Academia.eduAcademia.edu

Nasionalisasi Perusahaan Asing DI Jawa Timur 1950-1966

MOZAIK: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora

Pada awal tahun 1950-an terdapat lebih dari 6000 bekas pegawai sipil kolonial dipertahankan dalam posisi-posisi senior dalam birokrasi Indonesia, banyak yang menggunakan kekuasaan mereka untuk menguntungkan kepentingan-kepentingan Belanda. Oleh karena itu pada awal tahun 1950an, para tokoh Indonesia mulai memikirkan pembangunan ekonomi nasional. Nasionalisme ekonomi diartikan sebagai aspirasi suatu bangsa untuk memiliki atau setidaknya menguasai aset-aset yang dimiliki atau dikuasai oleh bangsa lain dan menjalankan fungsi ekonomi yang dijalankan oleh bangsa lain. Untuk itu, penelitian ini akan melihat latar belakang nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia, pelaksanaan nasionalisasi perusahaan asing di Jawa Timur, dan dampak nasionalisasi dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa tindakan nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia pada tahun 1950an dilatarbelakangi faktor politik maupun faktor ekonomi. Kata Kunci: Jawa Timur, Nasionalisasi...

NASIONALISASI PERUSAHAAN ASING DI JAWA TIMUR 1950-1966 Ririn Darini, M.Hum Dr. Miftahuddin, M.Hum Abstract In the early 1950s there were more than 6000 former colonial civil servants retained in senior positions in the Indonesian bureaucracy, many of which used their power to benefit Dutch interests. Therefore, in the early 1950s, Indonesian leaders began to think about national economic development. Economic nationalism is defined as the aspiration of a nation to own or at least control the assets owned or controlled by other nations and perform economic functions run by other nations. To that end, this study will look at the background of nationalization of foreign companies in Indonesia, the implementation of nationalization of foreign companies in East Java, and the impact of nationalization in political, economic and social life. The results showed that the act of nationalizing foreign companies in Indonesia in the 1950s was motivated by political factors as well as economic factors. Keywords: East Java, Nationalization, and Foreign Company. Abstrak Pada awal tahun 1950-an terdapat lebih dari 6000 bekas pegawai sipil kolonial dipertahankan dalam posisiposisi senior dalam birokrasi Indonesia, banyak yang menggunakan kekuasaan mereka untuk menguntungkan kepentingan-kepentingan Belanda. Oleh karena itu pada awal tahun 1950an, para tokoh Indonesia mulai memikirkan pembangunan ekonomi nasional. Nasionalisme ekonomi diartikan sebagai aspirasi suatu bangsa untuk memiliki atau setidaknya menguasai aset-aset yang dimiliki atau dikuasai oleh bangsa lain dan menjalankan fungsi ekonomi yang dijalankan oleh bangsa lain. Untuk itu, penelitian ini akan melihat latar belakang nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia, pelaksanaan nasionalisasi perusahaan asing di Jawa Timur, dan dampak nasionalisasi dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa tindakan nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia pada tahun 1950an dilatarbelakangi faktor politik maupun faktor ekonomi. Kata Kunci: Jawa Timur, Nasionalisasi, dan Perusahaan Asing. A. Pendahuluan Pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia masih menyisakan berbagai permasalahan termasuk dalam bidang ekonomi. Meskipun Indonesia pada tahun 1950 merupakan sebuah negara yang berkuasa, tetapi kemerdekaan secara politik tersebut belum disertai dengan kemerdekaan secara ekonomi. Revolusi Indonesia belum memasuki fase ekonomi. Perekonomian Indonesia sebagai sebuah negara yang baru merdeka masih didominasi oleh pihak Belanda. Perusahaan-perusahaan besar masih dikuasai oleh Belanda baik milik pemerintah maupun swasta, diantaranya perusahaan perkebunan, perkapalan, gula, kereta api, dan hiburan. Perusahaan-perusahaan ini menyebar hampir di berbagai wilayah, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera. Dengan kesepakatan yang dihasilkan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, maka pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada pemerintah Indonesia dan menarik kembali tentaranya ke negeri Belanda.  Staf Pengajar Program Studi Ilmu Sejarah FIS UNY Staf Pengajar Program Studi Ilmu Sejarah FIS UNY  Kepentingan-kepentingan ekonomi Belanda terus mendapat jaminan setelah adanya pengakuan kemerdekaan Indonesia. Sebagian besar sektor modern di Indonesia yang menghasilkan 25% GDP Indonesia dan memberikan lapangan pekerjaan sekitar 10% dari total lapangan kerja masih dimiliki dan dikontrol oleh Belanda.1 Menurut data lebih dari 250 ribu orang Belanda menetap di Indonesia setelah kemerdekaan dan perusahaan-perusahaan Belanda masih mendominasi perdagangan ekspor-impor, perbankan, dan pelayaran. Menurut Higgins2 pada awal tahun 1950-an terdapat lebih dari 6000 bekas pegawai sipil kolonial dipertahankan dalam posisi-posisi senior dalam birokrasi Indonesia, banyak yang menggunakan kekuasaan mereka untuk menguntungkan kepentingan-kepentingan Belanda dan dalam beberapa kasus merusak posisi ekonomi Republik Muda yang berjuang. Gubernur dan mayoritas dewan direktur Bank Jawa3 masih dijabat oleh orang-orang Belanda. Penelitian ini akan melihat latar belakang nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia, pelaksanaan nasionalisasi perusahaan asing di Jawa Timur, dan dampak nasionalisasi dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial. Sementara itu, metode yang digunakan adalah metode penelitian sejarah. Langkah-langkah penelitian ini meliputi heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.4 Heuristik merupakan aktivitas mencari, menghimpun, dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah. Kritik sumber yaitu kegiatan meneliti kesejatian atau keaslian sumbersumber baik fisik maupun informasinya sehingga dapat menghasilkan fakta yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Interpretasi, yaitu kegiatan untuk merangkai fakta-fakta sejarah sehingga memberi bentuk kesatuan peristiwa masa lampau. Seteleh langkah-langkah penelitian tersebut telah dilakukan, maka proses terakhir adalah historiografi yang akan menghasilkan tulisan sejarah. B. Proses Nasionalisasi Perusahaan Asing Pada dasarnya nasionalisasi di Indonesia telah dimulai sejak diproklamasikannya Republik Indonesia pada tahun 1945 yang ditandai dengan tindakan proses pemindahan kekuasaan dan kewenangan dari pemerintah Kolonial ke pemerintahan RI dalam segala bidang. Sejak proklamasi telah berlangsung proses dekolonisasi. Puncaknya adalah pengambilalihan berbagai perusahaan milik Belanda di Indonesia, termasuk berbagai perusahaan Belanda yang ada di Jawa Timur. Tindakan pengambilalihan perusahaan asing ini tentu saja menimbulkan pro kontra, atau perbedaan pandangan dari berbagai pihak. Bagi pihak yang tidak setuju, proses ini dianggap sebagai proses yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi nasional dan memberi keuntungan Higgins, B., “Tought and Action: Indonesian Economic Studies and Policies in the 1950s”, dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies, 26, 1, 1990, hlm. 40. 2 Ibid. 3 Bank sirkulasi yang berfungsi sebagai bank sentral selama era colonial. 4 Tentang metode sejarah lihat antara lain Louis Gottschalk, “Understanding History” terj. Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah, (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1986), Gilbert J. Garaghan, A Guide to Historical Method, (New York: Fordham University Press, 1957). 1 politis bagi kaum komunis. Ada tiga hal yang mendasari lahirnya pandangan tersebut. Pertama, proses pengambilalihan adalah gambaran kegagalan kalangan elit nasional untuk menangkap gejala yang hidup di kalangan massa rakyat yang telah melibatkan diri dalam arus revolusi kemerdekaan. Kedua, orientasi pembangunan dari kalangan elit yang tidak mengarah pada pelibatan massa rakyat dalam proses pembangunan nasional. Ketiga, ketika proses nasionalisasi yang diimplementasikan dalam bentuk aksi ambil alih pada tahun 1957, persepsi yang berkembang pada elit pemerintah adalah bahwa tanah perkebunan adalah tanah negara dan menganggap bahwa semua perilaku yang menyertai dapat dilanjutkan. 5 Secara umum terdapat dua faktor yang sangat berpengaruh pada dilaksanakannya nasionalisasi perusahaan asing pada tahun 1950 an, yaitu faktor politik dan ekonomi. 1. Faktor Politik Setelah pengakuan kedaulatan RI, muncul ketidakpuasan pemerintah RI karena Belanda belum menyerahkan wilayah Irian Barat kepada pemerintah Indonesia. Berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang telah disepakati oleh pemerintah Indonesia dan Belanda, masalah Irian Barat akan dibahas satu tahun kemudian. Namun pihak Belanda tidak memenuhi isi konferensi tersebut sehingga pemerintah Indonesia terus berupaya untuk mengajukan perundingan dengan Belanda terkait masalah Irian Barat. Upaya pemerintah Indonesia tidak mendapat respon dari pemerintah Belanda. Upaya merebut kembali Irian Barat di meja perundingan internasional tidak mendapatkan sambutan yang baik dari pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sidang Majelis Umum (general assembly) pada November 1957. Resolusi yang diajukan oleh Indonesia dalam sidang PBB dinyatakan gagal karena Indonesia tidak mendapatkan dukungan. Hal ini disebabkan beberapa negara abstain terhadap resolusi yang disampaikan Indonesia. Salah satu negara yang abstain adalah Amerika.6 Amerika memilih sikap berhati-hati dalam menanggapi permasalahan antara Indonesia dengan Belanda. Hubungan Indonesia dengan Belanda mulai meruncing ketika kabinet Burhanudin Harahap membatalkan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB)7 secara sepihak. Artinya, seluruh isi KMB dianggap sudah tidak berlaku lagi bagi bangsa Indonesia. Tindakan ini merupakan salah satu bukti kebulatan tekad pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah yang tegas terhadap permasalahan Irian Barat. Sebaliknya pihak Belanda belum bersedia membahas permasalahan Irian Barat, dengan alasan bahwa pemerintah Indonesia dianggap belum mampu mendidik dan menyediakan sarana bagi masyarakat Irian Barat dengan baik. 2. Faktor Ekonomi Tri Chandra Aprianto, “Nasionalisasi Perusahaan Perkebunan dalam Transisi Kenegaraan Indonesia (Jember 1900-1960)”, dalam Taufik Abdurrachman (ed), Indonesia Accros Orders: Arus Bawah Sejarah Bangsa, (Jakarta: LIPI, 2011). hlm. 197. 6 Bondan Kanumoyoso, Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Belanda, (Jakarta: Sinar Harapan, 2001), hlm. 29. 7 M.C. Ricklef, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: UGM Press, 1981), hlm. 350. 5 Setelah merdeka, perekonomian Indonesia masih dikuasai oleh perusahaan-perusahaan swasta milik Belanda. Berdasarkan hasil kesepakatan KMB, pemerintah Indonesia harus mengizinkan pihak-pihak swasta Belanda untuk tetap menjalankan kegiatan perekonomian di Indonesia. Secara umum perekonomian Indonesia pada awal tahun 1950 dapat dikatakan dalam kondisi yang buruk. Keadaan ini terutama diakibatkan karena adanya kekosongan kas negara sebagai akibat perang kemerdekaan. Perang yang melibatkan berbagai unsur selama 4 tahun menyebabkan negara harus mengeluarkan banyak uang, sedangkan tidak ada pendapatan negara. Selama perang berlangsung, Belanda memblokade kegiatan ekspor perusahaan-perusahaan besar yang ada di Indonesia. Tindakan yang dilakukan oleh Belanda ini membuat kegiatan ekspor barang-barang dari Indonesia terhenti selama tahun 1945 hingga awal tahun 1950an. Kemerosotan ekonomi yang terjadi mengancam kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu pada awal tahun 1950an, para tokoh Indonesia mulai memikirkan pembangunan ekonomi nasional. Nasionalisme ekonomi diartikan sebagai aspirasi suatu bangsa untuk memiliki atau setidaknya menguasai aset-aset yang dimiliki atau dikuasai