20 Tahun UU Kehutanan. Masyarakat adat dapat apa?1
R. Yando Zakaria2
Bulan September ini ada sebuah kejadian penting bagi masyarakat adat. Yakni
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang
baru. UU ini dimaksudkan sebagai jawaban atas tuntutan zaman agar UU yang
lama, yang mencelakakan masyarakat adat, dicabut. Setelah 20 tahun masa
berlakunya UU Kehutanan baru itu, apa yang sudah diperoleh masyarakat adat?
Akhir Mei lalu, Pemerintah telah mengeluarkan Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat
seluas 472.981 Ha (KOMPAS, 28/05/19). Bulan ini, pemerintah menetapkan
kembali tambahan hutan adat seluas 101.138 hektere. Sehingga, total hutan adat
dan wilayah indikatif hutan adat fase II mencakup areal sekitar 574.119 hektare.
Jumlah luasan hutan adat yang dicadangkan ini hanya sekitar 10% saja dari
potensi yang tercatat pada Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) per April 2019.
Saat diluncurkan, Pemerintah menyatakan bahwa ada 33.000 ha yang siap masuk
tahap verifikasi teknis. Sisanya masih memerlukan berbagai syarat adminstratif
yang tidak mudah untuk dipenuhi. Butuh waktu, tenaga, dan dana yang tidak
sedikit.
Yang pasti, per 4 Maret 2019, capaian perhutanan sosial 2.566.708,15 hektar.
Terdiri dari 1.281.049,18 hektar hutan desa, 645.593,82 hutan kemasyarakatan,
331.993,68 hektar hutan tanaman rakyat, 549.785,13 hektar kemitraan
kehutanan dan 28.286,34 hektar hutan adat. Artinya, realisasi penetapan hutan
adat hanya sekitar 1 % saja dari target program perhutana sosial secara
keseluruhan.
Mengapa hal itu bisa terjadi?
Sebagaimana dapat di akses https://www.mongabay.co.id/2019/09/11/20-tahun-uukehutanan-bagaimana-kehidupan-masyarakat-adat-1/ dan
https://www.mongabay.co.id/2019/09/16/20-tahun-uu-kehutanan-bagaimana-kehidupanmasyarakat-adat-2/
2 Antropolog, pendiri dan peneliti Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat.
1
1
Hutan Orde Baru
Meski diamatkan oleh konstitusi, sebagaimana tercatum pada Pasal 18,
khususnya Penjelasan II (pra-amandemen) dan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28i
ayat (3) (pasca-amandemen), memperoleh pengakuan hak masyarakat adat atas
hak-haknya, antara lain terhadap tanah adatnya, termasuk yang belakangan
dinyatakan Pemerintah termasuk ke dalam Kawasan Hutan, nyatanya memang
tidak mudah.
Amanat konstitusi itu coba direalisasikan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA 5/1960). Namun, belum lagi undangundang itu dapat dijalankan sebagaimana mestinya, situasi politik dan ekonomi
berubah total. Pasca peritiwa G 30 S 1965, untuk memacu pertumbuhan ekonomi
yang saat itu mengalami krisis akut, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
(MPRS) memberlakukan Tap MPRS No. XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan
Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan.
Ketetapan itu, antara lain, memuat pernyataan (a) kekayaan potensial yang
terdapat dalam alam Indonesia perlu digali dan diolah menjadi kekuatan ekonomi
riil (Bab II, pasal 8); (b) potensi modal, teknologi dan keahlian dari luar negeri
dapat dimanfaatkan untuk penanggulangan kemerosotan ekonomi serta
pembangunan Indonesia (Bab II, pasal 10); dan (c) mengingat terbatasnya modal
dalam negeri maka perlu segera ditetapkan undang-undang mengenai
(penanaman) modal asing dan modal domestik (Bab VIII, pasal 62).
