Academia.eduAcademia.edu

4.0: Psikiatri di Era Informatika Kedokteran

2019, 4.0: Psikiatri di Era Informatika Kedokteran

https://doi.org/10.17605/OSF.IO/G497K

Alat kesehatan digital seperti aplikasi smartphone tampaknya menjadi solusi ideal untuk krisis kesehatan jiwa saat ini. Depresi kini telah menjadi penyebab utama disabilitas di seluruh dunia, dan gangguan kesehatan jiwa berdampak terhadap satu dari empat orang di dunia, namun hingga kini akses untuk perawatan masih belum memadai. Teknologi smartphone dan konektifitas menawarkan alat-alat baru yang berpotensi dapat membantu dalam aspek diagnostik dan intervensi perawatan psikiatrik. Untuk memahami potensi instrumen digital dalam psikiatri, akan dibahas mengenai perkembangan, penelitian saat ini, dan kasus penggunaan klinis sehari-hari. Berfokus pada kemampuan smartphone dan perangkat pribadi yang dilengkapi sensor yang dapat membantu pengumpulan data klinis dari berbagai sumber: laporan diri sendiri, perilaku yang terekam, dan sensor fisiologis. Pada bagian kedua penulis juga akan membahas mengenai "hubungan terapeutik digital" yang dapat mempererat hubungan dokter-pasien dalam perawatan klinis. Di ribuan klinik saat ini, keputusan klinis dibuat setiap hari dalam konteks hubungan yang diasah melalui pelatihan profesional untuk dapat menghormati, melindungi, dan memberdayakan pasien. Sekarang ketika perawatan klinis berkembang menuju layanan telemedicine, terutama dalam platform smartphone, sangat penting untuk tidak mengabaikan hubungan terapeutik digital dan sebaliknya menyadari bahwa dengan mengambil keputusan untuk mendukungnya berarti mengaplikasikan cara baru yang inovatif dalam pelayanan klinis. Penulis menyadari bahwa teknologi ini dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi, mempererat, dan memperluas hubungan terapeutik secara langsung, dan melihat klinik virtual sebagai “bagian hilang” yang penting dalam menggali potensi telemedicine.

4.0: Psikiatri di Era Informatika Kedokteran dr. Dewanto Andoko** *Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha *Departemen Psikiatri, FKUI-RSCM Abstrak Alat kesehatan digital seperti aplikasi smartphone tampaknya menjadi solusi ideal untuk krisis kesehatan jiwa saat ini. Depresi kini telah menjadi penyebab utama disabilitas di seluruh dunia, dan gangguan kesehatan jiwa berdampak terhadap satu dari empat orang di dunia, namun hingga kini akses untuk perawatan masih belum memadai. Teknologi smartphone dan konektifitas menawarkan alat-alat baru yang berpotensi dapat membantu dalam aspek diagnostik dan intervensi perawatan psikiatrik. Untuk memahami potensi instrumen digital dalam psikiatri, akan dibahas mengenai perkembangan, penelitian saat ini, dan kasus penggunaan klinis sehari-hari. Berfokus pada kemampuan smartphone dan perangkat pribadi yang dilengkapi sensor yang dapat membantu pengumpulan data klinis dari berbagai sumber: laporan diri sendiri, perilaku yang terekam, dan sensor fisiologis. Pada bagian kedua penulis juga akan membahas mengenai "hubungan terapeutik digital" yang dapat mempererat hubungan dokter-pasien dalam perawatan klinis. Di ribuan klinik saat ini, keputusan klinis dibuat setiap hari dalam konteks hubungan yang diasah melalui pelatihan profesional untuk dapat menghormati, melindungi, dan memberdayakan pasien. Sekarang ketika perawatan klinis berkembang menuju layanan telemedicine, terutama dalam platform smartphone, sangat penting untuk tidak mengabaikan hubungan terapeutik digital dan sebaliknya menyadari bahwa dengan mengambil keputusan untuk mendukungnya berarti mengaplikasikan cara baru yang inovatif dalam pelayanan klinis. Penulis menyadari bahwa teknologi ini dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi, mempererat, dan memperluas hubungan terapeutik secara langsung, dan melihat klinik virtual sebagai “bagian hilang” yang penting dalam menggali potensi telemedicine. Kata Kunci: Revolusi Industri 4.0., Informatika kedokteran, Psikiatri, Hubungan terapeutik digital, Telemedicine. Pendahuluan Saat ini Indonesia mengalami apa yang disebut sebagai Revolusi Industri 4.0., suatu istilah untuk tren otomasi dan pertukaran data terkini dalam teknologi industri. Istilah ini mencakup sistem siber-fisik, internet untuk segala, komputasi awan, dan komputasi kognitif. Sungguh lompatan jauh ke depan (merujuk Mao Ze Dong, 1893-1976), bahkan bisa jadi akan jatuh terseok-seok jika gagal (Meinarno, 2018). Informatika kedokteran, ilmu komputer, dan inovasi teknologi digital telah menandai era baru dalam kedokteran klinis. Rekam medis elektronik untuk mendokumentasikan, berkomunikasi, dan mendukung pengambilan keputusan klinis, telah menjadi hal biasa (Kokkonen, 2013). Akses