Jurnal Al-Syir’ah Vol. 8, No. 2, Desember 2010
URGENSI AKAD DALAM
HUKUM EKONOMI ISLAM
Ramli Semmawi•
Abstrak
Manusia tidak pernah lepas dari kontrak (perjanjian/akad) da
lam kehidupannya. Untuk melegalkan setiap hubungan maka
akad senantiasa menjadi acuan dalam kehidupan. Misalkan,
seorang lakilaki dan seorang perempuan terikat pernikahan
hanya apabila telah dilaksanakan akad nikah. Dalam kegiatan
perekonomian umat, lahirnya jual beli pasti dimulai dengan
akad, demikian pula terjadinya sewa menyewa didahului oleh
akad. Hal demikian menggambarkan bahwa akad sangat
penting dalam kehidupan manusia.
Untuk memahami akad tersebut maka penulis melakukan telu
suran pustaka yang membahas tentang landasan filosofis
dalam perjanjian (akad) Islam. Kemudian dilakukan analisis
dengan memberi contoh kasus sebagai bahan kajian.
Hasil studi yang dilakukan ditemukan bahwa ada tiga poin penting
yang sepatutnya diperhatikan dalam akad. Pertama, penting di
pahami bahwa asasasas yang melahirkan akad tersebut merupa
kan acuan moral agama. Kedua, memahami syarat dan rukun
dalam akad merupakan aspek penting kedua yang sepatutnya
dipenuhi dalam akad. Ketiga, pemahaman yang lebih baik ten
tang asas, rukun dan syarat pada akad akan melahirkan para
pihak yang bertanggung jawab dalam melaksanakan isi perjan
jian kontrak yang dilahirkan dan senantiasa menjunjung tinggi
nilai ajaran agama sebagai spirit di dalamnya.
Kata kunci: Akad, musyarakah, hukum Islam, ekonomi Islam.
* Dosen Jurusan Syariah STAIN Manado.
498
Ramli Semmawi - Urgensi Akad dalam Hukum Ekonomi Islam
I. Pendahuluan
Hukum Islam yang mengatur hubungan antarsesama manusia yang
menyangkut ekonomi dan bisnis dikenal dengan istilah fikih mua
malah. Fikih muamalah memuat norma dasar sebagai pedoman.
Adapun operasionalisasinya secara terperinci diserahkan kepada
umat manusia, sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan mereka.
De ngan demikian, praktik muamalah dapat mengalami perubahan
se suai dengan perkembangan masyarakat.
Umumnya, aspek dan materi muamalah berkaitan dengan
masalah akad (perjanjian, kontrak) atau transaksi. Secara
etimologis, akad ber arti perikatan, dan secara terminologis berarti
ikatan antara dua pi hak untuk menetapkan perbuatan hukum
syara’ tertentu yang ber laku serta berakibat hukum bagi salah satu
atau kedua belah pihak yang berakad. Menurut Wahbah azZuhaili,
ahi fikih kontemporer dari Suriah, akad berarti pengikatan ijab
dengan kabul sesuai dengan cara yang telah ditentukan oleh syara’
dan mempunyai akibat hukum tertentu bagi pelakunya.
Menurut Tahir Azhary, hukum perjanjian Islam adalah merupakan
seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari alQuran, Hadits, dan
Ra’yu (Ijtihad) yang mengatur hubungan antara dua orang atau lebih
mengenai suatu benda yang dihalalkan menjadi obyek suatu transaksi.
Sementara Ahmad Azhar Basyir, memberikan definisi akad sebagai
berikut, akad adalah suatu perikatan antara ijab dan kabul dengan cara
yang dibenarkan syara’ yang menetapkan adanya akibatakibat hukum
pada obyek. Ijab adalah pernyataan pihak pertama me ngenai isi
perikatan yang diinginkan, sedang kabul adalah pernyataan pihak
kedua untuk menerimanya.
Akad dalam kehidupan umat manusia begitu penting karena ia
Fathurrahman Djamil. “Fikih Muamalah”, dalam Taufik Abdullah (ed) Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid III, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
2005), h. 133.
Ibid. hlm. 134.
Gemala Dewi. Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana.
2005), h. 3.
Basyir, Ahmad Azhar. Asas-Asas Hukum Muamalat: Hukum Perdata Islam,
(Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 65.
499
Jurnal Al-Syir’ah Vol. 8, No. 2, Desember 2010
merupakan salah satu faktor menjadi halalnya sesuatu bagi mereka.
Misalnya, untuk mempersatukan seorang lakilaki dan seorang
perem puan dalam suatu perkawinan, maka akad merupakan
ikatan yang sah dan menjadi keharusan baginya. Hal lain juga
terjadi dalam berba gai interaksi kehidupan manusia. Jual beli,
sewa menyewa dan lain seagainya merupakan contoh di mana
terjadi kontrak (akad) atau perjanjian sebagai landasan hukumnya.
Pada kenyataannya, banyak pihak yang melakukan kontrak (perjan
jian) yang masih belum memahami hak dan kewajiban yang mereka
harus penuhi, sehingga walaupun menggunakan sistem perjanjian hu
kum Islam, tetapi nilainilai yang ada dalam konsep tersebut belum
lah dijalankan sepenuhnya. Misalnya, dalam perjanjian akad dalam
perbankan masih ditemukan bahwa hanya pihak bank yang mema
hami kontrak tersebut sementara pihak nasabah belum memahami
betul apa yang menjadi hak dan kewajibannya dalam kontrak.
Ketika salah satu pihak tidak memiliki pemahaman yang sama
da lam kontrak, maka dimungkinkan adanya perlakuan yang tidak
adil dalam kontrak tersebut. Dalam rangka memberi pemahaman
bagi para pihak, maka penulis, memaparkan tulisan ini sebagai
sumbangsih pemikiran dalam wacana hukum ekonomi Islam.