Setelahnya muncul berbagai kebijakan baru tentang pengusahaan sumberdaya
alam. Seperti kehutanan, pertambangan, perikanan, berikut kebijakan tentang
penanaman modal asing dan modal dalam negeri untuk mengusahakan
pemanfaatan sumberdaya alam itu. Meski UUPA 5/1960 telah lebih dulu ada,
kebijakan yang sejatinya ingin melaksanakan amanat konstitusi terkait
pengakuan hak masyarakat adat itu tidak dijadikan rujukan.
Tidak heran jika kemudian hak-hak masyarakat adat atas tanah relatif diabaikan.
Entah melalui aturan yang mana, pada masa-masa berikutnya berlaku pula aturan
yang menyatakan bahwa UUPA 5/1950 hanya berlaku di luar kawasan hutan,
yang sejatinya tidak lebih dari 30% luas daratan Indonesia. Sisanya, belakangan
diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan (UUPK 5/1967).
Terkait hak masyarakat adat, UUPK 5/1967 mengatur bahwa “Pelaksanaan hakhak masyarakat, hukum adat dan anggota-anggotanya serta hak-hak
perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan baik langsung maupun
tidak langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuantujuan yang dimaksud dalam Undang- Undang ini (Pasal 17). Meski dinyatakan
pula bahwa “ … dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh Masyarakat
Hukum Adat tersebut ke dalam pengertian "Hutan Negara", tidaklah meniadakan
hak-hak Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan serta anggota-anggotanya
untuk mendapatkan manfaat dari hutan-hutan itu, sepanjang hak-hak itu menurut
kenyataannya memang masih ada dan pelaksanaannyapun harus sedemikian
rupa, sehingga tidak mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dicantumkan
dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya” (Penjelasan Umum).
2
Pandangan kalangan elit politik yang berkuasa saat itu kembali ditegaskan dalam
Penjelasan Pasal 17. Dinyatakan bahwa “Selain hukum perundang-undangan, di
beberapa tempat di Indonesia masih berlaku Hukum Adat, antara lain tentang
pembukaan hutan pengembalaan ternak, pemburuan satwa liar dan pemungutan
hasil hutan. Dalam pelaksanaan Hukum Adat setempat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus dijaga jangan sampai terjadi kerusakan hutan,
sehingga mengakibatkan manfaat hutan yang lebih penting di bidang produksi
dan fungsi lindung daripada hutan akan berkurang adanya. Demikian pula hak
ulayat sepanjang menurut kenyataannya masih ada tetap diakui, tetapi
pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan nasional serta tidak boleh
bertentangan dengan Undang-undang dan Peraturan Perundangan lain yang lebih
tinggi. Karena itu tidak dapat dibenarkan, andaikata hak ulayat suatu Masyarakat
Hukum Adat setempat digunakan untuk menghalang-halangi pelaksanaan
rencana umum Pemerintah, misalnya: menolak dibukanya hutan secara besarbesaran untuk proyek-proyek besar, atau untuk kepentingan transmigrasi dan
lain sebagainya. Demikian pula tidak dapat dibenarkan, apabila hak ulayat dipakai
sebagai dalih bagi Masyarakat Hukum Adat setempat untuk membuka hutan
secara sewenang-wenang”.
Kebijakan yang demikian jelas berakibat pada penyingkiran hak-hak masyarakat
adat itu ditegaskan kembali dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970
tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (PP 21/1970).
Pada Pasal 6 disebutkan bahwa (1) Hak-hak Masyarakat Hukum Adat dan
anggota-anggotanya untuk memungut hasil hutan yang didasarkan atas suatu
peraturan hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
pelaksanaannya perlu ditertibkan sehingga tidak mengganggu pelaksanaan
pengusahaan hutan; (2) Pelaksanaan tersebut dalam ayat (1) pasal ini harus seijin
Pemegang Hak Pengusahaan Hutan yang diwajibkan meluluskan pelaksanaan hak
tersebut pada ayat (1) pasal ini yang diatur dengan suatu tata-tertib sebagai hasil
musyawarah antara Pemegang Hak dan Masyarakat Hukum Adat dengan
bimbingan dan pengawasan Dinas Kehutanan; dan (3) Demi keselamatan umum,
di dalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka pengusahaan hutan,
pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasil hutan dibekukan (cetak miring
ditambahkan)”.
