1
JATIDIRI BUDAYA DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL ∗
Manneke Budiman †
Pengantar
Multikulturalisme, pada saat ini, barangkali telah menjadi semacam
“buzzword”, atau sebuah kata yang bunyinya mentereng tetapi tak lagi punya makna.
Di mana-mana multikulturalisme digembor-gemborkan dan dipuja-puja tanpa ada
kesepakatan apa sesungguhnya makna yang dirujuk oleh istilah tesebut atau tanpa
ada kejelasan gagasan apa sesungguhnya yang ada di dalam benak si penutur
ketika istilah tersebut keluar dari mulutnya. Ibarat sebuah gejala yang sedang trendy,
multikulturalisme laku keras sebagai semacam fashion yang menaikkan gengsi siapa
saja yang menggunakannya. Sungguh sanagt disayangkan bahwa ketika ada gairah
yang sangat besar terhadap multikulturalisme, kata ini justru terancam mengalami
kekosongan makna.
Secara umum, multikulturalisme kerap disalahkaprahkan dengan
kemajemukan yang ukurannya melulu hanya kuantitatif. Seolah-olah istilah
multikulturalisme sudah boleh dicatut untuk melukiskan sebuah komunitas yang
terdiri atas berbagai macam kelompok—apakah itu kelompok etnik, ras, agama,
atapun yang sejenisnya. Dengan cara pandang ini, Indonesia pun dapat dengan
aman disebut sebagai sebuah negara multikultural, dan, yang lebih parah lagi,
keadaan ini kemudian dibangga-banggakan dengan akibat orang menjadi cepat puas
diri. Multikulturalisme, dengan begitu, sudah tidak perlu dipersoalkan lagi di
Indonesia karena secara faktual Indonesia sudah bersifat multikultural. Ini, sudah
barang tentu, merupakan pemahaman yang keliru atas multikulturalisme.
Salah kaprah lainnya yang lazim terjadi, khususnya di negara-negara Barat
tempat gagasan multikulturalisme mula-mula dikembangkan, seperti Amerika Serikat,
Kanada, dan Inggris (serta Australia dalam hal ini) adalah berkenaan dengan
pemujaan atas perbedaan (difference) secara berlebihan. Setiap kelompok,
khususnya kelompok-kelompok minoritas, menuntut agar keunikannya dihormati
hingga pada taraf seolah-olah keunikan tersebut adalah segala-galanya dan tidak
boleh diganggu-gugat oleh siapapun, apalagi oleh orang-orang yang bukan menjadi
bagian dari kelompok tersebut. Apa yang terjadi, dengan demikian, adalah
eksklusifisme budaya yang bahkan dengan mudah dapat menjadi chauvinisme
budaya. Pemahaman yang keliru seperti ini juga sudah mulai menjadi stigma negatif
bagi multikulturalisme.
Tentu saja, masih ada kesalahkaprahan-kesalahkaprahan yang lain lagi,
tetapi kedua hal yang disebut di atas itu tampaknya cukup dominan dalam
perdebatan tentang makna dan hakikat multikulturalisme dewasa ini. Pada bagian
∗
Dipresentasikan dalam Seminar Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam
Perspektif Budaya, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Bogor 18 – 20 Desember 2003.
†
Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
2
berikutnya, tulisan ini akan mencoba mengulas sebuah alternatif lain dalam
memandang multikulturalisme yang tidak berbasis kefaktaan belaka ataupun terjebak
dalam eksklusivitas budaya yang sempit. Setelah itu, barulah pembahasan diarahkan
pada jatidiri budaya, yang meliputi hakikat, wujud serta peranannya dalam kontek
masyarakat yang multikultural dalam artian yang sepenuhnya.
Memahami multikulturalisme
Indonesia kerap direpresentasikan sebagai suatu mosaik budaya: potonganpotongan budaya yang direkat-rekatkan menjadi sebuah lukisan budaya yang besar
dan utuh yang kerap diberi label “kebudayaan nasional”. Potongan-potongan
tersebut diasumsikan sebagai “puncak-puncak kebudayaan berbagai daerah” yang
ada dalam wilayah negara Indonesia. Sebagai rumah untuk lebih dari 700 bahasa
daerah, 300 suku bangsa, lima agama besar, dan 13.000-an pulau, godaan untuk
menganggap Indonesia sebagai sebuah negara atau masyarakat multikultural
memang besar dan amat mudah untuk terjatuh ke dalamnya. Berbagai wacana
tentang Indonesia yang “multikultural” telah sering digaungkan dari masa ke masa
dan, bahkan, diabadikan dalam miniatur Indonesia indah di TMII. Apalagi jika kita
mengingat bahwa kemajemukan budaya itu telah ada di bumi Nusantara bahkan
sebelum Indonesia sebagai sebuah nation-state modern lahir. Maka, kedengarannya
cukup masuk akal apabila kadang-kadang ada klaim bahwa multikulturalisme sudah
merupakan warisan luhur budaya bangsa sejak dahulu kala.
