Darsim
konon, kata ini adalah nama atau sebutan bagi setan yang suka bikin onar di keramaian
mantog: pulang
ngagimbung: mengitari sesuatu secara bersamaan
eueuriheun: terisak-isak
soak: lemah
puguh juntungnya: jelas awal-akhirnya
cacamuilan: keadaan mulut mengunyah yang penuh makanan
cunihin: genit (—untuk laki-laki yang biasanya suka menggodai perempuan)
mentrang-mentring: panas terik yang sangat
Acep Utsman Arifin, alumnus Fakultas Sastra Unvirsitas Padjadjaran; menulis dalam Basa Sunda dan Bahasa Indonesia; kini bergiat di Komunitas Langit dan akarrumput
Dan karena semua berawal dari kabar-kabar angin yang tak hinggap-hinggap. Berseliweran mencari lubang-lubang telinga orang-orang yang senang mendengarkannya. Singgah sebentar, menanam bijian busuk untuk disemai di ketandusan tempat yang disinggahinya itu; kemudian terbang lagi mencari sudut-sudut, pelosok-pelosok, hingga kolong-kolong yang gelap. Semua berasal dari sebuah gosip, meyebar dari mulut-mulut berbau tak sedap yang masuk ke dalam telinga, kemudian telinga itu bekerja sama dengan mulut untuk kemudian disebarkan lagi ke telinga-telinga lain dan begitu seterusnya dan seterusnya—kita yang sudah terbiasa dengan ungkapan gampang dan sederhana, menyebutnya: dari mulut ke mulut (betapa mudah bikin ungkapan). Hingga kabar itu membuat otak-otak mengepul, kepala-kepala memanas, kaki-kaki kesemutan, tangan-tangan gatal-gatal, tubuh-tubuh pegal-pegal.
“Dia itu guru, lho.”
“Ya, dan ia janda. Eh bukan, belum di cerai. Cuman dimadu.”
“Ya, dan dia ketua RT. RT sebelah itu lho.”
“Ya, ia haji juga. Eh, bukan. Belum haji. Suaminya aja yang haji.”
Dasar!
Sudah berminggu-minggu sebenarnya cerita, eh, kabar itu underground, gosip itu dihantarkan oleh mulut-mulut itu ke dalam telinga-telinga itu secara sembunyi-sembunyi: di dapur, di dalam kamar calon pengantin, di pos kamling, bahkan di WC umum. Tapi rupanya dia (baca: kabar itu) sudah bosan terus menerus berada di tempat gelap. Dia ingin terang-terangan. Dia ingin terang secara terus terang ditahui dan diketahui orang-orang. Maka dia pun keluar dari tempat gelapnya, kegelapan tempatnya: menyeruaklah dia menuju tempat-tempat terang.
Aih, mulut-mulut itu makin menganga lebar-lebar mengeluarkan kata-kata yang belibetnya bukan main. Alangkah ternyata, telinga-telinga yang dimasukinya (bukan dimasuki mulutnya dong, pastinya) tampak ikhlas menyambut semua kesimpangsiuran kata-kata yang lalu-lalang, hiruk-pikuk dan sebangsanya itu. Bahkan, rupa-rupanya telinga-telinga itu masih merasa lapar akan kata-kata.
“Eh-eh, katanya mereka pacaran.”
“Bukan pacaran itu namanya. Selingkuh!”
“Ya, ya. Itu, itu maksiat itu! Mesti dibasmi itu.”
“Ya, iya. Tapi kan…”
***
Pagi-pagi benar. Embun pun belum mengering sudah. Seorang perempuan setengah baya menjerit-jerit memohon-mohon. Parau suaranya, “Ampun, ampun bu. Bukan, bukan saya. Demi Tuhan, saya tidak pernah melakukannya. Ampun, ampun.”
“Ah, jangan ngeles kamu, bangsat. Setan kamu!”
Beberapa orang, dari tidak seberapa itu, cepat-cepat menghampiri mereka: seorang perempuan yang berteriak minta ampun karena rambutnya kena jambak perempuan “gagah” bertubuh tambun. Tangan itu terlihat kekar dan berisi sedang kepala yang dijambaknya tak kuasa menahan beban berat yang makin lama makin memberat kelihatan. Tangan itu ternyata digerak-gerakkan ke berbagai arah yang tak menentu—kanan, atas, bawah, kanan lagi bawah lagi, kiri, kiri lagi, kanan lagi, lagi, lagi—hingga kepala yang itu ikut saja ke mana saja tangan itu berarah, menuju, bergerak. Ah, kasihan!