Kasus-kasus konflik antara perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan kala
itu dengan masyarakat adat pun marak. Hal itu mendorong munculnya
perlawanan dari berbagai komunitas adat bersama kelompok-kelompok
masyarakat sipil lainnya. Desakan agar pemerintah mengizinkan masyarakat adat
agar tetap dapat memanfaatkan lahan dan/atau hasil hutan yang selama ini
mereka nikmati terus meningkat dari waktu ke waktu.
Pemerintah pun kemudian merespons dengan membelakukan Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 251/Kpts-II/93 tentang Ketentuan Pemungutan Hasil Hutan
oleh Masyarakat Hukum Adat atau Anggotanya di Dalam Areal Hak Pengusahaan
Hutan, yang antara lain menyatakan bahwa “masyarakat hukum adat yang sudah
tidak ada, tidak dapat dihidupkan kembali” (Pasal 3 ayat 1). Pada ayat berikutnya
dinyatakan pula bahwa “masyarakat hukum adat atau anggotanya masih ada
apabila dinyatakan keberadaannya oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II yang
bersangkutan”.
3
Kepmenhut 251/1993 dapat disebut sebagai cikal-bakal logika hukum pengakuan
hak masyarakat adat yang tidak lagi sekedar bersyarat, sebagaimana dikenalkan
oleh UUPA 5/1960, tapi juga bertahap. Dalam arti, sebelum pengakuan obyek hak
(misalnya atas tanah dan/atau hutan), subyek hak perlu ditetapkan terlebih
dahulu. Jika Kepmenhut 251/1993 itu penetapan itu cukup melalui SK Bupati,
dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK
41/1999) yang kemudian menggantikan UUPK 5/1967, justru meningkatkan
kelasnya menjadi peraturan daerah!
Dengan dikeluarkannya Kementhut 251/1993 sepintas terlihat bahwa
Pemerintah seperti peduli dengan nasib masyarakar adat. Namun, nyatanya
hampir tidak ada masyarakat adat yang mampu memenuhi persyaratan yang
diberlakukan.
Konflik tenurial antara masyarakat adat dengan Pemerintah maupun sektor
swasta yang mendapat hak pengusahaan hutan dari negara pun jadi marak. Dan
belum berkurang hingga hari ini. Hanya sedikit yang sampai pada meja
perudingan dan dapat diselesaikan.
Hutan reformasi
Maka, tak heran ketika angin reformasi berhembus UUPK 5/1967 menjadi salah
satu sasaran gugatan masyarakat dalam perbaikan kebijakan. UUPK 5/1967 pun
dicabut dan diganti dengan UUK 41/1999. Pada bagian Menimbang, huruf c,
diakui “bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia,
harus menampung dinamika aspirasi dan peranserta masyarakat, adat dan
budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum
nasional”. Pada Pasal 4 ayat (3) dinyatakan pula bahwa “Penguasaan hutan oleh
Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional”. Berikutnya, Pasal 34 menyatakan secara tegas
bahwa salah satu tujuan pengelolaan kawasan hutan adalah untuk kepentingan
masyarakat hukum adat.
Meski begitu, sebagaimana diatur pada Pasal 1 ayat (6), “hutan adat adalah hutan
negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Menurut
Penjelasan untuk Pasal 5 Ayat (1), “Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu
hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat
(rechtsgemeenschap).” Selanjutnya dikatakan pula bahwa “hutan yang dikelola
masyarakat hukum adat dimasukkan di dalam pengertian hutan negara sebagai
konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia”.