Namun, apakah benar demikian? Multikulturalisme seharusnya tidak
dipahami semata-mata sebagai sekumpulan perbedaan belaka yang dapat dijumlahjumlahkan dan disatu-satukan secara kuantitatif. Sebaliknya, multikulturalisme
adalah sebuah kualitas dan bukan entitas, sebuah semangat dan bukan sederetan
angka-angka. Terlebih lagi, untuk konteks Indonesia khususnya, multikulturalisme
bukanlah sebuah warisan luhur nenek-moyang yang harus dilestarikan dan
dipelihara melainkan sesuatu yang masih harus diperjuangkan, dibangun dan
diwujudkan ke depan. Keragaman yang kini ada, pada taha sekarang ini, bisa
menjadi suatu modal dasar menuju ke Indonesia yang multikultural, tetapi bisa juga
menjadi resep bagi bencana apabila terjadi salah urus. Oleh sebab itu, kita belum
selayaknya berpuas diri dan menganggap bahwa multikulturalisme di Indonesia
sudah merupakan sebuah kenyataan.
Multikulturalisme secara mutlak mensyaratkan adanya empati, solidaritas dan
keadilan sosial. Tidak cukup bagi kita untuk hanya hidup berdampingan secara
damai dengan tetangga kita. Dibutuhkan adanya empati, atau kemampuan dan
kesediaan untuk menjadi diri kita sendiri dan sekaligus pada saat yang sama
menempatkan diri kita pada posisi tempat tetangga kita berada. Tanpa adanya
semangat kebersamaan dalam perbedaan, empati tidak mungkin dapat terwujud.
Prinsipnya bukanlah: “Karena kita berbeda, marilah kita tidak saling menganggu”
atau “Marilah kita mengurus diri kita masing-masing” melainkan: “meskipun kita
berbeda, saya peduli pada dirimu dan merasakan semua suka-dukamu sambil
menyadari dan menghormati perbedaan di antara kita.”
Ini merupakan pondasi bagi terciptanya solidaritas yang skalanya bukan antar
sesama anggota suatu kelompok melainkan lintas kelompok. Apabila empati adalah
sesuatu yang tidak kasat mata tetapi dapat dengan jelas dirasakan, solidaritas
adalah sesuatu yang dapat diperlihatkan dalam bentuk perilaku. Dalam konteks
solidaritas lintas kelompok, ada suatu kesadaran yang kental bahwa perjuangan
3
kepentingan sebuah kelompok hanya dapat bernilai positif dan dipandang berhasil
apabila perjuangan tersebut mampu mensejahterakan kelompok-kelompok yang lain
pula dalam suatu komunitas. Solidaritas menjadi jelas terlihat ketika upaya
memperjuangkan kepentingan kelompok serta keberhasilan dari upaya tersebut tidak
dicapai dengan cara meminggirkan atau mengorbankan kepentingan-kepentingan
kelompok-kelompok lainnya yang hidup di bawah satu atap.
Dengan kata lain, setiap perjuangan kepentingan suatu kelompok juga harus
dilandasi oleh prinsip-prinsip keadilan sosial. Sebuah perjuangan kelompok yang
hidup dalam suatu komunitas akan selalu berdampak pada kelompok-kelompok lain
yang ada dalam komunitas tersebut. Perjuangan kelompok yang berkeadilan sosial
tidak akan mencari privilege dan keutamaan untuk diri sendiri, meskipun perjuangan
tersebut harus menjamin terciptanya keadilan sosial untuk kelompok sendiri juga.
Negara, dalam hal ini, punya kapasitas untuk memfasilitasi dan menjamin keadilan
sosial ini, sementara—dalam hal empati dan solidaritas—kesadarannya harus
tumbuh dari tataran akar rumput lewat pengalaman jatuh-bangun bersama sebagai
warga sebuah komunitas yang sama.
Sebagai ilustrasi, fenomena otonomi daerah yang merebak akhir-akhir ini
dengan segala dampaknya mungkin bisa memberikan pelajaran yang baik. Lewat
otonomi daerah, setiap kabupaten dan provinsi diberi wewenang untuk menentukan
arah dan prioritas kebijakan pembangunan atau pengembangan daerahnya sendiri.