Berangkat dari asumsi tersebut di atas, yang menjadi fokus tulisan
ini adalah: “Mengapa akad menjadi penting dalam sistem hukum eko
nomi Islam?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu
akan dipaparkan tentang asasasas perjanjian dalam hukum Islam, se
lanjutnya menjelaskan tentang syarat dan rukun akad. Dan sebagai
akhir dari pembahasan tulisan ini, dijelaskan tentang tanggung jawab
para pihak dalam kontrak. Dengan demikian, diharapkan tulisan ini
dapat memberi sumbangsih pemikiran bagi perkembangan hukum
ekonomi Islam di Indonesia dan hukum kontrak Islam khususnya.
II. Pembahasan
Asas-asas dalam Perjanjian Hukum Islam
Asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar, basis, dan fon
dasi. Secara terminologi, asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi
500
Ramli Semmawi - Urgensi Akad dalam Hukum Ekonomi Islam
tumpuan berpikir atau berpendapat. Istilah lain yang memiliki
arti sama dengan kata asas adalah prinsip, yaitu dasar atau
kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan
sebagainya. Moham mad Daud Ali, mengartikan asas apabila
dihubungkan dengan kata hukum adalah kebenaran yang
dipergunakan sebagai tumpuan berpi kir dan alasan pendapat,
terutama, dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.
Syamsul Anwar mengemukan delapan asas yang berkaitan
dengan hukum perikatan Islam, yaitu asas Ibahah, asas
kebebasan berakad, asas konsensualisme, asas janji itu mengikat,
asas keseimbangan, asas kemaslahatan, asas amanah, dan asas
keadilan. Adapun asasasas itu adalah sebagai berikut:
a. Asas Ibahah (Mabda’ al-Ibahah)
Asas ibahah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang mua
malah secara umum. Asas ini dirumuskan dalam adiqium “Pada
asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil
yang melarangnya.” Asas ini merupakan kebalikan dari asas
yang berlaku dalam masalah ibadah. Dalam hukum Islam, untuk
tindakantindakan ibadah berlaku asas bahwa bentukbentuk
ibadah yang sah adalah bentukbentuk yang disebutkan dalam
dalildalil sya riah. Orang tidak dapat membuatbuat bentuk
baru ibadah yang ti dak pernah ditentukan oleh Nabi Saw.
Bentukbentuk baru ibadah yang dibuat tanpa pernah diajarkan
oleh Nabi Saw itu disebut bid’ah dan tidak sah hukumnya.
b. Asas Kebebasan Berakad (Mabda’ Hurriyyah at-Ta’aqud)
Menurut Faturrahman Djamil, bahwa Syariah Islam memberikan
kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai dengan
yang diinginkan, tetapi yang menentukan akibat hukumnya adalah
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. II,
Ed. III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 70.
Ibid., h. 896.
Mohammad Daud Ali. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, Cet. VIII, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 114.
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam
Fikih Muamalat, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), h. 8392.
Ibid., h. 84.
501
Jurnal Al-Syir’ah Vol. 8, No. 2, Desember 2010
ajaran agama.10 Mayoritas ulama fikih sepakat bahwa keridhaan
(kerelaan) merupakan dasar berdirinya akad (kontrak).11 Hal ini
berdasarkan pada firman Allah: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta
sesamamu de- ngan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu.” 12
Ayat ini menjelaskan hukum Islam mengakui kebebasan berakad,
yaitu suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang
dapat membuat akad jenis apa pun tanpa terikat kepada namanama
yang telah ditentukan dalam undangundang syariah dan
memasukkan klausul apa saja ke dalam akad yang dibuatnya itu
sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta
sesama dengan jalan batil.13 Adanya asas kebebasan berakad dalam
Islam didasarkan kepada beberapa dalil antara lain adalah:
1. Firman Allah: “Wahai orang-orang beriman, penuhilah
akad-akad (perjanjian-perjanjian).”14
2. Sabda Nabi Saw: “Orang-orang Muslim itu senantiasa
setia ke- pada syarat-syarat (janji-janji) mereka.”15
3. Sabda Nabi Saw: “Barangsiapa menjual pohon korma yang
sudah dikawinkan, maka buahnya adalah untuk penjual [tidak
ikut di- jual], kecuali apabila pembeli mensyaratkan lain.”16
4. Kaidah hukum Islam: Pada asasnya akad itu adalah
kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah apa
yang mereka tetap- kan atas diri mereka melalui janji.” 17
10 Faturrahman Djamil, “Hukum Perjanjian Syariah”, dalam Kompilasi Hukum
Perikatan oleh Mariam Darus Badzrulzaman et. al. Cet. I, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2001), h. 249.
11 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Cet. I, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), h. 60.
12 QS. Surah anNisa’[4]: 29.
13 Anwar, Syamsul, op. cit., h. 84.
14 QS. AlMaidah [5]: 1.
15 AlHakim, al-Mustadrak, II, Makktabah wa Matabi’ anNasyr alHadistsah,
Riyad, t.t. hlm. 49. Hadis ini diriwayatkan oleh AlHakim dari Sahabat Abu
Hurairah, dikutip dari Syamsul Anwar, op. cit., h. 85.
16 AlBukhari, Shahih al-Bukhari, III, Dar alFikr, tt.p., 1994, Hadis No. 2204.
17 Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h.