oleh bangsa lain dan menjalankan fungsi ekonomi yang dijalankan oleh bangsa lain.8 Sebenarnya gagasan untuk membangun ekonomi nasional telah muncul sejak awal kemerdekaan. Dalam Konferensi ekonomi pada tanggal 3 Februari 1946, Mohammad Hatta berpendapat bahwa kerjasama ekonomi antara Indonesia dengan Belanda hanya akan membuat Indonesia merasa terbebani dan tidak dapat mendidik Indonesia untuk tumbuh menjadi negara yang berdaulat secara ekonomi.9 Hal tersebut menunjukkan bahwa ada keinginan untuk bisa terlepas dari perekonomian yang telah ditanamkan oleh Belanda. Pemerintah Indonesia menghadapi permasalahan untuk memfungsionalisasikan kembali perkebunan untuk memperoleh devisa di satu pihak dan di pihak lain menata kembali urusan tanah dan tenaga sehingga dapat menarik investasi modal dalam perusahaan perkebunan. Realitas yang dihadapi adalah bahwa sebagai dampak Perang Dunia II, perkebunan pada umumnya mengalami kerusakan berat, maka diperlukan usaha pemugaran secara besar-besaran. Hal itu berdasarkan ketentuan perundingan KMB, bahwa perkebunan milik asing dikembalikan, sedangkan perkebunan milik Pemerintah Kolonial diambil alih oleh pemerintah RI, begitu pula milik asing yang tidak akan dieksploitasi lagi oleh pemerintah.10 Perekonomian yang berjalan di Indonesia, tidak dapat dipungkiri merupakan hasil dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh Belanda. Belanda membangun berbagai industri yang mampu menggerakkan roda perekonomian nasional seperti perusahaan tambang, kapal laut, perkebunan, hiburan, dan perbankan. Namun, keberadaan perusahaan-perusahaan Belanda ini dikhawatirkan akan menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Kekhawatiran ini muncul karena perusahaan-perusahaan tersebut masih dikuasai oleh pihak swasta Belanda. 8 A. Dahana, dkk., Indonesia dalam Arus Sejarah Pasca Revolusi, (Jakarta: Ichtiar Baru van Houve, 2012), hlm. 285. 9 Ibid. 10 Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi, (Yogyakarta: Aditya Media, 1991), hlm. 166-167. Pemerintah Indonesia terus berupaya melakukan pembangunan dalam bidang perekonomian. Pada tahun 1950, pemerintah mengeluarkan Program Benteng yang bertujuan untuk membentuk golongan pengusaha pribumi yang kuat. Para pengusaha yang masuk dalam program ini diharapkan mampu menggerakkan perekonomian nasional.11 Pemerintah memberikan fasilitas kepada pengusaha yang bergerak dalam bidang ekspor-impor untuk menjadi anggota Program Benteng. Namun usaha pemerintah masih menemui beberapa hambatan, antara lain para pengusaha nasional masih kurang cakap. Mereka yang terdaftar dalam Program Benteng sebagian besar hanya menggunakan nama saja tanpa memiliki kemampuan bisnis yang memadai. Pengusaha-pengusaha impor ini sebagian besar hanya mendaftarkan nama mereka namun tidak memiliki perusahaan yang memiliki kredibilitas. Para pengusaha yang tidak memiliki kredibilitas pada umumnya memilih melakukan kerja sama dengan orang-orang Tionghoa. Pengusaha Tionghoa pada umumnya memiliki keahlian yang lebih baik daripada pengusaha pribumi. Pada awal tahun 1955, diperkirakan terdapat 50 perusahaan impor yang bonafide, sedangkan 200 perusahaan impor lainnya hanya merupakan perusahaan impor ‘papan nama’.12 Usaha pemerintah tidak berhasil. Keadaan ini diperburuk dengan adanya inflasi yang terjadi hampir di sepanjang tahun 1950an. Masyarakat yang terlibat dalam sektor industri mengalami kegelisahan, terutama para buruh. Mereka mulai melakukan berbagai aksi mendesak pemerintah agar melakukan tindakan yang lebih agresif untuk kemajuan ekonomi. Tuntutan utama kaum buruh adalah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda. C. Nasionalisasi Perusahaan Asing di Jawa Timur Proses nasionalisasi perusahaan asing juga berlangsung di Jawa Timur. Pada tahun 1957 terjadi peristiwa nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di pusat. Peraturan tentang nasionalisasi baru dibuat oleh pememrintah melalui Undang-Undang No. 86 tahun 1958 yang baru disahkan satu tahun setelah tindakan nasionalisasi dilaksanakan. Pemerintah membentuk badan khusus yang bertugas mengurus pengambilalihan perusahaan dan pengelolaannya untuk sementara waktu. Berdasarkan PP No. 3 tahun 1959 dibentuk Badan Nasionalisasi PerusahaanPerusahaan Belanda (BANAS) yang bertugas untuk menentukan jenis perusahaan milik Belanda yang akan dinasionalisasikan oleh pemerintah pusat atau pemerintah dan menampung serta menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul sebagai akibat nasionalisasi.13 BANAS memiliki empat badan usaha yaitu Badan Usaha Dagang (BUD), Badan Penguasaan Perusahaan Pharmasi (BAPHAR), Pusat Perkebunan Negara Baru (PPN-Baru), Badan Penguasaan Industri dan Tambang (BAPPIT). Jumlah perusahaan BAPPIT cabang Jawa Timur ada 42 perusahaan 11 Bondan Kanumoyoso, op.cit., hlm. 7. Ibid., hlm. 15. 13 Bisuk Siahaan, Industrialisasi di Indonesia sejak Hutang Kehormatan sampai Banting Setir, (Bandung: ITB, 2000), hlm. 235. Dua perangkat penting dalam upaya nasionalisasi baru dibuat oleh pemerintah setelah perusahaanperusahaan milik Belanda telah berada di tangan Indonesia. 