ke perawatan klinis saat ini dan protokol medis yang rumit berbeda dengan kemudahan serta heterogenitas layanan kesehatan smartphone, demikian pula penilaian diagnostik satu waktu berbeda dengan pemantauan longitudinal kontinyu oleh sensor smartphone. Digital phenotyping, yaitu kuantifikasi momen-demi-momen perilaku dan fisiologi manusia pada tingkat individu secara in situ menggunakan data dari smartphone dan perangkat digital pribadi lainnya (Torous, 2017) menawarkan jendela baru untuk memahami dan menangani masalah dalam kesehatan jiwa. Digital phenotyping memungkinkan analisis data yang berasal dari gejala yang dilaporkan sendiri, pola perilaku, dan parameter fisiologis. Setiap tipe data memiliki manfaat dan penerapan klinis yang penting. Dengan melakukan triangulasi berbagai bentuk data elektronik yang menggambarkan suatu fenomena klinis, memungkinkan terciptanya suatu tes diagnostik baru dalam psikiatri. Tes diagnostik tersebut kemudian dapat digunakan juga oleh para praktisi lintas profesi kesehatan, termasuk dalam layanan primer dan layanan kesehatan masyarakat. Selain itu, tes tersebut dapat membantu meningkatkan kapasitas tenaga medis untuk mengidentifikasi gangguan mental lebih dini dan melakukan intervensi dengan cara yang mendukung outcome kesehatan mental yang positif. Akan tetapi kenyataan yang dihadapi layanan aplikasi kesehatan digital berbeda dimana pengaplikasiannya rendah secara klinis disertai rendahnya keterlibatan masyarakat (Chan, 2017). Mencari penyebab perbedaan yang mencolok ini terbukti sulit karena bukan merupakan kesalahan konsep layanan, perangkat seluler, dokter, ataupun pasien. Sebaliknya penulis menekankan bahwa penyebab kegagalan tersebut ialah tidak terjalinnya hubungan terapeutik digital - dan kurangnya dukungan terhadap hubungan baru ini membatasi potensi telemedicine saat ini. Pengembangan Instrumen Elektronik dalam Psikiatri Beberapa faktor pada tingkat kebijakan nasional, pasien, dan teknologi, telah menciptakan momen yang tepat bagi psikiatri untuk mulai menyadari potensi teknologi seluler dan terhubung. Kebijakan nasional saat ini telah mendukung telemedicine dengan implementasi Permenkes nomor 20 tahun 2019 tentang penyelengaraan pelayanan telemedicine antar fasilitas pelayanan kesehatan. Pasien dan konsumen yang antusias menggunakan perangkat seluler, tingginya jumlah perangkat seluler yang terhubung dengan sistem operasi standar, dan ketersediaan internet nirkabel berkecepatan tinggi merupakan faktor yang memudahkan pasien dan penyedia layanan untuk mengakses alat interaktif baru yang memfasilitasi digital phenotyping. Kulminasi dari berbagai faktor tersebut dibuktikan dari minat pasien dan penyedia layanan dalam memantau kondisi kesehatan jiwa. Kemampuan teknologi konsumen seperti smartphone untuk melakukan digital phenotyping yang sebelumnya hanya mungkin dilakukan dengan perangkat actigraphy yang khusus, menghadirkan banyak "data besar" yang belum pernah ada sebelumnya dalam psikiatri. Misalnya, sekarang mungkin dilakukan pengumpulan lebih dari satu juta poin data per pasien per hari melalui aplikasi smartphone (Torous, 2017). Kini juga terdapat keselarasan sempurna antara kebijakan kesehatan, kepemilikan serta minat teknologi dari pasien dan konsumen, tersedianya sensor dan daya komputasi yang mumpuni dari teknologi seluler baru, yang dapat diterjemahkan sebagai suatu peluang baru dalam bidang psikiatri. Gegap-gempita seputar peluang baru tersebut harus diimbangi dengan fakta dimana sangat sedikit instrumen elektronik yang telah dipelajari atau divalidasi dengan baik, dan secara keseluruhan dunia medis memiliki sedikit pengalaman mengenai dampak yang ditimbulkan ketika hal tersebut diterapkan pada skala luas (Marcano-Belisario, 2015). Minat akan teknologi seluler dan interkonektivitas di arena kesehatan jiwa berkembang secara dramatis (Torous, 2014), dan untuk sementara ini sebagian besar pertumbuhan terjadi di sektor swasta — tanpa dilengkapi oleh bukti, keahlian, atau etika profesi kedokteran (Hsin, 2016). Karena praktek psikiatri pasti akan ditransformasi oleh Inovasi berbasis teknologi seluler dan interkonektivitas, sangat penting bagi psikiater untuk menyadari bagaimana teknologi akan mempengaruhi kesehatan jiwa pasien saat ini dan di masa yang akan datang. Selain itu, seharusnya mungkin untuk mengeksplorasi peran teknologi dalam layanan klinis, sembari memastikan bahwa penggunaannya tetap praktis dan dapat ditindaklanjuti. E-Data dan Diagnostik dalam Psikiatri The Diagnostic and Statistical Manual-5 (DSM-5) adalah dokumen yang menjadi pedoman dalam diagnosis gangguan jiwa di seluruh dunia. DSM-5 memperkenalkan pendekatan lintas eksperimental berdasarkan