Ini jelas logika yang keliru. Sebab, sebagaimana juga dijelaskan dalam Penjelasan
untuk Pasal 5 ayat (1), yang kemudian disebut sebagai hutan adat tersebut pada
masa sebelumnya adalah “hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau
sebutan lainnya. Artinya UUK 41/1999 mengubah status hutan yang ada di tanah
ulayat itu menjadi hutan negara secara sepihak.
Pemanfaatan hutan oleh masyarakat adat selanjutnya diatur sedemikian rupa.
UUK 41/1999 mengatur bahwa masyarakat adat berhak (a) melakukan
4
pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari
masyarakat adat yang bersangkutan; (b) melakukan kegiatan pengelolaan hutan
berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undangundang; dan (c) mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya” (Pasal 67 ayat 1).
Dijelaskan dalam bagian Penjelasan untuk Pasal 67 Ayat (1), Masyarakat hukum
adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara
lain: (a) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
(b) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; (c) ada wilayah
hukum adat yang jelas; (d) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya
peradilan adat, yang masih ditaati; dan (e) masih mengadakan pemungutan hasil
hutan di wilayah hutan. Artinya, pengakuan hak masyarakat adat atas hutan
sepanjang untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Selain itu diatur pula bahwa hak masyarakat adat atas hutan diakui sepanjang
masyarakat hukum adat menurut kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya. Sebagaimana diatur pada Pasal 67 ayat (2), “pengukuhan
keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.
Dijelaskan pula bahwa “Peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan
hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh
masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak
lain yang terkait.
Disebutkan pula bahwa “ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 3)”. Menurut
penjelasan Pasal 67 Ayat (3), Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
(a) tata cara penelitian; (b) pihak-pihak yang diikutsertakan; (c) materi penelitian,
dan (d) kriteria penilaian keberadaan masyarakat hukum adat. Belakangan, pasca
keluarnya Putusan MK 35/2012, keempat materi ini dituangka ke dalam sejumlah
peraturan perundang-undangan setingkat peraturan menteri dan/atau peraturan
direktur jenderal. Peraturan Pemerintah dimaksud hingga kini tidak ada.
Dengan demikian, sebagaimana telah disinggung, syarat yang diperkenalkan oleh
UUPK 41/1999 melampaui pengakuan bersyarat yang diperkenalkan oleh UUPA
5/1960. Jika UUPA 5/1960 mengatur tentang syarat-syarat yang menunjukkan
bahwa suatu masrakat adat itu memang nyata adanya, UUK 41/1999 menambah
persyaratan itu, dimana kebenaran bahwa suatu masyarakat adat itu telah
memenuhi syarat yang ditentukan harus dituangkan ke dalam suatu penetapan
melalui sebuah peraturan daerah. Alih-alih mempercepat proses pengakuan hak
masyarakat adat, UUK 41/1999, sebagaimana akan dibahas lebih lanjut dalam
bagian berikut, malah semakin mengambatnya!
Putusan MK 35/2012
Nyatanya pengakuan hak masyarakat adat atas hutan sebagaimana diatur oleh
UUK 41/1999 tidak menyelesaikan masalah konflik tenurial yang makin meruyak.
AMAN dan dua komunitasnya pun menggugat UUK 41/1999 ke Mahkamah
5
Konstitusi. Dalam perkara itu AMAN mengajukan keberatan atas keberadaan
beberapa pasal dalam UUK 41/1999. Yakni atas Pasal 1 angka (6); Pasal 4 ayat (3);
Pasal 5 ayat (1) ayat (2), ayat (3), ayat (4); dan Pasal 67 ayat (1) ayat (2), ayat (3).
Tanggal 16 Mei 2013 Mahkamah Konstitusi membacakan putusannya.
Permohonan AMAN dikabulkan sebagian. Yakni gugatan atas pembatalan Pasal 1
angka (6); Pasal 4 ayat (3); Pasal 5 ayat (1) ayat (2), dan ayat (3). Namun,
permohonan atas pembatalan Pasal 5 ayat (4); dan Pasal 67 ayat (1) ayat (2), ayat
(3) ditolak.
