4.0: Psikiatri di Era Informatika Kedokteran
dr. Dewanto Andoko**
*Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha
*Departemen Psikiatri, FKUI-RSCM
Abstrak
Alat kesehatan digital seperti aplikasi smartphone tampaknya menjadi solusi ideal untuk krisis
kesehatan jiwa saat ini. Depresi kini telah menjadi penyebab utama disabilitas di seluruh dunia,
dan gangguan kesehatan jiwa berdampak terhadap satu dari empat orang di dunia, namun
hingga kini akses untuk perawatan masih belum memadai. Teknologi smartphone dan
konektifitas menawarkan alat-alat baru yang berpotensi dapat membantu dalam aspek
diagnostik dan intervensi perawatan psikiatrik. Untuk memahami potensi instrumen digital
dalam psikiatri, akan dibahas mengenai perkembangan, penelitian saat ini, dan kasus
penggunaan klinis sehari-hari. Berfokus pada kemampuan smartphone dan perangkat pribadi
yang dilengkapi sensor yang dapat membantu pengumpulan data klinis dari berbagai sumber:
laporan diri sendiri, perilaku yang terekam, dan sensor fisiologis.
Pada bagian kedua penulis juga akan membahas mengenai "hubungan terapeutik digital" yang
dapat mempererat hubungan dokter-pasien dalam perawatan klinis. Di ribuan klinik saat ini,
keputusan klinis dibuat setiap hari dalam konteks hubungan yang diasah melalui pelatihan
profesional untuk dapat menghormati, melindungi, dan memberdayakan pasien. Sekarang
ketika perawatan klinis berkembang menuju layanan telemedicine, terutama dalam platform
smartphone, sangat penting untuk tidak mengabaikan hubungan terapeutik digital dan
sebaliknya menyadari bahwa dengan mengambil keputusan untuk mendukungnya berarti
mengaplikasikan cara baru yang inovatif dalam pelayanan klinis. Penulis menyadari bahwa
teknologi ini dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi, mempererat, dan memperluas hubungan
terapeutik secara langsung, dan melihat klinik virtual sebagai “bagian hilang” yang penting
dalam menggali potensi telemedicine.
Kata Kunci: Revolusi Industri 4.0., Informatika kedokteran, Psikiatri, Hubungan terapeutik
digital, Telemedicine.
Pendahuluan
Saat ini Indonesia mengalami apa yang disebut sebagai Revolusi Industri 4.0., suatu istilah
untuk tren otomasi dan pertukaran data terkini dalam teknologi industri. Istilah ini mencakup
sistem siber-fisik, internet untuk segala, komputasi awan, dan komputasi kognitif. Sungguh
lompatan jauh ke depan (merujuk Mao Ze Dong, 1893-1976), bahkan bisa jadi akan jatuh
terseok-seok jika gagal (Meinarno, 2018).
Informatika kedokteran, ilmu komputer, dan inovasi teknologi digital telah menandai era baru
dalam kedokteran klinis. Rekam medis elektronik untuk mendokumentasikan, berkomunikasi,
dan mendukung pengambilan keputusan klinis, telah menjadi hal biasa (Kokkonen, 2013).
Akses ke perawatan klinis saat ini dan protokol medis yang rumit berbeda dengan kemudahan
serta heterogenitas layanan kesehatan smartphone, demikian pula penilaian diagnostik satu
waktu berbeda dengan pemantauan longitudinal kontinyu oleh sensor smartphone. Digital
phenotyping, yaitu kuantifikasi momen-demi-momen perilaku dan fisiologi manusia pada
tingkat individu secara in situ menggunakan data dari smartphone dan perangkat digital pribadi
lainnya (Torous, 2017) menawarkan jendela baru untuk memahami dan menangani masalah
dalam kesehatan jiwa.
Digital phenotyping memungkinkan analisis data yang berasal dari gejala yang dilaporkan
sendiri, pola perilaku, dan parameter fisiologis. Setiap tipe data memiliki manfaat dan
penerapan klinis yang penting. Dengan melakukan triangulasi berbagai bentuk data elektronik
yang menggambarkan suatu fenomena klinis, memungkinkan terciptanya suatu tes diagnostik
baru dalam psikiatri. Tes diagnostik tersebut kemudian dapat digunakan juga oleh para praktisi
lintas profesi kesehatan, termasuk dalam layanan primer dan layanan kesehatan masyarakat.
Selain itu, tes tersebut dapat membantu meningkatkan kapasitas tenaga medis untuk
mengidentifikasi gangguan mental lebih dini dan melakukan intervensi dengan cara yang
mendukung outcome kesehatan mental yang positif.
Akan tetapi kenyataan yang dihadapi layanan aplikasi kesehatan digital berbeda dimana
pengaplikasiannya rendah secara klinis disertai rendahnya keterlibatan masyarakat (Chan,
2017). Mencari penyebab perbedaan yang mencolok ini terbukti sulit karena bukan merupakan
kesalahan konsep layanan, perangkat seluler, dokter, ataupun pasien. Sebaliknya penulis
menekankan bahwa penyebab kegagalan tersebut ialah tidak terjalinnya hubungan terapeutik
digital - dan kurangnya dukungan terhadap hubungan baru ini membatasi potensi telemedicine
saat ini.
