Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
2020
…
5 pages
1 file
Indonesia adalah bangsa dan Negara yang kaya akan keanekaragaman yang dapat dilihat dari keanekaragaman budaya, suku, ras, bahasa dan agama. Budaya adalah hal penting yang ada dalam struktur masyarakat. Budaya berkontribusi tentang bagaimana manusia hidup, bagaimana masyarakat berperilaku dan berpengaruh terhadap bagaimana masyarakat meamandang diri mereka sendiri. Keragaman
Salah satu indikator suatu peradaban dapat dikatakan sebagai peradaban yang maju adalah memiliki unsur masyakat yang terorganisir dengan baik.
Teopilus Epidonta Tarigan, 2022
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mozait. Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar didunia. Pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Dalam pendidikan multikultural, setiap peradapan dan kebudayaan yang berada dalam posisi yang sejajar dan sama, tidak ada kebudayaan yang tinggi atau dianggap lebih tinggi dari kebudayaan lain, dialog meniscayakan adanya persamaan dan kesamaan diantara pihak-pihak yang terlibat, anggapan bahwa kebudayaan tertentu lebih tinggi dari kebudayaan yang lain akan melahirkan fasisme. Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia suatu sistem arti, bentuk organisasi sosisal sejarah, dan adat serta kebiasaan. Kata kunci: Multikulturalisme, masyarakat multikultural.
Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi FKIP Universitas Muhammadiyah Makassar A. PENDAHULUAN Multikulturalisme menurut Tariq Modood dalam Hoon, C. Y. (2013) adalah suatu istilah yang menarik. Ia bisa dipahami berbeda oleh banyak negara tergantung latar belakang sosial politik yang mengiringi kemunculan istilah ini. Seperti halnya dengan Negara Amerika Serikat, multikulturalisme diartikan secara politik digunakan untuk mengakui hak asasi manusia dan kesetaraan warga negara sebagai respon atas meningkatnya klaim atas perbedaan kelompok, seperti etnis Afrika, kelompok etnis minoritas, perempuan, gay dan lain sebagainya. Berbeda dengan Negara-negara Eropa, multikulturalisme adalah respon yang muncul dari imigrasi pendatang dari luar Eropa, dari orang non-kulit putih yang masuk ke negara-negara mayoritas kulit putih. Dalam hal ini, multikulturalisme berbentuk pengakuan atas kelompok-kelompok yang berbeda dalam ruang publik dan memiliki fokus yang lebih sempit yaitu berfokus pada konsekuensi imigrasi dan perjuangan dari beberapa kelompok marjinal. (Modood 2013). Kebanyakan negara Eropa bisa jadi memiliki pengalaman yang mirip terkait imigrasi, akan tetapi fokus dari kebijakan multikulturalnya bisa bermacam-macam. Di beberapa negara, bisa jadi rasisme dan warisan kolonialisme menjadi sentral; di beberapa yang lain, perhatiannya mungkin tertuju pada bagaiamana merubah kondisi pekerja tamu ini menjadi warga negara yang setara ketika kondisi sebelumnya tidak menawarkan kesempatan untuk menjalankan kuasa demokratis (Modood 2013). Kesimpulan dari berbagai pendapat tentang multikulturalisme adalah merupakan respon suatu masyarakat atau pemerintah terhadap isu-isu keragaman budaya dalam suatu masyarakat, selain itu multikulturalisme sudah menjadi suatu ideology untuk melegitimasi masuknya keragaman etnis dalam struktur umum masyarakat termasuk dalam struktur politik dan multikulturalisme merupakan salah satu desain kebijakan publik untuk menciptakan kesatuan nasional dalam suatu keragaman. Sedangkan pluralism menurut Furnivall dalam Helmiati, H. (2013) mendefiniskan masyarakat plural sebagai "comprising two or more kehadiran dua atau lebih komunitas yang berbeda, tinggal berdampingan dalam satu unit politik, akan tetapi tidak saling berkait antara yang satu dengan yang lain; pembagian ekonomi berjalan seiring dengan pembagian budaya. Jadi masyarakat plural merupakan masyarakat yang memiliki lebih dari satu komunitas yang berbeda (beda bahasa, adat ataupun nilai sosial yang dianut), yang hidup berdampingan dalam suatu tatatanan pemerintahan seperti pemerintahan kerajaaan atau adat, namun antara komunitas yang satu dengan yang lain tidak saling terkait atau memiliki hubungan darah secara geneologis, setiap komunitas menjalankan kehidupan sosialnya masing-masing seperti memenuhi kebutuhan sehari-hari sampai pada menciptkan budaya sendiri.