Suatu gejala yang cukup mengusik perasaan bersamaan dengan pelaksanaan
otonomi daerah ini adalah gairah yang besar untuk melakukan transformasi yang
fundamental untuk secara cepat dan dalam waktu singkat membawa daerah menuju
ke kemandirian, khususnya dari segi pendanaan. Seperti biasa, apa yang sering
terjadi kemudian adalah transformasi tanah-tanah pertanian atau perkebunan
menjadi lahan-lahan industri yang padat modal. Inilah pelajaran yang selama
bertahun-tahun dipertunjukkan oleh pemerintah pusat di masa sentralisasi, dan yang
kini dijiplak mentah-mentah di banyak daerah pasca pemberlakuan Undang-Undang
Otonomi Daerah.
Biasanya, pihak yang menjadi korban tentu saja para petani penggarap, dan
persoalan menjadi runyam ketika bertani merupakan mata pencaharian utama
penduduk di suatu daerah yang mengalami proses industrialisasi. Kehadiran pabrikpabrik memang dapat membuka lapangan kerja baru, tetapi tidak semua tenaga
kerja yang berasal dari pertanian yang padat karya dapat diserap oleh industri yang
padat modal dan teknologi. Apabila kita melihat trend-nya, sebagian besar buruh
pabrik adalah peempuan, dengan berbagai alasan tentunya. Sehingga, dengan
demikian, para mantan penggarap sawah atau kebun yang terserap oleh pabrikpabrik itu adalah perempuan. Di mana para lelakinya, yang dahulu juga merupakan
petani penggarap? Barangkali menganggur karena sawah-sawah tak lagi ada atau
berurbanisasi ke kota besar jika cukup beruntung nasibnya.
Apakah nasib para buruh perempuan di pabrik-pabrik itu serta merta lebih
baik? Bisa saja tidak demikian karena sudah merupakan persoalan di mana-mana
bahwa buruh cenderung dieksploitasi tanpa jaminan kesejahteraan yang layak.
Apabila kemudian ada suatu organisasi perempuan yang hendak membantu para
buruh perempuan itu memperoleh keadilan, maka ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam hubungan dengan semangat multikultural yang telah disinggung
di atas: Pertama, bantuan itu baru dapat betul-betul bermanfaat bagi pihak yang
dibantu apabila murni dilandasi oleh empati terhadap nasib perempuan pekerja dan
bukan dimotivasi oleh proyek atau kucuran dana dari donor. Apabila landasan utama
4
ini absen, dikhawatirkan nasib para burruh perempuan yang hendak dibantu akan
semakin terpuruk.
Kedua, perjuangan perbaikan nasib buruh perempuan itu perlu diletakan
dalam konteks solidaritas dengan kelompok-kelompok lain yang sama-sama menjadi
korban dampak negatif otonomi daerah. Ada para lelaki mantan petani penggarap
yang tidak hanya kehilangan pekerjaan tetapi juga tidak terserap oleh indusrtiindustri baru. Ada persoalan penyerobotan tanah-tanah adat untuk kepentingan
industri yang kadang-kadang dibiarkan terjadi oleh pemerintah daerah demi
masuknya investasi. Mungkin juga, ada industri-industri rumah tangga yang kecil
yang mati akibat kehadiran industri-industri besar yang punya daya saing tinggi, dan
seterusnya. Perjuangan kaum buruh perempuan itu tidak akan ada artinya apabila—
untuk dapat mencapai tujuannya—menutup mata terhadap keterpurukan kelompokkelompok lainnya. Oleh karena itu, solidaritas hanya dapat terjadi apabila gerakan
buruh perempuan itu menggandeng tangan kelompok-kelompok lainnya bukan
hanya untuk menggalang kekuatan yang lebih solid tetapi, yang lebih utama,
mencapai tujuan bersama yang memberikan manfaat bagi semua pihak yang
dirugikan oleh industrialisasi.
Terakhir, solidaritas lintas kelompok yang dibangun atas dasar empati
tersebut harus dapat memastikan bahwa sinergi itu diarahkan pada tercapainya
suatu perubahan yang berkeadilan sosial. Kekuatan yang telah berhasil digalang
dapat secara efektif meningkatkan posisi tawar kelompok-kelompok yang
terpinggirkan dalam berhadapan tidak hanya dengan kekuatan industri tetapi juga
dengan pemerintah daerah. Dikehendaki atau tidak, kita masih akan melihat peranan
pemerintah daerah yang cukup sentral dalam penciptaan kesejahteraan sosial ini.