12 meliputi: 13 perusahaan mesin/listrik, 6 perusahaan kimia, 6 perusahaan grafika, 17 perusahaan umum.14 Di bidang perkebunan, sebelum adanya tindakan nasionalisasi pemerintah terlebih dulu membentuk sebuah badan yang bertugas mengawasi perusahaan perkebunan. Lembaga itu disebut Pusat Perkebunan Negara (PPN). Setelah adanya tindakan nasionalisasi PPN menjadi PPN lama dan PPN baru. Perusahaan-perusahaan perkebunan yang dinasionalisasi masuk dalam pengawasan PPN Baru. PPN lama berfungsi untuk membentuk perusahaan-perusahaan perkebunan di luar perusahaan perkebunan yang dimiliki oleh pengusaha Belanda dan Tionghoa.15 Namun demikian usaha ini belum membuahkan hasil. Sampai tindakan nasionalisasi dilakukan, pemerintah belum memiliki perusahaan perkebunan yang mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan sejenis yang telah ada. Pada periode 1950-an di wilayah perkebunan sering terjadi konflik antara massa rakyat, baik petani maupun buruh perusdahaan perkebunan dengan pihak perusahaan perkebunan. Berbagai macam tindak kekerasan juga berlangsung, misalnya berupa perusakan berbagai asset perkebunan. Pembakaran gudang-gudang tembakau milik perusahaan perkebunan oleh massa rakyat tani turut mewarnai awal proses nasionalisasi di Jawa Timur. Proses semacam itu sengaja dilakukan untuk membuat para pengusaha Belanda tidak betah dan mengganggu proses produksi.16 Aksi lain berupa penangkapan warga Belanda yang dilakukan tanpa kekerasan sama sekali, kemudian ditawan. Selanjutnya tawanan dibawa ke kota dan diserahkan pada Pemerintah Daerah untuk kemudian diperkenankan meninggalkan kota Jember. Proses nasionalisasi perusahaan di Jawa Timur dimulai pada tanggal 10 Desember 1958. Aksi pengambilalihan seluruh aset perkebunan dan pabrik milik Belanda di Jawa Timur dipimpin dan diawasi langsung oleh pihak militer selaku penguasa daerah atas nama pemerintah pusat. Pengambilalihan di daerah secara resmi baru diatur oleh undang-undang pada tahun 1960. Pada industri gula, nasionalisasi secara resmi dilakukan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah no.3 tahun 1963. Dalam hal ini militer berkedudukan sebagai penguasa di daerah atas nama pemerintah pusat. Kewenangan militer ini terkait dengan adanya seruan dari A.H. Nasution selaku kepala staf Angkatan Darat (AD) yang menghimbau agar perusahaan yang dinasionalisasi segera diambil alih oleh kekuasaan militer. Seruan ini merupakan tindakan antisipasi agar perusahaan yang telah berhasil dinasionalisasi tidak jatuh ke pihak komunis.17 Secara berangsurangsur semua perusahaan Belanda ditempatkan di bawah kontrol militer. Dalam peristiwa nasionalisasi tersebut terdapat 10 perusahaan yang berhasil diambil alih. Pengambilalihan yang dilakukan pada kantor direksi perusahaan di antaranya adalah Fa. Anement & Co, Handels Vereniging Amsterdam, Cooy & Cooster van Voorhout, Fa. Tiedemen & van Kerchem, Cultuurbank, Majanglanden, Landbouw Maatschappij Oud Djember, 14 Bondan Kanumoyoso, op.cit., hlm. 131. Djoko Suryo dan Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perkebunan di Indonesia, (Yogyakarta: Aditya Media, ), hlm. 177. 16 Tri Chandra Aprianto, “Nasionalisasi Perusahaan Perkebunan dalam Transisi Kenegaraan Indonesia (Jember 1900-1960)”, dalam Taufik Abdurrachman ..., hlm. 185. 17 Bondan Kanumoyoso, op.cit., hlm. 63. 15 Landbouw Maatschappij Amsterdam, Kedawoneng Kawisredja dan Besuki Tabaks Maatschappij.18 Keberhasilan pengambilalihan kantor direksi perusahaan asing oleh pemerintah Indonesia mengakibatkan proses nasonalisasi segera menjalar ke pabrik-pabrik yang menyebar di seluruh Jawa Timur. Perusahaan lain di Jawa Timur terutama Surabaya yang diambil alih yaitu Oost-Java Stoomtram Maatschappij. Perusahaan ini tidak luput dari peristiwa nasionalisasi yang terjadi tahun 1959 dengan dikeluarkannya Lembaran Negara Republik Indonesia No. 86 Tahun 1959. Perusahaan OJS merupakan perusahaan perkeretaapian yang menguasai daerah eksploitasi di Jawa Timur. Perusahaan yang membangun jalur lintas di dalam kota Surabaya menandai adanya perkembangan perkeretaapian di wilayah ini. Perusahaan OJS dinasionalisasi oleh pemerintah pada tahun 1959 bersamaan dengan perusahaan-perusahaan kereta api swasta lain. Nasionalisasi perusahaan OJS ini sesuai dengan Lembaran Negara Tahun 1959 No. 86 tentang Nasionalisasi Perusahaan Kereta Api Milik Belanda. Perusahaan OJS setelah dinasionalisasi secara resmi berada di bawah naungan Djawatan Kereta Api (DKA) yang berpusat di Bandung. Usaha pengambilahihan perusahaan kereta api dilakukan oleh buruh-buruh kereta api yang bekerja di Madura Spoorweg Maatschappij (SM), Malang SM, Kediri SM, Modjokerto SM, Pasuruan SM, dan Probolinggo SM. Perusahaan perkeretaapian yang dikelola oleh NIS, SCS, SJS, OJS, dan SDS diambil alih oleh militer. Pada tanggal 13 Desember 1957 Nasution mengambil kendali atas keadaan tersebut dengan memerintahkan agar pihak tentara bersedia mengelola perusahaan-perusahaan yang telah disita itu. Selain perusahaan-perusahaan di atas, terdapat pula perusahaan pertanian/perkebunan tembakau milik Belanda di Jawa Timur yang dikenakan nasionalisasi. Perusahaan-perusahaan tersebut antara lain:19pertama, perusahaan pertanian/perkebunan milik N.V. Landbouw. Mij. Oud Djember (Perusahaan perkebunan tembakau Adjong di Jember, Perusahaan perkebunan tembakau Gambiranom di Jember, Perusahaan perkebunan tembakau Nangkaan di Jember, Perusahaan perkebunan tembakau Oost Djember di Jember, Perusahaan perkebunan tembakau West Djember di Jember). Kedua, Perusahaan pertanian/perkebunan Besoeki Tabak Mij (Perusahaan perkebunan tembakau Modjo di Jember, Perusahaan perkebunan tembakau Soember Djeroek di Bondowoso). Ketiga, Perusahaan pertanian/perkebunan N.V. Cult. Mij. Bogokidoel (Perusahaan perkebunan tembakau Bataan di Kediri, Perusahaan perkebunan tembakau Perning di Modjokerto, Perusahaan perkebunan tembakau Soekowono di Sukowono/Jember). Berdasarkan peraturan pemerintah no 29 tahun 1960 tanggal 22 Agustus 1960, dilakukan nasionalisasi pada Perusahaan perkebunan kopi “pandan” di Banyuwangi milik NV Besuki Rubber Mij dan Perusahaan penjualan N.V. Vraag & Aanbod di Surabaya Dalam bidang industri, perusahaan-perusahaan yang penting untuk masyarakat umum langsung dikendalikan oleh pemerintah pusat, sedangkan industri yang peranannya kurang penting diserahkan kepada pemerintah daerah. Kemudian seluruh perusahaan asing namanya diubah menjadi nama Indonesia untuk menghilangkan kesan bahwa perusahaan-perusahaan 18 Tri Chandra Aprianto, op.cit., hlm. 190. Lembaran Negara (LN) No. 7 tahun 1959 19 Belanda tersebut masih beroperasi di Indonesia. Berikut ini merupakan beberapa perusahaan industri Belanda di Jawa Timur yang telah dinasionalisasi oleh BAPPIT pusat, yaitu:20 1. Pabrik