Menjadi Manusia yang Ber-Etika dalam Hidup Modern
By: Yeremia Tirto Wardoyo S
1323018001
Di zaman yang modern ini, manusia terkadang memenuhi kebutuhan hidupnya hanya sekedar untuk dapat terpenuhi atau hanya mengikuti trend lifestyle saat ini. Kebanyakan manusia jaman sekarang tidak memperhatikan beberapa hal yang sekiranya sepele, tetapi hal itu yang membentuk diri manusia sebagai manusia itu sendiri, salah satunya adalah etika. Etika sering kali dianggap remeh, karena lebih mementingkan sikap individualistis dan egosentris untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup dan sosialitasnya dengan orang lain dibandingkan menghargai setiap hak manusia yang lain. Ini menjadi suatu keprihatinan saat ini, melihat prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai keutamaan tidak dijadikan sebagai suatu tonggak utama dalam berperilaku dan bersikap sebagai manusia yang baik. Sekiranya hal ini perlu kembali menapak tilas bagaimana etika menjadi suatu hal yang utama untuk diperhatikan dan dijadikan sebagai prinsip hidup yang baik. Ada salah satu karya yang terkenal, yang dibuat oleh salah satu filsuf yang berasal dari abad Yunani Kuno, yang dalam karyanya, dituliskan bagaimana hidup yang baik dan benar. Siapakah dia? Aristoteles.
Aristoteles, selain terkenal sebagai murid dari Plato, ia juga memiliki ciri khas, yaitu gaya pemikiran yang berbeda dengan Plato melihat realitas sebagai sesuatu yang nyata. Ia adalah seorang realisme, yang melihat kebenaran akan sesuatu hal, harus konkret dan dapat dicerap oleh pancainderawi manusia. Berbagai karya yang ia buat, menjadi landasan bagi manusia untuk dapat mengembangan ilmu pengetahuan dan filsafat di dunia. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Nicomachean Ethics. Karya ini ia buat dengan alasan di khususkan bagi para negarawan yang sedang mempersiapkan diri untuk jadi pemimpin negara pada waktu itu. Tetapi, karya ini masih dapat relevan dengan kehidupan kita saat ini. Dalam karyanya, memuat bagaimana cara menjadi manusia yang baik, yaitu manusia yang dalam hidupnya mampu melaksanakan keutamaan-keutamaan agar dapat mencapai sesuatu yang bisa dikatakan berakhir baik (happy ending), yaitu eudaimonia. Lalu, bagaimana kita bisa merelevansikan apa yang dibuat oleh Aristoteles pada waktu itu dengan kehidupan kita saat ini? Kita akan mengupasnya secara mendalam bagian-perbagian.
Pada dasarnya, manusia dalam hidupnya memiliki sesuatu hal yang ingin dikejar. Hal itu dilakukan semata-mata untuk memuaskan dirinya. Hal itu kita sebut sebagai tujuan. Aristoteles mengungkapkan juga pada buku 1 NE, yang menyatakan bahwa manusia memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai. Namun terkadang manusia sekarang ini, tidak memperhatikan bagian-bagian atau hal-hal yang bisa membuat dirinya bisa sampai pada tujuan yang ingin dicapai. Mereka lebih memilih dengan cara yang praktis, cara yang dapat membuatnya bisa mencapai tujuan dan kepuasan bagi diri sendiri. Kebanyakan juga tidak berpikir panjang jika cara yang mereka ambil, bisa jadi dapat membahayakan dirinya maupun orang-orang disekitarnya. Bagi Aristoteles, mereka-mereka seperti ini, tidak menghidupi atau mengenal suatu hal yang mampu menghantar manusia sampai pada tujuan yang ingin dicapai, yaitu keutamaan (virtue).
Dalam bukunya yang ke 2 NE, Aristoteles menegaskan bahwa keutamaan dipandang sebagai sarana untuk dapat mencapai tujuan, yaitu eudaimonia. Ia membagi keutamaan menjadi 2 jalur / macam, yaitu keutamaan intelektual dan keutamaan moral. 2 keutmaan ini menjadi sarana yang baik, yang menghantar manusia sampai pada tujuan yang dimaksud. Keutamaan moral sebagai suatu prinsip utama, yang dapat membantu manusia untuk sampai pada manusia yang baik, baik dalam tindakan dan juga dalam mengambil keputusan-keputusan yang rasional. Tetapi, tidaklah cukup memahami keutamaan menjadi sarana untuk dapat mencapai tujuan. Di era yang modern ini, ketika mendengar hal tersebut, mereka akan berusaha untuk melupakan atau menghiraukan jika hanya diberikan pemahaman seperti itu. Agar dapat sampai pada manusia saat ini untuk bisa menghidupi keutamaan yang dimaksud oleh Aristoteles, mereka harus bisa mengenali dirinya sendiri sebagai manusia.