Persoalannya, kadang-kadang tidak ada cukup kemauan politik di pihak pemerintah
daerah untuk menggunakan kapasitas yang dimilikinya dalam mewujudkan peranan
di bidang keadilan sosial ini. Pemerintah pusat pun sering kali sama saja sikapnya:
kemampuan dan kewenangan ada, tetapi kemauan kurang, demikian pula
kesadarannya. Sinergi antar kekuatan kelompok menjadi sangat strategis untuk
memberikan tekanan kepada pemerintah daerah maupun pusat agar setiap
transformasi dalam konteks pembangunan memprioritaskan keadilan sosial.
Pada saat yang sama, kita juga melihat bahwa eksklusifisme tidak punya
tempat dalam suatu komunitas yang multikultural. Ironisnya, kecenderungan
eksklusif semacam ini tidak jarang justru lahir atas nama multikulturalisme. Terutama
sejak Reformasi bergulir, ada kecenderungan semua kelompok, atau kelompokkelompok yang diposisikan atau memposisikan dirinya sebagai kelompok marginal,
menuntut untuk diakui tidak hanya hak hidupnya tetapi juga keunikannya. Tentu saja,
tidak ada yang salah dengan hal ini. Permasalahan baru muncul ketika tuntutan akan
pengakuan itu dilancarkan tanpa kepedulian akan hak hidup kelompok-kelompok
lainnya. Bahkan, dibuat pagar-pagar dan tembok-tembok yang mengharamkan
kelompok lain untuk menyatakan sikapnya atas tuntutan tersebut, terutama jika
tuntutan itu berimplikasi pada keberadaan kelompok-kelompok lain juga. Hal ini
sama saja dengan mengembalikan tabu-tabu SARA yang represif atas nama
toleransi, meskipun bentuknya berbeda dari apa yang dipraktikkan pada masa orde
Baru dahulu.
Tuntutan penerapan syariah Islam di beberapa daerah, misalnya, di satu
pihak tampaknya sejalan dengan semangat yang bersifat multikultural, yakni
penghormatan atas kehendak untuk melaksanakan syariah dalam kehidupan seharihari. Namun, ketika pelaksanaan syariah ini kemudian hendak diwujudkan dalam
5
bentuk hukum dan peraturan negara, secara gamblang terlihat bahwa tidak ada
kepedulian terhadap kelompok-kelompok agama lain yang secara kuantitatif
tergolong minoritas. Penghormatan dan toleransi dalam multikulturalisme
dikondisikan oleh tiadanya dominasi oleh kelompok mayoritas serta diberikannya
perlindungan kepada kelompok-kelompok minoritas. Tugas negara, dalam hal ini,
adalah menjamin terpeliharanya keseimbangan tersebut. Dalam kasus tuntutan
syariah, meskipun wacana yang dikembangkan hanya menyangkut umat Islam,
persoalannya tidak sesederhana itu di dalam konteks hukum dan perundangan.
Berbagai produk hukum, seperti undang-undang perkawinan, undang-undang sistem
pendidikan nasional, serta rancangan undang-undang hukum pidana yang sedang
digodok pada saat ini, menjadi kontroversial karena semangatnya didominasi oleh
kaidah-kaidah yang Islami, padahal berbagai produk perundang-undangan itu
implikasinya menyangkut semua warga negara.
Menggejalanya isu “putra daerah” sebagai kepala daerah, serta intimidasi
terhadap kelompok-kelompok pendatang yang bukan “penduduk asli” di suatu
daerah, juga merupakan wujud eksklusifisme. Semuanya itu dengan cara
gampangan dirasionalisasikan lewat “logika kedaerahan”, yakni bahwa segala
sesuatu yang asli daerah adalah baik, tak peduli bagaimana kualitasnya. Solidaritas
palsu kerap muncul dari situasi seperti ini. Seorang pejabat yang berasal dari sebuah
daerah tertentu yang sedang menghadapi dakwaan korupsi, misalnya, ramai-ramai
dibela oleh massa yang konon juga berasal dari daerah yang sama dengan cara
mengintimidasi proses pengadilan hanya karena tersangka koruptor dan massa yang
mendukungnya adalah “putra daerah” yang sama. Di bekas Yugoslavia, cara berpikir
yang sempit ini telah menyebabkan terjadinya Balkanisasi yang penuh dengan
gelimang darah dan kekerasan. Tuntutan pengakuan akan kekhasan suatu kelompok
dilontarkan tanpa empati kepada kelompok-kelompok lain, tanpa solidaritas yang
outreaching, dan tanpa semangat keadilan sosial untuk semua.