Intisari putusan MK 35/2012 itu jika disederhanakan adalah sebagai berikut: (1)
hutan adat bukan hutan negara; (2) hutan adat adalah bagian dari wilayah
adat/hak ulayat masyrakat hukum adat; dan (3) hak masyarakat akan diakui jika
keberadaan masyarakat adat itu ditetapkan melalui peraturan daerah. Dua
keputusan pertama bersumber dari tuntutan yang dikabulkan. Sedangkan
keputusan ketiga bersumber dari tutunan yang ditolak.
Dalam putusannya itu MK secara tegas menyatakan bahwa “Dengan demikian,
hutan berdasarkan statusnya dibedakan menjadi dua yaitu hutan negara dan
hutan hak. Adapun hutan hak dibedakan antara hutan adat dan hutan
perseorangan/badan hukum. Ketiga status hutan tersebut pada tingkatan yang
tertinggi seluruhnya dikuasai oleh negara.” (Pendapat Mahkamah, 3.13.1, hal.
173).
Menarik untuk mencermati mengapa MK menolak tuntutan pembatalan atas
ketiga ayat pada Pasal 67 itu. Dalam gugatannya AMAN dan dua komunitas
anggotanya antara lain mendalilkan bahwa “Pengakuan dan penghormatan
terhadap masyarakat hukum adat sebagai kelompok masyarakat otonom disadari
oleh dunia yang terbukti dari ketentuan yang ada dalam Pasal 3 dan Pasal 4
Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.
Masyarakat adat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri dan dalam
melaksanakan hak atas penentuan nasib sendiri, memiliki hak atas otonomi atau
pemerintahan sendiri dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan-urusan
internal dan lokal mereka, juga dalam cara-cara serta sarana dan prasarana untuk
mendanai fungsi-fungsi otonom yang mereka miliki (Putusan MK 35/2012, Pokok
Permohonan, (3.9), hal. 164 – 165).
Atas dalil itu MK menyatakan bahwa “ … Menurut Mahkamah, wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia semula merupakan wilayah jajahan Belanda,
kemudian menjadi wilayah negara yang merdeka dan berdaulat, yang diikat
dalam kesepakatan-kesepakatan, yang kemudian dituangkan dalam kesepakatan
tertulis, UUD 1945. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentang dari
Sabang hingga Merauke. Pendapat para Pemohon tersebut di atas dapat
berimplikasi pada upaya pemisahan diri masyarakat hukum adat untuk
mendirikan negara baru yang lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(separatisme). Keberadaan masyarakat hukum adat demikian tidak sesuai dengan
prinsip tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Jikapun ada kebebasan, hal tersebut telah diatur
6
pembatasannya dalam Undang-Undang tentang otonomi daerah serta UndangUndang lainnya dan masih dalam bingkai dan cakupan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pertimbangan Mahkamah yang berkenaan dengan Pasal 4 ayat (3) UU
Kehutanan dalam Putusan Mahkamah Nomor 34/PUU-IX/2011 tersebut di atas
mutatis mutandis berlaku untuk Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan dalam perkara a
quo. Adapun terkait dengan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 4
ayat (3) UU Kehutanan sepanjang frasa “sepanjang kenyataannya masih ada dan
diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”
beralasan menurut hukum untuk sebagian, sehingga menurut Mahkamah, Pasal 4
ayat (3) UU Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat
(conditionally unconstitutional), sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, kecuali dimaknai bahwa penguasaan hutan oleh negara tetap
memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang (Putusan MK 35/2012, Pendapat
Mahkamah, 3.13.3, hal. 178).