502
Ramli Semmawi - Urgensi Akad dalam Hukum Ekonomi Islam
Cara menyimpulkan kebebasan berakad dari ayat yang dikutip pada
angka 1) adalah bahwa menurut kaidah usul fikih (metodologi
penemuan hukum Islam), perintah dalam ayat ini menunjukkan
wajib. Artinya memenuhi akad itu hukumnya wajib. Dalam ayat ini
akad disebutkan dalam bentuk jamak yang diberi kata sandang “al”
(al-‘uqud) menunjukkan kaidah umum.18 Hadits pada angka 2)
menunjukkan bahwa syaratsyarat atau janjijanji apa saja da pat
dibuat dan wajib dipenuhi. Terhadap Hadits ini alKasani
(w.587/1190) memberi penjelasan, Zahir Hadits ini menyatakan
wajibnya memenuhi setiap perjanjian selain yang dikecualikan oleh
suatu dalil, karena Hadits ini menuntut setiap orang untuk setia
kepada janjinya, dan kesetiaan kepada janji itu adalah dengan
memenuhi janji tersebut. Asasnya ialah bahwa setiap tindakan hu
kum seseorang terjadi menurut yang ia kehendaki apabila ia adalah
orang yang cakap untuk melakukan tindakan tersebut, obyeknya
dapat menerima tindakan dimaksud, dan orang bersangkutan
mempunyai kewenangan dalam tindakan itu.”19
c. Asas Konsensualisme (Mabda’ ar-Radha’iyyah)
Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu
perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pi
hak tanpa perlu dipenuhinya formalitasformalitas tertentu.20
Da lam Hukum Islam pada umumnya perjanjianperjanjian
itu bersi fat konsensual.
Para ahli hukum Islam biasanya menyimpulkan asas
konsensualisme dari dalildalil hukum berikut:
1. Firman Allah, “Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali (jika makan harta
sesama itu dilakukan) dengan cara tukar-menukar berdasarkan
perizinan timbal balik (kata sepakat) di antara kamu.”21
44, dikutip dari Syamsul Anwar, op. cit., h. 85.
18 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (t.p.: Dar alFikr al‘Arabi, t.t.),
hlm. 157, dikutip dari Syamsul Anwar,ibid., hlm. 85.
19 AlKasani, Bada’i’ ash-Shana’i’ fi Tartib asy-Syaraki’,V, Matba’ah al
Jamaliyyah, Mesir, 1910, hlm. 259, dikutip dari, Syamsul Anwar, ibid.
20 Anwar, Syamsul, ibid., hlm. 87.
21 QS. Surah anNisa’[4]: 29.
503
Jurnal Al-Syir’ah Vol. 8, No. 2, Desember 2010
2. Firman Allah: “Kemudian jika mereka menyerahkan
kepadamu sebagian dari mas kawin itu atas dasar senang
hati (perizinan), maka makanlah (ambillah) pemberian itu
sebagai suatu yang se- dap lagi baik akibatnya.” 22
3. Sabda Nabi Saw: Sesungguhnya jual-beli itu berdasarkan kata
se- pakat (Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Ibnu Majah).23
4. Kaidah hukum Islam, Pada asasnya perjanjian (akad) itu
adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya
adalah apa yang mereka tetapkan melalui janji. 24
Kutipan ayat pada angka 1) di atas menunjukkan antara lain bahwa
setiap pertukaran secara timbal balik diperbolehkan dan sah selama
didasarkan atas kesepakatan. Ayat pada angka 2) menunjukkan
bahwa suatu pemberian adalah sah apabila didasarkan kepada
perizinan (rela hati) si pemberi. Hadits Nabi Saw pada angka 3)
dengan jelas menunjukkan bahwa akad jualbeli didasarkan kepada
perizinan timbalbalik (kata sepakat). Kaidah hukum pada angka 4)
secara tegas menyatakan bahwa perjanjian itu pada asasnya ada
lah kesepakatan para pihak, sehingga bila telah tercapai kata sepa
kat para pihak, maka terciptalah suatu perjanjian.25
d. Asas Janji itu Mengikat
Perintah agar memenuhi perjanjian, banyak terdapat dalam al
Quran dan Hadits. Kaidah usul fikih, “perintah itu pada asasnya
menunjukkan wajib.”26 Ini berarti bahwa janji itu mengikat dan
wajib dipenuhi. Adapun ayat dan Hadits yang dimaksud adalah:
1. Firman Allah: “...dan penuhilah janji, sesungguhnya janji
itu akan dimintakan pertanggunjawabannya.”27
22 QS. Surah anNisa’[4]: 4.
23 Ibn Hibban, Shahih Ibn Hibban, Mu’assasah arRaisalah, Beirut, 1414/1993, XI,
340, Hadis, no. 4967; dan Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Dar alFikr, Beirut, t.t.,
II, 737 Hadis no. 2185, dikutip dari Syamsul Anwar, op. cit., hlm. 88
24 Anwar, Syamsul, ibid.
25 Ibid., hlm. 8889.
26 Ibid., hlm. 89.
27 QS. Surah Al Israa' [17]: 34.
504
Ramli Semmawi - Urgensi Akad dalam Hukum Ekonomi Islam
2. Asar dari Ibn Mas’ud, Janji itu adalah utang.”28
e. Asas Keseimbangan (Mabda’ at-Tawazun fi al-Mu’awadhah)
Secara faktual jarang terjadi keseimbangan antara para pihak dalam
bertransaksi, namun hukum perjanjian Islam tetap menekankan
perlunya keseimbangan itu, baik keseimbangan antara apa yang
diberikan dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam me
mikul risiko. Asas keseimbangan dalam transaksi (antara apa yang
diterima dan apa yang diberikan) tercermin pada dibatalkannya
suatu akad yang mengalami ketidakseimbangan prestasi yang men
colok. Asas keseimbangan dalam memikul risiko tercermin dalam
larangan terhadap transaksi riba, di mana dalam konsep riba hanya
debitur yang memikul segala risiko atas kerugian usaha, sementara
kreditor bebas sama sekali dan harus mendapat persentase tertentu
sekalipun pada saat dananya mengalami kembalian negatif.29
f. Asas Kemaslahatan (Tidak Memberatkan)
Asas kemaslahatan dimaksudkan bahwa akad yang dibuat oleh
para pihak bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi
mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian (mudharat) atau
keadaan memberatkan (masyaqqah). Apabila dalam pelaksanaan
akad terjadi suatu perubahan keadaan yang tidak dapat diketahui
sebelumnya serta membawa kerugian yang fatal bagi pihak
bersangkutan se hingga memberatkannya, maka kewajibannya
dapat diubah dan disesuaikan kepada batas yang masuk akal. 30
g. Asas Amanah
Asas amanah dimaksudkan bahwa masingmasing pihak haruslah
beritikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak
dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi ketidaktahuan mitra
nya. Sekarang ini, banyak sekali obyek transaksi yang dihasilkan
oleh satu pihak melalui suatu keahlian yang amat spesialis dan
28 Asar ini diriwayatkan secara maukuf oleh alBukhari dalam al-Adab al-Mufrad.
Sedangkan atTabarani dalam al-Mu’jam al-Ausat dan al-Mu’jam ash-Shagir
meriwayatkannya secara marfuk dari Nabi Saw melalui Sahabat ‘Ali. Dikutip
dari Syamsul Anwar, op. cit., h. 89.
