INDUSTRI KERAMIK TRADISIONAL CINA DI
SAKKOK, SINGKAWANG
1933-2000
TRADITIONAL CHINESE CERAMICS INDUSTRY IN SAKKOK SINGKAWANG
1933-2000
Oleh Any Rahmayani
Balai Pelestarian Nilai Budaya Pontianak
Jl. Letjen Sutoyo Pontianak
e-mail:
[email protected]
Naskah Diterima:13 Maret 2013
Naskah Disetujui:17 April 2013
Abstrak
Penelitian ini menyajikan tentang dinamika industri keramik tradisional Cina di
Sakkok, sebuah wilayah di Kota Singkawang, Provinsi Kalimantan Barat sepanjang abad
ke-20. Latar belakang penelitian ini adalah keberadaan industri keramik tradisional Cina
di Sakkok yang sedang digarap sebagai aset ekonomi dan pariwisata bagi Singkawang.
Permasalahan pokok yang dibahas adalah dinamika industri keramik tradisional Cina di
Sakkok, Singkawang dalam perspektif sejarah. Tujuan dari kajian ini yaitu
menggambarkan tentang tradisi pembuatan keramik tradisional Cina di Sakkok,
menguraikan perintisan industri keramik tradisional Cina pada awal abad ke-20 dan
menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi industri ini. Metode yang digunakan
metode heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ciri tradisional keramik Cina yang terlihat pada bahan bakunya, peralatan proses
proses pembentukan, penglasiran,dan pembakaran, motif dan desain, serta alat
pembakaran yang disebut tungku naga. Perubahan yang terkait dengan ketersediaan
bahan baku, bahan penunjang dan teknik pembakaran serta kondisi sosial politik
membawa dampak bagi keberlangsungan industri keramik tradisional Cina dari
Singkawang ini.
Kata kunci: keramik, Tionghoa, tradisional
Abstract
This study presents the dynamics of traditional Chinese ceramics industry
in Sakkok, Singkawang, in the Province of West Kalimantan during the 20th
century. The background of this research is the existence of traditional Chinese
ceramics industry in Sakkok which is being worked on as an economic and
tourism asset for Singkawang. The main problem for this study is the historical
perspective of the dynamics of traditional Chinese ceramics industry in Sakkok.
The purpose of this study is describing the tradition of producing traditional
Chinese ceramics in Sakkok, outlining pioneering in the industry in the early 20th
century, and explaining the factors affecting it. The author used heuristic,
criticism, interpretation and historiography. The results showed that the
characteristics of traditional Chinese ceramics are depicted in the raw materials,
equipment, processes of formation, glazing, and burning, motifs and designs, as
well as burning tool called dragon furnace. Changes related to the availability of
raw and auxiliary materials, burning techniques as well as the social and political
conditions have impact on the sustainability of traditional Chinese ceramic
industry in Singkawang.
Keywords: ceramics, Tionghoa, traditional
A. PENDAHULUAN
Ide penulisan dengan judul tersebut di atas sebenarnya dimulai ketika penulis
membaca sebuah brosur pariwisata yang diterbitkan oleh pemerintah Kota Singkawang
yang di dalamnya memuat tentang wilayah-wilayah yang menarik untuk dikunjungi di
Singkawang. Salah satu dari wilayah tersebut adalah Sakkok yang berada di Singkawang
Selatan sebagai sentra industri keramik Tionghoa yang masih mempertahankan proses
tradisional dalam pembuatannya.
Singkawang, sebuah kota di pesisir barat Kalimantan Barat telah dikenal luas
sebagai kota bercirikan Tionghoa.1 Kota Seribu Klenteng ini telah dihuni oleh masyarakat
Tionghoa sejak beratus tahun yang lalu sehingga tidak mengherankan jika budaya yang
dibawanya mengakar kuat. Beragam kekhasan ala Tionghoa dapat dilihat ketika kita
memasuki kota yang hampir separuh penduduknya adalah orang Tionghoa. Pengaruh
kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat Tionghoa terhadap kota Singkawang dapat
dilihat dari laporan maupun artikel yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda
sepanjang pertengahan awal abad ke-19 dan awal abad ke-20. Nuansa Tionghoa di
Singkawang dapat dilihat setiap waktu baik ritual, kesenian, arsitektur, dan tradisi
lainnya. Melihat perayaan Cap Go Meh yang menampilkan tatung di sudut-sudut kota
dengan arsitektur Tionghoa yang kental, menjelajahi klenteng-klenteng sambil menikmati
kuliner khas Tionghoa menjadi kekuatan kota ini untuk menarik wisatawan datang.
1
Keramik sebagai objek kajian disebut keramik Cina sesuai dengan daerah asalnya sedangkan
untuk menyebutkan komunitas pendukungnya penulis menggunakan istilah Tionghoa yang
merujuk pada istilah Tionghoa yang berkembang di Indonesia pada awal abad 20 yang merupakan
ungkapan solidaritas komunitas Tionghoa perantauan terhadap nasionalisme Tiongkok. Mereka
menamakan diri sebagai bangsa Zhonghoa yang kemudian di Indonesia dilafalkan sebagai
Tionghoa. Namun perlu diketahui pula bahwa orang Tionghoa Singkawang kadang menyebut
dirinya orang Chin.
2
Kekuatan pariwisata Singkawang diperkaya oleh keberadaan industri keramik
tradisional Cina di pemukiman Tionghoa yang bernama Sakkok yang saat ini masuk
wilayah Kelurahan Sedau, Kecamatan
Singkawang Selatan.
Pemerintah Kota
Singkawang mencanangkan kawasan sentra industri keramik ini menjadi Kawasan Wisata
Budaya.2 Motif dan cara pembuatan yang mempertahankan aspek tradisional Tionghoa
membuat keramik ini berbeda dengan jenis keramik lain yang ada di Indonesia. Tungku
naga3 adalah salah satu kekhasan dari keramik ini. Tungku naga adalah alat pembakaran
keramik yang dibuat memanjang dan hanya dapat dibuat oleh orang yang memiliki
keahlian khusus. Dalam beberapa periode keramik tradisional Cina dari Sakkok
merupakan keramik yang paling diminati para kolektor keramik di Indonesia. Namun
cerita sukses keramik tradisional Cina yang disebut sebagai salah satu warisan budaya
Kalimantan Barat ini sekarang, jauh berbeda jika dibandingkan dengan keadaannya pada
era delapanpuluhan. Permasalahan tersebut yang mendorong penulis untuk mengkaji
keramik tradisional Cina ini dari perspektif sejarah.