Selain itu AMAN dan dua komunitas anggotanya mendalilkan pula bahwa Pasal 67
ayat (1) UU Kehutanan sepanjang frasa “sepanjang menurut kenyataannya masih
ada dan diakui keberadaannya” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B
ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 karena membatasi
hak para Pemohon untuk memanfaatkan hasil kekayaan alam yang berada di
wilayah adatnya serta mendiskriminasi kesatuan masyarakat hukum adat. Selain
itu, para Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan
Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 karena pengaturan tata cara pengukuhan keberadaan
dan hapusnya masyarakat hukum adat oleh Peraturan Daerah adalah ketentuan
yang inkonstitusional. Lebih lanjut, para Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal
67 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat
(2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 karena pengaturan hak
masyarakat hukum adat serta pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat
dengan Peraturan Pemerintah adalah ketentuan yang inkonstitusional.
Terhadap dalil pemohon tersebut “ … Mahkamah mempertimbangkan bahwa
Pasal 67 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kehutanan mengandung substansi yang
sama dengan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan dalam konteks frasa “sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya”. Oleh karenanya,
pertimbangan hukum terhadap Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan menyangkut
konteks frasa “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya”
mutatis mutandis berlaku terhadap dalil permohonan Pasal 67 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) UU Kehutanan; di samping itu, menurut Mahkamah, keberadaan
masyarakat hukum adat, fungsi dan status hutan (adat), penguasaan hutan,
mensyaratkan sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, sehingga seluruh pertimbangan hukum yang telah disebutkan di
atas mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan hukum ini. Adapun tentang
pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan
Daerah dan ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah, menurut
Mahkamah merupakan delegasi wewenang yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2)
UUD 1945 (cetak miring ditambahkan) yang menyatakan “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
7
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang“.
Diakui oleh mahkamah bahwa Undang-Undang yang diperintahkan Pasal 18B ayat
(2) UUD 1945 hingga saat ini belum terbentuk. Oleh karena kebutuhan yang
mendesak, banyak peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum UndangUndang yang dimaksud terbentuk. Hal tersebut dapat dipahami dalam rangka
mengisi kekosongan hukum guna menjamin adanya kepastian hukum. Dengan
demikian, pengaturan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Daerah dapat dibenarkan sepanjang peraturan tersebut menjamin
kepastian hukum yang berkeadilan. Lagi pula dalam menetapkan batas wilayah
hutan negara dan hutan adat tidak dapat ditetapkan secara sepihak oleh negara
tetapi berdasarkan Putusan Mahkamah Nomor 34/PUU-IX/2011 tanggal 16 Juli
2012 yang harus melibatkan pemangku kepentingan (stake holders) di wilayah
yang bersangkutan. Dengan demikian dalil para Pemohon tidak beralasan
menurut hukum” [Putusan MK 35/2012, Pendapat Mahkamah, 3.13.8, hal. 183 184].
Boleh jadi, Mahkamah akan berfikirlain jika gugatan itu tidak hanya berpangkal
pada pasal-pasal konstitusi, melainkan lebij jauh mendalilkan amanat konstitusi
sebagaimana yang terbaca pada alenia keempat Pembukaan UUD 1945, yang
menyatakan bahwa pembentukan pemerintah negara Indonesia, dengan
mengingat berbagai hal, pada akhirnya adalah untuk mewujudkan keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Kaya kebijakan, miskin perubahan
Berpedoman pada Putusan MK 35/2012 ini Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan pun mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 tentan Hutan Hak, yang kemudian
ditidaklanjuti oleh Peraturan Direktur Jenderal sebagai pedoman
pelaksanaannya. Belakangan, Permen LHK 32/2015 ini diganti dengan Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2019 tentang Hutan
Adat dan Hutan Hak.
Meski begitu, sebagaimana disinggung di awal tulisan ini, capaian jumlah
pengakuan hak masyarakat adat atas sumberdaya hutan relative masih sangat
kecil sekali.
Di tingkat daerah, saat ini tidak kurang dari 200 produk hukum daerah yang telah
dihasilkan. Semua itu tentu saja atas bantuan berbagai organisasi masyarakat
sipil. Hampir tidak ada produk hukum daerah yang bergulir hanya atas inisiatif
pihak pemerintah atau komunitas adat saja. Itu pun dimungkinkan karena adanya
bantuan dari lembaga donor.