Radio, lampu listrik, bengkel, telekomunikasi NV Philip’s Fabricage & Handel Mij di Surabaya 2. Industri arak, alkohol, spiritus, dan minyak kelapa NV Nimaf di Banyuwangi, Mojokerto, dan Kediri 3. Pabrik cat, tinta, dan kaleng NV P.A. Regnault’s Verf, Ink & Blikfabriek di Surabaya 4. Industri mesin dan peralatan NV Nederlandsch Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF): Mexolie di Banyuwangi dan Kediri, Fabriek Spiritus di Mojokerto 5. Industri mesin dan zat asam NV W.A. Hoek’s Machine &Zuurstof Fabriek di Surabaya 6. Industri mesin alat-alat listrik NV Industriele Mij Gebr. Van Swaay di Surabaya 7. Pabrik barang-barang dari Alpaka dan barang-barang luks NV Beeger van Kempen & Vos di Surabaya 8. Industri Grafika NV Boekhandel & Drukkerij G. Kolff & Co: Penerbitan Noordhoff kolff dan penerbitan Boekhandel & Drukk G. Kolff & Co di Surabaya 9. Industri Grafika NV Drukkerij & Boekhandel G.C.T. van Dorp & Co: Percetakan Van Dorp & Co di Surabaya 10. Industri umum NV Isjsfabriek Petodjo di Surabaya 11. Industri umum NV Verenigde Ijs-fabrieken: Pabrik Es Redjo Mulyo Madiun, Pabrik es Ngagel Surabaya, Pabrik Es Betek Malang, Pabrik Es Laban Lumajang, Pabrik Es Suberkolak Panarukan, Pabrik Es Mandar Banyuwangi, dan Pabrik Es Talangsari Jember. 12. Industri Kayu NV Verenige Javasche Houthandel Mij: Industri kayu Javahout di Surabaya 13. Pabrik perabot rumah tangga NV Van De Pol di Surabaya 14. Pabrik Layar dan Perabot Rumah Tangga NV Handel Mij Europa “Azie”: Europa-Azie di Surabaya. D. Dampak Nasionalisasi Perusahaan Asing Sejak dari tahun 1957 sampai tahun 1960 tercatat sebanyak 700-an perusahaan Belanda di Indonesia berhasil dinasionalisasi. Jumlah tersebut meliputi 70% perusahaan asing, kepemilikan 90% produksi perkebunan beralih ke tangan pemerintah Indonesia. Demikian juga dengan 60% nilai perdagangan luar negeri dan sekitar 246 pabrik, perusahaan pertambangan, bank-bank, perkapalan, dan sektor jasa. Nasionalisasi perusahaan asing yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tentu saja berdampak pada berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat, baik dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial. 1. Dampak dalam Bidang Politik Pelaksanaan nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia ternyata juga menimbulkan gejolak di kalangan pemimpin-pemimpin Indonesia. Ada sebagian tokoh nasional yang 20 Diolah dari Bondan Kanumoyoso, op.cit., hlm. 132-141. menyayangkan tindakan nasionalisasi, antara lain Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara. Kedua tokoh nasional tersebut tidak setuju dengan nasionalisasi karena berpikir bahwa kondisi Indonesia pada saat itu belum cukup kuat untuk membangun perekonomian jika harus mengambilalih perusahaan milik orang-orang Belanda. Pengambilalihan justru akan membuat kemajuan ekonomi nasional terhambat, karena Indonesia masih kekurangan tenagatenaga ahli yang dapat mengelola perusahaan-perusahaan Belanda tersebut. Selain itu jaringan perdagangan Indonesia ke luar negeri juga masih dikuasai oleh para pengusaha Belanda. Dalam Musyawarah Nasional Pembangunan (MUNAP) di jakarta tanggal 25 November sampai 3 Desember 1957, Syafruddin Prawiranegara menyampaikan bahwa nasionalisasi merupakan tindakan yang dilakukan tanpa rencana yang matang dan akan berakibat yang sangat parah bagi perekonominan Indonesia di masa mendatang.21 Proses nasionalisasi yang berjalan tanpa koordinasi dari pemerintah sebelumnya, hanya berawal dari seruan pemogokan kerja oleh pemerintah melalui menteri penerangan. Para buruh menggunakan kesempatan ini untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan tempat mereka bekerja. Sementara itu Mohammad Hatta berpendapat bahwa pengambilalihan perusahaan Belanda merupakan sebuah tindakan yang dilandaskan pada rasa sentimen pemerintah dalam rangka merebut kembali wilayah Irian Barat.22 Menurutnya pemerintah belum memiliki perencanaan yang matang untuk merebut kembali wilayah Irian Barat. Hatta juga berpendapat bahwa pengambilalihan perusahaan Belanda tanpa persiapan yang matang akan mengakibatkan kelaparan dan kesengsaraan rakyat. Kekurangsiapan ini dilihat dari belum adanya perangkat yang dibentuk oleh pemerintah dalam rangka mengambil alih perusahaan Belanda. Perangkat nasionalisasi sendiri baru disiapkan oleh pemerintah setelah pengambilalihan berlangsung. Peraturan tentang nasionalisasi baru dibuat oleh pemerintah melalui Undang-undang No. 86 tahun 1958 yang baru disahkan satu tahun setelah tindakan nasionalisasi dilaksanakan. Selanjutnya pemerintah juga baru membentuk sebuah badan yang bertugas mengatur jalannya nasionalisasi yang disebut dengan BANAS berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1959. Kedua perangkat penting dalam nasionalisasi tersebut baru dibuat oleh pemerintah setelah perusahaan-perusahaan Belanda berada di tangan Indonesia. Di pihak lain, pemerintah beranggapan bahwa tindakan nasionalisasi merupakan tindakan yang perlu dilaksanakan untuk membangun ekonomi nasional yang mandiri. Nasionalisasi dilaksanakan melalui persiapan-persiapan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah. Perdana Menteri Djuanda menolak anggapan Hatta tentang kurangnya persiapan dalam tindakan pengambilalihan wilayah Irian Barat dan nasionalisasi. Berikut ini adalah fakta-fakta yang disampaikan Djuanda: 1. Sudah sejak lama ada Panitia Negara Pembatalan Perjanjian KMB Seksi Finek yang harus meninjau kedudukan ekonomi Belanda. Apa yang dilakukan sekarang hanya merupakan penyelenggaraan pembatalan perjanjian KMB 21 22 Bondan Kanumoyoso, Nasionalisasi ..., hlm. 78. Ibid., hlm. 79. 