Ibnu Iyadh, 2018
Indonesia adalah negara hukum dengan atribut multikultural dan plural yang sangat potensial didalamnya. Keseimbangan hukum dan pendidikan di Indonesia merupakan hasil telaah kritis berdasarkan pertimbangan-pertimbangan keberagaman suku, agama, ras, adat, dan sebagainya. Kenyataan tersebut dapat dibuktikan dari dinamika kehidupan masyarakat yang sama dan dapat menjadi potensi besar kemajuan bangsa Indonesia itu sendiri. Namun, disisi lain adanya multikultural bisa menjadi bom yang sewaktu-waktu dapat meledak dan menimbulkan masalah besar apabila tidak dikelola dengan baik. Sebagai penegak hukum dan pelopor pendidikan, tidak lain harus berperan aktif dalam mengelola dimensi keragaman dan keseimbangan diantara beribu-ribu perbedaan. Hukum dan pendidikan sebagai instrumen penting terhadap peradaban manusia, maka perlu dioptimalkan sebaik mungkin dengan model pelembagaan nilai-nilai multikultural guna menciptakan masyarakat yang damai dan berkemajuan. Keragaman budaya di Indonesia didukung oleh sekitar 300 suku, 200 bahasa daerah dan ribuan aspirasi kultural, maka dalam proses interaksi sebagai bagian dari negara kesatuan antar etnik tersebut diperlukan sebuah kerendahan hati dan toleransi tinggi terhadap keberadaan kebudayaan suatu etnis dengan etnis yang lainnya dalam kerangka nasionalisme kebangsaan.
Multikulturalisme, pada saat ini, barangkali telah menjadi semacam "buzzword", atau sebuah kata yang bunyinya mentereng tetapi tak lagi punya makna. Di mana-mana multikulturalisme digembor-gemborkan dan dipuja-puja tanpa ada kesepakatan apa sesungguhnya makna yang dirujuk oleh istilah tesebut atau tanpa ada kejelasan gagasan apa sesungguhnya yang ada di dalam benak si penutur ketika istilah tersebut keluar dari mulutnya. Ibarat sebuah gejala yang sedang trendy, multikulturalisme laku keras sebagai semacam fashion yang menaikkan gengsi siapa saja yang menggunakannya. Sungguh sanagt disayangkan bahwa ketika ada gairah yang sangat besar terhadap multikulturalisme, kata ini justru terancam mengalami kekosongan makna.
Akhir semester dua ini, ketika salah seorang dosen mata kuliah Pengantar Ilmu Politik (Ibu Wahidah Br. Siregar) memberikan kuliah terakhirnya di kelas, penulis dicengangkan oleh ceritanya. Beliau bercerita tentang pengalamannya mengisi kuliah umum di Washington DC, AS. Salah seorang rekannya dari manca-Negara bertanya kepada beliau, " kenapa di negaramu selalu mengedepankan perbedaan (dengan adanya semboyan " Bhinneka Tunggal Ika " = walaupun berbeda, tapi tetap satu)? Bukankah itu yang memicu adanya masalah kebangsaan seperti konflik suku, agama, dan ras? ". Lantas, beliau berpikir, " iya, ya. Kenapa harus perbedaan yang dikedepankan? Kenapa tidak dengan semboyan " kita tetap satu, walaupun berbeda " ? ". Cerita ini membuat penulis berpikir kembali tentang bangsa yang multikultural ini. Bangsa yang terdiri dari banyak suku, banyak agama, dan terdiri dari berbagai ras selama ini telah menjadi karakter Indonesia. Dengan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bangsa ini telah berdiri dengan segala karakter dan khazanah lokal yang ada di dalamnya. Termasuk juga masyarakat yang memiliki corak dan warna yang berbeda-beda. Persoalan yang paling krusial belakangan ini adalah merebaknya konflik dan kekerasan yang berkedok suku, agama, dan ras (selanjutnya disingkat menjadi SARA). Tentu, konflik dan kekerasan menjadi salah satu masalah (selain masalah politik dan hukum) yang sangat diperhitungkan dan berada pada wilayah yang sensitif bagi masyarakat kita. Ada sebagian kalangan menganggap bahwa multikulturalitas sebagai pemicu adanya konflik dan kekerasan yang berbatu SARA. Multikulturalitas sebagai realitas sosial masyarakat kita seakan-akan telah menjadi