“Hey, hey jangan, hey!”
“Hey, bu, sudah. Sudah, sudah bu. Ayo lepaskan!”
Tangan masih kuat-kuat menjambak rambut.
“Jangan keburu napsu, bu. Kita bicarakan dulu, ada apa ini?”
Seorang lelaki yang sedari mula berusaha melerai mereka, meleraikan tangan yang menguasai rambut, mulai tampak naik pitam. Apalagi dia lihat yang lain malah melongo menontoni mereka. Tekanan darahnya barangkali meninggi hingga melewati puncak yang paling didih. Ia sudah berkali-kali mencoba melepaskan cengkeraman tangan pada rambut dengan segala daya dan tenaganya, tapi tak mau lepas-lepas juga rupanya. Susah payah lelaki itu. Tampak keringat berleleran membentuk sebuah aliran di pipinya. Akhirnya, lepas juga. Ah, lega!
Perempuan setengah baya itu kemudian berlari tergesa-gesa masuk ke dalam rumah tetangganya sambil menangis terisak-isak. Sementara perempuan tambun yang beberapa jenak yang lalu menjambak rambutnya masih juga mengutukinya, memuntahkan segala kekesalan yang tampaknya sudah cukup lama ia pendam dalam hati nurani-nya. Wah, perempuan tambun itu memak-makinya dengan kata-kata kotor-kotor dan kasar-kasar: segala macam nama binatang keluar dari mulutnya, jenis-jenis kelamin, jenis-jenis kotoran, jenis-jenis makanan, minuman, pekerjaan, dan berjenis-jenis lain yang berlainan jenis. Wah, lengkap sudah.
Beberapa orang sekitarnya berusaha menenangkannya—meski kebanyakan dari mereka terbengong-bengong demi mendengar berjenis-jenis ucapan dari mulutnya itu. Tak berapa lama seorang dari sekian anaknya yang juga sama-sama tambun keluar dari rumahnya. Menghampirinya, lalu menggandengnya. Mantog!
Dalam rumah, yang dimasuki perempuan setengah baya itu, lain lagi. Orang-orang ngagimbung merembugi perempuan yang masih eueuriheun itu.
“Ada apa bu?”
“Saya dituduh. Saya, tiba-tiba dijambak, terus hampir saja, saya, kena hantamnya. Saya, sungguh, tidak. Saya tidak, bu, pak.” Terbata-bata perempuan itu berkata-kata. Suaranya timbul-tenggelam sebab menahan isak-tangisnya yang masih bersisa, banyak pula rupanya.
Si empunya rumah menyodorkan air hangat segelas. Perempuan itu langsung menyambarnya dan mereguknya hingga tandas tiada sisa. Haus rupanya. Untung tidak juga lapar. Kalau juga lapar: bisa juga habis itu gelas digerusnya.
“Ada seseorang,” Perempuan itu belum tuntas. Semua hadirin—termasuk hadirot—menunggu. Mereka menunggu “seseorang” yang diucapkan. Kasihan juga mereka: “seseorang” kok ditunggu.
“Ah, pokoknya tidak. Saya tidak,” Mereka terbengong-bengong.
“Tidak apa?” Hampir berbarengan seperti paduan suara.
“Ya pokoknya tidak. Saya tidak melakukannya, saya tidak nelepon.”
“Nelepon?” Lagi-lagi hampir bareng. Dan lagi-lagi terbengong-bengong mereka. Dan masih terbengong-bengong seperti semula: tak mengerti atas pendengaran mereka sendiri—salah siapa coba?
“Ya nelpon. Nelpon suaminya, ngasih tahu kalo perempuan gembrot itu pacaran sama guru yang brengsek itu.”
Mereka clingukan. Aih, mereka terbengong-bengong lagi, tambah pula mereka terbingung-bingung—padahal, kalau dipikir-pikir: buat apa terbingung-bingung, terbengong-bengong saja sudah cukup kan?
***
Tengah malam. Tinggal suara jengkerik dan beberapa binatang lainnya saja yang bersisa.