Dari permasalahan di atas, penulis menyimpulkan beberapa rumusan masalah:
1. Mengapa daerah Sakkok Singkawang menjadi tempat industri keramik
tradisional Cina?
2. Bagaimana proses perintisan industri keramik Tionghoa di Sakkok?
3.
Bagaimanakah dinamika industri ini antara tahun 1933 sampai 2000 dan faktorfaktor apa yang memengaruhinya?
Pembahasan tentang perkembangan industri keramik Tionghoa di Sakkok ini
dibatasi oleh dua batasan yaitu batasan spasial dan batasan temporal. Pembahasan ini
mengambil tempat di wilayah Sakkok yang pada awal abad ke-20 merupakan bagian dari
onderafdeeling Singkawang (Regering Almanak 1933). Seiring dengan perubahan sistem
tata pemerintahan Indonesia, saat ini Sakkok berada di Kelurahan Sedau Kecamatan
Singkawang Selatan Kota Singkawang (Profil Desa/Kelurahan Sedau. 2005). Lingkup
temporal penulisan dibatasi pada abad ke-20 sekitar tahun 1933 sampai tahun 2000.
Pemilihan batasan awal tahun 1933 ditandai oleh berdirinya tungku naga yang pertama di
Sakkok yang didirikan oleh satu keluarga Tionghoa sebagai industri keluarga.
2
Hal ini dituangkan dalam Kerangka pengembangan Industri Keramik Hias pada Peta Panduan
Kompetensi Inti Industri, Disperindag dan UKM Kota Singkawang.
3
Istilah tungku naga juga digunakan oleh masyarakat setempat untuk menyebut perusahaan
pembuatan keramik.
3
Pembahasan masalah tersebut diharapkan mampu merekonstruksi perkembangan
industri keramik dari tahun ke tahun dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Selain itu diharapkan tulisan ini dapat menambah koleksi kajian yang ada tentang industri
terutama industri kerajinan dalam perspektif sejarah. Dengan demikian, tulisan ini dapat
menjadi sumbangan bagi penelitian ataupun lembaga-lembaga ekonomi pemerintah
dalam memecahkan pemasalahan industri rakyat saat ini dengan melihat sejarah
perkembangan sebuah industri.
Empat tahap dalam metode sejarah yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan
historiografi. Tahap heuristik sebagai tahap pencarian dan pengumpulan sumber data
ditempuh penulis dengan beberapa langkah antara lain penelusuran arsip. Sumber tertulis
didapatkan dari ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) dan Perpusnas (Perpustakaan
Nasional) Jakarta. Peranan sumber-sumber lisan yang diperoleh di lapangan berupa hasil
wawancara menjadi penting. Alasan lain dipilihnya studi lisan ini adalah seperti yang
dikemukakan oleh Kuntowijoyo bahwa sejarah lisan memberikan kemungkinan yang
tidak terbatas untuk menggali sejarah dan pelakunya (Kuntowijoyo, 2003: 25). Tahapan
kritik merupakan menguji autentisitas dan kredibilitas sumber. Setelah melalui tahap
kritik, sumber tersebut diinterpretasikan menjadi sebuah fakta dan kemudian dirangkai
dalam sebuah penulisan sejarah.
Begitu pula dengan tulisan berjudul The Traditional Ceramics of Singkawang:
It’s History and Meaning as One of Our Cultural Heritage karya Soedarto. Tulisan ini
menyajikan keramik tradisional Cina Sakkok sebagai produk industri keramik yang
mempunyai perbedaan yang mendasar dengan produk keramik lokal lainnya. Hal ini yang
menjadikan kerajinan keramik tersebut unik dan digemari oleh para pecinta keramik. Sisisisi keunikan tersebut ditonjolkan dalam pembahasan tentang proses pembuatan dan
motif beserta filosofinya. Sebagai sebuah tulisan budaya, makna bahasan tentang keramik
tradisional Cina sebagai salah satu kekayaan budaya Kalimantan Barat dijelaskan dengan
menyinggung tentang sejarah kehidupan dan filosofi masyarakat Tionghoa di
Singkawang. Buku berjudul Orang Tionghoa Khek dari Singkawang karya Hari
Poerwanto membantu penulis dalam memahami persoalan orang Tionghoa di Indonesia
umumnya dan di Singkawang pada khususnya dalam perspektif antropologi. Seperti
contohnya pembahasan tentang asimilasi dan integrasi perantau Tionghoa membantu
penulis dalam mengkaji bagaimana pengaruh perekonomian yang dibangun oleh suatu
komunitas Tionghoa. Selain buku-buku tersebut, buku Tempayan Martavans di Indonesia
karya S. Adhyatman dan Abu Ridho memberikan informasi tentang detail fisik keramik
4
tradisional Cina yang berguna untuk penulis dalam memberikan gambaran awal keramik
Tionghoa. Buku yang diterbitkan oleh Himpunan Keramik Indonesia ini memuat ragamragam koleksi keramik yang ada di dunia.
B. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kedatangan Orang Tionghoa di Sakkok, Singkawang
Sakkok adalah sebutan untuk wilayah di mana pembuatan keramik tradisional
Cina berkembang dan menjadi salah satu ikon wisata Kota Singkawang. Pada saat ini
Sakkok bukanlah nama sebuah wilayah administratif. Istilah Sakkok merupakan istilah
turun menurun untuk menyebut wilayah tersebut. Sakkok termasuk wilayah Singkawang
yang penduduknya bercocoktanam di sawah. Namun pada mulanya Sakkok memang
merupakan nama administratif wilayah tersebut.
Kedatangan orang Tionghoa ke Singkawang di pesisir barat Borneo sebelum
abad ke-18 sulit terlacak. Indikasi bahwa orang Tionghoa telah datang sebelum itu terlihat
pada cerita-cerita rakyat dan catatan petualangan. Para peneliti mempunyai pandangan
yang berbeda-beda tentang hal ini. Penemuan sendok keramik bergambar naga dan
dilapisi email hijau masa Dinasti Han di Sambas merupakan salah satu indikasi bahwa
orang Tionghoa telah memasuki wilayah ini pada abad ke-1 (Kong Yuanzhi, 2005: 430).