Pengembangan Instrumen Elektronik dalam Psikiatri
Beberapa faktor pada tingkat kebijakan nasional, pasien, dan teknologi, telah menciptakan
momen yang tepat bagi psikiatri untuk mulai menyadari potensi teknologi seluler dan
terhubung. Kebijakan nasional saat ini telah mendukung telemedicine dengan implementasi
Permenkes nomor 20 tahun 2019 tentang penyelengaraan pelayanan telemedicine antar fasilitas
pelayanan kesehatan. Pasien dan konsumen yang antusias menggunakan perangkat seluler,
tingginya jumlah perangkat seluler yang terhubung dengan sistem operasi standar, dan
ketersediaan internet nirkabel berkecepatan tinggi merupakan faktor yang memudahkan pasien
dan penyedia layanan untuk mengakses alat interaktif baru yang memfasilitasi digital
phenotyping.
Kulminasi dari berbagai faktor tersebut dibuktikan dari minat pasien dan penyedia layanan
dalam memantau kondisi kesehatan jiwa. Kemampuan teknologi konsumen seperti smartphone
untuk melakukan digital phenotyping yang sebelumnya hanya mungkin dilakukan dengan
perangkat actigraphy yang khusus, menghadirkan banyak "data besar" yang belum pernah ada
sebelumnya dalam psikiatri. Misalnya, sekarang mungkin dilakukan pengumpulan lebih dari
satu juta poin data per pasien per hari melalui aplikasi smartphone (Torous, 2017). Kini juga
terdapat keselarasan sempurna antara kebijakan kesehatan, kepemilikan serta minat teknologi
dari pasien dan konsumen, tersedianya sensor dan daya komputasi yang mumpuni dari
teknologi seluler baru, yang dapat diterjemahkan sebagai suatu peluang baru dalam bidang
psikiatri.
Gegap-gempita seputar peluang baru tersebut harus diimbangi dengan fakta dimana sangat
sedikit instrumen elektronik yang telah dipelajari atau divalidasi dengan baik, dan secara
keseluruhan dunia medis memiliki sedikit pengalaman mengenai dampak yang ditimbulkan
ketika hal tersebut diterapkan pada skala luas (Marcano-Belisario, 2015). Minat akan teknologi
seluler dan interkonektivitas di arena kesehatan jiwa berkembang secara dramatis (Torous,
2014), dan untuk sementara ini sebagian besar pertumbuhan terjadi di sektor swasta — tanpa
dilengkapi oleh bukti, keahlian, atau etika profesi kedokteran (Hsin, 2016). Karena praktek
psikiatri pasti akan ditransformasi oleh Inovasi berbasis teknologi seluler dan interkonektivitas,
sangat penting bagi psikiater untuk menyadari bagaimana teknologi akan mempengaruhi
kesehatan jiwa pasien saat ini dan di masa yang akan datang. Selain itu, seharusnya mungkin
untuk mengeksplorasi peran teknologi dalam layanan klinis, sembari memastikan bahwa
penggunaannya tetap praktis dan dapat ditindaklanjuti.
E-Data dan Diagnostik dalam Psikiatri
The Diagnostic and Statistical Manual-5 (DSM-5) adalah dokumen yang menjadi pedoman
dalam diagnosis gangguan jiwa di seluruh dunia. DSM-5 memperkenalkan pendekatan lintas
eksperimental berdasarkan penilaian psikometrik — yang pada intinya merupakan kuesioner
yang mengkuantifikasi gejala. Akan tetapi, pendekatan ini memiliki keterbatasan, seperti
keandalan antar penilai, diskriminasi budaya dan bahasa, serta subjektivitas dalam
interpretasi dan penggunaan kuesioner tersebut. Sebagai alternatif, National Institute of
Mental Health Research Domain Criteria (RDoC) (Insel, 2010) menciptakan pendekatan lain
yang dapat melengkapi kerangka diagnostik DSM yang lebih fenomenologis; RDoC berfokus
pada domain seperti sistem valensi negatif, sistem valensi positif, sistem kognitif, sistem
proses sosial, dan sistem gairah/dan regulasi diri; RDoC merupakan kerangka kerja baru yang
memiliki nilai dalam penelitian translasional, akan tetapi potensinya dalam praktek klinis
belum dimanfaatkan. Penelitian tentang genetika, biologi molekuler, neuroimaging, dan
biomarker fenotip psikososial dalam diagnosis telah menunjukkan kemajuan, meskipun saat
ini belum digunakan dalam praktek klinis sehari-hari.
Teknologi seluler memiliki fleksibilitas untuk dapat terlibat dengan DSM, RDoC, dan
kerangka kerja ilmiah lainnya, baik secara terpisah maupun dalam kombinasi. Kemampuan
luar biasa ini merupakan Jendela baru yang melaluinya kita dapat mengamati dan memahami
pola yang terkait dengan gangguan mental dengan lebih baik. Melalui pengumpulan data pasif
dan aktif, smartphone dan teknologi interkonektivitas berpotensi menyatukan sisi biologis dan
perilaku dalam psikiatri (Torous, 2016) dan memberikan digital fenotype baru yang dapat
memandu dan mendukung pengambilan keputusan diagnostic (Onnela, 2016). Penulis percaya
bahwa teknologi seluler dan interkonektivitas dapat menyediakan data diagnostik dalam tiga
unit analisis: gejala yang dilaporkan sendiri, pola perilaku, dan parameter fisiologis.