Berdasarkan informasi informal sejumlah pihak, dibutuhkan sekitar Rp.
200.000.000 hingga Rp. 2.000.000.000 untuk satu perda (baik penetapan maupun
pengaturan). Itu pun masih ada yang mensyukuri. Menurut suatu publikasi
sebuah lembaga donor, upaya-upaya legislasi di tingkat daerah ini dinyatakan
mampu memantik gerakan yang memastikan keamanan tenurial masyarakat adat.
8
Memperoleh pengakuan hak-hak masyarakat adat memang tidak mudah.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pengakuan hak masyarakat adat itu
bersyarat (dimulai oelh UU Pokok-pokok Agraria 5/1960) dan bertahap
(diperkenalkan oleh UU Kehutanan 41/1999, dan dikukuhkan oleh Putusan MK
35/2012).
Ironisnya, meski sudah ada peraturan daerah dan/atau surat keputusan kepala
daerah, toh kelembagaan Pusat masih merasa perlu untuk melakukan verifikasi
ulang. Akibatnya jelas. Yakni terhambatnya laju pengakuan hak masyarakat adat
dan terjadinya pemborosan.
Kendala yang dihadapi banyak masyarakat adat untuk memenuhi syarat
pengakuan dalam 5 tahun terakhir hendaknya jadi pelajaran bagi reformulasi
kebijakan ke depan.
Lima hambatan
Setidaknya ada 5 masalah yang menghambat. Pertama, nyatanya, secara kuantitas
sumber hukum yang perlu ditetapkan sebagai subyek hukum tidaklah terhingga
jumlahnya.
Ambil contoh pengakuan tanah ulayat di Sumatera Barat. Dalam konteks budaya
Minangkabau misalnya, saat ini setidaknya terdapat 800 nagari, 3200 suku, dan
32000 kaum. Masing-masing adalah subyek hak atas tanah ulayatnya masingmasing.
Hambatan kedua adalah sisi kapasitas. Berbeda dengan nagari yang telah
mewujudkan diri sebagai organisasi sosial yang memiliki kecakapan-kecakapan
politik dan hukum dalam menjalankan perannya sebagai sistem pemerintahan
dan/atau pengurusan hidup bersama, kaum dan suku tidak lebih sebagai
kelompok kekerabatan setingkat klan (clan), dengan jumlah anggota dan
kecakapan hukum yang relatif terbatas.
Dengan demikian, kemampuan masing-masing subyek hak itu untuk mengakses
dan mengelola proses-proses politik untuk menghasilkan berbagai produk hukum
daerah yang disyaratkan sangat berbeda satu sama lainya.
Hambatan ketiga merujuk pada akumulasi pengetahuan para pihak tentang
susunan masyarakat adat dan obyek haknya yang relatif terbatas. Karena itu pula
dapat dimaklumi jika, meski saat ini telah terdapat sekitar 200 peraturan daerah
yang mengatur pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, pada umumnya
belum produk hukum daerah itu belum dapat dilaksanakan di tingkat lapangan.
Hal itu terjadi karena produk hukum daerah itu masih sekedar memuat defenisidefenisi yang bersifat jenerik, dan belum mampu mengidentifikasi sebutan lokal
tentang susunan masyarakat adat di daerah itu. Begitu pula, belum banyak yang
memuat sebutan lokal tentang obyek-obyek hak masyarakat adat yang
bersangkutan.
Keempat soal integritas, dalam arti keberpihakan pemerintah daerah pada nasib
masyarakat adat. Nyatanya, hasil pengamatan menunjukkan, umumnya apartur
9
daerah enggan memenuhi syarat yang dibutuhkan karena akan kehilangan
kontrol atas sumberdaya yang akan diserahkan pada masyarakat adat itu.
Terakhir ada soal pula soal soliditas di tengah masyarakat adat sendiri.