penilaian psikometrik — yang pada intinya merupakan kuesioner yang mengkuantifikasi gejala. Akan tetapi, pendekatan ini memiliki keterbatasan, seperti keandalan antar penilai, diskriminasi budaya dan bahasa, serta subjektivitas dalam interpretasi dan penggunaan kuesioner tersebut. Sebagai alternatif, National Institute of Mental Health Research Domain Criteria (RDoC) (Insel, 2010) menciptakan pendekatan lain yang dapat melengkapi kerangka diagnostik DSM yang lebih fenomenologis; RDoC berfokus pada domain seperti sistem valensi negatif, sistem valensi positif, sistem kognitif, sistem proses sosial, dan sistem gairah/dan regulasi diri; RDoC merupakan kerangka kerja baru yang memiliki nilai dalam penelitian translasional, akan tetapi potensinya dalam praktek klinis belum dimanfaatkan. Penelitian tentang genetika, biologi molekuler, neuroimaging, dan biomarker fenotip psikososial dalam diagnosis telah menunjukkan kemajuan, meskipun saat ini belum digunakan dalam praktek klinis sehari-hari. Teknologi seluler memiliki fleksibilitas untuk dapat terlibat dengan DSM, RDoC, dan kerangka kerja ilmiah lainnya, baik secara terpisah maupun dalam kombinasi. Kemampuan luar biasa ini merupakan Jendela baru yang melaluinya kita dapat mengamati dan memahami pola yang terkait dengan gangguan mental dengan lebih baik. Melalui pengumpulan data pasif dan aktif, smartphone dan teknologi interkonektivitas berpotensi menyatukan sisi biologis dan perilaku dalam psikiatri (Torous, 2016) dan memberikan digital fenotype baru yang dapat memandu dan mendukung pengambilan keputusan diagnostic (Onnela, 2016). Penulis percaya bahwa teknologi seluler dan interkonektivitas dapat menyediakan data diagnostik dalam tiga unit analisis: gejala yang dilaporkan sendiri, pola perilaku, dan parameter fisiologis. Data yang Dilaporkan Sendiri Diagnosis psikiatri dalam perawatan klinis rutin sebagian besar didasarkan pada laporan retrospektif pasien ("Bagaimana Anda tidur selama beberapa minggu terakhir?", "Bagaimana suasana perasaan anda akhir-akhir ini?", "Kapan anda menyadari bahwa anda tidak memiliki nafsu makan dan mulai menurunkan berat badan? "). Ingatan retrospektif terhadap gejala psikiatrik dapat menjadi lebih sulit mengingat bahwa banyak gangguan kejiwaan — misalnya, skizofrenia, gangguan depresi mayor, gangguan neurokognitif seperti demensia — dikaitkan dengan defisit kognitif atau memori yang mungkin menyulitkan pasien untuk mengingat gejala-gejala lampau secara akurat. Teknologi seluler dan interkonektivitas dapat menawarkan cara untuk merekam data yang dilaporkan sendiri secara real time, mendorong proses pengumpulan data keluar dari klinik dan ke dalam ekologi dunia pasien sehari-hari. Tinjauan dari Cochrane baru-baru ini tentang survei kesehatan yang dilaporkan sendiri pada sebuah aplikasi smartphone mencatat bahwa aplikasi tidak akan mempengaruhi kesetaraan antar data selama penggunaan klinis yang dimaksud, frekuensi, dan setting survei tidak berubah dari setting validasi survey tersebut (Schneidewind, 2016). Potensi perangkat seluler untuk menangkap mood dimana perangkat seluler menyediakan setting baru di luar klinik dengan potensi asesmen yang lebih sering, yang menggarisbawahi pentingnya pembuatan instrumen elektronik baru. Saat ini, belum ada instrumen klinis yang khusus dirancang dan divalidasi untuk digunakan pada perangkat seluler ataupun di luar klinik, dengan beberapa uji klinis acak untuk pemantauan mood mandiri secara elektronik (Faurholt Jepsen, 2016). Beberapa fakta menunjukkan bahwa bahkan terjemahan sederhana dari instrumen dasar — seperti PHQ-9 ke dalam smartphone — dapat menghasilkan data yang sangat berbeda dibandingkan ketika dikumpulkan secara tatap muka dalam klinik (Torous, 2015). Dengan pemahaman yang lebih baik tentang validitas survei gejala yang dilaporkan sendiri melalui perangkat seluler, potensi diciptakannya suatu survei adaptif yang dapat menyesuaikan penilaian untuk setiap individu menjadi suatu hal yang mungkin. Pengujian adaptif terkomputerisasi tersebut secara cerdas mengajukan pertanyaan sesuai dengan kemungkinan diagnosis (Gibbons, 2016), namun, hingga saat ini adopsi sistem tersebut masih terhambat oleh keterbatasan uji coba - seperti kurangnya validasi terhadap instrumen yang ada, kurangnya reliabilitas pengujian ulang, serta lisensi komersial (Carroll, 2014). Gejala yang dilaporkan sendiri berpotensi lebih sensitif dalam mendiagnosis penyakit kejiwaan dan memantau pemulihan (Moore, 2016) dibandingkan dengan hasil pemantauan klinis pada umumnya. Dengan demikian, upaya penelitian yang difokuskan pada validasi skala baru untuk mendiagnosis gangguan jiwa yang mampu bersinkronisasi dengan pasien menawarkan potensi menarik untuk mewujudkan jendela baru dalam ilmu kesehatan jiwa. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menggali potensi aliran data yang dilaporkan sendiri sebagai instrumen diagnostik baru untuk psikiatri. Pemantauan Pola Perilaku Gangguan kejiwaan itu kompleks, dan hampir semuanya melibatkan beberapa derajat disregulasi perilaku atau gangguan dalam kehidupan sehari-hari. Smartphone dan perangkat yang terhubung — seperti smartwatch — secara tidak sengaja telah menjadi monitor perilaku penggunanya. Teknologi ini sering memonitor lokasi, akselerasi, serta kegiatan sosial kita — melalui pola panggilan telepon, SMS, posting media social, dan data suara dari pengguna layanan. Bentuk data pasif ini mungkin merupakan diagnosis penyakit: seorang pasien dengan gangguan bipolar yang memasuki fase manik menunjukkan lebih banyak aktivitas telepon yang dibuktikan dari kombinasi peningkatan posisi GPS, pergerakan akselerometer yang tidak menentu, dan peningkatan aktivitas sosial. Namun, penelitian awal pada data pasif dan gangguan bipolar telah menunjukkan bahwa hubungan ini tidak sederhana, dengan hubungan tidak secara langsung cocok dengan gejala klinis (Faurholt-Jepsen, 2014). Kompleksitas data pasif ini juga telah didukung oleh penelitian terbaru tentang gejala depresi (Saeb, 2013). Dalam banyak hal, Situasi ini mirip dengan EEG yang dapat menawarkan jutaan poin data tentang aktivitas otak pasien meskipun data tersebut mungkin masih memiliki utilitas klinis yang terbatas. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk memvalidasi berbagai aliran data pasif dan menentukan apakah terdapat suatu relevansi klinis atau kunci yang berguna didalamnya. Penanda perilaku lain yang sangat menarik adalah data suara. Mengingat potensi nada, tempo, dan kenyaringan suara untuk berfungsi sebagai biomarker dari banyak penyakit dan kondisi psikiatrik, seperti depresi, kecemasan, dan bahkan bunuh diri (Cummins, 2015), penting untuk memvalidasi data suara real-time sebagai marker diagnostik. Analisis otomatis dari transkrip wicara pasien, dikombinasikan dengan machine learning dan pemrosesan Bahasa alamiah, dapat mengukur perubahan keadaan mental halus dalam suatu episode psikosis (Bedi, 2015). Jenis analisis ini sudah digunakan dalam marketing, customer service call center, dan business intelligence services — meski belum biasa digunakan dalam layanan klinis sehari-hari. Terdapat banyak biomarker potensial lain yang dikumpulkan oleh telepon, yang dapat segera berfungsi sebagai tes diagnostik. Tetapi untuk saat ini, data pasif untuk psikiatri kurang dipahami dan belum siap untuk diaplikasikan secara klinis. Dengan potensi tinggi sebagai penanda gangguan kejiwaan, dibutuhkan penelitian diagnostik untuk menawarkan panduan yang reliabel dalam bidang yang menjanjikan ini. Parameter Fisiologis Sementara gejala dan pola perilaku yang dilaporkan sendiri penting dalam diagnosis penyakit kejiwaan, data fisiologis yang diukur secara langsung (mis., Detak jantung, kualitas tidur, konduktansi kulit) lebih jarang dibahas dalam ranah psikiatri. Namun demikian terdapat bukti literatur besar tentang actigraphy dalam psikiatri, dengan hasil yang menjanjikan seperti data variabilitas detak jantung sebagai penanda dekompensasi dalam skizofrenia (Bar, 2007). Mengumpulkan data fisiologis secara real-time menggunakan perangkat seperti itu tidak praktis karena perangkat actigraphy biasanya besar, tidak praktis, dan mahal. Hambatan ini telah membatasi penggunaan parameter fisiologis baik dalam kehidupan sehari-hari pasien dan dalam praktek seorang psikiater. Dengan menggunakan smartphone dan alat pemantau kebugaran lain yang tersedia, kini lebih mudah untuk mengumpulkan data biologis yang bermakna signifikan. Beberapa studi menunjukkan bahwa pasien dengan penyakit mental kronis patuh dan bahkan menikmati menggunakan pemantau kebugaran untuk mengumpulkan jenis data ini (Naslund, 2015). dibutuhkan penelitian lebih lanjut tentang validitas data yang dikumpulkan dengan teknologi konsumen, dan tentang bagaimana informasi yang dikumpulkan pada platform ini berkorelasi dengan penyakit. Penulis optimis bahwa parameter fisiologis mungkin terbukti menjadi langkah diagnostik penting dalam praktik psikiatri klinis di masa depan. Triangulasi Data Elektronik dalam Menyusun Tes Diagnostik Psikiatri Sementara teknologi seluler dan dan interkonektivitas dapat mengumpulkan data parameter fisiologis, gejala dan pola perilaku yang dilaporkan sendiri untuk membantu diagnosis psikiatrik, kemungkinannya adalah bahwa tidak ada satu tes tunggal yang dapat menjadi metode diagnostik bagi semua orang. Sebaliknya, kombinasi berbagai data elektronik yang dikumpulkan