Jatidiri Budaya dalam Konteks Multikultural
Dengan memperhatikan berbagai aspek serta problematika di atas,
barangkali kita sudah mulai dapat membayangkan jatidiri budaya (cultural identity)
yang seperti apa yang compatible dengan multikulturalisme. Yang jelas, jatidiri
budaya yang bersifat esensialis bisa menjadi ancaman bagi sebuah masyarakat
multikultural. Jatidiri budaya yang esensialis di sini adalah jatidiri yang dibayangkan
memiliki esensi-esensi yang jelas yang secara tegas membedakannya dari jatidirijatidiri budaya lainnya. Esensi-esensi ini bisa jadi berupa agama, bahasa, nenekmoyang, adat-istiadat, ciri-ciri fisik, dll. Berbagai esensi ini dioperasikan sebagai
penanda-penanda yang berfungsi ganda: pertama, untuk menandai diri sendiri dan
kelompoknya dan, kedua, untuk membedakan diri dan kelompok dari kelompokkelompok lain. Lebih jauh lagi, esensi-esensi ini digunakan pula sebagai landasan
untuk menentukan sikap kelompok terhadap kelompok-kelompok lain, dan bahkan—
dalam situasi-situasi tertentu—dapat digunakan sebagai “senjata” untuk menyakiti
kelompok lainnya.
Kerusuhan Mei 1998 yang disertai penjarahan dan pemerkosaan massal
terhadap warga etnik Cina adalah sebuah contoh yang kelabu bagi persoalan di
atas. “sasaran” atau “lawan” diidentifikasi atas dasar “ke-Amoi-annya”. Siapapun
yang berkulit kuning langsat dan bermata sipit berpotensi untuk diserang dan disakiti.
Akibatnya, dilaporkan banyak perempuan Padang, Palembang dan Manado yang
turut menjadi korban hanya karena ciri-ciri fisik mereka mirip dengan perempuan
6
“Amoi”. Namun, bahkan mereka yang dianggap perempuan “asli Amoi” pun ternyata
situasinya tidak sesederhana itu. Banyak di antara mereka yang lahir di Indonesia
dan merupakan generasi yang entah keberapa yang telah menetap di Indonesia, dan
belum pernah sekalipun mengenal “tanah leluhur” mereka. Mereka memposisikan
dirinya sebagai orang Indonesia, tetapi dalam tragedi Mei mereka secara paksa
diposisikan sebagai “Cina” yang harus diganyang. Di Bosnia-Herzegovina, warga
Muslim yang dianiaya. Perempuan-perempuan Muslim diperkosa dengan tujuan
untuk mencemari kemurnian mereka sebagai bangsa Muslim Bosnia, seolah-olah
kemurnian etnik dan agama adalah segala-galanya, atau sebagai satu-satunya
esensi jatidiri.
Pemisahan India dan Pakistan pada tahun 1947 juga merupakan contoh lain
dari sebuah tragedi yang diakibatkan oleh pemujaan yang sempit dan berlebihan
terhadap esensi. Eksodus besar-besaran terjadi di kalangan warga Hindu yang
tinggal di Pakistan Barat dan Pakistan Timur (sekarang Bangladesh), dan juga di
kalangan warga Muslim yang tinggal di India. Pemisahan itu memakan korban yang
sangat banyak, memisahkan anggota-anggota keluarga satu dari yang lain,
mencabut secara paksa ribuan orang dari tanah airnya, dan menorehkan luka batin
yang hingga saat ini tak kunjung sembuh Inilah harga yang harus dibayar ketika
perbedaan dipahami sebagai rintangan bagi tercapainya tujuan-tujuan egois suatu
kelompok kepentingan yang meletakkan keunikan dirinya di atas segala-galanya.
Namun demikian, pertanyaannya adalah: mungkinkah jatidiri budaya
dilepaskan dari esensialisme? Apabila esensi-esensi yang selama ini dipandang
sebagai penanda-penanda khas sebuah jatidiri tidak menjadi unsur utama jatidiri,
bagaimana jatidiri itu sendiri dapat dipahami, dibayangkan dan dioperasikan dalam
hidup kita dan dalam interaksi kita dengan orang-orang lain?
Jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan ini cukup rumit. Pertama, cara kita
memahami jatidiri yang esensialis ini sudah lama tertanam dalam kesadaran kita.