Data yang Dilaporkan Sendiri
Diagnosis psikiatri dalam perawatan klinis rutin sebagian besar didasarkan pada laporan
retrospektif pasien ("Bagaimana Anda tidur selama beberapa minggu terakhir?", "Bagaimana
suasana perasaan anda akhir-akhir ini?", "Kapan anda menyadari bahwa anda tidak memiliki
nafsu makan dan mulai menurunkan berat badan? "). Ingatan retrospektif terhadap gejala
psikiatrik dapat menjadi lebih sulit mengingat bahwa banyak gangguan kejiwaan — misalnya,
skizofrenia, gangguan depresi mayor, gangguan neurokognitif seperti demensia — dikaitkan
dengan defisit kognitif atau memori yang mungkin menyulitkan pasien untuk mengingat
gejala-gejala lampau secara akurat.
Teknologi seluler dan interkonektivitas dapat menawarkan cara untuk merekam data yang
dilaporkan sendiri secara real time, mendorong proses pengumpulan data keluar dari klinik dan
ke dalam ekologi dunia pasien sehari-hari. Tinjauan dari Cochrane baru-baru ini tentang survei
kesehatan yang dilaporkan sendiri pada sebuah aplikasi smartphone mencatat bahwa aplikasi
tidak akan mempengaruhi kesetaraan antar data selama penggunaan klinis yang dimaksud,
frekuensi, dan setting survei tidak berubah dari setting validasi survey tersebut (Schneidewind,
2016). Potensi perangkat seluler untuk menangkap mood dimana perangkat seluler
menyediakan setting baru di luar klinik dengan potensi asesmen yang lebih sering, yang
menggarisbawahi pentingnya pembuatan instrumen elektronik baru.
Saat ini, belum ada instrumen klinis yang khusus dirancang dan divalidasi untuk digunakan
pada perangkat seluler ataupun di luar klinik, dengan beberapa uji klinis acak untuk
pemantauan mood mandiri secara elektronik (Faurholt Jepsen, 2016). Beberapa fakta
menunjukkan bahwa bahkan terjemahan sederhana dari instrumen dasar — seperti PHQ-9 ke
dalam smartphone — dapat menghasilkan data yang sangat berbeda dibandingkan ketika
dikumpulkan secara tatap muka dalam klinik (Torous, 2015). Dengan pemahaman yang lebih
baik tentang validitas survei gejala yang dilaporkan sendiri melalui perangkat seluler, potensi
diciptakannya suatu survei adaptif yang dapat menyesuaikan penilaian untuk setiap individu
menjadi suatu hal yang mungkin. Pengujian adaptif terkomputerisasi tersebut secara cerdas
mengajukan pertanyaan sesuai dengan kemungkinan diagnosis (Gibbons, 2016), namun,
hingga saat ini adopsi sistem tersebut masih terhambat oleh keterbatasan uji coba - seperti
kurangnya validasi terhadap instrumen yang ada, kurangnya reliabilitas pengujian ulang, serta
lisensi komersial (Carroll, 2014).
Gejala yang dilaporkan sendiri berpotensi lebih sensitif dalam mendiagnosis penyakit kejiwaan
dan memantau pemulihan (Moore, 2016) dibandingkan dengan hasil pemantauan klinis pada
umumnya. Dengan demikian, upaya penelitian yang difokuskan pada validasi skala baru untuk
mendiagnosis gangguan jiwa yang mampu bersinkronisasi dengan pasien menawarkan potensi
menarik untuk mewujudkan jendela baru dalam ilmu kesehatan jiwa. Dibutuhkan penelitian
lebih lanjut untuk menggali potensi aliran data yang dilaporkan sendiri sebagai instrumen
diagnostik baru untuk psikiatri.
Pemantauan Pola Perilaku
Gangguan kejiwaan itu kompleks, dan hampir semuanya melibatkan beberapa derajat
disregulasi perilaku atau gangguan dalam kehidupan sehari-hari. Smartphone dan perangkat
yang terhubung — seperti smartwatch — secara tidak sengaja telah menjadi monitor perilaku
penggunanya. Teknologi ini sering memonitor lokasi, akselerasi, serta kegiatan sosial kita —
melalui pola panggilan telepon, SMS, posting media social, dan data suara dari pengguna
layanan. Bentuk data pasif ini mungkin merupakan diagnosis penyakit: seorang pasien dengan
gangguan bipolar yang memasuki fase manik menunjukkan lebih banyak aktivitas telepon yang
dibuktikan dari kombinasi peningkatan posisi GPS, pergerakan akselerometer yang tidak
menentu, dan peningkatan aktivitas sosial. Namun, penelitian awal pada data pasif dan
gangguan bipolar telah menunjukkan bahwa hubungan ini tidak sederhana, dengan hubungan
tidak secara langsung cocok dengan gejala klinis (Faurholt-Jepsen, 2014). Kompleksitas data
pasif ini juga telah didukung oleh penelitian terbaru tentang gejala depresi (Saeb, 2013). Dalam
banyak hal, Situasi ini mirip dengan EEG yang dapat menawarkan jutaan poin data tentang
aktivitas otak pasien meskipun data tersebut mungkin masih memiliki utilitas klinis yang
terbatas. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk memvalidasi berbagai aliran data pasif dan
menentukan apakah terdapat suatu relevansi klinis atau kunci yang berguna didalamnya.
