا‬ ‫لَ ُه ْم ِّإ َن َك ْيدِّي َمتِّين‬ Artinya: “dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami lalaikan mereka dengan kesenangan-kesenangan dari jurusan yang mereka tidak sadari tidak mereka kertahui”. Rasulullah saw. pun diutus diantara misinya membawa ummat manusia kepada akhlakul karimah. Dalam sabdanya disebutkan: ‫إمنا بعثت ألمتم مكارم األخالق‬ Artinya: “Saya diutus (kedunai) ialah untuk menyempurnakan akhlak yangmulai”. Syauqi Beik, penyair Arab yang ternkenal pernah memperingatkan bangsa Mesir ‫وإنما األمم األحَلق ما بقيت وإن هموا ذهبت اخَلقهم ذهبواا‬ Artinya: “Bangsa itu hanya bisa bertahan selama mereka memiliki akhlak. Bila akhlak telah lenyap dari mereka, merekapun akan lenyap pula”. Berdasarkan definisi ilmu akhlak yang sudah dijelaskan, manfaat mempelajari ilmu akhlak sebagai berikut: a. Dapat menyinari orang dalam memecahkan kesulitan-kesulitan rutin yang dihadapi manusia dalam hidup sehari-hari yang berkaitan dengan perilaku. b. Dapat menjelaskan kepada orang sebab atau illat memilih perbuatan yang baik dan lebih bermanfaat. c. Dapat membendung dan mencegah kita secara kontinyu untuk tidak terperangkap kepada keinginan-keinginan nafsu, bahkan mengarahkannya kepada hal yang positif dengan menguatkan unsur iradah. 14 d. Manusia atau orang banyak mengerti benar-benar akan sebab-sebab melakukan atau tidak akan melakukan sesuatu perbuatan, dimana dia akan memilih pekerjaan atau perbuatan yang nilai kebaikannya lebih besar. e. Mengerti perbuatan baik akan menolong untuk menuju dan menghadapi perbuatan itu dengan penuh minat dan kemauan. f. Orang yang mengkaji ilmu akhlak akan tepat dalam memvonis perilaku orang banyak dan tidak akan mengekor dan mengikuti sesuatu tanpa pertimbangan yang matang lebih dulu. Sebenarnya dengan memahami ilmu akhlak itu bukanlah menjadi jaminan bahwa setiap yang mempelajarinya secara otomatis menjadi orang yang berakhlak mulia, bersih dari berbagai sifat tercelah. Ilmu akhlak ibarat dokter yang hanya memberikan penjelasan penyakit yang diderita pasien dan memberikan obat-obat yang diperlukan untuk mengobatinya. Dokter menjelaskan apa dan bagaimana memelihara kesehatan agar ia sembuh dari penyakitnya; memberikan saran-saran dan peringatan bahaya-bahaya penyakit yang diderita pasiennya agar ia lebih berhati-hati menjagadirinya. Jadi, tugas dokter bukan untuk menyembuhkan pasien, tetapi dia menjelaskan dengan sesempurna mungkin mengenai penyakit dan gejala-gejala penyakit. Bila si pasien tidak menghentikan merokok atau tidak meninggalkan minuman-minuman keras, misalnya, jadi, kesembuhan suatu penyakit sangat tergantung kepada si pasien apakah setelah ia mendapat keterangan dari dokter mau menurutinya atau tidak. Jika dituruti, insya Allah dia ada harapan terhindar dari penyakit atau penyakit yang sedang diderita itu akan berangsur-angsur hilang dan dia menjadi sehat. Dengan demikian, faedah ilmu akhlak dapat dipahami bahwa sesungguhnya ilmu akhlak tidak memberi jaminan seseorang menjadi baik dan sopan. Ilmu akhlak membuka mata hati seseorang untuk mengetahui suatu perbuatan dapat dikatakan baik atau buruk. Selain itu juga memberikan pengertian apa faedahnya jika berbuat baik dan apa pula bahayanya jika berlaku jahat. 7. Pembagian Akhlak Beberapa definisi dari akhlak yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, menjelaskan bahwa aspek penting dari akhlak adalah nilai dari perbuatan manusia; baik atau buruk. Berdasarkan definisi di atas akhlak yang merupakan ilmu yang mengkaji tentang perbuatan manusia, akhlak dapat diklasifikasikan menjadi dua; yaitu akhlak yang terpuji yang seorang mukmin harus menghiasi dirinya dengannya, dan akhlak yang tercela yang harus dijauhi dan dihindari oleh seorang mukmin. 