Ketidakpastian hak yang telah berlangsung pulahan tahun terakhir telah
memaksa masyarakat mencari jalan keselamatannya sendiri. Keteraturan yang
lama terganggu dan sulit untuk dikembalikan lagi.
Perlu Perpu
Dengan kata lain, lemahnya daya ubah dari kebijakan-kebijakan yang mengatur
pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat yang ada saat ini terjadi karena
gagalnya para perumus kebijakan memahami fakta-fakta empiris di tingkat
lapangan tentang subyek dan obyek hak masyarakat adat itu itu sendiri. Termasuk
bentuk hubungan hukum di antara keduanya.
Mimpi untuk memiliki sebuah UU tentang pengakuan hak-hak masyarakat adat
tentu boleh terus dipelihara. Namun, pengalaman kegagalan untuk
mengundangkannya dalam dua periode Pemerintahan terakhir layak jadi alasan
menempuh cara lain.
Pengakuan hak-hak masyarakat adat itu seharus dapat dilakukan semudah
mungkin. Bak warga negara membuat kartu tanda penduduk atau pembuatan
sertifikat tanah saja layaknya. Tidak perlu melalui proses politik dan birokrasi
yang berbelit hingga melibatkan parlemen atau menteri segala, sebagaimana yang
terjadi dalam kasus RUU Pertanahan.
Langkah pertama yang harus ditempuh adalah meniadakan proses penetapan
subyek hak melalui sebuah peraturan daerah ataupun surat keputusan kepala
daerah itu. Benar-tidaknya suatu masyarakat berikut klaim tanah (hutan) adatnya
bisa dilakukan langsung pada tahan verifikasi teknis. Untuk keperluan ini
Pemerintah harus berani mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang yang merevisi (baca: mencabut) Pasal 67 ayat (2)!
Kendala yang dihadapi banyak masyarakat adat untuk memenuhi syarat
pengakuan dalam 5 tahun terakhir, yakni pasca Putusan MK 35 Tahun 2012 yang
menegaskan pengakuan atas hak masyarakat adat atas hutan dibacakan, harusnya
jadi bahan refleksi.
Publik pun belum tahu pasti apa alasan potensi hutan adat yang belum bisa masuk
dalam daftar prioritas Pemerintah semata-mata hanya karena alasan-alasan yang
telah disebutkan di atas. Apakah tidak ada alasan yang lebih kritikal, misalnya,
sebagian di antaranya juga karena di atas hutan adat itu telah terdapat hak lain
yang memang belum berani disentuh Pemerintah?
Jika tidak segera diatasi, konflik tenur seputar hutan adat itu akan terus berlanjut
dan bukan tidak mungkin akan terus meruyak. Maka kehadiran peraturan
perundang-undangan setingkat undang-undang perlu hadir untuk menyelesaikan
masalah hutan adat ini.
Dari perspektif kajian sosio-antropologis masyarakat adat sebagai subyek hukum
atas berbagai obyek hak itu bukanlah suatu yang sulit untuk dijelaskan karena
memang telah menjadi bagian kehidupannya sehari-hari masyarakat adat yang
10
bersangkutan. Tidak sulit untuk menilai apakah klaim suatu masyarakat adat itu
benar atau tidak. Sebab, susunan masyarakat adat itu sudah demikian adanya. Tak
satu pun entitas sosial yang dapat mengada-ada keberadaannya begitu saja.
Toh, dalam banyak masyarakat adat saat ini penguasaan tanah (termasuk hutan
adat) berpusat kepada sistem kekerabatan, seperti marga raja bersama marga
boru-nya dalam etnik Batak Toba; kaum dan suku dalam etnik Minangkabau; atau
soa dalam etnik Maluku.
Tegakah Pemerintah meminta mereka bertarung – dan menguras biaya yang tidak
sedikit -- di arena legislasi dan birokrasi Daerah yang sarat kepentingan politik
itu?***
11