CRITICAL REVIEW
“AKTUALISASI ISLAM KEINDONESIA DALAM KONTEKS NKRI”
Diajukan untuk memenuhi tugas critical review
mata kuliah budaya dan pemikiran politik Indonesia yang diampu oleh:
Prof. Dr. Firdaus Syam, M.A.
Disusun oleh:
Nama : Safrudin Taher
Kelas/NPM : Reguler C/211186918030
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU
POLITIK UNIVERSITAS NASIONAL
TAHUN AJARAN 2021/2022
“AKTUALISASI ISLAM KEINDONESIA DALAM KONTEKS NKRI”
I.
PEMBAHASAN
Memahami Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai ejawantah dari falsafah Pancasila yang
terkandung dalam sila ke-3 yakni persatuan Indonesia, dalam perspektif ajaran Islam tentu perlu
ditelusuri apakah nilai itu terdapat dalam nilai universal Islam dengan kedudukan memiliki prinsip
yang sama-sebangun (qongqruen). Hakekatnya semangat, kesadaran perlunya persatuan merupakan
hal yang penting dalam ajaran Islam. Risalah Tuhan merupakan bingkai potret dari kehidupan umat
manusia dan semesta, ini menjadi komitmen terhadap penciptaan manusia sebagai wakil (khalifah) di
muka bumi (Qs.2:30). Secar terminologi manusia merupakan wakil Tuhan di muka bumi. Maknanya
manusia diamanhkan untuk mengimplementasikan kemaslahatan. Kemaslahatan itu dalam wujud
kebudayaan yang mulia. Hali itu juga sekaligus merupakan instrumen bagi proses terciptanya
keunggulan manusia dalam perspektif kompetitsi kualitas diri setiap individu (Qs.9:105) dengan karya
kemanusiaan, tanpa menimbulkan destruktif sosial (Yuwafik, 2020). Kesadaran hidup berbangsa yang
lahir dari proses sejarah panjang, adanya persamaan nasib dan cita-cita dalam proklamasi dengan
konstitusi Pancasila dan UUD 1945 telah menjadi komitmen bangsa Indonesia dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah keniscayaa dalam ajaran Islam. Keberagaman; suku, agama,
budaya, kelompok hingga golongan kemudian bersatu sebagai satu bangsa yang besar merupakan
suatu anugerah dari Yang Maha Kuasa, kemajemukan, keberagaman atau kebhinekaan Bangsa
Indonesia itu terkohesifitas dalam bingkai NKRI. Dengan demikian Islam mempunyai komitment
yang kuat untuk menjaga kohesifitas kebhinekaan dalam tunggal ika dari segi peran umat Islam
melalui ulama dan cendik pandai serta nilai yang terkandung dalam perumusan pemikirannya.
Dalam sejarah Islam, umat Islam memahami persatuan dan kesatuan untuk hidup dalam
kemajemukan (plurel) masyarakat, telah mengambil keteladanan para pendahulunya. Pertama, semua
pemeluk Islam walaupun berasal dari banyak suku, baik pendatang maupun penduduk asli Madinah
merupakan satu komunitas (ukhuwah Islamiah); kedua,hubungan antar sesama anggota komunitas
Islam dan antar anggota-anggota komunitas Islam dengan komunitas lainnya didasarkan atas; a.
Bertetangga baik; b.saling membantu dalam menghadapi musuh bersama; c. Membela mereka yang
teraniyaya; d. Saling menasehati dan konsultasi, dan; e. Menghormati kebebasan beragama (Yuwafik,
2020). Pemahaman diatas tersebut, menjadi dasar umat Islam untuk memiliki kesadaran kemajemukan
atau kebhinekaan atau apa yang di kenal pluralitas masyarakat di Indonesia untuk menjadi satu
kesatuan, memiliki hak dan tanggunjawab bersama untuk saling melindungi sesama dan tanah tempat
tinggal dimana mereka hidup bersama. Maka hidup sebagai suatu bangsa yang majemuk dalam satu
negara kesatuan adalah sunatullah yang tak perlu dihindari apalagi dipungkiri.