Pada abad ke-3 telah terindikasi kedatangan orang Tionghoa di wilayah Borneo ketika
melakukan perjalanan pulang dari perjalanan dagang di wilayah Nusantara dengan
menyusuri pantai-pantai Borneo Barat dan Filipina dan berlanjut pada abad ke-7, ketika
orang Tionghoa tersebut mulai menetap di wilayah ini (Lontaan, 1975: 245). Berita
Tionghoa lain menyebutkan bahwa kerajaan di sekitar pesisir pantai barat Borneo telah
memiliki hubungan yang erat dengan penguasa Tiongkok pada masa Dinasti Song dan
Dinasti Ming (Groeneveldt, 2009: 151-162). Laut Cina Selatan adalah jalur yang
memungkinkan orang Tionghoa tersebut tiba di Borneo Barat. Pelayaran orang Tionghoa
dalam rangka perdagangan dilakukan dengan menggunakan junk atau wangkang,
semacam kapal, yang berkapasitas 500 ton (Poerwanto, 2005: 117). Begitu pula dengan
pemerintah Inggris yang ada di Serawak hanya menyatakan bahwa orang Tionghoa telah
menetap di wilayah yang mereka sebut Dutch Borneo sebelum abad ke-18 (Anonim,
1920: 11). Kisah kedatangan orang-orang Tionghoa akhirnya mulai tergali dengan lebih
jelas ketika emas menjadi komoditas yang penting bagi dua kerajaan pesisir Borneo
Barat, Sambas dan Mempawah pada abad ke-18 (Van Meeteren, 1927: 1057). Orang
Tionghoa ini adalah orang dari Tionghoa bagian selatan dan sebagian besar adalah
5
kelompok etnis Hakka (Khek). Migrasi orang Tionghoa dalam jumlah yang besar pada
akhirnya membentuk kongsi-kongsi pertambanganan emas di wilayah milik dua kerajaan
Melayu tersebut. Singkawang dengan fasilitas pelabuhannya akhirnya menjadi daerah
satelit bagi sebuah kongsi pertambangan emas di Montrado (sebuah wilayah di tenggara
Singkawang).4 Dihapuskannya kongsi pertambangan emas di pedalaman oleh pemerintah
kolonial pada paruh kedua abad ke-19, membuat orang-orang Tionghoa penghuni kongsi
berpindah ke daerah pesisir termasuk ke wilayah Sakkok.
Wilayah Sakkok di bagian selatan Singkawang merupakan sebuah permukiman
tua di Singkawang. Diperkirakan komunitas pengrajin keramik tradisional Cina yang
berada di Sakkok berasal dari wilayah yang berbeda dengan komunitas Tionghoa yang
tinggal di kongsi-kongsi emas di sekitar wilayah Singkawang. Orang Tionghoa yang
berada di kongsi-kongsi emas mempunyai latar belakang sebagai petani atau nelayan di
daerah asalnya, sedangkan komunitas Tionghoa di Sakkok ini memang berlatarbelakang
sebagai pengrajin keramik yang datang dari Serawak pada akhir abad ke 19/awal abad ke20 (Soedarto, 1994: 5).1 Orang-orang Tionghoa dari wilayah Borneo bagian utara ini
datang melalui jalur darat dan jalur laut. Orang Tionghoa yang melalui jalur laut berlabuh
di Sungai Duri (sebuah tempat di wilayah selatan Singkawang). Pada tahun 1931 tercatat
kedatangan orang Tionghoa dari Serawak ke wilayah-wilayah yang berada di
Singkawang melalui jalan darat dengan rute Djagoi-Seluas-Sanggau-Bengkayang
(Afschrift voor den Directeur van Binnenlands Bestuur 1933).
Sekitar tahun 1967, gelombang pengungsi Tionghoa dari daerah pedalaman
datang ke Sedau berkaitan dengan penumpasan PGRS/ Paraku yang terjadi di Kalimantan
Barat. Komunitas Tionghoa merupakan komunitas mayoritas yang bermukim di wilayah
tersebut sehingga wajar jika nama-nama perkampungan di Sedau menggunakan bahasa
Tionghoa. Pada tahun 1960an jalan yang membelah wilayah tersebut menuju ke
Pontianak berupa padang pasir berwarna putih sepanjang 4-5 kilometer dengan lebar 5
meter. Oleh sebab itu wilayah ini juga disebut Sa Liung yang dalam bahasa Khek
(Hakka) berarti padang pasir. Kandungan tanah di sisi kanan dan kiri jalan inilah yang
merupakan bahan dasar yang sangat potensial untuk industri keramik.
2. Tradisi Pembuatan Keramik Tradisional Cina di Sakkok
4
Dinamika kongsi-kongsi pertambangan emas di Borneo Barat diwarnai dengan perselisihan
antar kongsi yang pada akhirnya mengakibatkan intervensi pemerintah kolonial Belanda yang
kemudian menghapuskan sistem kongsi di Borneo Barat pada paruh kedua abad ke-19.
6
Sering dikatakan bahwa setelah kongsi emas dibubarkan pada akhir abad ke-19,
pekerjaan di bidang pertanian atau perdagangan menjadi pilihan utama orang Tionghoa.
Heidhues membagi masyarakat Tionghoa saat itu menjadi 3 kelompok berdasarkan mata
pencahariannya yaitu penambang emas, petani atau pedagang kecil dan nelayan serta
pedagang, tukang dan buruh di perkotaan. Salah satu pemilik tungku naga menyatakan
bahwa perintis usaha pembuatan keramik tradisional Cina adalah seorang yang datang
dari Tionghoa dan mempunyai keahlian membuat keramik di samping mata pencaharian
utama mereka sebagai petani.
Tradisi pembuatan keramik Tionghoa memiliki keunikan tersendiri. Tungku naga
(dragon kiln) adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan alat pembakaran keramik
tersebut. Masyarakat Tionghoa menyebutnya dengan istilah jau (tungku). Hal ini merujuk
pada bentuk tungku yang memanjang yang diibaratkan sebagai naga. Tungku ini berasal
dari bata yang disusun memanjang sekitar 28-40 meter. Proses pembuatan dimulai
dengan pengolahan kaolin dengan cara diberi air dan diinjak serta ditutup.
Pemotongan dan penginjakan kaolin
(Sumber: dokumentasi Any Rahmayani)
Proses selanjutnya adalah pembentukan. Proses ini hanya dilakukan oleh
pengrajin ahli yang memiliki ketrampilan khusus. Pembentukan dilakukan diatas alat
yang lazim disebut roda putar (nai-cha) dan kayu kecil pembentuk (su dei kut dan kiam
chi) (Wibisono, 2009).