masalah yang bahkan oleh berbagai kalangan dipandang sebagai suatu realitas sosial yang perlu dihilangkan. Ini terlihat dari banyaknya sikap organisasi masyarakat yang menginginkan bangsa ini harus terdiri dari satu suku, satu ras, dan bahkan yang paling gencar adalah harus terdiri dari satu agama. Menurut hemat penulis, paham demikian sebenarnya merupakan paham yang pada akhirnya akan menjadi masalah baru yang dialami oleh bangsa kita. Mereka cenderung tidak menerima perbedaan, karena perbedaan dianggap sebagai sesuatu yang akan memicu lahirnya konflik dan kekerasan. Lantas, apakah yang melatarbelakangi adanya paham demikian? Benarkah bahwa realitas masyarakat yang multikultural menjadi pemicu lahirnya konflik dan kekerasan? Bagaimanakah sikap kita sebagai warga negara menyikapi multikulturalitas sebagai karakter bangas Indonesia ini?
Panggung
Cirebon has a very heterogeneous population. The heterogeneity of the Cirebon population has been going through a very long process since the early days of the Cirebon Sultanate in the XV century. Along with the heterogeneity of its people, Cirebon culture has developed into a culture full of diversity and represents cultural diversity in equality. This reality is essential to study, particularly to explore how multiculturalism and its elements are manifested in the culture of Cirebon. The present research uses the historical method, which consists of four stages of work: heuristics, criticism, interpretation, and historiography. Based on the analysis of several objects of the advancement of Cirebon culture, the results show a correlation with the heterogeneous population of Cirebon. The cultures contributing to the birth of multiculturalism in Cirebon were Sundanese, Javanese, Indian, Arabic, Chinese, and Western. The cultural reality of Cirebon, which is full of cultural diversity, certainly needs to be maintained, preserved, and enhanced to become a model for strengthening national integration.
Having a strong school culture for an organization is a must. School culture is a guideline for all school members, not only students and teachers, but also stakeholders, parents and other parties. This paper will show you, the elements of school culture and its implementation.
Shautut Tarbiyah, 2011
Pendidikan nilai karakter merupakan pendidikan yang menekankan pembangunan manusia seutuhnya. Manusia bukan sekedar hidup sebagai apa adanya,tetapi manusia berkewajiban dalam mewujudkan kemanusiaannya yaitu, manusia hidup bersama dengan manusia lain. Untuk menjadi manusia yang seutuhnya diperlukan suatu proses yang disebut sebagai pendidikan dalam arti luas, yaitu proses pembudayaan. Pada masa mendatang proses pendidikan di sekolah tidak lagi semata pemintaran intelektual (kognisi), tetapi patut diarahkan juga kepada pembentukan karakter (afeksi) yang menetaskan manusia berbudi pekerti yang mencerminkan pibadi dengan integritas moral yang tinggi guna melahirkan pemikir untuk menahkodai biduk bangsa ini. Pendidikan nilai karakter yang berbasis pada pendidikan multikultural memiliki kekuatan dalam mengisi kompetensi anak dalam soft skill dan hard skill yang keseluruhannya dikemas dalam pengelolaan rasa, logika sacara utuh. Perkembangan program pendidikan multikultural berkembang dengan pesat dan dilaksanakan dari jenjang pendidikan anak usia dini termasuk di dalamnya program pedidikan guru (American Assosiation for Colleges of Teacher Education). Pendidikan multikultural pada dasarnya untuk mencari dan menggali persamaan nilai yang terdapat di dalam berbagai jenis budaya serta pengembangan sikap toleransi kepada individu. Dengan membuat sistem pengelolaan yang tidak membedakan latar belakang siswa, maka akan membantu terciptanya keharmonisan dalam