2. Adanya panitia pembatalan transfer sosial diketuai oleh Perdana Menteri Djuanda sendiri danbahwa deviden sosial tahun demi tahun telah dikurangi 3. Adanya panitia pembatasan transfer laba untung atau untung yang telah melakukan pengurangan atau penghapusan transfer laba dari perusahaan-perusahaan Belanda yang telah menjadi modal dalam negeri 4. Rencana Undang-undang Modal Asing yang sudah diperkuat oleh Musyawarah Nasional dan Musyawarah Pembangunan.23 Pemerintah merasa memiliki tanggung jawab penuh terhadap tindakan nasionalisasi. Bahkan Presiden Soekarno dalam sebuah kesempatan menyatakan bahwa tindakan nasionalisasi merupakan tindakan yang ia prakarsai sendiri.24 Nasionalisasi perusahaan di tingkat daerah berada di bawah kendali pemerintah melalui Angkatan Darat (AD). Keterlibatan AD dalam upaya nasionalisasi bertujuan agar nasionalisasi berjalan lancar dan perusahaan yang telah diambil alih tidak jatuh ke tangan PKI. 2. Dalam Bidang Ekonomi Diberlakukannya nasionalisasi berpengaruh secara langsung pada sektor perekonomian. Perusahaan-perusahaan yang diambil alih merupakan perusahaan-perusahaan besar yang memegang kendali penting dalam perekonomian Indonesia. The Big Five misalnya, merupakan perusahaan yang memegang peran penting dalam sektor produksi barang-barang konsumsi dan juga sektor ekspor-impor. Sejalan dengan proses nasionalisasi sistem pemerintahan di Indonesia mengalami babak baru, yaitu sistem presidensiil. Pada masa ini perekonomian Indonesia secara keseluruhan dapat dikatakan mengalami kemunduran.25 Indikator kemerosotan ekonomi dapat dilihat dari adanya inflasi yang cukup tinggi pada awal tahun 1960. Terjadi penurunan nilai uang karena jumlah uang yang beredar di masyarakat tidak terkendali. Dalam bidang perkebunan, setelah berlakunya nasionalisasi, pabrik-pabrik yang tadinya dikelola secara terpisah, akhirnya digabung menjadi satu manajemen di bawah PPN Baru (Perusahaan Perkebunan Negara Baru). Pokok-pokok aturan tersebut tertuang dalam 3 pengaturan sebagai berikut: 1. Dengan diambilalihnya perusahaan-perusahaan perkebunan milik Belanda oleh Pemerintah, maka kini harus diambil ketentuan mengenai hubungan antara pihak Direksi Lama/Negeri Belanda dengan pihak perusahaan perkebunan. 2. Karena pengambilalihan ini menempatkan PPN Baru sebagai badan yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk memimpin penguasaan perusahaan-perusahaan perkebunan dan kantor direksi yang berada di Indonesia. 3. Adapun jika untuk berbagai hal dipandang masih ada keperluan adanya hubungan sebagaimana dimaksudkan itu, maka hal itu harus diajukan lewat cabang PPN Baru yang 23 Ibid. A. Dahana, dkk., Indonesia ..., hlm. 287. 25 Leirissa, dkk., Sejarah Perekonomian Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1966), hlm. 70. 24 bersangkutan kepada Direksi PPN Baru Pusat yang akan menentukan perlu tidaknya hubungan dengan direksi lama / Negeri Belanda. Dalam pengelolaan perusahaan terdapat pemutusan sepihak, dan kalau pun ada hubungan antara direksi lama dengan pengelola baru dilakukan secara terbatas dan perlu diadakan pengawasan di bawah PPN Baru. Hal ini berarti bahwa manajemen pabrik gula yang sebagian besar masih dikuasai perusahaan swasta Belanda, dianggap sudah tidak mempunyai kekuasaan apapun terhadap pabrik yang menjadi basis industri mereka, dan hubungan dengan pabrik haruslah melalui kekuasaan PPN, selaku pengambil alih pabrik setelah terjadinya nasionalisasi. Ada beberapa masalah yang bersifat mendesak terkait dengan diberlakukannya nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia. Pertama, keluarnya pemilik modal. Bahkan sebelum berlangsungnya proses pengambilalihan ternyata sebagian pengusaha asing telah meninggalkan Indonesia. Sebagai contoh adalah George Birnie yang memiliki saham terbesar pada Panarukan Maatschappij yang bergerak dalam usaha pengangkutan komoditi ekspor ke luar negeri. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam pengurusan awal karena telah banyak modal yang keluar sebelum perusahaan tersebut diambilalih.26 Kedua, problem keuangan. Keluarnya pemilik modal berarti keluarnya kapital. Hal ini juga berdampak pada transaksi bank karena yang berhak melakukan transaksi adalah administratur Belanda. Masalah keuangan ini tidak akan terjadi apabila para pemegang posisi penting perusahaan diminta pertanggungjawabannya terlebih dahulu sebelum perusahaannya di ambil-alih. Ketiga, masalah pembenahan administrasi. Pada perusahaan-perusahaan yang baru diambil alih, secara tiba-tiba ditinggalkan oleh tenaga administrasi yang biasanya menguasai proses produksi. Oleh karena itu, masalah tenaga-tenaga yang terampil merupakan masalah utama pada masa-masa awal kepemilikan perusahaan oleh pemerintah RI. Tidak dapat dipungkiri bahwa setelah pabrik gula dinasionalisasi, pabrik-pabrik tersebut kehilangan tenaga ahli yang mayoritas merupakan orang-orang Belanda. Tenaga ahli tersebut pergi meninggalkan Indonesia bersamaan dengan adanya pemulangan warga negara Belanda secara besar-besaran oleh pemerintah pada tahun 1959 hingga awal tahun 1960-an. Kekurangan tenaga ahli ini diperparah dengan perbedaan cara kerja yang mencolok antara orang-orang Belanda dengan kaum pribumi. Tingkat kedisiplinan yang kurang dimiliki oleh pekerja asli Indonesia menjadi salah satu hal yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas pekerja setelah terjadinya nasionalisasi. Nasionalisasi industri gula tanpa dibarengi persiapan matang juga memberi sumbangan besar pada penurunan produktivitas tebu. Para manajer dan teknisi ahli berkebangsaan Belanda diusir tiba-tiba tanpa penggantiyang sepadan. Pembentukan PPGI dan PGTP tidak banyak membantu. Sebagian anggota PPGI bukan pedagang murni melainkan pedangang ‘boneka’ yang memeroleh fasilitas (jatah alokasi pasokan gula) hanya karena memiliki hubungan baik dengan Tri Chandra Aprianto, “Nasionalisasi Perusahaan Perkebunan dalam Transisi Ketatanegaraan Indonesia (Jember 1900-1960)”, dalam ….. Indonesia Across Orders…hlm. 196. 