Proses pembentukan dan keramik yang telah dibentuk
7
(Sumber: Dokumentasi Any Rahmayani)
Kemudian dilakukan pengeringan. Pengeringan ini dilakukan setelah keramik
polos dibentuk. Namun ada juga yang diberi motif ketika keramik setengah setengah
kering. Pemberian motif dilakukan dengan beberapa pilihan cara yaitu cetak, cap atau
ukir. Pengeringan dilakukan di tempat yang teduh untuk menghindari keretakan keramik.
Pemberian motif dan pengglasiran
(Sumber: Dokumentasi Any Rahmayani)
Langkah selanjutnya adalah penglasiran. Warna yang cerah dan kesan bening
merupakan tujuan dari glasir. Glasir merupakan komponen utama yang menentukan jenis
keramik pada suatu zaman. 5 Bahan utama glasir adalah merang dan kerang yang
dicampur dengan kaolin. Kedua bahan dibakar kemudian dihaluskan. Warna yang biasa
digunakan dalam pengglasiran keramik Tionghoa di tempat ini adalah abu-abu, coklat
dan hijau muda. Bahan glasir lain adalah tanah merah, rumput ilalang dan pasir laut.
5
Perbedaan keramik dinasti Tang dan keramik dinasti Ming dapat dilihat dari glasirnya
8
Setelah proses pengeringan selesai, keramik memasuki
proses pembakaran yang
dilakukan dalam tungku naga.
Tungku Naga
(Sumber: Dokumentasi Any Rahmayani)
Tungku naga tersebut mempunyai beberapa bagian. Bagian yang berbentuk
kubah di bagian depan adalah tempat pembakaran dengan bahan bakar. Bagian tersebut
mempunyai empat lubang di bagian depan, tiga lubang terletak sejajar dan satu lubang di
atasnya. Bagian dalam kubah adalah tempat api. Badan tungku naga yang memanjang
merupakan ruang menempatkan keramik yang akan dibakar. Di sisi-kanan kirinya
terdapat lubang yang disebut jendela. Pintu untuk memasukkan keramik berada di sisi
badan tungku naga. Bagian paling ujung tungku naga adalah cerobong. Keramik disusun
berdasarkan daya tahan terhadap panas. Bagian bawah tungku diberi abu agar keramik
tidak mudah jatuh. Biasanya keramik glasir dengan ukuran besar dan tempayan besar
tahan panas sehingga keramik yang tidak diglasir diletakkan dekat dengan cerobong.
Keramik kecil dimasukkan ke dalam ke tempat yang besar dan keramik yang tahan panas
didekatkan pada sumber api. Pembakaran dilakukan sehari semalam (24 jam) dengan
ketelitian pekerja dalam mengatur suhu. Tungku naga ini dapat memuat ribuan keramik.
Setelah keramik dimasukkan, pintu-pintu di semua sisi pintu naga ditutup. Pembakaran
menggunakan kayu karet. Kayu karet merupakan kayu yang paling cocok karena
memiliki panas yang merata. Sebagaimana tradisi Tionghoa, doa-doa sesuai kepercayaan
serta ritual yang menyertainya selalu dilakukan para pemilik tungku naga. Biasanya doa
dan simbol-simbol Tionghoa terletak di depan tungku naga. Pada paruh pertama proses
pembakaran api harus tetap dijaga suhunya. Selanjutnya, jendela mulai dari bagian depan
9
satu persatu dibuka untuk dimasukkan api. Jika asap berubah menjadi putih maka
keramik sudah matang. Demikian seterusnya secara bergantian. Seperti telah dikatakan
diatas bahwa pembakaran berlangsung 24 jam. Proses pendinginan terkadang
menghabiskan waktu selama satu hari. Dalam proses ini pintu dan jendela dibuka.
Dengan demikian keramik siap untuk dipasarkan. Pembentukan, pengglasiran dan
pembakaran yang teliti merupakan faktor penentu keberhasilan sebuah keramik.
Keramik siap dipasarkan
Sumber: dokumentasi Any Rahmayani
3. Perusahaan Keramik Tradisional Cina Pada Masa Hindia Belanda
Kongsi emas yang mulai didirikan pada abad ke- 18 memberikan andil
pelestarian keramik Tionghoa di Kalimantan Barat. Peleburan emas menggunakan benda
yang disebut crucible. Wadah pelebur ini berbahan keramik. Sehingga tidak mustahil
budaya pembuatan keramik telah ada pada masa ini bersamaan dengan perkembangan
industri emas di wilayah tersebut. Pendirian industri keramik Tionghoa yang secara
profesional baru dimulai pada tahun 1933. Perusahaan ini dijalankan dengan sistem
kongsi dimana seluruh pekerja yang ahli di bidangnya masing-masing bekerjasama dan
memiliki saham dalam perusahaan tersebut. Sebuah perusahaan bernama Yong Thong
Hwat (“Dinamis”) didirikan oleh Bong Fo Ong yang sebelumnya bekerja sebagai
pengrajin di Serawak (Soedarto, 1994: 21). Perusahaan ini hanya mencoba memenuhi
kebutuhan masyarakat untuk keperluan sehari-hari seperti mangkok, piring, tempayan
serta guci. Kebiasaan masyarakat Tionghoa dalam mengawetkan makanan menjadikan
produk-produk tersebut diminati. Keadaan alampun merupakan suatu pengaruh penting
sehingga kehidupan mereka tergantung pada produk keramik. Sebagaimana contohnya
10
penggunaan tempayan sebagai tempat penampungan air hujan yang dibutuhkan
masyarakat. Selain itu,
tempayan atau dalam bahasa Tionghoa disebut thai ang
digunakan untuk menyimpan beras dan arak. Pada awal pendiriannya, perusahaan ini
mempekerjakan sekelompok ahli keramik yang berasal dari Tiongkok termasuk Liauw A
Chiu yang kemudian mendirikan perusahaan serupa pada tahun 1936. Proses pembuatan
keramik Tionghoa ini menggunakan kitab Tionghoa kuno yang diwariskan secara turun
temurun. Pemilik perusahaan ini menyatakan bahwa buku itu merupakan rahasia keluarga
dimana di dalamnya terdapat berbagai detail motif beserta artinya, detail pengumpulan
bahan dan pembuatannya.