Setiap kali persoalan jatidiri mengemuka, paradigma yang biasanya muncul adalah
oposisi biner antara “kita” dan “mereka” dan, celakanya, jatidiri baru menjadi
persoalan besar ketika hubungan antara kita dan orang lain yang berbeda dari kita
mengalami suatu krisis. Dalam situasi normal, kita tidak selalu menyadari perbedaanperbedaan antara kita dan orang lain. Siapa orang Dayak dan siapa orang Madura,
misalnya, menjadi persoalan hidup atau mati dalam konflik etnik yang pernah terjadi
di Kalimantan Barat beberapa tahun yang lalu.
Selain itu, agar suatu jatidiri budaya dapat dikonkretkan, sepertinya tak ada
jalan lain kecuali mengidentifikasi unsur-unsur budaya yang diasumsikan sudah
menjadi bagian integral atau “generik” dari diri kita yang, sekali lagi, berfungsi untuk
membedakan budaya kita dari budaya-budaya lainnya. Orang Jawa, misalnya, dapat
dengan mudah membedakan diri mereka dari orang-orang yang berasal dari
kelompok-kelompok etnik lain berdasarkan bahasa ibu mereka (bahasa Jawa), adat
istiadat dan ritual-ritual yang mereka lakukan (selamatan, ruwatan, dsb.), kampung
halaman mereka (yang tidak serta merta identik dengan “tempat kelahiran”), tata
kesantunan, dll.
Namun, dalam konteks Indonesia khususnya, memahami jatidiri dengan caracara di atas bisa sangat problematik. Paradigma “kita” dan “mereka” yang dikotomis
itu mustahil dikenakan untuk orang-orang yang berlatar belakang hibrid. Ada banyak
orang yang kakeknya berasal dari kelompok etnik A, neneknya adalah campuran
antara kelompok etnik C dan D, ayahnya berasal dari kelompok etnik E, dst.
7
Bagaimana orang-orang seperti ini akan diposisikan jatidiri budayanya apabila
paradigma oposisi biner dipaksakan pada situasi ini? Keberadaan jatidiri yang hibrid
ini bukan barang baru di Indonesia karena kawin campur antar etnik sudah terjadi
selama berabad-abad, bahkan di kalangan ningrat di banyak daerah di Nusantara
dahulu. Belum lagi kawin campur antara seorang Indonesia yang jatidiri budayanya
sendiri sudah gado-gado seperti di atas dan orang asing, misalnya. Urusannya bisa
menjadi lebih ruwet lagi.
Persoalan lain adalah banyaknya orang yang berasal dari suatu jatidiri
budaya tertentu di Indonesia yang tidak lahir atau berdiam di wilayah geografis yang
didiami oleh mayoritas kelompok etnik tersebut. Misalnya, ada banyak orang Batak
yang telah lama hidup di perantauan dan barangkali nyaris tak lagi pernah pulang
kampung atau bahkan tidak dilahirkan di tanah Batak. Logat bicaranya pun lebih
menyerupai logat yang digunakan di tempat ia tinggal (Jawa, Sunda, dsb.). Namun,
bisa jadi rasa “ke-Batak-an” mereka masih cukup kental, yakni dalam artian bahwa
mereka masih menganggap diri sebagai orang Batak. Di lain pihak, ada juga banyak
orang yang dilahirkan di Tapanuli atau lama menetap di sana, menguasai bahasa
setempat dengan fasih, menikah dengan orang setempat, dan mencari nafkah di
sana tanpa memiliki perasaan bahwa secara etnik ia berafiliasi dengan etnisitas
Batak.
Tidak jarang, afiliasi etnik seseorang lebih ditentukan oleh dengan siapa ia
berpacaran atau menikah, di mana ia mencari makan, kepada siapa ia bekerja, dst.
Esensialisme, dalam hal, ini, tidak dapat menyelesaikan berbagai persoalan ini
dengan efektif. Dalam situasi konflik, biasanya orang-orang seperti ini dipaksa
eksodus meninggalkan tempat tinggal mereka untuk “pulang” ke kampung halaman
yang belum pernah mereka lihat atau injak dan yang secara psikologis tidak mereka
anggap sebagai kampung halaman. Ini terjadi, misalnya, dalam pemisahan India dan
Pakistan, dalam Balkanisasi di bekas Yugoslavia, dalam konflik antar etnik di
Kalimantan Barat maupun dalam konflik antar agama di Ambon, serta di banyak
daerah-daerah konflik lainnya.