Dalam buku 3 NE, Aristoteles mengatakan ada beberapa hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan agar dapat menghidupi keutamaan tersebut, yaitu: pilihan, pertimbangan, keinginan, keberanian, pengendalian diri. Ia menuliskan dengan maksud agar ketika ingin hidup dalam keutamaan, manusia bisa membuat suatu pertimbangan bahwa hidup dalam keutamaan ini tidak seenak hidup dalam kelimpahan, yang penuh dengan kenyamanan dan juga kemewahan. Walau kelihatannya berat, tapi orang yang hidup dalam keutamaan, akan mendapat 3x lipat kepuasan dibandingkan dengan orang yang tidak menjalaninya. Pertimbangan ini perlu dipikirkan secara matang, dan tekun dalam menjalaninya. Selain mempertimbangkan hal itu, masih ada hal yang perlu juga direfleksikan, karena semua yang dianggap baik, ternyata bukanlah baik yang sempurna.
Dalam buku ke 4 NE, Aristoteles menuliskan bahwa jika yang kita lakukan seperti kedermawanan, keagungan dan kebesaran jiwa baik untuk dilakukan, ia menilai hal itu masih perlu banyak pertimbangan kembali untuk menindak lanjuti hal tersebut. Masalahnya apa? Masalahnya adalah hal tersebut terkadang dilakukan semata-mata hanya untuk mendapat pujian atau mencari perhatian agar dapat dikenal sebagai sosok yang baik hati. Tetapi bagi Aristoteles, orang yang hidup dalam berkeutamaan, berbagai tindakan yang dilakukan bukan untuk mencari kepuasan diri, melainkan untuk suatu modal yang baik bagi kedepannya dalam mengarungi kehidupan yang penuh dengan segala hinar-binar, yang membawa manusia pada egosentrisme dan individualistis. Aristoteles dalam buku ini juga mengingatkan bahwa pengendalian diri akan emosi, nafsu, sikap ramah-tamah dengan orang sekitar dan mengedepankan kejujuran sebagai wujud dari kualitas dalam diri menjadi suatu hal yang perlu dilakukan dan diperhatikan dengan sungguh.
Aristoteles dalam buku ke 5 NE, ini yang seringkali dalam kehidupan saat ini (terutama di Indonesia) menjadi sebuah perdebatan yang terus-menerus tidak ada hentinya dan tidak membuahkan suatu jalan yang baik bagi kehidupan selanjutnya (mungkin disarankan, semua rakyat untuk membaca buku 5 ini), yaitu tentang keadilan. Orang jaman sekarang kalau bicara tentang keadilan, selalu saja mendefiniskannya yang hanya memikirkan bagi dirinya sendiri, tanpa melihat orang lain. Aristoteles menuliskan bahwa keadilan merupakan suatu keutamaan yang sempurna. Mengapa sempurna? Karena keadilan disini menerapkan prinsip bahwa kepentingan bersama menjadi suatu concern yang harus diperhatikan sejak awal. Keadilan di sini (dalam buku 5 NE) lebih mengarah pada hal-hal yang politik. Tetapi disini, penerapannya tidak harus mengandung makna atau unsur politik. Ketika kita mampu melakukan sesuatu secara adil dan bisa dirasakan oleh orang lain dari hasil yang kita lakukan, itulah keadilan. Keadilan disini, harus dapat dipertanggungjawabkan apabila ada oknum-oknum yang ingin membongkar keadilan yang sudah kita susun bersama. Keadilan dalam konteks ini tidak bisa digunakan seenaknya sendiri, yang mengedepankan egonya daripada orang-orang yang tertindas. Setiap orang punya hak untuk mendapatkan keadilan yang sama, keadilan yang utuh dan baik bagi kehidupannya. Hal ini sebenarnya yang bisa kita wujudkan dalam kehidupan kita saat ini, demi suatu tujuan bersama yang ingin dicapai.