15 Dualisme bentuk akhlak yaitu akhlak yang baik dan akhlak yang buruk membawa konsekwensi berbeda bagi pelakunya. Masing-masing perbuatan akhlak manusia akan mendapatkan balasannya baik atau buruk. Sebagaimana dijelaskan diatas akhlak seseorang dibagi menjadi tiga, akhlak terhadap Allah, terhadap diri sendiri dan masyarakat. Maka manusia akan menerima balasan dari dari tiga akhlak ini. Balasan dari Allah untuk akhlak manusia berupa pahala untuk orang yang berakhlak baik dan hukuman bagi yangberakhlak buruk. Balasannya itu bisa di dunia atau kelak di akhirat. Balasan dari akhlak terhadap diri sendiri adalah berupa ketenangan dan kebahagiaan kalau akhlaknya baik, dan kegelisahan kalau akhlaknya buruk. Sedangkan balasan dari masyarakat adalah berupa sanksi sosial sesuai dengan aturan yang berlaku didalam masyarakat. Pembagian akhlak yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah menurut sudut pandang Islam, baik dari segi sifat maupun dari segi objeknya. Dari segi sifatnya, akhlak dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertama, akhlak yang baik, atau disebut juga akhlak mahmudah (terpuji) atau akhlak al-karimah; dan kedua, akhlak yang buruk atau akhlak madzmumah. a. Akhlak Mahmudah Akhlak mahmudah adalah tingkah laku terpuji yang merupakan tanda keimanan seseorang. Akhlak mahmudah atau akhlak terpuji ini dilahirkan dari sifat-sifat yang terpuji pula. Sifat terpuji yang dimaksud adalah, antara lain: cinta kepada Allah, cinta kepda rasul, taat beribadah, senantiasa mengharap ridha Allah, tawadhu‘, taat dan patuh kepada Rasulullah, bersyukur atas segala nikmat Allah, bersabar atas segala musibah dan cobaan, ikhlas karena Allah, jujur, menepati janji, qana‘ah, khusyu dalam beribadah kepada Allah, mampu mengendalikan diri, silaturrahim, menghargai orang lain, menghormati orang lain, sopan santun, suka bermusyawarah, suka menolong kaum yang lemah, rajin belajar dan bekerja, hidup bersih, menyayangi binatang, dan menjaga kelestarian alam. Selain itu terdapat pula sikap untuk menilai orang lain yang disebut dengan husnuzzan. Husnuzzan artinya berprasangka baik. Sedangkan huznuzhan kepada Allah SWT mengandung arti selalu berprasangka baik kepada Allah SWT, karena Allah SWT akan memberikan terhadap hamba-Nya seperti yang hambanya sangkakan kepadaNya. Kalau seorang hamba berprasangka buruk kepada Allah SWT maka buruklah prasangka Allah kepada orang tersebut, jika baik prasangka hamban kepadanya maka baik pulalah prasangka Allah kepada orang tersebut. Apabila kita melihat petunjuk ayat-ayat al-Quran, terdapat isyarat tentang adanya hirarki atau tingkatan akhlak mahmudah, yaitu: 16 1) Tingkat Hasanah, artinya hirarki akhlak mahmudah dalam tingkatan yang paling rendah. Contoh kongkritnya misalnya menjawab salam dengan redaksi yang sama dengan yang diucapkan oleh pemberi salam. Misalnya, ketika seseorang mengucapkan salam dengan redaksi ―Assalamu’alaikum, dijawab dengan ucapan―wa’alikumussalam. 2) Tingkat Karimah, artinya hirarki akhlak mahmudah dalam tingkat yang lebih tinggi dari tingkat hasanah. Contoh kongkritnya misalnya menjawab salam dengan redaksiyang lebih panjang dari yang diucapkan pemberi salam. Misalnya, ketika seseorang mengucapkan salam dengan redaksi ―Assalamu’alaikum, dijawab dengan ucapan ―wa’alikumussalam warohmatullah wabarokatuh. 