smartphone secara real-time harus digabungkan untuk menyusun informasi diagnostik yang dipersonalisasikan bagi setiap individu. Metode menegakkan diagnosis yang dipersonalisasi ini merupakan bidang yang sedang aktif diteliti (Torous, 2015), dan mencerminkan semakin pentingnya data elektronik dalam psikiatri (Torous, 2015). Salah satu alasan mengapa psikiatri belum menyadari potensi data elektronik dan interkonektivitas adalah bahwa sebagian besar upaya penelitian data elektronik sampai saat ini hanya berfokus pada data elektronik individual, dan mengabaikan kontribusi dari sumber data yang luas. Sebelum praktek psikiatri dapat merangkul penggunaan data elektronik, penting untuk mengatasi tantangan luas yang terkait dengan kurangnya standarisasi dan kalibrasi instrumen secara medis. Smartphone dilengkapi kombinasi sensor, CPU, GPU, dan sistem operasi yang berbeda-beda. “Positif palsu” dapat salah menafsirkan pola aktivitas seseorang. Misalnya, ponsel seorang pasien mencatat penurunan jumlah SMS yang dikirim dapat secara keliru dikaitkan dengan peningkatan gejala vegetatif dari depresi. Di sisi lain, penurunan dalam aktivitas SMS ini juga dapat disebabkan oleh pasien yang bepergian ke luar negeri tanpa layanan SMS, pasien yang terlalu sibuk bekerja dalam satu minggu, pasien yang lupa mengisi baterai smartphone mereka, atau pasien yang kesal dengan kinerja smartphone yang semakin lambat. Dari aspek potensi penelitian data elektronik psikiatri kita beranjak ke aspek praktis yang ditawarkan teknologi seluler dan interkonektivitas bagi psikiatri yaitu telemedicine. Hubungan Terapeutik Digital Hubungan terapeutik digital dalam aplikasi telemedicine jarang sekali terjadi karena tidak dianggap penting oleh mereka yang membangun aplikasi. Pengembang aplikasi membuat aplikasi yang mengesankan dan kemudian dipasarkan ke dokter atau pasien sebagai aplikasi pribadi. Misalnya, sebagian besar aplikasi telemedicine dapat memantau gejala dan mencatat informasi dalam lingkup aplikasi tersebut, tetapi hanya sedikit yang memfasilitasi kegiatan berbagi informasi yang bermakna atau dapat mengintegrasikannya kedalam rekam medis elektronik. Dalam lembar syarat dan ketentuannya sebagian besar aplikasi menyatakan bahwa aplikasi tersebut bukanlah alat terapi, dan dalam keadaan darurat pengguna harus mencari perawatan di fasilitas kesehatan dan profesional medis. Sama halnya dengan para ilmuwan dengan kontak pasien yang terbatas, melakukan penelitian data elektronik tanpa mengetahui kenyataan klinis. Aplikasi-aplikasi ini, walaupun selintas terlihat mengesankan, tidak memberikan hasil yang baik ketika penggunanya tidak lagi diberi insentif untuk penggunaan aplikasi tersebut, tidak lagi menawarkan telepon gratis, atau diberi iming-iming seperti dalam penelitian. Alhasil sejumlah besar aplikasi yang inovatif, mengesankan, dan bahkan dinilai “mujarab” — tetapi kurang efektif dalam penerapannya di dunia nyata. Fitur-fitur mutakhir seperti unprincipled machine learning, artificial intelligence, user centric design, Dll., belum dapa menjembatani kesenjangan tersebut. Menjembatani kesenjangan dengan membangun hubungan terapeutik digital adalah salah satu solusi pragmatis. Psikiater menghormati utilitas klinis dari hubungan terapeutik yang kuat dan hubungan ini merupakan prediktor yang baik untuk respons terapi baik farmakologis ataupun nonfarmakologis (Lambert, 2001). Meski tidak ada konsensus mengenai definisi dari hubungan terapeutik, unsur-unsurnya yaitu; rasa saling percaya, aliansi, rasa hormat, empati, dan hubungan positif antara pasien dan dokter (Ardito, 2011). Hubungan terapeutik saat ini biasa dimulai dalam seting klinik nyata dan diperkuat melalui tiap-tiap kunjungan klinis. Pada dasarnya alur kerja klinis, janji pertemuan, rekam medis elektronik, klaim asuransi, dan tagihan layanan, memperkuat dominasi hubungan tatap muka terapeutik. Dampak klinis dari hubungan terapeutik mencakup semua layanan kesehatan mulai dari psikiatri hingga ilmu bedah dan dirangkum dengan baik dalam sebuah makalah oleh Suchnan dan Matthews pada tahun 1988 yang menyatakan, "hubungan dokter pasien adalah dasar pelayanan medis" (Suchnan, 1988). Dampak ini juga secara kuantitatif (Martin, 2000) dipelajari dan sering dilaporkan cukup berpengaruh dalam berbagai kondisi medis (Karver, 2017). Model aplikasi telemedicine saat ini adalah sebagai alat independen yang berfokus pada pasien atau dokter (Noah, 2017), namun, mengabaikan hubungan terapeutik ini, keengganan pasien dan dokter untuk meninggalkan model saat ini, dan potensi kerusakan hubungan yang dapat terjadi akibat perawatan yang terpecah-pecah. Keberadaan hubungan terapeutik digital sendiri bukan suatu hal baru