29 Ibid., h. 90.
30 Ibid.
505
Jurnal Al-Syir’ah Vol. 8, No. 2, Desember 2010
profesionalisme yang tinggi sehingga ketika ditransaksikan, pihak
lain yang menjadi mitra transaksi tidak banyak mengetahui seluk
beluknya. Oleh karena itu, dalam kaitan ini dalam hukum
perjanjian Islam dituntut adanya sikap amanah para pihak yang
menguasainya untuk memberi informasi yang sejujurnya kepada
pihak lain yang tidak banyak mengetahuinya.31
Salah satu pihak hanya bergantung kepada informasi jujur
dari pihak lainnya untuk mengambil keputusan untuk
menutup perjan jian bersangkutan. Perjanjian tersebut dalam
hukum Islam, dikenal dengan istilah perjanjian amanah.
h. Asas Keadilan
Asas keadilan sebagaimana dijelaskan dalam QS alHadid [57]: 25
disebutkan, bahwa Allah berfirman, ”Sesungguhnya Kami telah
mengutus Rasul-Rasul Kami dengan Membawa bukti-bukti yang nyata
dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan Neraca
(keadilan) supaya manusia melaksanakan keadilan.”32 Adil meru
pakan salah satu sifat Allah SWT yang sering disebutkan dalam al
Quran. Bersikap adil kerap ditekankan oleh Allah SWT kepada
manusia dalam melakukan perbuatan, karena adil menjadikan manusia
lebih dekat kepada takwa. Lebih lanjut, dalam Surah alA’raaf [7]: 29,
disebutkan bahwa, “Katakanlah: “Tuhanmu menyu
ruh supaya berlaku adil.”33 Serta dalam Surah AlMaaidah
[5]: 8, disebutkan berikut ini:
Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orangorang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah,
menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”34
31 Ibid., h. 91.
32 QS. AlHadid [57]: 25.
33 QS. AlA’raaf [7]: 29.
34 QS. AlMaidah [5]: 8.
506
Ramli Semmawi - Urgensi Akad dalam Hukum Ekonomi Islam
Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hu
kum. Keadilan merupakan sendi setiap perjanjian yang dibuat oleh
para pihak. Seringkali di zaman modern akad ditutup oleh salah
satu pihak dengan pihak lain tanpa ia memiliki kesempatan untuk
ber musyawarah mengenai klausul akad tersebut, karena klausul
akad itu telah dibakukan oleh pihak lain. Tidak mustahil bahwa
dalam pelaksanaannya akan timbul kerugian kepada pihak yang
menerima syarat baku itu karena didorong kebutuhan. Hal mana
dalam hukum Islam kontemporer telah diterima suatu asas bahwa
demi keadilan syarat baku itu dapat diubah oleh pengadilan apabila
memang ada alasan untuk itu.35
Syarat dan Rukun Akad (Perjanjian)
Rukun dan syarat merupakan hal yang harus terpenuhi dalam suatu
perjanjian. Secara bahasa, rukun adalah “yang harus dipenuhi untuk
sahnya suatu pekerjaan,”36 sedangkan syarat adalah “ketentuan (per
aturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan.”37 Rukun dan
syarat, dalam syariah, samasama menentukan sah atau tidaknya suatu
transaksi. Sedangkan dalam Ensiklopedi Hukum Islam, didefini
sikan, rukun adalah “suatu unsur yang yang merupakan bagian tak
terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah
atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu
itu.”38 Definisi syarat adalah “sesuatu yang tergantung padanya keber
adaan hukum syar’i dan ia berada di luar hukum itu sendiri.” 39
a. Rukun Perjanjian
Akad memiliki tiga rukun, yaitu adanya dua orang atau lebih
yang melakukan akad, obyek akad, dan lafal (shighat) akad.
1. Dua Pihak atau lebih yang Melakukan Akad
Dua orang atau lebih yang melakukan akad ini adalah dua orang
35 Anwar, Syamsul, op. cit., h. 92.
36 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 966.
37 Ibid., h. 1114.
38 Abdul Azis Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, Cet. I, (Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), h. 1510.
39 Ibid., h. 1691.
507
Jurnal Al-Syir’ah Vol. 8, No. 2, Desember 2010
atau lebih yang secara langsung terlibat akad. Kedua belah
pihak dipersyaratkan harus memiliki kelayakan untuk
melakukan akad sehingga perjanjian atau akad tersebut
dianggap sah. Kelayakan terwujud dengan beberapa hal berikut:
Pertama, kemampuan membedakan yang baik dan yang
buruk. Yakni apabila pihakpihak tersebut sudah berakal
lagi baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang
tercekal karena dianggap idiot atau bangkrut total, tidak
sah melakukan perjan jian.
Kedua, bebas memilih. Tidak sah akad yang dilakukan
orang di bawah paksaan, kalau paksaan itu terbukti.
Misalnya orang ber utang dan butuh pengalihan utangnya,
atau orang yang bang krut, lalu terpaksa menjual
barangnya untuk menutupi utang nya.