3) Tingkat ‘Azhimah (‫)عظيمة‬, artinya hirarki akhlak mahmudah dalam tingkat yang paling tinggi. Bentuk kongkritnya yaitu membalas keburukan dengan kebaikan. Hal ini memang tidak mudah. Rasulullah SAW adalah personifikasi orang yang mampu mempraktekkan tingkatan ini. Makanya Rasul disebut orang yang memiliki akhlak mulia dengan tingkat ini. Hal ini diisyaratkan dalam Q.S. alQalam [68]: 4 berikut ini: ‫ع ِّظ ٍيم‬ َ ‫ق‬ ٍ ُ‫َو ِّإنَ َك لَعَلَى ُخل‬ Artinya: ―dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” Hirarki akhlak mahmudah tingkat hasanah dan karimah dalam al-Quran diisyaratkan oleh Q.S. al-Nisa [4]: 86 berikut ini: ‫علَى ُك ِّل‬ َ َ‫سنَ ِّم ْن َهآ أَ ْو ُردُّوهَآ إِّ َن للاَ َكان‬ َ ‫َوإِّذَا ُحيِّيتُم بِّتَ ِّحيَ ٍة فَ َحيُّوا بِّأ َ ْح‬ ‫ش ْىءٍ َحسِّيبًا‬ َ Artinya: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu”. b. Akhlak Madzmumah Akhlak madzmumah adalah tingkah laku yang tercela atau perbuatan jahat yang merusak iman seseorang dan menjatuhkan martabat manusia. Sifat yang termasuk akhlak mazmumah adalah segala sifat yang bertentangan 17 dengan akhlak mahmudah, antara lain: kufur, syirik, munafik, fasik, murtad, takabbur, riya, dengki, bohong, menghasut, kikil, bakhil, boros, dendam, khianat, tamak, fitnah, qati‘urrahim, ujub, mengadu domba, sombong, putus asa, kotor,mencemari lingkungan, dan merusak alam. Berdasarkan uraian di atas, hendaknya seorang mukmin senantiasa menghiasi dirinya dengan akhlak yang terpuji dalam setiap tarikan dan hembusan nafasnya. Hal demikian ini sudah diajarkan oleh Allah melalui al-Quran untuk hidup dalam tuntunan Ilahi. Quraish Shihab menjelaskan tentang hal ini dalam menafsirkan al-Quran surat alAnfalayat 34 yang berbunyi: “Hai orang-orang beriman berkenan lah Allah dan Rasul apabila Dia menyeru kamu kepada apa yang menghidupkan kamu”. Menurut Quraish Shihab kata menghidupkan kamu dalam surat al-Anfal ayat 34 tersebut mengandung arti bahwa Allah menganugerahi manusia apa yang berpotensi mencapai kesempurnaannya. Seperti pencerahan akalnya, keyakinan yang benar, budi pekerti yang luhur. petunjuk menyangkut kegiatan positif serta perbaikan individu dan masyarakat. (Shihab, 2018: 68-69) Sebagaimana akhlak terpuji, akhlak tercela juga dapat dikatakan memiliki tingkatan, walaupun tidak secara tegas diisyaratkan dalam teks al-Quran atau hadits. Kata-kata hûban kabîra yang terdapat dalam Q.S. al-Nisa [4]: 2 yang ditafsirkan dengan dzanban ‘azhîmâ (dosa besar) atau kata-kata lain yang semakna dengannya, atau istilah min al-kabâir dalam hadits nabi menunjukkan adanya tingkatan dosa besar. Beberapa contoh dosa besar yang dijelaskan dalam al-Quran dan hadits diantaranya: syirik, menyakiti kedua orang tua, memakan harta riba, mengkonsumsi minuman keras (khamr), membunuh jiwa bukan karena alasan yang benar, dan lain. Mafhum mukhalafah dari adanya dosa besar adalah ada yang disebut dosa kecil, walaupun dalamteks al-Quran tidak ada istilah dzanban shagîra. Seorang muslim dituntut menjauhi dosa besar dan kecil. Ketika melakukan dosa besar segera bertaubat kepada Allah, dan diusahakan sekua mungkin mengerjakan dosa kecil. Dalam sebuah keterangandijelaskan: ‫ار‬ ْ ‫اَل‬ ِّ ‫ص َر ِّار َوَلَ َك ِّبي َْرةَ َم َع‬ ِّ ‫ص ِّغي َْرةَ َم َع‬ َ ‫َل‬ ِّ ‫اَل ْستِّ ْغ َف‬ Artinya: “Tidak ada (disebut) dosa kecil kalau dikerjakan terus menerus (akhirnya menjadi besar juga), dan tidak ada dosa besar kalau diiringi istighfar/ tobat(akhirnya akan terhapus juga)”. 18