Penanda perilaku lain yang sangat menarik adalah data suara. Mengingat potensi nada, tempo,
dan kenyaringan suara untuk berfungsi sebagai biomarker dari banyak penyakit dan kondisi
psikiatrik, seperti depresi, kecemasan, dan bahkan bunuh diri (Cummins, 2015), penting untuk
memvalidasi data suara real-time sebagai marker diagnostik. Analisis otomatis dari transkrip
wicara pasien, dikombinasikan dengan machine learning dan pemrosesan Bahasa alamiah,
dapat mengukur perubahan keadaan mental halus dalam suatu episode psikosis (Bedi, 2015).
Jenis analisis ini sudah digunakan dalam marketing, customer service call center, dan business
intelligence services — meski belum biasa digunakan dalam layanan klinis sehari-hari.
Terdapat banyak biomarker potensial lain yang dikumpulkan oleh telepon, yang dapat segera
berfungsi sebagai tes diagnostik. Tetapi untuk saat ini, data pasif untuk psikiatri kurang
dipahami dan belum siap untuk diaplikasikan secara klinis. Dengan potensi tinggi sebagai
penanda gangguan kejiwaan, dibutuhkan penelitian diagnostik untuk menawarkan panduan
yang reliabel dalam bidang yang menjanjikan ini.
Parameter Fisiologis
Sementara gejala dan pola perilaku yang dilaporkan sendiri penting dalam diagnosis penyakit
kejiwaan, data fisiologis yang diukur secara langsung (mis., Detak jantung, kualitas tidur,
konduktansi kulit) lebih jarang dibahas dalam ranah psikiatri. Namun demikian terdapat bukti
literatur besar tentang actigraphy dalam psikiatri, dengan hasil yang menjanjikan seperti data
variabilitas detak jantung sebagai penanda dekompensasi dalam skizofrenia (Bar, 2007).
Mengumpulkan data fisiologis secara real-time menggunakan perangkat seperti itu tidak
praktis karena perangkat actigraphy biasanya besar, tidak praktis, dan mahal. Hambatan ini
telah membatasi penggunaan parameter fisiologis baik dalam kehidupan sehari-hari pasien dan
dalam praktek seorang psikiater.
Dengan menggunakan smartphone dan alat pemantau kebugaran lain yang tersedia, kini lebih
mudah untuk mengumpulkan data biologis yang bermakna signifikan. Beberapa studi
menunjukkan bahwa pasien dengan penyakit mental kronis patuh dan bahkan menikmati
menggunakan pemantau kebugaran untuk mengumpulkan jenis data ini (Naslund, 2015).
dibutuhkan penelitian lebih lanjut tentang validitas data yang dikumpulkan dengan teknologi
konsumen, dan tentang bagaimana informasi yang dikumpulkan pada platform ini berkorelasi
dengan penyakit. Penulis optimis bahwa parameter fisiologis mungkin terbukti menjadi
langkah diagnostik penting dalam praktik psikiatri klinis di masa depan.
Triangulasi Data Elektronik dalam Menyusun Tes Diagnostik Psikiatri
Sementara teknologi seluler dan dan interkonektivitas dapat mengumpulkan data parameter
fisiologis, gejala dan pola perilaku yang dilaporkan sendiri untuk membantu diagnosis
psikiatrik, kemungkinannya adalah bahwa tidak ada satu tes tunggal yang dapat menjadi
metode diagnostik bagi semua orang. Sebaliknya, kombinasi berbagai data elektronik yang
dikumpulkan smartphone secara real-time harus digabungkan untuk menyusun informasi
diagnostik yang dipersonalisasikan bagi setiap individu. Metode menegakkan diagnosis yang
dipersonalisasi ini merupakan bidang yang sedang aktif diteliti (Torous, 2015), dan
mencerminkan semakin pentingnya data elektronik dalam psikiatri (Torous, 2015). Salah satu
alasan mengapa psikiatri belum menyadari potensi data elektronik dan interkonektivitas adalah
bahwa sebagian besar upaya penelitian data elektronik sampai saat ini hanya berfokus pada
data elektronik individual, dan mengabaikan kontribusi dari sumber data yang luas.