Ketiga, akad itu dapat dianggap berlaku (jadi total) bial tidak
memiliki pengandaian yang disebut khiyar (hak pilih). Seperti
khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan), khiyar arru’yah (hak pilih dalam melihat) dan sejenisnya.40
2. Obyek Akad (Transaksi)
Yakni benda yang menjadi obyek akad, seperti barang
yang di jual dalam akad jualbeli, atau sesuatu yang
disewakan dalam akad sewa, yang dihibahkan dalam akad
hibah, yang digadai dalam akad rahn dan lainlain.41
3. Lafal (shighat) Akad
Ijab kabul merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan/
kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak/akad. Menurut
Hanafiyah, ijab adalah ungkapan yang pertama kali dilontarkan
oleh salah satu dari pihak yang akan melakukan akad. Di mana
ia menunjukkan maksud/kehendak dengan penuh kerelaan, baik
datangnya dari pihak penjual atau pembeli dalam jualbeli.
40 Abdullah AlMushlih dan Shalah AshShawi, Ma La Yasa’ at-Tajira Jahluhu,
terjemahan oleh Abu Umar Basyir, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Cet. II,
(Jakarta: Darul Haq, 2008), h. 27.
41 Sofiniyah Ghufron (editor), Cara Mudah Memahami Akad-akad Syariah, Cet.
I, (Jakarta: Renaisan, 2005), h. 14.
508
Ramli Semmawi - Urgensi Akad dalam Hukum Ekonomi Islam
Kabul adalah sebaliknya.42
Ijab kabul dapat diwujudkan dalam pelbagai bentuk (shighat)
yang dapat menunjukkan kehendak dan kesepakatan. Bisa de
ngan ucapan, tindakan, isyarat, atau korespondensi. Ucapan
da pat diungkapkan dalam pelbagai macam bentuk, yang
terpen ting dapat merepresentasikan maksud dan tujuannya.
4. Syamsul Anwar menambahkan "tujuan akad" merupakan salah
satu rukun yang harus ada dalam akad. Tujuan akad, yang me
rupakan rukun keempat menurut beberapa ahli hukum Islam
kontemporer, dibedakan dengan obyek akad, yang merupakan
rukun ketiga akad. Obyek akad adalah suatu yang karena itu
ber laku akibat hukum pokok yang menjadi maksud para pihak.
De ngan kata lain, obyek akad merupakan tempat terjadinya
akibat hukum, sedangkan tujuan akad adalah maksud para pihak
yang bila terealisasi timbul akibat hukum pada obyek tersebut.43
b. Syarat Perjanjian
Menurut mazhab Hanafi, syarat yang ada dalam
akad/perjanjian, dapat dikategorikan menjadi tiga bagian,
yakni syarat shahih, fasid (rusak), dan syarat bathil.
1. Syarat shahih adalah syarat yang sesuai dengan substansi
akad, dibenarkan oleh syara’ atau sesuai dengan ‘urf
(kebiasaan) masya rakat.
2. Syarat fasid adalah syarat yang tidak sesuai dengan salah satu
kriteria yang ada dalam syarat shahih. Artinya, ia tidak sesuai
de ngan substansi akad atau mendukungnya, tidak ada nash
atau tidak sesuai dengan ‘urf (kebiasaan) masyarakat, dan
syarat itu memberikan manfaat bagi salah satu pihak.
3. Syarat batil adalah syarat yang tidak memenuhi kriteria
syarat shahih, dan tidak memberikan nilai manfaat bagi
salah satu pi hak atau lainnya. Akan tetapi, malah
menimbulkan dampak negatif bagi salah satu pihak.44
42 Dimyauddin Djuwaini, op. cit., h. 51.
43 Syamsul Anwar, op. cit., h. 219220.
44 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid IV, (Damaskus: Daar al
Fikr, 1989), h. 203205, dikutip dari Dimyauddin Djuwaini, op. cit., h. 6364.
509
Jurnal Al-Syir’ah Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Sedangkan Sofiniyah Ghufron dalam buku Cara Mudah Memahami
Akad-Akad Syariah menjelaskan bahwa ada beberapa syarat yang ha
rus terdapat dalam akad, tetapi bisa dibagi menjadi dua macam:
Pertama, syarat umum, yaitu syaratsyarat yang wajib
sempurna wujudnya dalam segala macam akad.
Kedua, syarat khusus, yaitu syaratsyarat yang diisyaratkan
wujudnya dalam sebagian akad, tidak dalam sebagian yang lain.
Syaratsyarat ini biasa juga disebut syarat tambahan (syarat
idhafiyah) yang harus ada di samping syaratsyarat umum,
seperti adanya saksi untuk terjadinya nikah, tidak boleh adanya
ta’liq dalam aqad mauwadha dan aqad tamlik, seperti jualbeli
dan hibah. Ini merupakan syaratsyarat idhafiyah.45
Tanggung Jawab Pihak-pihak dalam Akad (Perjanjian)
Dalam berbagai hukum perjanjian, apabila suatu akad (perjanjian) te
lah memenuhi semua syaratsyaratnya—dan menurut hukum perjan
jian Islam apabila telah memenuhi rukun dan syaratsyaratnya—per
janjian tersebut mengikat dan wajib dipenuhi serta berlaku sebagai
hukum. Dengan kata lain perjanjian tersebut menimbulkan akibat
hukum yang wajid dipenuhi oleh pihakpihak terkait.
Dalam Pasal 1338 (1) KUH Perdata ditegaskan, “Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi merkea
yang membuatnya.” Sebagai kelanjutan dari asas mengikatnya perjan
jian dan wajibnya para pihak memenuhi perikatanperikatan yang
timbul dari perjanjian tersebut, maka salah satu pihak tidak dapat
menarik kembali perjanjiannya “selain dengan sepakat kedua belah pi
hak atau karena alasanalasan yang oleh undangundang dinyatakan
cukup untuk itu” (Pasal 1338 ayat (2)).
Dalam hukum perjanjian Islam, seperti halnya dalam hukum
lainnya, pada asasnya, tanggung jawab para pihak akibat adanya
suatu akad (perjanjian) hanya berlaku terhadap para pihak yang
membuatnya dan tidak berlaku terhadap pihak lain di luar mereka.