Perusahaan kedua berdiri pada tahun 1936 dengan nama Ji Fo Kung Shi atau Ju
Hua (“Tajau Mas”, yang berarti tempayan emas). Setelah menimba ilmu dari perusahaan
keramik pertama di Sakkok, Liauw A Chiu mendirikan perusahaan keramik dengan skala
yang lebih besar bersama dengan teman-teman seperantauannya. Pada saat itu, produk
yang paling laku adalah tempayan untuk keperluan sehari-hari. Pengrajin-pengrajin ini
memiliki keahlian masing-masing dalam pembuatan keramik. Salah satu dari teman
Liauw A Chiu yang turut bekerjasama dalam pembuatan perusahaan ini adalah Hon Jung
yang memiliki kepiawaian membuat tungku naga.6 Konstruksi tungku naga harus tepat
untuk mendapatkan hasil pembakaran keramik yang baik. Setelah beberapa tahun kongsi
ini bubar karena mengalami kerugian. Perusahaan kemudian dikelola secara mandiri oleh
Liauw A Chiu. Era tahun limapuluhan sampai pertengahan tahun enampuluhan
merupakan masa kejayaan perusahaan ini. Pedagang dari Madura merupakan penggemar
keramik ini. Pendistribusian keramik dilakukan dengan kapal. Demikian pula dengan
peminat keramik yang berasal dari masyarakat Dayak yang menggunakan keramik
terutama tempayan sebagai perlengkapan upacara selain untuk keperluan sehari-hari.
Pendistribusian ke wilayah pemukiman Dayak yang kebanyakan berada di wilayah
perhuluan (Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu) dilakukan melalui jalur darat dengan
armada truk. Setelah Liauw A Chiu meninggal, perusahaan dikelola anak laki-lakinya.
Sama sepeti perusahaan sebelumnya, perusahaan ini memproduksi alat-alat untuk
keperluan rumah tangga. Produk yang dihasilkan semakin beragamseperti mangkuk, ceret
perebus obat serta tempat ari-ari (plasenta yang dikubur seketika begitu seorang anak
lahir). Perusahaan keramik “Tajau Mas” pernah bekerjasama dengan perusahaan keramik
di Pulau Bangka. Mayoritas Hakka yang ada di pulau tersebut tentunya memiliki tradisi
6
Hasil wawancara dengan Budi Rijanto, pemilik tungku naga Tajau Mas.
11
yang sama dalam pembuatan keramik. “Tajau Mas” pernah mengirimkan beberapa
pekerjanya ke Bangka untuk membantu proses pendirian perusahaan keramik Tionghoa
di sana, termasuk pekerja yang ahli membuat tungku naga. 7 Perusahaan keramik ini
mempekerjakan pekerja dari berbagai etnis yang ada di sekitar Sakkok. Pekerja dari etnis
Madura biasanya dipekerjakan pada persediaan bahan bakar. Kayu karet sebagai bahan
utama bahan bakar perlu dipotong dan dijemur. Pemotongan kaolin, penginjakan kaolin
serta pembentukan keramik dilakukan oleh para pekerja Tionghoa. Biasanya, para pekerja
ini mempunyai pekerjaan tetap sebagai petani. Mereka digaji perhari atau perminggu.
Perusahaan selanjutnya yang berdiri pada paruh pertama abad ke-20 adalah Sam Ho (“Tri
Murni”) pada tahun 1940 yang didirikan oleh tiga bersaudara Lie Mui Siak, Tan Bun Tin
dan Lie Chin Jit. Perusahaan ini diberi nama Sam Ho yang berarti tiga bersaudara.
4. Stagnasi pada Masa Pendudukan Jepang
Dinamika Industri keramik ini kemudian melewati masa stagnasi pada masa
pendudukan Jepang. Produksi karet yang merupakan barang ekspor utama di Kalimantan
Barat terhenti sebagai akibat dari peraturan baru yang ditetapkan pemerintah militer
Jepang (Ricklefs, 2008: 427).8 Perang besar Jepang dan Sekutu membuat Jepang
melakukan pemanfaatan maksimum terhadap sumber daya alam dan sumber daya
manusia yang ada.
Pendudukan militer Jepang yang tiba di Borneo Barat melalui pelabuhan di
Pemangkat yang berada sebelah utara Singkawang Serawak mengharuskan pemilik
industri keramik Tionghoa di Sakkok melakukan kerja “sukarela” membuat mangkuk
keramik untuk keperluan penerangan dan komunikasi tentara Jepang. 9 Kedua hal ini
diperlukan untuk kelancaran hubungan dengan tentara mereka yang ada di Serawak.
Ribuan mangkuk keramik yang dibuat tanpa bantuan biaya dari tentara Jepang ini
membuat para pemilik perusahaan keramik mengalami kerugian.
5. Dinamika Industri Keramik Tradisional Cina Pertengahan Sampai Akhir Abad
ke-20
7
Budi Rijanto, pemilik tungku naga Tajau Mas menyatakan beberapa pekerjanya dikirim ke
Bangka untuk membantu warga Tionghoa di sana yang mendirikan tungku naga dan sebagian
kembali ke Sakkok.
8
Dalam novelnya yang terinspirasi oleh kisah nyata, Pesawat Terbang Sembilan, M Yanis
menggambarkan sejauh mana pendudukan Jepang menekan rakyat Kalimantan Barat.
9
Keterangan ini disampaikan oleh Budi Rijanto, pemilik Tajau Mas, berdasarkan kisah yang
dituturkan orangtuanya. Disampaikan pada wawancara dengan penulis pada Minggu, 3 Mei 2009.
12
Setelah mengalami masa stagnasi, industri keramik Tionghoa mulai memasuki
masa adaptasi terhadap perekonomian pada awal kemerdekaan. Pada saat itu, tiga
perusahaan keramik yang telah berdiri di Sakkok tetap memproduksi keramik dalam
jumlah yang tidak banyak. Permintaan masyarakat sekitar masih mengalir sejalan dengan
kebutuhan mereka terhadap keramik. Keadaan ini terus berlangsung selama awal
kemerdekaan.
Pengrajin keramik tradisional Cina di Singkawang memiliki “posisi yang relatif
aman” dibandingkan orang Tionghoa yang berprofesi sebagai pedagang eceran yang ada
di pedalaman. Setelah kongsi dibubarkan, semakin banyak orang Tionghoa yang
berprofesi sebagai petani dan pedagang kecil. Setidaknya, terdapat banyak pedagang
Tionghoa yang melakukan kegiatan dagangnya di daerah pedalaman sehingga
menciptakan ketergantungan masyarakat pedalaman baik Tionghoa maupun Dayak
terhadap para pedagang ini. Tahun 1959, pemerintah Indonesia melarang orang asing
melakukan perdagangan di luar ibukota tingkat dua (Heidhues, 2008: 261). Pedagang
Tionghoa yang berada di pedalaman tentu sangat dirugikan.