keragaman budaya. Melalui upaya staf dan pengelola, sekolah harus menjadi lingkunga kebudayaan dan tempat terjadinya pertukaran budaya antar suku bangsa, sehingga masing-masing suku bangsa dapat saling memperkaya hasanah budaya yang dimilikinya melalui pengenalan antara budaya. Dengan demikian persoalan penting dalam pendidikan multikultural perlu dibangun atas dasar keragaman suku bangsa, ras, dan etnik yang berbedabeda dalam suatu kesatuan. Perbedaan ini dengan sendirinya akan menimbulkan keragaman bawaan bagi peserta didik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Budaya spiritual etnis Sasak dalam perjalanannya telah mengalami perkembangan yang cepat. Diawali dengan masuknya agama Islam dari Jawa dan Makasar, serta agama Hindu dari Bali. Kehadiran kedua agama tersebut kemudian diolah masyarakat Sasak dalam konsep sinkretisme, dan wadah puncaknya berupa ajaran Islam Wetu Telu. Pengejahwantahan dari sinkretisme menghasilkan tradisi-tradisi sebagai penguat identitas etnis Sasak. Satu di antara tradisi yang ada, yaitu Bau Nyale. Sebagai pokok sandaran analasis penulisan membatasi tiga pokok rumusan, yaitu 1) apa fungsi tradisi Bau Nyale bagi masyarakat pendukungnya; 2) nilai-nilai budaya apa saja yang dimuat dalam tradisi Bau Nyale; 3) Kenapa diberi pengakuan, penghargaan dan kesetaraan tradisi Bau Nyale dengan tradisi yang lain yang hidup di Lombok oleh komunitas lain. Pisau analisis untuk mengidentifikasi yaitu teori semiotika dan neo-fungsionalisme. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan teknik deskriptif interpretatif. Tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi fungsi-fungsi dan nilai budaya yang dimuat pada tradisi Bau Nyale. Dari hasil mengidentifikasi, maka karya budaya intangible Bau Nyale layak sebagai tradisi yang memiliki nilai multikulturalisme dan pluralisme. Kata kunci: Bau Nyale, sinkretisme, multikulturalisme dan pluralisme. Sasak ethnic spiritual culture in its journey has experienced rapid development. It starts with the entry of Islam from Java and Makasar, as well as Hinduism from Bali. The presence of the two religions is then processed by the Sasak community in the concept of syncretism, and the top place is the teachings of Islam Wetu Telu. The implication of syncretism resulted traditions as a reinforcement of Sasak ethnic identity. One of the existing traditions, is the Bau Nyale. There are three main issues in this research, which are 1) what is the function of Nyale Bau tradition for the support community; 2) what cultural values are contained in the Bau Nyale tradition; 3) why is Bau Nyale tradition given the recognition, appreciation and equivalence with other traditions that live in Lombok by other communities. Theories used to identify are the semiotics theory and neo-functionalism. This research is a qualitative research with descriptive interpretative technique. The purpose of this study is to identify the functions and cultural values contained in the Bau Nyale tradition. From the results of identifying, the Bau Nyale cultural work deserves a tradition that has value multiculturalism and pluralism.
The Cambridge Handbook of Linguistic Multi-competence, 2016
Environmental History, 2014
Journal for Cultural Research, 2011
Expresso, 2019
Doctors and Healers: Popular Culture and the Medical Profession, 1991
Revista Chilena de Derecho y Ciencia Politica, 2024
Journal of Plastic Surgery and Hand Surgery, 2023
REDAF - RED NACIONAL DE ACTIVIDAD FISICA - ARGENTINA, 2013
Oxford Research Encyclopedia of Religion, 2018
Journal of Autism and Developmental Disorders, 2019
Die Unternehmung, 2013
Revista Hospital Universitário Pedro Ernesto, 2015
Claridad-En Rojo 21-27 de enero , 2016
Studies in computational intelligence, 2019