Lelaki itu mondar-mandir saja kerjanya. Berkali-kali melalui jalan yang itu-itu juga. Bolak-balik keluar-masuk gang yang sudah berkali-kali dilewatinya. Sesekali juga ditengokkannya kepalanya ke sebuah rumah yang lumayan mewah di sekitar situ, kemudian melengoslah dia setelah dia rasa cukup: melirik awas ke arah lain, ke penjuru-penjuru lain. Mungkin kuatir kalau-kalau ada mahluk lain yang mengawas-awasinya. Seekor tikus menyembul dari sebuah lubang, bak kontrol selokan. Tikus itu melesat di depannya: dia tersentak, kaget!
Malam makin hitam. Jengkerik-jengkerik sudah mulai kelelahan: suara kepakan sayapnya sudah sedemikian lemah seperti radio transistor yang baterenya sudah soak. Angin sudah mulai terasa pagi dan sudah mulai menurunkan embun-embun untuk berhamparan dirumput-rumput dan daun-daun, atau genting-genting dan ranting-ranting, atau segala yang pantas dan bisa dihampari embun. Bintang-bintang mulai menjauh, bahkan sudah banyak yang hilang dari peredaran. Lelaki itu pun: mungkin ditelan setan!
***
“Begini pak, asal muala, eh, asal muasal istri saya diserang oleh perempuan gendut jelek yang sialan itu. Dia, perempuan gembrot itu pak, digosipkan pacaran sama si guru yang katanya sekarang jadi ketua RT itu. Nah, selidik punya selidik, ternyata bukan cuma gosip pak. Itu fakta, pak, pakta. Eh, fakta. Bener, ini betul. Benul, eh benar pak. Saya tidak mengada-ada. Sudah surpey, eh anu, surfey saya pak. Sok lah saya mah berani sumpah.” Ujar sang suami.
“Iya pak, benar,” Sang istri menimpali. “Kalo Bapak mau tahu nih, saya kasih tahu, ya pak. Si guru itu, si RT yang sialan itu, dia itu manusia bejat, pak. Dia itu nggak pantas jadi guru. Apalagi jadi RT. Dia itu pantasnya jadi… jadi apa itu, jadi germo. Atau paling banter jadi fleyboi. Bapak tahu kan maksud saya pak? Nah betul itu. Bapak mau tahu kenapa saya omong gitu itu pak? Saya kasih tahu ya pak. Nih ceritanya begini: waktu saya lagi main batminton sama ibu-ibu PKK, tiba-tiba dia nyamperin pak. Terus, dia ngedeketin saya pak. Dia itu cunihin pak. Terus dia ujug-ujug bilang gini ke saya pak: ‘bu, kayaknya seumuran ibu dagingnya lagi enak-enaknya.’ Dia, si guru sialan itu ngajak saya maen pak. Bapak ngerti maksud saya kan pak? Dia ngajak maen sama saya, ngajak gituan pak, coba bapak pikir itu. Apa pantas itu guru omongnya kayak gitu?”
“Malah pernah kata orang, dia itu anu…”
“Nah! Sejak itu, pak, sejak kejadian itu, saya nggak pernah nganggap dia lagi. Maksud saya itu pak, saya nggak pernah nganggap dia ada. Saya nggak pernah nyapa dia apalagi ngajak beteguran. Kalo nggak percaya boleh tanya sama ibu-ibu PKK di …”
“Tuh kan, banyak yang tahu itu. Ibu-ibu, anak-anak muda-mudi. Semuanya. Saya aja, suaminya, ba…”
“Iya, itu, suami saya ini…”
“Katanya pak, kata istri saya ini, kalo saya dikasih tahu waktu itu, waktu kejadian itu, katanya istri saya takut kalau-kalau saya nanti marah-marah sama dia terus takut kalau-kalau saya ngelakuin hal-hal yang bukan-bukan.”
Mereka terus berceloteh, berbusa-busa, tanpa memberi sang aparat (baca: Pak Kades) kesempatan untuk bahkan mengeluarkan sesuara pun. Akhirnya sang aparat manggut-manggut saja mendengar-dengarkan omongan mereka yang tidak puguh juntrungnya itu.
“Jadi pak, kesimpulannya kami datang kemari ini yaitu kami ingin masalah ini, masalah yang tadi pagi-pagi itu, segara diselesaikan sampai tuntas. Jangan sampai dibiarkan berlarut-larut.” Sang istri, setelah menyikat habis segelas teh manis dan beberapa buah pisang goreng yang disuguhkan oleh tuan rumah.