Sebelum praktek psikiatri dapat merangkul penggunaan data elektronik, penting untuk
mengatasi tantangan luas yang terkait dengan kurangnya standarisasi dan kalibrasi instrumen
secara medis. Smartphone dilengkapi kombinasi sensor, CPU, GPU, dan sistem operasi yang
berbeda-beda. “Positif palsu” dapat salah menafsirkan pola aktivitas seseorang. Misalnya,
ponsel seorang pasien mencatat penurunan jumlah SMS yang dikirim dapat secara keliru
dikaitkan dengan peningkatan gejala vegetatif dari depresi. Di sisi lain, penurunan dalam
aktivitas SMS ini juga dapat disebabkan oleh pasien yang bepergian ke luar negeri tanpa
layanan SMS, pasien yang terlalu sibuk bekerja dalam satu minggu, pasien yang lupa mengisi
baterai smartphone mereka, atau pasien yang kesal dengan kinerja smartphone yang semakin
lambat.
Dari aspek potensi penelitian data elektronik psikiatri kita beranjak ke aspek praktis yang
ditawarkan teknologi seluler dan interkonektivitas bagi psikiatri yaitu telemedicine.
Hubungan Terapeutik Digital
Hubungan terapeutik digital dalam aplikasi telemedicine jarang sekali terjadi karena tidak
dianggap penting oleh mereka yang membangun aplikasi. Pengembang aplikasi membuat
aplikasi yang mengesankan dan kemudian dipasarkan ke dokter atau pasien sebagai aplikasi
pribadi. Misalnya, sebagian besar aplikasi telemedicine dapat memantau gejala dan mencatat
informasi dalam lingkup aplikasi tersebut, tetapi hanya sedikit yang memfasilitasi kegiatan
berbagi informasi yang bermakna atau dapat mengintegrasikannya kedalam rekam medis
elektronik. Dalam lembar syarat dan ketentuannya sebagian besar aplikasi menyatakan bahwa
aplikasi tersebut bukanlah alat terapi, dan dalam keadaan darurat pengguna harus mencari
perawatan di fasilitas kesehatan dan profesional medis. Sama halnya dengan para ilmuwan
dengan kontak pasien yang terbatas, melakukan penelitian data elektronik tanpa mengetahui
kenyataan klinis. Aplikasi-aplikasi ini, walaupun selintas terlihat mengesankan, tidak
memberikan hasil yang baik ketika penggunanya tidak lagi diberi insentif untuk penggunaan
aplikasi tersebut, tidak lagi menawarkan telepon gratis, atau diberi iming-iming seperti dalam
penelitian. Alhasil sejumlah besar aplikasi yang inovatif, mengesankan, dan bahkan dinilai
“mujarab” — tetapi kurang efektif dalam penerapannya di dunia nyata. Fitur-fitur mutakhir
seperti unprincipled machine learning, artificial intelligence, user centric design, Dll., belum
dapa menjembatani kesenjangan tersebut.
Menjembatani kesenjangan dengan membangun hubungan terapeutik digital adalah salah satu
solusi pragmatis. Psikiater menghormati utilitas klinis dari hubungan terapeutik yang kuat dan
hubungan ini merupakan prediktor yang baik untuk respons terapi baik farmakologis ataupun
nonfarmakologis (Lambert, 2001). Meski tidak ada konsensus mengenai definisi dari hubungan
terapeutik, unsur-unsurnya yaitu; rasa saling percaya, aliansi, rasa hormat, empati, dan
hubungan positif antara pasien dan dokter (Ardito, 2011). Hubungan terapeutik saat ini biasa
dimulai dalam seting klinik nyata dan diperkuat melalui tiap-tiap kunjungan klinis. Pada
dasarnya alur kerja klinis, janji pertemuan, rekam medis elektronik, klaim asuransi, dan tagihan
layanan, memperkuat dominasi hubungan tatap muka terapeutik. Dampak klinis dari hubungan
terapeutik mencakup semua layanan kesehatan mulai dari psikiatri hingga ilmu bedah dan
dirangkum dengan baik dalam sebuah makalah oleh Suchnan dan Matthews pada tahun 1988
yang menyatakan, "hubungan dokter pasien adalah dasar pelayanan medis" (Suchnan, 1988).
Dampak ini juga secara kuantitatif (Martin, 2000) dipelajari dan sering dilaporkan cukup
berpengaruh dalam berbagai kondisi medis (Karver, 2017). Model aplikasi telemedicine saat
ini adalah sebagai alat independen yang berfokus pada pasien atau dokter (Noah, 2017), namun,
mengabaikan hubungan terapeutik ini, keengganan pasien dan dokter untuk meninggalkan
model saat ini, dan potensi kerusakan hubungan yang dapat terjadi akibat perawatan yang
terpecah-pecah.
Keberadaan hubungan terapeutik digital sendiri bukan suatu hal baru dan didukung oleh
banyak bukti berkualitas tinggi dari psikologi, ilmu sosial, user experience, user interface, dan
ilmu desain grafis (Sucala, 2012. Alfonsson, 2016. Rosen, 2016). jadi tidak mengherankan
apabila telemedicine, sebuah inovasi yang memungkinkan terjadinya hubungan jarak jauh
antara dokter-pasien, menjadi salah satu dari kemajuan teknologi yang paling sukses saat ini
(Hilty, 2013). Dengan semakin pesatnya perkembangan aplikasi smartphone dan teknologi
remote sensor untuk kesehatan, kini saatnya kita meninjau kembali hubungan terapeutik digital
dalam konteks telemedicine.