dan didukung oleh banyak bukti berkualitas tinggi dari psikologi, ilmu sosial, user experience, user interface, dan ilmu desain grafis (Sucala, 2012. Alfonsson, 2016. Rosen, 2016). jadi tidak mengherankan apabila telemedicine, sebuah inovasi yang memungkinkan terjadinya hubungan jarak jauh antara dokter-pasien, menjadi salah satu dari kemajuan teknologi yang paling sukses saat ini (Hilty, 2013). Dengan semakin pesatnya perkembangan aplikasi smartphone dan teknologi remote sensor untuk kesehatan, kini saatnya kita meninjau kembali hubungan terapeutik digital dalam konteks telemedicine. Mendukung Hubungan Terapeutik Digital Dengan membingkai ulang aplikasi telemedicine sebagai alat untuk memperkuat dan menambah hubungan terapeutik, besar kemungkinan untuk mewujudkan potensi aplikasi telemedicine. Alih-alih membuat aplikasi yang berupaya menduplikasi layanan klinis saat ini tanpa menawarkan hubungan apa pun (seperti yang ditemukan pada Banyak aplikasi CBT dan pemantau gejala di pasaran saat ini), aplikasi generasi baru yang informatif serta dapat memperkuat hubungan terapeutik memberi dampak positif terhadap pengobatan. Misalnya, mengurangi polifarmasi dan dalam beberapa kasus psikiatri mempercepat remisi dari pengobatan, terutama antipsikotik, hal ini merupakan inovasi besar dalam pengobatan (Fleischacker, 2012) yang mengurangi beban pengobatan dan biaya perawatan secara signifikan. Akan tetapi banyak dokter yang tidak yakin dengan pengurangan dosis yang demikian, dan kepercayaan ‘dosis berdasar pengalaman' masih sering dipraktikkan dalam perawatan klinis. Pada saat yang sama, clinical wisdom mengajarkan, bahwa mengenal pasien dengan baik dan memiliki hubungan terapeutik yang kuat mengakibatkan risiko pengurangan dosis obat menjadi lebih kecil. Menggunakan aplikasi telemedicine untuk memperkuat hubungan terapeutik dalam hal ini yaitu menawarkan kedua belah pihak kemampuan untuk menambah waktu tatap muka, dengan pemantauan gejala secara real-time, kemampuan untuk dapat berkomunikasi langsung, dan secara otomatis memicu perencanaan kontingensi yang dapat membantu dokter dan pasien dengan aman dan percaya diri melakukan pengurangan dosis obat. Informasi yang disediakan oleh aplikasi dalam kasus ini hasus sesuai dengan tujuan terapi Bersama antara pasien dan dokter. Seperti halnya dalam suatu hubungan social lainnya, hubungan terapeutik membutuhkan dukungan dan disertai dengan tanggung jawab. Dokter dan pasien pertama-tama harus mengembangkan hubungan berdasarkan kepercayaan. Metode yang paling efektif untuk ini adalah kunjungan langsung dan tatap muka. Hubungan terapeutik digital masih memerlukan dokter yang bertanggung jawab yang berarti bahwa dalam sesi tatap muka dalam aplikasi, dokter harus memiliki etika seperti ketika tatap muka langsung, dan mau menanggung risiko klinis yang ditimbulkan dari sesi pengobatan tersebut. Tidak seperti aplikasi telemedicine hari ini yang menyangkal tanggung jawab atas kejadian buruk atau risiko pengobatan - dokter memberikan perawatan medis dan psikiatrik melalui media tersebut yang berarti bahwa ia harus diberi perlindungan hukum sama seperti institusi kesehatan lain pada umumnya. Ini termasuk tersedianya lembaga pelindung seandainya terjadi kasus hukum selama menggunakan aplikasi. Sangant masuk akal bahwa lingkungan untuk mendukung dan membina hubungan terapeutik digital bukanlah 100% virtual tetapi lebih merupakan hibrida baru yang saling terkait yaitu kunjungan tatap muka dan layanan digital. Klinik psikiatri virtual akan melihat pasien secara langsung untuk mendapat pemantaun kondisi terkini, dengan resep obat yang tetap dipantau oleh dokter. Misalnya, respons dan pemantauan obat akan dilakukan dengan aplikasi dengan pemicu yang telah ditetapkan untuk menjadwalkan janji temu atau videocall. Intervensi gaya hidup yang penting seperti olahraga yang sangat penting bagi kesehatan dapat dipantau dan didukung dari jarak jauh. Kunjungan kontrol akan terutama melalui sesi tele-psikiatri, tetapi bila diperlukan pemantauan digital dapat secara otomatis memicu diadakannya kunjungan tatap muka. Sementara layanan digital dan jarak jauh sangat dianjurkan, kunjungan tatap muka langsung tetap harus dipertahankan guna membina hubungan yang kuat. Tujuan dari klinik virtual adalah untuk menawarkan lingkungan yang kondusif untuk telepsikiatri. Alih-alih memaksa klinik tradisional untuk mengadopsi aplikasi dan teknologi baru (Parish, 2017) dalam seting yang tidak kondusif untuk membina hubungan terapi digital. Klinik masa kini harus mulai berintegrasi dengan layanan klinik virtual. Demikian pula dokter yang harus mampu menyesuaikan alur kerja dari klinik virtual karena tidak sedikit pasien yang