26 para pejabat pemerintah atau elit partai melalui mekanisme korupsi dan kolusi. Pengusaha boneka semacam itu memeroleh modal dari pedagang-pedagang China. Oleh karena itu jatah pasokan distribusi gula yang diperoleh harus diserahkan ke pedagang China dengan imbalan tertentu.27 Gejala tersebut menunjukkan bahwa nasionalisme dapat dikooptasi oleh kepentingan kelompok tertentu. Namun demikian, terdapat juga perusahaan perkebunan yang telah melakukan proses peralihan ternaga kerja sebelum berlangsungnya proses nasionalisasi. Sebagai contohnya NV De Landbouw Maatschappij Oud Djember (LMOD) milik George Birnie yang telah melakukan Indonesianisasi sejak tahun 1955. Sebelum proses nasionalisasi di perusahaan tersebut sudah terdiri dari 78% orang Indonesia dan 22% orang Belanda. Beberapa perusahaan lain yang melakukan hal yang sama adalah kebun tembakau Soekokerto Adjong milik N.V. Cultuur Maatschappij Djelboek (CMD) dan NV Besoeki Tabaks Maatschappij (BTM) Taman Sari, Bunder, Bondowoso. Perkebunan BTM Bondowoso sudah melibatkan tenaga pribumi yang dijadikan tenaga pemilik perkebunan, seperti Endung Soetardjo dari bondowoso, Achmad Soebandi dari besuki, serta Djoko Pramudito dari Probolinggo.28 Ketika proses pengambilalihan terjadi dan para pegawai Belanda-nya pulang ke negeri Belanda tidak terjadi kejutan yang besar dalam bidang administrasi. Keempat, masalah pasar. Akibat adanya nasionalisasi perusahaan asing adalah terjadinya ketegangan hubungan diplomatik antara Indonesia dengan pemerintah Belanda. Oleh karena itu Indonesia harus mengalihkan pasar tembakaunya dari Rotterdddam dan Amsterdam ke Bremen (Jerman) pada tahun 1959. Hal ini juga sesuai dengan UU no. 86 tahun 1958 dalam rangka peralihan struktur ekonomi kolonial ke struktur nasional.29 Setelah diberlakukannya nasionalisasi secara serentak pada perusahaan-perusahaan Belanda, secara umum terjadi penurunan pada produksi ekspor. Penurunan ini terjadi karena kesukaran yang muncul sehubungan dengan berkurangnya tenaga ahli, alat-alat produksi, dan transportasi. Artinya terjadi kemunduran pengelolaan dan ketrampilan teknis dalam perusahaan perkebunan setelah dikelola oleh pemerintah Indonesia. Namun demikian, sedikit demi sedikit hal ini dapat diatasi, sehingga produksi perkebunan dapat ditingkatkan lagi meskipun tidak pernah lagi mencapai tingkat sebelum perang. Mesin-mesin giling yang merupakan mesin peninggalan Belanda masih terus dipertahankan. Penambahan mesin pada PG Kanigoro baru dilakukan pada pertengahan tahun 1960-an sampai akhir tahun 1960an. Di lain pihak, dengan pengambilalihan perkebunan Belanda pada tahun 1957-1958 bangsa Indonesia menguasai aset yang besar dan melalui devisa penjualannya negara memperoleh pendapatan yang besar.30 Perusahaan-perusahaan dalam bidang perkebunan, pertanian, perdagangan, dan industri merupakan perusahaan-perusahaan Belanda terpenting yang 27 Khudori, Gula Rasa Neoliberalisme: Pergumulan Empat Abad Industri Gula, (Jakarta: LP3ES, 2005), hlm. 41. Tri Chandra, op.cit., hlm. 186-187. 29 Ibid. 30 Mubyarto, “Perkebunan Kita”, Prisma, Vol., No. 4 Tahun 1991, hlm. 52. 28 telah dinasionalisasi dan sangat berperan dalam perekonomian Indonesia. Demikian juga dengan perusahaan-perusahaan Belanda lainnya yang bergerak di bidang listrik, gas, kereta api, dan telepon. Oleh karena itu dengan berlakunya UU Nasionalisasi no. 86 tahun 1958 dapat dikatakan bahwa dominasi Belanda dalam perekonomian Indonesia telah berakhir dan telah mengubah tatanan ekonomi secara mendasar. Peranan pemerintah dalam mengendalikan sektor ekonomi menjadi semakin besar. 3. Dalam Bidang Sosial Tindakan nasionalisasi juga memiliki pengaruh dalam bidang sosial, yaitu perubahan status yang melekat pada para pekerja. Sebagai contoh adalah pada pekerja pabrik gula. Pada masa kepemimpinan pengusaha Belanda, pekerja memiliki dua tingkatan yaitu pegawai dan buruh. Status pegawai dan buruh memiliki perbedaan yang cukup besar. Pegawai adalah pekerja yang berada di kantor dan kebanyakan merupakan orang-orang Belanda, sedangkan buruh merupakan pekerja asli pribumi yang umumnya bekerja di dalam lingkungan pabrik gula. Buruh berasal dari masyarakat pribumi yang biasanya dibutuhkan pada musim giling. Setelah nasionalisasi status pekerja di Pabrik Gula berubah. Pekerja dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu karyawan satu dan karyawan dua. Karyawan satu adalah para pimpinan yang biasa disebut staff, sedangkan karyawan dua adalah mereka yang bekerja di lingkungan produksi.31 Para pekerja pribumi pada awalnya merupakan pekerja-pekerja yang berasal dari tingkat bawah. Setelah adanya nasionalisasi mereka kemudian turut menjalankan laju pabrik dengan menjadi bagian dari manajemen pabrik, termasuk sebagai pimpinannya. Pada umumnya mereka merupakan lulusan dari College Gula Negara (CGN)32. Bidang-bidang pekerjaan lain di industri gula yang biasanya dipegang oleh orang-orang Belanda adalah sebagai dokter gula atau Chemiccal.33 Demikian juga halnya dengan pekerja pada perusahaan kereta api. Tenaga kerja yang terlibat dalam pembangunan jalur kereta api terdiri dari tenaga ahli (insinyur) yang melakukan pekerjaan-pekerjaan teknis seperti merancang dan tenaga kuli yang mengerjakan pekerjaanpekerjaan fisik seperti penggalian dan penimbunan tanah, pengangkutan bahan material, dan lain-lain. Tenaga ahli biasanya dipegang oleh orang-orang Belanda, pemborong orang-orang China dan buruh dari masyarakat pribumi. Dalam operasional perusahaan kereta api manajerial adalah orang-orang Eropa. Masyarakat pribumi dipekerjakan sebagai masinis dan pemindah jalur kereta api. Penduduk pribumi yang bekerja di perusahaan ini diutamakan memiliki pekerjaan rendahan minimal mampu membaca dan berhitung. Pihak perusahaan juga sering menempatkan pekerja pribumi sebagai penjual karcis kereta untuk memudahkan layanan kepada penduduk pribumi. Pada awal Retno Puji Lestari, “Nasionalisasi Industri Gula di Madiun: Pabrik Gula Pagottan, Kanigoro, dan Redjo Agung Tahun 1950-1966”, Skripsi, tidak diterbitkan, 2015, hlm. 92. 