Dalam kehidupan kita saat ini, tidak bisa mengunggulkan etika sebagai predikat manusia baik, tetapi juga dalam segi intelektual. Dalam buku ke 6 NE, Aristoteles menjelaskan tentang keutamaan intelektual sebagai suatu keutamaan yang perlu dimiliki oleh setiap manusia (sudah disinggung awal dalam pembahasan di buku 2 NE ). Ia membagi keutamaan intelektual menjadi 2 macam, yaitu rasional dan irasional. Hal ini diperkuat dengan pernyataan dirinya yang membagi akal budi menjadi beberapa bagian, yaitu: ilmu pengetahuan, seni, kebijaksanaan filososfis, kebijaksaaan praktis, serta logika intuitif. Ini ada dalam diri manusia, yang sudah terbentuk sejak dini, hanya perlu ada pengembangan dari setiap bagiaj dari akal budi agar dapat hidup dalam keutamaan. Keutamaan intelektual di sini dapat menuntun manusia untuk melakukan suatu kebijakan praktis, yang dimana hal itu sangat diperlukan dalam setiap waktu yang ada, bahkan dalam kondisi genting sekalipun. Orang yang mempunyai keutamaan intelektual, mampu membuat suatu putusan-putusan terbaik, karena ia bisa memilah-milah, mana yang penting dan mana yang tidak, mana yang masuk akal, dan mana yang tidak masuk akal, sehingga keputusan yang ia buat, dapat menjadi jembatan bagi pihak yang berkaitan.
Setelah keutamaan intelektual, keutamaan moral masih menjadi suatu perbincangan yang hangat, melihat setiap apa yang kita lakukan, belum tentu menunjukan dari etika yang kita miliki. Dalam buku ke 7 NE, Aristoteles masih membahas secara lebih mendalam tentang keutaaman moral. Walau sudah dibahas dalam karyanya yang ke 2 NE, tetapi disini ia lebih menspesifikan maksud dari keutamaan moral, ditambah dengan hal-hal apa saja yang menjadi kelebihan dan kekurangan dari moral, dilihat dari permasalahan nya. Kadangkala, moral bisa goyah karena adanya permasalahan atau hambatan dari luar, yang bisa menyebabkan moral menjadi lemah. Aristoteles menjelaskan bahwa ada 3 macam moral yang tidak dikehendaki, yaitu: kebrutalan, inkontinensia, dan kemaksiatan. Ke-3 macam ini bisa mengambat kinerja dari moral itu sendiri, karena moral mengarahkan manusia pada tindakan yang baik. Hal-hal yang jasmaniah (badaniah) terkadang membuat manusia lupa akan moral yang sudah ditanamkan dalam dirinya, sebagaimana misalnya melihat makanan yang begitu menggiurkan, belanja baju dengan diskon besar, dll, yang membuat mereka tidak dapat menahan dirinya, sehingga mereka jatuh dalam kepuasan jasmaniah. Kesenangan-kesenangan itu bgai mnereka yang tidak mempunyai keutamaan, menganggap bahwa hal itu baik bagi dirinya, tetapi bagi mereka yang hidup dalam keutamaan menganggap bahwa kesenangan bukan sesuatu yang tertinggi dan baik bagi dirinya.
Setelah tadi membahas banyak tentang hal-hal apa saja yang diperlukan untuk bisa hidup dalam keutamaan, ada satu yang terpenting lagi, yang menjadi perwujudan dari hidup berkeutamaan, yaitu persahabatan. Dalam buku ke 8 dan 9 NE, Aristoteles mengatakan bahwa pesahabatan itu penting sekali dalam mewujudkan hidup dalam keutamaan. Ia berusaha menjelaskan arti persahabatan yang baik, yang di mana hal itu bisa membawa kebaikan bersama bagi semua orang. Memang dalam hidup kita saat ini, persahabatan justru yang membawa diri kita mengarah pada kesuksesan. Namun kadangkala, ada persahabatan yang mengarahkan kita pada keburukan. Hal ini sudah di tuliskan oleh Aristoteles, yang melihat tidak semua persahabatan mampu membawa manusia sampai pada tujuan yang ingin dicapai. Persahabatan yang baik adalah persahabatan yang di mana di dalamnya ada unsur “cinta tanpa imbalan”, yang mengedepankan kepentingan bersama dibandingkan dengan kepentingan pribadi semata. Tetapi walau sudah bersahabat, ada beberapa hal yang menjadi permasalahan atau hambatan yang bisa membawa pada perpisahan. Tidak bisa dipungkiri walau bersahabat, tetap saja manusia akan menggunakan hal tersebut demi mewujudkan kepentingan pribadinya. Di sini, cinta yang bisa menguatkan prinsip persahabatan untuk dapat sampai pada tujuan yang diinginkan.
