PENINGKATAN KEMAMPUAN LITERASI MAHASISWA DI ERA
DIGITAL
Ardhiwinda Kusumaputra, SH., MH.
Disampaikan dalam Pembekalan Penulisan Karya Tulis Mahasiswa
Fakultas Hukum
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
15 Maret 2020
A. Pendahuluan
Mahasiswa merupakan agen perubahan (agent of change). Pernyataan
demikian itu tidak lepas dari peran mahasiswa yang mampu memberikan
gagasan atau terobosan kreatif di segala bidang. Apalagi di era digital saat ini
yang menghendaki dinamika yang sangat pesat. Ditinjau dari perspektif ilmu
sosial, menurut Soerjono Soekanto, agen perubahan artinya adalah seseorang
atau sekelompok orang yang mempunyai kemampuan untuk mengelola suatu
kondisi menjadi ke arah yang lebih baik.1 Meskipun demikian, sebagai sosok
agen perubahan, masih terdapat kemungkinan justru akan membawa ke arah
yang sebaliknya.
Menghadapi tantangan yang demikian itu, tentu diperlukan adanya
modal yang tidak hanya diukur secara finansial. Modal yang dimaksud adalah
pola berfikir dan kebiasaan (habbit) produktif. Salah satunya ditunjang melalui
kegiatan literasi. Secara konseptual literasi merupakan kegiatan membaca dan
menulis secara terstruktur. Bahkan lebih lanjut turut dijelaskan pula bahwa
literasi seperangkat kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, berbicara,
menghitung, menganalisis dan menyelesaikan masalah. Literasi memberikan
manfaat bagi seseorang untuk memahami secara tepat berbagai informasi yang
ada. Secara ringkas dapat dipahami pula bahwa literasi merupakan modal bagi
seorang mahasiswa sebagai agen perubahan. Tanpa literasi, maka akan sulit
untuk mengarahkan pada perubahan yang lebih baik. Bahkan, gagasan dan
inovasi tidak muncul begitu saja. Pasti didahului adanya kegiatan literasi yang
1
Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 2008, hlm. 273.
1
membantu memperkaya wawasan dan pengetahuan, sehingga muncul berbagai
ide kreatif.
Di era digital saat ini, akses untuk mendapatkan bacaan sebagai bahan
literasi, sangat mudah di dapat. Berbeda dengan 30 atau bahkan 50 tahun yang
lalu, ketika teknologi masih sangat terbatas. Penelusuran bahan bacaan
dilakukan secara klasikal, seperti mengunjungi perpustakaan atau bahkan
mencuri sela untuk membaca di toko buku.
Namun, akses kemudahan yang saat ini ada sering kali tidak
dimanfaatkan secara bijak. Pada tahun 2016, berdasar pada Survey yang
dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity, Indonesia justru
menempati urutan ke-61 dari 62 negara di dunia dalam bidang literasi. Posisi
pertama adalah Singapura, yang diikuti Jepang, Jerman, Hongkong, Finlandia,
dan Kanada. Memang bukanlah suatu persoalan yang mudah untuk
meningkatkan literasi, khususnya di era saat ini. Perlu ada pendekatan tersendiri
guna membangkitkan minat dan gairah literasi. Memulai dari hal kecil yang
dapat memberikan makna lebih.
B. Memahami Literasi
Ajaran agama, khususnya islam telah diajarkan bahwa surah Al-Qur’an
pertama yang di turunkan di bumi adalah Al-Alaq ayat 1-5. Amanah dari Allah
yang diturunkan melalui Nabi Muhammad, secara jelas disebutkan “iqra”, yang
berarti “bacalah”. Sebagaimana terjemahan dari surah tersebut yaitu:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.” (QS:Al-‘Alaq | Ayat: 1-5).
Mempertegas bahwa, manusia haruslah membaca. Tanpa membaca
maka tidak akan ada yang diketahui. Bacaan adalah sumber utama pengetahuan.
Pada dasarnya manusia sebagai insan haruslah senantiasa membaca. Berdasar
pada itu pula, jika muncul sebuah pertanyaan, manakah yang lebih dulu harus
dilakukan antara membaca dan menulis, maka jelas jawabannya adalah
membaca. Tulisan dihasilkan berasal dari bahan bahan bacaan.
2
Kegiatan literasi, adalah sebagai manifestasi dari apa yang menjadi
amanah dari ajaran tersebut. Bahkan, tidak hanya satu ajaran agama, tetapi
ajaran agama lain pun juga menghendaki untuk membaca. Literasi dapat
dikatakan sebagai bentuk pengembangan, dimana setiap orang tidak hanya
sekedar membaca, tapi juga pada taraf memahami isi dari pada bacaan tersebut.