Mendukung Hubungan Terapeutik Digital
Dengan membingkai ulang aplikasi telemedicine sebagai alat untuk memperkuat dan
menambah hubungan terapeutik, besar kemungkinan untuk mewujudkan potensi aplikasi
telemedicine. Alih-alih membuat aplikasi yang berupaya menduplikasi layanan klinis saat ini
tanpa menawarkan hubungan apa pun (seperti yang ditemukan pada Banyak aplikasi CBT dan
pemantau gejala di pasaran saat ini), aplikasi generasi baru yang informatif serta dapat
memperkuat hubungan terapeutik memberi dampak positif terhadap pengobatan. Misalnya,
mengurangi polifarmasi dan dalam beberapa kasus psikiatri mempercepat remisi dari
pengobatan, terutama antipsikotik, hal ini merupakan inovasi besar dalam pengobatan
(Fleischacker, 2012) yang mengurangi beban pengobatan dan biaya perawatan secara
signifikan. Akan tetapi banyak dokter yang tidak yakin dengan pengurangan dosis yang
demikian, dan kepercayaan ‘dosis berdasar pengalaman' masih sering dipraktikkan dalam
perawatan klinis. Pada saat yang sama, clinical wisdom mengajarkan, bahwa mengenal pasien
dengan baik dan memiliki hubungan terapeutik yang kuat mengakibatkan risiko pengurangan
dosis obat menjadi lebih kecil. Menggunakan aplikasi telemedicine untuk memperkuat
hubungan terapeutik dalam hal ini yaitu menawarkan kedua belah pihak kemampuan untuk
menambah waktu tatap muka, dengan pemantauan gejala secara real-time, kemampuan untuk
dapat berkomunikasi langsung, dan secara otomatis memicu perencanaan kontingensi yang
dapat membantu dokter dan pasien dengan aman dan percaya diri melakukan pengurangan
dosis obat. Informasi yang disediakan oleh aplikasi dalam kasus ini hasus sesuai dengan tujuan
terapi Bersama antara pasien dan dokter.
Seperti halnya dalam suatu hubungan social lainnya, hubungan terapeutik membutuhkan
dukungan dan disertai dengan tanggung jawab. Dokter dan pasien pertama-tama harus
mengembangkan hubungan berdasarkan kepercayaan. Metode yang paling efektif untuk ini
adalah kunjungan langsung dan tatap muka. Hubungan terapeutik digital masih memerlukan
dokter yang bertanggung jawab yang berarti bahwa dalam sesi tatap muka dalam aplikasi,
dokter harus memiliki etika seperti ketika tatap muka langsung, dan mau menanggung risiko
klinis yang ditimbulkan dari sesi pengobatan tersebut. Tidak seperti aplikasi telemedicine hari
ini yang menyangkal tanggung jawab atas kejadian buruk atau risiko pengobatan - dokter
memberikan perawatan medis dan psikiatrik melalui media tersebut yang berarti bahwa ia
harus diberi perlindungan hukum sama seperti institusi kesehatan lain pada umumnya. Ini
termasuk tersedianya lembaga pelindung seandainya terjadi kasus hukum selama
menggunakan aplikasi. Sangant masuk akal bahwa lingkungan untuk mendukung dan
membina hubungan terapeutik digital bukanlah 100% virtual tetapi lebih merupakan hibrida
baru yang saling terkait yaitu kunjungan tatap muka dan layanan digital. Klinik psikiatri virtual
akan melihat pasien secara langsung untuk mendapat pemantaun kondisi terkini, dengan resep
obat yang tetap dipantau oleh dokter. Misalnya, respons dan pemantauan obat akan dilakukan
dengan aplikasi dengan pemicu yang telah ditetapkan untuk menjadwalkan janji temu atau
videocall. Intervensi gaya hidup yang penting seperti olahraga yang sangat penting bagi
kesehatan dapat dipantau dan didukung dari jarak jauh. Kunjungan kontrol akan terutama
melalui sesi tele-psikiatri, tetapi bila diperlukan pemantauan digital dapat secara otomatis
memicu diadakannya kunjungan tatap muka. Sementara layanan digital dan jarak jauh sangat
dianjurkan, kunjungan tatap muka langsung tetap harus dipertahankan guna membina
hubungan yang kuat.
Tujuan dari klinik virtual adalah untuk menawarkan lingkungan yang kondusif untuk telepsikiatri. Alih-alih memaksa klinik tradisional untuk mengadopsi aplikasi dan teknologi baru
(Parish, 2017) dalam seting yang tidak kondusif untuk membina hubungan terapi digital. Klinik
masa kini harus mulai berintegrasi dengan layanan klinik virtual. Demikian pula dokter yang
harus mampu menyesuaikan alur kerja dari klinik virtual karena tidak sedikit pasien yang
memilih sendiri untuk jenis layanan ini, dengan terlaksananya integrasi tersebut akan memberi
potensi besar bagi tele-psikiatri. Adapun tujuan dari klinik yang terintegrasi adalah untuk
mewujudkan skalabilitas instrumen kesehatan digital, memenuhi janji peningkatan akses
pelayanan kesehatan, dan tetap menawarkan layanan klinis yang efektif yang meningkatkan
outcome kesehatan. Dengan demikian, keberhasilan klinik-klinik terintegrasi ini akan
ditentukan oleh kemampuan dalam pelayanan kesehatan hibrida yang lebih efisien, dengan
kualitas perawatan yang lebih baik, dan terlebih lagi mampu mengurangi biaya perawatan.