Hal ini ditegaskan dalam kitab Mursyid al-Hairan: Pasal 306 (1):
45 Sofiniyah Ghufron (editor), op. cit., h. 1819.
510
Ramli Semmawi - Urgensi Akad dalam Hukum Ekonomi Islam
Akibatakibat hukum akad hanya berlaku terhadap para pihak
yang membuatnya, dan tidak berlaku terhadap pihak lain selain
mereka. Pasal 278: Orang balig dan berakal sehat serta tidak
berada di bawah pengampuan dapat membuat akad apa pun
secara sendiri maupun mewakilkannya kepada orang lain;
barang siapa membuat akad secara sendiri dan untuk dirinya
sendiri, maka dialah, dan bukan orang lain, yang terikat oleh
hakhak dan akibatakibat hukum yan timbul dari akadnya.46
Berdasarkan pada pengertian akad/perjanjian, rukun dan syarat sah
nya perjanjian, asasasas hukum yang mendasarinya, maka dalam per
janjian menurut hukum Islam harus memperhatikan halhal berikut:
a. Dari segi subyek atau pihakpihak yang akan mengadakan
kontrak akad/perjanjian.
Subyek hukum yang mengadakan perjanjian harus sudah cakap
melakukan perbuatan hukum, terdapat identitas para pihak dan
kedudukan masingmasing dalam perjanjian secara jelas, dan perlu
adanya kejelasan terhadap tempat dan saat perjanjian dibuat.
b. Dari segi tujuan dan obyek akad/perjanjian.
Sebuah perjanjian, di dalam Islam, harus disebutkan secara jelas
tujuan dari dibuatnya perjanjian tersebut. Hal ini dimaksdukan
jangan sampai membuat sebuah perjanjian dengan obyek yang
ber tentangan dengan ketentuan hukum Islam atau ‘urf
(kebiasaan/adat) yang sejalan dengan ajaran Islam. Meskipun
dalam perjanjian Islam dianut asas kebebasan berkontrak
sebagai asas yang fundamental dalam hukum perjanjian.
c. Perlu adanya kesepakatan dalam hal yang berkaitan dengan
waktu perjanjian, jumlah biaya, mekanisme kerja, jaminan,
penyelesaian sengketa, dan obyek yang diperjanjikan dan
caracara pelaksanaan nya.
d. Perlu adanya persamaan, kesetaraan, kesederajatan, dan keadilan
di antara para pihak dalam menentukan hak dan kewajiban di
anta ranya, serta dalam hal penyelesaian permasalahlan terkait
dengan adanya wanprestasi dari salah satu pihak.
46 Lihat Syamsul Anwar, op. cit., h. 264265.
511
Jurnal Al-Syir’ah Vol. 8, No. 2, Desember 2010
e. Pemilihan hukum dan forum dalam penyelesaian (Choice of Law and
Choice of Forum), harus dicantumkan dalm perjanjian, misalnya
dengan mencantumkan klausul “bahwa dalam hal terjadi sengketa di
kemudian hari, para pihak sepakat untuk menyelesaikannya de ngan
dasar hukum Islam di Badan Arbitrase Syariah Nasional yang wilayah
hukumnya meliputi tempat dibuatnya perjanjian ini.”47
Halhal di atas perlu dimasukkan ke dalam sebuah naskah
perjanjian dengan tidak menutup kemungkinan bagi para pihak
memuat halhal yang dianggap penting, karena dalam pembuatan
suatu perjanjian haruslah rigid dan harus dihindarkan adanya kata
kata yang bermakna ganda (multi interpretable).48 Sehingga, dapat
mengurangi peluang ter jadinya sengketa di kemudian hari.
Sebagai ilustrasi pentingnya akad dalam setiap transaksi yang
selan jutnya melahirkan tanggung jawab para pihak, maka akan
diuraikan sedikit tentang salah satu model pembiayaan yang
sering digunakan sebagai instrumen dalam sistem ekonomi
Islam. Adapun model yang dimaksud adalah musyarakah.
Musyarakah (kemitraan) adalah salah satu dasar dari konsep Profit
and Loss Sharing dalam literatur fikih. Definisi yang lain adalah kerja
sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana
masingmasing pihak memberikan kontribusi dana (atau kom petensi,
expertise) dengan kesepakatan bahka keuntungan dan risiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.49 Menurut Frank E.
Vogel, kontrak musyarakah adalah keterlibatan dua pihak atau lebih
dalam sebuah proyek yang masingmasing memberikan kontribusi
modal dan manajemen. Proses pengambilan keputusan untuk
pembagian dana dilakukan bersamasama, biasanya sebanding dengan
nilai relatif investasinya. 50 AlQuran menggunakan akar kata
47 Faturrahman Djamil, “Hukum Perjanjian Syariah," loc. cit., h. 260261.
48 Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, Cet. I, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2007), h. 63.
49 Dimyauddin Djuwaini, loc. cit. h. 207.
50 Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, Islamic Law and Finance: Religion, Risk,
and Return, terjemahan oleh M. Sobirin Asnawi, Siwi Purwandari dan Waluyati
Handayani, Hukum Keuangan Islam: Konsep, Teori dan Praktik, Cet.
I, (Bandung: Nusamedia, 2007), h. 235.