Pertengahan tahun 1950an sampai awal tahun 1960an merupakan kondisi di
mana keramik tradisional Cina diminati oleh para pedagang Madura. Keramik-keramik
yang dipesan dikirimkan melalui kapal di pelabuhan Singkawang. 10 Interaksi dengan para
pedagang dari luar Singkawang semakin bertambah. Biasanya para pedagang ini
melakukan pelayaran untuk perdagangan garam. Keramik menjadi salah satu barang dari
Kalimantan Barat yang menarik perhatian mereka. Keramik itu tidak hanya mereka bawa
kembali ke Madura namun turut serta dalam ekspedisi perdagangan mereka ke seluruh
Indonesia. Animo masyarakat ternyata sangat besar sehingga pada waktu itu para
pengusaha keramik memproduksi ribuan tempayan, mangkok dan piring untuk memenuhi
permintaan para pedagang Madura. Menurut keterangan salah seorang pemilik
perusahaan keramik, pada masa tersebut perusahaan keramik memiliki banyak armada
(truk) untuk mengangkut keramik ke kapal-kapal pedagang Madura tersebut.Tidak hanya
pedagang Madura, keramik ini juga menarik perhatian pedagang dari Sulawesi.
Perjalanan industri ini semakin diperkaya dengan munculnya Perusahaan
Keramik “Semangat Baru” tahun 1964. Pabrik ini didirikan oleh Phui Tung Sun beberapa
tahun sebelum terjadi penumpasan besar-besaran PGRS/ Paraku (Pasukan Gerilya Rakyat
Serawak/ Pasukan Gerilya Rakyat Kalimantan Utara) oleh TNI dengan berbagai operasi
10
Para pemilik perusahaan mengangkut keramik menuju pelabuhan dengan menggunakan truk.
13
(Sulistyorini, 2002: 59-68).11 Pendirian empat pabrik pembuatan keramik tradisional
Tionghoa secara berturut-turut sampai awal tahun 1960an menunjukkan bahwa kebutuhan
masyarakat terhadap produk tersebut semakin bertambah.
Peristiwa penumpasan PGRS/Paraku pada pertengahan tahun 1960an berdampak
panjang bagi kelangsungan ekonomi masyarakat. Begitu pula bagi para pemilik
perusahaan keramik. Tenaga kerja yang mereka pekerjakan biasanya adalah warga desa
dengan pekerjaan petani. Tidak sedikit pekerja yang menjadi korban dari peristiwa
tersebut. Secara otomatis kegiatan industri terhenti sementara akibat ketakutan
masyarakat Tionghoa. Keramik Tionghoa yang mempunyai prospek cerah pada
pertengahan tahun limapuluhan sampai awal tahun enampuluhan tidak menampakkan
kemajuan pada era ini. Keadaan dan suhu politik saat itu membuat pembeli dari Madura
dan Sulawesi kurang berminat melakukan transaksi. 12
Setelah peristiwa tersebut mereda, kampung-kampung di wilayah Sedau,
termasuk Sakkok, dijadikan wilayah resettlement bagi para pengungsi Tionghoa
(Poerwanto, 2005: 149). Secara tidak langsung, proyek ini berpengaruh pada
kelangsungan industri keramik. Para pengrajin mulai membuat keramik lagi walau dalam
skala kecil untuk memenuhi kebutuhan peralatan sehari-hari bagi para pemukim baru.
Namun peristiwa tahun 1967 ini juga mengakibatkan gelombang migrasi keluar
Singkawang yang cukup besar. Sebagian dari mereka pergi ke Tiongkok, namun yang
paling besar adalah gelombang migrasi ke kota besar lain termasuk Jakarta untuk mencari
pekerjaan. Beberapa cerita sukses tentang eberhasilan mereka di perantauan menarik
minat orang Tionghoa lain yang berada di Singkawang untuk mengikuti jejaknya. Hal ini
merupakan salah satu sebab dimana pengusaha keramik sulit melakukan kaderisasi untuk
melestarikan usahanya. Pemuda tidak tertarik pada pekerjaan yang berhubungan dengan
keramik.
Pada tahun 1970an, usaha pengelolaan sumber daya hutan secara besar-besaran
mulai digerakkan pemerintah. Berkaitan dengan dikeluarkannya kebijakan tentang
pengelolaan hasil hutan13 maka pemerintah mulai melakukan perbaikan sarana dan
11
Adu domba antara masyarakat Dayak dan masyarakat Tionghoa yang dilakukan memiliki
dampak yang menyakitkan bagi masyarakat Tionghoa. Pembantaian orang-orang Tionghoa di
pedalaman memaksa mereka untuk lari ke kota. Tentang
12
Wawancara dengan Budi Rijanto pemilik perusahaan keramik Tajau Mas.
13
Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan dan
ketentuan mengenai pengusahaan hutan yang mendasari kebijakan pemberian konsesi eksploitasi
sumber daya hutan dalam Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970 junto Peraturan Pemerintah
14
prasarana transportasi untuk mendukung eksploitasi hutan di luar Jawa termasuk
Kalimantan. Secara tidak langsung, hal ini berpengaruh pada kondisi industri keramik.
Akses jalan yang dibangun pemerintah mempermudah keramik dari Sakkok
didistribusikan melalui pelabuhan Pontianak menuju Pulau Jawa terutama Jakarta. Dan
pada akhirnya, keramik Singkawang mulai digemari kolektor keramik di Jakarta. Pada era
ini, beberapa pengusaha keramik memulai melakukan inovasi terhadap produk
keramiknya dengan mengubah bentuk dan desain.