Kemudian yang terakhir, dalam karyanya, Aristoteles menjelaskan tentang kesenangan dalam bukunya yang ke 10. Inilah yang mencakup semua rangkaian pemikirannya tentang etika. Terkadang, kesenangan di salah artikan sebagai suatu puncak dalam diri manusia yang wajib untuk dipenuhi. Tetapi kesenangan di sini, kesenangan yang dimaksud sebagai suatu hal yang natural, yang dimiliki oleh semua manusia. Hendaknya di sini, kesenangan diartikan sebagai puncak dari hasil dalam hidup berkeutamaan. Orang yangh hidup dalam keutamaan, akan membuahkan suatu hasil yang sangat berguna bagi dirinya. Pastilah dalam diri kita ada suatu perubahan besar ketika yang dulunya hidup tidak mempunyai keutamaan, sekarang hidupnya penuh dengan keutamaan-keutamaan yang sangat bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Orang akan sangat senang ketika sudah berhasil melakukan segala bentuk tarak yang ia lakukan sebagai wujud dari hidup berkeutamaan, dan bisa merasakan manfaat yang membuahkan hasil berkelimpahan bagi dirinya sendiri, maupun orang-orang disekitarnya.
Demikian telah kita dalami bersama, bagian perbagian karya Aristoteles tentang etika ini, telah jelas bahwa apa yang ia tuliskan ini, masih sangat relevan bagi diri kita yang hidup dalam zaman modern ini. Semoga anda yang membaca ini, bisa termotivasi untuk membangkitkan kembali nilai-nilai etika yang dulunya runtuh, ditegakkan kembali. Jika kita mau hidup yang penuh berkah dan berguna bagi orang lain, hiduplah dalam keutaaman seperti yang telah Aristoteles tuliskan dalam karyanya ini.
Tanggapan kritis tentang Karya Aristoteles (Nicomachean Ethics).
Di sini, ketika saya membaca karyanya ini, memang sangat sulit untuk memahami maksud dan tujuan Aristoteles dalam setiap bagian karyanya. Tetapi, ketika saya merefleksikan bagian-perbagian dari buku ini, saya sadar bahwa apa yang ia tuliskan dalam karyanya ini, sangat relevan sekali dengan kehidupan saya dalam zaman serba modern ini. Terkadang saya juga merasa, apa yang saya lakukan belum menunjukan dari niali-nilai etika yang ada dalam diri saya. Saya juga masih melihat banyak orang di luar sana, yang hidupnya tidak menunjukkan dirinya mempunyai etika. Zaman sekarang ini, etika bagi saya perlu ditegakkan atau disadarkan kembali bagi semua orang, karena semua yang kita lakukan ini sebagai wujud dari etika yang kita miliki dan tindakan yang beretiket. Orang sekarang mudah mengatakan bahwa etika yang seharusnya itu begini, begitu, dan blablabla.. tetapi tidak bisa memberikan konkretnya.
Mungkin, bagi mereka yang membaca atau memahami tulisan ini, akan bertanya-tanya apa bisa karyanya Aristotle ini benar-benar bisa relevan dengan diri kita? Tetapi yang jelas, saya menuliskan ini bukan untuk mereka yang berkecimpung dalam dunia politik, tetapi bagi semua orang tanpa terkecuali. Zaman ini bagi saya adalah zaman krisis etika. Ini menjadi perhatian dan keprihatinan saya saat ini. Bagaimana caranya untuk merelevansikan dalam hidup kita saat ini? Bagi saya, mengambil satu atau dua bagian dari karyanya Aristotle ini, lalu kita refleksikan dan kita wujudkan dalam tindakan kita, sudah menampilkan dirinya bahwa ia sudah hidup dalam etika. Kita sudah menerapkan etika yang kita bangunkan kembali, dan kita pertahankan nilai-nilai etika ini sampai hidup di masa yang akan datang.