512
Ramli Semmawi - Urgensi Akad dalam Hukum Ekonomi Islam
istilah musyarakah, yaitu sy-r-k, sebanyak 170 kali,51 walau tak satu
pun dari ayat ini yang menggunakan istilah musyarakah persis dengan
arti kemitraan dalam suatu kongsi bisnis. Namun demikian, berdasar
kan sejumlah ayat alQuran, khususnya Surah AnNisa’[4]: 12 dan
Surat Shaad [38]: 24, maupun berdasarkan sejumlah riwayat yang
dinisbatkan kepada Nabi dan para Sahabatnya, para fuqaha membe
narkan keabsahan musyarakah dalam kongsi bisnis.52
Terjadinya kontrak dalam musyarakah juga melahirkan tanggung
jawab bagi para pihak dalam transaksi terebut. Pembagian laba dan
rugi merupakan salah satu aspek yang harus menjadi bagian tanggung
jawab bagi para pihak. Pembagian laba antar mitra harus berupa
persentase, bukan suatu jumlah tertentu. Menurut kalangan mazhab
Hanafi dan Hanbali, persentase tersebut harus ditentukan secara jelas
dalam kontrak. Menentukan suatu jumlah tetap bagi seorang mitra
tidak diperbolehkan lantaran total laba yang akan diperoleh barangkali
tidak akan melebihi jumlah yang telah ditetapkan, dalam kasus seperti
itu mitra lainnya bisa tidak memperoleh bagian laba tersebut.53 Bagi
kalangan mazhab Syafii, tidak ada keperluan untuk menetapkan ba
gian laba dalam kontrak, sebab mereka tidak memperoleh adanya per
bedaan antara rasio saham dalam modal dengan rasio laba. Menurut
fakih mazhab Syafii, Imam Nawawi (w.676/1277), proposal laba dan
rugi harus sama dengan proposal modal yang diberikan, baik tenaga
yang disediakan oleh mitra setara ataupun tidak.54
Sementara kalangan mazhab Syafii tidak mengizinkan perbedaan
rasio pembagian laba dengan rasio kontribusi modal, terdapat flek
sibilitas yang berarti dalam menetapkan rasio itu menurut mazhab
Hanafi dan Hanbali. Para mitra dapat berbagi laba secara setara atau
pun tidak. Seorang mitra menyumbangkan sepertiga dari modal mu
51 Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: A Study of Riba’ and Its
Contem- porary Interpretation, terjemahan oleh, Arif Maftuhin, Menyoal
Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum NeoRevivalis, Cet.
I, (Jakarta: Para madina, 2006), h. 88.
52 Ibn Qudamah, Al-Mugni, V, (Riyad: Maktabat alRiyad alHaditha, 1981), h.
3, dikutip dari Saeed, ibid.
53 Ibn Qudamah, al-Mughni, V, hlm. 38; Kashani, Bada’i al-Sina’i,VI, h. 59
dikutip dari Saeed, ibid., h. 92.
54 Nawawi, minhaj, II, h. 215, dikutip dari Saeed, ibid.
513
Jurnal Al-Syir’ah Vol. 8, No. 2, Desember 2010
syarakah, misalnya, dapat memperoleh separoh atau lebih dari laba.
Menurut fakih mazhab Hanafi, Kasyani (w. 587/1191), tidaklah ha
rus bahwa di dalam ‘inan (salah satu jenis musyarakah), laba harus
dibagi setara antar para mitra. Itu sebabnya, diperbolehkan untuk
membagai laba secara setara ataupun tidak. Prinsipnya, si mitra
ber hak mendapat laba baik karena pemberian modal berupa uang
atau tenaga kerja, atau berupa tanggung jawab.55
Tidak ada fleksibilitas yang muncul dalam musyarakah menyangkut
pembagian rugi vis a vis rasio kontribusi modal menurut keempat maz
hab fikih Sunni,56 seperti yang dicerminkan dalam ungkapanhukum,
“pembagian rugi harus persis sama dengan rasio kontribusi modal.”57
Menurut Jaziri, “Jika salah satu mitra mententukan bahwa mitra yang lain
harus menanggung risiko melebihi rasio kontribusi modal, maka kontrak
ini batal dan tak berlaku.”58 Prinsip berikut menurut riwayat dinyatakan
oleh khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib (w. 40/660), “Laba harus
dibagi sebagaimana yang disepakati di dalam kontrak, sementara
kerugian harus dibagi menurut kontribusi modal.”59 Syekh Ali alKhafif
menulis, “Kerugian selalu akan dibagi sesuai ukuran ter hadap modal
yang sebenarnya. Semua Imam sepakat akan hal ini meskipun mereka
berasal dari kelompok berbeda. Jika ada ketentuan yang dipertentangkan
dalam prinsip ini maka akan dianggap batal, tidak diberlakukan dan tidak
akan dilaksanakan.”60
Contoh yang dikemukakan di atas dikemukakan sebagai argumen
tasi bahwa demikian penting akad dalam kehidupan umat manusia.
Sehingga penting kiranya ada pemahaman komprehensif tentang akad
(perjanjian) tersebut. Uraian itu juga ingin menggambarkan bahwa Is
lam telah mengatur demikian rupa tentang bagaimana seorang Mus
lim menjalani hidup dengan keteraturan dan disiplin sebagai salah
55 Kasyani, Badai’ i’ al-Shana’i’, VI, h. 62, dikutip dari Saeed, ibid.
56 Qudamah, Al-Mughni, V, h. 37, dikutip dari Saeed, ibid.
57 Sabiq, Fiqh Sunnah, III, h. 357, dikutip dari Saeed, ibid.
58 Jaziri, fiqh, III, h. 77, dikutip dari Saeed, ibid.
59 Syaukani, Nail al-Authar, V, h. 266, dikutip dari Saeed, ibid.
60 Syekh Ali alKhafif , al-Syarikat fi al-Fiqh al-Islam, (Kairo: t.t., t.th.), h. 55, di
kutip dari Nejatullah Siddiqi. Partnership and Profit Sharing in Islamic Law, ter
jemahan oleh, Fakhriyah Mumtihani, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam
Hukum Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1996), h. 15.
514
Ramli Semmawi - Urgensi Akad dalam Hukum Ekonomi Islam
satu aspek penghambaannya kepada sang Khalik.