Hal ini mendorong lahirnya pemikiran-pemikiran untuk mendefinisikan
kembali jatidiri atau, paling tidak, cara memandang dan memahami jatidiri. Salah
satunya adalah cara pandang yang melihat bahwa jatidiri selalu berada dalam
interaksi dinamis antara kekuatan-kekuatan eksternal yang ingin memposisikan kita
di luar kehendak kita dan kemampuan diri kita sendiri untuk memposisikan diri
dengan cara yang kita kehendaki. Kekuatan-kekuatan eksternal itu bisa bersifat
politis, historis, ekonomis ataupun budaya dan cenderung mematok jatidiri kita
secara permanen. Dari segi politis, misalnya, kita tahu ada sebagian warga negara
yang memiliki KTP bertanda E.T. (Eks Tapol) akibat “dosa” masa lampau yang
mereka lakukan. Meskipun mereka telah menjalani hukuman, yang tidak jarang
dijatuhkan secara tidak adil, jatidiri mereka tetap dipatok selamanya sebagai mantan
orang yang pernah berdosa kepada negara.
Dari segi ekonomi, misalnya, warga etnik Cina selalu diasosiasikan sebagai
makhluk ekonomi hanya karena sebagian penguasa ekonomi di negara ini berlatar
belakang etnik Cina. Padahal, ada juga banyak warga etnik Cina yang hidup pada
tataran ekonomi lemah atau yang tidak berprofesi sebagai pedagang atau
pengusaha. Masalahnya mungkin tidak akan sedemikian gawat seandainya saja
label-label jatidiri yang dipaksakan tersebut tidak digunakan untuk menyudutkan
mereka. Para eks tapol PKI selalu dihantui kecemasan bahwa mereka aka
senantiasa diawasi dan dikaitkan dengan “bahaya laten” PKI. Warga etnik Cina
8
selalu dibayang-bayangi ketakutan bahwa mereka akan dikambinghitamkan untuk
segala persoalan ekonomi dan kemiskinan yang melanda negara ini. Jadi, setiap
penanda yang digunakan sebagai pembeda juga berpotensi untuk dijadikan stigma
atau “sasaran tembak”, di samping menjadi penanda kebersamaan suatu kelompok.
Tanpa menutup mata terhadap permasalahan ini, setiap orang sesungguhnya
juga memiliki kuasa untuk memposisikan dirinya sendiri dalam suatu konstruk jatidiri
tertentu, meskipun ini berarti menghadapi benturan dengan posisi yang dikenakan
oleh kekuatan-kekuatan eksternal kepadanya. Kuasa ini bisa besar atau kecil, bisa
juga luwes atau kaku, tetapi yang jelas tidak ada orang yang sedemikian tak
berdayanya sehingga ia bahkan sama sekali tidak memiliki kuasa untuk
mendefinisikan dirinya sendiri. Memang, diperlukan keberanian, kepercayaan diri,
dan fleksibilitas agar seseorang mampu memiliki kuasa untuk menentukan
bagaimana caranya memandang dan memaknai dirinya sendiri, terutama ketika
kekuatan-kekuatan eksternal yang menghalanginya amat besar. Namun,
kemungkinan untuk memberdayakan diri lewat penentuan jatidiri kita sendiri selalu
ada.
Bahkan, jatidiri pada tataran personal pun sesungguhnya sudah bersifat
majemuk, meskipun tidak selalu kita menyadari hal ini. Seseorang pada saat yang
bersamaan bisa saja adalah seorang dosen, PNS, konsultan sebuah perusahaan
swasta, ayah dua orang anak, suami, kakek seorang cucu, beragama Kristen,
berasal dari kelompok etnik Toraja, memiliki status sosial menengah, simpatisan
Partai Golkar, dst. Ini semua adalah penanda-penanda jatidiri yang hadir bersamasama dan tidak dapat direduksi menjadi satu penanda belaka yang dominan.
Semuanya penting dan semuanya bersama-sama membentuk jatidiri orang itu.
Karena itu, memandang seseorang secara eksklusif dari segi etnisitasnya saja, atau
agamanya saja, atau yang lainnya, bukan hanya salah kaprah tetapi juga merupakan
cara pandang yang tidak compatible dengan masyarakat yang multikultural.