Sifat universalistik Islam itu sendiri tampak menjadi asas baginya untuk menerima Pancasila
sebagai ideologi negara Indonesia, serta tidak lagi mempersoalkan faktor historis umat yang
berhubungan dengan tuntutatan dimasa lalu yang diperjuangkan sebagai dasar negara atau
pencantuman syariat Islam didalam konstitusi (Madjid, 1983). Menurut Nurcholish Madjid kaum
muslimin Indonesia akan berbuat banyak untuk Pancasila dan negara ini jika mereka memahami lebih
baik akan agama mereka sendiri dan mengamalkannya dengan setia. Dengan demikian pandangannya
itu bahwa mengamalkan ajaran Islam itu dengan sendirinya mencakup nilai-nilai yang kemudian
diangkat ketingkat nasional yang menjadikan Pancasila memiliki hubungan yang alami dengan umat
Islam di Indonesia (Syam, 2004). Pancasila yang merupakan kesatuan yang bulat dan utuh itu terbatas
pada nilai-nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dengan demikian dari waktu
kewaktu harus ada usaha usaha intensif para cendikiawan untuk melakukan kajian secara luas untuk
memperdalam pemahaman terhadap ideologi Pancasila itu dan menghadapkannya pada tantangan
zaman yang senantiasa muncul. Tentu dalam usaha mengembangkan pemikiran pemikiran terhadap
Pancasila itu haruslah dicegah pemikiranpemikiran yang tidak sejalan dengan prinsip dasar yang
dianutnya (Syam, 2004).
Dengan demikian, satu sisi Negara Kesatuan Republik Indonesa (NKRI) tidak lain dipahami
sebagai alat untuk mempertahankan persatuan Indonesia dengan cara tersebut. Sebaliknya, NKRI
sebagai alat yang ampuh untuk memperkuat potensi persatuan umat Islam di Indonesia yang
jumlahnya bagian terbesar dari populasi penduduk Indonesia penganut agama - agama yang ada di
negeri ini. Kenapa terbentuk sedemikian kokoh antara umat Islam dengan falsafah negara Indonesia.
Dari berbagai pandangan yang dikemukaka diatas dapat dirumuskan bahwa secara substansi nilai-nilai
atau butir-butir, noktah-noktah yang lebih dikenal dengan sila-sila yang terkandungnya, ada “titik
temu” dengan ajaran syariah Islam atau norma-norma agama Islam. Tidak hanya sila Ketuhanan Yang
Maha Esa akan tetapi sila Persatuan Indonesia dan sila-sila lainnya “serupa” atau”sama dan
sebangun” dari bagian ajaran agama Islam itu sendiri.
Kata “Penata Agama” tentu maknannya sangat dalam, agama Islam bukan sekedar agama yang
secara resmi dari kesultanan serta menjadi keyakinan Sultan, namun juga ajaran agama menjadi tatanorma–aturan dalam mengelola kekuasaan sultan dan aturan kesultanan (Feith & Castles, 1970).
Munculah Kerajaan Islam di Nusantara dalam wujud kesultanan, berdasar berita awal diabad XVI
Masehi dari Tome Pires dalam Suma Oreintal (1512-1515) tentang asal muasal penyebaran Islam di
Nusantra.23 Runtuhnya kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha setelah proses Islamisasi berlangsung
secara damai dan memudarnya pengaruh agama terdahulu. Kerajaan Islam muncul dalam wujud
Kesultanan ada sekitar 19 Kesultanan. Dimulai Kesultanan Samudera Pasai pada pertengahan abad 13
(1270-1275) Sultan pertamanya Malikul Shaleh yang diceritakan juga dalam Sejarah Melayu dan
Hikayat Raja-Raja Pasai, awalnya hanya seorang kepala Gampong Samudera bernama Merah Selu,
hingga Kesultanan Pontianak, terletak di Tanjungpura dan Lawe abad XVIII, Sultan pertamanya
Syarif Idrus (1199-1209 H), yang gugur pada tahun 1870.
Transformasi ajaran Islam bersifat keimanan dan ritual ibadah, pada awalnya mengalami
pencampuran dengan kepercayaan yang dipengaruhi oleh paham animis, dinamis, hingga Hindu dan
Budha. Sehingga melahirkan satu bentuk ajaran Islam yang dianut bersifat " bercampur baur" dengan
paham yang bersifat mistik, Tahyul, Bid'ah, Churafat (TBC). Ini dikemukakan antropolog Cliffort
Geertz sebagai Islam abangan, suatu keyakinan Islam menjelma bagi penganutnya bersifat sinkritik.
Dalam konteks sosiologi politik Deliar Noer menyebut sebagai kaum tradisionalisme Islam, konsep
kekuasaan mereka dipengaruhi oleh budaya leluhur bersifat; feodalisme, suatu paham pengkultusan
terhadap kiyai, kiyai dianggap suci (ma’sum). Dari aspek "kekuasaan" dengan pengaruh animisme
dan dinamisme, seperti; kekuatan terdapat melalui jimat, ishim, serta benda – benda yang dianggap
sakti dan keramat. Islam yang dipahami beririsan dengan kepercayaankepercayaan yang campur baur
mistikisme (Gertz, 1960). Islam dikembangkan beririsan dengan logika yang rasional, modern dan
atas pandangan para ahli fikih dan sains. Ini disebut oleh Deliar Noer sebagai kaum modernism Islam
(Noer, 1985).