memilih sendiri untuk jenis layanan ini, dengan terlaksananya integrasi tersebut akan memberi potensi besar bagi tele-psikiatri. Adapun tujuan dari klinik yang terintegrasi adalah untuk mewujudkan skalabilitas instrumen kesehatan digital, memenuhi janji peningkatan akses pelayanan kesehatan, dan tetap menawarkan layanan klinis yang efektif yang meningkatkan outcome kesehatan. Dengan demikian, keberhasilan klinik-klinik terintegrasi ini akan ditentukan oleh kemampuan dalam pelayanan kesehatan hibrida yang lebih efisien, dengan kualitas perawatan yang lebih baik, dan terlebih lagi mampu mengurangi biaya perawatan. Namun, tantangan signifikan tetap ada untuk solusi yang diusulkan ini. Skalabilitas investasi dalam model layanan dan integrasi baru ini dibandingkan dengan lanskap sumber daya yang ada (misalnya, rumah sakit tradisional atau fasilitas rawat inap lainnya) adalah area potensial di mana klinik virtual mungkin akan gagal memberi hasil yang baik dibandingkan dengan layanan kesehatan tradisional; dimana memastikan konsistensi perawatan, struktur tim multidisiplin yang efektif, dan kepatuhan terhadap standar Evidence Based Medicine sangat penting dalam layanan (Schatz, 2017). Terakhir, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai tingkat keberhasilan dan peluang layanan kesehatan digital dapat dikembangkan di lingkungan yang mementingkan pelayanan kesehatan secara tradisional. Kesimpulan Dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution, Thomas Kuhn menulis bahwa "kebenaran muncul lebih mudah dari kesalahan daripada dari kebingungan". Saat ini, potensi teknologi seluler dan interkonektivitas telah memberi peluang luas bagi psikiatri, beberapa keraguan, serta munculnya harapan dimana instrumen elektronik dapat membantu memperbaiki kehidupan orang-orang yang membutuhkan. Dalam mendekati teknologi ini dari perspektif penelitian sistematis dan menciptakan kerangka kerja untuk mengevaluasi efektivitas yang sebenarnya serta melakukan triangulasi data yang diambil dari berbagai sumber, kita dapat mulai mencari adanya relevansi klinis dalam potensi besar ini. Klinik virtual yang dapat mendukung hubungan terapeutik digital menyadarkan kita aka nilai teknologi baru seperti aplikasi smartphone untuk menatalaksana masalah kesehatan jiwa serta kondisi lainnya. Ini mengubah pemikiran awal dimana aplikasi hanya dilihat sebagai alat untuk mengubah pengobatan kedalam bentuk digital, dan melihatnya sebagai sumber daya untuk memfasilitasi dan mempererat hubungan dokter-pasien. Di atas kertas, telemedicine terlihat sepele — tetapi ujian sebenarnya untuk telemedicine bukanlah di atas kertas melainkan dalam memberikan perawatan yang efektif, efisien, dan berpusat pada pasien (Steinhubl, 2017). Daftar Pustaka Alfonsson, S., Olsson, E., Linderman, S., Winnerhed, S. & Hursti, T. Is online treatment adherence affected by presentation and therapist support? A randomized controlled trial. Comput. Human. Behav. 60, 550–558 (2016). Ardito, R. & Rabellino, D. Therapeutic alliance and outcome of psychotherapy: historical excursus, measurements, and prospects for research. Front. Psychol 2, 270 (2011). Bär, K. J. et al. Non-linear complexity measures of heart rate variability in acute schizophrenia. Clin. Neurophysiol. 118, 2009–2015 (2007). Bedi, G. et al. Automated analysis of free speech predicts psychosis onset in high-risk youths. NPJ Schizophr. 1, 15030 (2015). Carroll, B. J. Limitations of computerized adaptive testing for anxiety. Am. J. Psychiatry 171, 692 (2014). Chan, Y. et al. The Asthma Mobile Health Study, a large-scale clinical observational study using ResearchKit. Nat. Biotechnol. 35, 354–362 (2017). Cummins, N. et al. A review of depression and suicide risk assessment using speech analysis. Speech Commun. 71, 10–49 (2015). Demyttenaere, K. et al. Prevalence, severity, and unmet need for treatment of mental disorders in the World Health Organization World Mental Health Surveys. J. Am. Med. Assoc. 291, 2581–2590 (2004). Faurholt-Jepsen, M., Munkholm, K., Frost, M., Bardram, J. E. & Kessing, L. V. Electronic self-monitoring of mood using IT platforms in adult patients with bipolar disorder: a systematic review of the validity and evidence. BMC Psychiatry 16, 7 (2016). Faurholt-Jepsen, M. et al. Smartphone data as objective measures of bipolar disorder symptoms. Psychiatry Res. 217, 124–127 (2014). Fleischhacker, W. & Uchida, H. Critical review of antipsychotic polypharmacy in the treatment of schizophrenia. Int. J. Neuropsychopharmacol. 