Perusahaan Keramik “Sinar Terang” yang didirikan pada tahun 1980 merupakan
perusahaan keramik yang terbesar diantara perusahaan keramik sebelumnya. Dengan
promosi yang gencar, produk keramiknya berhasil menembus pasaran nasional dan
internasional. Perusahaan ini memiliki managemen yang tidak dimiliki perusahaan
keramik sebelumnya. Jika perusahaan–perusahaan keramik sebelumnya masih mengatur
sendiri segala sesuatu yang berhubungan dengan administrasi, perusahaan ini
menggunakan pekerja tersendiri untuk melakukan pekerjaan administrasi sehingga
pendistribusian produk menjadi lebih terencara. Dalam struktur organisasi tersebut,
pimpinan perusahaan menduduki posisi tertinggi berdampingan dengan penasehat. Di
bawahnya terdapat tiga bagian yang memegang peranan penting yaitu administrasi,
keuangan dan pemasaran. Pada bagian pabrik, posisi mandor berada di atas delapan
bagian lainnya. Bagian tersebut adalah bagian bahan baku, bahan bakar, pembentukan,
dekorasi, glasir, pembakaran, pengeringan dan sortir. Sistem absensi juga berlaku di
perusahaan ini.14
Salah satu strategi yang dilakukan perusahaan keramik Sinar Terang adalah
dengan mengikuti berbagai pameran keramik. Usaha ini dapat dikatakan sebagai usaha
jemput bola mengundang para peminat keramik untuk lebih memperhatikan keramik
Tionghoa dari Sakkok. Di sisi lain, kekhasan keramik Tionghoa berkurang karena
pembuatan keramik juga mengalami inovasi-inovasi dimana ia mendatangkan pengrajin
Bali untuk memberikan ide-ide baru untuk desain dan ornamen keramik. Inovasi yang
lain adalah penggunaan warna-warna yang baru untuk glasir serta penggunaan beragam
zat kimia untuk mendukung pewarnaan (Soedarto, 1994: 39). Proses pembakaran tidak
luput dari inovasi yang dilakukan oleh pemilik perusahaan ini. Kepraktisan tungku
elektrik dalam pembakaran menjadikan fungsi tungku naga semakin berkurang. Tungku
No. 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan
HPHH)
14
Struktur organisasi dan papan absensi pekerja diletakkan di pabrik pembuatan keramik Sinar
Terang.
15
elektrik lebih menghemat waktu dan pembakaran dapat dilakukan secara otomatis. Dalam
mengembangkan usahanya, Sinar Terang mengembangkan usahanya dengan mendirikan
perusahaan keramik Borneo Lentera Prima yang memiliki izin usaha pada tahun 1998.
Potensi keramik Tionghoa di Sakkok menggerakkan Himpunan Keramik
Indonesia untuk memberikan bantuan. Himpunan Keramik Indonesia merupakan sebuah
wadah untuk para pecinta keramik di Indonesia. Penelitian tentang keramik di Indonesia
mulai marak pada pada tahun 1960an sampai tahun 1980an. Penelitian tidak hanya
dilakukan oleh arkeolog Indonesia namun juga dari mancanegara. Penelitian ini dilakukan
oleh arkeolog didukung oleh para kurator. Salah satunya adalah Abu Ridho yang
merupakan seorang kurator yang kemudian dididik menjadi arkeolog. Ia bersama
Himpunan Keramik Indonesia turut berperan dalam perkembangan keramik di Sakkok
melalui buku-bukunya. Dimulai pada 1982, Himpunan Keramik Indonesia memberikan
bimbingan dengan buku Tempayan Martavans yang menampilkan model keramik dari
berbagai daerah. Hal ini sejalan dengan tujuan utama Himpunan Keramik Indonesia
adalah meneliti keramik kuno dan mengembangkan seni keramik. Sejak saat itu, desain
dan motif keramik di Sakkokpun berkembang. Bimbingan dilakukan dengan kunjungankunjungan sambil membagikan buku-buku yang memuat motif dan desain keramik dari
seluruh Indonesia.
Perkembangan desain dan motif keramik ini membuat masyarakat awam sulit
untuk membedakan keramik asli kuno dan keramik tiruan. Keramik yang kemudian
beredar dibedakan menjadi empat jenis, yaitu; keramik asli kuno, keramik kuno berglasir
baru, keramik baru tiruan keramik kuno, keramik kreasi baru dengan unsur-unsur
tempayan kuno (Adhyatman, 1984: 21). Keramik baru dengan tiruan keramik kuno
dilakukan dengan cara menggunakan cairan PK (obat kulit berwarna ungu). Pengglasiran
ulang juga ditemukan di Sakkok. Para penggusaha di Sakkok mencoba untuk mengikuti
permintaan pasar. Walaupun demikian, penggunaan tungku naga sebagai ciri khas dari
keramik Tionghoa masih dipertahankan pada saat itu. Tidak hanya itu, penggunaan kayu
karet sebagai bakan bakar dan tumbuhan liar sebagai bahan pewarnaan masih
menguatkan ciri tradisional keramik Tionghoa di Sakkok. Berkaitan dengan bimbingan
Himpunan Keramik Indonesia mengenai motif, para pengrajin keramik Sakkok berhasil
membuat tempayan dengan banyak warna dengan pola hiasan yang rumit. Pada tahun
1982 keramik ini mulai diproduksi dan telah diekspor ke luar negeri (Adhyatman, 1984:
27). Dapat dikatakan bahwa tahun 1982 adalah titik awal pembuatan keramik dengan
16
berbagai motif, warna dan desain yang mulai berkembang sesuai dengan keinginan pasar
di kalangan pengrajin keramik di Sakkok.
Dari beberapa perusahaan keramik yang ditampilkan terlihat bahwa selama dua
dasawarsa terjadi pasang surut yang cukup dinamis. Antara tahun 1984 sampai 1993
seluruh perusahaan keramik ini mengalami kenaikan yang cukup menggembirakan
Namun dalam dasawarsa selanjutnya terlihat terjadi penurunan produksi yang drastis
walaupun perusahaan keramik Semangat Baru mengalami peningkatan hampir 200%.
Namun, walaupun kapasitas produksi naik pada masa itu namun membanjirnya produk
plastik dan semen mulai berpengaruh pada penggunaan keramik. Masyarakat mulai
beralih menggunakan peralatan rumah tangga dengan kedua bahan tersebut dengan
pertimbangan biaya dan kepraktisannya. Selain itu ketersediaan bahan utama yaitu kaolin.
Kaolin sebagai bahan baku terpenting harus didatangkan dari daerah Cap Kala,
Bengkayang. Persoalan yang dihadapi adalah pemesanan kaolin harus dalam jumlah yang
besar. Hal ini tidak sesuai dengan produksi yang semakin hari semakin menurun. Satu
kubik kaolin dihargai Rp 200.000. Begitupula persediaan kayu yang semakin sedikit.