Nusantara terdiri dari kepulauan besar dan kecil, banyak laut dan selat sebagai penghubung bagi
kerajaan hingga kesultanan. Orang Melayu, etnis Melayu yang dipahami dalam berbagai suku di
Indonesia sebagai melayu misal; etnis Jawa dengan sebutan Melayu Jawi, etnis Minang sebagai
Melayu Minangkabau, Etnis Banjar sebagi melayu Banjar, etnis Betawi sebagai melayu Betawi,
demikain pula ada Melayu Riau, Melayu Palembang, Melayu Medan, Melayu Madura, Melayu Bima
dan seterusnya. Dan Melayu itu lebih diidentikan sebagai orang Islam (muslim). Kemudian bahasa
Melayu di Nusantara dijadikan sebagai bahasa penghubung dan perdagangan (lingua franca) bagi
segenap kerajaan – kesultanan. Nah Jika diceramati, kosa kata dalam bahasa Melayu banyak
dipengaruhi kosa kata dari pengaruh Islam, dalam hal ini pengaruh bahasa Arab. Misalnya; kosa kata
musyawarah, khidmat,adil, adab-beradab, wakilperwakilan,mukadimah, maklumat, sultan,
khalifatullah, sara-syariah, hukum-hakim. Semua ini menandakan Islam demikian memberikan
pengaruh terhadap keberadaan dan perkembangan bahassa Melayu, secara alami sebagai bahasa
persatuan bagi orang Nusantara jauh sebelum kemerdekaan.
Fakta perjalanan sejarah Nusanatara pengaruh Islam demikian besar terhadap orang Melayu dan
bahasa Melayu secara alami menjadi pemersatu masyarakat di kepulauan Nusantara dalam wujud
bangsa, bahasa dan terbentuknya NKRI. NKRI alat ampuh memperkuat persatuan umat Islam di
Indonesia sebagai bagian terbesar dari populasi penganut agama di negeri ini. Sebaliknya, Islam di
Indonesia memiliki peran dan konstribusi menentukan dalam merawat dan menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Munculnya Perkumpulan Modern Pertama di Indonesia untuk Kemerdekaan dan mengankat
martabat ekonomi pribumi yakni SDI kemudian menjadi SI; peran sejumlah tokoh Islam dalam
Pembentukan Negara Merdeka yakni dalam perumusan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, merupakan pengorbanan sekaligus hadiah Umat Islam, terhadap keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia; Mosi Integral Natsir pembentukan Negara Kesatuan dilaksanakan
tanpa menimbulkan konflik; Wawasan Nusantara, satu cara pandang bangsa Indonesia dalam melihat
Indonesia sebagai satu kesatuan, ini mengokohkan implementasi Negara Kesatuan Republik
Indonessia (NKRI), dan diakui dunia merupakan penerapam konsep negara Archipelago state
principle; Jasa Pejuang Islam Atas Simbol-Simbol Kesatuan Negara berupa bendera merah putih,
lambang burung Garuda, lagu-lagu kebangsaan, hari dan waktu pembacaan teks Proklamasi, seruan
bersatu dan dikeluarkannya fatwa jihadresolusi jihad oleh ulama
II.
TINJAUAN KRITIK
Sebelum membahas lebih jauh pada isi tulisan, saya akan mengurai tulisan ini secara
substansial. “Aktualisasi Islam Keindonesiaan dalam Konteks NKRI” memiliki peran yang sangat
penting, signifikan dan strategis. Dilihat dari segi tulisannya secara akademik memaparkan bahasa
yang ilmiah, sistematis dan objektif. Data dan informasinya cukup padat yang diruntut penulis
sedemikian rupa sehingga pembaca dapat mudah memahami alur tulisan. Tulisannya kaya akan
referensi sehingga dalam memahami tulisannya pembaca akan ikut mendapat gambaran dari adanya
perbedaan penafsiran atau pandangan yang dikumpulkan dalam tulisan, menurut saya ini salah satu
tulisan yang menarik perhatian, karena tidak banyak tulisan yang mau memaparkan isi dari
pendekatan kajian yang berbeda, baik dari pendekatan Teologis (Islam), pendekatan filosofi, dan
pendekatan tindakan politik; perspektif sejarah Islam Indonesia. Juga didalamnya disertai pernyataan
logis oleh penulis mana pilihan yang ia gunakan untuk tulisannya. Disamping itu ada satu hal yang
menjadi kekurangan penulis, menurut saya sebagai pembaca, tulisan ini ada menggunakan beberapa
istilah yang banyak tidak dialih bahasakan atau dijelaskan maksud kata atau kalimatnya, sehingga
kerap pembaca mengalami kesulitan untuk memahami konteks yang dimaksud penulis. Pada pokok
pembahasan juga saya kurang dapat memahami dimana aktualisasi Islam keindonesian dalam konteks
NKRI.