32 CGN adalah sekolah tinggi pergulaan yang didirikan oleh pemerintah di Yogyakarta pada pertengahan tahun 1950an. Para lulusan biasanya memiliki kesempatan yang besar untuk bisa menjadi pimpinan di pabrik gula. 33 Para dokter gula memiliki tanggung jawab yang besar terhadap proses produksi gula dari mulai pengolahan nira tebu hingga menghasilkan gula kristal. Pada umumnya pabrik gula memiliki 3-4 orang dokter gula. 31 tahun 1900-an para buruh Indonesia secara meningkat mendaftarkan diri pada pekerjaanpekerjaan yang sebelumnya disediakan hanya bagi orang-orang Eropa. Pada akhir abad ke-19 para masinis, kepala stasiun dan pegawai administrasi hampir seluruhnya orang Eropa, juga sejumlah besar kondektur kereta api. Namun, sejak tahun 1914 mayoritas masinis, kepala stasiun juru tulis, dan kondektur adalah orang Indonesia, sedangkan orang-orang Eropa menduduki posisi sebagai pengawas. Sampai tahun 1918 hanya Perusahaan Kereta Api Negara yang mempekerjakan orang-orang Eropa sebagai masinis dalam skala yang kecil.34 Dengan adanya nasionalisasi, maka pegawai-pegawai Belanda digantikan oleh orang-orang Indonesia. E. Kesimpulan Tindakan nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia pada tahun 1950an dilatarbelakangi baik faktor politik maupun faktor ekonomi. Dalam bidang politik terjadi ketegangan antara Indonesia dengan Belanda terkait permasalahan Irian Barat. Dalam bidang ekonomi, setelah Indonesia merdeka secara umum perekonomian masih dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing. Kedua faktor tersebut berujung pada upaya pengambilalihan perusahaan asing milik Belanda. Puncaknya terjadi pada Desember 1957 ketika para buruh di Jakarta berhasil menduduki kantor-kantor perusahaan Belanda. Upaya pengambilaihan terus menyebar ke berbagai daerah, dan di Jawa Timur mulai berlangsung pada Desember 1958. Pada dasarnya proses nasionalisasi berjalan dengan lancar. Proses ini dimulai dengan adanya pengumuman aksi mogok selama dua puluh empat jam terhadap perusahaan Belanda dan diikuti dengan pengambilalihan secara serentak aset-aset perusahaan tersebut. Sebagai kelanjutan dari tindakan tersebut, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perindustrian membentuk sebuah badan yang bertugas mengumpulkan keterangan tentang perusahaan dan industri milik Belanda. Tindakan pengambilalihan terus berlangsung sampai akhir tahun 1959 tanpa adanya arahan yang jelas dari pemerintah. Pemerintah sendiri baru mengeluarkan Undang-Undang yang mengatur jalannya pengambilalihan atau nasionalisasi pada akhir tahun 1958, untuk memberi jaminan hukum terhadap tindakan nasionalisasi. Undang-undang tersebut adalah UU No. 86 Tahun 1958, yang menyatakan bahwa nasionalisasi berarti pemindahan kepemilikan ke dalam tangan negara. Tindakan nasionalisasi segera menjalar ke Jawa Timur. Berbagai macam perusahaan Belanda telah diambil alih oleh pemerintah pusat, baik berupa perusahaan perkebunan, pertanian, perdagangan, dan industri. Tindakan nasionalisasi berpengaruh pada bidang politik yaitu terjadinya gejolak di kalangan pemimpin Indonesia. Dalam bidang ekonomi, karena pelaksanaan nasionalisasi belum dipersiapkan dengan matang sehingga memunculkan beberapa permasalahan seperti kemerosotan produksi dan kurangnya tenaga-tenaga ahli. Namun demikian melalui 34 John Ingleson, Tangan dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh, Sarekat Kerja, dan Perkotaan Masa Kolonial, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2004), hlm. 46. Perubahan-perubahan tersebut karena tekanan dari pihak VSTP (Serikat Buruh Kereta Api dan Kereta Listrik). nasionalisasi ini, terjadi perubahan tatanan ekonomi secara mendasar dan peran pemerintah untuk mengendalikan sektor ekonomi semakin besar. Dalam bidang sosial terjadi pula perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat akibat tindakan nasionalisasi. Sebagian besar masyarakat Indonesia yang sebelumnya hanya menduduki posisi-posisi rendah dalam bidang-bidang pekerjaan pada perusahaan-perusahaan asing itu mulai berubah kedudukannya. Tenaga-tenaga Belanda yang menduduki posisi penting digantikan oleh tenaga-tenaga dari Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Bisuk Siahaan, Industrialisasi di Indonesia sejak Hutang Kehormatan sampai Banting Setir, (Bandung: ITB, 2000). Bondan Kanumoyoso, Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Belanda, (Jakarta: Sinar Harapan, 2001). Dahana, A., dkk., Indonesia dalam Arus Sejarah Pasca Revolusi, (Jakarta: Ichtiar Baru van Houve, 2012). Djoko Suryo dan Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perkebunan di Indonesia, (Yogyakarta: Aditya Media, t.t). Higgins, B., “Tought and Action: Indonesian Economic Studies and Policies in the 1950s”, dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies, 26, 1, 1990. John Ingleson, Tangan dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh, Sarekat Kerja, dan Perkotaan Masa Kolonial, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2004). Khudori, Gula Rasa Neoliberalisme: Pergumulan Empat Abad Industri Gula, (Jakarta: LP3ES, 2005). Leirissa, dkk., Sejarah Perekonomian Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1966). Louis Gottschalk, “Understanding History” terj. Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah, (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1986), Gilbert J. Garaghan, A Guide to Historical Method, (New York: Fordham University Press, 1957). Mubyarto, “Perkebunan Kita”, Prisma, Vol., No. 4 Tahun 1991. Retno Puji Lestari, “Nasionalisasi Industri Gula di Madiun: Pabrik Gula Pagottan, Kanigoro, dan Redjo Agung Tahun 1950-1966”, Skripsi, tidak diterbitkan, 2015. Ricklef, M.C., Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: UGM Press, 1981). Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi, (Yogyakarta: Aditya Media, 1991). Tri Chandra Aprianto, “Nasionalisasi Perusahaan Perkebunan dalam Transisi Kenegaraan Indonesia (Jember 19001960)”, dalam Taufik Abdurrachman (ed), Indonesia Accros Orders: Arus Bawah Sejarah Bangsa, (Jakarta: LIPI, 2011).