Menuangkan kembali ataupun mengembangkan dari isi bacaannya. Melakukan
modifikasi dari bahan bacaan, dengan kata lain seperti prinsip dalam bisnis
yaitu “amati, tiru, modifikasi”. Mengamati dalam hal literasi, sama halnya
dengan membaca. Untuk kemudian dapat memunculkan ide atau gagasan yang
dikembangkan.
Sebagai contohnya pula, ketika Plato menulis tentang teori keadilan.
Memberikan pemahaman bahwa keadilan merupakan sesuatu hal yang tidak
dapat dipahami oleh manusia biasa. Plato juga meletakkan dasar pemikiran
tentang keadilannya pada hal yang bersifat metafisis. Keadilan merupakan
kehendak dari pada Tuhan. Di sisi lain, Plato juga memandang bahwa keadilan
dapat terwujud apabila dipimpin oleh manusia super, “the king of philosopher”.2
Tulisan Plato itu kemudian dibaca oleh berbagai khalayak, termasuk
salah satunya adalah Aristoteles, yang kemudian mengembangkan dari tulisan
Aristoteles tersebut. Setidaknya menurut Aristoteles terdapat beberapa
pendapat tentang keadilan, yaitu keadilan distributif, komunikatif, kodrat alam,
dan konvensional. Antara Plato, dan Aristoteles, pada dasarnya sama-sama
berada pada lingkup bacaan tentang keadilan. Namun, setelah Aristoteles
membaca hasil tulisan Plato, maka dia memberikan pandangan lain. Hal ini
merupakan salah satu bentuk literasi yang sudah dilakukan sejak jaman dahulu,
sebelum masehi.
Memang, literasi dari jaman ke jaman terus mengalami perkembangan.
Mulai dari model yang bersifat klasik dengan membaca buku cetak, hingga
sampai di abad ke-21 ini dengan era digitalnya. Idealnya, kondisi kekian
harusnya membawa dampak positif untuk pengembangan. Apalagi secara
konseptual dapat dipahami bahwa literasi merupakan suatu kemampuan literasi
2
Deliar Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Cetakan II Edisi Revisi, Bandung: Pustaka
Mizan, 1997, hal. 1-15.
3
seperangkat kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, berbicara,
menghitung, menganalisis dan menyelesaikan masalah.
Jika ditelaah lebih lanjut, apalagi literasi yang dilakukan pada tatanan
mahasiswa, tidak sekedar membaca. Tapi turut dianalisis dan dituangkan
kembali dalam sebuah tulisan baru. Di era yang serba digital ini, kemudahan
akses, dan banyaknya bahan bacaan, tentu harus didukung pula dengan mencari
sumber kebenarannya. Apalagi jika yang bahan yang dibaca tidak didukung
dengan latar belakang identitas bacaan yang jelas.
Pada dasarnya, bahan bacaan untuk melakukan literasi, dapat
menggunakan sumber bacaan apapun. Tidak harus buku yang sifatnya baku,
tapi juga dapat didukung dengan visualisasi gambar, ataupun juga dalam berita
baik cetak maupun digital. Oleh karena itu, di era saat ini juga dikenal adanya
literasi digital. Memang, antara paham “literasi” dengan “literasi digital”
tidaklah sama, tapi esensi literasi digital sama dengan pengertian literasi, sebab
dasar pijakan munculnya literasi digital berawal dari literasi. Literasi digital
diartikan sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi
dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber yang sangat luas yang diakses
melalui piranti komputer.3 Perbedaan mendasarnya adalah pada sumber
informasi yang secara khusus lebih diarahkan pada sumber yang diakses
melalui jaringan elektronik (seperti internet). Melalui adanya literasi digital itu
pula, maka serangkaian kemudahan dan keuntungan seperti, fleksibilitas waktu,
ruang untuk membaca, hingga penghematan secara finansial.
Namun, literasi maupun literasi digital, haruslah dipahami sebagai suatu
kesatuan. Apalagi keduanya sama-sama berorientasi pada kemampuan
membaca, menulis dan menganalisis dari sumber bacaan.4 Literasi adalah
modal utama dalam menjalani segala aspek kehidupan. Tanpa adanya literasi,
hidup akan terasa hampa. Manusia dengan kesempurnaan akal dan pikirannya,
harus mampu memanfaatkannya, khususnya dalam bidang literasi.
3
Rullie Nasrullah, et.al., Materi Pendukung Literasi Digital, Gerakan Literasi Nasional, Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017, hlm.
4
Ibid.
4
C. Literasi sebagai Bagian dari Kehidupan Mahasiswa
Sebagaimana telah ditegaskan sebelumnya, bahwa mahasiswa adalah
agen perubahan. Berdasar pada pernyataan tersebut, memang perubahan yang
dimaksud dapat mengarahkan pada perubahan positif, maupun perubahan
negatif. Apalagi, jika mendasarkan pada fakta bahwa mayoritas usia
mahasiswa, masih dalam usia muda. Hal ini menjadikan mahasiswa sebagai
pemikul tanggungjawab masa depan peradaban.