Di dalam konteks multikulturalisme, keluwesan dan kemajemukan jatidiri
inilah yang menyediakan landasan bagi pengembangan empati terhadap orang lain
atau kelompok lain karena selalu saja akan ada titik-singgung dan persamaan antara
kita dan orang lain. Tidak peduli apakah kita orang Sunda, atau orang Makassar,
atau orang Papua, kita menghadapi persoalan-persoalan yang sama, seperti
kemiskinan, tingginya angka pengangguran, meningkatnya kejahatan, ruwetnya
birokrasi di kantor-kantor pemerintah, mahalnya harga sembako, dsb., yang apabila
mau dipikirkan dengan serius akan cukup menyedot tenaga dan pikiran kita, apalagi
jika kita juga pada saat yang sama harus menghitung-hitung perbedaan-perbedaan
yang ada di antara kita.
Penciptaan solidaritas antar kelompok juga hanya dapat mulai dikerjakan
dengan titik-tolak pengertian jatidiri yang berdimensi jamak di atas. Jatidiri individual
tidak dapat sama sekali dilepaskan dari interaksi antar kelompok dan antar manusia
apabila kita sepakat dengan redefinisi jatidiri di atas karena setiap komponen dalam
jatidiri kita bersinggungan dengan suatu komponen dalam komunitas tempat kita
hidup. Jatidiri budaya atau etnisitas kita tidak bisa dilepaskan dari profesi yang kita
tekuni, agama yang kita anut, organisasi politik yang kita ikuti. Dengan demikian,
besar kemungkinan bahwa kita harus kerap berinteraksi dengan orang lain dari
etnisitas yang lain tetapi yang mungkin dipersatukan dengan kita dalam komunitas
profesi, atau agama, atau afiliasi politik yang sama.
9
Jatidiri budaya hanyalah sehelai benang dalam jaring-jaring hubungan yang
kompleks yang membangun suatu komunitas multikultur. Ada helai-helai lain yang
secara langsung atau tak langsung terhubung dengan helai jatidiri budaya tersebut.
Ada jatidiri yang berkenaan dengan agama, yang menyatukan kita dengan
sekelompok manusia tetapi juga membedakan kita dari sekelompok manusia yang
lain. Ada jatidiri bahasa yang juga berfungsi kurang lebih sama, dan masih banyak
jatidiri-jatidiri lainnya yang membentuk kebangsaan, hidup bermasyarakat, dan
interaksi sosial. Tekanan yang terlalu berlebihan yang diberikan pada jatidiri budaya
saja dapat menimbulkan retakan-retakan dalam suatu komunitas kebersamaan
karena merusak seluruh hubungan yang ada dalam jaring-jaringnya.
Keadilan sosial adalah tujuan dari kebersamaan itu sekaligus perekat dari
kebersamaan itu. Tidak mungkin suatu upaya mencapai keadilan dapat dilakukan
secara parsial karena keadilan sosial adalah suatu tujuan bersama, dan ketika
upaya-upaya parsial dicoba untuk dipaksakan, perekat kebersamaan itupun
terancam lumpuh. Di dalam konteks otonomi daerah, hal ini bisa dengan mudah
muncul, khususnya ketika daerah-daerah—yang sebagian nota bene ditentukan
berdasarkan komposisi etnik—saling mengklaim apa yang menjadi hak milik mereka
dengan cara saling “berebutan” sehingga menjurus pada pertikaian antar daerah.
Kita harus belajar dari apa yang terjadi di Kashmir, yang diklaim baik oleh India
maupun Pakistan, yang mengorbankan penduduk yang tinggal di wilayah sengketa
tersebut. Persoalan semacam ini bukan mustahil muncul sebagai salah satu dampak
sampingan desentralisasi, khususnya apabila eksklusifisme daerah—yang tak jarang
sejalan dengan ekslusifisme etnik—yang dipupuk dan ditumbuhkan.
Pekerjaan rumah kita dalam membangun suatu masyarakat multikultural
masih setumpuk, dan jumlahnya malahan kian banyak dengan adanya otonomi
daerah dan desentralisasi. Dalam konstruk jatidiri yang majemuk, kita harus selalu
terbuka terhadap kemungkinan terjadinya konflik dan ketidakselarasan sembari
menyadari bahwa kita pada saat yang sama terimplikasi dalam atau menjadi bagian
dari kedua kubu yang bertikai karena jatidiri kita dan kehidupan kita, serta kubu-kubu
yang
bersebarangan
itu,
semuanya
adalah
bagian
dari
suatu
kebersamaan…seandainya kita masih ingin melihat terwujudnya sebuah masyarakat
multikultural yang sehat di Indonesia. Atau, kita membiarkan multikulturalisme
dibajak oleh kelompok-kelompok yang anti kemajemukan dan alergi terhadap
perbedaan akibat kebodohan dan keegoisan kita sendiri.
**********