Namun, tantangan signifikan tetap ada untuk solusi yang diusulkan ini. Skalabilitas investasi
dalam model layanan dan integrasi baru ini dibandingkan dengan lanskap sumber daya yang
ada (misalnya, rumah sakit tradisional atau fasilitas rawat inap lainnya) adalah area potensial
di mana klinik virtual mungkin akan gagal memberi hasil yang baik dibandingkan dengan
layanan kesehatan tradisional; dimana memastikan konsistensi perawatan, struktur tim
multidisiplin yang efektif, dan kepatuhan terhadap standar Evidence Based Medicine sangat
penting dalam layanan (Schatz, 2017). Terakhir, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai
tingkat keberhasilan dan peluang layanan kesehatan digital dapat dikembangkan di lingkungan
yang mementingkan pelayanan kesehatan secara tradisional.
Kesimpulan
Dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution, Thomas Kuhn menulis bahwa
"kebenaran muncul lebih mudah dari kesalahan daripada dari kebingungan". Saat ini, potensi
teknologi seluler dan interkonektivitas telah memberi peluang luas bagi psikiatri, beberapa
keraguan, serta munculnya harapan dimana instrumen elektronik dapat membantu
memperbaiki kehidupan orang-orang yang membutuhkan. Dalam mendekati teknologi ini dari
perspektif penelitian sistematis dan menciptakan kerangka kerja untuk mengevaluasi
efektivitas yang sebenarnya serta melakukan triangulasi data yang diambil dari berbagai
sumber, kita dapat mulai mencari adanya relevansi klinis dalam potensi besar ini.
Klinik virtual yang dapat mendukung hubungan terapeutik digital menyadarkan kita aka nilai
teknologi baru seperti aplikasi smartphone untuk menatalaksana masalah kesehatan jiwa serta
kondisi lainnya. Ini mengubah pemikiran awal dimana aplikasi hanya dilihat sebagai alat untuk
mengubah pengobatan kedalam bentuk digital, dan melihatnya sebagai sumber daya untuk
memfasilitasi dan mempererat hubungan dokter-pasien. Di atas kertas, telemedicine terlihat
sepele — tetapi ujian sebenarnya untuk telemedicine bukanlah di atas kertas melainkan dalam
memberikan perawatan yang efektif, efisien, dan berpusat pada pasien (Steinhubl, 2017).
Daftar Pustaka
Alfonsson, S., Olsson, E., Linderman, S., Winnerhed, S. & Hursti, T. Is online treatment
adherence affected by presentation and therapist support? A randomized controlled
trial. Comput. Human. Behav. 60, 550–558 (2016).
Ardito, R. & Rabellino, D. Therapeutic alliance and outcome of psychotherapy: historical
excursus, measurements, and prospects for research. Front. Psychol 2, 270 (2011).
Bär, K. J. et al. Non-linear complexity measures of heart rate variability in acute
schizophrenia. Clin. Neurophysiol. 118, 2009–2015 (2007).
Bedi, G. et al. Automated analysis of free speech predicts psychosis onset in high-risk
youths. NPJ Schizophr. 1, 15030 (2015).
Carroll, B. J. Limitations of computerized adaptive testing for anxiety. Am. J. Psychiatry 171,
692 (2014).
Chan, Y. et al. The Asthma Mobile Health Study, a large-scale clinical observational study
using ResearchKit. Nat. Biotechnol. 35, 354–362 (2017).
Cummins, N. et al. A review of depression and suicide risk assessment using speech
analysis. Speech Commun. 71, 10–49 (2015).
Demyttenaere, K. et al. Prevalence, severity, and unmet need for treatment of mental
disorders in the World Health Organization World Mental Health Surveys. J. Am. Med.
Assoc. 291, 2581–2590 (2004).
Faurholt-Jepsen, M., Munkholm, K., Frost, M., Bardram, J. E. & Kessing, L. V. Electronic
self-monitoring of mood using IT platforms in adult patients with bipolar disorder: a
systematic review of the validity and evidence. BMC Psychiatry 16, 7 (2016).
Faurholt-Jepsen, M. et al. Smartphone data as objective measures of bipolar disorder
symptoms. Psychiatry Res. 217, 124–127 (2014).
Fleischhacker, W. & Uchida, H. Critical review of antipsychotic polypharmacy in the
treatment of schizophrenia. Int. J. Neuropsychopharmacol. 17, 1083–1093 (2012).
Gibbons, R. D. et al. Development of the CAT-ANX: a computerized adaptive test for
anxiety. Am. J. Psychiatry 171, 187–194 (2014).
Hilty, D. et al. The effectiveness of telemental health: a 201 review. Telemed. e-Health 19,
444–454 (2013).