III. KESIMPULAN
Peran Islam di Indonesia terhadap keberadaan dan keberlangsungan Negara Kesatuan Republik
Indonesa (NKRI) memiliki peran penting, signifikan dan strategik baik dimasa lalu, kini dan masa
datang terhadap kedaulatan negara setidaknya karena 4 (empat) hal yang dapat dijadikan dasar
pemikiran bahwa islam berperan penting dalam kedaulatan. Indonesia merupakan negara bersifat
pluralis, dalam konteks sosial politik dan hukum ketatanegaraan dikenal dengan istilah Bhineke
Tunggal Ika. Umat Islam yang mayoritas dominan menerima keberagaman itu sebagai keniscayaan
dari Takdir Allah SWT. Ini kemudian dipahami sebagai pesan betapa pentingnya toleransi, hidup
berdampingan dalam negara yang didirikan bersama dengan cara yang adil, berperikemanusiaan dan
beradab. Piagam Madinah merupakan contoh dari bentuk kesepakatan dalam mengakui adanya
pluralism. Dalam aktualisasinya, sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi
bukti dalam pemersatu pluralisme yang ada di Indonesia.
III.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, A., & Pranowo, B. (2012). Tradisi Sosial Budaya Islam dalam Indonesia dalam Arus Sejarah
Kedatangan dan Peradaban Islam Jilid 3. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve kerjasama dengan
Kementrian pendidikan dan Kebudayaan Repubik Indonesia.
Feith, H., & Castles, L. (1970). Indonesian Political Thingking 1945-1965. Ithaca London: Cornell
University.
Gertz, C. (1960). The Religion of Java. Chicago and London: The University of Chicago Press Global
Religious Future. (2018).
Pew Research Center Religions & Public Life Project. Dipetik August 10, 2019, dari The Future of
World Religions: http://www.globalreligiousfutures.org/
Jhonson, D. P. (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I, Robert MZ Lawang (Terj.).
Jakarta: Gramedia
Kartawidjaja, Djoeanda. (2020, 04 09). Retrieved 08 19, 2020, from Wikipedia.org:
https://id.wikipedia.org/wiki/Djoeanda_Kartawidjaja
Madjid, N. (1983). "Cita - Cita Politik Kita” dalam Bosco Carvallo & Dasrul (Pnyt), Aspirasi Umat
Islam Indonesia. Jakarta: LAPENAS.
Mage, R. I., & Bapayung, Y. M. (2019). Generasi Emas (Pemikir Gadang Minangkabau). Jakarta:
Harta Prima.
Mahendra, Y. I. (2000). Sang Bintang Cemerlang Menegakkan Sistem dan Akhlak Berpolitik. Jakarta:
Putra Berdikari Bangsa.
Mulkan, A. M. (1989). Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 1965-1987 dalam
Prespektif Sosiologis. Jakarta: Rajawali Press.
Noer, D. (1983). Pengantar ke Pemikiran Politik. Jakarta: Rajawali Press.
Noer, D. (1985). Gerakan Modernis Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
Noer, D. (1987). Partai Islam di Pentas Politik Nasional. Jakarta: Grafiti Press.
Novianto, K., & Al-Chaidar. (1999). Era Baru Indonesia; Sosialisasi Pemikiran. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Republika. (2008, Juni 20). Meragukan Jumlah Pulau - Puau di Indonesia.
Retnowati. (2004). Agama, Konflik dan Integrasi Sosial (Integrasi Sosial Pasca Konflik Situbundo).
Jurnal Analisa Vol.21 no.2 Desember 2004, 189-200.
Salam, S. (1978). B J. Habiebie Mutiara Dari Timur. Jakarta: P.T. Intermasa.
Syam, F. (2004). Yusril Ihza Mahendra Perjalanan Hidup Pemikiran dan Tindakan Politik. Jakarta:
PT. Dyatama Milenia. Syam, F. (2009).
Renungan Bacharudin Jusuf Habiebie Membangun Peradaban Indonesia; Setelah 10 Dasawarsa
Kebangkitan Nasional, 10 Windu Sumpah Pemuda, dan 10 Tahun Reformasi. Jakarta: Gema
Insani.
Yuwafik, M. H. (2020, Juni 6). Islam, Pancasila, dan NKRI (Dalam Perspektif Keutuhan Bangsa).
Diambil kembali dari Kompasiana.com: http://www.kompasiana.com/amp/sosialaction