“Ya, itulah, pak, kenapa kami datang kemari dan membicarakan hal ini. Kami ingin ketegasan. Kami ingin penyelesaian yang tuntas dan tegas. Kami tidak ingin ini berlanjut dengan hal-hal yang tidak baik, tentunya bapak juga mengerti. Kalau mau, kami juga bisa bertindak jahat. Kami bisa saja tidak melaporkan kejadian ini kepada bapak. Kami bisa bertindak sendiri. Kami bisa-bisa main hakim sendiri. Bapak ngerti kan maksud saya pak? Ya, bapak pasti ngerti. Masak iya bapak? Atau bisa saja kami menempuh jalur hukum, biar tahu rasa dia, punya urusan sama siapa. Gini-gini, kakak saya dari istri ibu saya yang, eh, kakak saya, yang ibunya itu istri kakak bapak saya, eh, gimana ya. Lah pokoknya saya punya saudara yang pulisi, pak. Jadi kalo mau, saya…”
“Nah, pokoknya, itu sebab kami datang kemari pak. Kami ingin penyelesaian yang segera.” Sang istri lagi, lagi-lagi.
Aih, akhirnya. Akhirnya mereka pulang setelah sedikit wejangan dari sang aparat itu, dengan beberapa embel-embel untuk segera menuntaskan segala perkara yang mereka adukan. Tentunya pun, dengan beberapa juklak dan juknis pelaksanaanya: tatacara rembukan, tatacara pemanggilan dari aparat setempat dan sebagainya, tanpa harus menempuh jalur hukum seperti ujar sang suami yang konon kakak pulisinya yang entah siapa itu (anggap: selesaikan secara kekeluargaan saja, begitu). Dan pulanglah mereka sambil cacamuilan mengunyahi goreng pisang suguhan itu, tak lupa menenteng sebungkusan sebagai bekal untuk yang di rumah.
***
“Bagaimana bu?”
“Ya pokoknya, sekarang mah tinggal tunggu aja.”
“Tunggu apanya?”
“Pokoknya tunggu tanggal mainnya.”
“Main apa?”
“Husy! Emangnya bioskop?”
“Siapa yang mau ke bioskop. Ikut dong.”
“Eh, ini mah malah ngelantur.”
“Awas, itu jangan di sana. Awas motor, minggir. Minggir!”
“Pokoknya semuanya sudah diatur. Tinggal tunggu surat panggilan. Semua pasti beres.”
“O, jadi sekarang sudah beres?”
“Belum atuh, bego!”
“Surat panggilan apa?”
“Jangan jajan mulu kamu teh…”
“Mang, kembaliannya kurang…”
“Si ibu mah tidak puguh.”
Busyet! Siang-siang, mentrang-mentring. Panas menyengat kulit. Panas mencubit-cubit. Oleh sengatnya, anjing pun terjulur lidahnya. Pohon-pohon saja kepanasan. Daun-daun kepanasan. Ranting-ranting. Rumput-rumput. Genting-genting. air selokan tiang-tiang jemuran. Semuanya. Hanya anak-anak itu, ibu-ibu itu, tukang bakso-tukang bakso itu, tukang es krim-tukang es krim itu tak juga peduli. Anteng saja. Ngerumpi.
***
“Lho, ini gimana sih? Nggak ada kabar apa-apa.”
“Iya ya, padahal udah ampir sebulan penuh. Kok belum ada juga selentingan dari Pak Kades. Pak RW juga kalo ditanya, kalo pulang dari Kantor Desa, malah bilang nggak tahu apa-apa katanya.”
“Kamu udah ketemu lagi pak Kades?”
“Belum.”
“Ke rumahnya lagi?”
“Belon. Boro-boro.”
“Dasar bloon. Datang lagi dong. Tanyain, apa-apa udah diurus-urus gitu.”
“Sendirian?”
“Aku kan sibuk.”
“Aku juga kan sibuk ngurus rumah sama anak-anak. Nyuci baju, ngistrika, ma…”
“Alah, segitu…”
“Kamu kayak nggak tahu aja.”
“Kamu pengennya menang sendiri.”
“Kamu juga!”
“Kualat kamu!”
***
Maka demikian, sama seperti setiap orang di setiap kota pinggiran di pinggiran kota: selalu punya kisah dan kabarnya masing-masing, seperti juga kemasing-masingannya.
Banjaran, Awal Tahun