17, 1083–1093 (2012). Gibbons, R. D. et al. Development of the CAT-ANX: a computerized adaptive test for anxiety. Am. J. Psychiatry 171, 187–194 (2014). Hilty, D. et al. The effectiveness of telemental health: a 201 review. Telemed. e-Health 19, 444–454 (2013). Hsin, H., Torous, J. & Roberts, L. An adjuvant role for mobile health in psychiatry. JAMA Psychiatry 73, 103–104 (2016). Insel, T. et al. Research domain criteria (RDoC): toward a new classification framework for research on mental disorders. Am. J. Psychiatry 167, 748–751 (2010). Kessler, R. C. et al. Prevalence, persistence, and sociodemographic correlates of DSM-IV disorders in the National Comorbidity Survey Replication Adolescent Supplement. Arch. Gen. Psychiatry 69, 372–380 (2012). Kokkonen, E. W. et al. Use of electronic medical records differs by specialty and office settings. J. Am. Med. Inform. Assoc. 20, e33–e38 (2013). Marcano-Belisario, J. S. et al. Comparison of self-administered survey questionnaire responses collected using mobile apps versus other methods. Cochrane Database Syst. Rev. 7, MR000042 (2015). Martin, D., Garske, J. & Davis, M. Relation of the therapeutic alliance with outcome and other variables: a meta-analytic review. J. Consult. Clin. Psychol. 68, 438–450 (2000). Meinarno, E.A. (2018). Kesiapan dan Kontribusi Psikologi untuk Revolusi Industri 4.0. Buletin KPIN Vol.4. No.8. Jakarta. Moore, R. C., Depp, C. A., Wetherell, J. L. & Lenze, E. J. Ecological momentary assessment versus standard assessment instruments for measuring mindfulness, depressed mood, and anxiety among older adults. J. Psychiatr. Res. 75, 116–123 (2016). Naslund, J. A., Aschbrenner, K. A., Barre, L. K. & Bartels, S. J. Feasibility of popular mhealth technologies for activity tracking among individuals with serious mental illness. Telemed. J. E. Health21, 213–216 (2015). Noah, B. et al. Impact of remote patient monitoring on clinical outcomes: an updated metaanalysis of randomized controlled trials. npj Digital Med. 1, (2017). Onnela, J. P. & Rauch, S. L. Harnessing smartphone-based digital phenotyping to enhance behavioral and mental health. Neuropsychopharmacology 41, 1691–1696 (2016). Owen, J. et al. mHealth in the wild: using novel data to examine the reach, use, and impact of PTSD coach. JMIR Ment. Health 2, e7 (2015). Parish, M., Fazio, S., Chan, S. & Yellowlees, P. Managing psychiatrist-patient relationships in the digital age: a summary review of the impact of technology-enabled care on clinical processes and rapport. Curr. Psychiatry Rep. 19, 90 (2017). Rosen, D., Nakash, O. & Alegría, M. The impact of computer use on therapeutic alliance and continuance in care during the mental health intake. Psychotherapy 53, 117–123 (2016). Sadavoy, J., Meier, R. & Ong, A. Y. Barriers to access to mental health services for ethnic seniors: the Toronto study. Can. J. Psychiatry 49, 192–199 (2004). Schatz, B. Population measurement for health systems. npj Digital Med. 1, (2017). Schneidewind, L., Borgmann, H. & Schmidt, S. Comparison of self-administered survey questionnaire responses collected using mobile apps versus other methods. Urologe A 55, 1608–1612 (2016). Steinhubl, S. & Topol, E. Digital medicine, on its way to being just plain medicine. npj Digital Med. 1, (2017). Steinhubl, S. R., Muse, E. D. & Topol, E. J. Can mobile health technologies transform health care? J. Am. Med. Assoc. 310, 2395–2396 (2013). Suchnan, A. What makes the patient-doctor relationship therapeutic? Exploring the connexional dimension of medical care. Ann. Intern. Med. 108, 125 (1988). Torous, J., Staples, P. & Onnela, J. P. Realizing the potential of mobile mental health: new methods for new data in psychiatry. Curr. Psychiatry Rep. 17, 1–7 (2015). Torous, J., Kiang, M. V., Lorme, J. & Onnela, J. P. New tools for new research in psychiatry: a scalable and customizable platform to empower data driven smartphone research. JMIR Ment. Health 3, e16 (2016). Torous, J. et al. Patient smartphone ownership and interest in mobile apps to monitor symptoms of mental health conditions: a survey in four geographically distinct psychiatric clinics. JMIR Ment. Health 1, e5 (2014). Torous, J. & Baker, J. Why psychiatry needs data science and data science needs psychiatry: connecting with technology. JAMA Psychiatry 73, 3–4 (2016). Torous, J. & Powell, A. Current research and trends in the use of smartphone applications for mood disorders. Internet Interv. 2, 169–173 (2015). Torous, J. et al. Utilizing a personal smartphone custom app to assess the patient health questionnaire-9 (PHQ-9) depressive symptoms in patients with major depressive disorder. JMIR Ment. Health 2, e8 (2015). Torous, J., Onnela, J. & Keshavan, M. New dimensions and new tools to realize the potential of RDoC: digital phenotyping via smartphones and connected devices. Transl. Psychiatry 7, e1053 (2017).