Kayu karet yang digunakan untuk pembakaran mulai sulit didapatkan. Pengusaha mulai
menggunakan kayu lain dengan resiko pembakaran tidak sempurna. 15
Kemunduran juga dipengaruhi oleh ketersediaan pekerja. Sebagaimana ciri
pengusaha Tionghoa, pekerja pada mulanya berasal dari kerabat dekatnya. Usaha
diteruskan secara turun menurun. Namun dalam perjalanannya, generasi penerus tidak
mampu dan tidak mau untuk meneruskan usaha ini. Selain itu, usaha ini sangat
membutuhkan keahlian baik pembentukan, pembakaran, maupun pengglasiran. Pada
masa kejayaan, baik pengusaha dan pekerja mampu bersinergi dengan baik karena
masing-masing mempunyai keahlian. Namun setelah generasi penerus enggan
meneruskan keahlian tersebut maka industri ini kekurangan pekerja. Sebagai contohnya,
di daerah Sakkok hanya tersisa seorang pembuat tungku naga. Ia mewarisi keahlian
pembuatan tungku naga dari ayahnya yang merupakan generasi pertama pembuat tungku
naga di Sakkok. Setiap pabrik keramik tradisional Tionghoa memiliki pabrik pembuatan
bata. Karena permintaan bata lebih banyak maka beberapa pengusaha lebih serius
melakukan pembuatan bata daripada keramik.
C. PENUTUP
15
Hasil wawancara dengan pemilik perusahaan keramik Tajau Mas dan Dinamis.
17
1. Simpulan
Ciri tradisional keramik Tionghoa terlihat pada bahan bakunya, proses
pembuatan bahan penglasiran, motif dan desain, proses penglasiran dan pembakaran serta
alat pembakaran (tungku naga) yang sekarang merupakan peninggalan tungku naga satusatunya. Kebijakan pemerintah terhadap komunitas Tionghoa memiliki pengaruh yang
besar terhadap industri keramik. Demikian juga dengan peristiwa sosial, politik maupun
ekonomi pada periode 1960an sampai 1990an memberi pengaruh terhadap perkembangan
industri keramik Tionghoa. Dalam kaitannya dengan ciri keramik tradisional Cina ini,
telah terjadi beberapa perubahan berkaitan dengan bahan dan penggunaan teknik baru,
yakni (penggunaan bahan kimia dalam pengglasiran, keberagaman matif dan desain,
penggunaan bahan bakar dan alat pembakaran). Hal ini nampaknya mengurangi makna
ketradisionalan keramik ini. Hal ini ditambah oleh kendala yang berpengaruh pada
industri keramik tradisional Tionghoa, antara lain kurangnya persediaan bahan dan
pekerja serta membanjirnya produk semen dan plastik.
2. Rekomendasi
Pelestarian keramik tradisional Tionghoa memerlukan kerjasama antara dinas
terkait seperti Dinas Perindustrian, Dinas Perdagangan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
dalam melakukan pendataan dan bimbingan terhadap industri tersebut. Potensi sentra
keramik tradisional dengan mayoritas penduduk Tionghoa menjadi keunikan tersendiri
sehingga dapat dijadikan semacam desa wisata untuk mendukung kunjungan wisata
Singkawang. Potensi wisata Singkawang akan lebih menarik jika para pengusaha keramik
Tionghoa melakukan inovasi-inovasi bentuk untuk lebih menarik konsumen. Materi kriya
keramik tradisional Tionghoapun dapat menjadi salah satu muatan lokal di sekolah.
Selain itu para pengusaha keramik tradisional Cina di Sakkok bersama instansi terkait
diharapkan selalu aktif mengadakan promosi dengan mengikuti pameran dalam skala
nasional maupun internasional.
DAFTAR SUMBER
1. Arsip dan Dokumen
Afschrift voor den Directeur van Binnenlands Bestuur 1933, Bundel Binnenlandsch
Bestuur Nomor 1233.
18
Regering
Almanak
voor
Nederlandsch-Indie,
1933.
Weltevreden,
Batavia:
Landsdrukkerij.
Leaflet Sejarah Industri Keramik Hias (Gerabah) Kota Singkawang.
Peta Panduan Kompetensi Inti Industri. 2008. Dinas Perdagangan, Industri dan
Perdagangan dan UKM Kota Singkawang.
Profil Desa/Kelurahan Sedau. 2005. Daftar Isian Data Dasar Profil Desa dan Kelurahan.
Depdagri Republik Indonesia.
2. Buku, Artikel, dan Laporan Penelitian
Adhyatman, S. dan Ridho, Abu. 1984.
Tempayan Martavans in Indonesia. Jakarta: Himpunan Keramik Indonesia.
Anonim. 1920.
Dutch Borneo. Handbooks prepared under the direction of the Historical Section
of the Foreign Office. No. 84: H.M Stationery Office.
Earl, George Windsor. 1837.
The Eastern Seas. London: WM H Allen Aud and Co.
Groeneveldt, W P. 2009.
Nusantara Dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.
Heidhues, Mary Somers. 2008.
Penambang Emas, Petani dan Pedagang di “Distrik Tionghoa” Kalimantan
Barat. Jakarta: Yayasan Nabil.
Kuntowijoyo. 2003.
Metodologi Sejarah. Yogjakarta: Tiara Wacana Yogja.
Kong Yuanzhi. 2005.
Silang Budaya Tiongkok Indonesia. Jakarta: Bhuana Ilmu Popular Kelompok
Gramedia.
Lontaan, J.U. 1975.
Sejarah dan Hukum Adat Kalimantan Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Meteeren, Brouwer. 1927.
„De Geschiedenis der Chineesche Districten der Wester-Afdeeling van Borneo
van 1740-1926”. De Indische Gids: hal. 1057.
19
Poerwanto, Hari. 2005.
Orang Tionghoa Khek dari Singkawang. Depok: Komunitas Bambu.
Riclefs, M.C. 2008.
Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Terj. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Soedarto. 1994.
The Traditional Ceramic of Singkawang, It’s History and Meaning as one of our
Cultural Heritage. Pontianak: STKIP Pontianak.
Sulistyorini, Pembayun. 2002.
Pemberontakan PGRS/ Paraku di Kalimantan Barat. Pontianak: BKSNT
Pontianak.
W.P., Moch. Andri, et. al. 2008.
Peta Tematik Kebudayaan dan Sejarah Pemerintahan Kalimantan Barat.
Pontianak: BPSNT Pontianak.
3. Situs Internet
Wibisono, Naniek. “Keramik Asli Tapi Palsu, Keramik Singkawang Kalimantan Barat”,
diakses dari http://www.budpar.go.id tanggal 24 April 2009, pukul 10.30 WIB.
20