Tantangan mahasiswa di era global dan digital saat ini, semakin kuat
dan kompetitif. Dibutuhkan adanya soft skill dan hard skill, yang seimbang.
Keduanya sangat dibutuhkan baik dalam lingkup jenjang pendidikan hingga
pekerjaan. Tidak terbatas hanya pada satu atau dua soft skill dan hard skill, tapi
harus memiliki lebih dari itu.5 Mendobrak kemampuan dan batas diri, keluar
dari zona nyaman. Bahkan dalam bahasa kekinian, sering dikatakan bahwa
“pintar aja gak cukup!”. Hal ini semakin mempertegas bahwa setiap orang,
khususnya para mahasiswa juga memerlukan berbagai kemampuan.
Secara mendasar, literasi masuk pada lingkup hard skill. Kemampuan
ini juga dapat diukur berdasarkan ketepatan membaca dan menuangkan kembali
dalam tulisan. Literasi merupakan kemampuan wajib yang harus ada pada setiap
mahasiswa, dengan berbagai bidang keilmuan, termasuk salah satunya adalah
bidang ilmu hukum.
Sebenarnya, jika melihat pada fakta kehidupan mahasiswa di era saat
ini, tidak dapat dilepaskan dari aspek literasi, khususnya ketika memandang
pada literasi digital. Kehidupan mahasiswa yang tidak dapat dilepaskan dari
gawai (seperti telepon gengam/pintar), mampu mengantarkan pada akses
literasi yang sangat mudah. Hanya saja, perlu diukur kembali, apakah bahan
bacaannya termasuk dalam lingkup bacaan bermanfaat dan ilmu pengetahuan
atau bukan. Sebagai contoh, ketika para mahasiswa membaca “status dari
mantan pacarnya”, secara sederhana ini telah masuk dalam salah satu ranah
literasi, yaitu membaca, namun tentunya bukan bacaan yang berhubungan
dengan bidang ilmu pengetahuan.
5
Nurani Soyomukti, Pendidikan Berperspektif Globalisasi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008,
hlm. 27-29.
5
Pada dasarnya literasi menghendaki seseorang untuk membaca bacaan
yang mempunyai esensi ilmu pengetahuan. Sebagai contohnya, seorang
mahasiswa fakultas hukum, maka lingkup bacaannya seputar ilmu hukum, yaitu
hukum perdata, hukum tata negara, hukum pidana, hukum internasional, dan
berbagai macam ilmu hukum lainnya. Namun, pada tatanan literasi ini, memang
tidak hanya dibatasi pada satu bidang saja. Mahasiswa sangat perlu untuk
mengasah dan menambah wawasan ilmu pengetahuannya melalui berbagai
macam bidang bacaan, baik itu politik, ekonomi, kreativitas, seni dan berbagai
hal lainnya. Mengingat pula bahwa hidup itu tidak monoton.
Menghidupkan dan membangkitkan semangat literasi memang butuh
kemauan dan kesadaran. Apalagi jika sejak awal tidak terbiasa untuk melakukan
literasi. Mendasarkan pada teori Pierre Felix Bourdieu, yang sering disebut
sebagai teori campuran atau teori “gado-gado”, berkaitan dengan praktik
sosial.6 Pada prinsipnya, teori ini mengarahkan pada pola kehidupan sosial yang
lebih efektif dan implementatif. Setidaknya terdapat empat prinsip dasar dalam
teori ini yang mampu menjadi metode dalam membangkitkan semangat literasi.
Pertama, habbit; habitus, yaitu kebiasaan. Habitus merupakan
pembatinan nilai-nilai sosial budaya yang beragam dan rasa permainan (feel for
the game) yang melahirkan bermacam gerakan yang disesuaikan dengan
permainan yang sedang dilakukan. Habitus adalah hasil internalisasi struktur
dunia sosial, atau struktur sosial yang dibatinkan.7 Kebiasaan itu muncul bukan
anugrah dari lahir, tetapi karena internalisasi pembelajaran pengasuhan,
pembelajaran, maupun melalui sosialisasi dalam masyarakat. Sejalan dengan
pernyataan tersebut, maka literasi haruslah menjadi sebuah kebiasaan. Metode
dan proses pembelajaran, khususnya yang dilakukan di lembaga pendidikan
adalah sarana untuk mengantarkan pada kebiasaan literasi. Menjadikan literasi
sebagai suatu kebiasaan yang konsisten dapat dimulai dengan hal kecil,
misalnya membiasakan membaca 1 halaman setiap hari di waktu yang sama.