III. Penutup
Sebagai penutup dari kajian ini, penulis menyimpulkan beberapa
hal yang dianggap penting untuk dipahami sebagai berikut:
Pertama, akad dalam Islam didasari oleh nilainilai ajaran agama
yang universal. Misalnya, keadilan, kesamaan kedudukan dalam kon
trak, kebebasan dalam kontrak, dan lainlain. Memahami asasasas
tersebut menjadi landasan filosofis dalam melaksanakan akad. Islam
mengajarkan pelbagai nilai yang senantiasa harus dijadikan acuan da
lam kehidupan. Kebebasan yang bertanggung jawab akan melahirkan
sikap diri yang arif. Keadilan dalam diri menciptakan pribadi yang se
nantiasa mencintai sesama dan tidak aniayah. Nilainilai tersebutlah
yang sepatutnya menjiwai setiap kontrak dalam Islam.
Kedua, rukun dan syarat yang sah dalam membuat kontrak merupa
kan sesuatu yang harus dipenuhi dalam rangka menciptakan kontrak
(akad) yang sah dalam terminologi hukum Islam. Terpenuhinya ru
kun dan syarat dalam akad merupakan suatu hal yang mesti dijadikan
acuan dalam setiap kontrak, karena hal itu merupakan pertanda sah
nya suatu akad yang dilakukan. Adanya para pihak yang jelas, sighat
yang benar, tujuan yang sahih dan tidak melanggar ajaran agama me
rupakan hal penting yang patut diketahui oleh para pihak.
Ketiga, tanggung jawab para pihak akan jelas apabila mereka me
mahami secara baik tentang asasasas apa saja yang mendasari setiap
kontrak dalam hukum ekonomi Islam. Dan demikian pula pada
pemahaman yang baik akan rukun dan syarat sah dalam setiap per
janjian. Sehingga dalam setiap akad yang dibuat tidak keluar dari
spirit ajaran agama Islam dan dengan demikian Islam sebagai ajaran
moral, akhlak dan hukum tercipta dalam kehidupan umat. Para pihak
yang melaksanakan tanggung jawab secara adil akan menciptakan
kehi dupan yang harmonis dan menciptakan rasa senang dan tenang
bagi para pihak yang melaksanakan kontrak tersebut. Pelaksanaan
tang gung jawab secara baik merupakan bagian dari pelaksanaan
ajaran agama dan penghargaan akan kemanusiaan.
515
Jurnal Al-Syir’ah Vol. 8, No. 2, Desember 2010
Daftar Pustaka
AlBukhari, 1994, Shahih al-Bukhari, Cet. III, (t.t.: Dar alFikr).
AlHakim, t.th. al-Mustadrak, II, (Riyad: Makktabah wa Matabi’ an
Nasyr alHadistsah).
Ali, Mohammad Daud, 2000, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada).
AlKasani, 1910, Bada’i’ ash-Shana’i’ fi Tartib asy-Syaraki’, Cet. V,
(Mesir: Matba’ah alJamaliyyah).
AlKhafif, Syekh Ali, t.th., Al-Syarikat fi al-Fiqh al-Islam, (Kairo: t.p.).
AlMushlih, Abdullah dan Shalah AshShawi, 2008, Ma La Yasa’ atTajira Jahluhu, terjemahan oleh Abu Umar Basyir, Fikih Ekonomi
Keuangan Islam, (Jakarta: Darul Haq).
Anshori, Abdul Ghofur, 2007, Perbankan Syariah di Indonesia,
(Yogya karta: Gadjah Mada University Press).
Anwar, Syamsul, 2007, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori
Akad dalam Fikih Muamalat, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada).
Basyir, Ahmad Azhar, 2000, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum
Perdata Islam), (Yogyakarta: Penerbit UII Press).
Dahlan, Abdul Azis (ed.), 1996, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5,
(Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve).
Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Kamus Besar Bahasa
Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka).
Dewi, Gemala, 2005, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Ken cana).
Djamil, Fathurrahman, 2001, “Hukum Perjanjian Syariah”, dalam
Kom- pilasi Hukum Perikatan oleh Mariam Darus Badzrulzaman
(et. al.), (Bandung: Citra Aditya Bakti).
, 2005, “Fikih Muamalah”, dalam Taufik Abdullah
(ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid III, (Jakarta: Ichtiar Baru
van Hoeve).
Djuwaini, Dimyauddin, 2008, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar).
516
Ramli Semmawi - Urgensi Akad dalam Hukum Ekonomi Islam
Ghufron, Sofiniyah (editor), 2005, Cara Mudah Memahami Akadakad Syariah, (Jakarta: Renaisan).
Ibn Hibban, 1414/1993, Shahih Ibn Hibban, XI, 340, Hadis No. 4967.
(Bairut: Mu’assasah arRaisalah).
Ibn Majah, t.th., Sunan Ibn Majah, II, 737, Hadis no 2185. (Bairut:
Dar alFikr).
Ibn Qudamah, 1981, Al-Mugni, V. (Riyad: Maktabat alRiyad al
Haditha).
Rahman, Asjmuni A., 1975, Qaidah-Qaidah Fikih, (Jakarta: Bulan
Bin tang).
Sabiq, Sayyid, t.th., Fiqh Sunnah, III (t.d.).
Saeed, Abdullah, 2006, Islamic Banking and Interest: A Study of Riba’
and Its Contemporary Interpretation, terjemahan oleh Arif
Maftuhin, Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga
Bank Kaum Neo-Revivalis, (Jakarta: Paramadina).
Siddiqi, Nejatullah, 1996, Partnership and Profit Sharing in Islamic Law,
terjemahan oleh Fakhriyah Mumtihani, Kemitraan Usaha dan Bagi
Hasil dalam Hukum Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf).
Vogel, Frank E. dan Samuel L. Hayes, 2007, Islamic Law and Finance:
Religion, Risk, and Return, terjemahan oleh M. Sobirin Asnawi, Siwi
Purwandari dan Waluyati Handayani, Hukum Keuangan Islam:
Konsep, Teori dan Praktik, (Bandung: Nusamedia).
Zahrah, Muhammad Abu, t.th., Ushul al-Fiqh, (t.t.: Dar alFikr al
‘Arabi).
Zuhaili, Wahbah, 1989, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid IV,
(Damaskus: Daar al Fikr, Damaskus).
517