Hsin, H., Torous, J. & Roberts, L. An adjuvant role for mobile health in psychiatry. JAMA
Psychiatry 73, 103–104 (2016).
Insel, T. et al. Research domain criteria (RDoC): toward a new classification framework for
research on mental disorders. Am. J. Psychiatry 167, 748–751 (2010).
Kessler, R. C. et al. Prevalence, persistence, and sociodemographic correlates of DSM-IV
disorders in the National Comorbidity Survey Replication Adolescent Supplement. Arch.
Gen. Psychiatry 69, 372–380 (2012).
Kokkonen, E. W. et al. Use of electronic medical records differs by specialty and office
settings. J. Am. Med. Inform. Assoc. 20, e33–e38 (2013).
Marcano-Belisario, J. S. et al. Comparison of self-administered survey questionnaire
responses collected using mobile apps versus other methods. Cochrane Database Syst.
Rev. 7, MR000042 (2015).
Martin, D., Garske, J. & Davis, M. Relation of the therapeutic alliance with outcome and
other variables: a meta-analytic review. J. Consult. Clin. Psychol. 68, 438–450 (2000).
Meinarno, E.A. (2018). Kesiapan dan Kontribusi Psikologi untuk Revolusi Industri 4.0.
Buletin KPIN Vol.4. No.8. Jakarta.
Moore, R. C., Depp, C. A., Wetherell, J. L. & Lenze, E. J. Ecological momentary assessment
versus standard assessment instruments for measuring mindfulness, depressed mood, and
anxiety among older adults. J. Psychiatr. Res. 75, 116–123 (2016).
Naslund, J. A., Aschbrenner, K. A., Barre, L. K. & Bartels, S. J. Feasibility of popular mhealth technologies for activity tracking among individuals with serious mental
illness. Telemed. J. E. Health21, 213–216 (2015).
Noah, B. et al. Impact of remote patient monitoring on clinical outcomes: an updated metaanalysis of randomized controlled trials. npj Digital Med. 1, (2017).
Onnela, J. P. & Rauch, S. L. Harnessing smartphone-based digital phenotyping to enhance
behavioral and mental health. Neuropsychopharmacology 41, 1691–1696 (2016).
Owen, J. et al. mHealth in the wild: using novel data to examine the reach, use, and impact of
PTSD coach. JMIR Ment. Health 2, e7 (2015).
Parish, M., Fazio, S., Chan, S. & Yellowlees, P. Managing psychiatrist-patient relationships
in the digital age: a summary review of the impact of technology-enabled care on clinical
processes and rapport. Curr. Psychiatry Rep. 19, 90 (2017).
Rosen, D., Nakash, O. & Alegría, M. The impact of computer use on therapeutic alliance and
continuance in care during the mental health intake. Psychotherapy 53, 117–123 (2016).
Sadavoy, J., Meier, R. & Ong, A. Y. Barriers to access to mental health services for ethnic
seniors: the Toronto study. Can. J. Psychiatry 49, 192–199 (2004).
Schatz, B. Population measurement for health systems. npj Digital Med. 1, (2017).
Schneidewind, L., Borgmann, H. & Schmidt, S. Comparison of self-administered survey
questionnaire responses collected using mobile apps versus other methods. Urologe A 55,
1608–1612 (2016).
Steinhubl, S. & Topol, E. Digital medicine, on its way to being just plain medicine. npj
Digital Med. 1, (2017).
Steinhubl, S. R., Muse, E. D. & Topol, E. J. Can mobile health technologies transform health
care? J. Am. Med. Assoc. 310, 2395–2396 (2013).
Suchnan, A. What makes the patient-doctor relationship therapeutic? Exploring the
connexional dimension of medical care. Ann. Intern. Med. 108, 125 (1988).
Torous, J., Staples, P. & Onnela, J. P. Realizing the potential of mobile mental health: new
methods for new data in psychiatry. Curr. Psychiatry Rep. 17, 1–7 (2015).
Torous, J., Kiang, M. V., Lorme, J. & Onnela, J. P. New tools for new research in psychiatry:
a scalable and customizable platform to empower data driven smartphone research. JMIR
Ment. Health 3, e16 (2016).
Torous, J. et al. Patient smartphone ownership and interest in mobile apps to monitor
symptoms of mental health conditions: a survey in four geographically distinct psychiatric
clinics. JMIR Ment. Health 1, e5 (2014).
Torous, J. & Baker, J. Why psychiatry needs data science and data science needs psychiatry:
connecting with technology. JAMA Psychiatry 73, 3–4 (2016).
Torous, J. & Powell, A. Current research and trends in the use of smartphone applications for
mood disorders. Internet Interv. 2, 169–173 (2015).
Torous, J. et al. Utilizing a personal smartphone custom app to assess the patient health
questionnaire-9 (PHQ-9) depressive symptoms in patients with major depressive
disorder. JMIR Ment. Health 2, e8 (2015).
Torous, J., Onnela, J. & Keshavan, M. New dimensions and new tools to realize the potential
of RDoC: digital phenotyping via smartphones and connected devices. Transl. Psychiatry 7,
e1053 (2017).