6
Mangihut Siregar, “Teori “Gado-gado” Pierre-Felix Bourdieu”, Jurnal Studi Kultural Vol. 1: 2,
2016, hlm. 79-82.
7
Fauzi Fashri, Pierre Boudieu: Menyingkap Kuasa Simbol, Yogyakarta: Jalasutra, 2014.
6
Sebagai contoh, di Jepang terdapat suatu prinsip yang disebut sebagai
“Kaizen”.8 Secara harfiah dalam Bahasa Jepang, kaizen berarti perbaikan yang
berkesinambungan.
(continuous
improvement).
Perbaikan
yang
berkesinambungan ini, dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan yang
lebih baik. Secara prinsip, aspek yang dapat diambil dalam kaitannya
membangun semangat literasi sebagai kebiasaan berdasar pada prinsip kaizen
adalah menempatkan suatu tindakan dalam satu waktu yang sama. Sebagai
contoh, membiasakan diri untuk meluangkan waktu membaca satu halaman
buku di jam 9 pagi. Kegiatan tersebut dilakukan secara terus menerus dan
konsisten.
Kedua, field; arena, yang merupakan area. Hal ini ditafsirkan sebagai
suatu lembaga, khususnya yang bergerak pada sector formal seperti lembaga
pendidikan universitas. Hal ini mempunyai keterkaitan yang erat dengan
“habbit”, sebab lembaga pendidikan ini mampu mendorong dan menstimulan
kegiatan literasi bagi mahasiswa. Lembaga pendidikan universitas ini bertugas
untuk mengarahkan mahasiswa, termasuk salah satunya melalui kegiatan
pembekalan karya tulis ilmiah.
Ketiga, modal, atau dengan kata lain bekal. Menyusun paradigma bahwa
literasi dijedikan sebagai modal utama dalam kehidupan. Sebagaimana diulas
sebelumnya bahwa literasi tidak dapat dilepaskan dari aspek kehidupan. Ibarat
menjalankan sebuah bisnis, maka literasi ini adalah modal utamanya. Apalagi
memperoleh literasi di era digital kian mudah dan praktis. Tidak memerlukan
tambahan uang untuk mendapatkan referensi bacaan. Bahkan, saat ini
pemerintah juga telah gencar untuk memaksimalkan metode kampus merdeka.
Diharapkan para mahasiswa mampu secara aktif untuk mencari berbagai
sumber belajar, dan tidak sepenuhnya bergantung pada apa yang diberikan,
khususnya oleh lembaga pendidikan. Hal ini mengingat pula bahwa lembaga
pendidikan adalah fasilitator, yang menyediakan kebutuhan peserta didiknya
untuk berkembang dan mengarahkan pada pola pemikiran yang konstruktif,
kreatif dan inovatif.
Patricia Diana Paramita, “Penerapan Kaizan dalam Perusahaan”, Faklutas Ekonomi Universitas
Padanaran, 2015.
8
7
Selain dari aspek sebagaimana yang dijelaskan tersebut, ada beberapa
hal lain juga yang perlu diperhatikan dalam hal literasi, khususnya di era digital
dengan adanya literasi digital. Beberapa hal tersebut antara lain:
1. Kultural, yaitu pemahaman ragam konteks pengguna dunia
digital;
2. Kognitif, yaitu daya pikir dalam menilai konten;
3. Konstruktif, yaitu reka cipta sesuatu yang ahli dan aktual;
4. Komunikatif, yaitu memahami kinerja jejaring dan komunikasi di
dunia digital;
5. Kepercayaan diri yang bertanggung jawab;
6. Kreatif, melakukan hal baru dengan cara baru;
7. Kritis dalam menyikapi konten; dan
8. Bertanggungjawab secara sosial
Perlu ditegaskan kembali, bahwa literasi adalah modal utama yang harus
ada, khususnya pada kalangan mahasiswa. Literasi menjadi bekal dalam
membangun inovasi, kreasi, bahkan dalam miningkatkan efisiensi kerja. Hal ini
menjadi penting untuk menempatkan literasi sebagai bagian dari kehidupan
mahasiswa, khususnya di era digital.
D. Penutup
Mahasiswa adalah agen perubahan yang menjadi harapan dan penerus
bangsa. Kemajuan peradaban suatu bangsa ada pada tiap generasinya. Literasi
adalah bagian dari bekal mahasiswa untuk membawa perubahan yang lebih baik
bagi bangsanya. Oleh karena itu literasi harus ditempatkan sebagai bagian
kehidupan yang tidak terpisahkan. Memulai kegiatan literasi dari hal yang
terkecil, dengan menempatkannya sebagai kebiasaan, dengan dibantu unsur
lembaga, serta menempatkannya sebagai modal. Era digital ini, memberikan
akses yang lebih baik untuk membangun literasi.
8